Anda di halaman 1dari 8

2.3.

2 Cedera Otak Sekunder

Luasnya kerusakan otak pasca trauma ditentukan oleh jenis cedera yang
diderita (primer dan sekunder). Cedera otak sekunder terjadi setelah trauma
inisial dan merupakan konsekuensi dari proses kompleks yang diawali
dengan cedera primer pada otak dengan faktor resiko utamanya adalah
hipoksia dini dan hipotensi sewaktu periode resusitatif. Urutan kejadian yang
berperan dalam berkembangnya kerusakan otak sekunder pasca cedera
traumatik sangat kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti. Hal ini
terutama karena berbagai macam mediator endogen yang dilepaskan ke
dalam kompartemen intrakranial pasca trauma dan kompleksisitas
interaksinya serta regulasi yang tergantung waktu (time dependent
regulation).1
Cedera sekunder yang terjadi pada otak disebabkan oleh cedera
yang bukan bersumber pada otak itu sendiri. Penyebab secara umum cedera
otak sekunder dibagi menjadi ekstrakranial dan intrakranial. Penyebab
terjadinya perdarahan ekstrakanial antara lain hipoksia, hipotensi,
hiponatremia, hipertermia, hipoglikemia, hiperglikemia. Sedangkan
penyebab terjadinya perdarahan intrakanial antara lain Perdarahan
(ekstradural, subdural, intraserebral, intraventrikular, subarakhnoid), edema
(edema kongesti vena, hiperemia, edema vasogenik, edema sitotoksik, edema
interstitial), Infeksi (meningitis, abses otak). Beberapa jenis kerusakan otak
sekunder secara potensial masih bersifat reversibel sehingga dengan
penanganan yang adekuat dapat dipulihkan. Iskemia akibat cedera otak
sekunder tidak hanya timbul pada cedera otak yang berat tetapi dapat juga
timbul pada cedera otak ringan hingga sedang.2
Setelah terjadi cedera otak primer, secara berangsur-angsur akan muncul
edema otak yang tingkat keparahannya bergantung pada kerusakan struktural dan
ketidakseimbangan osmotik yang dihasilkan oleh cedera primer atau sekunder. 1
Dekstruksi Metabolisme
Cedera Kepala cerebral
jaringan Traumatik

Cedera Otak Sekunder


Kematian sel
neuron

Keluar asam amino Merusak sawar


eksitatori darah otak
Edema serebri

Terbukanya kanal ion Ca2+,


inaktivasi radikal bebas

TIK
Pembentukan radikal
bebas baru

Vasoregulasi serebri tidak


seimbang

Aliran darah otak

Kerusakan otak

Gambar 2.1 Algoritma Patofisiologi Cedera Otak Sekunder. 1


Pada cedera kepala traumatik dan terjadi cedera otak sekunder, tubuh akan me-
release atau mengeluarkan asam amino dan terjadinya cedera otak sekunder tersebut
dapat merusak blood brain barrier (sawar darah otak). Hal tersebut dapat
menyebabkan terbukanya kanal ion Ca2+ serta inaktivasi dari radikal bebas. Akibat
dari hal tersebut, akan terjadi edema serebri dan juga pengumpulan radikal bebas
baru. Vasoregulasi serebri juga tidak seimbang dan terjadi penurunan aliran darah
otak yang berefek pada kerusakan otak yang irreversibel.1
Terdapat 2 tipe dari edem otak, yaitu edema sitotoksik dan edema vasogenik.
Kedua jenis edema ini dapat terjadi segera setelah cedera otak dan keduanya dapat
menyebabkan gangguan otak sekunder. Edema otak biasanya lebih buruk pada 24
hingga 48 jam setelah cedera. Pada pasien dengan cedera otak, meskipun edema
sitotoksik lebih sering terjadi dibandingkan dengan edema vasogenik, kedua jenis
edema ini sama-sama dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
dan iskemia sekunder.1
1. Edema Sitotoksik (Intraselular)
Edema otak sitotoksik ditandai dengan peningkatan cairan intraseluler pada sel
astrosit, mikroglia, serta neuron terlepas dari tebalnya dinding endotel vaskular.
Edema sitotoksik adalah konsekuensi dari modifikasi osmolalitas seluler, ditandai
dengan kegagalan kemampuan sel untuk mengelola gradien ioniknya. Mekanisme ini
ditandai dengan permeabilitas membran sel, penghentian pompa ion karena
kekurangan energi, dan reabsorpsi seluler dari zat terlarut yang aktif secara osmotik.
Sawar darah otak yang rusak dan iskemia di berbagai area otak juga dapat
menghasilkan cedera otak sitotoksik sebagai kompensasi untuk memulihkan aliran
darah. Sel glia dan neuron sangat sensitif terhadap kerusakan sel sitotoksik. Edema
sitotoksik dapat dikaitkan dengan aliran darah yang terhambat, peningkatan TIK, dan
iskemia.1
2. Edema vasogenik (Interstisial)
Edema otak vasogenik ditandai dengan gangguan autodigestif atau gangguan
mekanik / fungsional dari sel endotel (sistem penting dari sawar darah otak) atau
akibat dari dilatasi pembuluh otak. Kerusakan dinding endotel vaskular serebral
meningkatkan ion dan protein yang tidak terkendali dari intravaskular ke bagian otak
interstitial (ekstraselular) dengan ditandai oleh peningkatan cairan di ekstraselular,
sehingga terjadi akumulasi volume cairan dalam ruang ekstraselular. Vasodilatasi ini
menghasilkan tekanan parsial karbon dioksida di dalam darah arteri yang meningkat
sebagai akibat dari kegagalan ventilasi. 1

2.4 Hipernatremia
2.4.1 Definisi hipernatremia
Hipernatremia adalah konsentrasi natrium plasma dalam tubuh yang meningkat
diatas normal. 2
Literatur lain menyebutkan, hipernatremia adalah peningkatan konsentrasi
serum natrium >145 mmol/liter. 4

2.4.2 Patofisiologi hipernatremia


Peningkatan konsentrasi natrium plasma, yang juga menyebabkan peningkatan
osmolaritas, dapat disebabkan oleh kehilangan air dan larutan ekstrasel yang
memekatkan ion natrium, atau karena kelebihan natrium dalam cairan ekstraseluler.
Bila terdapat kehilangan primer air dari cairan ekstraseluler, hal tersebut akan
mengakibatkan timbulnya hipernatremia-dehidrasi . Kondisi ini dapat terjadi akibat
ketidakmampuan untuk menyekresi hormon ADH, yang dibutuhkan ginjal untuk
menahan air. Akibat tidak adanya hormon ADH ini, ginjal mengeluarkan urine encer
dalam jumlah yang sangat besar (kelainan yang disebut diabetes insipidus), yang
menyebabkan timbulnya dehidrasi dan peningkatan konsentrasi natrium klorida
dalam cairan ekstraseluler. Pada jenis-jenis penyakit ginjal tertentu, ginjal tidak
berespons terhadap hormon antidiuretik, yang juga menyebabkan jenis kelainan
diabetes insipidus nefrogenik .2
Hipernatremia juga dapat terjadi akibat penambahan natrium klorida yang
berlebihan pada cairan ekstraseluler. Hal ini sering terjadi pada hipernatremia-
hiperhidrasi, karena kelebihan natrium klorida ekstrasel dan biasanya juga
berhubungan dengan beberapa derajat retensi air oleh ginjal. Contoh : sekresi
berlebihan dari hormon aldosteron yang meretensi natrium dapat menyebabkan
hipernatremia ringan dan overhidrasi. Alasan bahwa hipernatremia ini tidak lebih
berat adalah bahwa peningkatan sekresi aldosteron menyebabkan ginjal mereabsorbsi
air dan natium dalam jumlah yang lebih besar.2
Hipernatremia lebih jarang dibandingkan hiponatremia dan gejala yang
menonjol bisanya hanya pada peningkatan konsentrasi natrium plasma yang cepat
dan besar diatas 158 sampai 160 mmol/L. Koreksi hipernatremia dapat dilakukan
dengan memberikan larutan natrium klorida yang hipo-osmotik atau dengan larutan
dekstrosa. Namun, pemberian larutan tersebut pada penderita dengan penngkatan
kadar natrium yang kronis harus dengan kecepatan yang lambat karena hipernatremi
juga dapat meningkatkan aktivitas mekanisme pertahanan yang melindungi sel dari
perubahan volume. Mekanisme pertahanan ini sebaliknya dari apa yang terjadi pada
hiponatremia, terdiri atas mekanisme yang meningkatkan kadar natrium intrasel dan
zat terlarut lainnya. 2

Hipernatremia

Cek status
volume

Normovolemik Hipovolemik

Berikan cairan Volume


hipertonik salin minimal dari
konsentrasi
maksimal
Stop infus salin Yes urin NO
atau penyebab (<500ml/harii)
kelebihan ?
natrium lainnya
Eksresi urin Hilangnya air
terlarut >750 extrarenal
mOsm/hari

NO YES
1. koreksi dengan cairan
oral
Diuretik
Diabetes Insipidus 2. apabila terdapat gejala
osmosis (symptomatic) -> 0.9 %
salin
Rujuk ke
endokrinologist 3. sekali normovolemik
namun ymptomatic,ganti
cairan dg dextrose 5%

Gambar 2.2 Algoritma tatalaksana hipernatremia. 2


Ketika telah terbukti mengalami hipernatremia, kita sebaiknya
mengidentifikasi terlebih dahulu apakah termasuk hipenatremia normovolemik atau
hipernatremia hipovolemik untuk menentukan tindakan dan tatalaksana yang akan
dilakukan setelahnya. 2
Yang termasuk hipernatremia hipovolemik adalah :
1. Kehilangan cairan hipotonik
Pasien mengalami penurunan volume & defisit ekstraseluler dalam air dan
elektrolit bebas (total tubuh rendah natrium dan kalium), hipovolemia mungkin lebih
mengancam nyawa daripada hipertonisitas, cairan resusitasi dengan salin normal
adalah langkah pertama dalam terapi.
- Kehilangan cairan hipotonik ginjal
a. obat diuretik (golongan loop diuretik dan thiazide)
b. diuresis osmotik (hiperglikemia, manitol)
c. fase diuretik pada nekrosis tubular akut
- Kehilangan cairan non-hipotonik ginjal
a. gastrointestinal (muntah, diare, laktulosa, katarsik, pengisapan dengan pipa
nasogastrik)
b. kulit (berkeringat, luka bakar). 2
Yang termasuk hipernatremia euvolemik adalah :
1. Defisit air murni
Pasien memiliki volume ekstraseluler normal dengan natrium dan kalium total
tubuh normal. Keadaan ini paling umum berkembang ketika:
- Ketidakseimbangan intake dan kurangnya asupan air dikombinasika dengan
peningkatan insesible water loss
- Renal water loss. Dapat terjadi pada penyakit ginjal primer (uropati obstruktif,
displasia ginjal, penyakit kistik meduler, penyakit polikistik) atau penyakit
sistemik dengan keterlibatan ginjal yaitu, sickle cell disease.-
- Obat-obatan (amfoterisin, fenitoin, litium, aminoglikosida, metoksifluran)
- Ketidakmampuan ginjal untuk memekatkan urin: Diabetes insipidus sentral atau
nefrogenik.

Yang termasuk hipernatremia hipervolemik adalah :


Pasien memiliki kelebihan volume ekstraseluler dengan natrium total tubuh
tinggi, kelebihan Mineralokortikoid (pada sindrom cushing dan hiperaldosteronisme
primer), tetapi sebagian besar terjadi karena penyebab iatrogenik karena pemberian
larutan elektrolit hipertonik (larutan natrium bikarbonat). 2
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaur, P., Saurabh S. (2018). Recent Advances in Pathophysiology of Traumatic


Brain Injury. Current Neuropharmacology. 16(8): 1224-1238.

2. Guyton, A. C., Hall, J. E., (2016). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 13.
Jakarta : EGC.

3. Longo DL., Kasper DL., Jameson JL., Fauci AS, Loscalzo J., Hauser S. (2018).
Harrison's Principles Of Internal Medicine, 20th ed. New York: McGrawHill.

Anda mungkin juga menyukai