Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

ECT (Electro Convulsive Therapy) merupakan perawatan untuk gangguan psikiatrik


dengan menggunakan aliran listrik singkat melewati otak pasien yang berada dalam pengaruh
anestesi dengan menggunakan alat khusus. Pasien berada di bawah anestesi umum. Terdapat
kejang yang telah dimodifikasi oleh muscle relaxant
ECT telah berubah dan berkembang selama beberapa dekade terakhir. Terapi ini telah menjadi semakin
kompleks, lebih tepat, dan selalu dinilai sebagai prosedur medis yang sangat rumit. Praktisi ECT harus memiliki
keterampilan bukan hanya menyeleksi pasien dan penggunaan obat yang optimal dalam ECT, namun juga mengerti
mengenai fisiologi kardiovaskular, anestesi, dan interpretasi dari iktal EEG.
Praktisi diharapkan mampu membuat keputusan mengenai penempatan elektroda, dosis
energi yang diberikan, penggunaan zat psikotropik yang digunakan bersamaan, dan obat-obatan
sistemik dan kelanjutan perawatan baik dengan obat-obatan maupun ECT. Lebih lagi, untuk mencapai
informed consent praktisi harus mampu menjelaskan semua aspek perawatan dan menjawab
pertanyaan- pertanyaandari pasien dan keluarga dengan cara yang akurat dan dapat dimengerti.
Karena terapi ECT yang sukses membutuhkan kerjasama yang baik antara psikiater dan
anstesiolog, dan pendekatan biasa terhadap manajemen baik psikiatri maupun anestesi terhadap
pasien ECT tidak dapat diterima, maka silabus pelatihan ECT yang benar dan supervisi yang
adekuat pada residen psikiatri maupun anestesi untuk ECT modern sangat dibutuhkan.
Saat ini, beberapa medikasi telah digunakan selama ECT termasuk sedasi sebelum ECT,
agen anestesi, muscle relaxant, antikolinergik, dan obat yang menurunkan respon simpatis dan
parasimpatis.

BAB II
TERAPI ELEKTROKONVULSIF
II. 1. DEFINISI
Electroconvulsive Therapy (ECT) adalah suatu pengobatan untuk penyakit
psikiatri berat dengan menggunakan arus listrik singkat yang dipasang di kepala ,
menghasilkan suatu kejang tonik klonik umum dengan efek terapeutik.

II. 2. SEJARAH
Tahun
1493-1541
1903

Perjalanan waktu
menggunakan camphor atau kamper atau kini disebut dengan kapur barus.
Kamper ini diberikan secara oral untuk menginduksi kejang sebagai terapi pada
pasien gangguan mental.
mulai dikenal pula penggunaan insulin dan psychosurgery. Manfred Sakel dari
Wina mengumumkan kesuksesan pengobatan skizofrenia dengan insulin.

1934

Ladislaus von Meduna dari Budhapest menginjeksi kamper secara intramuskular


untuk menginduksi kejang pada pasien dengan skizofrenia katatonik. Ini
merupakan terapi konvulsi modern pertama. Von Medunna mengobservasi
bahwa pada otak pasien epilepsi ditemukan jumlah sel glia yang lebih banyak
dari orang normal, sementara pasien skizofrenia jumlah sel glia lebih sedikit.

1938

Ugo Cerletti dengan asistennya Lucio Bini melakukan tindakan ECT pertama
pada pasien skizofrenia katatonik. ECT dilakukan sebanyak 11 kali dan pasien
memberikan respon yang bagus. Penggunaan ECT kemudian menyebar luas di
seluruh dunia. Kini ECT digunakan pada pasien dengan depresi mayor dan
skizofrenia.

1970

Elektroda ECT paling sering ditempatkan pada unilateral kanan.

1988

ECT dan litium sama-sama efektif untuk penderita manic disorder

2000

Berdasarkan penelitian, terpi ECT pada unilateral dan bilateral dosis tinggi
menunjukkan keefektifan pada penderita depresi mayor, akan tetapi pada
penggunaan ECT unilateral dapat menimbulkan kemunduran daya kognitif

II. 3. ELEKTROFISIOLOGI
Neuron mempertahankan potensial istirahat melintasi membran plasma dan
mungkin menyebarkan potensial aksi, yang merupakan pembalikan sementara dari
potensi membran. Aktivitas normal otak adalah desinkronisasi, yaitu, potensial aksi
neuron yang tidak sinkron. kejang terjadi ketika sebagian besar neuron keluar bersamasama. Perubahan ritmis neuron ekstraseluler bergerak kepotensial aksi neuron
sebelahnya, menyebarkan aktivitas kejang di seluruh korteks dan ke dalam struktur yang
lebih dalam, dan akhirnya seluruh otak mengeluarkan neuron. Mekanisme seluler bekerja
untuk mempertahankan aktivitas kejang dan mempertahankan homeostasis seluler dan
kejang akhirnya berhenti. Pada ECT, kejang dipicu oleh neuron normal dengan arus
listrik melalui kulit kepala.
Sifat-sifat listrik yang digunakan di ECT dapat dijelaskan oleh hukum Ohm, E =
IR, atau I = E / R, di mana E adalah tegangan, I adalah arus, dan R adalah resistensi.
Intensitas atau dosis listrik di ECT diukur dalam charge (milliampere-detik atau
millicoulombs) atau energi (watt-detik atau joule). Resistensi ini identik dengan
impedansi dan dalam kasus ECT baik kontak elektroda dengan tubuh dan sifat dari
jaringan tubuh merupakan penentu utama resistensi. Tulang
Tengkorak memiliki tahanan yang tinggi sedangkan otak memiliki tahanan yang
rendah. Karena jaringan kulit kepala merupakan konduktor yang jauh lebih baik dari
listrik dari tulang, hanya sekitar 20 persen dari arus listrik yang diberikan yang masuk ke
dalam tulang tengkorak untuk merangsang neuron. Mesin ECT yang sekarang banyak
digunakan dapat disesuaikan dengan mengelola listrik di bawah kondisi arus konstan ,
tegangan, atau energi.

II. 4. MEKANISME KERJA


Induksi kejang umum bilateral pada ECT dapat menimbulkan efek yang
menguntungkan dan efek yang merugikan. Beberapa data menunjukkan bahwa tidak

semua kejang umum melibatkan semua neuron di struktur otak bagian dalam (misalnya,
basal ganglia dan thalamus), jika ada bagian neuron otak bagian dalam yang ikut keluar
maka dapat memberikan manfaat terapeutik penuh. Setelah kejang umum, dengan
electroencephalogram (EEG) menunjukkan sekitar 60 sampai 90 detik penekanan post
iktal. Periode ini diikuti dengan penampilan tegangan tinggi gelombang delta dan theta
dan EEG akan kembali dalam keadaan sebelum kejang dalam waktu 30 menit. Selama
rangkaian perawatan ECT, EEG interiktal umumnya lebih lambat dan amplitudo yang
lebih besar dari biasanya, tetapi EEG akan kembali kekeadaan sebelum pengobatan dalam
waktu 1 bulan sampai 1 tahun setelah pengobatan terakhir.
Positron emission tomography (PET) mempelajari bahwa aliran darah otak,
penggunaan glukosa dan oksigen serta permeabilitas dari blood brain barrier meningkat
selama kejang. Setelah kejang, aliran darah dan metabolisme glukosa yang menurun
terutama yang paling terlihat di lobus frontal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
tingkat penurunan metabolisme otak yang berkorelasi dengan respon terapi.
Fokus kejang pada epilepsi idiopatik dalam keadaan

hipometabolik selama

periode interiktal, ECT bertindak sebagai suatu antikonvulsan karena penggunaannya


berkaitkan dengan peningkatan ambang batas kejang selama proses pengobatan
berlangsung. Data terbaru menunjukkan bahwa selama 1 sampai 2 bulan setelah sesi
ECT, laporan EEG mencatat peningkatan besar dari aktifitas gelombang rendah yang
terletak di korteks prefrontal pada pasien yang merespon baik dengan ECT. Intensitas
tinggi, stimulasi bilateral menghasilkan respon terbaik sedangkan intensitas rendah dan
stimulasi unilateral menghasilkan respon terlemah. Data-data diatas tidak terlalu
signifikan karena EEG spesifik akan menghilang 2 bulan setelah terapi ECT, sedangkan
manifestasi klinis tetap bertahan.Terapi electroconvulsive mempengaruhi mekanisme
selular memori dan peraturan mood serta meningkatkan ambang batas kejang.
Penelitian neurokimia ke dalam mekanisme kerja ECT difokuskan pada
perubahan reseptor neurotransmitter dan perubahan pada second messeger systems.
Hampir setiap sistem neurotransmitter dipengaruhi oleh ECT, namun serangkaian hasil
ECT menunjukan downregulation dari reseptor postsynaptic -adrenergik, reseptor yang
sama akan berubah dengan perawatan antidepresan. Efek ECT pada neuron serotonergik
masih kontroversial. Berbagai studi penelitian telah melaporkan peningkatan reseptor
4

serotonin postsynaptic, tidak ada perubahan dalam reseptor serotonin, dan terjadi
perubahan dalam regulasi presynaptic pelepasan serotonin. ECT juga telah dilaporkan
memiliki efek perubahan dalam sistem saraf muscarinic, kolinergik, dan dopaminergik.
Second messeger systems, ECT telah dilaporkan mempengaruhi kopling G-protein untuk
reseptor, aktivitas adenylyl cyclase dan fosfolipase C, dan pengaturan masuknya kalsium
ke dalam neuron.

II. 5. INDIKASI DILAKUKAN ECT


II. 5.1. Gangguan Depresi Mayor
Indikasi yang paling umum untuk ECT adalah penyakit depresi, dimana ECT
merupakan terapi yang tercepat dan paling efektif. ECT harus dipertimbangkan untuk
digunakan pada pasien yang telah gagal dengan obat-obatan, intoleransi obat, yang
memiliki gejala psikotik, yang memiliki kecenderungan bunuh diri, dengan gejala
agitasi atau pingsan. Penelitian telah menunjukkan bahwa 70 persen pasien yang gagal
untuk merespon obat antidepresan dapat merespon positif ECT.
ECT efektif untuk pasien depresi, baik yang mengalami gangguan depresi
mayor maupun gangguan bipolar I. Depresi delusional atau depresi psikotik telah lama
dianggap responsif terhadap ECT, tetapi studi terbaru menunjukkan bahwa episode
depresi mayor dengan psikotik sudah tidak menunjukan respon terhadap ECT
dibandingkan gangguan depresi nonpsikotik. Namun demikian, karena episode depresi
mayor dengan psikotik merespon buruk pada pemberian antidepresan, maka ECT
harus dipertimbangkan sebagai pengobatan lini pertama. Gangguan depresi mayor
dengan gejala melankolik (misalnya, retardasi psikomotor, bangun dipagi hari,
penurunan nafsu makan dan berat badan, dan agitasi) dapat merespon baik dengan
ECT. ECT terutama diindikasikan untuk orang-orang yang mengalami depresi berat,
yang memiliki gejala psikotik, yang menunjukkan niat bunuh diri, atau yang menolak
untuk makan. Pasien depresi yang kurang merespon terhadap ECT adalah pasien
dengan gangguan somatik. Pasien lanjut usia cenderung merespon lebih lambat
daripada pasien muda. ECT adalah perawatan untuk episode depresi mayor dan tidak
memberikan profilaksis kecuali diberikan atas dasar pemeliharaan jangka panjang.

Antidepresan
Down

regulation

dari

ECT
-reseptor Down regulation dari -reseptor tidak tergantung

memerlukan system serotonin yang utuh

pada sistem serotonin yang utuh

Tidak efektif untuk depresi psikosis

efektif untuk depresi psikosis

Tidak memiliki efektifitas untuk manik

Efektif sebagai antimanik

Tak berguna untuk katatonia, skiofrenia efektif


dan delirium

untuk

beberapa

pasien

katatonia,

skizofrenia dan delirium

Kurang efektif untuk penanganan depresi efektif untuk penanganan depresi yang resisten
yang resisten
Down regulation terhadap reseptor 5-HT2

Up regulation terhadap reseptor 5-HT2

Tabel 5.1 Persamaan dan perbedaan antara ECT dan antidepresan: kapasitas untuk menginduksi mania
dan down-regulation/regulasi bawah dari -reseptor

II. 5.2. SKIZOFRENIA


ECT lebih efektif untuk pasien skizofrenia akut dibandingkan dengan
skizofrenia kronis. Pasien dengan skizofrenia yang ditandai gejala positif, katatonia,
atau gejala afektif paling merespon terhadap ECT. Pada beberapa pasien, efektivitas
ECT sama dengan pemberian antipsikotik, namun perbaikan dapat terjadi lebih cepat.

II. 5.3. EPISODE MANIK


ECT hampir sama dengan lithium (Eskalith) dalam pengobatan episode
manik akut. Terapi farmakologi dari episode manik lebih efektif dalam jangka pendek
dan untuk profilaksis penggunaan ECT untuk mengobati episode manik umumnya
terbatas pada situasi dengan kontraindikasi khusus untuk semua pendekatan
farmakologis yang tersedia. Respon ECT yang cepat diindikasikan untuk pasien
dengan perilaku manik yang berbahaya. ECT sehatusnya tidak digunakan untuk pasien

yang menerima lithium, karena lithium karena dapat menurunkan ambang batas kejang
dan menyebabkan kejang berkepanjangan.

II. 5.4. INDIKASI LAINNYA


Studi lain telah menemukan ECT efektif dalam pengobatan katatonia, suatu
gejala yang berhubungan dengan gangguan mood, skizofrenia, dan gangguan medis
serta neurologis. ECT juga dilaporkan berguna untuk mengobati psikosis episodik,
psikosis atipikal, obsesif-kompulsif, dan delirium serta kondisi medis seperti sindrom
neuroleptik ganas, hypopituitarism, intractable seizure disorders dan fenomena on-off
dari penyakit Parkinson. ECT juga dapat menjadi pilihan terapi untuk ibu hamil yang
depresi dan ingin bunuh diri yang memerlukan perawatan dan tidak bisa minum obat,
pasien geriatri dan pasien dengan kondisi medis yang tidak memungkinkan untuk
minum obat anti depresan, dan untuk anak-anak dan remaja penderita depresi yang
ingin bunuh diri merespon lebih buruk terhadap terapi antidepresan dibandingkan
dengan pasien dewasa. ECT tidak efektif dalam gangguan somatisasi (kecuali disertai
dengan depresi), gangguan kepribadian, dan gangguan kecemasan.

II. 6. PROSEDUR
Pasien dan keluarga mereka sering khawatir tentang ECT, karena itu, dokter
harus menjelaskan kedua efek menguntungkan dan merugikan dan pendekatan
pengobatan alternatif. Proses informed consent harus didokumentasikan dalam catatan
medis pasien dan harus mencakup diskusi tentang gangguan, alur alamiahnya, dan pilihan
untuk menerima pengobatan. Literatur yang dicetak dan rekaman video tentang ECT
mungkin berguna dalam upaya untuk mendapatkan persetujuan yang benar-benar
informasi. Penggunaan ECT secara paksaan sudah jarang terjadi dan penggunaan ECT
harus diberikan untuk pasien yang sangat membutuhkan pengobatan ECT dan pasien
yang memiliki wali hukum yang setuju untuk dilakukannya penggunaan ECT. Dokter
harus tahu hukum lokal, negara bagian, dan federal mengenai penggunaan ECT.

II. 6.1 EVALUASI KEADAAN SEBELUM DILAKUKAN ECT

Evaluasi sebelum pengobatan harus mencakup standar fisik, pemeriksaan


neurologis, dan preanesthesia dan riwayat medis lengkap. Evaluasi laboratorium harus
mencakup kimia darah dan urin, dada X-ray, dan elektrokardiogram (EKG).
Pemeriksaan gigi untuk menilai keadaan gigi pasien dianjurkan untuk pasien usia
lanjut dan pasien yang memiliki perawatan gigi yang tidak memadai. X-ray tulang
belakang diperlukan jika terbukti adanya gangguan tulang belakang. Computed
tomography (CT) atau magnetic resonance imaging (MRI) harus dilakukan jika dokter
mencurigai adanya gangguan kejang atau space-occupying lesion. Praktisi ECT tidak
lagi mempertimbangkan bahkan space-occupying lesion menjadi kontraindikasi
absolut terhadap ECT, tetapi dengan pasien prosedur tersebut harus dilakukan hanya
oleh para ahli.

II. 6.2 INTERAKSI OBAT


Obat yang sedang dikonsumsi Pasien harus dinilai untuk kemungkinan
interaksi dengan induksi kejang, untuk efek (baik positif maupun negatif) pada
ambang kejang, dan interaksi obat dengan obat yang digunakan selama ECT.
Penggunaan obat trisiklik dan tetracyclic, monoamine oxidase inhibitors, dan
antipsikotik umumnya diterima. Benzodiazepin yang digunakan untuk kegelisahan
harus ditarik karena aktivitas antikonvulsan, lithium (Eskalith) harus ditarik karena
dapat menyebabkan peningkatan delirium postictal dan memperpanjang aktivitas
kejang, clozapine (Clozaril) dan bupropion (Wellbutrin) harus ditarik karena mereka
terkait dengan perkembangan pemunculan kejang yang terlambat. Lidocaine
(Xylocaine) tidak boleh diberikan selama ECT karena nyata meningkatkan ambang
kejang, teofilin (Theo-Dur) merupakan kontraindikasi karena meningkatkan durasi
kejang. Reserpin (Serpasil) juga kontraindikasi karena terkait dengan sistem
pernafasan dan kardiovaskular selama ECT.

II. 6. 3 PREMEDIKASI, ANESTESI DAN RELAKSAN OTOT


Pasien tidak boleh diberikan apapun secara oral selama 6 jam sebelum
pengobatan. Tepat sebelum prosedur, mulut pasien harus diperiksa untuk gigi palsu
dan benda asing lainnya, dan infus intravena (IV) harus dipasang. Sebuah blok gigitan
dimasukkan ke dalam mulut sebelum pengobatan yang dilakukan untuk melindungi

gigi dan lidah pasien selama kejang. Kecuali untuk interval singkat stimulasi listrik,
oksigen 100 persen diberikan pada tingkat 5 L permenit selama prosedur sampai
respirasi spontan kembali. Peralatan kedaruratan harus segera tersedia dalam kasus itu
diperlukan untuk membangun jalan napas.

II. 6. 4 OBAT ANTIKOLINERGIK MUSKARINIK


Obat antikolinergik muscarinik yang diberikan sebelum ECT untuk
meminimalkan sekresi oral dan pernapasan dan untuk memblokir bradikardi dan
asistol, kecuali jika denyut jantung dalam keadaan istirahat di atas 90 kali per menit.
Beberapa pusat ECT telah menghentikan penggunaan rutin antikolinergik sebagai
premedikasi, meskipun penggunaannya masih diindikasikan untuk pasien yang
memakai antagonis reseptor -adrenergik dan pasien yang menderita ventrikular
ekstrasistol. Obat yang paling umum digunakan adalah atropin, yang dapat diberikan
0,3-0,6 mg intramuskular (IM) atau subkutan (SC) 30 sampai 60 menit sebelum
anestesi atau 0,4-1,0 mg IV 2 atau 3 menit sebelum anestesi. Sebuah pilihan lain
adalah dengan menggunakan glycopyrrolate (Robinul) (0,2 sampai 0,4 mg IM, IV, atau
SC), yang cenderung tidak menyeberangi blood brain barrier dan cenderung tidak
menyebabkan disfungsi kognitif dan mual, meskipun diperkirakan memiliki
pengamanan yang kurang pada kardiovaskular daripada atropin.

II. 6. 5 ANESTESI
Prosedur ECT memerlukan anestesi umum dan oksigenasi. Kedalaman
anestesi harus seringan mungkin, tidak hanya untuk meminimalkan efek samping
tetapi juga untuk menghindari peningkatan ambang kejang yang berhubungan dengan
anestesi banyak. Methohexital (Brevital) (0,75-1,0 mg / kg IV bolus) adalah anestesi
yang paling umum digunakan karena durasinya pendek dan asosiasi yang lebih rendah
dibandingkan dengan aritmia postiktal thiopental (Pentothal) (dosis biasa 2 sampai 3
mg / kg IV), meskipun perbedaan efek ke jantung tidak dapat diterima secara
universal. Anestesi alternatif lainnya adalah etomidate (Amidate), ketamin (Ketalar),
alfentanil (Alfenta), dan propofol (Diprivan). Etomidate (0,15-0,3 mg / kg IV) kadangkadang digunakan karena tidak meningkatkan ambang kejang, efek ini sangat berguna
untuk pasien usia lanjut karena ambang kejang meningkat dengan usia. Ketamin (6

sampai 10 mg / kg IM) kadang-kadang digunakan karena tidak meningkatkan ambang


kejang. Alfentanil (2 hingga 9 mg / kg IV) kadang-kadang dipakai bersamaan dengan
obat tidur untuk memungkinkan penggunaan dosis rendah anestesi barbiturat dan,
dengan demikian, mengurangi ambang kejang kurang dari biasanya, meskipun
penggunaannya dapat dikaitkan dengan peningkatan insiden mual. Propofol (0,5
sampai 3,5 mg / kg IV) kurang berguna karena sifat kuat antikonvulsan.

II. 6. 6 RELAKSAN OTOT


Setelah terjadi efek anestesi, biasanya dalam satu menit, relaksan otot
diberikan untuk meminimalkan risiko patah tulang dan luka lain yang dihasilkan dari
aktivitas motorik selama kejang. Tujuannya adalah untuk menghasilkan relaksasi yang
mendalam dari otot, belum tentu dapat melumpuhkan otot, kecuali pasien memiliki
riwayat osteoporosis atau cedera tulang belakang atau memiliki alat pacu jantung
dapat beresiko cedera yang berkaitan dengan aktivitas motorik selama kejang.
Suksinilkolin, agen ultrafast-acting memblokir depolarisasi, merupakan preparat yang
paling sering digunakan. Suksinilkolin biasanya diberikan dalam dosis 0,5 sampai 1
mg / kg IV bolus infus. Karena suksinilkolin adalah agen depolarisasi, aksinya
ditandai oleh adanya fasikulasi otot, yang bekerja pada perkembangan rostrocaudal.
Hilangnya gerakan-gerakan di kaki atau tidak adanya kontraksi otot setelah stimulasi
saraf perifer menunjukkan relaksasi otot maksimal. Pada beberapa pasien,
tubocurarine (3 mg IV) diberikan untuk mencegah mioklonus dan peningkatan kalium
dan enzim otot, reaksi ini bisa menjadi masalah pada pasien dengan penyakit
muskuloskeletal atau jantung. Untuk memantau durasi kejang tersebut, manset tekanan
darah dapat meningkat di bagian pergelangan kaki ke tekanan yang melebihi tekanan
sistolik sebelum infus dari relaksan otot, untuk memungkinkan pengamatan aktivitas
kejang yang relatif tidak berbahaya pada otot kaki.
Jika pasien diketahui memiliki riwayat pseudocholinesterase deficiency,
atracurium (Tracrium) (0,5 sampai 1 mg / kg IV) atau curare dapat digunakan sebagai
pengganti suksinilkolin. Dalam pasien, metabolisme suksinilkolin terganggu, dan
apnea yang berkepanjangan mungkin memerlukan manajemen darurat jalan nafas.
Secara umum, bagaimanapun, karena pendeknya waktu paruh suksinilkolin, durasi

10

apnea setelah administrasi umumnya lebih pendek dari keterlambatan untuk


mendapatkan kembali kesadaran yang disebabkan oleh anestesi dan postictal state.

II. 6. 7 PERSIAPAN PASIEN


Anjurkan pasien dan keluarga untuk tenang dan beritahu prosedur tindakan
yang akan dilakukan.
Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk mengidentifikasiadanya
kelainan yang merupakan kontraindikasi ECT
Siapkan surat persetujuan
Pasien berpuasa 4-6 jam sebelum ECT
Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau penjepit rambut yang mungkin
dipakai pasien.
Pasien diminta untuk mengosongkan kandung kemih dan defekasi.
Jika pasien mengalami gejala ansietas, berikan 5 mg diazepam IM 1-2 jam
sebelum ECT.
Jika pasien menggunakan obat antidepresan, antipsikotik, sedatif-hipnotik, dan
antikonvulsan harus dihentikan sehari sebelumnya.
Premedikasi dengan injeksi SA (sulfa atropin) 0,6-1,2 mg setengah

jam

sebelum ECT.

II. 6. 8 PERSIAPAN ALAT


Alat-alat yang perlu disiapkan sebelum tindakan ECT, adalah sebagai berikut :
Konvulsator set (diatur intensitas dan timer)
Tounge spatel atau karet dibungkus kain
Kain kassa + Cairan NaCl secukupnya
Spuit disposibel
Obat SA injeksi 1 ampul
Tensimeter
Stetoskop

11

Slim siger
Set konvulsator

II. 6. 9 PROSEDUR ECT


a. Setelah alat sudah disiapkan, pindahkan pasien ke tempat dengan permukaan rata
dan cukup keras. Posisikan hiperektensi punggung tanpa bantal. Pakaian
dikendorkan, seluruh badan di tutup dengan selimut, kecuali bagian kepala.
b. Berikan natrium metoheksital (40-100 mg IV). Anestetik barbiturat ini dipakai
untuk menghasilkan koma ringan.
c. Berikan pelemas otot suksinikolin atau Anectine (30-80 mg IV) untuk
menghindari kemungkinan kejang umum.
d. Kepala bagian temporal (pelipis) dibersihkan dengan alkohol untuk tempat
elektrode menempel
e. Kedua pelipis tempat elektroda menempel dilapisi dengan kassa yang dibasahi
cairan NaCl.
f. Penderita diminta untuk membuka mulut dan masang spatel/karet yang dibungkus
kain dimasukkan dan pasien diminta menggigit.
g. Rahang bawah (dagu), ditahan supaya tidak membuka lebar saat kejang dengan
dilapisi kain.
h. Persendian (bahu, siku, pinggang, lutu) di tahan selama kejang dengan mengikuti
gerak kejang.
i. Pasang elektroda di pelipis yang telah ditutupi dengan kain kassa basah kemudian
tekan tombol sampai timer berhenti dan dilepas.
j. Menahan gerakan kejang sampai selesai kejang dengan mengikuti gerakan kejang
k.
l.
m.
n.
o.

(menahan tidak boleh dengan kuat).


Bila nafas terhenti berikan bantuan nafas dengan rangsangan menekan diafragma.
Bila banyak lendir, dibersihkan dengan slim siger.
Kepala dimiringkan.
Observasi sampai pasien sadar.
Dokumentasikan hasil di kartu ECT dan catatan keperawatan

II. 6. 10 PENEMPATAN ELEKTRODA


ECT dapat dilakukan dengan elektroda baik ditempatkan secara bilateral
maupun unilateral. Penempatan Bilateral biasanya menghasilkan respon terapi lebih
cepat, dan hasil penempatan unilateral dalam waktu kurang ditandai efek samping

12

kognitif pada minggu pertama atau minggu setelah pengobatan, meskipun perbedaan
antara penempatan tidak terjadi 2 bulan setelah perawatan. Dalam penempatan
bilateral, yang diperkenalkan pertama kali, satu elektroda yang dirangsang
ditempatkan terpisah beberapa sentimeter di atas masing-masing belahan otak. Dalam
ECT unilateral, kedua elektroda ditempatkan terpisah beberapa sentimeter di atas
belahan dominan, hampir selalu belahan kanan. Beberapa upaya telah dilakukan untuk
memvariasikan lokasi elektroda di ECT unilateral, namun upaya ini belum
memperoleh kecepatan respon dimana terlihat dengan ECT bilateral yang telah
mengurangi efek samping kognitif. Pendekatan yang paling umum adalah untuk
memulai pengobatan dengan ECT unilateral karena profil efek yang lebih
menguntungkan efek kenegatifannya. Jika pasien tidak membaik setelah empat hingga
enam penempatan unilateral, penempatan bilateral digunakan. Penempatan bilateral
elektroda dapat ditunjukkan dalam situasi berikut: gejala depresi mayor, agitasi, risiko
bunuh diri, gejala manik, stupor katatonik, dan pengobatan skizofrenia
Dalam ECT bilateral tradisional, elektroda ditempatkan bifrontotemporally
dengan pusat elektroda masing-masing sekitar 1 inci di atas titik tengah garis imajiner
yang diambil dari tragus ke canthus eksternal. Dengan ECT unilateral, satu elektroda
stimulus biasanya ditempatkan di atas wilayah frontotemporal dominan. Meskipun
beberapa lokasi untuk elektroda stimulus kedua telah diusulkan, penempatan pada
kulit kepala centroparietal dominan, hanya lateral titik garis tengah, hanya muncul
untuk memberikan konfigurasi yang paling efektif (Gambar 1).

13

Gambar 1. Penempatan Elektroda.


Posisi 1 merupakan posisi frontotemporal, digunakan untuk kedua elektroda, satu
elektroda lagi di setiap sisi kepala pada terapi ECT bilateral. Untuk ECT unilateral kanan,
satu elektroda berada dalam posisi frontotemporal, dan lainnya di sebelah kanan dari titik
pada posisi 2. (Courtesy of American Psychiatric Association)
Respon tubuh sebelah kanan sangat berkorelasi dengan dominasi otak kiri.
Jika jelas menunjukkan dominasi tubuh sebelah kiri , dokter harus bergantian polaritas
stimulasi unilateral selama perawatan berturut-turut. Dokter juga harus memantau
waktu yang dibutuhkan bagi pasien untuk memulihkan kesadaran dan orientasi untuk
menjawab pertanyaan sederhana. Sisi stimulasi terkait dengan pemulihan dan
kembalinya fungsi yang kurang cepat dianggap dominan. Belahan otak kiri yang
dominan pada kebanyakan orang, karena itu, penempatan elektroda unilateral hampir
selalu di atas belahan kanan.

II. 6. 11 STIMULUS LISTRIK


Stimulus listrik harus cukup kuat untuk mencapai ambang kejang (tingkat
intensitas yang diperlukan untuk menghasilkan kejang). Stimulus listrik diberikan
dalam siklus, dan setiap siklus berisi gelombang positif dan negatif. Mesin lama

14

menggunakan gelombang sinus, namun, ini jenis mesin sekarang dianggap sudah lama
karena tidak efisiensi dalam membentuk gelombang. Ketika gelombang sinus
disampaikan, stimulus listrik dalam gelombang sinus sebelum ambang kejang tercapai
dan setelah kejang diaktifkan tidak perlu dan berlebihan. Mesin ECT modern
menggunakan gelombang pulse singkat yang mengelola stimulus listrik biasanya
dalam 1 sampai 2 milidetik pada tingkat 30 sampai 100 pulsa per detik. Mesin yang
menggunakan pulse ultrabrief (0,5 milidetik) tidak seefektif mesin pulse singkat.
Membangun ambang kejang pasien secara tidak langsung variabilitasnya 40
kali di ambang kejang terjadi antara pasien. Selain itu, selama pengobatan ECT,
ambang kejang pasien dapat meningkatkan 25 sampai 200 persen. Ambang kejang
juga lebih tinggi pada pria dibandingkan pada wanita dan lebih tinggi pada pasien
yang lebih tua dari pada orang dewasa yang lebih muda. Teknik umum adalah untuk
memulai pengobatan pada stimulus listrik yang diperkirakan berada di bawah ambang
batas kejang untuk pasien tertentu dan kemudian meningkatkan intensitas ini sebesar
100 persen untuk penempatan unilateral dan sebesar 50 persen untuk penempatan
bilateral sampai ambang kejang tercapai. Sebuah perdebatan dalam literatur adalah
kekhawatiran apakah dosis suprathreshold minimal, dosis suprathreshold cukup (satu
setengah kali ambang batas), atau dosis tinggi suprathreshold (tiga kali ambang batas)
adalah lebih baik. Perdebatan tentang intensitas stimulus menyerupai perdebatan
tentang penempatan elektroda. Pada dasarnya, data mendukung kesimpulan bahwa
dosis tiga kali ambang yang paling cepat efektif dan bahwa dosis suprathreshold
minimal berkaitan dengan efek paling sedikit dan paling parah merugikan kognitif.

II. 6. 12 PEMICU KEJANG


Sebuah kontraksi otot singkat biasanya terkuat di rahang pasien dan otot-otot
wajah, terlihat bersamaan dengan aliran stimulus dan terlepas dari apakah kejang
tersebut terjadi. Tanda pertama perilaku kejang sering merupakan ekstensi plantar,
yang berlangsung 10 sampai 20 detik dan menandai fase tonik. Fase ini diikuti oleh
berirama (yaitu, klonik) kontraksi serta penurunan frekuensi dan akhirnya menghilang.
Fase tonik ditandai dengan frekuensi tinggi, aktivitas EEG tajam yang artefak
frekuensi otot yang lebih tinggi dapat ditumpangkan. Selama fase klonik, semburan

15

aktivitas polispike terjadi bersamaan dengan kontraksi otot tetapi biasanya bertahan
untuk setidaknya beberapa detik setelah berhentinya gerakan klonik.

II. 6. 13 PEMANTAUAN KEJANG


Seorang dokter harus memiliki ukuran yang obyektif bahwa kejang umum
bilateral telah terjadi setelah rangsangan. Dokter harus mampu mengamati baik
beberapa bukti tonik klonik-gerakan atau bukti elektrofisiologi dari aktivitas kejang
dari EEG atau electromyogram (EMG). Kejang dengan ECT unilateral yang asimetris,
dengan amplitudo yang lebih tinggi dirangsang EEG pada belahan otak dari pada
nonstimulated hemisphere. Kadang-kadang, karena alasan ini, kejang unilateral yang
diinduksi setidaknya satu pasang elektroda EEG harus ditempatkan di atas belahan
kontralateral saat menggunakan ECT unilateral. Untuk kejang efektif dalam proses
ECT, harus berlangsung setidaknya 25 detik.

II. 6. 14 KEGAGALAN MENGINDUKSI KEJANG


Jika stimulus tertentu gagal untuk menyebabkan penyitaan durasi yang
cukup, dapat dicoba dilakukan empat upaya induksi kejang selama pengobatan.
Terjadinya aktivitas kejang kadang-kadang tertunda selama 20 sampai 40 detik setelah
pemberian stimulus. Jika stimulus gagal untuk menghasilkan kejang, kontak antara
elektroda dan kulit harus diperiksa, dan intensitas stimulus harus meningkat sebesar 25
sampai 100 persen. Dokter juga dapat mengubah agen anestesi untuk meminimalkan
peningkatan ambang kejang yang disebabkan oleh obat bius. Prosedur tambahan untuk
menurunkan ambang kejang termasuk hiperventilasi dan administrasi dari 500 sampai
2.000 mg IV dari sodium benzoate kafein 5 sampai 10 menit sebelum stimulus.

II. 6. 15 KEJANG BERKEPANJANGAN DAN KEJANG DISKINESIA


Kejang berkepanjangan (kejang berlangsung lebih dari 180 detik) dan status
epileptikus dapat dihentikan baik jika dosis tambahan dari agen anestesi barbiturat atau
dengan diazepam IV (Valium) (5 sampai 10 mg). Manajemen komplikasi tersebut
harus disertai dengan intubasi, karena jalan napas oral tidak cukup untuk

16

mempertahankan ventilasi yang memadai selama periode apneu yang lama.


Dyskinesia seizure yaitu kejang tambahan yang muncul beberapa waktu setelah
pengobatan ECT dapat berkembang pada pasien dengan gangguan kejang yang sudah
ada sebelumnya. Situasi seperti ini harus dikelola secara klinis seolah-olah mereka
adalah gangguan epilepsi murni.

II. 7. JUMLAH DAN JARAK PENGOBATAN


ECT biasanya diberikan dua sampai tiga kali seminggu, dua kali seminggu
perawatan yang berhubungan dengan gangguan memori kurang dari perawatan tiga kali
seminggu. Secara umum, pengobatan penyakit depresi dapat mengambil 6 sampai 12
pengobatan (bisa hingga 20 sesi), pengobatan episode manik dapat mengambil 8 sampai
20 pengobatan, pengobatan skizofrenia dapat mengambil lebih dari 15 pengobatan; dan
pengobatan catatonia dan delirium dapat mengambil sesedikit 1 sampai 4 pengobatan.
Pengobatan harus terus sampai pasien mencapai apa yang dianggap respon terapi
maksimal. Perawatan lebih lanjut tidak menghasilkan apapun manfaat terapeutik, tetapi
meningkatkan keparahan dan durasi dari efek samping. Titik perbaikan maksimal
biasanya dianggap terjadi ketika pasien gagal untuk terus meningkatkan perawatan
setelah dua kali berturut-turut. Jika seorang pasien tidak membaik setelah 6 sampai 10
sesi, penempatan bilateral dan high-density pengobatan (tiga kali ambang kejang) harus
dicoba sebelum ECT ditinggalkan.

II. 8 MULTIPLE MONITORED ELECTROCONVULSIVE THERAPY


(MMECT)
MMECT melibatkan pemberian rangsangan ECT selama beberapa sesi tunggal,
paling sering dua stimuli bilateral dalam waktu 2 menit. Pendekatan ini dapat dibenarkan
pada pasien yang sakit parah dan pada mereka yang berisiko sangat tinggi pada prosedur
anestesi. MMECT dikaitkan dengan kejadian yang paling sering serius efek samping
kognitif.

II. 9. PENGOBATAN MAINTENANCE


Sebuah kursus jangka pendek dari ECT menginduksi remisi dari gejala tetapi
tidak mencegah kekambuhan. Pasca-ECT pengobatan selanjutnya harus selalu
dipertimbangkan. Terapi pemeliharaan umumnya farmakologis, namun perawatan ECT

17

pemeliharaan (mingguan, dua mingguan, atau bulanan) telah dilaporkan dapat mencegah
kekambuhan, meskipun data dari penelitian masih kurang. Indikasi ECT selanjutnya
adalah jika kekambuhan muncul cepat setelah ECT awal, gejala yang parah, gejala
psikotik, dan ketidakmampuan untuk mentoleransi obat. Jika ECT digunakan karena
pasien tidak responsif terhadap obat tertentu, maka setelah ECT pasien harus diberi
percobaan obat yang berbeda.

II. 10. KEGAGALAN PERCOBAAN ECT


Pasien yang gagal setelah percobaan ECT lagi harus diberikan farmakologis
yang gagal di masa lalu. Banyak laporan menunjukkan bahwa pasien yang sebelumnya
gagal pengobatannya dan

mengambil obat antidepresan obat yang sama setelah

dilakukan ECT dapat meningkat, bahkan jika ECT tampaknya menjadi kegagalan terapi.
Meskipun demikian peningkatan beragam pada obat yang bertindak di situs reseptor,
kurang perlu untuk kembali ke obat yang telah gagal daripada sebelumnya.

II. 11. KONTRAINDIKASI ECT


ECT tidak memiliki kontraindikasi yang pasti, kontraindikasi ECT hanya ketika
pasien berada pada peningkatan risiko dan memiliki kebutuhan yang meningkat untuk
pemantauan ketat. Kehamilan bukan merupakan kontraindikasi untuk ECT dan
pemantauan janin umumnya dianggap tidak perlu kecuali kehamilan yang berisiko tinggi
atau rumit.
Pasien dengan space-occupying central nervous system lesions dapat
meningkatkan risiko edema dan herniasi otak setelah dilakukan ECT. Jika lesi kecil
diberikan dexamethasone (Decadron) dan hipertensinya dikendalikan selama kejang, dan
risiko komplikasi serius dapat diminimalkan untuk pasien. Pasien yang pernah
mengalami peningkatan tekanan intraserebral atau berisiko untuk perdarahan otak
(misalnya, orang-orang dengan penyakit serebrovaskular dan aneurisma) beresiko selama
ECT karena aliran darah meningkat otak selama kejang. Risiko ini dapat dikurangi,
meskipun tidak dihilangkan, dengan kontrol tekanan darah pasien selama perawatan.
Pasien dengan infark miokard berisiko tinggi, meskipun risikonya sangat
berkurang 2 minggu setelah infark miokard dan lebih jauh berkurang 3 bulan setelah
infark tersebut. Pasien dengan hipertensi harus distabilkan pada obat antihipertensi

18

mereka sebelum ECT diberikan. Propranolol (Inderal) dan nitrogliserin sublingual juga
dapat digunakan untuk melindungi pasien tersebut selama pengobatan.

II. 12. MORTALITAS


Tingkat kematian dengan ECT adalah sekitar 0,002 persen per pengobatan dan
0,01 persen untuk setiap pasien. Angka-angka ini sebanding dengan risiko yang terkait
dengan anestesi umum dan melahirkan. Kematian ECT biasanya akibat komplikasi
jantung dan yang paling mungkin terjadi pada pasien yang jantung statusnya sudah
dikompromikan.

II. 13. EFEK SAMPING


II. 13. 1 EFEK PADA SISTEM SARAF PUSAT
Efek samping umum yang terkait dengan ECT adalah sakit kepala,
kebingungan, dan delirium lama setelah kejang saat pasien keluar dari anestesi.
Ditandai kebingungan mungkin terjadi pada sampai dengan 10 persen dari pasien
dalam waktu 30 menit kejang dan dapat diobati dengan barbiturat dan benzodiazepin.
Delirium biasanya paling menonjol setelah beberapa perawatan pertama dan pada
pasien yang menerima ECT bilateral atau yang telah lama mengalami gangguan
neurologis. Delirium yang khas akan

hilang dalam beberapa hari atau beberapa

minggu paling lama.

II. 13. 2 MEMORI


Perhatian terbesar tentang ECT adalah hubungan antara ECT dan kehilangan
memori. Sekitar 75 persen dari semua pasien yang diberikan ECT mengatakan bahwa
gangguan memori adalah efek samping terburuk. Meskipun gangguan memori selama
pengobatan hampir aturan, tindak lanjut data menunjukkan bahwa hampir semua
pasien yang kembali ke baseline kognitif mereka setelah 6 bulan. Beberapa pasien
mengeluhkan kesulitan memori persisten. Sebagai contoh, pasien mungkin tidak ingat
kejadian yang mengarah ke rumah sakit dan ECT, dan kenangan otobiografi tersebut
tidak pernah dapat ingat. Tingkat penurunan kognitif selama perawatan dan waktu
yang dibutuhkan untuk kembali ke baseline yang terkait dengan jumlah stimulasi
listrik yang digunakan selama pengobatan. Gangguan memori yang paling sering

19

dilaporkan oleh pasien yang telah mengalami sedikit perbaikan dengan ECT.
Meskipun gangguan memori, yang biasanya sembuh, tidak ada bukti yang
menunjukkan kerusakan otak yang disebabkan oleh ECT. Dalam penelitian yang ada
hampir semua menyimpulkan bahwa kerusakan otak permanen bukan merupakan efek
samping dari ECT. Ahli saraf dan epileptologists umumnya setuju bahwa kejang yang
berlangsung kurang dari 30 menit tidak menyebabkan kerusakan saraf permanen.

II. 13. 3 EFEK SAMPING LAIN ECT


ECT sering disertai fraktur. Dengan penggunaan rutin relaksan otot, patah
tulang panjang atau vertebra seharusnya tidak terjadi. Nyeri otot dapat terjadi pada
beberapa individu, tetapi sering terjadi karena efek depolarisasi otot dengan
suksinilkolin dan kemungkinan besar akan sangat mengganggu setelah sesi pertama.
Nyeri ini dapat diobati dengan analgesik ringan, termasuk nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAIDs). Beberapa pasien juga mengalami mual, muntah, dan
sakit kepala setelah pengobatan ECT. Mual dan muntah dapat dicegah dengan
pengobatan dengan antiemetik pada saat ECT (misalnya, metoclopramide [Reglan], 10
mg IV, atau proklorperazin [Compazine], 10 mg IV, ondansetron [Zofran]
Terapi ECT juga sering disertai sakit kepala, meskipun efek ini biasanya
mudah ditangani. NSAID diberikan dalam periode pemulihan ECT. Pada pasien
dengan sakit kepala parah, pretreatment dengan ketorolac (Toradol) (30 sampai 60 mg
IV), NSAID disetujui untuk digunakan parenteral singkat yang dapat membantu.
Acetaminophen (Tylenol), tramadol (Ultram), propoxyphene (Darvon), dan analgetik
lebih ampuh, contohnya opioid dapat digunakan secara individual atau kombinasi
(misalnya, pretreatment dengan ketorolac dan manajemen post seizure dengan
acetaminophen-propoxyphene) untuk sakit kepala yang lebih keras. ECT dapat
memicu sakit kepala migren, sumatriptan (Imitrex) (6 mg SC atau 25 mg oral) dapat
menjadi tambahan yang berguna.

20

BAB III
KESIMPULAN
ECT terus mengalami perkembangan dari tahun ke tahun mulai dari saat ditemukan
pertama kali hingga saat ini.
ECT ini cukup efektif dalam penanganan pasien dengan gangguan depresi berat, dimana
perbaikan terlihat hampir pada 80-90% kasus. Pemakaian untuk pasien skizofrenia dan gangguan
manik juga memberikan perbaikan walaupun masih ada pertentangan berbagai pihak.
Sebelum dilaksanakannya ECT banyak prosedur- prosedur yang terlebih dahulu harus
dilakukan diantaranya pengisian inform consent, dimana pasien dan keluarga harus dapat
mengetahui keuntungan dan efek samping dengan dilaksanakanya terapi ECT ini. Salah satu efek
sampingnya adalah kebingungan atau kehilangan ingatan. Tapi hal ini dapat dihindari dengan
usaha diantaranya menggunankan ECT unilateral.
Terapi ECT yang sukses akan membutuhkan kerjasama yang baik atara psikiater dan
anestesiolog. Maka pelatihan dan pengetahuan tentang ECT yang benar dan adekuat sangat
dibutuhkan.

21

DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan Sadock. 2007. Synopsis of Psychiatry Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. Ed


10. USA : Kaplan&Sadock. Page 1118 1127.
2. Kusumawardhani, Al Bahri Husni. 2013. Buku Ajar Psikiatri . Ed. 2. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hal.387-389, 527.
3. Konsep Elektro Convulsive Therapy. Scribd. (http://www.scribd.com/doc/71290787/KonsepElectro-Convulsive-Therapy)
4. Makalah terapi somatic jiwa. Scribd (http://www.scribd.com/doc/47579389/MAKALAHTERAPI-SOMATIC-JIWA)
5. ECT treatment. Royal College of Psychiatrists
(http://www.rcpsch.ac.uk/mentalhealthinfo/treatment/ect.aspx)
6. Brain

stimulation

therapies.

National

Institute

of

mental

Health

(http://www.nimh.nih.gov/health/topics/brain-stimulation-therapies/brain-stimulationtherapies.shtml)

22

Anda mungkin juga menyukai