lebih tinggi pada subjek non-perokok, yang memiliki komorbid, dan riwayat
pembedahan untuk ISP sebelumnya. Tingkat rekurensi pasca operatif lebih tinggi
pada pasien yang dijahit tangan-dibandingkan dengan perangkat
Kesimpulan: riwayat non-perokok, adanya komorbid, riwayat operasi sebelumnya
untuk ISP, dan penggunaan jahitan tangan dalam penanganan SP meningkatkan
risiko rekurensi pasca operatif.
Kunci: Pneumotoraks spontan, operasi, VATS, rekurensi pasca operasi, faktor
risiko
Pneumotoraks
Terdapatnya udara atau gas
pada kavum pleura, sehingga
dapat mengganggu
oksigenasi dan ventilasi
1 Latar Belakang
PNEUMOTORAKS SPONTAN masih menjadi masalah kesehatan yang
signifikan karena angka rekurensi yang tinggi
Dengan penanganan operatif, tingkat rekurensi 10-20%
Namun demikian, prosedur terbaik belum dapat ditentukan, dan hasil saat ini
belum memuaskan.
TUJUAN dari penelitian ini adalah menentukan faktor risiko rekurensi
pnneumotoraks pasca operatif.
2 Metode
Kriteria pasien dan klinikopatologis
6 dengan
kanker paru
2005 sampai
ipsilateral dan 214 pasien
2010, 221 Pengumpulan
1 dengan dimasukkan
pasien data
lymphangioleio dalam seri
tindakan
myomatosis penelitian
operatif
(LAM)
dieksklusikan
kebocoran udara persisten, pneumotoraks tension dan adanya lesi bulla yang jelas pada
kunjungan pertama, hemopneumothorax, okupasi pasien, dan rekurensi ipsilateral atau
kontralateral.
Kriteria pasien dan klinikopatologis
Video thoracoscope 5 atau 10 mm 0° disisipkan pada ICS 7 di linea midaksillaris (lubang drainase pra operatif.)
Port 5 atau 10 mm ditempatkan dalam intercostal space 5 antara tip skapula dan linea aksilaris anterior
Blebs dipertahankan dengan endograsp dan dieksisi dengan endo-GIA stapling device atau ECHELON device atau
dijahit tangan
Buttress stapling dilakukan dengan polyglycolic acid (PGA) atau DUET TRS
Teknik covering dilakukan menggunakan PGA sheet atau surgical absorbable hemostat dengan fibrin-glue
Sebuah tes kebocoran udara dilakukan dibawah tekanan 20cmH2O. Chest tube diletakkan melalui salah satu situs port
Nyeri blok
dipulangkan
epidural torakal
Follow up memiliki
dan obat
mobilisasi penuh
analgesik oral
Analisis statistik
Chi-square Variabel
& t-tes kategorik
Analisis
Asosiasi regresi
independen logistik
multivarian
Odd ratio &
95%
P-value < 0.05
convidence
interval
Analisis StatView
Diagram featured by
http://slidemodel.com
3 Hasil
Tabel 1 Hubungan antara rekurensi karakteristik klinikopatologis
Karakteristik Total Reka % Non-rek p-value
Semua kasus 214 35 16.4 179
Usia (tahun)
<28 102 17 16.7 85
≥28 112 18 16.1 94 0.906
Jenis Kelamin
Laki-laki 182 28 15.4 154
Perempuan 32 7 21.9 25 0.360
Merokok
Ya 75 7 9.3 68
Tidak 139 28 20,1 111 0.041
Letak Lesi
Kanan 103 16 15.5 87
Kiri 111 19 17.1 92 0.754
Lokasi lesi
Apex 177 29 16.4 148
Selain apex 37 6 16.2 31 0.980
Tabel 1 Hubungan antara rekurensi karakteristik klinikopatologis
Karakteristik Total Reka % Non-rek p-value
Semua kasus 214 35 16.4 179
Komorbid
Ya 44 12 27.3 32
Tidak 170 23 13.5 147 0.028
ISPb
Ya 50 9 18.0 41
Tidak 164 26 15.9 138 0.719
CSPc
Ya 37 5 13.5 32
Tidak 177 30 16.9 147 0.607
Operasi terhadap ISP
Ya 22 8 36.4 14
Tidak 192 27 14.1 165 0.007
a Rek: rekurensi, b ISP: Ipsilateral spontaneous pneumothorax, c CSP Contralateral
spontaneous pneumothorax
Tabel 2 Hubungan antara komorbid dan rekurensi
Pleurodesis
Ya 15 4 26.7 11
Tidak 199 31 15.6 168 0.263
Komplikasi pasca operatif
Ya 15 4 26.7 11
Tidak 199 31 15.6 168 0.263
Periode drainase (hari) 1.914 (1-4) 2.257 (1-9)
Lama perawatan di rumah 13.3 (2-140) 8.0 (2-140)
sakit (hari)
Tabel 4 Morbiditas / mortalitas
• Tingkat rekurensi pasca operasi lebih tinggi pada pasien dengan komorbid
daripada orang tanpa komorbid.
• Tingkat rekurensi pasca operasi lebih tinggi pada pasien yang mendapat
jahitan tangan untuk penanganan blebs daripada mereka yang mendapatkan
penanganan menggunakan perangkat.
Hasil saat ini mengungkapkan beberapa faktor klinis yang mungkin berguna
sebagai penanda untuk memprediksi rekurensi pasca operasi pada pasien dengan
PS yang akan mendapat tindakan operasi.
Ahli bedah sebaiknya memberi perhatian tambahan pada pasien dengan faktor
risiko, dan follow up lebih ketat juga harus dipertimbangkan untuk pasien
tersebut.
1. Tschopp JM, Rami-Porta R, Noppen M, Astoul P: Management of spontaneous pneumothorax: state of the
art. Eur Respir J 2006, 28:637–650.
2. Muramatsu T, Nishii T, Takeshita S, Ishimoto S, Morooka H, Shiono M: Preventing recurrence of
spontaneous pneumothorax after thoracoscopic surgery: a review of recent results. Surg Today 2010,
40:696–699.
3. Schramel FM, Postmus PE, Vanderschueren RG: Current aspects of spontaneous pneumothorax. Eur Respir
J 1997, 10:1372–1379.
4. Ayed AK, Bazerbashi S, Ben-Nakhi M, Chandrasekran C, Sukumar M, Al-Rowayeh A, et al: Risk factors of
spontaneous pneumothorax in Kuwait. Med Princ Pract. 2006, 15:338–342.
5. Bense L, Lewander R, Eklund G, Hedenstierna G, Wiman LG: Nonsmoking, non-alpha 1-antitrypsin
deficiency-induced emphysema in nonsmokers with healed spontaneous pneumothorax, identified by
computed tomography of the lungs. Chest 1993, 103:433–438.
6. Inderbitzi RG, Leiser A, Furrer M, Althaus U: Three years’experience in video-assisted thoracic surgery
(VATS) for spontaneous pneumothorax. J Thorac Cardiovasc Surg 1994, 107:1410–1415.
7. Huang TW, Lee SC, Cheng YL, Tzao C, Hsu HH, Chang H, et al: Contralateral recurrence of primary
spontaneous pneumothorax. Chest 2007, 132:1146–1150.
8. Takeno Y: Thoracoscopic treatment of spontaneous pneumothorax. Ann Thorac Surg 1993, 56:688–690.
9. Oka S, Uramoto H, Hanagiri T: Successful extirpation of thoracic pleural lipoma by single port
thoracoscopic surgery. Asian J Surg 2011, 34:140–142.
“
Terima Kasih