Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Nomophobia

1. Pengertian Nomophobia

Istilah nomophobia muncul pertama kali setelah penelitian yang dilakukan

oleh Uk Post Office pada tahun 2008 yang meneliti kecemasan pada pengguna

ponsel (SecurEnvoy, 2012). Nomophobia merupakan rasa takut berada diluar

kontak ponsel dan dianggap sebagai fobia modern yang dihasilkan dari interaksi

individu dengan teknologi informasi dan komunikasi khususnya smartphone.

Nomophobia secara harfiah adalah “no mobile phone” yang merupakan ketakutan

berada jauh dari smartphone (Yildirim, 2014; King, 2014). Merujuk pada orang-

orang yang mengalami nomophobia ada dua istilah sehari-hari yang dapat

digunakan yaitu nomophobe dan nomophobic. Nomophobe merupakan kata benda

dan mengacu pada seseorang yang menderita nomophobia, sedangkan

nomophobic adalah kata sifat yang mengambarkan karakteristik nomophobe atau

perilaku yang berhubungan dengan nomophobia (Yildirim, 2014).

Jika seseorang berada dalam suatu area yang tidak ada jaringan,

kekurangan saldo atau bahkan lebih buruknya kehabisan baterai, orang

tersebut akan merasa cemas, yang memberikan efek merugikan sehingga

memengaruhi tingkat konsentrasi seseorang. Penggunaan smartphone yang terus-

menerus dapat menyebabkan perubahan dari smartphone yang hanya sekedar

symbol menjadi sebuah kebutuhan dimana smartphone menyediakan berbagai

11
fitur seperti diari pribadi, email, kalkulator, video game player, kamera, dan

pemutar musik (Yildirim, 2014).

12
12

fitur seperti diari pribadi, email, kalkulator, video game player, kamera, dan

pemutar musik (Yildirim, 2014).

King, Valenca, Silva, Sancassiani, Machado, & Nardi (2014)

mengatakan nomophobia adalah kecemasan yang terjadi karena tidak ada kontak

akses terhadap ponselnya. Nomophobia diartikan tidak hanya seseorang yang

cemas karena tidak membawa ponsel, namun ketakutan dan kecemasan tersebut

dapat terjadi karena berbagai kondisi, misal tidak ada jangkauan jaringan,

kehabisan baterai, tidak ada jaringan internet, kehabisan kuota, dll. Mayangsari

(2012) menyebutkan bahwa nomophobia adalah jenis fobia yang ditandai

ketakutan berlebihan jika seseorang kehilangan ponselnya.

Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa nomophobia merupakan rasa

takut berada diluar kontak ponsel dan dianggap sebagai fobia modern sebagai

efek samping dari interaksi antara manusia, teknologi informasi dan komunikasi

khususnya smartphone.

Nomophobia memiliki pengertian yang kurang lebih sama dengan

kecanduan smartphone, kecanduan internet, dan fear of missing out (FoMO).

Smartphone Addiction Disorder (SPAD) atau kecanduan smartphone adalah

penggunaan smartphone yang kompulsif dimana seseorang menggunakannya

secara berlebihan dan menyebabkan gangguan fungsi sosial, fisik, dan kognitif

yang signifikan. Kehilangan atau terpisah dengan smartphone (baik secara fisik

atau kehabisan daya baterai) menyebabkan setidaknya lima gejala seperti

ketakutan, atau kecemasan, gemetar, berkeringat, tekanan darah meningkat,

perasaan kesepian dan serangan panik yang sebelumnya dikenal sebagai


13

nomophobia. Gejala tersebut akan berhenti ketika kembali menerima

smartphone (Tran, 2016). (Rossa, 2016) mengatakan smartphone addiction atau

kecanduan dalam menggunakan smartphone secara berlebihan yang bila

digunakan dalam jangka waktu yang lama dan terus-menerus maka akan

memungkinkan seseorang tersebut mengalami gejala nomophobia.

Begitu juga dengan pengertian kecanduan internet yang mempunyai

sedikit pengertian yang sama dengan nomophobia. Nomophobia adalah perasaan

takut seseorang yang berlebihan apabila tidak dapat terhubung dengan internet

atau berjauhan dari smartphone miliknya (King, Valenca & Nardi, 2010).

Sedangkan pengertian dari kecanduan internet menurut Young (2010) adalah

bahwa kecanduan internet merupakan sebuah sindrom yang ditandai dengan

menghabiskan sejumlah waktu yang sangat banyak dalam menggunakan internet

dan tidak mampu mengontrol penggunaanya saat online. Begitu juga dengan

pengertian fear of missing out (FoMO), Przyblylski, Murayama, DeHaan dan

Gladwell (2013) mendefinisikan fear of missing out (FoMO) merupakan

ketakutan akan kehilangan momen berharga individu atau kelompok lain di

mana individu tersebut tidak dapat hadir di dalamnya dan ditandai dengan

keinginan untuk tetap terus terhubung dengan apa yang orang lain lakukan

melalui internet atau dunia maya.

Berdasarkan pengertian-pengertian yang dipaparkan di atas baik

nomophobia, kecanduan internet dan fear of missing out (FoMO), sama

memiliki indikasi menghabiskan waktu yang banyak terhadap internet, hanya

saja yang berbeda adalah nomophobia lebih menekankan kepada merasa cemas
14

atau khawatir jika tidak bisa menggunakan ponselnya secara keseluruhan, dalam

artian secara keseluruhan adalah semua fasilitas yang dimiliki oleh smartphone

baik itu pesan teks, panggilan, social media, game, media player dan juga

internet (tidak hanya terbatas pada internet). Sedangkan kecanduan internet lebih

kepada ketidakmampuan untuk menghentikan kegiatan atau apapun tentang

semua penggunaan internet. Lalu fear of missing out (FoMO) adalah ketakutan

akan kehilangan momen atau informasi dari orang-orang sekitar di dunia maya

sehinggan membuat seseorang tersebut selalu ingin terhubung dengan internet

atau dengan bahasa lain takut jika dirinya tidak up to date tentang berita-berita

terkini di social media.

2. Aspek-aspek Nomophobia

Yildirim (2014) menjelaskan nomophobia memilki empat aspek, yakni:

a. Perasaan tidak bisa berkomunikasi

Aspek ini berhubungan dengan adanya perasaan kehilangan ketika secara

tiba-tiba terputus komunikasi dengan orang lain atau tidak dapat

menggunakan layanan pada smartphone disaat tiba-tiba membutuhkan

komunikasi. Selain itu, individu juga akan merasa cemas apabila dirinya tidak

menggunakan smartphone dikarenakan tidak dapat menerima panggilan dari

orang lain. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa individu akan merasa

cemas dan kehilangan komkunikasi dengan orang lain apabila tidak

menggunakan smartphone.
15

b. Kehilangan konektivitas

Aspek kedua ini merujuk pada perasaan kehilangan ketika tidak dapat

terhubung dengan layanan pada smartphone dan tidak dapat terhubung pada

identitas sosialnya terkhusus di media sosial. Selain itu, kehilangan

konektivitas menggambarkan konektivitas merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari kehidupan individu. Kondisi tersebut dikarenakan individu

memiliki pandangan bahwa salah satu keuntungan dari penggunaan

smartphone adalah membantu individu tetap terhubung dengan orang lain.

c. Tidak mampu mengakses informasi

Aspek ini mengambarkan perasaan ketidaknyamanan ketika tidak dapat

mengambil atau mencari informasi melalui smartphone. Hal tersebut

dikarenakan smartphone menyediakan kemudahan dalam mengakses

informasi. Seseorang juga merasakan dampaknya, semua informasi disebar

melalui media sosial. Ketika smartphone tidak dapat digunakan maka aliran

informasi yang diterima orang tersebut juga terganggu. Hal tersebut dapat

membuat sebagian orang menjadi gelisah atau cemas.

d. Menyerah pada kenyamanan

Aspek terakhir berhubungan dengan perasaan tidak nyaman yang dialami

oleh individu ketika tidak menggunakan smartphone, sehingga individu

mempunyai keinginan yang lebih untuk memanfaatkan fasilitas yang dimiliki

oleh smartphone. Adanya kenyamanan tersebut ditunjukkan oleh individu

yaitu selalu memastikan bahwa daya baterai smartphone mereka selalu terisi

penuh. Selain itu, individu juga akan merasa bahwa dirinya terhindar dari
16

stres dan kecemasan dikarenakan smartphone yang mereka miliki memiliki

baterai yang memiliki daya tahan dalam jangka waktu lama.

Pradana, Muqtadiroh, dan Nisafani (2016) menyebutkan enam ciri-ciri dan

karakteristik orang mengidap nomophobia yaitu:

a. Menghabiskan waktu menggunakan telepon genggam, mempunyai satu atau

lebih smartphone dan selalu membawa charger.

b. Merasa cemas dan gugup ketika telepon genggam tidak tersedia dekat atau

tidak pada tempatnya. Selain itu juga merasa tidak nyaman ketika gangguan

atau tidak ada jaringan serta saat baterai lemah.

c. Selalu melihat dan mengecek layar telepon genggam untuk mencari tahu pesan

atau panggilan masuk, atau juga disebut ringxiety. Ringxiety merupakan

perasaan menganggap telepon genggam bergetar atau berbunyi.

d. Tidak mematikan telepon genggam dan selalu sedia 24 jam, selain itu saat tidur

telepon genggam diletakkan di kasur.

e. Kurang nyaman berkomunikasi secara tatap muka dan lebih memilih

berkomunikasi menggunakan teknologi baru.

f. Biaya yang dikeluarkan untuk telepon genggam besar.

Berdasarkan penjelasan diatas, disimpulkan bahwa nomophobia memiliki

beberapa aspek dan ciri-ciri, yakni: perasaan tidak bisa berkomunikasi, kehilangan

konektivitas, tidak mampu mengakses informasi, menyerah pada kenyamanan,

menghabiskan waktu menggunakan telepon genggam, mempunyai satu atau lebih


17

gadget dan selalu membawa charger, merasa cemas dan gugup ketika telepon

genggam tidak tersedia dekat atau tidak pada tempatnya, selalu melihat dan

mengecek layar telepon genggam untuk mencari tahu pesan atau panggilan

masuk, tidak mematikan telepon genggam dan selalu sedia 24 jam, kurang

nyaman berkomunikasi secara tatap muka dan lebih memilih berkomunikasi

menggunakan teknologi baru, biaya yang dikeluarkan untuk telepon genggam

besar.

Lebih lanjut, peneliti memilih untuk menggunakan aspek-aspek

nomophobia dari Yildirim (2014) yang terdiri dari empat aspek yakni: tidak bisa

berkomunikasi, kehilangan konektivitas, tidak mampu mengakses informasi, dan

menyerah pada kenyamanan, sebagai dasar penyusunan alat ukur untuk

mengetahui tinggi rendanya nomophobia pada mahasiswa. Peneliti memilih

aspek-aspek dari Yildirim (2014) karena beberapa penelitian sebelumnya

menggunakan aspek tersebut dan juga dengan subjek yang sama, seperti

(Widyastuti & Muyana, 2018; Novitasari, 2018 ; Fajri, 2017 ; Prasetyo, 2017;

Asih & Fauziah, 2017 ; dan Lestari, 2017).

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nomophobia

Menurut Bianchi dan Philip (dalam Yildirim, 2014) faktor-faktor yang

mempengaruhi nomophobia sebagai berikut:

a. Jenis kelamin

Secara historis tampaknya ada perbedaan jenis kelamin dalam

kaitannya dengan serapan teknologi baru. Dalam penelitian yang dilakukan

oleh Turner dkk (dalam Al-Barashdi, Bouazza, dan Jabur, 2015) menemukan
18

jenis kelamin memiliki perbedaan hubungan dengan beberapa aspek perilaku

penggunaan smartphone. SecurEnvoy (2012) telah menemukan bahwa sekitar

66 persen dari 1.000 pengguna ponsel memiliki Nomophobia. Selain itu, kajian

pada tahun 2008 di Inggris yang melibatkan lebih dari 2.100 responden,

menunjukkan bahwa 53% dari pengguna ponsel menderita nomophobia.

Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa pria lebih rentan terhadap

nomophobia daripada wanita (Mail Online, 2008).

b. Harga diri

Harga diri adalah salah stau proses evaluasi diri individu yang berkaitan

dengan kualitas ataupun keberhargaan diri sebagai manusia. Individu yang

memiliki harga diri rendah cenderung tidak percaya diri di antara orang-orang

sekitarnya. Dengan demikian seseorang tersebut akan cenderung melihat

dirinya negatif atau berpikiran yang tidak masuk akal. Oleh karena itu, dengan

menggunakan smartphone mengakibatkan individu memiliki perasaan yang

bahagia dan nyaman terutama saat berkomunikasi ataupun berinteraksi dengan

orang lain sehingga bisa menyebabkan mengalami nomophobia.

c. Extraversi

Ekstraversi umumnya suka mengambil risiko, impulsif, dan sangat

membutuhkan kegembiraan. Ekstraversi lebih rentan terhadap masalah

penggunaan telepon genggam dengan alasan bahwa mereka lebih cenderung

mencari situasi sosial. Penelitian sebelumnya (Bianchi & Philip, 2005) telah

menunjukkan bahwa ekstraversi lebih rentan menghabiskan lebih banyak

waktu menelepon dan mengirim pesan teks.


19

d. Neurotisme

Neurotisme tinggi ditandai dengan kecemasan, mengkhawatirkan,

kemurungan, dan sering depresi. Individu neurotisme terlalu emosional,

bereaksi kuat terhadap banyak rangsangan. Kemungkinannya, dikarenakan

individu yang memiliki tipe neurotis (neuroticism) cenderung tinggi akan

mengalami nomophobia ketika tingkat harga dirinya rendah (Chittaranjan,

Blom, & Pere, 2011).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor yang

mempengaruhi nomophobia adalah jenis kelamin, harga diri, usia, dan

kepribadian. Lebih lanjut peneliti memilih jenis kelamin sebagai variabel bebas

pada penelitian ini karena dari hasil penelitian-penelitian yang terdahulu tentang

perbedaan jenis kelamin terhadap nomophobia terdapat bermacam-macam hasil

penelitian yang berbeda atau menunjukkan perbedaan yang tidak konsisten. Ada

beberapa hasil penelitian yang mengatakan bahwa tingkat nomophobia laki-laki

lebih tinggi dibandingkan perempuan, namun dari hasil penelitian yang lain

mengatakan yang sebaliknya, bahwa tingkat nomophobia perempuan lebih tinggi

dibandingkan laki-laki. Hal itu membuat peneliti tertarik untuk melakukan

verifikasi yang mengacu pada hasil penelitian-penelitian tersebut.


20

B. Jenis Kelamin

1. Pengertian Jenis Kelamin

Perbedaan kata seks dan gender dalam kamus bahasa Inggris tidak

dijelaskan secara jelas dan keduanya hanya diartikan sebagai jenis kelamin

(Handayani, Trisakti& Sugiarti, 2002). Hal tersebut yang terkadang membuat

banyak kekeliruan dalam menyebutkan jenis kelamin, seks, dan gender.

Jenis kelamin dipahami sebagai pengkategorian seks secara biologis yang

terungkap dari identitas diri sebagai laki-laki dan perempuan (Sanford & Lough,

1988). Laki-laki memiliki fisik yang kuat, otot yang kuat, memiliki jakun,

bersuara berat, memiliki penis, testis, sperma yang berfungsi untuk alat

reproduksi dalam meneruskan keturunan. Sedangkan perempuan memiliki

hormon yang berbeda dengan laki-laki, sehingga menglami menstruasi, perasaan

yang sensitif, serta ciri-ciri fisik dan postur tubuh yang berbeda dengan laki-laki,

seperti bentuk pinggul yang lebih besar daripada laki-laki (Sanford & Lough,

1988).

Secara lebih detail, pengertian seks yaitu pembagian yang ditentukan

secara biologis melekat pada jenis kelamin tertentu. Sedangkan gender adalah

sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh

faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa anggapan tentang

peran sosial dan budaya baik laki-laki maupun perempuan (Handayani, Trisakti

& Sugiarti, 2002).

Menurut budiman (1982) sebagaimana dikutip oleh Widyatama (2006)

juga mengatakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dari
21

perbedaan fisik dan psikologis. Perbedaan-perbedaan fisik itu akhirnya

menimbulkan perbedaan-perbedaan psikologis. Laki-laki dikenal sebagai jenis

manusia yang kuat, perkasa, tidak cengeng, logis, rasional, dan sebagainya.

Sementara perempuan dikenal sebagai jenis manusia yang lemah, emosional,

cengeng, keibuan, lembut, penuh empati, perhatian, dan lain sebagainya

(Herdiansyah, 2016).

C. Nomophobia Pada Mahasiswa Ditinjau Dari Jenis Kelamin

Menurut Juraman (dalam Susanto, 2016), mahasiswa adalah generasi yang

peka terhadap teknologi-teknologi baru dan inovasi baru. Kaum muda dikenal

sangat dekat dengan hal-hal yang baru dan tidak menutup kemungkinan salah

satunya adalah smartphone. Smartphone sekarang menjadi kebutuhan tiap

mahasiswa untuk bisa terlihat “gaul” atau tidak ketinggalan zaman dengan hal–

hal yang baru. Salah satu bentuk pemanfaatan smartphone yang digunakan oleh

mahasiswa adalah dalam mengakses informasi edukatif, alasannya karena

perkembangan ini juga sejalan dengan perkembangan sistem informasi akademik

pada universitas-universitas seperti Portal Akademik, digital liberary dan

perkembangan dunia internet yang kini menyediakan ribuan hingga jutaan link

dan laman web (situs) yang memuat hal –hal yang bersifat pendidikan seperti

riset, ejournal, ebook, ensiklopedi, digital liberary yang dapat diakses secara

online.

Banyaknya fungsi dan kecanggihan smarthpone saat ini, menjadikan

penggunanya tidak dapat lepas dari smarthpone yang dimilikinya. Perasaan cemas
22

yang disebabkan karena tidak bisa berkomunikasi melalui smartphone dan tidak

bisa jauh dari smartphone disebut juga Nomophobia (Yildirim, 2014). Seseorang

yang mengalami nomophobia menurut Yildirim (2014) dikarenakan beberapa

faktor, diantaranya adalah faktor jenis kelamin.

Guriaan (dalam Masykur & Fathani, 2007) menjelaskan, perbedaan

antara otak laki-laki dan perempuan terletak pada ukuran bagian-bagian otak,

bagaimana bagian itu berhubungan serta cara kerjanya. Perbedaan mendasar

antar kedua jenis kelamin itu adalah:

a. Perbedaan spasial

Pada laki-laki otak cenderung berkembang dan memiliki spasial yang

lebih kompleks seperti kemampuan perancangan mekanis, pengukuran

penentuan arah abstraksi, dan manipulasi benda-benda fisik. Maka tidak

heran jika laki-laki lebih menyukai barang-barang elektronik dan salah

satunya adalah smartphone.

b. Perbedaan verbal

Daerah korteks otak pria lebih banyak tersedot untuk melakukan

fungsi-fungsi spasial dan cenderung memberi porsi sedikit pada daerah

korteksnya untuk memproduksi dan menggunakan kata-kata. Kumpulan saraf

yang menghubungkan otak kiri-kanan atau corpus collosum otak laki-laki

lebih kecil seperempat ketimbang otak perempuan. Bila otak pria hanya

menggunakan belahan otak kanan, otak perempuan bisa memaksimalkan

keduanya. Itulah mengapa perempuan lebih banyak bicara ketimbang pria.

Hal tersebut memungkinkan bahwa laki-laki lebih rentan terhadap gangguan


23

nomophobia daripada perempuan karena perempuan lebih suka berbicara

secara langsung dengan orang lain dibandingkan laki- laki, hal itu akan

membuat laki-laki kemungkinan akan lebih cenderung menggunakan

smartphonenya secara berlebihan. Hasil dalam sebuah penelitian disebutkan,

perempuan menggunakan sekitar 20.000 kata per hari, sementara pria hanya

7.000 kata.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Turner dkk (dalam Al-Barashdi,

Bouazza, dan Jabur, 2015) menemukan jenis kelamin memiliki perbedaan

hubungan dengan beberapa aspek perilaku penggunaan smartphone. Riset dari

SecurEnvoy telah menemukan bahwa sekitar 66 persen dari 1.000 pengguna

ponsel memiliki nomophobia. Tetapi tingkat nomophobia tersebut berbeda-beda

pada masing-masing orang. Selain itu, kajian pada tahun 2008 di Inggris yang

melibatkan lebih dari 2.100 responden, menunjukkan bahwa 53% dari pengguna

ponsel menderita nomophobia. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa pria

lebih rentan terhadap nomophobia daripada wanita, dengan 58% dari laki-laki dan

48% dari perempuan menunjukkan perasaan cemas ketika tidak dapat

menggunakan telepon genggam mereka (Mail Online, 2008).

Berbeda dengan penelitian di tahun 2008, riset pada tahun 2012

menemukan bahwa wanita lebih rentan terhadap nomophobia, dengan 70% dari

wanita dibandingkan dengan 61% dari pria yang telah mengungkapkan perasaan

cemas ketika kehilangan ponsel mereka atau ketika mereka tidak dapat

menggunakan telepon mereka (Yildirim, 2014).


24

Berbeda lagi dengan Morahan-Martin (dalam Oktog, 2012) menemukan

bahwa tingkat menghabiskan waktu dengan smartphone pada laki-laki lebih

banyak daripada perempuan, sama halnya yang dilakukan oleh Uneri and Tanidir

(dalam Oktog, 2012) menjekaskan juga bahwa laki-laki memiliki tingkat lebih

tinggi menghabiskan waktu dengan smartphone daripada perempuan. Akan tetapi

penelitian yang dilakukan oleh Choliz (2012) menunjukan hasil bahwa wanita

lebih memiliki ketergantungan terhadap smartphone daripada laki-laki.

Menurut Duggan dan Brenner (dalam Bolle, 2014) Laki-laki cenderung

menggunakan smartphone untuk orientasi kesenangan mereka, perempuan lebih

menggunakan smartphone untuk kesenangan sosial. Perempuan menggunakan

smartphone lebih untuk bergosip atau menjaga hubungan sosial dan memiliki

hubungan yang kuat dengan smartphone mereka. Sosial media juga menarik bagi

sebagian besar perempuan. Laki-laki lebih menggunakan smartphone mereka

untuk aplikasi permainan dan secara umum juga untuk berjudi. Baik laki-laki

maupun perempuan memiliki kecendrungan melakukan penggunaan smartphone

dengan intensitas yang sama, hanya saja aksesnya yang berbeda. Kecendrungan

dari hal-hal tersebut di atas sama-sama akan mengarah pada gangguan

nomophobia, dikarenakan hal-hal tersebut akan mendorong baik laki-laki maupun

perempuan menggunakan smartphone seacara berlebihan.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, jenis kelamin diasumsikan menjadi salah

satu faktor yang turut andil dalam mempengaruhi nomophobia dan menurut

beberapa hasil penelitian yang dilakukan diatas menunjukan adanya perbedaan

yang tidak konsisten, akan tetapi dari beberapa hasil penelitian tersebut
25

mengatakan bahwa laki-laki lebih banyak yang mengalami tingkat nomophobia

yang lebih tinggi.

D. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan

nomophobia antara mahasiswa laki-laki dan perempuan. Dengan asumsi bahwa

mahasiswa laki-laki cenderung memiliki tingkat nomophobia lebih tinggi daripada

mahasiswa perempuan.

Anda mungkin juga menyukai