Oleh
Ahmad Zaki (P.3356 A)
Muhammad Arif (P.3361 A)
Preseptor
Dr. dr. Yaslinda Yaunin, Sp.KJ(K)
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demensia adalah suatu kondisi penurunan fungsi mental- intelektual (kognitif)
yang progresif. Yang dapat disebabkan oleh penyakit organik difus pada hemisphere
serebri ( demensia kortikal misalnya penyakit Alzheimer) atau kelainan struktur
subkortikal ( demensia subkortikal misalnya penyakit parkinsin dan huntington).
Prevalensi demensia sebesar 1% pada usia 50-70 tahun, dan mencapai 50% pada usia
mendekati 90 tahun. Insidennya sekitar 190/100.000 pertahun. Kejadian demensia
semakin meningkat dengan bertambahnya usia.
Peneliti telah mengenal hubungan antara neuropatologi dengan gejala psikotik
pada pasien demensia. Gejala mental yang sering ditemukan diantaranya berupa gejala
psikotik dan non psikotik. Gejala prikotik yang sering adalah halusinasi, waham,
disidentifkasi dan gejala non psikotik yang tersering adalah depresi, apati, dan
kecemasan.
Pada psikiatri gejala mental yang berkaitan dengan demensia disebut
Behavioral and Psycological Symptoms In Dementia (BPSD) Asosiasi Psychogeriatric
Internasional mendefinisikan istilah BPSD sebagai “Gejala gangguan persepsi, isi
pikir, suasana hati, atau perilaku yang sering terjadi pada pasien dengan demensia”
Prevalensi gangguan mental yang bermakna secara klinis meningkat sampai
hampir 80% untuk pasien demensia yang berada di lingkungan perawatan. Dua
penelitian berbasis populasi dari Amerika Serikat (Lyketsos et al, 2000) dan dari
Inggris (Burns et al, 1990), menunjukkan angka prevalensi yang sama, yaitu sekitar
20% untuk BPSD pada orang dengan penyakit Alzheimer. Berbeda dengan disfungsi
kognitif pada demensia yang semakin memburuk dari waktu ke waktu, BPSD
cenderung berfluktuasi, dengan agitasi psikomotor yang paling persisten.
Diagnosis gangguan mental pada pasien demensia dapat ditegakkan
berdasarkan kriteria diagnosis pada DSM V dengan terlebih dahulu menegakkan
diagnosis demensia. Tatalaksana gangguan mental dapat dilakukan secara farmakologi
dan farmakologi.
1
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah:
1. Memahami diagnosis dan tatalaksana gangguan mental pada pasien demensia
2. Meningkatkan kemampuan penulisan ilmiah di bidang kedokteran khususnya
dibagian ilmu kedokteran jiwa.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demensia
2.1.1 Definisi
Demensia bukan penyakit tunggal melainkan sebuah sindrom, gangguan
demensia terjadipada fungsi luhur, termasuk fungsi memori, orientasi, komprehensi,
3
kalkulasi, kapasitas belajar, bahasa dan pengambilan keputusan. Demensia adalah
suatu kondisi penurunan fungsi mental- intelektual (kognitif) yang progresif. Yang
dapat disebabkan oleh penyakit organik difus pada hemisphere serebri ( demensia
kortikal misalnya penyakit Alzheimer) atau kelainan struktur subkortikal ( demensia
subkortikal misalnya penyakit parkinsin dan huntington).4
Menurut WHO demensia adalah sindrom yang biasanya bersifat kronis atau
progresif dimana terjadi kemunduran dalam fungsi kognitif (yaitu kemampuan
memproses pikiran) yang berlebihan dari yang seharsunya dialami saat penuaan
normal. Hal ini mempengaruhi memori, pemikiran, orientasi, pemahaman,
perhitungan, kapasitas belajar, Bahasa, dan judgement (penilaian). Namun tidak
berpengaruh terhadap kesadaran. Gangguan fungsi kognitif biasanya disertai dan
kadang didahului oleh penurunan kontrol emosional, prilaku social, atau motivasi.
Demensia diakibatkan oleh berbagai macam penyakit dan cedera yang baik secara
primer maupun sekunder ber efek pada otak, seperti Alzheimer atau stroke. 2
2.1.2 Epidemiologi
Prevalensi demensia sebesar 1% pada usia 50-70 tahun, dan mencapai 50%
pada usia mendekati 90 tahun. Insidennya sekitar 190/100.000 pertahun. Kejadian
demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia. 3
3
2.1.3 Faktor Risiko
Faktor risiko demensia terdiri dari dapat dimodifikasi dan tidak dapat
dimodifikasi:
a. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi :
• Usia adalah faktor risiko utama demensia.
• Jenis kelamin
• Riwayat keluarga dan faktor genetik
b. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi untuk demensia meliputi:
• Depresi
• Diabetes
• Hipertensi (paruh baya)
• Obesitas (paruh baya)
• Merokok
• Penyalahgunaan alkohol
• Kolesterol tinggi (hiperkolesrerolemia)
• Penyakit jantung coroner
• Disfungsi ginjal
• Rendahnya asupan lemak tak jenuh
• Peradangan
Dikemukakan bahwa penurunan kejadian demensia terkait usia yang terlihat di
Inggris disebabkan oleh tindakan kesehatan masyarakat yang lebih baik dan dengan
demikian perbaikan faktor-faktor ini. Selain itu, ada peningkatan fokus pada faktor
pelindung yang diketahui seperti: aktivitas kognitif, aktivitas fisik, pola makan sehat,
dan asupan alkohol rendah / sedang. 6,7,8
2.1.4 Klasifikasi
A. Demensia Alzheimer
Penyakit Alzheimer merupakan bentuk demensia paling umum (dua per tiga
kasus demensia). Merupakan etiologi paliang umum pada demensia di negara maju.
Jarang ditemukan pada individu dibawah 45 tahun. Penyakit ini menyebabkan
4
penurunan kemampuan kognitif secara berangsur angsur. Sering dimulai dengan
kehilangan daya ingat. Penyalit ini ditandai dengan dua dua abnormalitas di otak – plak
amyloid (amyloid plaques) dan ‘neurofibrillary tangles’ (belitan-belitan neurofibriler).
Plak itu adalah kumpulan protein yang abnormal yang disebut beta amyloid. Belitan-
belitan itu adalah kumpulan serat yang berbelit-belit yang terdiri dari protein yang
disebut tau. Plak dan serat yang berbelit-belit itu menghambat komunikasi antara sel-
sel syaraf dan menyebabkan sel-sel itu mati. Prognosis penyakit ini sangat buruk
dengan progress menuju kematian yang umumnya disebabkan oleh
bronkopneumonia.3,4
1) Manifestasi klinis
Ditandai dengan menghilangnya memori episodik secara progresif dan
memberat dalam beberapa tahun. Pasien sering bertanya hal yang sama
berulang-ulang. Lupa meneruskan pesan atau salah meletakan benda didalam
rumah. afasia, apraksia, defisit visuospasial dan disorientasi tofografis juga
umum ditemukan pada fase awal, hal ini menunjukan keterlibatan lobus
parietalis. Tidak mengenali lingkungan dan wajah yang sering ditemui.
Kesulitan dalam penamaan atau pemakaian alat rumah tangga atau berpakaian.
Gangguan fungsi eksekutif berupa perencanaan, pengambilan keputusan.6
2) Diagnosis
Dapat ditegakan dengan temuan patologis, Riwayat tipikal berupa
kehilangan memori episodik secara progresif dan didapatkan hasil negative
pada pemeriksaan rutin. CT scan menunjukan gambaran atrofi cerebral non
spesifik umum dengan kompensasi pembesaran ventrikel akibat hilangnya
jaringan otak.
Dengan MRI dapat terlihat atrofi lobus temporalis dan hipokampus. 4,6
3) Prognosis
5
Prognosa penyakit ini sangat buruk, dengan progresi menuju kematian yang
disebabkan oleh bronkopneumonia. Rata-rata pasien bertahan hidup selama 8
tahun semenjak awitan pertama penyakit. 3
Penyakit Lewy body (Lewy body disease) ditandai oleh adanya Lewy body di
dalam otak. Lewy body adalah gumpalan-gumpalan protein alpha-synuclein yang
abnormal yang berkembang di dalam sel-sel syaraf. Abnormalitas ini terdapat di
tempat-tempat tertentu di otak, yang menyebabkan perubahan-perubahan dalam
bergerak, berpikir dan berkelakuan. Orang yang menderita penyakit Lewy body dapat
merasakan sangat naik- turunnya perhatian dan pemikiran. Mereka dapat berlaku
hampir normal dan kemudian menjadi sangat kebingungan dalam waktu yang pendek
saja. Halusinasi visual (melihat hal-hal yang tidak ada) juga merupakan gejala yang
umum pada fase awal. Gejala ekstrapiramidal pada DBL (demensia badan lewy)
memiliki pola yang sama dengan penyakit Parkinson. Kecuali pada tidak ditemukan
gejala tremor saat istirahat, respon tidak baik pada terapi L-dopa dan tanda klinis
umumnya simetris. Pasien umumnya akan alami gejala psikiatrik sebagai efek samping
dari agonis dopamin seperti kebingungan dah halusinasi. Neuropatologi yang terjadi
adalah kebingungan dan halusinasi. Inhibitor asetilkolinesterase dapat menunjukan
perbaikan yang signifikan pada gejala DBL. 3,9
6
frontotemporal sering sukar berkelakuan secara yang dapat diterima masyarakat.
Mereka bisa kurang sopan, mengabaikan pekerjaan sehari-hari, tidak dapat
mengendalikan keinginan atau mengulang-ulang, agresif, tidak dapat mengendalikan
diri atau bertindak secara ceroboh. Ada dua macam bentuk utama dari demensa
frontotemporal yang menyangkut bagian temporal atau kemampuan berbahasa.
Demensia semantik (semantic dementia) menyangkut kehilangan secara berangsur-
angsur kemampuan mengerti kata-kata, sukar mencari kata-kata dan mengingat nama
orang, dan kesukaran mengerti orang berbicara. Yang disebut ‘progressive non-fluent
aphasia’ (makin lama makin tidak dapat berbicara lancar) kurang umum dan
mempengaruhi kemampuan berbicara secara lancar. Demensia frontotemporal kadang-
kadang disebut juga ‘frontotemporal lobar’ (demensia lobus frontotemporal) atau
‘Pick’s disease’ (penyakit Pick). Penyakit ini jarang ditemui, neuropatologinya
beragam beberapa kasus menunjukan inklusi argirofilik (seperti bagian protein yang
diwarnai perak) yang dikenal dengan badan pick. Badan pick ditemukan didalam
sitoplasma neuron dan mengandung protein tau. Lebih banyak ditemui pada wanita dan
lebih dari 50% adalah genetik. MRI atau CT scan menunjukan atrofi frontotemporal
yang jelas. Tidak ada tatalaksana spesifik, penyakit ini berkembang hingga
menyebabkan kematian hingga waktu 12 sampai 16 tahun lebih. Muncul pada usia
antara 50-65 tahun. 3,8,9
D. Demensia vaskular
7
kognitif yang khusus. Demensia vaskuler mungkin tampak sama dengan penyakit
Alzheimer, dan campuran antara penyakit Alzheimer dan demensia vaskuler cukup
sering terjadi.3,9
8
memori episodic stroke seperti visuospatial yang disinhibisi dan
disertai dengan kelemahan unilateral ditandai dengan prilaku yang
deficit kognitif dan hiperlefleksia dan pemeliharaan tidak pantas;
halus lainnya tanda Babinski memori relative; dalam hal varian
seperti masalah Neuroimaging : parkinsonisme, Bahasa,
visuospasial dan gambaran penyakit terutama dengan gangguan
anomia cerebrovascular bradykinesia dan kefasihan dalam
seperti infark atau kekakuan, tetapi berbicara,
perubahan white juga dengan postur paraphrasia
matter (unilateral atau membungkuk dan semantic;masalah
bilateral) pada MRI gaya jalan yang bahasa atau
lambat dan terseok- eksekutif penting
seok. lainnya, dengan
relative
preservasi
memori
2.1.5 Etiologi
Berikut ini jenis dan penyebab demensia :4,10
9
• Tanpa gejala neurologik penting, seperti :
• Penyakit Alzheimer
• Dengan gangguan neurologic lain yang prominen, seperti :
• Penyakit Parkinson
• Penyakit Huntington
1. Menurunnya daya ingat yang terus terjadi. Pada penderita demensia, “lupa”
menjadi bagian keseharian yang tidak bisa lepas.
2. Gangguan orientasi waktu dan tempat, misalnya : lupa hari, minggu, bulan,
tahun, tempat penderita demensia berada
3. Penurunan dan ketidakmampuan menyusun data menjadi kalimat yang benar,
menggunankan kata yang tidak tepat untuk sebuh kondisi, mengulang kata atau
cerita yang sama berkali-kali
4. Ekspresi yang berlebihan, misalnya menangis berlebihan saat melihat sebuah
drama televisi, marah besar pada kesalahan kecil yang dilakukan orang lain,
rasa takut dan gugup yang tidak beralasan. Penderita kadang tidak mengerti
mengapa perasaan- perasaan tersebut muncul.
5. Adanya perubahan perilaku, seperti: acuh tak acuh, menarik diri dan gelisah.
2.1.7 Diagnosis
10
adalah sebagai berikut:1,5,11
1. Gangguan Neurokognitif Berat
Kriteria diagnostik:
A. Bukti penurunan kognitif yang signifikan dari tingkat kinerja sebelumnya
dalam satu atau lebih daamoin kognitif (perhatian kompleks, fungsi
eksekutif, pembelajaran dan memori, bahasa, perseptual-motorik, atau
kognisi sosial) berdasarkan:
1. Kekhawatiran individu, informan yang berpengetahuan, atau dokter
bahwa telah terjadi penurunan fungsi kognitif yang signifikan; dan
2. Sebuah penurunan substansial dalam kinerja kognitif, sebaiknya
didokumentasikan oleh tes neuropsikologi standar atau, jika tidak
ada, klinis terukur lainnya.
B. Defisit kognitif mengganggu kemandirian dalam aktivitas sehari-hari
(yaitu, minimal, membutuhkan bantuan dengan aktivitas instrumental
yang kompleks dari kehidupan sehari-hari sepertimembayar tagihan atau
mengelola obat-obatan).
C. Defisit Defisit kognitif tidak terjadi secara eksklusif dalam konteks
delirium.
D. Defisit kognitif tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lain
(misalnya, gangguan depresi berat, skizofrenia).
2. Gangguan Neurokognitif Ringan
Kriteria Diagnostik:
A. Bukti penurunan kognitif sederhana dari tingkat kinerja sebelumnya
dalam satu atau lebih domain kognitif (perhatian kompleks, fungsi
eksekutif, pembelajaran dan memori, bahasa, motorik persepsi, atau
kognisi sosial) berdasarkan:
1. Kekhawatiran individu, informan yang berpengetahuan, atau dokter
bahwa telah terjadi penurunan ringan dalam fungsi kognitif; dan
2. Sebuah penurunan sederhana dalam kinerja kognitif, sebaiknya
didokumentasikan oleh tes neuropsikologi standar atau, jika tidak
11
ada, penilaian klinis terukur lainnya.
B. Defisit kognitif tidak mengganggu kapasitas kemandirian dalam aktivitas
sehari-hari (yaitu, aktivitas instrumental kompleks kehidupan sehari-hari
seperti membayar tagihan atau mengelola obat-obatan dipertahankan,
tetapi upaya yang lebih besar, strategi kompensasi, atau akomodasi
mungkin diperlukan).
C. Defisit kognitif tidak terjadi secara eksklusif dalam konteks delirium.
D. Defisit kognitif tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lain
(misalnya, gangguan depresi berat, skizofrenia).
b. Skor iskemik Hachinski adalah seperti berikut: Skor ini berguna untuk
membedakan demensia Alzheimer dengan demensia vaskular. Bila skor ≥7:
demensia vaskular. Skor ≤4: penyakit Alzheimer.1
12
1.7.1 Anamnesis
13
• Refleks menetek (suck reflex). Refleks menetek adalah positif apabila bibir
penderita dicucurkan secara reflektorik seolah-olah mau menetek jika
bibirnya tersentuh oleh sesuatu misalnya sebatang pensil
• Refleks kaki tonik. Pada demensia, penggoresan pada telapak kaki
membangkitkan kontraksi tonik dari kaki berikut jari-jarinya
Pemeriksaan fisik harus mencakup penilaian domain kognitif, termasuk
berbicara (afasia), motor memory (apraxsia), pengenalan sensorik (agnosia), fungsi
eksekutif. Aphasia dapat dideteksi dengan meminta pasien untuk memberi nama
bagian tubuh atau benda di dalam ruangan. Sering menggunakan istilah yang tidak
seperti “benda” dan “itu” juga dapat menandakan memburuknya fungsi bahasa.
Contoh tes untuk apraxia adalah meminta pasien untuk pantomim penggunaan
benda umum seperti palu atau sikat gigi. Agnosia dapat dievaluasi dengan terlebih
dahulu meminta pasien untuk menutup matanya dan kemudian menempatkan
objek, seperti kunci atau koin, di tangan pasien dan meminta pasien untuk
mengidentifikasinya tanpa melihatnya. Ketidakmampuan mengenali objek umum
meskipun fungsi sensorik normal menandakan agnosia. Meminta pasien untuk
melakukan serangkaian tugas sederhana adalah cara untuk mengevaluasi fungsi
eksekutif. Misalnya, pasien dapat diminta untuk meletakkan selembar kertas di
tangannya tangan kanan, lipat menjadi dua dan taruh di lantai. Tugas ini akan sulit
bagi pasien dengan gangguan dalam kemampuan untuk merencanakan, memulai,
mengurutkan, dan memantau perilaku kompleks. Meminta pasien untuk melakukan
pengurangan serial 7s (mundur dari 100 ke 65), untuk mengeja kata “dunia” ke
belakang dan untuk menghasilkan daftar kata verbal, seperti nama hewan atau
barang di toko kelontong, adalah cara lain untuk menguji fungsi eksekutif dan
pemikiran abstrak.5,11
Karena penilaian dan wawasan tidak diuji oleh MMSE, banyak dokter
mengajukan pertanyaan tambahan untuk menilai aspek-aspek kognisi ini. Penilaian
dan wawasan dapat dinilai, misalnya, dengan bertanya kepada pasien, “Apa yang
14
akan Anda lakukan jika Anda berada di gedung yang ramai dan mencium bau
asap?” MMSE dapat mendeteksi gangguan kognitif dengan mengevaluasi
orientasi, perhatian, penarikan kembali, bahasa, dan kemampuan untuk mengikuti
perintah. Skor yang lebih tinggi dari 23 umumnya dianggap normal, meskipun
kinerja bervariasi menurut usia pasien dan Pendidikan. 5,6,11
15
Pedoman Skor
24-30 : Normal
2.1.8 Tatalaksana
1. Terapi suportif
• Perawatan fisik yang baik
• Aktivitas yang merangsang secara kognitif (misalnya, membaca,
permainan)
• Latihan fisik (mis., Aerobik dan anaerobik)
• Interaksi sosial dengan orang lain (misalnya, acara keluarga)
16
• Diet sehat seperti diet Mediterania (mis., Sayuran berdaun hijau tinggi)
• Tidur yang cukup (mis., Tidur tanpa gangguan dan dengan jumlah jam
yang cukup
• Kebersihan pribadi yang benar (mis., Mandi teratur)
• Keselamatan, termasuk di dalam rumah (misalnya, menggunakan peralatan
dapur) dan di luar (misalnya, mengemudi)
• Petunjuk perawatan medis dan lanjutan (misalnya, penunjukan surat kuasa)
• Perencanaan perawatan kesehatan jangka panjang (misalnya, untuk
pengaturan tempat tinggal di tahap akhir demensia)
• Perencanaan keuangan (misalnya, untuk alokasi aset)
• Komunikasi yang efektif (misalnya, untuk mengungkapkan kebutuhan dan
keinginan, seperti dengan alat bantu visual)
• Kesehatan psikologis (misalnya, berpartisipasi dalam aktivitas yang
bermakna secara pribadi, seperti bermain musik)
Semua hal ini harus didukung oleh keluarga, teman, caregiver.
2. Terapi simptomatik
17
3. Terapi khusus :
a. Demensia Alzheimer
Menggunakan inhibitor asetilkolinesterase, diindonesia yang dipakai
adalah donepezil, rivastigmine, dan galantamine. PERDOSSI
merekomendasikan penggunaan ketiga obat ini untuk memperbaiki fungsi
kognisi pada pasien dengan Alzheimer ringan- sedang dengan penilaian ulang
status kognitif 1 kali dalam 6 bulan menggunakan ukuran psikometrik (
misalnya MMSE). Donepezil direkomendasikan untuk Alzheimer ringan,
sedang, berat. Memantin (20 mg/hari)efektif dalam memperbaiki fungsi
kognitif pada Alzheimer sedang-berat dengan durasi 6 bulan.3,5
b. Demensia vaskuler
Terapi faktor resiko vaskuler seperti antihipertensi, antilipid, anti
diabetes, antiplatelet, antikoagulan. Pertimbangkan penggunaan inhibitor
asetilkolinesterase donepezil.
c. Demensia lewy body / Parkinson
Pertimbangkan penggunaan rivastigmine dan Donepezil.
d. Demensia frontotemporal
Terapi simptomatik. 5
18
adanya BPSD atau Behavioral and Psychological Symptoms in Dementia.13 Asosiasi
Psychogeriatric Internasional mendefinisikan istilah BPSD sebagai “Gejala gangguan
persepsi, isi pikir, suasana hati, atau perilaku yang sering terjadi pada pasien dengan
demensia”. 16
Angka untuk BPSD yang bermakna secara klinis meningkat sampai hampir
80% untuk pasien demensia yang berada di lingkungan perawatan. Dua penelitian
berbasis populasi dari Amerika Serikat (Lyketsos et al, 2000) dan dari Inggris (Burns
et al, 1990), menunjukkan angka prevalensi yang sama, yaitu sekitar 20% untuk BPSD
pada orang dengan penyakit Alzheimer. Berbeda dengan disfungsi kognitif pada
demensia yang semakin memburuk dari waktu ke waktu, BPSD cenderung
berfluktuasi, dengan agitasi psikomotor yang paling persisten. 17
1. Gejala Psikotik
19
terjadi pada gangguan otak hemisfer kiri dibandingkan kanan. Waham juga
berhubungan dengan kalsifikasi dari ganglia basalis, disfungsi sistem limbik, dan
penyakit yang paling banyak dengan manifestasi waham melibatkan lobus temporal
atau struktur sistem limbik subkortikal.22
2. Gejala Depresi
20
dengan depresi idiopatik mengalami penurunan metabolisme di area ini
dibandingkan dengan pasien yang tidak depresi.14
3. Gejala Apati
21
Agitasi intermiten dan agresivitas yang sering berkembang pada pasien
demensia mungkin berhubungan dengan lesi dari sistem limbik, terutama di daerah
amigdale dan regio yang berhubungan.24
5. Disinhibisi
B. Perubahan Neurotransmitter
1. Peran Serotonin
Beberapa gejala BPSD yang dapat terjadi karena kelainan pada sistem
serotonergik adalah mood depresi, kecemasan, agitasi, gelisah, dan agresivitas.15
Neuron serotonergik berasal dari inti rafe dorsal dan median yang
mempersarafi banyak struktur dalam korteks dan sistem limbik. Proyeksi ini secara
luas memungkinkan sistem serotonergik untuk mengatur agresi, mood, aktivitas
makan, tidur, suhu, seksual, dan motorik. Oleh karena itu, perubahan dalam fungsi
sistem serotonergik pusat memiliki dampak klinis yang terlihat pada perilaku.13
Berikut gambarkan peranan reseptor serotonin dalam BPSD.
22
Tabel 2.5 Peranan Subtipe Serotonin pada BPSD
Peran NE pada BPSD dapat dilihat pada tabel berikut ini :20
3. Peran Dopamin
23
Sistem dopaminergik telah terlibat dalam depresi, perilaku agitasi, dan
psikotik pada pasien yang tidak demensia, dan dengan demikian sistem ini
memiliki potensi secara langsung mempengaruhi BPSD. Penelitian post mortem
telah menunjukkan pada pasien AD terdapat gangguan dalam sistem dopaminergik
dibandingkan dengan subyek kontrol.25
4. Peran GABA
5. Peran Asetilkolin
Defisit dalam sistem kolinergik terutama timbul pada basal otak depan dan
memproyeksikan ke korteks. Terdapat penurunan penanda kolinergik kolin
asetiltransferase (CHAT) dan asetilkolinesterase (ACHE) pada korteks, khususnya
korteks temporal; kehilangan bermakna dalam nukleus basalis Meynert; dan
24
pengurangan densitas reseptor muskarinik 2 (M2) presinaptik. Peningkatan
reseptor M2 muskarinik kolinergik telah ditemukan pada korteks frontal dan
temporal pada pasien AD dengan gejala psikotik.21,25,27
7. Disfungsi Neuroendokrin
1. Disinhibisi
Pasien dengan disinhibisi berperilaku impulsif, menjadi mudah terganggu,
emosi tidak stabil, memiliki wawasan yang kurang sehingga sering menghakimi,
dan tidak mampu mempertahankan tingkat perilaku sosial sebelumnya. Gejala lain
meliputi: menangis, euforia, agresi verbal, agresi fisik terhadap orang lain dan
benda-benda, perilaku melukai diri sendiri, disinhibisi seksual, agitasi motorik,
campur tangan, impulsif, dan mengembara.15
2. Agitasi
Agitasi didefinisikan sebagai aktivitas yang tidak pantas, baik secara
verbal, vokal, atau motor. Subtipe dari agitasi tercantum dalam tabel berikut:
25
Tabel 2.7 Subtipe Agitasi:15
3. Wandering
Beberapa perilaku yang termasuk wandering, yaitu:15
• Memeriksa (berulang kali mencari keberadaan caregiver)
• Menguntit
• Berjalan tanpa tujuan
• Berjalan waktu malam
4. Reaksi Ledakan Amarah / Katastrofik
Dalam salah satu penelitian terhadap 90 pasien dengan gangguan AD
cukup ringan, ledakan marah tiba-tiba terjadi pada 38% pasien. Selain itu,
didapatkan hal-hal sebagai berikut:
26
2.2.2 Gejala Psikologis pada Demensia
A. Gejala Mood
1. Depresi
2. Apati
3. Kecemasan
27
fobia apabila kecemasan di luar batas kewajaran. Pasien dengan AD kadang-kadang
memperlihatkan fobia lainnya, seperti takut kerumunan, perjalanan, gelap, atau
aktivitas seperti mandi.15
B. Gejala Psikotik
1. Waham
3. Misidentifikasi
28
di cermin)
• Kesalahan identifikasi orang lain
• Kesalahan identifikasi peristiwa di televisi (pasien mengimajinasikan peristiwa
tersebut terjadi secara nyata).
2.3.2 Tatalaksana
A. Tatalaksana Non-Farmakologis
a. Intervensi psikososial
Psikoedukasi untuk pasien dan pengasuh dapat mengurangi BPSD.
Program sesi tunggal dan kelompok multi-komponen efektif jika berfokus pada
ppemberian informasi tentang penyakit dan bantuan yang dapat diberikan,
pertukaran pengalaman tentang menangani masalah sehari-hari. Pemberian
edukasi kepada keluarga pasien berbasis strategi koping dan kegiatan yang
disesuaikan untuk orang dengan demensia dan pengasuh mereka untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien demensia yang berobat jalan.
29
b. Intervensi yang berorientasi kognitif dan emosi
Intervensi ini didasarkan pada gagasan bahwa orientasi yang lebih baik
dalam kehidupan sehari-hari terhadap orang, waktu atau lingkungan. Terapi
orientasi realitas lebih efektif dalam kombinasi dengan teknik lain dalam
meningkatkan moon dan menurunkan BPSD. Berasal dari terapi orientasi
realitas, terapi stimulasi kognitif mengatasi masalah saat ini berfungsi untuk
pemrosesan informasi.
c. Intervensi stimulasi sensorik (akupuntur, aromaterapi, terapi cahaya, pijat,
terapi musik)
Terapi musik dan teknik stimulasi multisensor seperti snoezelen efektig
dalam mengurang agitasi dan perilaku mengganggu selama sesi dan segera
setelah intervensi. Namun, tidak ada bukti jangka panjang. Musik yang
berhubungan dengan biografi dan kombinasi dengan stimulasi sensorik
tampaknya lebih efektif.
d. Aktifitas Fisik
Olahraga teratur dapat meningkatkan kebugaran fisik, perilaku dan fungsi
pada orang tua. Terdapat bukti kuat bahwa aktifitas fisik teratur meningkatkan
kekuatan fisik, hasil kognitif, fungsional dan perilaku pada pasien dengan
demensia dan dapat membantu mengurangi BPSD. Biasanya, program pelatihan
didasarkan pada jalan kaki atau menggabungkan jalan kaki dengan berbagai
latihan isotonik.
e. Terapi validasi
Teknik yang berpusat pada pasien ini bermaksud untuk menyelesaikan
konflik yang belum selesai dengan mendorong dan memvalidasi ekspresi perasaan
secara positif. Ada beberapa bukti bahwa teknik ini dapat mengurangi iritabilitas.
f. Terapi kenangan
Terapi kenangan menggunakan benda-benda dari kehidupan sehari-hari
pasien untuk merangsang ingatan dan memungkinkan orang untuk menghargai
pengalaman mereka. Intervensi ini dapat meningkatkan mood.
30
B. Tatalaksana Farmakologi
Berikut panduan penatalaksanaan psikofarmaka pada BPSD berdasarkan
subtipe demensia:30
Tabel 2.8 Demensia Alzeimer (Manajemen Depresi)
Depresi Lini Lini Kedua Penyebab/Interaksi
(memonitor Pertama
gejala dengan SSRI, Jika tidak SSRI dikaitkan dengan peningkatan risiko SIADH
dosis awal Citalopram ada respon dan hiponatremia, terutama denganpolifarmasi. Jika
dan ulangi atau hentikan gejala menjadi semakin parah disarankan untuk
persediaan Sertraline SSRI memeriksa elektrolit. Jika terdapat hiponatremia,
setelah 2-6 (memastika Mirtazepine dapatdipertimbangkan adanya interaksi dengan
minggu n dosis atau tiazid, carbamazepine dan alternatif untuk obat-obat
untuk menilai terapetik) Trazadon ini. SSRI memiliki peningkatan risiko dengan
respon) perdarahan GI terutama dengan OAINS dan aspirin,
dapat dipertimbangkan penambahan PPI, atau
alternatif seperti mirtazepine.
31
Tabel 2.10 Demensia Alzheimer (Manajemen ansietas dan agitasi)
Kecemasan atau Lini Lini Kedua Penyebab/Interaksi
agitasi (pertama Pertama
berusaha untuk Citalopram Memantine 5- Karbamazepin dikaitkan dengan ruam
objektif/memantau 20 mg atau 20 mg dan/atau danataksia jika gejala ini terjadi
gejala Carbamazepine
Memantine menghentikan
5 - 20 100 mg bd
mg
32
awaldan 2-4 untuk perlahan-lahan
minggu terapi mengganti pengobatan
primer contohnya L-
Dopa
Tabel 2.13 Bukti dan Efektifitas biaya untuk terapi psikotropika yang berbeda. (a)
Alzeimer’s/mixed dementia; (b) demensia dengan lewy bodies atau demensia pada
parkinson’s disease
(a)
Gejala utama Lini pertama Evidence type Lini kedua Evidence type
Depresi Sertraline, 2–3£ Mirtazapine 3
citalopram
Apatis Sertraline, 2–3£ Donepezil, 2
citalopram galantamine,
rivastigmine
Psikosis Risperidone 1 Olanzapine, 2
aripiprazole
Penurunan fisik Risperidone 1 Carbamazepine, 2
aripiprazole,
olanzapine
Agitasi sedang Citalopram 3 Trazodone, 4
mirtazapine
Agitasi berat Risperidone 1 Airipiprazole, 2–4
memantine [3]
Insomnia Zoplicone 3=£ Trazodone 3
(b)
Gejala utama Lini pertama Evidence type Lini kedua Evidence type
Depresi Citalopram atau 4+ £ Sertraline 4
sertraline
Apatis Sertraline, 4+ £ Rivastigmine 2
citalopram
Psikosis Clozapine 3 Olanzapine atau 2–3
memantine
33
Penurunan Olanzapine atau 3 Memantine 3
clozapine
Agitasi sedang Citalopram 3+£ Memantine [3] 2–3
REM gangguan Clonazepam 1
tidur
34
BAB III
KESIMPULAN
Gangguan mental pada pasien demensia dikenal dengan BPSD atau Behavioral
and Psychological Symptoms in Dementia. Asosiasi Psychogeriatric Internasional
mendefinisikan istilah BPSD sebagai “Gejala gangguan persepsi, isi pikir, suasana hati,
atau perilaku yang sering terjadi pada pasien dengan demensia”.
35
DAFTAR PUSTAKA
36
Neuropsychiatry and Clinical Neurosciences, 16, p.261–276.
21. Robert PH et al, 2005, Grouping for BPSD: clinical and biological aspects,
European Psychiatry, 20: p.490–496
22. Sadock BJ, Sadock VA, Pedro R, (Ed.), 2009, Kaplan & Sadock's Comprehensive
Textbook of Psychiatry, 9th Edition, Lippincott Williams & Wilkins, p.1167-1197.
23. Cummings JL, Psiquiatr JB, 2007, The Neuropsychiatric disturbances in demential
disorders or BPSD, 56(2): p.81-82
24. Tonkonogy JM., Puente AE., 2009, Localization of Clinical Syndromes in
Neuropsychology and Neuroscience, New York, Springer Publishing Company,
p.621-666.
25. Lancto KL et al, 2001, Role of Serotonin in the BPSD, The Journal of
Neuropsychiatry and Clinical Neurosciences, 13, p.5-21.
26. Tanaka Y et al, 2003, Decreased striatal D2 receptor density associated with severe
behavioral abnormality in Alzheimer’s disease, Annals of Nuclear Medicine, Vol.
17, No. 7, p.567-573
27. Kaufman DM, 2007, Clinical Neurology for Psychiatrists, 6th Ed, Philadelphia,
Elsevier Inc. p.115- 140.
28. Cerejeira J, Lagarto L, Mukaetova-Ladinska EB, 2012, Behavioral and
pshychological symptoms of dementia, Frontiers in Neurology, Vol.3.
29. Tible, Olivier Pierre et all, 2017, Best practice in the management of behavioural
and psychological symptom of dementia, Therapeutic Advanced in Neurological
Disorders, Vol. 10(8).297-309.
30. Jeyapaul, P., & Manchip, S. 2014. Management guidelines for behavioural and
psychotic symptoms in persons with dementia—A review article. Open Journal of
Psychiatry, 2014.
37