Anda di halaman 1dari 21

ILMU KESEHATAN JIWA

Dukungan Keluarga pada Pasien Behaviour and Psychological Symptom


of Dementia (BPSD)

Disusun oleh:

Pembimbing:
dr. Citra Fitri Agustina, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA


RS JIWA ISLAM KLENDER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE JUNI – JULI 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Behaviour and
Psychological Symptom of Dementia (BPSD)”. Referat ini disusun untuk
memenuhi syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kedokteran
Jiwa.
Penyusunan referat ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai
pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Citra Fitri
Agustina, Sp.KJ atas bimbingnnya selama penulis menyelesaikan referat ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan coass atas dukungan
yang telah diberikan. Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis
harapkan demi perbaikan materi penulisan dan menambah wawasan penulis.

Jakarta, April 2020

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………….3

2.1 Definisi Penyebab……………………………………………………3

2.2 Epidemiologi………………………………………………………...3

2.3 Etiologi………………………………………………………………4

2.4 Gambaran Klinis…………………………………………………….5

2.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding…………………………………..9

2.6 Tatalaksana…………………………………………………………10

2.7 Prognosis…………………………………………………………...16

KESIMPULAN………………………………………………………………..17

DAFTAR PUSTAKA…………………………..………………………...……18
BAB I
PENDAHULUAN

Peningkatan jumlah populasi lanjut usia (lansia) memberi dampak pula


pada meningkatnya gangguan neuropsikiatri pada lansia. Individu yang berusia
lebih dari 80 tahun akan mempunyai risiko tinggi untuk mengalami gangguan
neuropsikiatri.
Hingga kini demensia masih merupakan salah satu gangguan pada lansia
yang sangat ditakuti. Di seluruh dunia saat ini diperkirakan lebih dari 30 juta
orang menderita demensia. Aspek psikiatri yang sangat penting untuk
diperhatikan dalam rangka penatalaksanaan yang komprehensif dan
berkesinambungan adalah adanya BPSD. Meskipun etiologi BPSD masih belum
jelas, ada beberapa faktor yang dapat berkontribusi, seperti faktor biologi, aspek
psikologis, aspek sosial dan lingkungan.
BPSD bermakna secara klinis ditemukan di sekitar sepertiga dari orang-
orang yang terkena dengan dementia. Prevalensi BPSD meningkat menjadi
hampir 80% pada orang dengan demensia yang berada di pelayanan keperawatan.
BPSD gejala cenderung berfluktuasi, sedangkan gejala kognitif demensia, seperti
memori, perhatian, konsentrasi, dan penurunan kerja. Gejala yang muncul selama
studi tentang psikopatologi orang dengan demensia termasuk gangguan mood
cluster (depresi, kecemasan, dan apatis / acuh tak acuh), cluster psikotik (delusi
dan halusinasi), perilaku menyimpang motorik klaster (mondar-mandir,
keluyuran, dan perilaku tanpa tujuan lain), dan perilaku tidak pantas klaster
(depresi, kecemasan, dan apatis / acuh tak acuh, agitasi, rasa malu, dan euforia).
Dalam sebuah penelitian terhadap 100 pasien dengan otopsi yang
dikonfirmasi Penyakit Alzheimer (AD), Jost dan Grossberg terdokumentasi
iritabilitas, agitasi, agresi dan di 81% dari orang rata-rata dari 10 bulan setelah
diagnosis; depresi, perubahan suasana hati, penarikan sosial, dan keinginan bunuh
diri pada 72% dari orang 26,4 bulan sebelum diagnosis; dan halusinasi, paranoid,
perilaku menuduh, dan delusi di 45% dari orang-orang 1 bulan setelah diagnosis.

1
Berdasarkan dari peningkatan jumlah populasi lansia tersebut di Indonesia
yang mengalami BPSD selalu meningkat. Maka dari itu penulis ingin
memaparkan tulisan berupa referat yang berjudul Behavioral And Psychological
Symptoms Of Dementia.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Penyebab


Asosiasi Psychogeriatric Internasional mendefinisikan istilah BPSD
sebagai “Gejala gangguan persepsi, isi pikir, suasana hati, atau perilaku yang
sering terjadi pada pasien dengan demensia” (Khairah, 2012).

2.2. Epidemiologi
Angka untuk BPSD yang bermakna secara klinis meningkat sampai
hampir 80% untuk pasien demensia yang berada di lingkungan perawatan.
Dua penelitian berbasis populasi dari Amerika Serikat (Lyketsos et al,
2000) dan dari Inggris (Burns et al, 1990), menunjukkan angka prevalensi
yang sama, yaitu sekitar 20% untuk BPSD pada orang dengan penyakit
Alzheimer. Berbeda dengan disfungsi kognitif pada demensia yang
semakin memburuk dari waktu ke waktu, BPSD cenderung berfluktuasi,
dengan agitasi psikomotor yang paling persisten (Khairah, 2012).
Pada 2016, prevalensi demensia di seluruh dunia adalah sekitar 43,8 juta
mewakili peningkatan 117% dari tahun 1990 dan 28,8 juta tahun kehidupan
yang disesuaikan dengan kecacatan, dan itu adalah penyebab kematian kelima
terbesar di dunia. Mayoritas pasien dengan demensia mengalami BPSD di
beberapa titik: ketika individu yang tinggal di komunitas dengan demensia
telah menjalani penilaian dalam studi longitudinal, hingga 97% dipengaruhi
oleh setidaknya satu gejala, paling umum depresi atau apatis, meskipun
delusi, agitasi, dan  perilaku motorik yang menyimpang (misalnya, perilaku
gelisah, perilaku berulang, berkeliaran) terjadi pada sekitar sepertiga pasien. 
Tingkat keparahan gejala meningkat seiring waktu dan berkorelasi dengan
penempatan institusi.  Sementara beberapa penelitian telah menandai gejala
BPSD menurut etiologi demensia, delusi tampaknya paling umum pada
penyakit Alzheimer, depresi, dan apatis pada demensia vaskular, dan
disinhibisi dan gangguan makan pada demensia frontotemporal.
2.3. Etiologi

3
Pada umumnya penyebab dari BPSD dibagi menjadi 3 faktor yaitu faktor
biologis, psikologis, dan sosial atau lingkungan.
1. Faktor Biologis
Lesi otak yang berhubungan dengan demensia dan perubahan dari
dalam transmisi saraf telah dikaitkan dengan BPSD tertentu. Efeknya
dapat dikaitkan dengan faktor biologis lain seperti faktor komorbiditas
atau yang berhubungan dengan pengobatan maupun genetik.
Beberapa penelitian neuroanatomi telah dilakukan yang
menghubungkan BPSD dengan lesi otak terkait demensia. Sebagai
contohnya, apatis dikaitkan dengan hipoperfusi pada korteks cingulate
anterior dan struktur fronto-subkortikal. Hipoperfusi pada lobus frontal
atau temporal juga ditemuka berkorelasi dengan agresi dan psikosis.
Perubahan neurotransmisi dan neuromodulasi juga ditemukan
berhubungan dengan kejadian BPSD. Perubahan aktivitas kolinergik di
korteks frontal dan temporal dapat dikaitkan dengan aktivitas motorik
yang menyimpang dan perilaku agresif, Halusinasi visual dikaitkan
dengan defisit pada korteks temporal. Agresi berhubungan dengan
penurunan dopamine pada korteks temporal. Penurunan norepinefrin
berhungan dengan perilaku agresif, demikian pula apatis berkorelasi
dengan disfungsi dopaminergik. Konsentrasi serotonin berkolerasi positif
dengan agresivitas, kecemasan, kegelisahan dan agitasi (Tible et al, 2017)

2. Faktor Psikologis
Diantara penyebab somatik BPSD yang paling sering terjadi ialah
infeksi, nyeri, ketidakseimbangan elektrolit atau gangguan metabolisme,
rentensi urin, konstipasi, serumen dan lainnya. Semua hal tersebut dapat
menyebabkan BPSD terutama rasa sakit seperti insomnia, agresivitas dan
agitasi.
Perubahan kepribadian terjadi ketika demensia berkembang. Pasien
yang telah curiga atau agresif sebelum demensia dimulai lebih
memungkinkan memiliki BPSD dibandingkan dengan mereka yang tidak

4
memiliki sifat tersebut. Namun korelasi tersebut tidak selalu ditemukan.
Penyakit kejiwaan dapat menjadi faktor risiko demensia.

3. Faktor Sosial dan Lingkungan


Kehidupan yang penuh tekanan baik pada masa kanak-kanak
maaupun dewasa meningkatkan resiko BPSD dalam demensia, diantara
etipatogenik lainnya, peningkatan kerentanan terkait dengan hipotropi dan
hippocampus dan penghambatan perilaku atau keterikatan yang tidak
aman.
Perubahan kegiatan rutin bisa menyebabkan orang dengan
demensia bingung dan terjadi perubahan perilaku. Perubahan suasana
ruangan, lingkungan (contoh : perubahan/relokasi ruangan dapat
meningkatkan agitasi dan disorientasi pada pasien demensia).

2.4. Gambaran Klinis


A. Disinhibisi
Pasien dengan disinhibisi berperilaku impulsif, menjadi mudah
terganggu, emosi tidak stabil, memiliki wawasan yang kurang sehingga
sering menghakimi, dan tidak mampu mempertahankan tingkat perilaku
sosial sebelumnya. Gejala lain meliputi: menangis, euforia, agresi verbal,
agresi fisik terhadap orang lain dan benda-benda, perilaku melukai diri sendiri,
disinhibisi seksual, agitasi motorik, campur tangan, impulsif, dan
mengembara.
B. Agitasi
Agitasi didefinisikan sebagai aktivitas yang tidak pantas, baik
secara verbal, vokal, atau motor. Subtipe dari agitasi tercantum dalam tabel
berikut:

Tabel 1 Subtipe Agitasi:

5
Perilaku fisik non agresif: Perilaku verbal non agresif:
 Kegelisahan umum  Negativism
 Mannerism berulang  Tidak menyukai apapun
 Mencoba mencapai tempat yang  Meminta perhatian
berbeda  Berkata-kata seperti bos
 Menangani sesuatu secara tidak  Mengeluh/melolong
sesuai  Interupsi yang relevan
 Menyembunyikan barang  Interupsi yang irelevan
 Berpakaian tidak sesuai atau
tidakberpakaian
 Menghukum berulang

Perilaku fisik agresif: Perilaku verbal agresif:


 Memukul  Menjerit
 Mendorong  Mengutuk
 Menggaruk  Perangai meledak-ledak
 Merebut barang  Membuat suara aneh
 Kejam terhadap manusia
Menendang dan menggigit

C. Wandering
Beberapa perilaku yang termasuk wandering, yaitu:
 memeriksa (berulang kali mencari keberadaan caregiver)
 menguntit
 berjalan tanpa tujuan
 berjalan waktu malam
 aktivitas yang berlebihan
 mengembara, tidak bisa menemukan jalan pulang
 berulang kali mencoba untuk meninggalkan rumah.

D. Reaksi Ledakan Amarah / Katastrofik


Dalam salah satu penelitian terhadap 90 pasien dengan gangguan AD
cukup ringan, ledakan marah tiba-tiba terjadi pada 38% pasien. Selain itu,

6
didapatkan hal-hal sebagai berikut:
 ledakan amarah tiba-tiba dikaitkan dengan meningkatnya aktivitas dan
perilaku agresif
 tidak ada hubungan yang ditemukan antara ledakan amarah dan
penampilan sikap apati, depresi, atau kegelisahan
 perilaku agresif memberikan kontribusi paling banyak terkait gejala
nonkognitif dan ledakan marah tiba-tiba
 reaksi bencana dapat dipicu oleh gejala kognitif dan non-kognitif,
seperti : kesalahpahaman, halusinasi, dan delusi.

Gejala Psikologis pada Demensia


A. Gejala Mood
1. Depresi
Adanya depresi pada pasien dengan demensia sebelumnya mungkin
memperburuk defisit kognitif pasien. Gangguan depresi harus
dipertimbangkan ketika ada satu atau lebih kondisi berikut ini: mood depresi
yang meresap dan anhedonia, pernyataan menyalahkan diri dan menyatakan
keinginan untuk mati, dan riwayat depresi pada keluarga atau pasien
sebelum timbulnya demensia.
Kebanyakan penelitian yang telah dilakukan pada pasien dengan AD
menunjukkan mood depresi terjadi paling sering (40-50% pasien) dan
gangguan depresi mayor yang tidak begitu umum (10 - 20%). Riwayat
premorbid depresi meningkatkan kemungkinan perkembangan depresi pada
AD.3 Pasien dengan demensia vaskular dilaporkan mengalami mood depresi
lebih sering daripada pasien dengan AD.
2. Apati
Apati terlihat menonjol pada demensia frontotemporal, penyakit
Alzheimer, dan kelumpuhan supranuclear progresif. Apati terjadi hingga
50% dari pasien pada tahap awal dan menengah AD dan demensia
lainnya. Pasien yang apati menunjukkan kurangnya minat dalam kegiatan
sehari-hari, perawatan pribadi dan penurunan dalam berbagai jenis interaksi

7
sosial, ekspresi wajah, modulasi suara, respon emosional, dan inisiatif.
3. Kecemasan
Kecemasan dalam demensia mungkin terkait dengan manifestasi BPSD
lain atau terjadi secara independen. Pasien demensia dengan kecemasan akan
mengekspresikan keprihatinan mengenai masalah keuangan, masa depan,
kesehatan (termasuk memori mereka), kekhawatiran tentang acara
nonstressful sebelumnya, dan kegiatan seperti berada jauh dari rumah.3
Karakteristik gejala kecemasan lain dari pasien demensia adalah takut
ditinggalkan sendirian. Ketakutan ini dapat dianggap fobia apabila
kecemasan di luar batas kewajaran. Pasien dengan AD kadang-kadang
memperlihatkan fobia lainnya, seperti takut kerumunan, perjalanan, gelap,
atau aktivitas seperti mandi.

Gejala Psikotik
1. Waham
Manifestasi psikosis mencakup gejala positif (waham, halusinasi,
gangguan komunikasi, aktivitas motorik yang abnormal) dan gejala negatif
(avolition, kemiskinan isi pikiran, afek datar). Lima tipe waham terlihat pada
demensia (terutama demensia tipe Alzheimer), yaitu:
a. Barang kepunyaannya telah dicuri.
b. Rumah bukan kepunyaannya (misidentifikasi).
c. Pasangan (atau pengasuh lainnya) adalah seorang penipu (Sindrom
Capgras).
d. Pengabaian / Ditinggalkan
e. Ketidaksetiaan.
2. Halusinasi
Perkiraan frekuensi halusinasi pada demensia berkisar dari 12%-49%.
Halusinasi visual adalah yang paling umum (terjadi pada 30% pasien dengan
demensia) dan ini lebih sering terjadi pada demensia yang moderat
dibandingkan demensia ringan atau berat. Gambaran halusinasi secara umum
berupa gambaran orang-orang atau hewan-hewan. Pada demensia Lewy

8
Body, laporan frekuensi halusinasi visual sekitar 80%. Pasien demensia
juga mungkin mengalami halusinasi auditorik (sekitar 10%), namun jarang
untuk halusinasi jenis lain, seperti yang bersifat penciuman atau taktil.
3. Misidentifikasi
Misidentifikasi dalam demensia adalah kesalahan persepsi stimuli eksternal.
Misidentifikasi terdiri dari:
 Kehadiran orang-orang di rumah pasien sendiri (Boarder Phantom
Syndrome)
 Kesalahan identifikasi diri pasien sendiri (tidak mengenali bayangan diri
sendiri di cermin)
 Kesalahan identifikasi orang lain
 Kesalahan identifikasi peristiwa di televisi (pasien mengimajinasikan
peristiwa tersebut terjadi secara nyata).

2.5 Diagnosis
Tabel 2. Skala diagnostic untuk penilaian gangguan kepribadian pada pasien demensia
Skala Fokus Scoring
Montgomery-Asberg Skala untuk menilai Terdapat 10 pertanyaan
Depression Rating Scale manifestasi depresi dengan skor maksimal 60
(MADRS) point. Skor 28
menunjukan depresi berat
Pain Assessment in Skala untuk menilai nyeri Skor >2 menandakan
Advanced pada pasien demensia pasien dalam keadaan
Dementia Scale nyeri
(PAINAD)
Nurses Observation Scale Skala untuk menilai Semakin tinggi skor
of Geriatric Patients kondisi fungsional pada menandakan semakin
(NOSGER) pasien Geriatri berat gangguan
fungsional
Cohen-Mansfield Skala untuk penilaian 29 tipe perilaku agitasi
Agitation Inventory kuantitatif dan kualitatif dengan skor 1 untuk tidak

9
(CMAI) gangguan perilaku pada pernah sampai skor 7
pasien demensia untuk beberapa kali per
jam
Neuropsychiatric Peniliaian gangguan 12 area perilaku dinilai
Inventory (NPI) perilaku pada pasien secara longitudinal
demensia dan beban berkenaan dengan
pengasuh anggota frekuensi, keparahan dan
keluarga beban.
Empirical Pathology in Penilaian tingkat 25 manifestasi perilaku
Alzheimer’s Disease keparahan gangguan dan penilaian global
Rating Scale (E- perilaku pada pasien terhadap beban anggota
BEHAVE-AD) Alzheimer, serta keluarga; skala empat
penilaian beban anggota point untuk penilaian
keluarga longitudinal dari 0 (tidak
ada) sampai 3 (sekarang
dengan komponen fisik)

Diagnosis Banding
 Delirium
 Schizophrenia
 Bipolar disorder
 Major depressive disorder
 Post-traumatic stress disorder
 Central nervous system (CNS) neoplasm (Cloak, 2020)

2.6 Tatalaksana BPSD


2.6.1 Terapi farmakologis
1. Anti Dementia
Ada beberapa bukti bahwa inhibitor cholinesterase dan memantine
mungkin berguna dalam penatalaksanaan BPSD. Inhibitor linierase dapat
meningkatkan fitur afektif pada demensia ringan hingga sedang.  Inhibitor
cholinesterase dan memantine mungkin efektif untuk mengobati BPSD. 
Memang, donepezil dapat meringankan BPSD berikut dalam demensia

10
ringan sampai sedang: apatis, depresi, ketegangan, lekas marah.  Ada
temuan serupa untuk galantamine dan rivastigmine.  Namun, pengobatan
agitasi pada AD oleh donepezil tampaknya tidak efisien.  Sebagai
kesimpulan, inhibitor cholinesterase memiliki khasiat tertentu pada gejala
negatif. Memantine mungkin lebih efektif pada gejala positif termasuk
agitasi, delusi dan halusinasi, serta agresi pada AD sedang hingga parah. 
Akhirnya, obat antidementia dapat mengurangi kejadian BPSD (Olivier,
2017). 

2. Anti Psikotik
Antipsikotik belum disetujui untuk penggunaan klinis dalam demensia,
kecuali risperidon, setidaknya di beberapa negara.  Dengan demikian,
dokter harus merujuk pada undang-undang negara mereka sebelum
memperkenalkan obat antipsikotik untuk mengobati BPSD.  Anti-psikotik
atipikal seperti risperidone dan aripiprazole adalah di antara obat yang
paling sering diresepkan (dan mungkin terlalu sering) di BPSD.  Mereka
efektif dalam pengobatan gejala psikotik, agitasi dan agresi. Efek samping
yang terkait dengan antipsikotik atipikal termasuk efek antikolinergik,
hipotensi ortostatik, kejang, sindrom metabolik, kenaikan berat badan,
gejala ekstrapiramidal, sedasi dan perpanjangan QT.  Meningkatnya
kematian dan risiko insiden serebrovaskular telah menyebabkan peringatan
kotak hitam untuk penggunaan antipsikotik dalam demensia.  Antipsikotik
dapat diperlukan dan membantu dalam pengobatan BPSD tertentu, tetapi
penggunaannya harus dibatasi waktu.  Evaluasi berkala terhadap risiko dan
manfaat diperlukan selama pengobatan. Sementara bukti tentang
efektivitas quetiapine untuk BPSD beragam, ini banyak digunakan secara
klinis. Karena profil efek samping yang menguntungkan, terutama
mengenai tanda-tanda ekstrapiramidal, quetiapine mungkin memiliki nilai
khusus untuk BPSD, terutama pada pasien dengan Parkinson (Olivier,
2017).

11
3. Anti Depresan
Depresi dan kecemasan adalah salah satu BPSD yang paling umum dan
terapi antidepresif yang efektif dalam demensia dapat meningkatkan
kognitif dan gejala afektif serta bentuk-bentuk BPSD lainnya, seperti
agitasi dan agresivitas. SSRI memiliki toleransi yang wajar dan respons
pengobatan yang baik.  Dalam demensia, SSRI (khususnya citalopram)
sama manjurnya dengan antipsikotik atipikal untuk mengobati agitasi.
SSRI dapat dikaitkan dengan efek samping yang parah seperti
perpanjangan QT dan hyponatremia (Olivier, 2017).

4. Kolinergik Inhibitor
Pedoman saat ini mendukung penggunaan ChEI untuk BPSD meskipun
ada rekomendasi yang berbeda untuk masing-masing obat tertentu.
Donepezil, galantamine, atau rivastigmine semuanya telah menunjukkan
efek sederhana pada spektrum luas dari gejala neuropsikiatrik pada AD.
Mereka harus dimulai sebelum penggunaan agen psikotropika lainnya
karena ChEI mengurangi perubahan perilaku dan meningkatkan atau
menunda penurunan kognitif dan fungsional.  Gejala perilaku yang paling
mungkin membaik dengan pengobatan ChEI tampaknya apatis, depresi,
dan perilaku motorik yang menyimpang (Cerejeira, 2012).

5. Mood Stabilizer
Meskipun carbamazepine menunjukkan beberapa manfaat untuk agitasi
dalam demensia, mood stabilizer sering dikaitkan dengan efek samping
yang parah. Oleh karena itu, asam valproat tidak dianjurkan.  Ada
beberapa pengalaman klinis dan bukti terbatas untuk gabapentin dan
lamotrigin dalam pengobatan BPSD (Olivier, 2017).

6. Benzodiazepine
Bukti untuk kemanjuran benzodiazepin di BPSD masih kurang. 
Benzodiazepine berhubungan dengan sedasi, pusing, jatuh, kognisi yang

12
memburuk, depresi pernafasan, ketergantungan dan disinhibisi paradoks
pada orang tua.  Dengan demikian mereka hanya direkomendasikan untuk
pengelolaan krisis akut, jika metode lain gagal.  Penggunaannya harus
dibatasi dalam waktu dan tidak boleh ditentukan sebagai hipnosis(Olivier,
2017).

2.6.2 Terapi Non-farmakologis


1. Modifikasi lingkungan
Lingkungan di sekitar pasien dapat dimodifikasi untuk efek
menguntungkan pada BPSD.  Lingkungan dapat alami, ditingkatkan, atau
dikurangi stimulasi lingkungannya, tergantung pada kebutuhan.  Lingkungan
alami dapat meniru alam sekitarnya yang terdiri dari suara kicauan burung,
celoteh anak sungai atau binatang kecil, bersama dengan pemandangan yang
besar yang cerah.  Lingkungan yang ditingkatkan dapat menjadi lingkungan
rumah yang disimulasikan dengan rangsangan visual, pendengaran dan
penciuman yang tepat yang dapat mengurangi kemungkinan masuk tanpa
izin, pencarian keluar, dan perilaku agitasi lainnya. Lingkungan stimulasi
yang dikurangi dirancang dengan pintu yang disamarkan, warna dan gambar
netral di dinding, tidak ada televisi, radio, pemutar stereo atau telepon yang
berdering, ditambahkan dengan rutinitas harian yang konsisten, dan ucapan
yang lambat dan lembut untuk komunikasi. Modifikasi ini membantu
mengurangi agitasi dan penggunaan pengekangan.

Lingkungan yang tenang, tidak melelahkan, pencahayaan yang baik,


penempatan yang menonjol dari objek yang sering dibutuhkan, jam, dan
kalender sangat membantu.  Warna dinding lembut, lantai yang tidak licin,
kontras antara dinding dan lantai, pegangan tangan sangat berguna.  Ruangan
pengembara di mana pasien yang gelisah dapat bergerak dengan aman dan
dapat mencegah berkeliaran.  Ketika orang itu mampu pergi keluar, akses ke
area luar ruangan menghasilkan penurunan agitasi.  Lingkungan dapat
dimodifikasi dengan memasang pencahayaan siang hari yang memadai untuk

13
memperbaiki pola tidur pada pasien dengan siklus bangun tidur yang
terganggu.

Instruksi yang jelas dan berulang-ulang, arah visual ke ruangan yang


berbeda melalui garis warna dan gambar dapat mengurangi kebingungan. 
Lingkungan harus dijaga tanpa sering berubah;  harus ada perubahan
minimum pengasuh atau staf.

2. Interaksi sosial
  Interaksi satu lawan satu selama 30 menit per hari selama 10 hari telah
terbukti efektif dalam mengurangi perilaku yang mengganggu secara verbal.
Interaksi dalam bahasa ibu dan interaksi intensif yang teratur membantu
dalam orientasi realita.  Sosialisasi dapat ditingkatkan dengan aktivitas
kelompok, tugas bersama dan permainan sederhana.

  Dalam "simulated presence therapy" audio atau video yang mengandung


bagian interaksi relatif diputar, dan jeda diberikan yang memungkinkan
pasien untuk menanggapi pertanyaan kerabat.  Menampilkan foto dan nama
keluarga dan teman di ruang tamu pasien juga sangat membantu.
Menghabiskan waktu dengan hewan peliharaan atau memiliki hewan
peliharaan di rumah (pet therapy) dapat mengurangi agitasi dan agresi verbal.

3. Meminimalkan dampak defisit sensorik


  Kacamata korektif dan alat bantu dengar dapat mengurangi risiko
disorientasi. Penjelasan yang lambat dan berulang mengurangi kebingungan
dan agitasi.  Stimulasi sensori atau peningkatan melalui pijatan dan sentuhan,
aromaterapi telah dicoba, tetapi tidak ada dampak signifikan yang
dilaporkan.  Data yang mendukung kemanjuran aromaterapi langka;
konsekuensi positif dan negatif telah dilaporkan.

4. Intervensi medis dan keperawatan

14
  Manajemen rasa sakit yang cepat sangat membantu;  periode spesifik
mengenai nyeri sangat penting dalam hal ini.  Praktek hygiene saat tidur, yang
mengarah pada tidur yang cukup di malam hari diketahui dapat mengurangi
agitasi. Telah disarankan bahwa agitasi yang disebabkan oleh kelelahan dan
gangguan ritme sirkadian dapat dikurangi dengan terapi cahaya terang.
Meskipun ada beberapa bukti untuk pengaruh terapi cahaya pada aktivitas
tidur dan sirkadian, tidak mungkin untuk menyimpulkan tentang kemanjuran
terapi cahaya untuk BPSD atau tentang kepraktisan dalam pengaturan klinis
dan keamanan. Terapi musik telah terbukti efektif untuk mengurangi BPSD
pada pasien dengan demensia sedang-berat.

5. Intervensi perilaku
  Metode seperti kepunahan, penguatan diferensial dan kontrol stimulus
telah digunakan selain intervensi perilaku lainnya.  Penguatan termasuk
penguatan sosial, makanan, sentuhan, pergi keluar, dll. Dampak positif dari
kegiatan, rutinitas harian yang konsisten telah dilaporkan.  Kegiatan fisik dan
sosial, menonton dan mendengarkan, bersama dengan penitipan anak telah
mempengaruhi BPSD, terutama perilaku gelisah. Layanan hari dewasa dapat
mendukung dengan kegiatan dan strategi perilaku yang lebih bertarget untuk
pasien dan perawat dalam mengelola BPSD. Latihan, menghilangkan
pengekangan, dan istirahat yang cukup membantu mengurangi perilaku yang
tidak pantas.  Kegiatan spiritual dan keagamaan yang penting bagi pasien
membantu untuk tetap terlibat dalam pengamatan ritualistik.

6. Pelatihan staf dan pengasuh


  Pelatihan dan pendidikan pengasuh atau staf tentang memahami BPSD
dan meningkatkan metode mengatasi kebutuhan mereka telah menunjukkan
hasil yang bermanfaat.  Contoh program tersebut adalah sebagai berikut:
program CARE (Calming Aggressive Reactions in the Eldery), NACSP
(Nursing Assistant Communication Skill Program), program yang berfokus

15
pada kemampuan perawatan di pagi hari, dan pelatihan kegiatan sehari-hari.
Salah satu poin pembelajaran adalah berkomunikasi dengan jelas, yang
membantu pasien untuk memahami lingkungan mereka, dan ini menyebabkan
menurunnya rasa frustrasi, kemarahan dan agresi.

2.7 Prognosis
Demensia dikaitkan dengan penurunan yang signifikan dalam harapan hidup
dibandingkan dengan kontrol yang sesuai usia, dengan kelangsungan hidup
rata-rata dari diagnosis mulai dari 4,5 tahun untuk pria dengan tubuh Lewy
atau Parkinsonian demensia hingga 12 tahun untuk wanita dengan penyakit
Alzheimer.  BPSD berkorelasi dengan perkembangan demensia yang lebih
cepat dan kematian dini;  apakah pengobatan memiliki dampak pada
variabel-variabel ini tidak diketahui (Cloak, 2020).

16
BAB III
KESIMPULAN

Behavioral And Psychological Symptoms Of Dementia sebagai “Gejala


gangguan persepsi, isi pikir, suasana hati, atau perilaku yang sering terjadi pada
pasien dengan demensia. Meskipun etiologi BPSD masih belum jelas, ada
beberapa faktor yang dapat berkontribusi, seperti faktor biologi, aspek psikologis,
dan aspek sosial dan lingkungan.
Gejala perilaku pada demensia yaitu disinhibisi, agitasi, wandering, dan
reaksi ledakan amarah/katastrofik. Gejala psikologis pada demensia yaitu terdiri
dari gejala mood (depresi, apati, kecemasan) dan gejala psikotik (waham,
halusinasi, misidentifikasi).
Penanganan Behavioral And Psychological Symptoms Of Dementia baik
secara terapi farmakologis seperti : anti dementia, anti psikotik, anti depresan,
kolinergik inhibitor, mood stabilizer dan benzodiazepine. Serta digunakan terapi
non-farmakologis seperti terapi kognitif, stimulasi sensoris, behavior
management, dan psychosocial intervention.

17
DAFTAR PUSTAKA

Cerejeira J, Lagarto L, dan Mukaetova E. 2012. Behavioral and


Psychological Symptoms of Dementia. Frontiers in Neurology Vol. 3
Cloak N, Al Khalili Y. 2020. Behavioral and Psychological Symptoms in
Dementia (BPSD). Treasure Island: StatPearls Publishing
Khairah, Siti dan Margono, Hendy. 2012. Neurobiology Aspect of
Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia (BPSD). Jurnal Psikiatri
Surabaya Vol. 1 No 1
Kratz T. 2017. The diagnosis and treatment of Behavioral Disorder in
Demensia. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5523798/ Diakses pada
21 April 2020 pukul 21.00
Olivier, P, dkk. 2017. Best Practice in The Management of Behavioural
and Psychological Symptoms of Dementia. Therapeutic Advances in Neurological
Disorder Vol 10(8): 297-309

18

Anda mungkin juga menyukai