Anda di halaman 1dari 13

Nama : zubaydatul ulum

NIM : 201210301078

1. Bagaimana pengobatan spina bifida ?


http://medicastore.com/penyakit/915/Spina_Bifida.html
pengobatan
tujuan dari pengobatan awal adalah :
a. Mengurangi kerusakan saraf akibat spina bifida
b. Meminimalkan komplikasi (misalnya infeksi)]
c. Membantu keluarga untuk menghadapi kelainan ini
Pembedahan dilakukan untuk menutupi lubangyang terbantuk dan untuk
mengobati hidrosefalus. Kadang pembedahan shunting untuk memperbaiki hidrosefalus
akan menyebabkan berkurangnya mielomeningokel secara spontan.selain itu,
pembedahanjuga bisa dilakukan untuk mengatasi kelainan ginjal dan kandung kemih
serta kelainan bentuk fisik yang menyertai spina bifida.
Untuk mengatasi gejala musculoskeletal(otot dan rangka tubuh) perlu penanganan
dari dokter ahli orthopedic maupun rehabilitasi fisik. Terpai fisaik dilakukan
agarpergerakan sendi tetap terjaga dan untuk memperkuat fungsi otot. Untuk mengobati
atau untuk mencegah meningitis, sinfeksi saluran kemih dan infeksi lainnya, maka bisa
diberikan antibiotic.
Untuk membantu memperlancar aliran air kemih bisa dilakukan penekanan
lembut diatas kandung kemih. Pada kasus yang berat kadang harus dilakukan
pemasangan kateter. Diet kaya serat dan program latihan pembuangan air besar bisa
membantu memperbaiki fungsi saluran pencernaan. Kelainan saraf lainnya diobati sesuai
dengan jenis dan luasnya gangguan fungsi yang terjadi.
http://medshisof.tumblr.com/post/30842243973/spina-bifida
TINDAKAN OPERASI
Biasanya kalau ada kelainan bawaan yang berat dan dapat mengancam nyawa si bayi,
maka begitu lahir sudah disiapkan tim dokter untuk menanganinya. Misalnya dari bedah
saraf, bedah anak, ortopedi, dan dokter saraf anak.
Terlebih bila spina bifidanya terbuka dan terjadi kebocoran, maka harus segera ditutup
lewat operasi. Karena bagaimanapun, tidak bisa dibiarkan adanya hubungan dunia luar
dengan susunan saraf pusat.
"Tindakan operasi yang dilakukan pun memiliki beberapa tujuan, yaitu untuk penutupan
kalau ada defect atau kalau ada hubungan langsung susunan saraf pusat dengan dunia
luar," Selain itu, tujuan utama lainnya adalah operasi untuk membebaskan jaringan saraf
bila mungkin ada yang menyangkut di tulang belakang yang defect (berlubang).

Biasanya, bila kelainan spina bifidanya terbuka luas, bayi harus dirawat di rumah sakit
dan tidak dibolehkan pulang. Sebab, ia termasuk bayi berisiko tinggi. Sementara pada
spina bifida yang dilapisi oleh kulit yang normal, bisa didiamkan saja, tanpa perlu
tindakan operasi. Bisa dibawa pulang dan kontrol 3-5 bulan, asalkan dihindari dari cedera
seperti jatuh atau terbentur.
Selain tujuan operasi penutupan defect dan membebaskan jaringan saraf yang tersangku,
tujuan operasi lainnya yaitu aspek kosmetik. Biasanya dilakukan kalau spina bifidanya
cuma menonjol saja dan semuanya cukup bagus. Operasi ini dilakukan di usia
prasekolah, sekitar usia 4 tahunan, agar anak nantinya tidak merasa malu.
Bila spina bifida disertai dengan hidrosefalus sebaiknya dilakukan terlebih dulu
pemasangan selang atau VP shunt (pintas dari rongga cairan otak ke perut). Kalau
tidak, tekanan cairan dari otak akan tinggi terus. Akibatnya, seringkali bocor dan
merembes. Dengan pemasangan selang, cairan otak dialirkan ke rongga perut sehingga
tekanan cairan pun tidak terlalu tinggi. Kalau tidak dipakaikan selang, lama-lama kepala
anak akan terus membesar karena cairan otak akan bertambah atau berproduksi terus.
Pertumbuhan jaringan otak pun akan tertekan dan kalau dibiarkan terus, bisa menjadi
tipis.
2. Peran dan terapi fisioterapi ?
http://asepafrizal24.wordpress.com/2012/10/16/penatalaksanaan-fisioterapi-pada-kasusspinal-cord-injury-incomplit-ais-b-sl-c5-e-c-spondilitis-tb-c5-c6-post-pssw/
1) Pemeriksaan Sensoris
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan sensori level. Sensori level adalah batas
paling kaudal dari segment medula spinalis yang fungsi sensorisnya normal. Tes ini
terdiri dari 28 tes area dermatom yang diperiksa dengan menggunakan tes tajam tumpul
dan sentuhan sinar, dengan kriteria penilaiannya sebagai berikut :
Nilai 0 : tidak ada dapat merasakan (absent ).
Nilai 1 : merasakan sebagian ( impaired ) dan hiperaestesia.
Nilai 2 : dapat merasakan secara normal.
NT ( not testable ) : diberikan pada pasien yang tidak dapat merasakan karena tidak
sadarkan diri.

2) Pemeriksaan Motorik
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan motorik levelnya. Motorik level
adalah batas paling kaudal dari segment medula spinalis yang fungsi motoriknya normal.
Identifikasi kerusakan motorik lebih sulit, karena menyangkut innervasi dari beberapa
otot. Tidak adanya innervasi, berarti pada otot tersebut terjadi kelemahan atau
kelumpuhan. Pemeriksaan kekuatan otot tersebut bisa menggunakan pemeriksaan dengan
Manual Muscle Test (MMT), dengan skala penilaian sebagai berikut :
Nilai Huruf Skala Definisi
0 Zero Tidak ditemukan kontraksi dengan palpasi.
1 ( Tr ) Trace Ada kontraksi tetapi tidak ada gerakan
2 ( P) Poor Gerakan dengan ROM penuh, tidak dapat melawan gravitasi.
3 (F) Fair Gerakan penuh melawan gravitasi
4 (G) Good Gerakan ROM penuh dan dapat melawan tahanan.
5 (N) Normal Gerakan ROM penuh dan dapat melawan tahanan maksimal.
Pada pemeriksaan motorik dengan menggunakan manual muscle testing ini biasanya
dilakukan pada daerah myotom, antara lain :
C 5 : Fleksi siku ( m. biceps, m. brachialis )
C 6 : Ekstensi pergelangan tangan ( m. ekstensor carpi radialis longus dan brevis )
C 7 : Ekstensi siku ( m. triceps )
C8 : Fleksi digitorum profundus jari tengah (m. fleksor digitorum profundus)
Th 1 : Abduksi digiti minimi (m. abduktor digiti minimi )
L 2 : Fleksi hip ( m. iliopsoas )
L 3 : Ekstensi knee ( m. Quadriceps )
L 4 : Dorso fleksi ankle (m. tibialis anterior )
L 5 : Ekstensi ibu jari kaki (m. ekstensor hallucis longus )

S 1 : Plantar fleksi ankle (m. gastrocnemius, m. soleus )


3) Pemeriksaan neurology level
Pemeriksaan ini dilakukan unutuk mengetahui batas kaudal dari segment medulla spinalis
yang fungsi sensorik dan motoriknya normal.
Selain berdasarkan pemeriksaan kerusakan sensorik dan motorik, ASIA juga membagi
SCI berdasarkan derajat kerusakan yang timbul seperti dibawah ini :
American Spinal Injury Association Impairment Scale (AIS)
A : Komplit. Tidak ada respon fungsi sensorik dan motorik level S4 5
B : Inkomplit. Respon sensorik ada, tapi fungsi motorik tidak ada sampai dengan
neurologi. Fungsi sensorik normal sampai level S4-5.
C : Inkomplit. Fungsi sensorik ada, motor function ada di bawah level neurologis, dan
lebih dari 50% otot-otot yang dipersarafi sesuai area dermatomnya memiliki nilai MMT
kurang dari 3.
D : Inkomplit. Fungsi sensorik ada, motor function di bawah level neurologis tidak
berubah dan mayoritas key muscle di bawah level neurologis memiliki nilai MMT lebih
atau sama dengan 3.
E : Normal : Fungsi sensorik dan motorik normal.
Selain itu gangguan yang timbul pada cidera medula spinalis sesuai dengan letak lesinya,
dimana pada UMN lesi akan timbul gangguan berupa spastisitas, hyperefleksia, dan
disertai hypertonus, biasanya lesi ini terjadi jika cidera mengenai C1 hingga L1. Dan pada
LMN lesi akan timbul gangguan berupa flaccid, hyporefleksia, yang disertai hipotonus
dan biasanya lesi ini terjadi jika cidera mengenai L2 sampai cauda equina, di samping itu
juga masih ada gangguan lain seperti gangguan bladder dan bowel, gangguan fungsi
seksual, dan gangguan fungsi pernapasan.
Sedangkan lesi pada medula spinalis menurut ASIA resived 2000, terbagi atas :
a.) Paraplegi : Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan sensorik karena
kerusakan pada segment thoraco-lumbo-sacral.
b.) Quadriplegi : Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan sensorik karena
kerusakan pada segment cervikal.

Spesifik Level
1.) C1 C2 : Quadriplegia, kemampuan bernafas (-).
2.) C3 C4 : Quadriplegia, fungsi N. Phrenicus (-), kemampuan bernafas hilang.
3.) C5 C6 : Quadriplegia, hanya ada gerak kasar lengan.
4.) C6 C7 : Quadriplegia, gerak biceps (+), gerak triceps (-).
5.) C7 C8 : Quadriplegia, gerak triceps (+), gerak intrinsic lengan (-).
6.) Th1 L1-2 : Paraplegia, fungsi lengan (+), gerak intercostalis tertentu (-), fungsi
tungkai (-), fungsi seksual (-).
7.) Di bawah L2: Termasuk LMN, fungsi sensorik (-), bladder & bowel (-), fungsi seksual
tergantung radiks yang rusak.
10. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Spinal Cord Injury
Untuk menentukan problem pada penderita SCI terlebih dahulu kita harus melakukan
pemeriksaan yang tercantum dalam asuhan pelayanan fisioterapi yang terdiri atas :
1. Assesment
a. Anamnesa
Anamnesa adalah metode pengumpulan data dengan wawancara baik langsung pada pasien
maupun pada keluarga. Anamnesa mencakup identitas pasien, keluhan utama, riwayat penyakit,
serta tindakan medik yang pernah dilakukan.
b. Pemeriksaan Umum
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat keadaan umum pasien seperti tekanan darah, nadi,
pernapasan, suhu.
c. Inspeksi
Inspeksi adalah pemeriksaan secara visual tentang kondisi serta kemampuan gerak dan
fungsinya. Apakah ada oedem pada anggota gerak, pengecilan otot ( atropi ), warna, dan kondisi
kulit sekitarnya, kemampuan beraktifitas, alat bantu yang digunakan untuk beraktifitas, posisi
pasien, dll.

d. Palpasi
Palpasi adalah pemeriksaan terhadap anggota gerak dengan menggunakan tangan dan
membedakan antara kedua anggota gerak yang kanan dan kiri. Palpasi dilakukan terutama pada
kulit dan subcutaneus untuk mengetahui temperatur, oedem, spasme, dan lain sebagainya.
e. Pemeriksaan Gerak Fungsi
Dalam hal ini meliputi fungsi gerak aktif, gerak pasif, dan gerak isometrik. Pada pemeriksaan ini
umumnya pada pasien ditemukan adanya rasa nyeri, keterbatasan gerak, kelemahan otot, dan
sebagainya.
f. Pemeriksaan Fungsional
Dalam pemeriksaan fungsional meliputi kemampuan pasien dalam beraktifitas baik itu
posisioning miring kanan kiri ( setiap 2 jam ), transfer dari tidur ke duduk, dari tempat tidur ke
kursi roda, dan sebaliknya.
g. Pemeriksaan Khusus
1.) Antropometri
Pengukuran ini dilakukan untuk membuat perbandingan antara sisi yang sehat dengan sisi yang
sakit untuk menentukan apakah ada oedem, perbedaan panjang tungkai, pengecilan otot dan lain
sebagainya. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan Mid line.
2.) Kekuatan Otot
Pengukuran ini digunakan untuk melihat kekuatan otot dari keempat anggota gerak tubuh. Dan
dilakukan dengan menggunakan metode manual muscle testing ( MMT ).
3.) ROM ( Lingkup Gerak Sendi )
Pemeriksaan ROM dilakukan dengan menggunakan goniometer dan dituliskan dengan
menggunakan metode ISOM (International Standar Of Measurement ).
4.) Pemeriksaan Nyeri dengan VAS ( Visual Analog Scale )
VAS merupakan salah satu metode pengukuran nyeri yang dapat digunakan untuk menilai
tingkat nyeri yang dirasakan oleh pasien. Pasien diminta untuk menunjukan letak nyeri yang
dirasakan pada garis yang berukuran 10 cm, dimana pada ujung sebelah kiri (nilai 0) tidak ada
nyeri, dan pada ujung sebelah kanan ( nilai 10 ) nyeri sekali.

2. Problem fisioterapi
Asuhan pelayanan fisioterapi yang diberikan pada penderita SCI dilakukan secara bertahap
sesuai dengan problema yang ditemukan pada saat dilakukan assessment. Untuk itu sebelum
melakukan intervensi fisioterapi, hendaknya kita mengetahui problema fisioterapi apa saja yang
ada pada penderita dengan SCI.
a) Keterbatasan ROM
ROM adalah sudut yang terjadi saat bergerak yang terjadi dalam sendi. Jadi keterbatasan ROM
adalah keterbatasan sudut yang terjadi saat bergerak yang terjadi dalam suatu sendi yang
mengakibatkan tidak tercapainya gerak yang normal. Biasanya keterbatasan ROM ini diukur
dengan menggunakan goniometer.
b) Kelumpuhan.
Kelumpuhan atau paralysis dapat terjadi pada seluruh otot-otot tubuh sesuai dengan level yang
terkena. Nilai otot pada penderita SCI pada fase spinal shock yaitu 0, namun setelah melewati
fase tersebut kekuatan otot akan berangsur membaik yang ditentukan pula oleh seberapa besar
tingkat kerusakan pada medulla spinalis.
c) Spastisitas / flacciditas.
Bila kerusakan mengenai upper motor neuron ( UMN ), maka dapat terjadi spastisitas. Namun
bila mengenai lower motor neuron ( LMN ), maka yang akan nampak adalah flaccid pada otototot. Pada level SCI yang tinggi, biasanya terjadi spastisitas. Untuk mengukur spastisitas
seringkali digunakan skala Aswort. Skala Aswort mengemukakan secara manual pergerakan
anggota gerak melalui lingkup geraknya untuk merenggangkan ( stretch ) suatu group otot.
Modifikasi skala Aswort dalam menilai spastisitas :
Nilai Penjelasan
0 Tidak ada peningkatan tonus otot
1 Ada sedikit peningkatan tonus otot, diketahui oleh atau dengan memberikan tahanan minimal
pada akhir ROM
2 Ditandai dengan peningkatan tonus otot pada full ROM
3 Peningkatan tonus otot sehingga sulit melakukan gerakan pasif
4 Menyebabkan rigid / kaku pada saat fleksi atau ekstensi

d) Gangguan mobilisasi dan transfer.


Akibat dari kelumpuhan otot-otot terutama pada SCI yang mengenai segmen thoracolumbal,
maka akan terjadi gangguan transfer dan mobilitas dari penderita. Selain dari kelumpuhan otot
gangguan tersebut dapat lebih buruk apabila pasien telah tirah baring lama sehingga terdapat
komplikasi kekakuan sendi dan adanya spastisitas yang berat maka gangguan mobilitas dan
tranfer tersebut akan menjadi lebih berat, dan dapat menimbulkan komplikasi lain.
e) Nyeri
Nyeri adalah sesuatu yang dirasakan pada tubuh sebagai gambaran adanya kerusakan pada
jaringan tubuh. Pada kondisi SCI, dimana terjadi gangguan sensorik biasanya tidak akan ada
nyeri. Namun seringkali pasien merasa sakit atau sesuatu yang tidak enak pada tubuhnya saat
dilakukan gerakan secara pasif. Hal itu disebabkan adanya penguluran pada otot yang spastis.
Bila fungsi sensoris telah normal kembali, dapat juga terjadi nyeri gerak yang disebabkan karena
adanya penguluran dari otot yang telah memendek karena telah lama tidak digerakkan.
f) Potensial terjadi kontraktur.
Kontraktur dapat timbul akibat dari kelemahan anggota gerak, dimana akibat kelemahan tersebut
ekstremitas menjadi tidak dapat digerakkan dan berada pada posisi statis yang terus menerus,
sehingga otot-otot menjadi memendek.
g) Potensial terjadi kekakuan sendi.
Kekakuan pada sendi terutama pada sendi-sendi pada anggota gerak akibat dari immobilisasi
pasien yang lama dan tidak pernah dilakukan gerak secara pasif, didukung oleh adanya
spastisitas.
h) Potensial terjadi gangguan fungsi pernafasan.
Pada SCI diatas level C4 atau level C5 Th 12, gangguan pernafasan yang timbul disebabkan
adanya kelemahan otot-otot pernafasan yang diakibatkan langsung oleh lesi pada medulla
spinalis pada level tersebut. Namun pada SCI level lumbalis, gangguan pernafasan yang timbul
diakibatkan oleh tirah baring yang lama, sehingga menimbulkan kondisi statis yang dapat
menimbulkan gangguan seperti adanya bronchopneumonia.
i) Potensial gangguan integritas kulit (decubitus).
Decubitus sering terjadi pada penderi SCI, terutama di daerah bokong. Decubitus terjadi akibat
penekanan yang terus menerus pada satu area, sehingga area tersebut tidak cukup mendapat
suply darah atau sirkulasi pada area tersebut terganggu. Decubitus mudah dikenali, pada tahap

awal biasanya kulit mulai menjadi merah kehitaman, bila sudah terdapat tanda tersebut kita harus
mencurigai kemungkinan timbulnya decubitus .
3. Diagnosa Fisioterapi
Diagnosa fisioterapi dibuat berdasarkan analisa dari hasil pemeriksaan fisioterapi dan masalah
yang ada. Diagnosa tersebut haruslah menggambarkan anatomi jaringan spesifik, patologi, dan
gangguan gerak dan fungsi.
4. Program Perencanaan Fisioterapi
Dalam menentukan perencanaan, harus ditentukan terlebih dahulu tujuan yang akan dicapai,
yang mencakup tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Adapun penentuan tujuan
dilakukan berdasarkan problematik fisioterapi yang ditemukan dalam proses assessment.
5. Intervensi Fisioterapi
Berdasarkan problema, kita dapat menentukan intervensi fisioterapi yang diperlukan dan sesuai
dengan kebutuhan pasien atau keluhan pasien agar tujuan akhir dari intervensi dapat tercapai.
Intervensi fisioterapi terutama ditujukan untuk mengurangi atau mencegah masalah-masalah
yang belum ada namun berpotensi untuk terjadi pada penderita tersebut. Selain itu intervensi
juga ditujukan untuk meningkatkan kemandirian penderita. Adapun berbagai intervensi
fisioterapi yang dapat dilakukan antara lain :
a) Fisioterapi pada fase akut / spinal shock
1. Posisioning
Bila pasien hanya mampu bergerak dengan bantuan orang lain, fisioterapis adalah salah satu
anggota tim yang berperan dalam membantu gerakan pasien selain perawat. Fisioterapis
memegang peranan penting dalam mengatur posisi anggota gerak untuk mencegah deformitas
dan untuk mengobservasi area yang terkena tekanan untuk melihat adanya tanda tanda
timbulnya kelainan, seperti decubitus.
2. Latihan gerak pasif.
Latihan gerak pasif harus dilakukan pada semua sendi pada anggota gerak bawah pada penderita
paraplegi, dan juga mencakup latihan pada sendi-sendi anggota gerak atas pada penderita
tetraplegi. Pada lesi di lumbal yang harus diperhatikan adalah saat menggerakkan hip jangan
sampai spine juga ikut bergerak. Perhatian yang sama juga dilakukan saat menggerakkan upper
ekstremity bila lesi terdapat pada cervical.

3. Chest terapi
Pada paraplegi tidak memerlukan penanganan chest terapi kecuali bila ada kondisi pengakit paru
kronik, tetapi fisioterapis harus memperhatikan adanya tanda-tanda gangguan respirasi. Pasien
dengan tetraplegi memerlukan chest terapi karena adanya peralysis pada otot-otot intercostalis.
Pasien kemungkinan memakai trakheoostomi atau alat bantu nafas.
4. Exercise
a) Paraplegi : Latihan penguatan untuk anggota gerak atas dilakukan seawal mungkin
b) Tetraplegi : Gerakan aktif pada anggota gerak atas dilakukan pada posisi yang tidak
mengganggu posisi cervical.
5. Interaksi pasien fisioterapi
Salah satu aspek penting dalam melakukan treatment pada fase akut adalah untuk membangun
kepercayaan yang baik dengan pasien. Hal ini dapat menjadi sulit, tergantung pada reaksi pasien
terhadap kondisi penyakitnya. Fisioterapis harus mengerti kondisi pasien dan mengerahkan
selurh kemampuannya untuk membangun kooperatif dan motivasi pasien.
b) Fisioterapi pada fase pemulihan
Saat pertama kali diberikan weight bearing pada spine fisioterapis secara intensif harus diberikan
untuk membangun kemandirian yang maximum.
1) Paraplegia
a. Sitting balance
Walau terjadi gangguan sensasi pada bagian bawah tubuh, namun sitting balance bisa dicapai.
Pasien dapat belajar untuk menggunakan sensasi pada bagian atas tubuh dan menggunakan
pandangan dengan lebih intensif. Ada banyak metode yang dapat digunakan dalam melatih
balance.
b. Mobilisasi dengan kusi roda
Kursi roda yang digunakan bisa berupa kursi roda manual ataupun kursi roda elektrik.
Penggunaan kursi roda ini sangat penting bagi pasien untuk dapat bergerak dan membangun
kemandirian. Pasien dengan kursi roda manual dapat berlatih untuk mengoperasikan kursi
rodanya pada jalan yang menanjak atau menurun serta pada jalan yang ada tangganya.

c. Transfer
Pada saat awal pasien dapat diajarkan untuk miring kanan dan miring kiri dan duduk di atas
tempat tidur. Lalu dapat dilanjutkan untuk berpindah ( transfer ) dari tempat tidur ke kursi roda
dan sebaliknya. Saat pasien sudah dapat melakukan hal tersebut dengan rasa aman, pasien dapat
berpindah dari kursi roda ke toilet ataupun ke dalam mobil.
d. Perawatan diri
Perawatan diri harus dimulai saat awal terapi. Pasien harus diajarkan untuk mengurangi tekanantekanan pada bagian tubunya (dudukannya) setiap 10 15 menit, sehingga selanjutnya hal
tersbut dapat menjadi suatu reaksi yang otomatis. Pasien juga harus diajarkan cara
mengobservasi daerah yang tertekan, atau bila areanya tidak dapat terlihat oleh pasien, maka
harus ada orang lain yang dapat mengobservasinya.
Pasien diajarkan untuk melatih gerakan pasif sendiri dan melaporkan kepada terapis bila ada
gerakan yang sulit dilakukan. Pasien diajarkan untuk melakukan beberapa kegiatan fungsional
yang mungkin untuk dilakukannya, seperti berpakaian dan mandi.
e. Penguatan anggota gerak atas
Hal ini dapat dilakukan pada matras atau kursi roda. Untuk memulai latihan fisioterapis dapat
menggunakan tahanan secara manual. Selanjutnya pasien dapat menggunakan paralatan dengan
beban atau dengan menggunakan beban berat badannya sendiri. Selain itu pasien dapat
melakukan olah raga untuk meningkatkan kekuatan otot ekstemitas atas, seperti volley atau
berenang.
f. Latihan berdiri dan berjalan
Seperti saat latihan duduk, pasien harus diajarkan untuk mengkompensasi sensoris yang hilang
pada tubuh bagian bawah. Untuk dapat berdiri dan berjalan pasien akan membutuhkan beberapa
orthosis atau dengan menggunakan kruk, tergantung level lesi yang terkena dan kondisi pasien.
g. Kemandirian
Untuk seorang muda yang menderita paraplegia, kemungkinan besar ia akan dapat hidup secara
mandiri dan dapat kembali bekerja. Modifikasi pekerjaan mungkin diperlukan apabila
pekerjaannya yang lama tidak dapat dilakukan dengan nyaman pada kondisinya saat ini. Hal
yang penting adalah bahwa persiapan untuk hidup mandiri harus dilakukan sejak awal program
terapi.
2) Tetraplegia

Walaupun beberapa tujuannya sama, pada kondisi tetraplegia akan membutuhkan waktu yang
lama dan akan lebih sulit untuk mencapainya. Salah satu masalah yang timbul pada SCI yang
lebih tinggi adalah adanya hipotensi postural
yang timbul akibat hilangnya kontrol vasomotor. Pasien dapat diajarkan untuk beradaptasi
dengan perubahan posisi, dan mereka harus mengenali tanda-tanda bila ia akan pingsan.
Kursi roda yang akan digunakan memerlukan adaptasi, seperti sandaran yang tinggi. Pada
kondisi pasien dengan lesi pada cervical bawah, pasien mampu untuk transfer, namun pada lesi
cervical atas, akan memerlukan bantuan untuk transfer.
Pada pasien dengan tetraplegi, tidak mudah untuk melakukan perawatan diri, tapi pasien harus
mampu mengetahui apa yang ia butuhkan dan tahu kapan ia harus memerlukan bantuan dari
orang lain.
Derajat kemandirian yang dapat dicapai oleh seorang dengan tetraplegi tidak akan setinggi
penderita paraplegia, sehingga ia harus diperiksa dengan hati-hati.
1. Evaluasi
Evaluasi dapat dilakukan secara berkala atau setiap hari, dimana tujuan dari evaluasi ini adalah
untuk mengetahui apakah terapi yang kita berikan bermanfaat atau berguna bagi penyembuhan
pasien ataukah harus diubah jika ada perubahan terhadap penyembuhan masalah yang dihadapi
pasien.
http://alrehabmed.blogspot.com/2008/10/spina-bifida.html
Sistem Muskuloskeletal
Latihan luas gerak sendi pasif pada semua sendi sejak bayi baru lahir dilakukan
seterusnya untuk mencegah deformitas muskuloskeletal. Latihan penguatan dilakukan
pada otot yang lemah, otot partial inervation atau setelah prosedur tendon transfer
Perkembangan Motorik
Stimulasi motorik sedini mungkin dilakukan dengan memperhatikan tingkat dari defisit
neurologis.
Ambulasi
Alat bantu untuk berdiri dapat dimulai diberikan pada umur 12 18 bulan. Spinal brace
diberikan pada kasus-kasus dengan skoliosis.
Reciprocal gait orthosis (RGO) atau Isocentric Reciprocal gait orthosis (IRGO) sangat
efektif digunakan bila hip dapat fleksi dengan aktif.

HKAFO digunakan untuk mengkompensasi instabilitas hip disertai gangguan aligment


lutut. KAFO untuk mengoreksi fleksi lutut agar mampu ke posisi berdiri tegak.
Penggunaan kursi roda dapat dimulai saat tahun kedua terutama pada anak yang tidak
dapat diharapkan melakukan ambulasi
Bowel training
Diet tinggi serat dan cairan yang cukup membantu feses lebih lunak dan berbentuk
sehingga mudah dikeluarkan. Pengeluaran feses dilakukan 30 menit setelah makan
dengan menggunakan reflek gastrokolik. Crede manuver dilakukan saat anak duduk di
toilet untuk menambah kekuatan mengeluarkan dan mengosongkan feses
Stimulasi digital atau supositoria rektal digunakan untuk merangsang kontraksi rektal
sigmoid. Fekal softener digunakan bila stimulasi digital tidak berhasil.

3. Lama penyembuhan spina bifida ?

Anda mungkin juga menyukai