Anda di halaman 1dari 63

Responsi

ENSEFALOPATI, KOMA, & MATI BATANG


OTAK (MBO)
Oleh
Widya Ayu Putri Maharani
Nely Masruroh

Pembimbing: dr. H. Usman G. Rangkuti, Sp. S

LAB/SMF ILMU PENYAKIT SARAF


RSD dr. SOEBANDI JEMBER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER
2019
DEFINITION
 Ensefalopati: keadaan disfungsi otak, dapat bersifat akut atau
kronis, dan progresif atau statis.
 Gambaran ggn. otak difus  >= 2 gejala
 (1) penurunan kesadaran, (2) perubahan kognisi dan
kepribadian, serta (3) kejang.
 Berbagai faktor penyebab: iskemik, metabolik, toksik,
dan septik.
 Ensefalopati dapat terjadi pada semua umur.
CHARACTERISTIC
 Derajat berat bervariasi  perubahan status mental
ringan ke berat sampai koma dalam.
 Terdapat:
 gangguan kesadaran yang berlangsung terus menerus (>12 jam)
tanpa ada gambaran pleositosis (pe↑ hitung sel) pada CSS,
 dapat terjadi kejang fokal, umum, singkat atau persisten
 tidak ada demam ataupun meningismus,
 gambaran biokimia yang spesifik pada pemeriksaan darah dan
urin
 EEG perlambatan difus.
ETIOLOGY
1. Iskemik-Hipoksik : iskemik intrapartum, trauma
2. Metabolik : hipo/hiperglikemia, hipo-hiperkalsemia, ggn.
renal, ggn. hepar, gagal organ lain (selain saraf)
3. Toksik : induksi obat i.e asam valproat, zat toksik i.e
merkuri, timbal, amonia
4. Septik : sepsis, infeksi bakterial pd neonatus
TREATMENT
Prinsip terapi:
1. pemantauan tanda vital,
2. mengatasi edema serebral,
3. monitor peninggian tekanan intrakranial,
4. mencegah dan mengendalikan kejang,
5. dicari penyakit yang mendasari dan diobati, harus dirawat dan
mempunyai akses ke perawatan ICU
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
 Ensefalitis
 Perdarahan Intrakranial
 Edema serebri
PROGNOSE
 Prognosis tergantung pada:
 penyebab awal dan secara umum, tempoh waktu yang
dibutuhkan untuk membalikkan, menghentikan, atau
menghambat penyebabnya.
 Prognosis bervariasi dari pasien ke pasien dan berkisar di
prognosis yang buruk yang sering menyebabkan kerusakan
otak permanen atau kematian.
 Penundaan atau beberapa keterlambatan dalam pengobatan
 prognosis yang buruk dengan kerusakan otak, koma, atau
kematian.
COMMON CASE
1. Ensefalopati Hepatik
2. Ensefalopati Uremik
3. Ensefalopati Diabetik
1. ENSEFALOPATI HEPATIK
• EH  gambaran sindrom neuropsikiatri yang terjadi pada pasien
gangguan hati akut&kronik (tanpa kelainan otak) dengan
beragam manifestasi (1) perubahan perilaku, (2) gangguan
intelektual, dan (3) penurunan kesadaran.
• Prevalensi di Indonesia, EH minimal (grade 0)
diperkirakan terjadi pd 30%-84% pasien sirosis
hepatis.
• Penyebab
 Akut  hepatitis fulminan akut, hepatitis toksik
obat, post op portosystemic shunt
 Kronik  sirosis hepatis (berujung koma dan
kematian)
DIAGNOSIS
 Salah satu pendekatan untuk menegakkan diagnosis adalah Hepatic
Enchephalopathy Scaling Algorithm (HESA)
 Clinical Hepatic Encephalopathy Staging Scale
 Penilaian GCS
 Gejala klinik
 Kelainan Neurologik
 Kelainan Mental
 Kelainan Rekaman EEG
 Laboratorium
 Gambaran EEG  Amplitudo ↓, jumlah siklus gelombang per detik ↓,
frekuensi gelombang α ↓
 Tes Psikometri  Uji Hubung Angka (UHA)
 Pemeriksaan Amonia Darah  Peningkatan kadar amonia darah
Hepatic Enchephalopathy Scoring Algorithm (HESA)
TATALAKSANA
Prinsip tatalaksana: Terapi Farmakologis:
 Mengobati penyakit hati  Laktulosa 2 x 15-30 ml sehari (3-6
bulan)
 Identifikasi dan hilangkan faktor  Pe↓an sintesis dan uptake amonia
pencetus  Antibiotik: rifaximin 2 x 550 mg
(3-6 bulan)
 Mengurangi influks toksin/  Menekan pertumbuhan bakteri
yang menghasilkan amonia
nitrogen ke jaringan otak
 L-Ornithine L-Aspartate (LOLA)
 Mengurangi asupan protein
 Meningkatkan metabolisme
 Membersihkan saluran cerna bagian bawah amonia di hati & otot
 Upaya suportif  kalori yang cukup &  Mengurangi edema serebri
pengawasan terhadap komplikasi  Probiotik
PROGNOSIS
Ensefalopati hepatik merupakan penyakit hati stadium terminal dengan
tanda prognostik yang jelek dan mengindikasikan tingkat survival yang
pendek.

Pada penelitian yang telah dilakukan menunjukkan 42% dapat


bertahan hidup dalam waktu satu tahun, sedangkan 23% yang dapat
bertahan hingga 3 tahun.
2. ENSEFALOPATI UREMIK
Ensefalopati Uremik (EU)  kelainan otak organik yang terjadi pd
pasien dengan ggn. ginjal akut/kronis, dapat disebabkan scr
primer oleh toksin uremik, namun beberapa kondisi seperti
gangguan keseimbangan air-elektrolit, tindakan
hemodialisis (HD), ggn serebrovaskuler dan drug induced
dapat pula sebagai penyokong timbulnya ensefalopati.
PATOFISIOLOGI
 Urea (CH4N2O)  hasil metabolisme akhir
 Pemecahan protein↑ dan ekskresi ginjal↓ = penumpukan/pe↑
urea
 Toksisitas urea bila meningkat secara cepat >200-300 mg% atau
meningkat secara perlahan sampai 600 mg%.
 KRONIS: penumpukan urea dalam plasma  ketidakseimbangan dari
neurotransmitter di dalam otak
 AKUT: penumpukan urea dalam plasma  masuk ke dalam BBB 
penumpukan agen inflamasi sebagai bentuk pertahanan tubuh 
proses peradangan, edema serebri
DIAGNOSIS
 Diagnosis ditegakkan dari gejala-gejala yang muncul serta
pemeriksaan penunjang
 Gejala : gx neurologis (disorientasi, kejang, koma)
 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan penunjang
• Elektrolit↑, BUN↑, kreatinin↑, dan glukosa darah
• Imaging studies
• EEG
TATALAKSANA
1. Dialisis  hemodialisis, intermitent peritoneal dialisis
2. Ensefalopati yg tidak murni oleh karena toksin uremik (
hiponatremia, hipokalsemia dan drug induced) pengobatan dapat
secara konservatif dengan memperbaiki kadar elektrolit
3. Nefropati diabetik  adanya hipoglikemia atau hiperglikemia perlu
dipertimbangkan sebagai penyebab utama atau bersama-sama toksin
uremik menimbulkan ensefalopati/ koma.
3. ENSEFALOPATI DIABETIK
1. Hipoglikemia
 Glukosa  sumber energi utama bagi otak.
 Penurunan kadar glukosa (hipoglikemia)  kerusakan dari
jaringan otak karena kekurangan suplai nutrisi
 Gejala yang timbul biasanya berat, namun dapat segera membaik
jika segera mendapatkan penanganan karena kerusakan yang
terjadi masih bersifat reversibel
2. Hiperglikemia
 Glukosa kadar tinggi dalam darah akan didistribusikan ke otak,
namun pada pasien diabetik, glukosa tidak bisa masuk ke dalam
sel dengan sempurna  kerusakan otak akibat kekurangan nutrisi
 defisit neurologis
PENATALAKSANAAN HIPOGLIKEMIA
 Pasien sadar
 Pisang/ roti/ kompleks karbohidrat lain,
 bila gagal teh gula (gula ±50-75gr)
 Pasien tidak sadar
 Infus D10% 20 tpm
 Injeksi D40% 1 flash IV dapat diulang tiap 15-30 menit sampai
3x smp DA >200mg/dl
 bila GDA msh<100 maka, Injeksi Glukagon 1 mg IM
 ulang GDA sampai 4 jam, bila GDA <100 mg/dl ulang D40% 1
flash
PENATALAKSANAAN HIPERGLIKEMIA
Fase I
 Rehidrasi : NaCl 0.9% atau RL 2 liter/2 jam pertama lalu 80
tpm selama 4 jam, lalu 30-50 tpm selama 18 jam.
 Insulin : 4-8 unit/jam IV. GDA tiap 2 jam
 Infus K+ : bila K+ < 3 mEq/l infus 1 flash/24 jam, <2,5
mEq/l infus 2 flash/24jam, dst
 Infus NaBic : pH<7.20 : 44-132 mEq dalam 500ml NaCl 0,9%
30-80tpm (jangan Bolus)
PENATALAKSANAAN HIPERGLIKEMIA
Fase II
 Batas Glukosa Darah sekitar 250 mg/dl atau Reduksi +
 Maintanance NaCl 0.9% dan D5% atau Maltosa 10% bergantian
30-50tpm
 Kalium : bila K+ < 3 mEq/l
 Insulin : 3-6 IU sc
 Makanan lunak karbohidrat komplek per oral
4. HIPERTENSI ENSEFALOPATI
Ensefalopati Hipertensi merupakan suatu istilah yang diperkenalkan
oleh dua orang praktisi medis bernama Oppenheimer dan Fishberg pada
tahun 1928, untuk menggambarkan :

“perubahan keadaan ensefalon berdasarkan peningkatan tekanan


darah yang menyebabkan hipertensi vaskulopati hingga edema
intraserebral”
HIPERTENSI ENSEFALOPATI
 Hipertensi emergensi  kegagalan multiorgan (+)  salah satunya
hipertensi ensefalopati, stroke dan diseksi aneurysma aorta
 Dapat merupakan komplikasi berbagai penyakit
 penyakit ginjal kronis, stenosis arteri renalis, glomerulonefritis akut,
toxemia akut, pheokromositoma, sindrom cushing, serta penggunaan obat
seperti aminophyline, phenylephrine.
• Ensefalopati hipertensi lebih sering ditemukan pada pasien dengan
riwayat hipertensi esensial lama
5. ENSEFALOPATI SEPSIS
Ketika infeksi terjadi, maka makrofag/monosit perifer akan mensekresi
sitokin inflamasi (IL-1, TNF α, dan IL-6) yang memediasi respon
serebral dalam infeksi. Mediator dapat menginduksi cyclooxygenase
2 (COX2) sel glia dan sintesis prostaglandin E2 yang bertanggung
jawab dalam aktivasi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal akan
terjadi demam dan perubahan kebiasaan. Aktifasi dari kaskade
komplemen (anafilaktoksin C5a) juga dikaitkan dengan disfungsi otak
selama sepsis, kemungkinan dengan menginisiasi kerusakan sawar darah
otak  edema otak.
GAMBARAN KLINIS
 Ensefalopati sepsis umumnya terjadi sepsis berat dan
menyebabkan kegagalan multiorgan.
 Keadaan klinis yang paling sering
 penurunan tingkat kesadaran dari mulai penurunan kewaspadaan ringan hingga tak
berespon dan koma.
 Status konfusional fluktuatif,
 inatensi dan kebiasaan yang tidak sesuai
 Pada kasus yang lebih berat dapat timbul delirium, agitasi dan deteriorasi
kesadaran dan koma.
 Mungkin timbul
 Gejala motorik (asteriksis, mioklonus dan tremor) jarang terjadi
 Rigiditas paratonik
 Kejang, tetapi tidak umum
 disfungsi saraf kranial atau lateralisasi jarang terjadi dan harus dapat
menyingkirkan penyebab lain yang mungkin.
KOMA
Tingkat Kesadaran
 Komposmentis
 Somnolen / Drowsiness / Clouding of Conciousness
 Stupor atau Sopor
 Semikoma atau Soporokoma
 KOMA
- Penurunan kesadaran paling rendah
- Dengan rangsang apapun – reaksi sama sekali tidak ada
Anatomi Kesadaran

Terdapat 2 komponen kesadaran


1. Formasio retikularis
2. Hemisfer serebral

Formasio retikularis terletak di rostral midpons, midbrain


(mesencephalon) dan thalamus ke korteks serebri - ascending
reticular activating system (ARAS).
Pengemban kewaspadaan

Penggalak kewaspadaan
ETIOLOGI
1. Proses difus dan multifokal
• Metabolik (hipo atau hiperglikemia, gagal hati, gagal ginjal, keracunan (obat-
obatan, alkohol)
• Infeksi
• Konkusio (geger otak ringan) dll.
2. Lesi Supratentorial
• Hemoragik (EpiDuralH, SubDuralH, IntraCerebralH)
• Infark (embolus, trombus).
• Tumor (primer, sekunder, abses).
3. Lesi Infratentorial.
• Hemoragik (serebelum, pons).
• Infark batang otak.
• Tumor serebelum.
• Abses serebelum.
KLASIFIKASI
Daftar 1 : Klasifikasi karna berdasar anatomi dan patofisiologi

a. Koma kortikal-bihemisferik
merupakan karna/enselopati metabolik dan/atau gangguan fungsi/lesi
struktur korteks bihemisgerik. Faktor penyebab antara lain : sinkop,
renjatan, hipoksia, gangguan cairan dan elektrolit, intoksikasi, demam
tinggi

b. Koma diensefalik
dapat bersifat supratentorial, infrantorial dan kombinasi antara
supratentorial dan infratentorial. Terjadinya karna melalui mekanisme
herniasi unkus, tetorial, atau sentral. Faktor penyebab antara lain :
stroke atau GPDO, tumor otak, abses otak, edema otak, perdarahan
traumatik, hidrosefalus obstruktif, meningitis dan ensefalitis
Daftar 2 : Klasifikasi karna berdasar gambaran klinik

a. Koma dengan defisit neurologik fokal


defisit neurologik fokal dapat berupa hemiplagia, paralisis, nervi kraniales,
pupil anisokoria, afasia, refleks fisiologik/patologik asimetri, rigiditas
dekortikasi atau deserebrasi. Faktor penyebab meliputi GPDO, tumor otak,
ensefalitis, abses otak, kontusio serebri, perdarahan epidural dan perdarahan
subdural

b. Koma dengan tanda rangsangan meningeal


faktor penyebab antara lain : meningitis, meningonsefalitis, perdarahan
subaraknoidal, tumor di fosa posterior

c. Koma tanpa defisit neurologik fokal/rangsangan meningeal


faktor penyebab antara lain : intosikasi, gangguan metabolik, sinkop, renjatan,
komosio serebri, hipertermia, hipotermia, sepsis, malaria otak, ensefalopati
hipertensi, eklamsia dan epilepsi umum
Pemeriksaan Klinis
 Anamnesis (Riwayat trauma, medis, obat-obatan
 Pemeriksaan fisik
- TTV (hipertensi
- Kulit (tanda trauma)
- Nafas (bau alkohol, keton)
- Kepala dan leher (trauma)
- THT (otorrhea atau rhinorrea)
- Thoraks
- Ekstremitas (sianosis)
 Observasi umum
- Jika masih bisa menelan, mengecap  batang otak masih
baik
- Posisi lengan fleksi (dekortikasi)  lesi di hemisfer 
prognosis masih baik
- Posis lengan ekstensi (deserebrasi)  lesi batang otak 
prognosis lebih buruk
 Pemeriksaan neurogis
- Pemeriksaan kesadaran dengan GCS
` - Pola pernapasan
- Kelainan pupil
 Yang diperiksa
- Besar
- Bentuk
- Refleks pupil
 Kelainan gerakan dan atau kedudukan bola mata dapat
menunjukkan topical lesi
 Lesi di hemisfere

- Deviasi konjugat, mata melirik kesisi lesi, pupil normal dan


reaktif
 Lesi di talamus

- Mata melihat ke hidung pupil kecil dan non reaktif

 Lesi di pons

- Mata ditengah, tidak ada gerakan bola mata (Doll’s eye


movement ~ negatif), refleks cahaya positif (dengan kaca
pembesar)
 Lesi di serebelum

- Kedua bola mata ditengah, besar dan bentuk pupil normal,


refleks cahaya positif normal
- Refleks sefalik
Untuk mengetahui bagian batang otak yang terganggu
1. Refleks pupil
bila refleks cahaya terganggu ~ mensenfalon
2. Fenomena mata boneka
(Doll’s eye phenomenon)
- Disebut okulo-sefalik
- Hilang ~ di pons
3. Refleks okulo-auditorik
- Bila telinga dirangsang suara keras ~ penderita menutup
matanya (auditory blink reflex)
- Hilang - pons
4. Refleks okulo-vestibular
- Bila meatus akustikus eksternus dirangsang air hangat (44°
c) ~ nistagmus kearah telinga yang dirangsang
- Tes kalori
- Negatif ~ pons
5. Refleks Kornea
- Merangsang kornea ~ penutupan kelopak mata
- Negatif ~ pons
6. Refleks muntah
- Sentuhan dinding faring belakang ~ muntah
- Hilang ~ medula oblongata
Tatalaksana
A. Tindakan terapi segera (life saving)

B. 5B (Breath, Blood, Brain, Bladder, Bowel)

C. Tindakan terhadap penyebab koma


BREATH
• Bebaskan dan bersihkan jalan nafas dan sedot semua
cairan lendir dalam mulut dan tenggorokan, lepaskan
gigi palsu, mayo tube pasang O2.
• Posisi pasien lateral dekubitus (kepala sedikit tengadah
dan lebih rendah) dan tredelenburg
• Gagal nafas : intubasi endotrakeal
• X – foto thorax, monitor pernafasan
BLOOD

• Infus awal NS
• Ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium
• Pertahankan dan monitor tensi yang adekuat
• EKG cito bila ada indikasi
BRAIN
• Curiga hipoglikemik / tidak diketahui sebabnya, segera berikan :
D40% 50 cc/iv, vitamin B1 100 mg/iv
• Curiga keracunan / overdosis golongan opiat : naloxone 0,1 – 0,8
mg/iv
• Bila kejang berikan diazepam 10 mg/iv, phenitoin 10 – 18
mg/kgBB
• Bila ada tanda herniasi otak:
1. Konsul bedah saraf cito
2. Segera berikan dexamethason 10 mg/iv, diulang tiap 6 jam
3. Furosemide 0,5 mg/kgBB/IV
4. Manitol 20% 0,5 – 1 g/kgBB
• Bila ada trauma kepala / leher:
1. X-foto kranium / basis kranii
2. X-foto cervical, bila curiga kontusio serebri, berikan :
- Dexamethason 10 mg/iv
- Obat yang meningkatkan metabolisme otak
(misal piracetam)
• Bila suhu meningkat, injeksi piramidon 2 cc/im dan kompres
• Bila gelisah / delirium, maka beri diazepam 10 mg/iv
• Monitor GCS
BLADDER

• Pasang DC, urine tampung 24 jam


• Balance elektrolit dan cairan
BOWEL

• Pasang NGT
• Setiap 2 jam ubah posisi pasien
MATI BATANG OTAK
Definisi
 Mati batang otak adalah kehilangan menetap kemampuan

untuk sadar bersama-sama dengan kehilangan menetap fungsi


batang otak termasuk kemampuan untuk bernafas.


Definisi
 Brain death (menurut American Academy of Neurology) adalah
hilangnya seluruh fungsi otak dan batang otak secara
ireversibel, tanpa diikuti dengan hilangnya fungsi sirkulasi
jantung.
Etiologi
 Penyebab utama

Trauma

Perdarahan intrakranial

Stroke iskemik

 Penyebab sekunder

 Anoksia
Pemeriksaan Klinis
Syarat pemeriksaan tes MBO
1. Secara klinis atau neuroimaging terbukti SSP berperan dalam
diagnosis MBO
2. Disingkirkan kondisi komplikasi medis yang dapat meragukan
penilaian klinis
3. Bukan intoksikasi obat atau keracunan
4. Temperatur tubuh (core) ≥32⁰C
Pemeriksaan MBO
 Reflek pupil (-)
 Pergerakan bola mata (-)
 Tidak berespon dengan nyeri/respon motorik (-)
 Refleks batang otak (-)
 Apneu test (+)
Pergerakan bola
mata
• doll’s eye movement (-)
• Tes kalori (-)
Penilaian Apneu Test
Syarat:
 T > 36,5° C
 Tekanan sistolik > 90 mmHg
 Normal Electrolytes
 Normal PCO2
 Normal PO2
Penilaian Apneu Test
a. Pasang pulse-oxymeter dan putuskan hubungan ventilator
b. Berikan oksigen 100%, 6 L/menit ke dalam trakea (tempatkan
kanul setinggi carina)
c. Amati dengan seksama adanya gerakan pernafasan (gerakan
dinding dada atau abdomen yang menghasilkan volume tidal
adekuat)
d. Ukur PaO2 , PaCO2 , dan pH setelah kira-kira 8 menit,
kemudian ventilator disambungkan kembali
e. Apabila tidak terdapat gerakan pernafasan, dan PaCO2 ≥ 60
mmHg (atau peningkatan PaCO2 lebih atau sama dengan nilai
dasar normal), hasil tes apnea dinyatakan positif (mendukung
kemungkinan klinis kematian batang otak)

f. Apabila terdapat gerakan pernafasan, tes apnea dinyatakan negatif


(tidak mendukung kemungkinan klinis kematian batang otak)
g. Hubungkan ventilator selama tes apnea apabila tekanan darah
sistolik turun sampai < 90 mmHg (atau lebih rendah dari batas
nilai normal sesuai usia pada pasien < 18 tahun), atau pulse-
oxymeter mengindikasikan adanya desaturasi oksigen yang
bermakna, atau terjadi aritmia kardial.

Anda mungkin juga menyukai