Anda di halaman 1dari 40

Referat

Diagnosis dan Penatalaksanaan Gangguan Mental


pada Pasien Demensia

Oleh
Ahmad Zaki (P.3356 A)
Muhammad Arif (P.3361 A)

Preseptor
Dr. dr. Yaslinda Yaunin, Sp.KJ(K)

BAGIAN ILMU PSIKIATRI


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah


SWT dan salawat beserta salam untuk Nabi Muhammad S.A.W, berkat rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas referat ini dengan judul “Diagnosis
dan Penatalaksaan Gangguan Mental pada Pasien Demensia” yang merupakan
salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik Ilmu Psikiatri Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas. Dalam usaha penyelesaian tugas referat ini, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Dr. Yaslinda Yaunin,
Sp.KJ(K) selaku pembimbing dalam penyelesaian tugas ini. Kami menyadari bahwa di
dalam penulisan ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu sengan segala kerendahan hati penulis menerima semua saran
dan kritik yang membangun guna penyempurnaan tugas ini. Akhir kata, semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Padang, 1 Juni 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii


DAFTAR ISI ................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................... 3
2.1 Demensia ............................................................................................................. 3
2.1.1 Definisi.......................................................................................................... 3
2.1.2 Epidemiologi................................................................................................. 3
2.1.3 Faktor Risiko................................................................................................. 4
2.1.4 Klasifikasi ..................................................................................................... 4
2.1.5 Etiologi.......................................................................................................... 9
2.1.6 Manifestasi Klinis ....................................................................................... 10
2.1.7 Diagnosis .................................................................................................... 10
2.1.8 Tatalaksana ................................................................................................. 16
2.2. Gangguan Mental Pada Pasien Demensia ........................................................ 18
2.2.1 Neurobiologi BPSD .................................................................................... 19
2.2.2 Gejala BPSD ............................................................................................... 25
2.2.2 Gejala Psikologis pada Demensia ............................................................... 27
2.3 Diagnosis dan Tatalaksana Gangguan Mental pada Demensia ......................... 29
2.3.1 Diagnosis .................................................................................................... 29
2.3.2 Tatalaksana ................................................................................................. 29
BAB III KESIMPULAN ............................................................................................. 35
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 36

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demensia adalah suatu kondisi penurunan fungsi mental- intelektual (kognitif)
yang progresif. Yang dapat disebabkan oleh penyakit organik difus pada hemisphere
serebri ( demensia kortikal misalnya penyakit Alzheimer) atau kelainan struktur
subkortikal ( demensia subkortikal misalnya penyakit parkinsin dan huntington).
Prevalensi demensia sebesar 1% pada usia 50-70 tahun, dan mencapai 50% pada usia
mendekati 90 tahun. Insidennya sekitar 190/100.000 pertahun. Kejadian demensia
semakin meningkat dengan bertambahnya usia.
Peneliti telah mengenal hubungan antara neuropatologi dengan gejala psikotik
pada pasien demensia. Gejala mental yang sering ditemukan diantaranya berupa gejala
psikotik dan non psikotik. Gejala prikotik yang sering adalah halusinasi, waham,
disidentifkasi dan gejala non psikotik yang tersering adalah depresi, apati, dan
kecemasan.
Pada psikiatri gejala mental yang berkaitan dengan demensia disebut
Behavioral and Psycological Symptoms In Dementia (BPSD) Asosiasi Psychogeriatric
Internasional mendefinisikan istilah BPSD sebagai “Gejala gangguan persepsi, isi
pikir, suasana hati, atau perilaku yang sering terjadi pada pasien dengan demensia”
Prevalensi gangguan mental yang bermakna secara klinis meningkat sampai
hampir 80% untuk pasien demensia yang berada di lingkungan perawatan. Dua
penelitian berbasis populasi dari Amerika Serikat (Lyketsos et al, 2000) dan dari
Inggris (Burns et al, 1990), menunjukkan angka prevalensi yang sama, yaitu sekitar
20% untuk BPSD pada orang dengan penyakit Alzheimer. Berbeda dengan disfungsi
kognitif pada demensia yang semakin memburuk dari waktu ke waktu, BPSD
cenderung berfluktuasi, dengan agitasi psikomotor yang paling persisten.
Diagnosis gangguan mental pada pasien demensia dapat ditegakkan
berdasarkan kriteria diagnosis pada DSM V dengan terlebih dahulu menegakkan
diagnosis demensia. Tatalaksana gangguan mental dapat dilakukan secara farmakologi
dan farmakologi.

1
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah:
1. Memahami diagnosis dan tatalaksana gangguan mental pada pasien demensia
2. Meningkatkan kemampuan penulisan ilmiah di bidang kedokteran khususnya
dibagian ilmu kedokteran jiwa.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demensia
2.1.1 Definisi
Demensia bukan penyakit tunggal melainkan sebuah sindrom, gangguan
demensia terjadipada fungsi luhur, termasuk fungsi memori, orientasi, komprehensi,
3
kalkulasi, kapasitas belajar, bahasa dan pengambilan keputusan. Demensia adalah
suatu kondisi penurunan fungsi mental- intelektual (kognitif) yang progresif. Yang
dapat disebabkan oleh penyakit organik difus pada hemisphere serebri ( demensia
kortikal misalnya penyakit Alzheimer) atau kelainan struktur subkortikal ( demensia
subkortikal misalnya penyakit parkinsin dan huntington).4

Menurut WHO demensia adalah sindrom yang biasanya bersifat kronis atau
progresif dimana terjadi kemunduran dalam fungsi kognitif (yaitu kemampuan
memproses pikiran) yang berlebihan dari yang seharsunya dialami saat penuaan
normal. Hal ini mempengaruhi memori, pemikiran, orientasi, pemahaman,
perhitungan, kapasitas belajar, Bahasa, dan judgement (penilaian). Namun tidak
berpengaruh terhadap kesadaran. Gangguan fungsi kognitif biasanya disertai dan
kadang didahului oleh penurunan kontrol emosional, prilaku social, atau motivasi.
Demensia diakibatkan oleh berbagai macam penyakit dan cedera yang baik secara
primer maupun sekunder ber efek pada otak, seperti Alzheimer atau stroke. 2
2.1.2 Epidemiologi

Prevalensi demensia sebesar 1% pada usia 50-70 tahun, dan mencapai 50%
pada usia mendekati 90 tahun. Insidennya sekitar 190/100.000 pertahun. Kejadian
demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia. 3

3
2.1.3 Faktor Risiko
Faktor risiko demensia terdiri dari dapat dimodifikasi dan tidak dapat
dimodifikasi:
a. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi :
• Usia adalah faktor risiko utama demensia.
• Jenis kelamin
• Riwayat keluarga dan faktor genetik
b. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi untuk demensia meliputi:
• Depresi
• Diabetes
• Hipertensi (paruh baya)
• Obesitas (paruh baya)
• Merokok
• Penyalahgunaan alkohol
• Kolesterol tinggi (hiperkolesrerolemia)
• Penyakit jantung coroner
• Disfungsi ginjal
• Rendahnya asupan lemak tak jenuh
• Peradangan
Dikemukakan bahwa penurunan kejadian demensia terkait usia yang terlihat di
Inggris disebabkan oleh tindakan kesehatan masyarakat yang lebih baik dan dengan
demikian perbaikan faktor-faktor ini. Selain itu, ada peningkatan fokus pada faktor
pelindung yang diketahui seperti: aktivitas kognitif, aktivitas fisik, pola makan sehat,
dan asupan alkohol rendah / sedang. 6,7,8

2.1.4 Klasifikasi

A. Demensia Alzheimer

Penyakit Alzheimer merupakan bentuk demensia paling umum (dua per tiga
kasus demensia). Merupakan etiologi paliang umum pada demensia di negara maju.
Jarang ditemukan pada individu dibawah 45 tahun. Penyakit ini menyebabkan

4
penurunan kemampuan kognitif secara berangsur angsur. Sering dimulai dengan
kehilangan daya ingat. Penyalit ini ditandai dengan dua dua abnormalitas di otak – plak
amyloid (amyloid plaques) dan ‘neurofibrillary tangles’ (belitan-belitan neurofibriler).
Plak itu adalah kumpulan protein yang abnormal yang disebut beta amyloid. Belitan-
belitan itu adalah kumpulan serat yang berbelit-belit yang terdiri dari protein yang
disebut tau. Plak dan serat yang berbelit-belit itu menghambat komunikasi antara sel-
sel syaraf dan menyebabkan sel-sel itu mati. Prognosis penyakit ini sangat buruk
dengan progress menuju kematian yang umumnya disebabkan oleh
bronkopneumonia.3,4

1) Manifestasi klinis
Ditandai dengan menghilangnya memori episodik secara progresif dan
memberat dalam beberapa tahun. Pasien sering bertanya hal yang sama
berulang-ulang. Lupa meneruskan pesan atau salah meletakan benda didalam
rumah. afasia, apraksia, defisit visuospasial dan disorientasi tofografis juga
umum ditemukan pada fase awal, hal ini menunjukan keterlibatan lobus
parietalis. Tidak mengenali lingkungan dan wajah yang sering ditemui.
Kesulitan dalam penamaan atau pemakaian alat rumah tangga atau berpakaian.
Gangguan fungsi eksekutif berupa perencanaan, pengambilan keputusan.6

2) Diagnosis
Dapat ditegakan dengan temuan patologis, Riwayat tipikal berupa
kehilangan memori episodik secara progresif dan didapatkan hasil negative
pada pemeriksaan rutin. CT scan menunjukan gambaran atrofi cerebral non
spesifik umum dengan kompensasi pembesaran ventrikel akibat hilangnya
jaringan otak.

Dengan MRI dapat terlihat atrofi lobus temporalis dan hipokampus. 4,6

3) Prognosis

5
Prognosa penyakit ini sangat buruk, dengan progresi menuju kematian yang
disebabkan oleh bronkopneumonia. Rata-rata pasien bertahan hidup selama 8
tahun semenjak awitan pertama penyakit. 3

B. Demensia dengan badan lewy

Penyakit Lewy body (Lewy body disease) ditandai oleh adanya Lewy body di
dalam otak. Lewy body adalah gumpalan-gumpalan protein alpha-synuclein yang
abnormal yang berkembang di dalam sel-sel syaraf. Abnormalitas ini terdapat di
tempat-tempat tertentu di otak, yang menyebabkan perubahan-perubahan dalam
bergerak, berpikir dan berkelakuan. Orang yang menderita penyakit Lewy body dapat
merasakan sangat naik- turunnya perhatian dan pemikiran. Mereka dapat berlaku
hampir normal dan kemudian menjadi sangat kebingungan dalam waktu yang pendek
saja. Halusinasi visual (melihat hal-hal yang tidak ada) juga merupakan gejala yang
umum pada fase awal. Gejala ekstrapiramidal pada DBL (demensia badan lewy)
memiliki pola yang sama dengan penyakit Parkinson. Kecuali pada tidak ditemukan
gejala tremor saat istirahat, respon tidak baik pada terapi L-dopa dan tanda klinis
umumnya simetris. Pasien umumnya akan alami gejala psikiatrik sebagai efek samping
dari agonis dopamin seperti kebingungan dah halusinasi. Neuropatologi yang terjadi
adalah kebingungan dan halusinasi. Inhibitor asetilkolinesterase dapat menunjukan
perbaikan yang signifikan pada gejala DBL. 3,9

C. Demensia lobus frontotemporal

Demensia frontotemporal (Frontotemporal dementia) menyangkut kerusakan yang


berangsur-angsur pada bagian depan (frontal) dan/atau temporal dari lobus (cuping)
otak. Gejala-gejalanya sering muncul ketika orang berusia 50-an, 60-an dan kadang-
kadang lebih awal dari itu. Ada dua penampakan utama dari demensia frontotemporal
– frontal (menyangkut gejala-gejala dalam kelakuan dan perubahan kepribadian) dan
temporal (menyangkut gangguan pada kemampuan berbahasa). Tetapi, dua hal itu
sering bertumpang tindih. Karena bagian lobus frontal (cuping depan) dari otak
menguasai kemampuan menilai dan tingkah laku, orang yang mendapat demensia

6
frontotemporal sering sukar berkelakuan secara yang dapat diterima masyarakat.
Mereka bisa kurang sopan, mengabaikan pekerjaan sehari-hari, tidak dapat
mengendalikan keinginan atau mengulang-ulang, agresif, tidak dapat mengendalikan
diri atau bertindak secara ceroboh. Ada dua macam bentuk utama dari demensa
frontotemporal yang menyangkut bagian temporal atau kemampuan berbahasa.
Demensia semantik (semantic dementia) menyangkut kehilangan secara berangsur-
angsur kemampuan mengerti kata-kata, sukar mencari kata-kata dan mengingat nama
orang, dan kesukaran mengerti orang berbicara. Yang disebut ‘progressive non-fluent
aphasia’ (makin lama makin tidak dapat berbicara lancar) kurang umum dan
mempengaruhi kemampuan berbicara secara lancar. Demensia frontotemporal kadang-
kadang disebut juga ‘frontotemporal lobar’ (demensia lobus frontotemporal) atau
‘Pick’s disease’ (penyakit Pick). Penyakit ini jarang ditemui, neuropatologinya
beragam beberapa kasus menunjukan inklusi argirofilik (seperti bagian protein yang
diwarnai perak) yang dikenal dengan badan pick. Badan pick ditemukan didalam
sitoplasma neuron dan mengandung protein tau. Lebih banyak ditemui pada wanita dan
lebih dari 50% adalah genetik. MRI atau CT scan menunjukan atrofi frontotemporal
yang jelas. Tidak ada tatalaksana spesifik, penyakit ini berkembang hingga
menyebabkan kematian hingga waktu 12 sampai 16 tahun lebih. Muncul pada usia
antara 50-65 tahun. 3,8,9

D. Demensia vaskular

Demensia vaskuler (vascular dementia) adalah kerusakan daya kognitif (daya


mengenali) yang disebabkan oleh kerusakan pembuluh darah di otak. Ini dapat
disebabkan oleh satu stroke (serangan otak), atau oleh beberapa serangan otak yang
terjadi selama beberapa waktu. Demensia vaskuler merupakan diagnosa jika ada bukti
adanya penyakit pembuluh darah di otak dan fungsi kognitif yang terganggu yang
mempersukar hidup sehari-hari. Gejala-gejala demensia vaskuler dapat bermula tiba-
tiba setelah suatu serangan otak, atau mulai perlahan-lahan selagi peyakit pembuluh
darah itu bertambah parah. Gejala- gejalanya berbeda-beda tergantung pada lokasi dan
ukuran kerusakan otak itu. Ini mungkin mengenai satu saja atau beberapa fungsi

7
kognitif yang khusus. Demensia vaskuler mungkin tampak sama dengan penyakit
Alzheimer, dan campuran antara penyakit Alzheimer dan demensia vaskuler cukup
sering terjadi.3,9

Tabel 2.1 Perbedaan Demensia Berdasarkan Klasifikasi


Alzheimer Cardiovaskular Lewy Bodydisesase Demensia lobus
disease Disease frontotemporal
Onset Onset lambat dan Hubungan temporal Onset lambat dan Onset lambat dan
pekembangan antara akut vaskular bertahap kemajuan kemajuan
bertahap selama (stroke) dan selama berbulan- bertahap selama
berbulan-bulan timbulnya gangguan bulan atau berbulan- bulan
atau tahun kognitif, dalam menit bertahun- tahun; atau bertahun-
atau hari, bertahap fluktuasi (labil) tahun
tingkat
kewaspadaan dan
kognisi
Riwayat Riwayat gejala Riwayat : Faktor Riwayat : RBD Riwayat :
pemeriksaan yang muncul risiko vaskular selama bertahun- perubahan
biasanya (misalnya, tahun mendahului prilaku yang
berupa hipertensi, gangguan kognitif, mencolok,
lehilangan diabetes) atau visual dan seperti
ingatan jangka stroke halusinasilainnya. gangguan ke
pendek sebelumnya pribadian
atau peristiwa (mis.
pembuluh darah disinhibisi,
lainnya (infark apatis)
miokard)
Kognitif PadaPemeriksaan Pemeriksaan : deficit Pemeriksaan fisik Pemeriksaan
Tahap Awal fisik ataukognitif neurologis fokal yang atau kognitif : dan/atau tes
: gangguan kosnisisten dengan masalah kognitif :

8
memori episodic stroke seperti visuospatial yang disinhibisi dan
disertai dengan kelemahan unilateral ditandai dengan prilaku yang
deficit kognitif dan hiperlefleksia dan pemeliharaan tidak pantas;
halus lainnya tanda Babinski memori relative; dalam hal varian
seperti masalah Neuroimaging : parkinsonisme, Bahasa,
visuospasial dan gambaran penyakit terutama dengan gangguan
anomia cerebrovascular bradykinesia dan kefasihan dalam
seperti infark atau kekakuan, tetapi berbicara,
perubahan white juga dengan postur paraphrasia
matter (unilateral atau membungkuk dan semantic;masalah
bilateral) pada MRI gaya jalan yang bahasa atau
lambat dan terseok- eksekutif penting
seok. lainnya, dengan
relative
preservasi
memori

2.1.5 Etiologi
Berikut ini jenis dan penyebab demensia :4,10

a. Keadaan yang secara potensial reversibel atau bisa dihentikan, yaitu :


• Intoksikasi (obat, termasuk alkohol, dan lain-lain)
• Infeksi susunan saraf pusat
• Gangguan metabolic
• Gangguan nutrisi
• Gangguan vaskuler (stroke, demensia multi-infark, dll)
• Hidrosefalus
• Depresi
• defisiensi vitamin
b. Penyakit degenerative progresif, yaitu :

9
• Tanpa gejala neurologik penting, seperti :
• Penyakit Alzheimer
• Dengan gangguan neurologic lain yang prominen, seperti :
• Penyakit Parkinson
• Penyakit Huntington

2.1.6 Manifestasi Klinis


Gambaran utama demensia adalah munculnya defisit kognitif multipleks,
termasuk gangguan memori, setidak-tidaknya satu di antara gangguan gangguan
kognitif berikut ini Gangguan memori, Gangguan orientasi, Gangguan bahasa,
Apraksia, Agnosia, Gangguan fungsi eksekutif, Perubahan Kepribadian.5

Secara umum tanda dan gejala demensia adalah sebagai berikut :

1. Menurunnya daya ingat yang terus terjadi. Pada penderita demensia, “lupa”
menjadi bagian keseharian yang tidak bisa lepas.
2. Gangguan orientasi waktu dan tempat, misalnya : lupa hari, minggu, bulan,
tahun, tempat penderita demensia berada
3. Penurunan dan ketidakmampuan menyusun data menjadi kalimat yang benar,
menggunankan kata yang tidak tepat untuk sebuh kondisi, mengulang kata atau
cerita yang sama berkali-kali
4. Ekspresi yang berlebihan, misalnya menangis berlebihan saat melihat sebuah
drama televisi, marah besar pada kesalahan kecil yang dilakukan orang lain,
rasa takut dan gugup yang tidak beralasan. Penderita kadang tidak mengerti
mengapa perasaan- perasaan tersebut muncul.
5. Adanya perubahan perilaku, seperti: acuh tak acuh, menarik diri dan gelisah.

2.1.7 Diagnosis

Kriteria diagnostik demensia menurut :

a. DSM V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, fourth revision)

10
adalah sebagai berikut:1,5,11
1. Gangguan Neurokognitif Berat
Kriteria diagnostik:
A. Bukti penurunan kognitif yang signifikan dari tingkat kinerja sebelumnya
dalam satu atau lebih daamoin kognitif (perhatian kompleks, fungsi
eksekutif, pembelajaran dan memori, bahasa, perseptual-motorik, atau
kognisi sosial) berdasarkan:
1. Kekhawatiran individu, informan yang berpengetahuan, atau dokter
bahwa telah terjadi penurunan fungsi kognitif yang signifikan; dan
2. Sebuah penurunan substansial dalam kinerja kognitif, sebaiknya
didokumentasikan oleh tes neuropsikologi standar atau, jika tidak
ada, klinis terukur lainnya.
B. Defisit kognitif mengganggu kemandirian dalam aktivitas sehari-hari
(yaitu, minimal, membutuhkan bantuan dengan aktivitas instrumental
yang kompleks dari kehidupan sehari-hari sepertimembayar tagihan atau
mengelola obat-obatan).
C. Defisit Defisit kognitif tidak terjadi secara eksklusif dalam konteks
delirium.
D. Defisit kognitif tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lain
(misalnya, gangguan depresi berat, skizofrenia).
2. Gangguan Neurokognitif Ringan
Kriteria Diagnostik:
A. Bukti penurunan kognitif sederhana dari tingkat kinerja sebelumnya
dalam satu atau lebih domain kognitif (perhatian kompleks, fungsi
eksekutif, pembelajaran dan memori, bahasa, motorik persepsi, atau
kognisi sosial) berdasarkan:
1. Kekhawatiran individu, informan yang berpengetahuan, atau dokter
bahwa telah terjadi penurunan ringan dalam fungsi kognitif; dan
2. Sebuah penurunan sederhana dalam kinerja kognitif, sebaiknya
didokumentasikan oleh tes neuropsikologi standar atau, jika tidak

11
ada, penilaian klinis terukur lainnya.
B. Defisit kognitif tidak mengganggu kapasitas kemandirian dalam aktivitas
sehari-hari (yaitu, aktivitas instrumental kompleks kehidupan sehari-hari
seperti membayar tagihan atau mengelola obat-obatan dipertahankan,
tetapi upaya yang lebih besar, strategi kompensasi, atau akomodasi
mungkin diperlukan).
C. Defisit kognitif tidak terjadi secara eksklusif dalam konteks delirium.
D. Defisit kognitif tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lain
(misalnya, gangguan depresi berat, skizofrenia).
b. Skor iskemik Hachinski adalah seperti berikut: Skor ini berguna untuk
membedakan demensia Alzheimer dengan demensia vaskular. Bila skor ≥7:
demensia vaskular. Skor ≤4: penyakit Alzheimer.1

Tabel 2.2 Skor iskemik Hachinski

12
1.7.1 Anamnesis

Mewawancarai teman serta anggota keluarga sangat membantu.


Pertanyaan harus ditanyakan tentang kegiatan kehidupan sehari-hari, termasuk
kegiatan seperti pemecahan masalah sehari-hari dan penanganan urusan bisnis
dan keuangan. Fungsi independen dalam urusan masyarakat, seperti tanggung
jawab pekerjaan, belanja dan partisipasi dalam relawan dan kelompok sosial,
juga harus dinilai. Bukti masalah dengan kegiatan di rumah, hobi, dan
perawatan diri juga harus ditanyakan. Pada tahap awal demensia, pasien dapat
menunjukkan minat terbatas pada hobi dan kegiatan lainnya, dan mungkin
memerlukan dorongan dari orang lain dalam menjaga kebersihan pribadi.
Selain itu tanyakan mengenai status nutrisi, Riwayat penggunaan obat,
konsumsi alkohol, merokok, gangguan Kesehatan seperti stroke, cedera kepala,
riwayat keluarga dengan gangguan yang sama 3,5,11

1.7.2 Pemeriksaan Fisik dan kognitif test

• Refleks memegang (grasp reflex). Jari telunjuk dan tengah si pemeriksa


diletakkan pada telapak tangan si penderita. Refleks memegang adalah
positif apabila jari si pemeriksa dipegang oleh tangan penderita
• Refleks glabela. Orang dengan demensia akan memejamkan matanya tiap
kali glabelanya diketuk. Pada orang sehat, pemejaman mata pada ketukan
berkali-kali pada glabela hanya timbul dua tiga kali saja dan selanjutnya
tidak akan memejam lagi
• Refleks palmomental. Goresan pada kulit tenar membangkitkan kontraksi
otot mentalis ipsilateral pada penderita dengan demensia 11 d. Refleks
korneomandibular. Goresan kornea pada pasien dengan demensia
membangkitkan pemejaman mata ipsilateral yang disertai oleh gerakan
mandibula ke sisi kontralateral
• Snout reflex. Pada penderita dengan demensia setiap kali bibir atas atau
bawah diketuk M. orbikularis oris berkontraksi

13
• Refleks menetek (suck reflex). Refleks menetek adalah positif apabila bibir
penderita dicucurkan secara reflektorik seolah-olah mau menetek jika
bibirnya tersentuh oleh sesuatu misalnya sebatang pensil
• Refleks kaki tonik. Pada demensia, penggoresan pada telapak kaki
membangkitkan kontraksi tonik dari kaki berikut jari-jarinya
Pemeriksaan fisik harus mencakup penilaian domain kognitif, termasuk
berbicara (afasia), motor memory (apraxsia), pengenalan sensorik (agnosia), fungsi
eksekutif. Aphasia dapat dideteksi dengan meminta pasien untuk memberi nama
bagian tubuh atau benda di dalam ruangan. Sering menggunakan istilah yang tidak
seperti “benda” dan “itu” juga dapat menandakan memburuknya fungsi bahasa.
Contoh tes untuk apraxia adalah meminta pasien untuk pantomim penggunaan
benda umum seperti palu atau sikat gigi. Agnosia dapat dievaluasi dengan terlebih
dahulu meminta pasien untuk menutup matanya dan kemudian menempatkan
objek, seperti kunci atau koin, di tangan pasien dan meminta pasien untuk
mengidentifikasinya tanpa melihatnya. Ketidakmampuan mengenali objek umum
meskipun fungsi sensorik normal menandakan agnosia. Meminta pasien untuk
melakukan serangkaian tugas sederhana adalah cara untuk mengevaluasi fungsi
eksekutif. Misalnya, pasien dapat diminta untuk meletakkan selembar kertas di
tangannya tangan kanan, lipat menjadi dua dan taruh di lantai. Tugas ini akan sulit
bagi pasien dengan gangguan dalam kemampuan untuk merencanakan, memulai,
mengurutkan, dan memantau perilaku kompleks. Meminta pasien untuk melakukan
pengurangan serial 7s (mundur dari 100 ke 65), untuk mengeja kata “dunia” ke
belakang dan untuk menghasilkan daftar kata verbal, seperti nama hewan atau
barang di toko kelontong, adalah cara lain untuk menguji fungsi eksekutif dan
pemikiran abstrak.5,11

Pemeriksaan Kondisi Mental Mini (MMSE)

Karena penilaian dan wawasan tidak diuji oleh MMSE, banyak dokter
mengajukan pertanyaan tambahan untuk menilai aspek-aspek kognisi ini. Penilaian
dan wawasan dapat dinilai, misalnya, dengan bertanya kepada pasien, “Apa yang

14
akan Anda lakukan jika Anda berada di gedung yang ramai dan mencium bau
asap?” MMSE dapat mendeteksi gangguan kognitif dengan mengevaluasi
orientasi, perhatian, penarikan kembali, bahasa, dan kemampuan untuk mengikuti
perintah. Skor yang lebih tinggi dari 23 umumnya dianggap normal, meskipun
kinerja bervariasi menurut usia pasien dan Pendidikan. 5,6,11

Tabel 2.3 Skor MMSE

15
Pedoman Skor

24-30 : Normal

17-23 : Probable gangguan kognitif

0-16 : Definite gangguan kognitif

2.1.8 Tatalaksana

1. Terapi suportif
• Perawatan fisik yang baik
• Aktivitas yang merangsang secara kognitif (misalnya, membaca,
permainan)
• Latihan fisik (mis., Aerobik dan anaerobik)
• Interaksi sosial dengan orang lain (misalnya, acara keluarga)

16
• Diet sehat seperti diet Mediterania (mis., Sayuran berdaun hijau tinggi)
• Tidur yang cukup (mis., Tidur tanpa gangguan dan dengan jumlah jam
yang cukup
• Kebersihan pribadi yang benar (mis., Mandi teratur)
• Keselamatan, termasuk di dalam rumah (misalnya, menggunakan peralatan
dapur) dan di luar (misalnya, mengemudi)
• Petunjuk perawatan medis dan lanjutan (misalnya, penunjukan surat kuasa)
• Perencanaan perawatan kesehatan jangka panjang (misalnya, untuk
pengaturan tempat tinggal di tahap akhir demensia)
• Perencanaan keuangan (misalnya, untuk alokasi aset)
• Komunikasi yang efektif (misalnya, untuk mengungkapkan kebutuhan dan
keinginan, seperti dengan alat bantu visual)
• Kesehatan psikologis (misalnya, berpartisipasi dalam aktivitas yang
bermakna secara pribadi, seperti bermain musik)
Semua hal ini harus didukung oleh keluarga, teman, caregiver.

2. Terapi simptomatik

Pada gejala psikiatrik

• Ansieatas akut, kegelisahan, agresi, agitasi : diberikan haloperidol 0,5 mg


peroral 3 kali sehari atau kurang. Risperidone 1 mg peroral. Hentikan
setelah 4-6 minggu.
• Ansietas non psikotik, agitasi : diazepam 2 mg per oral dua kali sehari,
venlafaxine XR. Hentikan setelah 4-6 minggu.
• Agitasi kronik : SSRI (fluoxetine 10-20 mg /hari) dan buspiron 15 mg dua
kali sehari.
• Depresi : pertimbangan SSRI dan anti depresan terlebih dahulu. Trisiklik
misalnya desipramine 75-150 mg per oral sehari.

17
3. Terapi khusus :

Tabel 2.4 Acetylcholinesterase inhibitors and memantine 6

a. Demensia Alzheimer
Menggunakan inhibitor asetilkolinesterase, diindonesia yang dipakai
adalah donepezil, rivastigmine, dan galantamine. PERDOSSI
merekomendasikan penggunaan ketiga obat ini untuk memperbaiki fungsi
kognisi pada pasien dengan Alzheimer ringan- sedang dengan penilaian ulang
status kognitif 1 kali dalam 6 bulan menggunakan ukuran psikometrik (
misalnya MMSE). Donepezil direkomendasikan untuk Alzheimer ringan,
sedang, berat. Memantin (20 mg/hari)efektif dalam memperbaiki fungsi
kognitif pada Alzheimer sedang-berat dengan durasi 6 bulan.3,5
b. Demensia vaskuler
Terapi faktor resiko vaskuler seperti antihipertensi, antilipid, anti
diabetes, antiplatelet, antikoagulan. Pertimbangkan penggunaan inhibitor
asetilkolinesterase donepezil.
c. Demensia lewy body / Parkinson
Pertimbangkan penggunaan rivastigmine dan Donepezil.
d. Demensia frontotemporal
Terapi simptomatik. 5

2.2. Gangguan Mental Pada Pasien Demensia


Aspek psikiatri yang sangat penting untuk diperhatikan dalam rangka
penatalaksanaan yang komprehensif dan berkesinambungan pada demensia adalah

18
adanya BPSD atau Behavioral and Psychological Symptoms in Dementia.13 Asosiasi
Psychogeriatric Internasional mendefinisikan istilah BPSD sebagai “Gejala gangguan
persepsi, isi pikir, suasana hati, atau perilaku yang sering terjadi pada pasien dengan
demensia”. 16

Angka untuk BPSD yang bermakna secara klinis meningkat sampai hampir
80% untuk pasien demensia yang berada di lingkungan perawatan. Dua penelitian
berbasis populasi dari Amerika Serikat (Lyketsos et al, 2000) dan dari Inggris (Burns
et al, 1990), menunjukkan angka prevalensi yang sama, yaitu sekitar 20% untuk BPSD
pada orang dengan penyakit Alzheimer. Berbeda dengan disfungsi kognitif pada
demensia yang semakin memburuk dari waktu ke waktu, BPSD cenderung
berfluktuasi, dengan agitasi psikomotor yang paling persisten. 17

2.2.1 Neurobiologi BPSD


A. Perubahan Neuropatologi

1. Gejala Psikotik

Forstl et al. (1994), meneliti hubungan antara neuropatologi dan gejala


psikotik pada pasien AD (23% dengan halusinasi, 16% dengan waham paranoid,
dan 25% dengan waham misidentifikasi). Dibandingkan dengan kontrol, pasien AD
dengan gejala psikotik memiliki jumlah neuron yang lebih rendah pada daerah otak
berikut ini: girus parahippocampal, regio CA1 hippocampus, raphe dorsalis, dan
lokus seruleus.15,20

Gejala psikotik berhubungan dengan peningkatan yang bermakna dari


kepadatan senile plaque dan neurofibrillary tangles di prosubiculum dan
pertengahan kortex frontal serta jumlah neuron yang berkurang di wilayah
parahippocampal. Selain itu, waham atau halusinasi berhubungan dengan
peningkatan densitas kekusutan ekstraseluler di lobus parietalis serta jumlah plak
neurites yang lebih tinggi di korteks oksipital.15,21

Bondareff (1996) melaporkan bahwa waham kebanyakan terdapat pada


gangguan ekstrapiramidal dan juga gangguan lobus temporalis, serta lebih sering

19
terjadi pada gangguan otak hemisfer kiri dibandingkan kanan. Waham juga
berhubungan dengan kalsifikasi dari ganglia basalis, disfungsi sistem limbik, dan
penyakit yang paling banyak dengan manifestasi waham melibatkan lobus temporal
atau struktur sistem limbik subkortikal.22

Ketika membandingkan subyek AD dengan atau tanpa gejala psikotik,


penelitian dengan Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT) dan
Positron Emission Tomography (PET)menunjukkan penurunan perfusi di lobus
frontal dan temporal. Kuantitatif EEG (qEEG) pasien AD dengan gejala psikotik
menunjukkan disfungsi otak yang lebih parah (peningkatan delta dan penurunan
daya alfa) dibandingkan yang tanpa gejala ini, terlepas dari keparahan demensia dan
tanpa perbedaan topografi. Analisis visual EEG menunjukkan bahwa pasien AD
dengan waham dan halusinasi secara bermakna mempunyai proporsi EEG yang
abnormal secara moderat, dan analisis spektral qEEG mengkonfirmasi sejumlah
peningkatan aktivitas delta dan teta, sehingga menunjukkan tingkat disfungsi
serebral yang lebih besar. Penelitian dengan pencitraan telah menunjukkan
hubungan antara kelainan frontotemporal dengan psikosis atau agitasi.21,23

2. Gejala Depresi

Gangguan yang mempengaruhi lobus frontal, lobus temporal, dan ganglia


basalis (terutama inti caudatus) sangat mungkin akan disertai oleh sindrom depresi.
Keterlibatan dari lobus frontal kiri atau nukleus caudatus kiri lebih mungkin
mencetuskan depresi dibanding disfungsi sisi kanan.14

Perubahan mood sering pada lesi dorsolateral prefrontal. Sekitar 60%


pasien dengan lesi akut di area ini memiliki gejala depresi. Setengah dari pasien
memiliki episode depresi mayor, dan setengah memiliki depresi minor atau
distimia. Kecemasan sering menyertai depresi pada pasien dengan lesi yang
mempengaruhi korteks frontal. Penelitian dengan PET menunjukkan bahwa pasien

20
dengan depresi idiopatik mengalami penurunan metabolisme di area ini
dibandingkan dengan pasien yang tidak depresi.14

Dikatakan bahwa depresi berat pada penderita AD berhubungan dengan


peningkatan degenerasi nukleus aminergik batang otak khususnya nukleus
seruleus dan raphe midbrain. Sultzer (1996) melaporkan bahwa terdapat hubungan
antara gejala mood dengan hipometabolisme pada korteks parietal.22

3. Gejala Apati

Disfungsi lobus frontalis terutama regio medio frontal seringkali


berhubungan dengan sindrom apati (penurunan minat, afek dan psikomotor) yang
menyerupai depresi.22,23

Gangguan lobus frontal yang menimbulkan sindrom apati melibatkan


daerah medio frontal, terutama korteks anterior cingulate. Sindrom mutisme
akinetik sementara terjadi pada pasien dengan lesi frontal medial unilateral,
mutisme akinetik permanen diamati pada disfungsi frontal medial bilateral. Apati
juga terjadi pada pasien dengan lesi nukleus kaudatus, globus pallidus, dan
thalamus, yang merupakan bagian dari struktur sirkuit frontal- medial
subkortikal.14

4. Gejala Agitasi dan Agresif

Terdapat hubungan yang bermakna antara faktor skor agitasi / disinhibisi


dan metabolisme kortikal di lobus frontal dan temporal. Penelitian terbaru
menunjukkan adanya hubungan antara agitasi dengan penurunan metabolisme di
daerah frontotemporal, bertambahnya neurofibrillary tangle terutama di daerah
frontal dan defisit kolinergik. Tekin et al juga menunjukkan bahwa jumlah
neurofibrillary tangle lebih tinggi di daerah cingulate anterior orbitofrontal pada
pasien AD dengan agitasi.15,21

Pada pemeriksaan SPECT, subyek dengan agresi memperlihatkan


hipoperfusi yang bermakna di korteks temporal anterior kiri.21

21
Agitasi intermiten dan agresivitas yang sering berkembang pada pasien
demensia mungkin berhubungan dengan lesi dari sistem limbik, terutama di daerah
amigdale dan regio yang berhubungan.24

Perilaku agresif dilaporkan terkait dengan lesi neuropatologis di basal


nucleus Meynert dan lokus seruleus, dan dengan banyaknya neuron di substansia
nigra pars compacta. Lokus seruleus rostral mengalami kehilangan sel lebih besar
pada pasien agresif.21

5. Disinhibisi

Disinhibisi merupakan perubahan perilaku yang dominan pada sindrom


orbitofrontal yang sering ditemui pada demensia frontotemporal. Sindrom
orbitofrontal adalah yang paling dramatis dari semua gangguan lobus frontal.
Individu yang perilaku sebelumnya normal mengalami perubahan perilaku karena
lesi prefrontal.14

B. Perubahan Neurotransmitter

1. Peran Serotonin

Beberapa gejala BPSD yang dapat terjadi karena kelainan pada sistem
serotonergik adalah mood depresi, kecemasan, agitasi, gelisah, dan agresivitas.15

Neuron serotonergik berasal dari inti rafe dorsal dan median yang
mempersarafi banyak struktur dalam korteks dan sistem limbik. Proyeksi ini secara
luas memungkinkan sistem serotonergik untuk mengatur agresi, mood, aktivitas
makan, tidur, suhu, seksual, dan motorik. Oleh karena itu, perubahan dalam fungsi
sistem serotonergik pusat memiliki dampak klinis yang terlihat pada perilaku.13
Berikut gambarkan peranan reseptor serotonin dalam BPSD.

22
Tabel 2.5 Peranan Subtipe Serotonin pada BPSD

2. Peran Norepinefrin / Noradrenergik

Peran NE pada BPSD dapat dilihat pada tabel berikut ini :20

Tabel 2.6 Ringkasan Hubungan Sistem Noradrenergik dengan BPSD

3. Peran Dopamin

Pada demensia Lewy Body, metabolit dopamin secara bermakna


menurun pada pasien yang tidak berhalusinasi dalam hubungannya dengan
kelainan serotonergik (yakni, penurunan ikatan reseptor serotonergik 5-HT2 dan
penurunan metabolit 5-HT).25

23
Sistem dopaminergik telah terlibat dalam depresi, perilaku agitasi, dan
psikotik pada pasien yang tidak demensia, dan dengan demikian sistem ini
memiliki potensi secara langsung mempengaruhi BPSD. Penelitian post mortem
telah menunjukkan pada pasien AD terdapat gangguan dalam sistem dopaminergik
dibandingkan dengan subyek kontrol.25

Pasien AD dengan BPSD berat mungkin memiliki disfungsi


metabolisme dopamin striatal dibandingkan dengan mereka yang tidak BPSD.
Ketika dikombinasikan dengan temuan bahwa kolin asetiltransferase (CHAT)
menurun pada pasien berhalusinasi, hasil ini menunjukkan bahwa
ketidakseimbangan antara transmitter monoaminergik dan kolinergik terlibat
dalam halusinasi visual pada demensia Lewy Body. Perilaku gelisah dan agresif
mungkin terkait dengan preservasi relatif fungsi DA pada pasien AD.25,26

4. Peran GABA

GABA adalah penghambat utama neurotransmitter pada SSP, penghambat


interneuron lokal untuk neurotransmitter lain yang merupakan kunci dalam
mengendalikan perilaku. GABA mempengaruhi fungsi perilaku melalui interaksi
dengan serotonin.25

Keterlibatan neurotransmitter GABA telah ditunjukkan dalam perilaku


seperti agresi, dimana peningkatan GABA dikaitkan dengan penurunan agresi.20

5. Peran Asetilkolin

Cummings dan Back menunjukkan bahwa defisit kolinergik dapat


berkontribusi pada gejala seperti psikosis, agitasi, apati, disinhibisi, dan perilaku
motorik menyimpang.25

Defisit dalam sistem kolinergik terutama timbul pada basal otak depan dan
memproyeksikan ke korteks. Terdapat penurunan penanda kolinergik kolin
asetiltransferase (CHAT) dan asetilkolinesterase (ACHE) pada korteks, khususnya
korteks temporal; kehilangan bermakna dalam nukleus basalis Meynert; dan

24
pengurangan densitas reseptor muskarinik 2 (M2) presinaptik. Peningkatan
reseptor M2 muskarinik kolinergik telah ditemukan pada korteks frontal dan
temporal pada pasien AD dengan gejala psikotik.21,25,27

6. Peran Glutamat dalam BPSD

Glutamat adalah neurotransmitter excitatory di otak yang dominan. Pasien AD


memiliki kehilangan glutamat yang cukup berat. Ketidakseimbangan antara
glutamat dan sistem dopaminergik dapat menyebabkan disfungsi dalam sirkuit
talamik kortikal neostriatal, yang dapat menyebabkan gejala psikotik.15

7. Disfungsi Neuroendokrin

Pada pasien AD, kadar somatostatin, vasopresin, corticotropin-releasing


hormone (CRH), substansi P, dan neuropeptida Y secara bermakna berkurang di
daerah kortikal dan sub kortikal otak, sedangkan kadar dari galanin peptida
meningkat. Namun, di hipotalamus, kadar somatostatin, vasopresin, dan
neuropeptida Y seperti galanin meningkat secara bermakna, dapat menyebabkan
agitasi, gelisah, gangguan tidur dan gejala yang terkait dengan stres.15

2.2.2 Gejala BPSD


A. Gejala Perilaku pada Demensia

1. Disinhibisi
Pasien dengan disinhibisi berperilaku impulsif, menjadi mudah terganggu,
emosi tidak stabil, memiliki wawasan yang kurang sehingga sering menghakimi,
dan tidak mampu mempertahankan tingkat perilaku sosial sebelumnya. Gejala lain
meliputi: menangis, euforia, agresi verbal, agresi fisik terhadap orang lain dan
benda-benda, perilaku melukai diri sendiri, disinhibisi seksual, agitasi motorik,
campur tangan, impulsif, dan mengembara.15
2. Agitasi
Agitasi didefinisikan sebagai aktivitas yang tidak pantas, baik secara
verbal, vokal, atau motor. Subtipe dari agitasi tercantum dalam tabel berikut:

25
Tabel 2.7 Subtipe Agitasi:15

3. Wandering
Beberapa perilaku yang termasuk wandering, yaitu:15
• Memeriksa (berulang kali mencari keberadaan caregiver)
• Menguntit
• Berjalan tanpa tujuan
• Berjalan waktu malam
4. Reaksi Ledakan Amarah / Katastrofik
Dalam salah satu penelitian terhadap 90 pasien dengan gangguan AD
cukup ringan, ledakan marah tiba-tiba terjadi pada 38% pasien. Selain itu,
didapatkan hal-hal sebagai berikut:

• Ledakan amarah tiba-tiba dikaitkan dengan meningkatnya aktivitas dan


perilaku agresif
• Tidak ada hubungan yang ditemukan antara ledakan amarah dan penampilan
sikap apati, depresi, atau kegelisahan
• Perilaku agresif memberikan kontribusi paling banyak terkait gejala
nonkognitif dan ledakan marah tiba-tiba
• Reaksi bencana dapat dipicu oleh gejala kognitif dan non-kognitif, seperti :
kesalahpahaman, halusinasi, dan delusi.15

26
2.2.2 Gejala Psikologis pada Demensia
A. Gejala Mood
1. Depresi

Adanya depresi pada pasien dengan demensia sebelumnya mungkin


memperburuk defisit kognitif pasien. Gangguan depresi harus dipertimbangkan ketika
ada satu atau lebih kondisi berikut ini: mood depresi yang meresap dan anhedonia,
pernyataan menyalahkan diri dan menyatakan keinginan untuk mati, dan riwayat
depresi pada keluarga atau pasien sebelum timbulnya demensia.15,18

Kebanyakan penelitian yang telah dilakukan pada pasien dengan AD


menunjukkan mood depresi terjadi paling sering (40-50% pasien) dan gangguan
depresi mayor yang tidak begitu umum (10 - 20%). Riwayat premorbid depresi
meningkatkan kemungkinan perkembangan depresi pada AD. 3 Pasien dengan
demensia vaskular dilaporkan mengalami mood depresi lebih sering daripada pasien
dengan AD.19

2. Apati

Apati terlihat menonjol pada demensia frontotemporal, penyakit Alzheimer,


dan kelumpuhan supranuclear progresif. Apati terjadi hingga 50% dari pasien pada
tahap awal dan menengah AD dan demensia lainnya. Pasien yang apati menunjukkan
kurangnya minat dalam kegiatan sehari-hari, perawatan pribadi dan penurunan dalam
berbagai jenis interaksi sosial, ekspresi wajah, modulasi suara, respon emosional, dan
inisiatif.14,15

3. Kecemasan

Kecemasan dalam demensia mungkin terkait dengan manifestasi BPSD lain


atau terjadi secara independen. Pasien demensia dengan kecemasan akan
mengekspresikan keprihatinan mengenai masalah keuangan, masa depan, kesehatan
(termasuk memori mereka), kekhawatiran tentang acara nonstressful sebelumnya, dan
kegiatan seperti berada jauh dari rumah. 3 Karakteristik gejala kecemasan lain dari
pasien demensia adalah takut ditinggalkan sendirian. Ketakutan ini dapat dianggap

27
fobia apabila kecemasan di luar batas kewajaran. Pasien dengan AD kadang-kadang
memperlihatkan fobia lainnya, seperti takut kerumunan, perjalanan, gelap, atau
aktivitas seperti mandi.15

B. Gejala Psikotik

1. Waham

Manifestasi psikosis mencakup gejala positif (waham, halusinasi, gangguan


komunikasi, aktivitas motorik yang abnormal) dan gejala negatif (avolition,
kemiskinan isi pikiran, afek datar). Contoh waham terlihat pada demensia (terutama
demensia tipe Alzheimer), yaitu:15

a. Barang kepunyaannya telah dicuri.


b. Rumah bukan kepunyaannya (misidentifikasi).
c. Pasangan (atau pengasuh lainnya) adalah seorang penipu (Sindrom Capgras).
d. Pengabaian / Ditinggalkan
e. Ketidaksetiaan.
2. Halusinasi

Perkiraan frekuensi halusinasi pada demensia berkisar dari 12%-49%.


Halusinasi visual adalah yang paling umum (terjadi pada 30% pasien dengan demensia)
dan ini lebih sering terjadi pada demensia yang moderat dibandingkan demensia ringan
atau berat. Gambaran halusinasi secara umum berupa gambaran orang-orang atau
hewan-hewan. Pada demensia Lewy Body, laporan frekuensi halusinasi visual sekitar
80%. Pasien demensia juga mungkin mengalami halusinasi auditorik (sekitar 10%),
namun jarang untuk halusinasi jenis lain, seperti yang bersifat penciuman atau taktil.15

3. Misidentifikasi

Misidentifikasi dalam demensia adalah kesalahan persepsi stimuli eksternal.


Misidentifikasi terdiri dari:15

• Kehadiran orang-orang di rumah pasien sendiri (Boarder Phantom Syndrome)


• Kesalahan identifikasi diri pasien sendiri (tidak mengenali bayangan diri sendiri

28
di cermin)
• Kesalahan identifikasi orang lain
• Kesalahan identifikasi peristiwa di televisi (pasien mengimajinasikan peristiwa
tersebut terjadi secara nyata).

2.3 Diagnosis dan Tatalaksana Gangguan Mental pada Demensia


2.3.1 Diagnosis
Setelah diagnosis demensia ditegakkan, kemudian perlu dilihat apakah terdapat
gejala gangguan mental atau tidak. Diagnosis gangguan mental pada demensia, klinisi
perlu membedakan antara penuaan normal, depresi, delirium dan khususnya respon
stress akut karena perubahan lingkungan eksternal atau perubahan pengasuh utama.
Pada anamnesis perlu dilakukan wawancara untuk menggali gejala yang berkaitan
yaitu depresi, kecemasan, apati, waham, halusinasi, dan misidentifikasi.

Menurut PPDGJ-III diagnosis mental pada demensia bisa ditambahkan pada


axis I jika terdapat adanya kelainan mental. Penegakkan kelainan mental perlu melihat
pedoman diagnosis pada DSM-V.

2.3.2 Tatalaksana
A. Tatalaksana Non-Farmakologis

Intervensi non-farmakologis dapat diklasifikasikan dalam kategori


berikut:26,28,29

a. Intervensi psikososial
Psikoedukasi untuk pasien dan pengasuh dapat mengurangi BPSD.
Program sesi tunggal dan kelompok multi-komponen efektif jika berfokus pada
ppemberian informasi tentang penyakit dan bantuan yang dapat diberikan,
pertukaran pengalaman tentang menangani masalah sehari-hari. Pemberian
edukasi kepada keluarga pasien berbasis strategi koping dan kegiatan yang
disesuaikan untuk orang dengan demensia dan pengasuh mereka untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien demensia yang berobat jalan.

29
b. Intervensi yang berorientasi kognitif dan emosi
Intervensi ini didasarkan pada gagasan bahwa orientasi yang lebih baik
dalam kehidupan sehari-hari terhadap orang, waktu atau lingkungan. Terapi
orientasi realitas lebih efektif dalam kombinasi dengan teknik lain dalam
meningkatkan moon dan menurunkan BPSD. Berasal dari terapi orientasi
realitas, terapi stimulasi kognitif mengatasi masalah saat ini berfungsi untuk
pemrosesan informasi.
c. Intervensi stimulasi sensorik (akupuntur, aromaterapi, terapi cahaya, pijat,
terapi musik)
Terapi musik dan teknik stimulasi multisensor seperti snoezelen efektig
dalam mengurang agitasi dan perilaku mengganggu selama sesi dan segera
setelah intervensi. Namun, tidak ada bukti jangka panjang. Musik yang
berhubungan dengan biografi dan kombinasi dengan stimulasi sensorik
tampaknya lebih efektif.
d. Aktifitas Fisik
Olahraga teratur dapat meningkatkan kebugaran fisik, perilaku dan fungsi
pada orang tua. Terdapat bukti kuat bahwa aktifitas fisik teratur meningkatkan
kekuatan fisik, hasil kognitif, fungsional dan perilaku pada pasien dengan
demensia dan dapat membantu mengurangi BPSD. Biasanya, program pelatihan
didasarkan pada jalan kaki atau menggabungkan jalan kaki dengan berbagai
latihan isotonik.
e. Terapi validasi
Teknik yang berpusat pada pasien ini bermaksud untuk menyelesaikan
konflik yang belum selesai dengan mendorong dan memvalidasi ekspresi perasaan
secara positif. Ada beberapa bukti bahwa teknik ini dapat mengurangi iritabilitas.
f. Terapi kenangan
Terapi kenangan menggunakan benda-benda dari kehidupan sehari-hari
pasien untuk merangsang ingatan dan memungkinkan orang untuk menghargai
pengalaman mereka. Intervensi ini dapat meningkatkan mood.

30
B. Tatalaksana Farmakologi
Berikut panduan penatalaksanaan psikofarmaka pada BPSD berdasarkan
subtipe demensia:30
Tabel 2.8 Demensia Alzeimer (Manajemen Depresi)
Depresi Lini Lini Kedua Penyebab/Interaksi
(memonitor Pertama
gejala dengan SSRI, Jika tidak SSRI dikaitkan dengan peningkatan risiko SIADH
dosis awal Citalopram ada respon dan hiponatremia, terutama denganpolifarmasi. Jika
dan ulangi atau hentikan gejala menjadi semakin parah disarankan untuk
persediaan Sertraline SSRI memeriksa elektrolit. Jika terdapat hiponatremia,
setelah 2-6 (memastika Mirtazepine dapatdipertimbangkan adanya interaksi dengan
minggu n dosis atau tiazid, carbamazepine dan alternatif untuk obat-obat
untuk menilai terapetik) Trazadon ini. SSRI memiliki peningkatan risiko dengan
respon) perdarahan GI terutama dengan OAINS dan aspirin,
dapat dipertimbangkan penambahan PPI, atau
alternatif seperti mirtazepine.

Tabel 2.9 Demensia Alzheimer (Manajemen Psikosis dan Agresi)


Psikosis/agresi Lini Pertama Lini Kedua Penyebab/Interaksi
(pertama berusaha Risperidone 0,5 Olanzapine • Jika pasien sudah pada
untuk mg bd ke max 1 (2,5-5 mg cholinesterase inhibitor
objektif/memantau mg bd (jika
gejala psikotik bd) atau
tidak ada respon menghentikan ini karena dapat
dengan NPI dengan Aripiprazole
(Inventory risperidone (5 mg menyebabkan agitasi atau psikosis
Neuropsikiatrik) pada1 mg sampai 10 • Risperidone adalah satu-
dan ulangi dalam dosis
persediaan untuk mg), atau
terbagi satunya antipsikotik diakui
mengukur respon mempertimbang Memantine
untuk Alzheimers hingga 6
kan beralih ke (NB max
antipsikotik dosis minggu.
alternatif) olanzapine • Untuk pasien dengan QTc
pada 10 mg
perpanjangan atau epilepsi
atau
aripiprazole pertimbangkan menggunakan
10mg) lorazepam atau carbamazepine bukan
antipsikotik

31
Tabel 2.10 Demensia Alzheimer (Manajemen ansietas dan agitasi)
Kecemasan atau Lini Lini Kedua Penyebab/Interaksi
agitasi (pertama Pertama
berusaha untuk Citalopram Memantine 5- Karbamazepin dikaitkan dengan ruam
objektif/memantau 20 mg atau 20 mg dan/atau danataksia jika gejala ini terjadi
gejala Carbamazepine
Memantine menghentikan
5 - 20 100 mg bd
mg

Tabel 2.11 Demensia Lewy Body (Manajemen Depresi)


Depresi Lini Lini Kedua Penyebab/Interaksi
(gejala Pertama
monitor Citalopram Sertraline SSRI dapat memperburuk parkinsonisme
dengan 10-20 mg 50-200 mg
persediaan
awal dan
ulangi
persediaan
setelah 2-6
minggu
untuk menilai
respon)

Tabel 2.12 Demensia Lewy Body (Manajemen psikosis dan agresi)


Psikosis dan Lini Pertama Lini Kedua Penyebab/Interaksi
agresi Mengidentifikasi jika Memantine 5-20 Karbamazepin
(percobaan pasien dalam kondisi mg atau dikaitkan dengan ruam
pertama untuk
penggantian dopamin Olanzapine danataksia jika gejala
memonitor
gejala secara (dengan melibatkan ahli (dosis 2.5 mg) ini terjadi
obyektif dengan neurologi) atau menghentikan
menggunakan 1) mempertimbangkan Clozapine (12.5
Cohen Mansfield untuk perlahan-lahan
Agitation mg sampai
menarik agonis dopamin 12.5 mg bd)
inventory atau
Neuropsychiatric 2) mempertimbangkan
inventorypada

32
awaldan 2-4 untuk perlahan-lahan
minggu terapi mengganti pengobatan
primer contohnya L-
Dopa

Tabel 2.13 Bukti dan Efektifitas biaya untuk terapi psikotropika yang berbeda. (a)
Alzeimer’s/mixed dementia; (b) demensia dengan lewy bodies atau demensia pada
parkinson’s disease
(a)
Gejala utama Lini pertama Evidence type Lini kedua Evidence type
Depresi Sertraline, 2–3£ Mirtazapine 3
citalopram
Apatis Sertraline, 2–3£ Donepezil, 2
citalopram galantamine,
rivastigmine
Psikosis Risperidone 1 Olanzapine, 2
aripiprazole
Penurunan fisik Risperidone 1 Carbamazepine, 2
aripiprazole,
olanzapine
Agitasi sedang Citalopram 3 Trazodone, 4
mirtazapine
Agitasi berat Risperidone 1 Airipiprazole, 2–4
memantine [3]
Insomnia Zoplicone 3=£ Trazodone 3
(b)
Gejala utama Lini pertama Evidence type Lini kedua Evidence type
Depresi Citalopram atau 4+ £ Sertraline 4
sertraline
Apatis Sertraline, 4+ £ Rivastigmine 2
citalopram
Psikosis Clozapine 3 Olanzapine atau 2–3
memantine

33
Penurunan Olanzapine atau 3 Memantine 3
clozapine
Agitasi sedang Citalopram 3+£ Memantine [3] 2–3
REM gangguan Clonazepam 1
tidur

Pada demensia vaskular/demensi frontotemporal, ada sedikit dasar bukti untuk


pengobatan vaskular atau stoke yang berhubungan dengan demensia atau agresi yang
terkait dengan demensia frontotemporal. Penggunaan inhibitor anti-kolinesterase akan
berada diluar indikasi lisensi dan mungkin dapat memperburuk agresi atau psikosis
dalam kondisi ini. Ada beberapa bukti terbatas untuk menunjukkan memantine yang
memiliki beberapa efek pada psikosis dan agitasi pada demensia ini, bagaimanapun,
itu lagi di luar pengaturan lisensinya. Namun, diagnosis demensia vaskular tidak stabil
dan pasien sering mengembangkan tanda-tanda Alzheimer di atas masalah pembuluh
darah. Risiko CVA lebih tinggi dengan anti-psikotik dalam demensia ini.

34
BAB III
KESIMPULAN

Gangguan mental pada pasien demensia dikenal dengan BPSD atau Behavioral
and Psychological Symptoms in Dementia. Asosiasi Psychogeriatric Internasional
mendefinisikan istilah BPSD sebagai “Gejala gangguan persepsi, isi pikir, suasana hati,
atau perilaku yang sering terjadi pada pasien dengan demensia”.

Penegakan diagnosis gangguan mental pada pasien demensia dilakukan dengan


anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan neurologis. Gejala yang dapat
ditemukan pada demensia yang berhubungan dengan gangguan mental yaitu dilihat
dari gejala psikosis dan non psikosis. Gejala psikosis diantaranya waham, halusinasi,
disidentifikasi. Gejala non psikosis yaitu depresi, apati dan kecemasan.

Penanganan gangguan mental pada pasien demensia yaitu penanganan masalah


psikiatri dengan pendekatan farmakologis dan non farmakologis. Terapi non
farmakologis diantaranya Intervensi psikososial, intervensi yang berorientasi kognitif
dan emosi, intervensi stimulasi sensorik, Aktifitas Fisik, Terapi validasi, dan Terapi
kenangan. Terapi farmakologis diberikan berdasarkan jenis demensia, perilaku dan
fungsi sehari-hari. Kondisi psikotik yang muncul akan lebih baik bila ditangani dengan
obat antipsikotik sedini mungkin tanpa menunggu munculnya gejala yang lebih berat.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Ndiyart R. Diagnosis dan Pengobatan Terkini Demensia Vaskular. J.Kedokter


Trisakti. Jakarta. 2004.Vol.23(1).
2. WHO. Dementia. [Internet]. World Health Organization. 2020. From:
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/dementia
3. Lastari DN, Octaviana F. Crash course neurology. 1st Indonesia ed. Singapore:
Elsevier Singapore. 2018. P. 233-246
4. Kusumawardhani, Husin, Adikusumo. Buku Ajar Psikiatri, ed.2. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI, 2014: 537-48.
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Panduan praktik klinik diagnosis
dan penatalaksanaan demensia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia.2015. p. VII-115.
6. Cunningham EL , McGuinness B, Herron B , Passmore AP. Dementia. Ulster Med
J 2015;84(2):79-87.
7. Lier WM, Scheltens P. Epidemiology and risk factor of dementia. J Neurol
Neurosurg Psychiatry 2005;76(V).p, V2-V7.
8. Arvanitakis Z, Shah RC, Bennett DA. Diagnosis and Management of Dementia:
Review. JAMA. 2019; 322(16).p.1589-1596
9. Demenatia Australia. About dementia. [Internet]. Dementia Australia . 2020.
[cited 01maret 2021]. From: Memory loss | Dementia Australia
10. Roh, JH., Jae HL. Recent Updates on Subcortical Ischemic Vascular Dementia.
Journal of Stroke.2014:16(1):ppt.18-26.
11. Santacruz KS, Swagerty D. Early Diagnosis of Dementia. University of Kansas
Medical Center. 2001;63(4). p. 701-713.
12. Dewanto, G. dkk (2009). Panduan Praktis Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit
Saraf. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Hal 170-184
13. Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003, Konsensus Nasional Pengenalan dan
Penatalaksanaan Demensia Alzheimer dan Demensia Lainnya, Edisi 1, 39-47.
14. Cummings JL, Trimble MR, 2002, Neuropsychiatry and Behavioral Neurology
Second Edition, Washington, American Psychiatric Publishing, Inc. p.19-84.
15. International Psychogeriatric Association, 2002, BPSD Educational Pack, Belgia,
Janssen Cilag Organon, p.18-59.
16. Ferri CP, Ames D, 2004, BPSD in developing countries, International
Psychogeriatrics, p. 441– 459.
17. Lawlor B, 2002, Managing BPSD, British Journal of Psychiatry, 181, p.463-465.
18. Moore DP, 2008, Textbook of Clinical Neuropsychiatry Second edition, London,
Hodder Education, p.162-169.
19. Kaplan GB, Hammer RP, 2002, Brain Circuitry and Signaling in Psychiatry Basic
Science and Clinical Implications, Washington, American Psychiatric Publishing,
Inc.p.201-222.
20. Herrmann N et al, 2004, The Role of Norepinephrine in the BPSD, The Journal of

36
Neuropsychiatry and Clinical Neurosciences, 16, p.261–276.
21. Robert PH et al, 2005, Grouping for BPSD: clinical and biological aspects,
European Psychiatry, 20: p.490–496
22. Sadock BJ, Sadock VA, Pedro R, (Ed.), 2009, Kaplan & Sadock's Comprehensive
Textbook of Psychiatry, 9th Edition, Lippincott Williams & Wilkins, p.1167-1197.
23. Cummings JL, Psiquiatr JB, 2007, The Neuropsychiatric disturbances in demential
disorders or BPSD, 56(2): p.81-82
24. Tonkonogy JM., Puente AE., 2009, Localization of Clinical Syndromes in
Neuropsychology and Neuroscience, New York, Springer Publishing Company,
p.621-666.
25. Lancto KL et al, 2001, Role of Serotonin in the BPSD, The Journal of
Neuropsychiatry and Clinical Neurosciences, 13, p.5-21.
26. Tanaka Y et al, 2003, Decreased striatal D2 receptor density associated with severe
behavioral abnormality in Alzheimer’s disease, Annals of Nuclear Medicine, Vol.
17, No. 7, p.567-573
27. Kaufman DM, 2007, Clinical Neurology for Psychiatrists, 6th Ed, Philadelphia,
Elsevier Inc. p.115- 140.
28. Cerejeira J, Lagarto L, Mukaetova-Ladinska EB, 2012, Behavioral and
pshychological symptoms of dementia, Frontiers in Neurology, Vol.3.
29. Tible, Olivier Pierre et all, 2017, Best practice in the management of behavioural
and psychological symptom of dementia, Therapeutic Advanced in Neurological
Disorders, Vol. 10(8).297-309.
30. Jeyapaul, P., & Manchip, S. 2014. Management guidelines for behavioural and
psychotic symptoms in persons with dementia—A review article. Open Journal of
Psychiatry, 2014.

37

Anda mungkin juga menyukai