AYU FERATYWI
PO714241181009
PRODI D.IV/A TK.III
JURUSAN FISIOTERAPI
POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya
dengan rahmat-Nyalah akhirnya saya bisa menyelesaikan makalah yang berjudul
“Fisioterapi pada Demensia” ini dengan baik tepat pada waktunya.
Tidak lupa saya sampaikan rasa terima kasih kepada dosen pembimbing
yang telah memberikan banyak bimbingan serta masukan yang bermanfaat dalam
proses penyusunan makalah ini.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A.LATAR BELAKANG......................................................................................1
B.RUMUSAN MASALAH..................................................................................2
C.TUJUAN...........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
A.DEFINISI DEMENSIA....................................................................................3
B.KLASIFIKASI DEMENSIA............................................................................3
C.ETIOLOGI DEMENSIA..................................................................................4
D.TANDA DAN GEJALA DEMENSIA.............................................................5
E.PATOFISIOLOGI DEMENSIA.......................................................................6
F.PATOGENESIS DEMENSIA..........................................................................6
G.PEMERIKSAAN DEMENSIA........................................................................7
H.PEMERIKSAAN PENUNJANG.....................................................................8
I.DIAGNOSIS DEMENSIA................................................................................9
J.TINDAKAN/TATALAKSANA PADA PASIEN DENGAN DEMENSIA...10
BAB III PENUTUP...............................................................................................20
A.KESIMPULAN..............................................................................................20
B.SARAN...........................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................21
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kelompok lanjut usia (lansia) dipandang sebagai kelompok masyarakat
yang berisiko mengalami gangguan kesehatan. Masalah yang menonjol pada
kelompok tersebut adalah menurunnya respon lansia terhadap kemampuan
aktivitas fungsional fisik. Hal ini terjadi sejalan dengan bertambahnya usia
seseorang dan proses kemunduran yang diikuti dengan munculnya gangguan
fisiologis, penurunan fungsi, gangguan kognitif, gangguan afektif dan psikososial.
Meningkatnya gangguan penyakit pada lansia dapat menyebabkan perubahan
pada kualitas hidup. Namun, hal ini juga menyebabkan meningkatnya penderita
penyakit gangguan komunikasi, termasuk demensia.
1
merupakan aktivitas fisik secara rutin. Atau latihan fisik yang teratur. Dimana
latihan fisik yang teratur dapat meningkatkan aliran darah ke otak. Dapat
membantu pembentukan sel sel otak yang baru dapat mencegah putusnya
sambungan pada sel-sel otak.
Oleh karena itu, makalah ini dibuat untuk mengetahui dan memahami
mengenai fisioterapi pada demensia, yang pada akhirnya dapat digunakan sebagai
literatur mengenai penyakit demensia.
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
2
10. Dapat memahami dan mengetahui tindakan/tatalaksana fisioterapi pada
demensia.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI DEMENSIA
Demensia adalah istilah medis untuk penurunan kemampuan otak,
terutama dalam hal kognisi dan memori secara bertahap yang mengganggu
aktivitas sehari-hari. Orang awam biasa menyebutnya “pikun”.
Demensia adalah penyakit global dan lebih dari 60% dari prevalensi
demensia diperkirakan anatara 2,4 dan 4,9% dari orang berusia 60 tahun di India
(Alladi et.al.,2011). Diperkirakan sekitar 30% dari orang yang berusia diatas 80
tahun adalah demensia. Biasanya demensia mulai ditemukan pada usia diatas 60
tahun, setiap 4 tahun penambahan usia terjadi pelipatan jumlah pasien demensia:
pada usia 80 tahun sekitar 30% dari populasi ini pikun.
Demensia timbul pada kesadaran yang utuh (Kaplan & Sadock, 1989)
atau demensia adalah suatu keadaan dimana terjadi deteriorasi yang progresif dari
kemampuan intelektual, perilaku dan kepribadian sebagai konsekuensi dari
penyakit hemisfer serebral yang menyeluruh, terutama mengenai korteks serebral
dan hipokampus.
B. KLASIFIKASI DEMENSIA
4
Penurunan fungsi kognitif dengan onset bertahap dan
progresif
Daya ingat terganggu, ditemukan adanya: afasia, apraksia,
agnosia, gangguan fungsi eksekutif.
Tidak mampu mempelajari / mengingat informasi baru
Perubahan kepribadian (depresi, obsesitive, kecurigaan)
Kehilangan inisiatif
2. Demensia Vascular
Demensia tipe vascular disebabkan oleh gangguan sirkulasi darah di
otak dan setiap penyebab atau faktor resiko stroke dapat berakibat
terjadinya demensia. Depresi bisa disebabkan karena lesi tertentu di
otak akibat gangguan sirkulasi darah otak, sehingga depresi dapat
diduga sebagai demensia vascular. Tanda-tanda neurologis fokal
seperti:
Peningkatan reflek tendon dalam
Kelainan gaya berjalan
Kelemahan anggota gerak
C. ETIOLOGI DEMENSIA
5
a. Sindroma demensia dengan penyakit yang etiologi dasarnya tidak dikenal
kelainan yaitu: terdapat pada tingkat subseluler atau secara biokimiawi
pada system enzim, atau pada metabolism
b. Sindroma demensia dengan etiologi yang dikenal tetapi belum dapat
diobati, penyebab utama dalam golongan ini diantaranya:
3. Khorea Hungtington
1. Menurunnya daya ingat yang terus terjadi. Pada penderita demensia, lupa
menjadi bagian keseharian yang tidak bisa lepas.
6
2. Gangguan orientasi waktu dan tempat, misalnya: lupa hari, minggu,
bulan, tahun, tempat penderita demensia berada.
3. Penurunan dan ketidakmampuan menyusun kata menjadi kalimat yang
benar, menggunakan kata yang tidak tepat untuk sebuah kondisi,
mengulang kata atau cerita yang sama berkali-kali.
4. Ekspresi yang berlebihan, misalnya menangis berlebihan saat melihat
sebuah drama televisi, marah besar pada kesalahan kecil yang dilakukan
orang lain, rasa takut dan gugup yang tak beralasan. Penderita demensia
kadang tidak mengerti mengapa perasaan-perasaan tersebut muncul.
5. Adanya perubahan perilaku, seperti: acuh tak acuh, menarik diri dan
gelisah.
E. PATOFISIOLOGI DEMENSIA
7
patologis dari hal tersebut akan memicu keadaan konfusio akut demensia (Boedhi-
Darmojo, 2009).
F. PATOGENESIS DEMENSIA
G. PEMERIKSAAN DEMENSIA
a. Anamnesis
Selain melakukan anamnesis umum seperti menanyakan nama,
usia, pekerjaan pasien juga penting sekali melakukan anamnesis khusus berkaitan
dengan demensia, hal yang penting untuk diperhatikan pada saat melakukan
anamnesis adalah riwayat penurunan fungsi terutama fungsi kognitif pada pasien
dibandingkan sebelumnya, mendadak atau progresif lama dan adanya perubahan
perilaku kepribadian.
b. Pemeriksaan Fisik
8
Pemeriksaan fisik terdiri dari pemeriksaan umum, pemeriksaan
neurologis dan pemeriksaan neuropsikologis.
Pemeriksaan umum, pemeriksaan ini terdiri dari pemeriksaan medis umum
atau status interna seperti yang dilakukan dalam praktek klinis. Seperti
tanda-tanda vital pasien apakah normal atau tidak.
Pemeriksaan neurologis, pemeriksaan ini penting dilakukan untuk
membedakan proses degeneratif primer atau sekunder dan kondisi
komorbid lainnya. Pasien Demensia Alzheimer onset awal pada umunya
memiliki pemeriksaan neurologis yang normal. Pemeriksaan neurologis
dapat juga digunakan untuk mengetahui adanya tekanan tinggi
intrakranial, gangguan neurologis fokal misalnya: gangguan berjalan,
gangguan motorik, sensorik, otonom, koordinasi, gangguan penglihatan,
pendengaran, keseimbangan, tonus otot, gerakan abnormal/apraksia dan
adanya refleks patologis dan primitif.
Pemeriksaan neuropsikologis, pemeriksaan neuropsikologis meliputi
evaluasi memori, orientasi, bahasa, kalkulasi, praksis, visuospasial dan
visuoperceptual. Mini Mental State Examination (MMSE) adalah
pemeriksaan awal yang berguna untuk mengetahui adanya disfungsi
kognisi, menilai efektivitas pengobatan dan untuk menentukan
progresivitas penyakit.
Mini Mental State Examination (MMSE)
Pemeriksaan demensia dapat menggunakan Mini Mental State
Examination (MMSE) yang merupakan gold standar untuk diagnosis demensia.
Pemeriksaan ini mudah dikerjakan dan membutuhkan waktu yang relatif singkat
yaitu antara lima sampai sepuluh menit yang mencakup penilaian orientasi,
registrasi, perhatian dan kalkulasi, mengingat kembali serta bahasa. Pasien dinilai
secara kuantitatif pada fungsi-fungsi tersebut dengan nilai sempurna adalah 30.
Pemeriksaan MMSE dapat digunakan secara luas sebagai pemeriksaan yang
sederhana dan cepat untuk mencari kemungkinan munculnya defisit kognitif
sebagai tanda demensia
Menurut Folstein (1990), interpretasi MMSE didasarkan pada skor yang
diperoleh pada saat pemeriksaan:
9
1. Skor 27-30 diinterpretasikan sebagai fungsi kognitif normal
2. Skor 21-26 diinterpretasikan sebagai gangguan fungsi kognitif ringan
3. Skor 10-20 diinterpretasikan sebagai gangguan fungsi kognitif sedang
4. Skor < 10 diinterpretasikan sebagai gangguan fungsi kognitif berat.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap termasuk elektrolit, fungsi ginjal, fungsi hati,
hormon tiroid dan kadar vitamin B12. Pemeriksaan HIV dan neurosifilis
pada penderita dengan resiko tinggi. Pemeriksaan cairan otak bila terdapat
indikasi.
Pemeriksaan pencitraan otak
Pemeriksaan ini berperan untuk menunjang diagnosis, menentukan
beratnya penyakit serta prognosis. Computed Tomography (CT) – Scan
atau Metabolic Resonance Imaging (MRI) dapat mendeteksi adanya
kelainan struktural sedangkan Positron Emission Tomography (PET) dan
Single Photon Emission Tomography (SPECT) digunakan untuk
mendeteksi pemeriksaan fungsional. MRI menunjukkan kelainan struktur
hipokampus secara jelas dan berguna untuk membedakan demensia
alzheimer dengan demensia vaskular pada stadium awal.
Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG tidak menunjukkan adanya kelainan yang spesifik. Pada
stadium lanjut ditemukan adanya perlambatan umum dan kompleks secara
periodik.
I. DIAGNOSIS DEMENSIA
10
1. Harus dapat dibuktikan secara nyata adanya penurunan dalam daya ingat
yang memengaruhi registrasi, retensi, dan recall yang konstan minimal
selama 6 bulan
2. Kesadaran harus normal
3. Adanya gejala tambahan sebagai berikut:
a. Penurunan kemampuan mengendalikan emosi
b. Berkurangnya kemampuan memusatkan dan mempertahankan
konsentrasi
c. Miskinnya alur gagasan dan penurunan daya pikir
d. Penurunan visuospasial yang dapat dibuktikan dengan penurunan
kecermatan, ketepatan, dan kecepatan dalam
bertindak/mengerjakan sesuatu
e. Gangguan orientasi
f. Penurunan fungsi kecerdasan lain seperti berhitung, kemampuan
mencari perbedaan dan persamaan, dan daya abstraksi
g. Gangguan dalam komunikasi yang ditandai dengan kelambanan
berbicara, sukar memahami pesan-pesan, merosotnya kosa kata
bahkan miskin kata-kata.
1. Farmakoterapi
Sebagian besar kasus demensia tidak dapat disembuhkan.
a. Untuk mengobati demensia alzheimer digunakan obat - obatan
antikoliesterase seperti Donepezil, Rivastigmine, Galantamine,
Memantine
b. Dementia vaskuler membutuhkan obat -obatan anti platelet seperti
Aspirin, Ticlopidine, Clopidogrel untuk melancarkan aliran darah ke otak
sehingga memperbaiki gangguan kognitif.
11
c. Demensia karena stroke yang berturut-turut tidak dapat diobati, tetapi
perkembangannya bisa diperlambat atau bahkan dihentikan dengan
mengobati tekanan darah tinggi atau kencing manis yang berhubungan
dengan stroke.
d. Jika hilangnya ingatan disebabakan oleh depresi, diberikan obat anti-
depresi seperti Sertraline dan Citalopram.
e. Untuk mengendalikan agitasi dan perilaku yang meledak-ledak, yang
bisa menyertai demensia stadium lanjut, sering digunakanobat anti-
psikotik (misalnya Haloperidol, Quetiapine dan Risperidone).
2. Terapi Nonfarmakologik
Program harus dibuat secara individual mencakup intervensi terhadap
pasien sendiri, pengasuh dan lingkungan, sesuai dengan tahapan penyakit
dan sarana yang tersedia.
Intervensi terhadap pasien meliputi:
Program Harian Penderita
a. Kegiatan harian teratur dan sistematis, meliputi latihan fisik untuk
memacu aktivitas fisik dan otak yang baik (brain-gym)
b. Asupan gizi berimbang, cukup serat, menngandung antioksidan,
mudah dicerna, penyajian menarik dan praktis
c. Mencegah /mengelola faktor risiko yang dapat memperberat
penyakit, misalnya hipertensi, gangguan vascular, diabetes, dan
merokok
d. Melaksanakan hobi dan aktifitas social sesuai kemampuan
e. Melaksanakan “LUPA” (Latih, Ulang, Perhatikan, dan Asosiasi)
f. Tingkatkan aktivitas saat siang hari, tempatkan di ruangan yang
mendapatkan cahaya cukup
Orientasi Realitas
a. Penderita diingatkan akan waktu dan tempat
b. Beri tanda khusus untuk tempat-tempat tertentu, misalnya kamar
mandi
12
c. Pemberian stimulasi melalui latihan permainan, misalnya
permainan monopoli, kartu, scrabble, mengisi teka-teki silang,
sudoku, dan lain-lain.
4. Terapi Simtomatik
Pada penderita penyakit demensia dapat diberikan terapi simtomatik,
meliputi:
a. Diet
b. Latihan fisik yang sesuai
c. Terapi rekreasional dan aktifitas
13
Cara ini dapat membantu pengidap untuk mengatasi kesulitan
bergerak. Fisioterapi dapat memulihkan gerakan dan fungsi tubuh yang
mengalami cedera, sakit, atau, cacat. Hal ini juga dapat membantu kamu untuk
mengurangi risiko cedera atau sakit di masa depan. Bentuk latihan yang dapat
diberikan dapat berupa single task exercise dan dual task exercise.
Single Task Exercise berupa latihan fisik yang tepat memiliki dampak
positif terhadap fungsi kognitif karena dapat menjaga fungsi otak
termasuk meningkatkan aliran darah dan pengiriman oksigen ke cerebral,
serta menginduksi faktor pertumbuhan fibroblast di hippocampus.
1) Latihan Keseimbangan
Berikut adalah sederet latihan yang aman dilakukan oleh para lansia:
Berdiri dengan Satu Kaki
Berdiri dengan satu kaki tidak hanya akan melatih keseimbangan, tapi
juga kekuatan otot kaki lansia. Berikut langkah-langkah yang bisa dilakukan:
14
Berdirilah menghadap dinding, lalu ulurkan tangan Anda dan
sentuh dinding dengan ujung jari Anda. Jadikan jari Anda sebagai
tumpuan.
Angkat kaki kiri hingga setinggi pinggul. Biarkan kaki kanan
sedikit menekuk dengan nyaman.
Tahan selama 5-10 detik, lalu turunkan kaki secara perlahan.
Ulangi sebanyak 3 kali. Kemudian, lakukan langkah yang sama
pada kaki kanan.
15
Latihan ini bermanfaat untuk menjaga keseimbangan serta
memperkuat otot punggung dan bokong lansia. Sebelum melakukan gerakan,
siapkan sebuah bangku untuk dijadikan tumpuan. Pastikan bangku cukup kokoh
untuk dijadikan pegangan. Kemudian, ikuti langkah-langkah berikut:
Berdirilah dengan tegak di belakang bangku, lalu peganglah
sandarannya.
Angkat kaki kiri Anda dan luruskan ke belakang. Usahakan agar
lutut kiri Anda tidak ikut menekuk.
Selama mengangkat kaki kiri, jagalah kaki kanan Anda agar tetap
lurus. Anda dapat mencondongkan badan ke depan agar posisi
badan lebih nyaman.
Tahan posisi ini selama satu detik, lalu kembalilah ke posisi
semula. Ulangi sebanyak 15 kali, kemudian lakukan kembali
dengan kaki kanan Anda.
Berjinjit
16
dan pergelangan kaki. Agar lebih aman, gunakanlah bangku atau meja sebagai
tumpuan. Berikut langkah-langkahnya:
Berdirilah dengan tegak sambil berpegangan pada tumpuan.
Angkat tumit Anda secara perlahan hingga Anda berada dalam
posisi berjinjit. Usahakan agar tumit terangkat setinggi mungkin.
Kembalilah ke posisi semula, lalu ulangi kembali seluruh langkah
sebanyak 20 kali.
Push-up Dinding
2) Latihan Stretching
17
Rotasi Peregangan Dalam
Memegang ujung handuk atau item pakaian dengan masing-masing
tangan, dengan siku ditekuk kiri, telapak belakang kepala dan tangan kanan lurus,
dengan handuk sesuai dengan tulang belakang; Kemudian, menggunakan
kekuatan tangan kiri untuk menarik handuk up, membawa tangan kanan atas juga;
mempertahankan posisi selama 30-60 detik; sekali pada setiap sisi adalah satu set,
ulangi 5-10 kali. Catatan: Orang yang menderita bahu kaku serius mungkin tidak
dapat mengangkat lengan mereka; ini adalah kasus melakukan satu peregangan
sisi, dengan tangan yang memiliki kekuatan memindahkan terluka sisi.
Peregangan Paha
Dengan kedua kaki kuat di tanah, tekuk lutut kanan dan mengangkat
mundur, ambil bagian atas kaki kanan di tangan kanan dan kemudian tarik paha
lembut mundur sampai Anda merasa sakit sedikit di depan paha. Tahan posisi
selama 30-60 detik; sekali pada setiap sisi adalah satu set dan melakukan 5-10 set.
18
atas Anda sejauh ke depan yang Anda bisa sampai Anda merasa sakit sedikit di
belakang kanan thigh. Hold posisi untuk 30-90 detik. Setelah di setiap sisi adalah
salah satu set, lakukan 5-10 set.
3) Latihan Aerobik
Lansia direkomendasikan melakukan aktivitas fisik setidaknya
selama 30 menit pada intensitas sedang hampir setiap hari dalam
seminggu. Aktivitas yang dapat dilakukan seperti berjalan, berkebun,
melakukan pekerjaan rumah, dan naik turun tangga
Lansia dengan usia lebih dari 65 tahun disarankan melakukan
olahraga yang tidak terlalu membebani tulang, seperti berjalan, latihan
19
dalam air, bersepeda statis, dan dilakukan dengan cara yang
menyenangkan. Bagi Lansia yang tidak terlatih harus mulai dengan
intensitas rendah dan peningkatan dilakukan secara individual
berdasarkan toleransi terhadap latihan fisik.
Olahraga yang bersifat aerobik adalah olahraga yang membuat
jantung dan paru bekerja lebih keras untuk memenuhi meningkatnya
kebutuhan oksigen, misalnya berjalan, berenang, bersepeda, dan lain-
lain. Latihan fisik dilakukan sekurangnya 30 menit dengan intensitas
sedang, 5 hari dalam seminggu atau 20 menit dengan intensitas tinggi, 3
hari dalam seminggu, atau kombinasi 20 menit intensitas tinggi 2 hari
dalam seminggu dan 30 menit dengan intensitas sedang 2 hari dalam
seminggu.
20
Intensitas latihan meningkat seiring dengan meningkatnya kemampuan
individu. Jumlah repetisi harus ditingkatkan sebelum beban ditambah.
Waktu yang dibutuhkan adalah satu set latihan dengan 10-15 repetisi.
21
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Demensia merupakan sindrom neurodegeneratif yang timbul karena
adanya kelainan yang bersifat kronis dan progesifitas disertai dengan gangguan
fungsi luhur multipel seperti kalkulasi, kapasitas belajar, bahasa, dan mengambil
keputusan. Demensia dapat disebabkan karena adanya proses degenerasi,
gangguan metabolism dan adanya depresi.
Tanda dan gejala demensia dapat berupa menurunnya daya ingat, adanya
gangguan orientasi waktu dan tempat, penurunan dan ketidakmampuan Menyusun
kata menjadi kalimat yang benar serta lain sebagainya. Adapun pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan pada kasus demensia dapat berupa pemeriksaan
laboratorium, pencitraan otak, dan elektro ensefalografi.
B. SARAN
22
DAFTAR PUSTAKA
Cardoba, Marisza. 2017. Autoimmun The True Story. Jakarta: Gramedia Pustaka
Umum.
Husmiati, H., 2016. Demensia Pada Lanjut Usia Dan Intervensi Sosial. Sosio
Informa, 2(3).
Lolo, A.N.H.A., Bachtiar, F. and Leksonowati, S.S., 2019. Pemberian Brain Gym
Exercise Dapat Meningkatkan Fungsi Kognitif Pada Lanjut Usia. Jurnal
Vokasi Indonesia, 7(2).
Mulyadi, A., Fitriana, L.A. and Rohaedi, S., 2017. Gambaran Aktivitas Fisik Pada
Lansia Demensia Di Balai Perlindungan Sosial Tresna Wreda Ciparay
Bandung. Jurnal Kepelatihan Olahraga, 9(1).
Putri, D.M.P., 2017. Pengaruh Latihan Senam Otak dan Art Therapy Terhadap
Fungsi kognitif Lansia Dengan Demensia di PSTW Yogyakarta Unit
Budi Luhur dan Abiyoso.
Pratiwi, Annisa Wahyu. 2019. Perbedaan Pengaruh Single Task dan Dual Task
Exercise Terhadap Keseimbangan pada Lansia dengan Kondisi Mild
Dementia. Program Studi Fisioterapi S1 Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas ‘Asyiyah Yogyakarta.
Setiati, Siti, Indrus Alwi, dkk, ed. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
Keenam. Jilid I. Jakarta Pusat: Interna Publishing.
23
Suwarni, S., Setiawan, S. and Syatibi, M.M., 2017. Hubungan usia demensia dan
kemampuan fungsional pada lansia. Jurnal Keterapian Fisik, 2(1).
24