Anda di halaman 1dari 16

REFERAT ILMU KESEHATAN JIWA

DEMENSIA PADA PENYAKIT ALZHEIMER

Disusun oleh:
Jason Bustam
01073170163

Pembimbing:
dr. Agnes Tineke, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE –
RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
PERIODE NOVEMBER – DESEMBER 2019
TANGERANG
DAFTAR ISI

BAB I: PENDAHULUAN …………………..…………………………………. 2


BAB II: TINJAUAN PUSTAKA …………………..……………...................... 3
2.1. Definisi …………………………………………………..…………. 3
2.2. Epidemiologi ………………..……………………………………… 3
2.3. Diagnosis …………………..……………………………….............. 3
2.3.1. Klasifikasi …………….…………………..……………… 3
2.3.2. Anamnesis …………………………….………………….. 9
2.3.3. Pemeriksaan Fisik ……………………………………… 10
2.3.4. Pemeriksaan Penunjang ……………………………….. 13
2.4. Diagnosis Banding ………………………..……………................. 16
2.5. Tatalaksana ……………………………..………………………… 17
2.6. Prognosis ………………………..……………… ………………... 21
2.7. Komplikasi ………………………..………………………………. 21
2.8. Pemantauan …………...…………………..……………………… 22
BAB III: KESIMPULAN ……………………………..………………………. 24
BAB IV: DAFTAR PUSTAKA ……………………………..………………... 25
BAB I

PENDAHULUAN

Demensia berasal dari kata Latin dementatus yang berarti pikiran seseorang. Kata demensia
pertama kali dipergunakan pada abad pertama sesudah Masehi, dan diperkenalkan sebagai
penjelasan dari etiologi penyakit menyerupai sekarang oleh Oribasius, seorang ahli medis pada
abad ke 4. Oribasius menggunakan istilah untuk penyakit atrofi cerebri yang menyebabkan
gangguan intelektual dan kelemahan motorik pada saat itu, dan dikembangkan oleh banyak
ahli hingga masa kini. Demensia merupakan sindrom atau kumpulan gejala yang diakibatkan
oleh penyakit atau gangguan otak yang bersifat kronis dan progresif. Pedoman Penggolongan
dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) menyebutkan bahwa demensia termasuk dalam
kategori gangguan mental organik.
Prevalensi dari demensia pada penyakit Alzheimer terbilang cukup tinggi. Pada negara
Amerika Serikat ditemukan ada sekitar 4,7 juta orang menderita demensia tipe Alzheimer dan
jumlah ini akan terus meningkat pesat seiring berjalannya waktu. Pada Standar Kompetensi
Dokter Indonesia (SKDI), penyakit demensia memiliki tingkat kompetensi 3A yang berarti
para dokter harus mampu membuat diagnosis klinis berdasarkan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan tambahan lainnya, dapat memberikan terapi pendahuluan dan merujuk ke
spesialis yang relevan. Disusul oleh Alzheimer yang memiliki SKDI 2 yaitu para dokter harus
mampu mendiagnosa berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan yang diminta.
Oleh sebab itu, demensia pada penyakit Alzheimer penting untuk diketahui bagi para dokter.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Demensia merupakan sindrom atau kumpulan gejala yang diakibatkan oleh penyakit atau
gangguan otak yang bersifat kronis dan progresif. Terdapat gangguan fungsi kortikal luhur
yang multipel, diantaranya termasuk daya ingat, daya pikir, daya tangkap, berhitung,
kemampuan belajar, berbahasa dan daya nilai. Penyakit ini biasanya disertai dengan penurunan
pengendalian emosi, perilaku sosial dan atau motivasi hidup.1
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) menyebutkan bahwa
demensia termasuk dalam kategori gangguan mental organik. Gangguan mental organik
merupakan gangguan yang berkaitan dengan penyakit atau gangguan sistemik atau otak yang
dapat didiagnosis secara tersendiri. Gangguan ini termasuk gangguan mental simptomatik,
dimana pengaruh terhadap otak merupakan akibat sekunder dari penyakit atau gangguan
sistemik di luar otak. Gangguan mental organik sendiri memiliki gambaran utama berupa
gangguan fungsi kognitif, gangguan sensori, dan kumpulan gejala dengan manifestasi di
bidang persepsi, pikiran dan emosi. Beberapa jenis gangguan mental organik lainnya selain
demensia adalah sindrom amnesik dan delirium. 2-3

2.2. Epidemiologi
Penelitian menyebutkan bahwa angka kejadian demensia dipengaruhi oleh usia lanjut.
Prevalensi demensia tercatat sebesar 2 persen pada usia 65 hingga 69 tahun, lalu meningkat
secara signifikan menjadi 20 persen pada usia 85 hingga 89 tahun. Pada tahun 2010 ditemukan
sekitar 35,6 juta orang di dunia ini menderita demensia. Pada negara Inggris ditemukan bahwa
lebih dari 500.000 penduduk menderita demensia, sedangkan pada Amerika Serikat ditemukan
ada sekitar 4,7 juta orang menderita demensia tipe Alzheimer. Prevalensi demensia lebih tinggi
pada daerah Amerika Latin, namun diperkirakan bahwa bagian lain dari Amerika, Afrika, dan
Asia akan mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun kedepan. Menurut penelitian,
dikisarkan akan ada 115,4 juta orang di dunia ini menderita demensia pada tahun 2050. 3-4
2.3. Diagnosis
2.3.1. Klasifikasi
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) menyatakan pedoman
diagnostik demensia sebagai adanya penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir yang
mengganggu kegiatan harian, tidak adanya gangguan kesadaran, dan terjadi paling tidak 6
bulan. PPDGJ membagi demensia kedalam beberapa tipe, diantaranya adalah demensia pada
penyakit Alzheimer, demensia vaskular, demensia pada penyakit lain dan demensia yang tidak
ditentukan (YTT).

2.3.1.1. Demensia Pada Penyakit Alzheimer


Demensia yang terjadi pada penyakit Alzheimer ditandai dengan atrofi dan gliosis yang
progresif, terjadi pertama di hippocampus dan lobus temporal, diikuti oleh lobus frontal dan
parietal, diakhiri pada area motor primer atau korteks sensorik (lobus oksipital). Demensia pada
Alzheimer terjadi akibat adanya degenerasi saraf yang terjadi akibat hasil dari toksisitas oleh
akumulasi agregat amiloid-beta 42 (AB) yang tidak dapat larut. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa terdapat berbagai macam penyebab lainnya seperti disfungsi metabolisme
amiloid, gangguan metabolisme tau, transduksi sinyal, homeostasis logam berat, dan
asetilkolin serta kolestrol semuanya dapat terlibat dalam proses neurotoksisitas yang
menyebabkan penyakit Alzheimer. Seperti banyaknya penyakit neurodegeneratif lainnya,
dapat ditemukan berbagai perubahan genetik pada pasien dengan Alzheimer. Abnormalitas
yang diketahui terjadi pada 3 gen yaitu amyloid precursor protein (APP), presenilin 1 (PSEN1)
dan presenilin 2 (PSEN2).
Demensia pada Alzheimer dikarakteristikan oleh 2 temuan histologis: (1) plak-plak
amiloid yang disebabkan oleh deposit AB, (2) agregat protein tau atau diistilahkan sebagai
tangles. Plak amiloid yang terbukti menyebabkan proses kerusakan neuron disebut sebagai
plak neuritik. Kedua penemuan tersebut teridentifikasi dengan menggunakan pewarnaan
Bielschowsky atau Gallyas. Penelitian menyebutkan bahwa penurunan fungsi kognitif tidak
banyak berhubungan dengan plak neuritik, melainkan lebih banyak berhubungan dengan
tangles. Berdasarkan hal tersebut, digunakan sebuah stadium keparahan yang bernama Braak.
Tabel 1. Stadium Braak.
Stadium Lokasi
1 Pada transentorhinal cortex
2 Pada sektor CA1 di hippocampus
3 Pada subiculum
4 Pada area lain di hippocampus dan entorhinal cortex
5 Association cortex
6 Primary motor or sensory cortex atau fascia dentata

PPDGJ mengatakan bahwa dalam mendiagnosis tipe ini diharuskan memiliki :


 Adanya gejala demensia
 Onset bertahap, deteriorasi lambat
 Tidak adanya bukti klinis atau pemeriksaan yang menyatakan kondisi mental tersebut
dapat disebabkan oleh penyakit lain seperti hipotiroidisme, defisiensi B12, dan lainnya.
 Tidak adanya serangan apoplektik mendadak atau gejala neurologis kerusakan otak
fokal seperti hemiparesis, defisit sensoris, defek lapang pandang, dan lain sebagainya.

2.3.1.2. Demensia Vaskular


Demensia vaskular didefinisikan sebagai gangguan fungsi kognitif yang disebabkan oleh
Dua kriteria patologis yang dapat digunakan untuk mendiagnosa demensia vaskular adalah: (1)
infark luas, multipel dan/atau infark strategis di cerebrum, (2) terdapat 3 atau lebih infark
mikroskopik pada korteks cerebri. Hal tersebut dapat terjadi pada pasien arteriosklerosis yang
menyebabkan iskemia, atau trauma vaskular lainnya yang juga dapat menyebabkan infark.
Patogenesis lainnya meliputi aktivasi imun, disfungsi blood-brain-barrier, dan gangguan
metabolisme sel.

PPDGJ mengatakan bahwa dalam mendiagnosis tipe ini diharuskan memiliki :


 Adanya gejala demensia
 Onset mendadak, deteriorasi bertahap, dapat disertai defisit neurologis fokal
 Gangguan kognitif biasanya tidak merata, dan tilikan serta penilaian relatif masih baik

2.3.1.3. Demensia Pada Penyakit Lain


Demensia dapat ditemukan pada beberapa penyakit lain seperti penyakit Pick, Huntington dan
Creutzfeldt-Jakob.
2.3.1.4. Demensia Yang Tidak Ditentukan
PPDGJ mengatakan bahwa dalam mendiagnosis tipe ini diharuskan memiliki :
 Adanya kriteria umum untuk demensia
 Tidak dapat diidentifikasi pada salah satu tipe tertentu

2.3.2. Anamnesis
Pada anamnesis diperlukan beberapa hal yang perlu ditanyakan pada pasien yang dicurigai
memiliki keluhan yang menyerupai demensia. 5-6

Tabel 2. Tanda dan Gejala Demensia. 5-6


Gejala Deskripsi
Gangguan memori Sering melupakan sesuatu atau seseorang. Bersifat kronis dan
progresif.
Aphasia Kesulitan dalam menamakan objek-objek atau mencari kata.
Apraxia Kesulitan dalam melakukan suatu tindakan seperti memasak.
Gangguan fungsi eksekutif Kesulitan dalam mengerti dan memutuskan sesuatu seperti
menyerahkan uang, merencanakan sesuatu.
Gangguan visuospatial Kesulitan dalam berfungsi dalam lingkungan yang tidak familiar,
mudah merasa tersesat.
Gangguan perilaku Sering berkeliaran tanpa tujuan, berperilaku tidak wajar, gangguan
tidur, mudah lelah, mengatakan hal yang sama berulang kali.

2.3.3. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik menyeluruh perlu dilakukan pada pasien dengan kecurigaan atau gejala
demensia. Pemeriksaan fisik menyeluruh bertujuan untuk menyingkirkan penyebab reversibel
dari gejala demensia yang mungkin terjadi. Tanda dari hipotiroidisme, uremia, gangguan hepar
dan proses intrakranial dapat terlihat pada pemeriksaan fisik. 5
2.3.4. Pemeriksaan Status Mental

Tabel 3. Pemeriksaan Status Mental Demensia. 7-8


Aspek Deskripsi
Penampilan Penampilan biasanya normal. Pada tahap lanjut dapat terlihat pasien nampak
tidak dapat
Berbahasa Pasien dapat nampak kesulitan mencari kata atau menamai objek.
Mood Cenderung eutimik namun dapat bervariasi.
Pikiran Cenderung normal. Pada tahap lanjut dapat muncul gejala delusi dan
percobaan bunuh diri atau curiga.
Persepsi Halusinasi jarang terjadi pada demensia.
Fungsi Kognitif

2.3.4.1. Mini-mental state examination (MMSE)


MMSE adalah sebuah sistem penilaian yang menilai status kognitif pasien secara kuantitatif.
Penilaian ini meliputi tes untuk orientasi, atensi, memori dan bahasa. Demensia dapat
diklasifikan sebagai ringan (21-24), sedang (10-20) dan berat (<9) berdasarkan jumlah skor
yang didapatkan pada penilaian. Penggunaan MMSE secara tunggal tanpa diikuti pemeriksaan
lain tidak direkomendasikan untuk mendiagnosis demensia. MMSE lebih utama digunakan
sebagai skrining dan alat untuk monitor progresivitas penyakit secara berkala. 9-10

Gambar 1. Mini Mental State Examination (MMSE) 9-10


2.3.5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis
banding yang mungkin terjadi pada pasien. Penyakit-penyakit lain yang dapat menimbulkan
gejala gangguan kognitif dan lainnya yang menyerupai demensia dapat disingkirkan dengan
menggunakan pemeriksaan laboratorium dan radiologis yang sesuai.

2.3.5.1. CT-scan/MRI Brain


Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai jenis demensia. Pada demensia vaskular dapat
ditemukan adanya gambaran iskemia, baik infark kecil atau luas. Pada penyakit Alzheimer
dapat ditemukan adanya gambaran atrofi pada area hipokampus, dan bila sudah dalam tahapan
berat maka dapat ditemukan pembesaran ventrikel dan atrofi cerebri difus. Selain menilai
penyebab demensia sendiri, pemeriksaan ini juga dapat melihat apakah ada penyebab sekunder
lainnya yang mungkin terjadi pada pasien seperti hematoma kronis, hidrosefalus ataupun
adanya gambaran tumor.11

Gambar 2. Perbandingan pencitraan Alzheimer dengan normal.11

2.3.5.2. Full Blood Count dan Serum B-12


Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab hipotiroidism.12-13

2.3.5.3. Thyroid function test


Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab hipotiroidism.12-13

2.3.5.4. Liver function test


Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab metabolik yaitu ensefalopati
hepatikum yang dapat menjadi penyebab reversibel untuk demensia.12-13
2.3.5.5. Kadar urea, kreatinin, dan elektrolit
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab metabolik yaitu gagal ginjal kronis
dan ensefalopati uremikum.12-13

2.3.5.5. VDRL dan HIV screening


Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lainnya yaitu HIV dan sifilis tersier
yang dapat menjadi penyebab demensia.12-13

2.3.5.6. ANA dan Anti-dsDNA antibody


Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lainnya yaitu systemic lupus
erythematosus (SLE) yang dapat menjadi penyebab demensia.12-13

2.4. Diagnosis Banding


Diagnosis banding yang perlu dipikirkan pada orang dengan gejala yang menyerupai
demensia adalah sebagai berikut:

2.4.1. Proses penuaan normal


Proses penuaan secara normal dapat menunjukkan kemunduran pada aspek kognitif seseorang.
Presentasi klinis dari penurunan fungsi kognitif yang ditemukan mungkin saja menyerupai
stadium awal demensia. Gangguan memori yang progresif dan melebihi dari apa yang
seharusnya untuk usia normal dapat menjadi gambaran sugestif demensia. Adanya gejala klinis
yang menyangkut defisit kognitif yang multipel seperti gangguan berbahasa, apraxia, agnosia,
dan gangguan fungsi eksekutif jarang sekali ditemukan pada proses penuaan normal.7-9

2.4.2. Delirium
Penyakit ini merupakan diagnosis banding yang sangat penting dari demensia. Delirium atau
acute confusional syndrome adalah gangguan dari fungsi kongitif dan kesadaran yang bersifat
sekunder dari gangguan sistemik. Delirium juga sering ditemukan pada pasien lanjut usia. Pada
delirium akan ditemukan etiologi spesifik yang mendasari seperti infeksi, trauma, kegagalan
fungsi organ, obat-obatan dan toksin. Disorientasi dan halusinasi dapat ditemukan pada
delirium. Delirium memiliki ciri khas yaitu gejala bersifat akut dan dapat berfluktuasi, dan
pada beberapa pasien gejala lebih sering ditemukan memburuk pada malam hari.7-9
2.4.3. Mild Cognitive Impairment (MCI)
Pada MCI dapat ditemukan derajat gangguan kognitif berada diantara proses penuaan normal
dan demensia. MCI sendiri dapat diasumsikan sebagai stadium pre-demensia. Pasien dengan
MCI akan datang dengan keluhan penurunan fungsi memori ringan dan kecepatan memproses
informasi, dan gangguan mengingat kembali kejadian sehari-hari namun aktivitas sehari-hari
tidak terganggu. Pemeriksaan fisik dan penunjang dapat menunjukkan hasil normal. Dalam
mendiagnosis MCI, dapat digunakan pemeriksaan yang cukup sensitif yaitu Montreal
Cognitive Assessment (MoCA).7-9

Gambar 2. Montreal Cognitive Assesment (MoCA)


2.5. Tatalaksana
Tatalaksana demensia pada penyakit Alzheimer dapat dibagi menjadi dua pendekatan yaitu
dengan cara terapi medikamentosa dan terapi non-medikamentosa.

2.5.1 Terapi Medikamentosa


Terapi medikamentosa merupakan pendekatan terapi kepada pasien demensia dengan
menggunakan obat-obatan. Pilihan obat yang dapat dipergunakan adalah dengan menggunakan
agen penghambat kolinesterase dan antagonis reseptor NMDA.19-20

2.5.1.1. Penghambat Kolinesterase


Jenis yang sering digunakan adalah galantamine, donepezil dan rivastigmine maupun tacrine.
Obat jenis ini bersifat sebagai penghambat yang reversibel terhadap enzim asetilkolinesterase,
yang bertugas mendegradasi Ach pada sinaps, yang nantinya berujung pada peningkatan
ketersediaan Ach di intrasinaps. Obat-obatan ini digunakan untuk demensia derajat ringan-
sedang, kecuali Donepezil yang sudah disetujui efektif untuk Alzheimer berat. Penghambat
kolinesterase dapat membantu meningkatkan fungsi kongitif, aktivitas sehari-hari dan perilaku.

Tabel 4. Jenis dan dosis agen penghambat kolinesterase. 19-20


Agen Dosis Titrasi Dosis Efektif Dosis Maksimum
Inisial
Donepezil 5 mg 5 mg setelah 4-6 minggu 5-10 mg 23 mg
Galantamine 4 mg 4 mg (b.i.d) setiap 4 16-24 mg/hari 24 mg/hari (dibagi
(b.i.d) minggu (dibagi 2 dosis) 2 dosis)
Galantamine 8 mg 8 mg setiap 4 minggu 16-24 mg/hari 24 mg/hari
(extended release)
Rivastigmine 1,5 mg 1,5 mg (b.i.d) setiap 2 3-12 mg/hari 12 mg/hari (dibagi
(b.i.d) minggu (dibagi 2 dosis) 2 dosis)
Rivastigmine 4,6 mg 9,5 mg setelah 4 minggu 4,6-9,5 mg/hari 9,5 mg/hari
(transdermal patch)

2.5.1.2. Antagonis Reseptor NMDA


Golongan obat jenis ini memodulasi sinyal eksitatorik dan memiliki efek neuroprotektif. Jenis
yang sering digunakan adalah memantine dan dipergunakan pada demensia derajat berat.
Serupa dengan penghambat kolinesterase, obat ini berguna dalam mengurangi gejala
neuropsikiatri dan memperlambat kecepatan perburukan kognitif. 19-20
Tabel 5. Jenis dan dosis agen antagonis reseptor NMDA. 19-20
Agen Dosis Titrasi Dosis Efektif Dosis Maksimum
Inisial
Memantine 5 mg 5 mg setiap minggu 20 mg (dibagi 2 20 mg (dibagi 2
dosis) dosis)
Memantine 7 mg 7 mg setiap minggu 28 mg 28 mg
(extended release)

2.5.1.3. Kombinasi Penghambat Kolinesterase dan Antagonis Reseptor NMDA


Kombinasi antara agen penghambat kolinesterase dengan antagonis reseptor NMDA
menunjukkan hasil yang efektif dan ditolerasi dengan baik pada pasien dengan Alzheimer.
Diperlukan pertimbangan berdasarkan kondisi pasien dan derajat Alzheimer yang terjadi pada
pasien dalam menggunakan kombinasi penghambat kolinesterase dan antagonis NMDA.19-20

2.5.2. Terapi Non-Medikamentosa


Pendekatan terapi non-medikamentosa dapat diupayakan dengan cara meningkatkan kualitas
tidur pasien, mengontrol resiko, lingkungan dan perilaku serta penyakit penyerta lain yang
dapat terjadi pada pasien dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup pasien dengan maksimal.

2.5.2.1. Meningkatkan Kualitas Tidur


Masalah yang sering ditemukan pada pasien dengan demensia adalah gangguan tidur.
Peningkatan kualitas tidur dapat dicapai dengan cara membuat suasana ruangan yang lebih
tenang, mengurangi intensitas cahaya ketika ingin tidur, dan suhu yang lebih dingin. Hindari
pemberian kafein atau porsi makanan yang terlalu banyak. Minta pasien untuk sedikit demi
sedikit melakukan aktivitas fisik atau berolahraga. Hal-hal tersebut dapat meningkatkan
kualitas tidur pada pasien.14-18

2.5.2.2. Kontrol Resiko dan Lingkungan


Pasien dengan demensia memerlukan lingkungan yang suportif untuk meminimalisir resiko
yang mungkin dapat terjadi. Pasien dengan gangguan memori bisa saja mengalami kejadian
overdosis dalam mengonsumsi obat, maupun mengonsumsi obatnya. Dalam tahap lanjut,
pasien bisa saja mengalami resiko cedera dan jatuh, atau bahkan berkeliaran keluar rumah
tanpa alasan yang jelas. Oleh sebab itu diperlukan modifikasi pada rumah, seperti penambahan
susuran tangga, memperbaiki kualitas pencahayaan terutama malam hari, menjauhkan alat-alat
elektronik atau mudah terbakar yang mungkin berbahaya.14-18

2.5.2.3. Kontrol Masalah Perilaku


Gangguan perilaku seringkali ditemukan pada pasien dengan demensia. Hal ini biasanya terjadi
akibat stress yang dirasakan oleh pasien. Rasa bosan, lapar dan rasa kesepian dapat memicu
terjadinya gangguan perilaku. Hal ini dapat dicegah dengan mengikutsertakan pasien dalam
mengerjakan pekerjaan rumah sehari-hari, meningkatkan kontak dan stimulus pada pasien.
Orang yang merawat pasien harus mampu memberikan dukungan emosional kepada pasien.16
Terapi farmakologis sebaiknya dihindari dan hanya diberikan sebagai pilihan terakhir
pada pasien dengan gangguan perilaku. Bagi pasien dengan depresi dapat diberikan selective
serotonin reuptake inhibitos (SSRI). Bagi pasien dengan gangguan delusi dan halusinasi dapat
menjadi indikasi untuk pemberian antipsikotik.14-18

2.5.2.4. Kontrol Kondisi Medis Lain


Pasien dengan demensia memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mendapatkan berbagai
penyakit komorbid seperti diabetes mellitus, hipertensi, dan penyakit jantung lainnya. Pasien
demensia dapat melupakan obat yang seharusnya dikonsumsi, atau mengonsumsi makanan
yang berlebihan akibat gangguan memori yang dialaminya. Oleh sebab itu perlu dilakukan
pengecekan berkala ke dokter untuk mencegah hal tersebut dapat terjadi.14-18

2.6. Komplikasi
Penyakit Alzheimer secara umum akan menunjukkan perburukan progresif dalam memori
jangka pendek dan fungsi berbahasa. Gangguan ini akan berkelanjutan dan menyebabkan
gangguan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Kedepannya pasien dapat mengalami depresi
bila tingkat tilikan mereka tidak terganggu. Seiring dengan berjalannya waktu, pasien dapat
mengalami gejala delusi dan halusinasi, hingga pada tahap akhir dapat muncul gejala-gejala
parkinsonian dan gangguan motorik lainnya. Pasien dengan Alzheimer akan mengalami resiko
tinggi untuk terkena infeksi seperti pneumonia dan lainnya. Pada tahap akhir tatalaksana
paliatif sangat berpengaruh untuk mengurangi penderitaan yang dialami oleh pasien.14-18
BAB III

KESIMPULAN

Demensia pertama kali dipergunakan pada abad pertama sesudah Masehi, dan diperkenalkan
sebagai penjelasan dari etiologi penyakit menyerupai sekarang oleh Oribasius, seorang ahli
medis pada abad ke 4. Oribasius menggunakan istilah untuk penyakit atrofi cerebri yang
menyebabkan gangguan intelektual dan kelemahan motorik pada saat itu, dan dikembangkan
oleh banyak ahli hingga masa kini. Demensia merupakan sindrom atau kumpulan gejala yang
diakibatkan oleh penyakit atau gangguan otak yang bersifat kronis dan progresif. Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) menyebutkan bahwa demensia
termasuk dalam kategori gangguan mental organik.
Prevalensi dari demensia pada penyakit Alzheimer terbilang cukup tinggi. Pada negara
Amerika Serikat ditemukan ada sekitar 4,7 juta orang menderita demensia tipe Alzheimer dan
jumlah ini akan terus meningkat pesat seiring berjalannya waktu. Diperlukan pemeriksaan
menyeluruh untuk mendiagnosis demensia, dimulai dari anamnesis hingga pemeriksaan
penunjang. Tatalaksana pada pasien demensia pada penyakit Alzheimer terfokus untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien menjadi lebih baik dan mencegah perburukan penyakit.
Langkah tatalaksana dapat ditempuh dengan medikamentosa maupun non-medikamentosa.
Komplikasi yang mungkin terjadi pada demensia pada penyakit Alzheimer adalah depresi,
delusi, halusinasi, gejala parkisonian serta terjadinya infeksi. Diperlukan tatalaksana dan
perawatan yang menyeluruh pada pasien untuk menjaga kualitas hidup pasien tetap baik.
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Mograbi DC, Ferri CP, Sosa AL, et al. Unawareness of memory impairment in
dementia: a population-based study. Int Psychogeriatr. 2012 Jun, 24(6):931-9.
2. Amar K, Wilcock G. Fortnightly Review: Vascular dementia. BMJ. 1996 January,
312(7025):227-231.
3. Boeve BF. A review of the non-alzheimer dementias. J Clin Psychiatry. 2006
December, 67(12)1985-2001.
4. Reisberg B. Dementia: asystematic approach to identifying reversible causes.
Geriatrics. 1986 April, 41(4):30-46.
5. Rabins PV, Merchant A, Nestadt G. Criteria for diagnosing reversible dementia caused
by depression. J Psychiatry. 2014 May:488-92.
6. Webster R, Holyroyd S. Prevalence of psychotic symptoms in delirium.
Psychosomatics. 2000 December, 41(6):519-22.
7. Inouye SK. Delirium in older persons. N Engl J Med. 2006 March, 354(11):1157-1165.
8. Lamberty GJ, Bieliauskas LA. Distinguishing between depression and dementia in the
elderly: a review of neurophysiological findings. 2003, 8:149-170.
9. Petersen RC. Mild cognitive impairment. N Engl J Med. 2011 June, 364(23):2227-
2234.
10. Tombaugh TN, Mcintyre NJ. The mini mental state examination: a comprehensive
review. J Am Geriatr Soc. 2002 September, 40(9):922-935.
11. Frisoni GB, Fox NC, Jack CR JR, Scheltens P, Thompson PM. The clinical use of
structural magnetic resonance imaging in alzheimer diseas. Nat Rev Neuro. 2010
February, 6(2):67-77.
12. Ishikawa E, Yanaka K, Sugimoto K, et al. Reversible dementia in patients with chronic
subdural hematomas. J Neurosurg. 2002 April, 96(4):680-3.
13. Tripathi M, Vibha D. Reversible dementias. Indian J Psychiatry. 2009 January,
51(1):52-55.
14. Deschenes CL, Mccurry SM. Current treatments for sleep disturbances in individuals
with dementia. Curr Psychiatry Rep. 2009 Februaty, 11(1):20-26.
15. Burns R, Nichols LO, Martindale AJ, et al. Primary care interventions for dementia
caregivers: 2-year outcomes from the REACH study. Gerontologist. 2003 August,
43(4):547-55.
16. Doody RS, Stevens JC, Beck C, et al. Practice parameter: management of dementia (an
evidence-based review). American Academy of Neurology. 2001 May, 56(9):1154-66.
17. Qaseem A, et al. Current pharmacologic treatment of dementia: a clinical practice
guideline from the american college of physicians and the american academy of family
physicians. Ann Intern Med. 2008, 148:370-378.
18. Raina P, Santaguida P, Ismaila A, et al. Effectiveness of cholinesterase inhibitors and
memantine for treating dementia: evidence review for a clinical practice guideline. Ann
Intern Med. 2008 March, 148(5): 379-97.
19. Birks J. Cholinesterase inhibitors for alzheimer disease. Cochrane Database Syst Rev.
2006 September.
20. Mcshane R, Areosa SA, Minakaran N, et al. Memantine for dementia. Cochrane
Database Syst Rev. 2006 April.

Anda mungkin juga menyukai