Anda di halaman 1dari 18

BAGIAN PENYAKIT DALAM REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2017


UNIVERSITAS HASANUDDIN

DISENTRI BASILER DAN AMOEBA

Oleh:
Alfira Zainal C111 12 339
Megawati Ananda H.B C111 13 318
Muh. Arham Harun C111 13 349

DIBAWAKAN DALAM RANGKA


TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:


Alfira Zainal C111 13 339
Megawati Ananda H.B ` C111 13 318
Muh. Arham H C111 13 349

Judul Laporan Kasus: Disentri Basiler dan Amoeba

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, 21 Juli 2017

Pembimbing

Dr. dr. Risna Halim, Sp.PD

2
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN .................................................................. 2

DAFTAR ISI ........................................................................................... 3

BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................ 4

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1. DEFINISI ........................................................................... 6

2.2. EPIDEMIOLOGI ................................................................ 6

2.3. ETIOLOGI .......................................................................... 6

2.4. PATOGENESIS .................................................................. 7

2.5. GEJALA KLINIS ................................................................ 9

2.6. DIAGNOSIS ...................................................................... 10

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG ……………………………… 11

2.8. KOMPLIKASI .................................................................... 14

2.9. PENGOBATAN ................................................................. 15

2.10. PENCEGAHAN .................................................................. 17

2.11. PROGNOSIS .................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

Disentri merupakan tipe diare yang berbahaya dan seringkali menyebabkan


kematian dibandingkan dengan tipe diare akut yang lain. Disentri berasal dari
bahasa Yunani, yaitu dys (gangguan) dan enteron (usus), yang berarti radang usus
yang menimbulkan gejala meluas dengan buang air besar dengan tinja berdarah,
diare encer dengan volume sedikit, buang air besar dengan tinja bercampur lendir
(mucus) dan nyeri saat buang air besar (tenesmus).

Penyakit infeksi diperkirakan menyebabkan kematian 11 juta anak tiap


tahunnya. 99% dari kematian ini terjadi di Negara berkembang, dan 4 juta
diantaranya kematian terjadi pada 1 tahun pertama kehidupan. Diare akut
merupakan manifestasi salah satu penyakit infeksi dan penyebab kematian kedua di
seluruh dunia. Di dunia 200 juta kasus dan 650.000 kematian terjadi akibat disentri
basiler pada anak-anak dibawah usia 5 tahun. Entamoeba menyerang 10% populasi
dunia. Pravalensi yang tinggi mencapai 50% di Asia, Afrika dan Amerika Selatan.
Shigella di Amerika Serikat 15.000 kasus sedangkan di negara-negara berkembang
Shigella flexneri dan S.dysentriae menyebabkan 600.000 kematian per/tahun.
Disentri merupakan peradangan pada usus besar yang ditandai dengan sakit
perut dan buang air besar yang encer secara terus menerus (diare) yang bercampur
lendir dan darah. Disentri merupakan suatu infeksi yang menimbulkan luka yang
menyebabkan tukak terbatas di colon yang ditandai dengan gejala khas yang disebut
sebagai sindroma disentri yakni sakit di perut yang sering disertai dengan tenesmus
berak-berak dan tinja mengandung darah dan lendir. Disentri dapat dibagi menjadi
dua jenis tergantung mikroorganisma penyebabnya yaitu Disentri basiler yang
disebabkan oleh Shigella sp. dari genus Shigella, yang termasuk bakteri gram
negative dan Disentri amoeba yang disebabkan oleh Entamoeba hystolitica.
Kematian biasanya terjadi karena gangguan sirkulasi perifer, anuria dan
koma uremik. Angka kematian bergantung pada keadaan dan tindakan pengobatan.
Angka ini bertambah pada keadaan malnutrisi dan keadaan daruratmisalnya
kelaparan. Perkembangan penyakit ini selanjutnya dapat membaik secara perlahan-

4
lahan tetapi memerlukan waktu penyembuhan yang lama. Pada kasus yang sedang
keluhan dan gejalanya bervariasi, tinja biasanya lebih berbentuk, mungkin dapat
mengandung sedikit darah/lendir. Sedangkan pada kasus yang ringan,
keluhan/gejala tersebut di atas lebih ringan.
Makanan, minuman dan keadaan lingkungan hidup yang memenuhi syarat
kesehatan merupakan sarana pencegahan penyakit yang sangat penting. Belum ada
rekomendasi pemakaian vaksin untuk Shigella. Penularan disentri basiler dapat
dicegah dan dikurangi dengan kondisi lingkungan dan diri yang bersih seperti
membersihkan tangan dengan sabun, suplai air yang tidak terkontaminasi,
penggunaan jamban yang bersih. Prognosis ditentukan dari berat ringannya
penyakit, diagnosis dan pengobatan dini yang tepat serta kepekaan ameba terhadap
obat yang diberikan.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. DEFINISI
Disentri bersasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (gangguan) dan enteron
(usus), yang berarti radang usus yang menimbulkan gejala meluas dengan
buang air besar dengan tinja berdarah, diare encer dengan volume sedikit,
buang air besar dengan tinja bercampur lendir (mucus) dan nyeri saat buang air
besar (tenesmus).1

2.2. EPIDEMIOLOGI
Di dunia sekurangnya 200 juta kasus dan 650.000 kematian terjadi akibat
disentri basiler pada anak-anak di bawah umur 5 tahun. Di Amerika Serikat
dilaporkan sekitar 8-12 kasus per 100.000 populasi selama 30 tahun.
Spesies Entamoeba menyerang 10% populasi dunia. Pravalensi yang
tinggi mencapai 50% di Asia, Afrika dan Amerika Selatan sedangkan pada
Shigella di Amerika Serikat 15.000 kasus. Di negara-negara berkembang
Shigella flexneri dan S.dysentriae menyebabkan 600.000 kematian per tahun.
Hal ini disebabkan pada negara berkembang kondisi infrastruktur yang kadang
kurang bagus, pemukiman padat dengan hygiene yang tidak bagus.3

2.3.ETIOLOGI
Penyebab disentri basiler adalah Shigella sp. dari genus Shigella, yang
termasuk bakteri gram negatif. Secara morfologi bakteri shigella berbentuk
berbentuk ramping, tidak berkapsul, tidak bergerak, tidak berbentuk spora,
bentuk cocobasil dapat terjadi pada biakan muda dan merupakan bakteri
fakultatif anaerob. Shigella mempunyai susunan antigen yang kompleks yang
kompleks. Terdapat banyak tumpang tindih dalam sifat serologik berbagai
spesies dan sebagian besar kuman ini mempunyai antigen O yang juga miliki
oleh kuman enterik lainnya. Secara antigen mirip dengan Eschericia coli,
Shigellla tidak memiliki flagella dan antigen H. Antigen somatik O dari
Shigella adalah lipopolisakarida. Genus ini dibagi menjadi empat spesies
berdasarkan reaksi biokimia dan antigen O spesifik, yaitu Shigella dysentriae
(serogroup A), Shigella flexneri (serogroup B), Shigella boydii (serogroup C),

6
dan Shigella sonnei (serogroup D). Shigella merupakan prototip bakteri
patogen yang dapat invasi dan bermultiplikasi di segala sel epithelial, termasuk
sel target alaminya yaitu enterosit. Shigella dysentriae type 1 (shiga bacillus)
merupakan spesies pertama yang diketahui memproduksi toksin Shiga yang
poten.2
Entamoeba histolytica merupakan bakteri yang hidup sebagai
mikroorganisme komensal (apatogen) di usus besar manusia. Apabila kondisi
mengijinkan dapat berubah menjadi patogen dengan cara membentuk koloni di
dinding usus dan menembus dinding usus sehingga menimbulkan ulserasi.
Siklus hidup amoeba ada 2 macam yaitu bentuk trofozoit yang dapat bergerak
dan bentuk kista. Bentuk trofozoit ada 2 macam, yaitu trofozoit komensal (<10
mm) dan trofozoit patogen (>10 mm). Trofozoit komensal dapat dijumpai di
lumen usus tanpa menyebabkan gejala penyakit. Bila pasien mengalami diare,
maka trofozoit akan keluar bersamaan tinja. Pada pemeriksaan tinja di bawah
mikroskop tampak trofozoit yang bergerak aktif dengan pseudopodinya dan
dibatasi oleh ektoplasma yang terang seperti kaca dan endopasma bentuk butir
kecil dan sebuah inti didalamnya. Trofozoit patogen mengakibatkan gejala
disentri. Diameter lebih besar dari trofozoit komensal dan mengandung
beberapa eritrosit didalamnya, karena sering menelan eritrosit
(haematophagous trophozoite). Bentuk kista bertanggungjawab terhadap
penularan penyakit, dapat hidup lama diluar tubuh manusia. Diduga faktor
kekeringan akibat penyerapan air sepanjang usus besar, menyebabkan trofozoit
berubah menjadi kista.1

2.4.PATOGENESIS
Bakteri Shigella ditransmisikan melalui feko-oral, dapat pula melalui
kontak orang ke orang, makan dan minuman yang tercemar. Ketahanan
terhadap kondisi PH yang rendah menyebabkan shigella bertahan melalui
barrier lambung. Diare air mendahului sindrom disentri karena sekresi aktif
dan reabsorpsi air abnormal. Sindroma disentri ditandai dengan berak berdarah
dan mukopurulen akibat invasi mukosa. Sampai di usus halus terjadi invasi ke
mukosa kolon yang memicu respon inflamasi akut yang intensif dengan
ulserasi mukosa dan pembentukan abses. Shigella memasuki membran mukosa

7
dengan memasuki folikel pada sel M di usus halus. Shigella melekat selektif
dan dapat transitosis melalui sel M ke dalam kumpulan sel fagosit. Bakteri
dapat menyebabkan apoptosis, kemudian dilepaskan ke sel M pada sisi
basolateral enterosit dan mengawali proses invasi yang multipel dan bertahap
yang diperantarai oleh antigen invasi (IpaA, IpaB, IpaC). Meskipun awalnya
bakteri di kelilingi oleh vakuola fagositik, namun dapat lepas dalam waktu 15
menit dan memasuki kompartemen sitoplasma sel inang. Invasi ke enterosit
sebenarnya membentuk proyeksi seperti jari, yang kemudian akan pinch off,
mengganti bakteri kedalam sel baru tetapi dikelilingi oleh membran ganda.
Organisme kemudian melisiskan kedua membran dan dilepaskan kedalam
sitoplasma bebas untuk memulai siklus baru. 2
Sitokin dilepaskan oleh sejumlah sel epitel intestinal menyebabkan
kenaikan PMN proses perluasan membentuk ulkus fokal pada mukosa,
terutama kolon yang menambah komponen perdarahan dan menyebabkan
Shigella untuk mencapai lamina propria sehingga menimbulkan respon
inflamasi akut.2
Pada amoebiasis, trofozoit mula-mula hidup komensal di lumen usus
besar, dapat berubah menjadi patogen menembus mukosa usus dan membuat
ulkus. Amoeba yang ganas memproduksi enzim fosfoglukomutase dan lisozim
yang dapat mengakibatkan kerusakan dan nekrosis jaringan usus. Bentuk ulkus
amoeba yaitu dilapisi mukosa berbentuk kecil, tapi dilapisan submukosa dan
muskularis melebar. Mukosa usus antara ulkus ulkus tampak normal. Hal ini
berbeda dengan disentri basiler dimana mukosa usus antar ulkus meradang.
Ulkus yang terjadi dapat menimbulkan perdarahan dan apabila menembus
lapisan muskular dapat terjadi perforasi dan peritonitis. Infeksi kronik dapat
menimbulkan reaksi terbentuknya massa jaringan granulasi yang disebut
amoeboma. Amoeba dapat mengadakan metastasiske hati lewat cabang vena
porta dan menimbulkan abses hati. Embolisasi lewat pembuluh darah dapat
pula terjadi ke paru, otak atau limpa dan menimbulkan abses, namun jarang
terjadi.1,4

8
2.5 GEJALA KLINIS

a. Disentri Basiler


Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Lama gejala rerata 7 hari
sampai 4 minggu. Pada fase awal pasien mengeluh nyeri perut bawah, diare
disertai demam yang mencapai 400C. Selanjutnya diare berkurang tetapi tinja
masih mengandung darah dan lendir, tenesmus, dan nafsu makan menurun. (6)

Bentuk klinis dapat bermacam-macam dari yang ringan, sedang sampai


yang berat. Sakit perut terutama di bagian sebelah kiri, terasa melilit diikuti
pengeluaran tinja sehingga mengakibatkan perut menjadi cekung. Bentuk yang
berat (fulminating cases) biasanya disebabkan oleh S. dysentriae. Gejalanya
timbul mendadak dan berat, berjangkitnya cepat, berak-berak seperti air
dengan lendir dan darah, muntah-muntah, suhu badan subnormal, cepat terjadi
dehidrasi, renjatan septik dan dapat meninggal bila tidak cepat ditolong.
Akibatnya timbul rasa haus, kulit kering dan dingin, turgor kulit berkurang
karena dehidrasi. Muka menjadi berwarna kebiruan, ekstremitas dingin dan
viskositas darah meningkat (hemokonsentrasi). Kadang-kadang gejalanya
tidak khas, dapat berupa seperti gejala kolera atau keracunan makanan.

Kematian biasanya terjadi karena gangguan sirkulasi perifer, anuria dan


koma uremik. Angka kematian bergantung pada keadaan dan tindakan
pengobatan. Angka ini bertambah pada keadaan malnutrisi dan keadaan darurat
misalnya kelaparan. Perkembangan penyakit ini selanjutnya dapat membaik
secara perlahan-lahan tetapi memerlukan waktu penyembuhan yang lama. Pada
kasus yang sedang keluhan dan gejalanya bervariasi, tinja biasanya lebih
berbentuk, mungkin dapat mengandung sedikit darah/lendir. Sedangkan pada
kasus yang ringan, keluhan/gejala tersebut di atas lebih ringan. Berbeda dengan
kasus yang menahun, terdapat serangan seperti kasus akut secara menahun.
Kejadian ini jarang sekali bila mendapat pengobatan yang baik. (2)

b. Disentri Amuba

Carrier (Cyst Passer)

Pasien ini tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali. Hal ini
disebabkan karena amoeba yang berada dalam lumen usus besar tidak
mengadakan invasi ke dinding usus.


9
Disentri amoeba ringan

Timbulnya penyakit (onset penyakit) perlahan-lahan. Penderita


biasanya mengeluh perut kembung, kadang nyeri perut ringan yang bersifat
kejang. Dapat timbul diare ringan, 4-5 kali sehari, dengan tinja berbau
busuk. Kadang juga tinja bercampur darah dan lendir. Terdapat sedikit nyeri
tekan di daerah sigmoid, jarang nyeri di daerah epigastrium. Keadaan
tersebut bergantung pada lokasi ulkusnya. Keadaan umum pasien biasanya
baik, tanpa atau sedikit demam ringan (subfebris). Kadang dijumpai
hepatomegali yang tidak atau sedikit nyeri tekan.

Disentri amoeba sedang

Keluhan pasien dan gejala klinis lebih berta dibanding disentri


ringan, tetapi pasien masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari. Tinja
biasanya disertai lendir dan darah. Pasien mengeluh perut kram, demam dan
lemah badan disertai hepatomegali yang nyeri ringan.


Disentri amoeba berat

Keluhan dan gejala klinis lebih berta lagi. Penderita mengalami


diare disertai darah yang banyak, lebih dari 15 kali sehari. Demam tinggi
(400C-40,50C) disertai mual dan anemia.


Disentri amoeba kronik

Gejalanya menyerupai disentri amoeba ringan, serangan-serangan


diare diselingi dengan periode normal atau tanpa gejala. Keadaan ini dapat
berjalan berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Pasien biasanya
menunjukkan gejala neurastenia. Serangan diare yang terjadi biasanya
dikarenakan kelelahan, demam atau makanan yang sulit dicerna. (6)

2.6 DIAGNOSIS

a. Disentri basiler


Perlu dicurigai adanya Shigellosis pada pasien yang datang dengan


keluhan nyeri abdomen bawah, dan diare. Pemeriksaan mikroskopik tinja
menunjukkan adanya eritrosit dan leukosit PMN. Untuk memastikan
diagnosis dilakukan kultur dari bahan tinja segar atau hapus rektal. Pada

10
fase akut infeksi Shigella, tes serologi tidak bermanfaat. Pada disentri
subakut gejala klinisnya serupa dengan kolitis ulserosa. Perbedaan utama
adalah kultur Shigella yang positif dan perbaikan klinis yang bermakna
setelah pengobatan dengan antibiotik yang adekuat. (6)

b. Disentri amuba

Pemeriksaan tinja sangat penting di mana tinja penderita amebiasis


tidak banyak mengandung leukosit tetapi banyak mengandung bakteri.
Diagnosis pasti baru dapat ditegakkan bila ditemukan amoeba (trofozoit).
Akan tetapi ditemukannya amoeba bukan berarti meyingkirkan
kemungkinan penyakit lain karena amebiasis dapat terjadi bersamaan
dengan penyakit lain. Oleh karena itu, apabila penderita amebiasis yang
telah menjalani pengobatan spesifik masih tetap mengeluh nyeri perut, perlu
dilakukan pemeriksaan lain, misalnya endoskopi, foto kolon dengan barium
enema atau biakan tinja.

Abses hati ameba sukar dibedakan dengan abses piogenik dan


neoplasma. Pemeriksaan ultrasonografi dapat membedakannya dengan
neoplasma, sedang ditemukannya echinococcus dapat membedakannya
dengan abses piogenik. Salah satu caranya yaitu dengan dilakukannya
pungsi abses. (2)

2.7 Pemeriksaan Penunjang

a. Disentri amoeba

Pemeriksaan tinja

Pemeriksaan tinja ini merupakan pemeriksaan laboratorium yang


sangat penting. Biasanya tinja berbau busuk, bercampur darah dan lendir.
Untuk pemeriksaan mikroskopik diperlukan tinja yang segar. Kadang
diperlukan pemeriksaan berulang-ulang, minimal 3 kali seminggu dan
sebaiknya dilakukan sebelum pasien mendapat pengobatan.

Pada pemeriksaan tinja yang berbentuk (pasien tidak diare), perlu


dicari bentuk kista karena bentuk trofozoit tidak akan dapat ditemukan.
Dengan sediaan langsung tampak kista berbentuk bulat dan berkilau seperti

11
mutiara. Di dalamnya terdapat badan-badan kromatoid yang berbentuk
batang dengan ujung tumpul, sedangkan inti tidak tampak. Untuk dapat
melihat intinya, dapat digunakan larutan lugol. Akan tetapi dengan larutan
lugol ini badan-badan kromatoid tidak tampak. Bila jumlah kista sedikit,
dapat dilakukan pemeriksaan menggunakan metode konsentrasi dengan
larutan seng sulfat dan eterformalin. Dengan larutan seng sulfat kista akan
terapung di permukaan sedangkan dengan larutan eterformalin kista akan
mengendap.

Dalam tinja pasien juga dapat ditemukan trofozoit. Untuk itu


diperlukan tinja yang masih segar dan sebaiknya diambil bahan dari bagian
tinja yang mengandung darah dan lendir. Pada sediaan langsung dapat
dilihat trofozoit yang masih bergerak aktif seperti keong dengan
menggunakan pseudopodinya yang seperti kaca. Jika tinja berdarah, akan
tampak amoeba dengan eritrosit di dalamnya. Bentik inti akan nampak jelas
bila dibuat sediaan dengan larutan eosin. (2)

Pemeriksaan sigmoidoskopi dan kolonoskopi


Pemeriksaan ini berguna untuk membantu diagnosis penderita


dengan gejala disentri, terutama apabila pada pemeriksaan tinja tidak
ditemukan amoeba. Akan tetapi pemeriksaan ini tidak berguna untuk
carrier. Pada pemeriksaan ini akan didapatkan ulkus yang khas dengan tepi
menonjol, tertutup eksudat kekuningan, mukosa usus antara ulkus-ulkus
tampak normal. (2)

Foto rontgen kolon


Pemeriksaan rontgen kolon tidak banyak membantu karena


seringkali ulkus tidak tampak. Kadang pada kasus amoebiasis kronis, foto
rontgen kolon dengan barium enema tampak ulkus disertai spasme otot.
Pada ameboma nampak filling defect yang mirip karsinoma. (2)

Pemeriksaan uji serologi


Uji serologi banyak digunakan sebagai uji bantu diagnosis abses hati
amebik dan epidemiologis. Uji serologis positif bila amoeba menembus
jaringan (invasif). Oleh karena itu uji ini akan positif pada pasien abses hati
dan disentri amoeba dan negatif pada carrier. Hasil uji serologis positif

12
belum tentu menderita amebiasis aktif, tetapi bila negatif pasti bukan
amebiasis.(2)

Disentri basiler


Pemeriksaan tinja.

Pemeriksaan tinja secara langsung terhadap kuman penyebab serta biakan


hapusan (rectal swab). Untuk menemukan carrier diperlukan pemeriksaan
biakan tinja yang seksama dan teliti karena basil shigela mudah mati . Untuk
itu diperlukan tinja yang baru.

Polymerase Chain Reaction (PCR).

Pemeriksaan ini spesifik dan sensitif, tetapi belum dipakai secara luas.

Enzim immunoassay.

Hal ini dapat mendeteksi toksin di tinja pada sebagian besar penderita yang
terinfeksi S.dysentriae tipe 1 atau toksin yang dihasilkan E.coli.

Sigmoidoskopi.

Sebelum pemeriksaan sitologi ini, dilakukan pengerokan daerah sigmoid.


Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada stadium lanjut.

Aglutinasi.

Hal ini terjadi karena aglutinin terbentuk pada hari kedua, maksimum pada
hari keenam. Pada S.dysentriae aglutinasi dinyatakan positif pada
pengenceran 1/50 dan pada S.flexneri aglutinasi antibodi sangat kompleks,
dan oleh karena adanya banyak strain maka jarang dipakai.

Endoskopi

Gambaran endoskopi memperlihatkan mukosa hemoragik yang terlepas dan


ulserasi. Kadang-kadang tertutup dengan eksudat. Sebagian besar lesi
berada di bagian distal kolon dan secara progresif berkurang di segmen
proksimal usus besar. (2)

13
2.8 KOMPLIKASI

Disentri amoeba
Beberapa penyulit dapat terjadi pada disentri amoeba,


baik berat maupun ringan. Berdasarkan lokasinya, komplikasi tersebut
dapat dibagi menjadi : (2)

Komplikasi intestinal

Perdarahan usus. Terjadi apabila amoeba mengadakan invasi ke dinding


usus besar dan merusak pembuluh darah.
Perforasi usus. Hal ini dapat
terjadi bila abses menembus lapisan muskular dinding usus besar. Sering
mengakibatkan peritonitis yang mortalitasnya tinggi. Peritonitis juga dapat
disebabkan akibat pecahnya abses hati amoeba.

Ameboma. Peristiwa ini terjadi akibat infeksi kronis yang


mengakibatkan reaksi terbentuknya massa jaringan granulasi. Biasanya
terjadi di daerah sekum dan rektosigmoid. Sering mengakibatkan ileus
obstruktif atau penyempitan usus. Intususepsi. Sering terjadi di daerah
sekum (caeca-colic) yang memerlukan tindakan operasi segera.

Penyempitan usus (striktura). Dapat terjadi pada disentri kronik


akibat terbentuknya jaringan ikat atau akibat ameboma.


Komplikasi ekstraintestinal


Amebiasis hati. Abses hati merupakan komplikasi ekstraintestinal


yang paling sering terjadi. Abses dapat timbul dari beberapa minggu, bulan
atau tahun sesudah infeksi amoeba sebelumnya. Infeksi di hati terjadi akibat
embolisasi ameba dan dinding usus besar lewat vena porta, jarang lewat
pembuluh getah bening.

Mula-mula terjadi hepatitis ameba yang merupakan stadium dini


abses hati kemudian timbul nekrosis fokal kecil-kecil (mikro abses), yang
akan bergabung menjadi satu, membentuk abses tunggal yang besar. Sesuai
dengan aliran darah vena porta, maka abses hati ameba terutama banyak
terdapat di lobus kanan. Abses berisi nanah kental yang steril, tidak berbau,
berwarna kecoklatan (chocolate paste) yang terdiri atas jaringan sel hati
yang rusak bercampur darah. Kadang-kadang dapat berwarna kuning
kehijauan karena bercampur dengan cairan empedu.
Abses
pleuropulmonal. Abses ini dapat terjadi akibat ekspansi langsung abses hati.
Kurang lebih 10-20% abses hati ameba dapat mengakibatkan penyulit ini.
Abses paru juga dapat terjadi akibat embolisasi ameba langsung dari
dinding usus besar. Dapat pula terjadi hiliran (fistel) hepatobronkhial
sehingga penderita batuk- batuk dengan sputum berwarna kecoklatan yang
rasanya seperti hati.

Abses otak, limpa dan organ lain. Keadaan ini dapat terjadi akibat
embolisasi ameba langsung dari dinding usus besar maupun dari abses hati
walaupun sangat jarang terjadi.
Amebiasis kulit. Terjadi akibat invasi

14
ameba langsung dari dinding usus besar dengan membentuk hiliran (fistel).
Sering terjadi di daerah perianal atau dinding perut. Dapat pula terjadi di
daerah vulvovaginal akibat invasi ameba yang berasal dari anus.

Disentri basiler
Beberapa komplikasi ekstra intestinal disentri


basiler terjadi pada pasien yang berada di negara yang masih berkembang
dan seringnya kejadian ini dihubungkan dengan infeksi S.dysentriae tipe 1
dan S.flexneri pada pasien dengan status gizi buruk. Komplikasi lain akibat
infeksi S.dysentriae tipe 1 adalah haemolytic uremic syndrome (HUS). SHU
diduga akibat adanya penyerapan enterotoksin yang diproduksi oleh
Shigella. Biasanya HUS ini timbul pada akhir minggu pertama disentri
basiler, yaitu pada saat disentri basiler mulai membaik. Tanda- tanda HUS
dapat berupa oliguria, penurunan hematokrit (sampai 10% dalam 24 jam)
dan secara progresif timbul anuria dan gagal ginjal atau anemia berat dengan
gagal jantung. Dapat pula terjadi reaksi leukemoid (leukosit lebih dari
50.000/mikro liter), trombositopenia (30.000-100.000/mikro liter),
hiponatremia, hipoglikemia berat bahkan gejala susunan saraf pusat seperti
ensefalopati, perubahan kesadaran dan sikap yang aneh.

Artritis juga dapat terjadi akibat infeksi S.flexneri yang biasanya


muncul pada masa penyembuhan dan mengenai sendi-sendi besar terutama
lutut. Hal ini dapat terjadi pada kasus yang ringan dimana cairan sinovial
sendi mengandung leukosit polimorfonuklear. Penyembuhan dapat
sempurna, akan tetapi keluhan artsitis dapat berlangsung selama berbulan-
bulan. Bersamaan dengan artritis dapat pula terjadi iritis atau iridosiklitis.
Sedangkan stenosis terjadi bila ulkus sirkular pada usus menyembuh,
bahkan dapat pula terjadi obstruksi usus, walaupun hal ini jarang terjadi.
Neuritis perifer dapat terjadi setelah serangan S.dysentriae yang toksik
namun hal ini jarang sekali terjadi.

Komplikasi intestinal seperti toksik megakolon, prolaps rectal dan


perforasi juga dapat muncul. Akan tetapi peritonitis karena perforasi jarang
terjadi. Kalaupun terjadi biasanya pada stadium akhir atau setelah serangan
berat. Peritonitis dengan perlekatan yang terbatas mungkin pula terjadi pada
beberapa tempat yang mempunyai angka kematian tinggi. Komplikasi lain
yang dapat timbul adalah bisul dan hemoroid. (2)

2.9 PENGOBATAN

Disentri basiler
Prinsip dalam melakukan tindakan pengobatan adalah istirahat,
mencegah atau memperbaiki dehidrasi dan pada kasus yang berat diberikan
antibiotika. Cairan dan elektrolit dehidrasi ringan sampai sedang dapat
dikoreksi dengan cairan rehidrasi oral. Jika frekuensi buang air besar terlalu
sering, dehidrasi akan terjadi dan berat badan penderita turun. Dalam
keadaan ini perlu diberikan cairan melalui infus untuk menggantikan cairan

15
yang hilang. Akan tetapi jika penderita tidak muntah, cairan dapat diberikan
melalui minuman atau pemberian air kaldu atau oralit. Bila penderita
berangsur sembuh, susu tanpa gula mulai dapat diberikan.

Diberikan makanan lunak sampai frekuensi berak kurang dari 5


kali/hari, kemudian diberikan makanan ringan biasa bila ada kemajuan.
Pengobatan spesifik Menurut pedoman WHO, bila telah terdiagnosis
shigelosis pasien diobati dengan antibiotika. Jika setelah 2 hari pengobatan
menunjukkan perbaikan, terapi diteruskan selama 5 hari. Bila tidak ada
perbaikan, antibiotika diganti dengan jenis yang lain.

Resistensi terhadap sulfonamid, streptomisin, kloramfenikol dan tetrasiklin


hampir universal terjadi. Kuman Shigella biasanya resisten terhadap
ampisilin, namun apabila ternyata dalam uji resistensi kuman
terhadap ampisilin masih peka, maka masih dapat digunakan dengan dosis
4 x 500 mg/hari selama 5 hari. Begitu pula dengan trimethoprim
sulfametoksazol, dosis yang diberikan 2 x 960 mg/hari selama 3-5 hari.

Amoksisilin tidak dianjurkan dalam pengobatan disentri basiler karena


tidak efektif.

Pemakaian jangka pendek dengan dosis tunggal fluorokuinolon


seperti siprofloksasin atau makrolide azithromisin ternyata berhasil baik
untuk pengobatan disentri basiler.
Dosis siprofloksasin yang dipakaiadalah 2 x 500 mg/hari selama 3 hari
sedangkan azithromisin diberikan 1 gram dosis tunggal dan sefiksim 400
mg/hari selama 5 hari.

Pemberian siprofloksasin merupakan kontraindikasi terhadap anak-anak


dan wanitahamil. Di negara-negara berkembang di mana terdapat kuman
S.dysentriae tipe 1 yang multiresisten terhadap obat-obat, diberikan asam
nalidiksik dengan dosis 3 x 1 gram/hari selama 5 hari. Tidak ada antibiotika
yang dianjurkan dalam pengobatan stadium carrier disentri basiler.

Disentri amuba
Asimtomatik atau carrier : Iodoquinol (diidohydroxiquin) 650 mg tiga
kali perhari selama 10 hari.
Amebiasis intestinal ringan atau sedang : tetrasiklin 500 mg empat kali
selama 5 hari.
Amebiasis intestinal berat, menggunakan 3 obat : Metronidazol 750 mg
tiga kali sehari selama 5-10 hari, tetrasiklin 500 mg empat kali selama
5 hari, dan emetin 1 mg/kgBB/hari/IM selama 10 hari.
Amebiasis ektraintestinal, menggunakan 3 obat : Metonidazol 750 mg
Tiga kali sehari selama 5-10 hari, kloroquin fosfat 1 gram perhari
selama 2 hari dilanjutkan 500 mg/hari selama 4 minggu, dan emetin 1
mg/kgBB/hari/IM selama 10 hari.

16
2.10 PENCEGAHAN

 Mengkonsumsi air minum yang sudah dimasak (mendidih).


 Tidak memakan sayuran, ikan dan daging mentah atau setengah matang.
 Mencuci sayuran dengan bersih sebelum dimasak.
 Mencuci dengan bersih buah-buahan yang akan dikonsumsi.
 Selalu menjaga kebersihan tangan dengan mencuci tangan secara teratur dan
menggunting kuku.
 Mencuci dengan bersih alat makan-minum bayi/anak-anak dan merendam
dalam air mendidih sebelum digunakan
 Pembuangan kotoran manusia yang memenuhi syarat.
 Menghindari pemupukan tanaman dengan kotoran manusia dan hewan.
 Menutup dengan baik makanan dan minuman dari kemungkinan
kontaminasi serangga

2.11 PROGNOSIS

Prognosis ditentukan dari berat ringannya penyakit, diagnosis dan


pengobatan dini yang tepat serta kepekaan ameba terhadap obat yang
diberikan. Pada umumnya prognosis amebiasis adalah baik terutama pada
kasus tanpa komplikasi. Prognosis yang kurang baik adalah abses otak
ameba. Pada bentuk yang berat, angka kematian tinggi kecuali bila
mendapatkan pengobatan dini. Tetapi pada bentuk yang sedang, biasanya
angka kematian rendah; bentuk dysentriae biasanya berat dan masa
penyembuhan lama meskipun dalam bentuk yang ringan. Bentuk flexneri
mempunyai angka kematian yang rendah

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Soewando, Eddy Soewandojo. 2014. Amebiasis. Buku Ajar Ilmu Penyakit


Dalam edisi VI. Fakultaskedokteran UI. Interna Publishing.
2. Nugroho, Rizka H.A, Harakati W, Soebagjo L. 2014. Disentri Basiler. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi VI. Fakultas kedokteran UI. Interna
Publishing.
3. Kroser A., 2013. Shigellosis. Diakses dari http://www.emedicine.com
/med/topic2112.htm.
4. Tsukui KN , Tomoyoshi N. 2016. Immune Response of Amebiasis and
Immune Evasion by Entamoeba histolytica. J Frontiers in immunology
Vol.7(175) p3.

18

Anda mungkin juga menyukai