Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

POLI JIWA DAN NARKOBA


RSUD.JEND. AHMAD YANI METRO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

Demensia: Behaviour and Psychological Syndrome of


Dementia (F00 – F03)

Oleh :

Vivi Diah Permatasari

21360227

Masa KKM : 30 Agustus 2021 – 3 Oktober 2021

Penguji :

dr. Ni Wayan Dewi Putriny Asih, Sp.KJ

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA DAN NARKOBA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RSUD. JENDRAL AHMAD YANI METRO
LAMPUNG
SEPTEMBER 2021
LEMBAR PENGESAHAN

Referat yang berjudul

“Demensia: Behaviour and Psychological Syndrome of Dementia”

Telah dibacakan, dikoreksi dan disetujui pada September 2021

Oleh:

Vivi Diah Permatasari

21360227

Masa KKM : 30 Agustus 2021 – 3 Oktober 2021

Pembimbing :

dr. Ni Wayan Dewi Putriny Asih, Sp.KJ


DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI.............................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Demensia........................................................................................3
2.2. Epidemiologi Demensia...............................................................................4
2.3. Etiologi Demensia........................................................................................5
2.4. Patofisiologi Demensia................................................................................5
2.5 Gejala Klinis Demensia................................................................................6
2.6. Klasifikasi Demensia...................................................................................8
2.7. Pedoman Diagnosis Demensia.....................................................................8
2.8.Penatalaksanaan Demensia...........................................................................9
2.9 Penatalaksanaan Behaviour and Psychological Syndrome of Demensia......11
3.10 Prognosis Behaviour and Psychological Syndrome of Demensia .............13
3.11 Prevensi dan Rehabilitasi Behaviour and Psychological Syndrome of De-
mensia..........................................................................................................13
BAB III PENUTUP
3.1.Kesimpulan...................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut World Health Organization (WHO) sehat adalah mencangkup

kesehatan jasmani, kejiwaan dan sosial, dan yang menjadi tujuan pengobatan bukan

sekedar penyembuhan atau mengurangi gejala atau penyakit, namun meningkatkan

kualitas hidup seoptimal mungkin (meskipun misalnya terbatas oleh adanya kecacatan

atau disabilitas). Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat secara emosional,

psikologis, dan sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan,

perilaku dan coping yang efektif, konsep diri yang positif serta stabilnya emosi

seseorang (Elvira & Hadisukanto, 2017). Psikiatri (psychiatry) atau Ilmu Kedokteran

Jiwa merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran yang mempelajari segala hal yang

berhubungan dengan gangguan jiwa, yaitu dalam hal pengenalan, pengobatan,

rehabilitasi, dan pencegahan serta juga dalam hal pembinaan dan peningkatan kesehatan

jiwa (Maramis, 2009).

Demensia merupakan suatu sindrom akibat penyakit atau gangguan otak yang

biasanya bersifat kronik-progresif, dimana terdapat gangguan fungsi luhur kortikal yang

multipel (multiple higher cortical function), termasuk di dalamnya : daya ingat, daya

pikir, orientasi, daya tangkap (comprehension), berhitung, kemampuan belajar,

berbahasa, dan daya nilai (judgment). Umumnya disertai dan ada kalanya diawali

dengan kemerosotan (deterioration) dalam pengendalian emosi, perilaku sosial, atau

motivasi hidup (Maslim, 2013). Perubahan perilaku dan berbagai aspek psikologis pada

1
orang dengan demensia merupakan problem tersendiri bagi keluarga (Elvira &

Hadisukanto, 2017).

World Alzheimer Report memperkirakan pada tahun 2015 bahwa terdapat 46,8

juta orang hidup dengan demensia di seluruh dunia. Prevalensi demensia pada orang

berusia lanjut ≥60 tahun di Afrika Utara dan Timur Tengah berada di antara 5,75%

hingga 8,67%. Studi menunjukkan prevalensi demensia di DIY (Indonesia) lebih tinggi

(20,1%) dibandingkan dengan negara lain (Suriastini dkk, 2020). Angka untuk BPSD

yang bermakna secara klinis meningkat sampai hampir 80% untuk pasien demensia

yang berada di lingkungan perawatan. Dua penelitian berbasis populasi dari Amerika

Serikat (Lyketsos et al, 2000) dan dari Inggris (Burns et al, 1990), menunjukkan angka

prevalensi yang sama, yaitu sekitar 20% untuk BPSD pada orang dengan penyakit

Alzheimer. Berbeda dengan disfungsi kognitif pada demensia yang semakin memburuk

dari waktu ke waktu, BPSD cenderung berfluktuasi, dengan agitasi psikomotor yang

paling persisten (Khairiah, S & HM. Margono, 2015).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Demensia

Menurut PPDGJ III, Demensia merupakan suatu sindrom akibat penyakit atau

gangguan otak yang biasanya bersifat kronik-progresif, dimana terdapat gangguan

fungsi luhur kortikal yang multipel (multiple higher cortical function), termasuk di

dalamnya : daya ingat, daya pikir, orientasi, daya tangkap (comprehension), berhitung,

kemampuan belajar, berbahasa, dan daya nilai (judgment). Umumnya disertai dan ada

kalanya diawali dengan kemerosotan (deterioration) dalam pengendalian emosi,

perilaku sosial, atau motivasi hidup.

Demensia adalah suatu kondisi penurunan fungsi mental-intelektual (kognitif)

yang progresif, yang dapat disebabkan oleh penyakit organik disfus pada hemisfer

serebri (demensia kortikal – misal penyakit Alzheimer) atau kelainan struktur

subkortikal (demensia subkortikal – misal penyakit Parkinson dan Huntington).

Merosotnya fungsi kognitif ini harus cukup berat sehingga mengganggu fungsi sosial

dan pekerjaan individu. Perubahan perilaku dan berbagai aspek psikologis pada orang

dengan demensia merupakan problem tersendiri bagi keluarga (Elvira & Hadisukanto,

2017).

Gejala perilaku dan psikologis demensia (Behaviour and Psychological Syndrome

of Demensi/ BPSD), juga dikenal sebagai gejala neuropsikiatri, adalah serangkaian

gejala dan perilaku yang mengganggu yang secara negatif mempengaruhi perawatan

pasien dan secara signifikan meningkatkan beban pengasuh dan anggota keluarga.

BPSD juga telah digunakan sebagai istilah nonspesifik yang luas yang mencakup gejala

3
dan perilaku yang dihasilkan dari etiopatologi kompleks terkait dengan perubahan yang

ditemukan pada penyakit Alzheimer, demensia vaskular, dan gangguan

neurodegeneratif lainnya. Akibatnya, BPSD dapat muncul dalam berbagai cara,

termasuk gejala mood, kecemasan, gejala psikotik (misalnya, halusinasi dan delusi),

gangguan tidur, agresi, dan agitasi (Young, 2019).

Asosiasi Psychogeriatric Internasional mendefinisikan istilah BPSD sebagai

“Gejala gangguan persepsi, isi pikir, suasana hati, atau perilaku yang sering terjadi pada

pasien dengan demensia” (Khairiah, S & HM. Margono, 2015)

2.2. Epidemiologi Demensia

World Alzheimer Report memperkirakan pada tahun 2015 bahwa terdapat 46,8

juta orang hidup dengan demensia di seluruh dunia. Prevalensi demensia pada orang

berusia lanjut ≥60 tahun di Afrika Utara dan Timur Tengah berada di antara 5,75%

hingga 8,67%. Studi menunjukkan prevalensi demensia di DIY (Indonesia) lebih tinggi

(20,1%) dibandingkan dengan negara lain (Suriastini dkk, 2020). Prevalensi demensia

pada populasi lanjut usia (>65 tahun) berkisar 3-30%. Demensia tipe Alzheimer

dilaporkan bertumbuh 2 kali lipat setiap pertambahan usia 5 tahun, yaitu bila prevalensi

demensia pada usia 65 tahun 3% maka menjadi 6% pada usia 70 tahun, 12% pada 75

tahun dan 24% pada usia 80 tahun. Di Indonesia pada tahun 2006 diperkirakan ada

1.000.000 orang dengan demensia untuk jumlah usia lanjut 20 juta orang (Elvira &

Hadisukanto, 2017).

Angka untuk BPSD yang bermakna secara klinis meningkat sampai hampir 80%

untuk pasien demensia yang berada di lingkungan perawatan. Dua penelitian berbasis

populasi dari Amerika Serikat (Lyketsos et al, 2000) dan dari Inggris (Burns et al,

4
1990), menunjukkan angka prevalensi yang sama, yaitu sekitar 20% untuk BPSD pada

orang dengan penyakit Alzheimer. Berbeda dengan disfungsi kognitif pada demensia

yang semakin memburuk dari waktu ke waktu, BPSD cenderung berfluktuasi, dengan

agitasi psikomotor yang paling persisten (Khairiah, S & HM. Margono, 2015).

2.3. Etiologi Demensia

Sindrom demensia terjadi akibat disfungsi otak yang bermanifestasi sebagai

gejala-gejala defisit kognitif seperti kelemahan memori, hendaya berbahasa, gangguan

fungsi eksekutif, apraksia dan agnosia (DSM IV). Etiologi demensia adalah semua

penyakit yang menyebabkan disfungsi otak, antara lain penyakit Alzheimer, penyakit

serebrovaskular (stroke), hidrosephalus, Parkinson, AIDS, Huntington dan gangguan

metabolic termasuk defisiensi vitamin (Elvira & Hadisukanto, 2017).

Penyebab demensia yaitu kematian sel-sel saraf atau hilangnya komunikasi antar

sel-sel yang ada di otak. Otak manusia layaknya mesin yang sangat kompleks dan rumit

sehingga banyak faktor kompleks yang mengganggu komunikasi antar sel-sel saraf satu

dengan sel lainnya (Sopyanti dkk, 2019).

2.4. Patofisiologi Demensia

Perjalanan penyakit demensia yang klasik adalah awitan pada pasien berusia 50-

an atau 60-an tahun. Dengan perburukan bertahap selama 5 sampai 10 tahun yang

akhirnya berujung pada kematian. Usia saat awitan dan kecepatan perburukan bervariasi

di antara tipe demensia dan dalam kategori diagnosis individu. Sekali demensia

didiagnosis, pasien harus menjalanin pemeriksaan medis dan neurologis lengkap karena

5
10 sampai 15 persen pasien demensia memiliki kondisi yang potensial reversibel jika

pengobatan dimulai sebelum terjadi kerusakan otak permanen (Sadock, 2014).

Perjalanan penyakit demensia yang paling sering diawali dengan sejumlah tanda

samar yang mungkin pada awalnya diacuhkan. Meski gejala fase awal demensia

bersifat samar, gejala tersebut akan menjadi semakin mencurigakan seiring dengan

perjalanan penyakit demensia (Sadock, 2014).

Teori tau and tangle hypothesis adalah adanya korelasi yang kuat antara

keparahan demensia dan frekuensi banyaknya kekusutan di saraf. Kekusutan ini terjadi

dari banyak protein, tetapi protein utamanya adalah protein tau. Protein tau sangat

penting untuk elongasi akson dan perbaikan akson. Tau adalah fosfoprotein sehingga

kemampuannya berkurang oleh proses fosforilasi. Proses fosforilasi ini dikaitkan

dengan enzim glikogen kinase-3 (GSK-3). Pada penderita demensia, protein yang

diisolasi bersifat hiperfosforilasi sehingga kemampuannya untuk memperbaiki akson

sangat berkurang, oleh karena itu terbentuknya kekusutan pada saraf (Wicitania, 2016).

2.5. Gejala Klinis Demensia

Berikut merupakan gejala awal demensia menurut Sopyanti dkk (2019):

1. Kemunduran fungsi kognitif ringan

2. Kemunduran dalam mempelajari hal-hal baru

3. Ingatan terhadap peristiwa jangka pendek menurun

4. Kesulitan menemukan kata-kata yang tepat

Berikut gejala yang sering menyertai demensia menurut Munawaroh (2018):

1. Gejala awal

6
a. Kinerja mental menurun

b. Mudah lupa

c. Gagal dalam tugas

2. Gejala lanjut

a. Gangguan kognitif

b. Gangguan perilaku

3. Gejala umum

a. Mudah lupa

b. Aktivitas sehari-hari terganggu

c. Disorientasi

d. Cepat arah

e. Kurang konsentrasi

Tanda dan gejala menurut Elvira & Hadisukanto (2017):

A. Demensia stadium dini

Dampak demensia fase dini umumnya berupa perubahan samar-samar dalam

kepribadian, hendaya dalam keterampilan sosial, berkurangnya minat dan ambisi, afek

yang labil dan dangkal, agitasi, sejumlah keluhan somatis, gejala psikiatrik yang samar,

penurunan bertahap kemampuan intelektual dan ketajaman pikiran.

B. Demensia stadium lanjut

1. Penurunan memori (daya ingat)

2. Perubahan mood dan kepribadian

3. Penurunan daya orientasi

4. Hendaya intelektual

7
5. Gangguan daya nilai (judgment)

6. Gangguan psikotik

7. Hendaya berbahasa

2.6. Klasifikasi Demensia

Demensia terbagi atas 2 dimensi menurut umur dan menurut level kortikal.

Demensia menurut umur terbagi atas, demensia senilis lansia yang berumur > 65 tahun

dan demensia menurut level kortikal terbagi atas, demensia kortikal terjadi karena

adanya gangguan fungsi luhur, afasia, agnosia, apraksia sedangkan demensia

subkortikal terjadi gangguan yaitu patis, forgetful, lamban, adanya gangguan gerak

(Khotimah, 2018)

Berikut kelompok demensia menurut Elvira & Hadisukanto (2017):

A. Demensia yang tak dapat pulih (irreversible)

1. Demensia tipe alzheimer

2. Korea Huntington

3. Penyakit Parkinson

4. Lain-lain

B. Demensia yang dapat pulih (reversibel)

1. Demensia Vaskular

2. Hidrosefalus tekanan normal (Normal Pressure Hidrocephalus)

C. Demensia menetap yang diinduksi oleh zat

2.7 . Pedoman Diagnosis Demensia

Kriteria diagnosis menurut PPDGJ III, yaitu :

8
1. Adanya penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir, yang sampai mengganggu

kegiatan harian seseorang (personal activites of daily living) seperti : mandi,

berpakaian, makan, kebersihan diri, buang air besar dan kecil.

2. Tidak ada gangguan kesadaran (clear consciousness)

3. Gejala dan disabilitas sudah nyata untuk paling sedikit 6 bulan.

2.8. Penatalaksanaan Demensia

Talaksana Komprehensif menurut Elvira & Hadisukanto (2017):

A. Terapi suportif

- Berikan perawatan fisik yang baik, misalnya nutrisi yang bagus, kacamata, alat bantu

dengar, alat proteksi (untuk anak tangga, kompor, obat-obatan) dan lain-lain.

Sewaktu-waktu mungkin perlu pembatasan atau pengekangan secara fisik.

- Pertahankan pasien berada dalam lingkungan yang sudah dikenalnya dengan baik,

jika memungkinkan. Usahakan pasien dikelilingi oleh teman-teman lama nya dan

benda-benda yang biasa ada didekatnya. Tingkatkan daya pengertian dan partisipasi

anggota keluarga.

- Pertahankan keterlibatan pasien melalui kontak personal, orientasi yang sering

(mengingatkan nama hari, jam dsb). Diskusikan berita aktual bersama pasien.

Pergunakan kalender, radio, televisi. Aktivitas harian dibuat terstruktur dan

terencana.

- Bantulah untuk memperahankan rasa percaya diri pasien. Rawatlah mereka sebagai

orang dewasa (jangan perlakukan sebagai anak kecil., jaga dignity dari pasien –

komentar penterjemah). Rencana diarahkan kepada kekuatan atau kelebihan pasien.

Bersikaplah menerima dan menghargai pasien.

9
- Hindari suasana yang remang-remang, terpencil; juga hindari stimulasi yang

berlebihan.

B. Terapi simtomatik

Kondisi psikiatrik memerlukan obat-obatan dengan dosis yang sesuai

- Ansietas akut, kegelisahan, agresi, agitasi: Haloperidol 0,5 mg per oral 3 kali sehari

(atau kurang); Risperidon 1 mg peroral sehari. Hentikan setelah 4-6 minggu.

- Ansietas non psikotik, agitasi: Diazepam 2 mg peroral dua kali sehari, venlafaxine

XR. Hentikan setelah 4-6 minggu.

- Agitasi kronik: SSRI (misal Fluoxetine 10-20 mg/hari) dan atau Buspiron (15 mg

dua kali sehari); juga pertimbangkan Beta Bloker dosis rendah.

- Depresi: pertimbangkan SSRI dan antidepresan baru lainnya dahulu; dengan Trisklik

mulai perlahan-lahan dan tingkatkan sampai ada efek- misal desipramin 75-150 mg

peroral sehari.

- Insomnia: hanya untuk penggunaan jangka pendek.

C. Terapi khusus

- Identifikasi dan koreksi semua kondisi yang dapat diterapi

- Tidak ada terapi obat khusus untuk demensia yang ditemukan bermanfaat secara

konsisten, walaupun banyak yang sedang diteliti (misal vasodilator serebri,

antikoagulan, stimulan metabolik serebri, oksigen hiperbarik). Vitamin E

(antioksidan) sedang diselidiki sebagai zat yang mungkin dapat memperlambat

progresivitas penyakit Alzheimer. Peningkatan aktivitas kolinergik sentral dapat

memberikan perbaikan sementara dari beberapa gejala pada pasien dengan penyakit

Alzheimer, misalnya pemberian asetilkolin esterase inhibitor yaitu:

10
 Donepezil (Aricept 5-10 mg, satu kali sehari, malam hari)

 Rivastigmine (Exelon 6-12 mg, dua kali sehari)

 Galantamine (Reminyl 8-16 mg, dua kali sehari)

2.9 Penatalaksanaan Behaviour and Psychological Syndrome of Demensia

Beberapa prinsip tatalaksana yang perlu diperhatikan menurut Elvira &

Hadisukanto (2017):

- Kualitas hidup orang dengan demensia (dan caregivernya)

- Kemunduran kognitif terjadi pelan berangsur-angsur, tidak sekaligus semua nya

hilang

- Kenikmatan tidak memerlukan memori yang utuh

- Sadari bahwa informasi yang terakhir didapat biasanya cepat dilupakan

- Selesaikan masalah secara kreatif

- Orang dengan demensia tumbuh surut

- Sesuaikan lingkungan terhadap pasien, jangan sebaliknya

- Sikap keluarga atau pelaku rawat berpengaruh terhadap kondisi demensia

Tatalaksana demensia harus disesuaikan dengan tahapan demensia, kondisi

lingkungan dan sumber-sumber dukungan yang ada (fisik maupun finansial), sarana

terapi yang tersedia serta harapan pasien dan keluarganya.

Pemberian obat untuk gangguan perilaku pada demensia bersifat simtomati, dapat

digunakan beberapa jenis psikotropik dalam dosis kecil. Pemilihan jenis terapi harus

sesuai dengan target terapi berdasarkan hasil pengkajian yang cermat dan menyeluruh.

11
Beberapa meta-analisis studi menyelidiki perawatan farmakologis untuk BPSD

telah dilakukan untuk membantu dokter dalam menggunakan obat berbasis bukti ketika

merawat pasien dengan demensia. Bagian berikut merinci bukti terkini mengenai

penggunaan beberapa kelas psikofarmakologis dalam mengobati BPSD menurut Young

(2019)

1. Antidepresan

Sebuah meta-analisis dari beberapa penelitian menyelidiki

antidepresan dan efeknya pada agitasi dan gejala psikosis yang hadir dalam

demensia menunjukkan pengurangan gejala agitasi ketika pasien diresepkan

sertraline dan citalopram.

2. Antipsikotik

Sebuah meta-analisis oleh Ballard dan Waite menyelidiki penggunaan

antipsikotik generasi kedua untuk agresi dan psikosis pada penyakit

Alzheimer menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam gejala agresif

ketika pasien diberi resep risperidone dan olanzapine. Selain itu, penulis

menemukan bahwa risperidone menyebabkan penurunan gejala psikosis yang

signifikan. Meta-analisis lain oleh Schneider dkk memberikan bukti

kemanjuran aripiprazole dan risperidone dalam pengelolaan BPSD.

3. Mood Stabilizers

Konovalov dkk menunjukkan bahwa dari tujuh uji coba terkontrol

secara acak yang mereka tinjau, hanya satu, yang menggunakan

karbamazepin, menunjukkan manfaat yang signifikan secara statistik untuk

presentasi BPSD.

12
Dua meta-analisis menunjukkan beberapa kemanjuran mengenai penggunaan

obat penyakit Alzheimer untuk perbaikan BPSD. Satu oleh Trinh et al. (16) melaporkan

bahwa inhibitor kolinesterase menghasilkan perbaikan sederhana dalam neuropsikiatri

dan hasil fungsional, dibandingkan dengan plasebo. Analisis meta lain oleh Maidment et

al. (17) melaporkan bahwa penggunaan memantine untuk mengobati BPSD

menghasilkan sedikit penurunan skor pada Kuisioner Inventarisasi Neuropsikiatri dan

perbaikan gejala, meskipun sedasi dilaporkan menjadi efek samping utama.

3.10 Prognosis Behaviour and Psychological Syndrome of Demensia

Prognosis demensia bervariasi tergantung pada penyakit atau kondisi medik yang

mendasarinya. Bilamana penyebab demensia dapat dikoreksi atau disembuhkan maka

prognosis baik, namun untuk jenis penyakit degeneratif yang belum ada obatnya

(penyakit Alzheimer) maka prognosis kurang baik. DTA dapat berlangsung 10-15 tahun

dengan kemunduran yang perlahan tapi pasti menuju akhir hidup (Elvira &

Hadisukanto, 2017).

Beberapa jenis demensia yang mungkin dapat membaik adalah demensia yang

disebabkan oleh infeksi, defisiensi vitamin, hidrosefalus tekanan normal, gangguan

vaskularisasi dan gangguan metabolik (Elvira & Hadisukanto, 2017).

3.11 Prevensi dan Rehabilitasi Behaviour and Psychological Syndrome of Demensia

Tidak ada penelitian yang secara khusus meneliti pencegahan BPSD, meskipun

beberapa strategi telah terbukti mengurangi risiko penurunan kognitif dan

perkembangan demensia. Baik intervensi diet yang menggabungkan diet Mediterania

13
dengan Pendekatan Diet untuk Hipertensi Sistolik (DASH) dan pengobatan

farmakologis hipertensi menghasilkan penurunan risiko demensia insiden dan latihan

fisik meningkatkan fungsi kognitif pada pasien dengan demensia yang ada. Meskipun

depresi dikaitkan dengan peningkatan risiko pengembangan demensia, tidak ada bukti

yang konsisten bahwa mengobatinya mengurangi risiko ini, juga belum ada bukti

berkualitas baik untuk mendukung latihan pelatihan kognitif sebagai strategi untuk

mencegah demensia (Cloak & Al Khalili, 2020).

Prevensi dan Rehabilitasi Behaviour and Psychological Syndrome of Demensia

menurut Elvira & Hadisukanto (2017):

 Pencegahan primer saat ini ditujukan pada edukasi agar orang selalu

mengaktifkan fungsi otaknya, dengan bekerja atau melakukan aktivitas,

bersosialisasi, berfikir kreatif dan menyelesaikan problem atau tantangan

hidup. Penggunaan obat-obatan maupun antioksidan belum didukung oleh

bukti-bukti penelitian yang kuat. Aktivitas fisik teratur seperti berjalan kaki

dilaporkan juga berperan mempertahankan fungsi otak selain aktivitas mental.

 Di tingkat sekunder, pencegahan progresivitas penyakit dilakukan dengan

pemberian obat yang dapat menahan laju perkembangan demensia. Dalam hal

ini diperlukan keteraturan dan kesinambungan obat dalam jangka waktu lama.

 Pada tingkat tersier, upaya pencegahan perburukan fungsi kognitif dilakukan

dengan program aktivitas dan simulasi (jangan berlebihan atau di luar batas

kemampuan individu), terapi kenangan (reminiscence), validation, snoezelen,

penyesuaian lingkungan dan latihan orientasi realitas.

14
Rehabilitas kognitif dalam hal ini berarti mengawetkan (preserve) fungsi-fungsi

(aset) kognitif yang masih ada, bukan mengembalikan kepada fungsi semula.

15
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Menurut PPDGJ III, Demensia merupakan suatu sindrom akibat penyakit atau

gangguan otak yang biasanya bersifat kronik-progresif, dimana terdapat gangguan

fungsi luhur kortikal yang multipel (multiple higher cortical function), termasuk di

dalamnya : daya ingat, daya pikir, orientasi, daya tangkap (comprehension), berhitung,

kemampuan belajar, berbahasa, dan daya nilai (judgment). Umumnya disertai dan ada

kalanya diawali dengan kemerosotan (deterioration) dalam pengendalian emosi,

perilaku sosial, atau motivasi hidup.

Perubahan perilaku dan berbagai aspek psikologis pada orang dengan demensia

merupakan problem tersendiri bagi keluarga (Elvira & Hadisukanto, 2017). Gejala

perilaku dan psikologis demensia (Behaviour and Psychological Syndrome of

Demensia/BPSD), juga dikenal sebagai gejala neuropsikiatri (Young, 2019). Asosiasi

Psychogeriatric Internasional mendefinisikan istilah BPSD sebagai “Gejala gangguan

persepsi, isi pikir, suasana hati, atau perilaku yang sering terjadi pada pasien dengan

demensia” (Khairiah, S & HM. Margono, 2015)

Sindrom demensia terjadi akibat disfungsi otak yang bermanifestasi sebagai

gejala-gejala defizit kognitif seperti kelemahan memori, hendaya berbahasa, gangguan

fungsi eksekutif, apraksia dan agnosia (DSM IV). Etiologi demensia adalah semua

penyakit yang menyebabkan disfungsi otak, antara lain penyakit Alzheimer, penyakit

serebrovaskular (stroke), hidrosephalus, Parkinson, AIDS, Huntington dan gangguan

metabolic termasuk defisiensi vitamin (Elvira & Hadisukanto, 2017).

16
Perjalanan penyakit demensia yang klasik adalah awitan pada pasien berusia 50-

an atau 60-an tahun. Dengan perburukan bertahap selama 5 sampai 10 tahun yang

akhirnya berujung pada kematian (Sadock, 2014).

Teori tau and tangle hypothesis adalah adanya korelasi yang kuat antara

keparahan demensia dan frekuensi banyaknya kekusutan di saraf. Kekusutan ini terjadi

dari banyak protein, tetapi protein utamanya adalah protein tau. Protein tau sangat

penting untuk elongasi akson dan perbaikan akson. Tau adalah fosfoprotein sehingga

kemampuannya berkurang oleh proses fosforilasi. Proses fosforilasi ini dikaitkan

dengan enzim glikogen kinase-3 (GSK-3). Pada penderita demensia, protein yang

diisolasi bersifat hiperfosforilasi sehingga kemampuannya untuk memperbaiki akson

sangat berkurang, oleh karena itu terbentuknya kekusutan pada saraf (Wicitania, 2016).

Demensia bagi menjadi 2 yaitu Demensia yang tak dapat pulih (irreversible)

(Demensia tipe alzheimer, Korea Huntington, Penyakit Parkinson, Lain-lain), demensia

yang dapat pulih (reversibel) (Demensia Vaskular, Hidrosefalus tekanan normal

(Normal Pressure Hidrocephalus)), Demensia menetap yang diinduksi oleh zat (Elvira

& Hadisukanto, 2017).

Beberapa meta-analisis studi menyelidiki perawatan farmakologis untuk BPSD.

Bagian berikut merinci bukti terkini mengenai penggunaan beberapa kelas

psikofarmakologis dalam mengobati BPSD yaitu Antidepresan, Antipsikotik, Mood

Stabilizers, Inhibitor Kolinesterase (Young, 2019).

17
Daftar Pustaka

Al-Finatunni’mah, A & Nurhidayat, T. (2020). Pelaksanaan Senam Otak untuk Peningkatan


Fungsi Kognitif pada Lansia dengan Demensia. Ners Muda, Vol 1 No 2.

Cloak N & Al Khalili Y. 2020. Gejala Perilaku Dan Psikologis Pada Demensia. StatPearls,
Treasure Island.

Elvira, S. D & Hadisukanto, G. (2017). Buku Ajar Psikiatri (3nd ed.). Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Khairiah, S & HM. Margono. 2015. Aspek Neurobiologi Gejala Perilaku dan Psikologis
Pada Demensia (Behavioral And Psychological Symptoms Of Dementia / BPSD).
UNAIR. Surabaya.

Khotimah, K. 2018. Fungsi Kognitif Lansia Demensia. Journal of Holistic and Traditional
MedicineVol 03 No 01, Agustus2018www.jhtm.or.id.

Maramis, W.F. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya: Airlangga University
Press

Maslim, R. (2013). Buku Saku Diangnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkasan Dari PPDGJ-
III dan DSM-5. Jakarta: PT Nur Jaya.

Munawaroh, L.B. 2018. Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Terjadinya Demensia Pada
Lansia. Skripsi.

Sadock, B. J & Sadock , V. A. (2014). Kapla dan Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis (ke dua
ed.). jakarta: EGC.

Sopyanti, Y.D, dkk. 2019. Gambaran Status Demensia dan Depresi pada Lansia Wilayah
Kerja Puskesmas Guntur Kelurahan Sukamentri Garut. Jurnal Keperawatan
Komprehensif Vol. 5 No. 1.

Suriastini, N.W dkk. 2020. Prevalence and Risk Factors of Dementia and Caregiver's
Knowledge of the Early Symptoms of Alzheimer's Disease. aging Medicine and
Healthcare.

Wicitania, N. 2016. Faktor Risiko Gizi Terhadap Kejadian Demensia Pada Lanjut Usia di
Panti Werda Elim Semarang. Skripsi.
Young, J.J. 2019. Evidence-Based Pharmacological Management and Treatment of
Behavioral and Psychological Symptoms of Dementia. The American Journal of
Psychiatry Residents’ Journal.

19

Anda mungkin juga menyukai