Anda di halaman 1dari 59

REFERAT STASE RADIOLOGI

GAMBARAN RADIOLOGI PADA DEMENSIA

Disusun oleh:
Andini Larasati
00000000826
Pembimbing:
dr. Ratna Sutanto, Sp.Rad (K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI


SILOAM HOSPITALS LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE 2 OKTOBER 2017- 21 OKTOBER 2017
TANGERANG

1
DAFTAR ISI

BAB 1: PENDAHULUAN…………………………………………………...………3
BAB 2: TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………...……..5
2.1 DEFINISI……………………………………………………………...….5
2.2 EPIDEMIOLOGI…………………………………………………...……5
2.3 ETIOLOGI…………………………………………………………...…..6
2.4 FAKTOR RESIKO DEMENSIA………………………………………..7
2.4.1 FAKTOR RESIKO YANG TIDAK BISA DIUBAH……..….7
2.4.1.1 USIA…………………………………………………..………..…….7
2.4.1.2 JENIS KELAMIN………………………………………..…………7
2.4.1.3 RIWAYAT KELUARGA DAN FAKTOR GENETIK…..……….8
2.4.2 FAKTOR RESIKO YANG BISA DIUBAH……..…………..8
2.4.2.1 FAKTOR RESIKO KARDIOVASKULAR………...……………..8
2.5 SUBTIPE DEMENSIA……………………………………..……………9
2.5.1 PENYAKIT ALZHEIMER……………………….………….. 9
2.5.2 DEMENSIA VASKULAR……………………….………….....9
2.5.3 DEMENSIA LEWY BODY & DEMENSIA PENYAKIT
PARKINSON…………………………………………...………..….10
2.5.4 DEMENSIA FRONTOTEMPORAL …………..………...…10
2.5.5 DEMENSIA TIPE CAMPURAN……………...…………..…11
2.6 KRITERIA DERAJAT DEMENSIA………………………...……..….11
2.7 PROGRESSIVE SUPRANUCLEAR PALSY…………………...………12
2.8 NEUROPATOLOGI PSP…………………………………………..…..13
2.9 GAMBARAN RADIOLOGIS PROGRESSIVE SUPRANUCLEAR
PALSY……………………………………………………………….……….15
2.10 PENGGUNAAN GAMBARAN RADIOLOGIS PADA KASUS DEMENSIA
2.10.1 PROTOKOL MRI………………………………………...…………17
2.10.2 PROTOKOL CT…………………………………………………..…23
2.10.3 PENILAIAN MRI PADA DEMENSIA………………...…………..24
2.10.4 TANDA SPESIFIK PADA SUBTIPE DEMENSIA……...………..24
2.10.5 MRI PADA PENYAKIT ALZHEIMERS (AD)……………...…….26
2.10.6 MRI PADA PRESENILE AD……………………………….………26
2.10.7 MRI PADA DEMENSIA VASKULAR……………………….……27

2
2.10.8 MRI PADA FRONTOTEMPORAL LOBAR DEGENERATION 29
2.10.9 MRI PADA DEMENTIA LEWY BODY……………………….…..30
2.10.10 MRI PADA MULTISYSTEM ATROPHY…………………...…..31
2.10.11 MRI PADA CORTICOBASAL DEGENERATION……..………33
2.10.12 MRI PADA PARKINSON DISEASE……………………...…..….34
2.11 SPECT PADA DEMENSIA……………………………………………...……35
2.11.1 SPECT PADA ALZHEIMER DISEASE…………………...………36
2.11.2 SPECT PADA DEMENSIA VASKULAR…………………….....…37
2.11.3 SPCT PADA FTLD……………………………………………..……38
2.11.4 SPECT PADA DEMENSIA LEWY BODY…………………….….38
2.11.5 SPECT PADA PARKINSONIAN SYNDROME………………..…39
2 .12PERJALANAN PENYAKIT DAN PROGNOSIS DEMENSIA…………….41
2.13 PENATALAKSANAAN…………………………………………………….…42
2.14 MR SPECTROSCOPY………………………………………………..46
2.15 VALUE MR PERFUSION IN DEMENTIA…………………………51
BAB 3: KESIMPULAN…………………………………………………………..…53
BAB 4: DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….…54

3

BAB 1 PENDAHULUAN

WHO memberikan definisi pada demensia adalah sindrom neurodegeneratif


yang timbul karena adanya kelainan yang bersifat kronis dan progesif disertai dengan
gangguan fungsi luhur multipel seperti kalkulasi, kapasitas belajar, bahasa, dan
mengambil keputusan. Untuk kesadaran, pada demensia tidak terganggu. Gangguan
fungsi kognitif biasanya disertai dengan perburukan kontrol emosi, perilaku, dan
motivasi.1
Pertama kali penggunaan kata demensia digunakan seorang enclyopedist yang
bernama Celcus di dalam publikasinya De re medicine sekitar AD 30 yang
mengartikan demens sebagai istilah gila. Seabad kemudian seorang tabib dari
Cappodocian yang bernama Areteus menggunakan istilah senile dementia pada
seorang pasien tua yang berkelakuan seperti anak kecil. Pada awal abad ke 19,
seorang psikiater Prancis yang bernama Pinel menghubungkan terminologi demensia
dengan perubahan mental yang progresif pada pasien yang mirip idiot. Hingga abad
ke 19 istilah demensia dianggap sebagai masa terminal dari penyakit kejiwaan yang
membawa kematian. Pada awal abad ke 20, yaitu tahun 1907, Alzheimer
mempublikasikan suatu kasus yang berjudul “A Unique Illnes involving cerebral
cortex” pada pasien wanita umur 55 tahun, kemudian kasus itu dinamakan sebagai
penyakit Alzheimer. Alzheimer lah yang pertama kali menemukan dan menamakan
neurofibrillary tangles (NT) dimana NT bersamaan dengan senile plaque (SP)
dianggap sebagai penanda diagnostik Alzheimer Disease. 2
Pada umumnya 40% penderita demensia berada di atas 65 tahun dengan angka
insidens 187/100.000/tahunnya. Untuk demensia tidak ada perbedaan antara pria dan
wanita. Insiden demensia Alzheimer sangatlah berkaitan dengan umur, 5% dari
populasi berusia di atas 65 tahun di Amerika dan Eropa dan ini sesuai dengan makin
banyak populasi orang tua di Amerika Serikat dan Eropa, makin tua populasinya
makin banyak kasus AD, dimana pada populasi umur 80 tahun didapati 50%
penderita AD.2
Penyebab demensia paling sering lainnya, masing-masing mencerminkan 1
hingga 5 persen kasus adalah trauma kepala, demensia yang berhubungan dengan

4
alkohol, dan berbagai jenis demensia yang berhubungan dengan gangguan
pergerakan, misalnya penyakit Huntington dan penyakit Parkinson. 3

Secara umum gejala demensia dapat dibagi atas dua kelompok yaitu gangguan
kognisi dan gangguan non-kognisi. Keluhan kognisi terdiri dari gangguan memori
terutama kemampuan belajar materi baru yang sering merupakan keluhan paling dini.
Memori lama bisa terganggu pada demensia tahap lanjut. Pasien biasanya mengalami
disorientasi di sekitar rumah atau lingkungan yang relatif baru. Kemampuan membuat
keputusan dan pengertian diri tentang penyakit juga sering ditemukan. Keluhan non-
kognisi meliputi keluhan neuropsikiatri atau kelompok behavioral
neuropsychological symptoms of dementia (BPSD). Komponen perilaku meliputi
agitasi, tindakan agresif dan nonagresif seperti wandering, disihibisi, sundowning
syndrome dan gejala lainnya. Keluhan tersering adalah depresi, gangguan tidur dan
gejala psikosa seperti delusi dan halusinasi. Gangguan motorik berupa kesulitan
berjalan, bicara cadel dan gangguan gerak lainnya dapat ditemukan disamping
keluhan kejang mioklonus. 4
Prognosis dementia tergantung dari penyakit yang mendasarinya. Harapan
hidup dari awitan gejala hingga kematian berkisar dari 3 hingga 20 tahun, dengan
rata-rata 8 tahun, tergantung cepat atau lambatnya demensia tersebut terdeteksi dan
ditangani.

5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Demensia ialah kondisi keruntuhan kemampuan intelek yang progresif setelah
mencapai pertumbuhan & perkembangan tertinggi (umur 15 tahun) karena gangguan
otak organik, diikuti keruntuhan perilaku dan kepribadian, dimanifestasikan dalam
bentuk gangguan fungsi kognitif seperti memori, orientasi, rasa hati dan pembentukan
pikiran konseptual. Biasanya kondisi ini tidak reversibel, sebaliknya progresif3
Demensia merupakan kerusakan progresif fungsi-fungsi kognitif tanpa
disertai gangguan kesadaran.5
Demensia adalah Sindrom penyakit akibat kelainan otak bersifat kronik /
progresif serta terdapat gangguan fungsi luhur (Kortikal yang multiple) yaitu ; daya
ingat , daya fikir , daya orientasi , daya pemahaman , berhitung , kemampuan belajar,
berbahasa , kemampuan menilai. Kesadaran tidak berkabut , Biasanya disertai
hendaya fungsi kognitif , dan ada kalanya diawali oleh kemerosotan (deterioration)
dalam pengendalian emosi, perilaku sosial atau motivasi sindrom ini terjadi pada
penyakit Alzheimer, pada penyakit kardiovaskular, dan pada kondisi lain yang secara
primer atau sekunder mengenai otak6
2.2 EPIDEMIOLOGI
Konsensus Delphi mempublikasikan bahwa terdapat peningkatan prevelansi
demensia sebanyak 10% dibandingkan dengan publikasi sebelumnya.7 Diperkirakan
terdapat 35,6 juta orang dengan demensia pada tahun 2010 dengan peningkatan dua
kali lipat setiap 20 tahun, menjadi 65,7 juta di tahun 2030 dan 115,4 juta di tahun
2050. Di Asia Tenggara jumlah orang dengan demensia diperkirakan meningkat dari
2,48 juta di tahun 2010 menjadi 5,3 juta pada tahun 2030.
Data dari BAPPENAS 2013, angka harapan hidup di Indonesia (lakilaki dan
perempuan) naik dari 70,1 tahun pada periode 2010-2015 menjadi 72,2 tahun pada
periode 2030-2035. Hasil proyeksi juga menunjukkan bahwa jumlah penduduk
Indonesia selama 25 tahun ke depan akan mengalami peningkatan dari 238,5 juta
pada tahun 2010 menjadi 305,8 juta pada tahun 2035. Jumlah penduduk berusia 65
tahun ke atas akan meningkat dari 5,0 % menjadi 10,8 % pada tahun 2035. 8

6
Belum ada data penelitian nasional mengenai prevalensi demensia di
Indonesia. Namun demikian Indonesia dengan populasi lansia yang semakin
meningkat, akan ditemukan kasus demensia yang banyak. Demensia Vaskuler (DV)
diperkirakan cukup tinggi di negeri ini, data dari Indonesia Stroke Registry 2013
dilaporkan bahwa 60,59 % pasien stroke mengalami gangguan kognisi saat pulang
perawat dari rumah sakit. Tingginya prevalensi stroke usia muda dan faktor risiko
stroke seperti hipertensi, diabetes, penyakit kardiovaskuler mendukung asumsi di
atas.9
2.3 ETIOLOGI
Penyebab demensia yang paling sering pada individu yang berusia diatas 65
tahun adalah (1) penyakit Alzheimer, (2) demensia vaskuler, dan (3) campuran antara
keduanya. Penyebab lain yang mencapai kira-kira 10 persen diantaranya adalah
demensia jisim Lewy (Lewy body dementia), penyakit Pick, demensia frontotemporal,
hidrosefalus tekanan normal, demensia alkoholik, demensia infeksiosa (misalnya
human immunodeficiency virus (HIV) atau sifilis) dan penyakit Parkinson. Banyak
jenis demensia yang melalui evaluasi dan penatalaksanaan klinis berhubungan dengan
penyebab yang reversibel seperti kelaianan metabolik (misalnya hipotiroidisme),
defisiensi nutrisi (misalnya defisiensi vitamin B12 atau defisiensi asam folat), atau
sindrom demensia akibat depresi. Pada tabel berikut ini dapat dilihat kemungkinan
penyebab demensia: 5
TABEL 1 KEMUNGKINAN PENYEBAB DEMENSIA

7
PERBANDINGAN PERSEN DARI ETIOLOGI DEMENSIA

2.4 FAKTOR RESIKO DEMENSIA


2.4.1 FAKTOR YANG TIDAK BISA DIUBAH
2.4.1.1 USIA
Risiko terjadinya PA meningkat secara nyata dengan meningkatnya usia,
meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun pada individu diatas 65 tahun dan 50%
individu diatas 85 tahun mengalami demensia.10,11 Dalam studi populasi, usia diatas
65 tahun risiko untuk semua demensia adalah OR=1,1 dan untuk PA OR=1,2.12
2.4.1.2 JENIS KELAMIN

8
Beberapa studi prevalensi menunjukkan bahwa PA lebih tinggi pada wanita
dibanding pria.13Angka harapan hidup yang lebih tinggi dan tingginya prevalensi PA
pada wanita yang tua dan sangat tua dibanding pria.14 Risiko untuk semua jenis
demensia dan PA untuk wanita adalah OR=1,7 dan OR=2.0. Kejadian DV lebih tinggi
pada pria secara umum walaupun menjadi seimbang pada wanita yang lebih tua.
2.4.1.3 RIWAYAT KELUARGA DAN FAKTOR GENETIK
Penyakit Alzheimer Awitan Dini (Early onset Alzheimer Disease/EOAD)
terjadi sebelum usia 60 tahun, kelompok ini menyumbang 6-7% dari kasus PA.
Sekitar 13% dari EOAD ini memperlihatkan transmisi otosomal dominan. Tiga
mutasi gen yang teridentifkasi untuk kelompok ini adalah amiloid ß protein precursor
(AßPP) pada kromosom 21 ditemukan pada 10-15% kasus, presenelin 1 (PS1) pada
kromosom 14 ditemukan pada 30-70% kasus dan presenilin 2 (PS) pada kromosom 1
ditemukan kurang dari 5% kasus. Sampai saat ini tidak ada mutasi genetik tunggal
yang teridentifikasi untuk PA Awitan Lambat. Diduga faktor genetik dan lingkungan
saling berpengaruh. Di antara semua faktor genetik, gen Apolipoprotein E yang paling
banyak diteliti. Telaah sistematik studi populasi menerangkan bahwa APOE e4
signifikan meningkatkan risiko demensia PA teruma pada wanita dan populasi antara
55-65 tahun, pengaruh ini berkurang pada usia yang lebih tua. Sampai saat ini tidak
ada studi yang menyebutkan perlunya tes genetik untuk pasien demensia atau
4,9,14
keluarganya. Apabila dicurigai autosomal dominan, maka tes dapat dilakukan
hanya setelah dengan informed consent yang jelas atau untuk keperluan penelitian.
Rekomendasi : Tes genetik tidak perlu dilakukan rutin dalam evaluasi secara klinik
pasien dementia. Pemeriksaan gen APOE tidak direkomendasikan dalam diagnosis
demensia.
2.4.2 FAKTOR YANG BISA DIUBAH
2.4.2.1 FAKTOR RISIKO KARDIOVASKULER
Berbagi studi kohort dan tinjauan sistematis menunjukkan bahwa faktor resiko
vaskular berkontribusi terhadap meningkatnya resiko DV dan PA. Secara khusus,
hipertensi usia pertengahan (R.R 1,24- 2,8), hiperkolesterolemia pada usia
pertengahan (R.R 1,4-3.1), diabetes melitus (R.R 1.39-1.47) dan stroke semuanya
telah terbukti berhubungan dengan peningkatan resiko kejadian dementia.
A. HIPERTENSI

9
Pasien dengan hipertensi yang disertai dengan penurunan kognisi, maka perlu
dilakukan pemeriksaan CT scan/MRI otak untuk mendeteksi adanya silent infarct,
microbleed atau white matter lesion.
B. ASAM FOLAT DAN VITAMIN B
Suplemen asam Folat dan vitamin B tidak direkomendasikan untuk pencegahan
dalam pengobatan pasien dengan demensia yang bukan disebabkan karena
defisiensi vit B12.
C. STATIN
Terapi statin tidak direkomendasikan untuk prevensi atau rutin diberikan pada PA.
2.5 SUBTIPE DEMENSIA
2.5.1 PENYAKIT ALZHEIMER
Penyakit Alzheimer (PA) masih merupakan penyakit neurodegeneratif yang
tersering ditemukan (60-80%).4 Karateristik klinik berupa berupa penurunan progresif
memori episodik dan fungsi kortikal lain. Gangguan motorik tidak ditemukan kecuali
pada tahap akhir penyakit. Gangguan perilaku dan ketergantungan dalam aktivitas
hidup keseharian menyusul gangguan memori episodik mendukung diagnosis
penyakit ini. Penyakit ini mengenai terutama lansia (>65 tahun) walaupun dapat
ditemukan pada usia yang lebih muda. Diagnosis klinis dapat dibuat dengan akurat
pada sebagian besar kasus (90%) walaupun diagnosis pasti tetap membutuhkan biopsi
otak yang menunjukkan adanya plak neuritik (deposit β- amiloid 40 dan β-amiloid42)
serta neurofibrilary tangle (hypertphosphorylated protein tau). Saat ini terdapat
kecenderungan melibatkan pemeriksaan biomarka neuroimaging (MRI struktural dan
fungsional) dan cairan otak (β-amiloid dan protein tau) untuk menambah akurasi
diagnosis.
2.5.2 DEMENSIA VASKULER
Vascular cognitive impairment (VCI) merupakan terminologi yang memuat
defisit kognisi yang luas mulai dari gangguan kognisi ringan sampai demensia yang
dihubungkan dengan faktor risiko vaskuler14. Penuntun praktik klinik ini hanya fokus
pada demensia vaskuler (DV). DV adalah penyakit heterogen dengan patologi
vaskuler yang luas termasuk infark tunggal strategi, demensia multi-infark, lesi
kortikal iskemik, stroke perdarahan, gangguan hipoperfusi, gangguan hipoksik dan
demensia tipe campuran (PA dan stroke / lesi vaskuler).15 Faktor risiko mayor
kardiovaskuler berhubungan dengan kejadian ateroskerosis dan DV. Faktor risiko

10
vaskuler ini juga memacu terjadinya stroke akut yang merupakan faktor risiko untuk
terjadinya DV16. CADASIL (cerebral autosomal dominant arteriopathy with
subcortical infarcts and leucoensefalopathy) adalah bentuk small vessel disease usia
dini dengan lesi iskemik luas white matter dan stroke lakuner yang bersifat
herediter.15
2.5.3. DEMENSIA LEWY BODY DAN DEMENSIA PENYAKIT PARKINSON
Demensia Lewy Body (DLB) adalah jenis demensia yang sering ditemukan.
Sekitar 15-25% dari kasus otopsi demensia menemui kriteria demensia ini.17,18 Gejala
inti demensia ini berupa demensia dengan fluktuasi kognisi, halusinasi visual yang
nyata (vivid) dan terjadi pada awal perjalanan penyakit orang dengan Parkinsonism.
Gejala yang mendukung diagnosis berupa kejadian jatuh berulang dan sinkope,
sensitif terhadap neuroleptik, delusi dan atau halusinasi modalitas lain yang
sistematik. Juga terdapat tumpang tindih temuan patologi antara DLB dan PA.19
Namun secara klinis orang dengan DLB cenderung mengalami gangguan fungsi
eksekutif dan visuospasial sedangkan performa memori verbalnya relatif baik jika
dibanding dengan PA yang terutama mengenai memori verbal. Demensia Penyakit
Parkinson (DPP) adalah bentuk demensia yang juga sering ditemukan. Prevalensi
DPP 23-32%, enam kali lipat dibanding populasi umum (3-4%). Secara klinis, sulit
membedakan antara DLB dan DPP. Pada DLB, awitan demensia dan Parkinsonism
harus terjadi dalam satu tahun sedangkan pada DPP gangguan fungsi motorik terjadi
bertahun-tahun sebelum demensia (10-15 tahun).16
2.5.4 DEMENSIA FRONTOTEMPORAL
Demensia Frontotemporal (DFT) adalah jenis tersering dari Demensia Lobus
Frontotemporal (DLFT). Terjadi pada usia muda (early onset dementia/EOD)
sebelum umur 65 tahun dengan rerata usia adalah 52,8 - 56 tahun. Karakteristik klinis
berupa perburukan progresif perilaku dan atau kognisi pada observasi atau riwayat
penyakit. Gejala yang menyokong yaitu pada tahap dini (3 tahun pertama) terjadi
perilaku disinhibisi, apati atau inersia, kehilangan 5 simpati/empati, perseverasi,
steriotipi atau perlaku kompulsif/ritual, hiperoralitas/perubahan diet dan gangguan
fungsi eksekutif tanpa gangguan memori dan visuospasial pada pemeriksaan
neuropsikologi.20 Pada pemeriksaan CT/MRI ditemukan atrofi lobus frontal dan atau
anterior temporal dan hipoperfusi frontal atau hipometabolism pada SPECT atau PET.
Dua jenis DLFT lain yaitu Demensia Semantik (DS) dan Primary Non-Fluent Aphasia
(PNFA), dimana gambaran disfungsi bahasa adalah dominan disertai gangguan

11
perilaku lainnya. Kejadian DFT dan Demensia Semantik (DS) masing-masing adalah
40% dan kejadian PNFA sebanyak 20% dari total DLFT. 20

2.5.5 DEMENSIA TIPE CAMPURAN


Koeksistensi patologi vaskuler pada PA sering terjadi. Dilaporkan sekitar 24-
28% orang dengan PA dari klinik demensia yang diotopsi.21 Pada umumnya pasien
demensia tipe campuran ini lebih tua dengan penyakit komorbid yang lebih sering.
Patologi Penyakit Parkinson ditemukan pada 20% orang dengan PA dan 50% orang
dengan DLB memiliki patologi PA. 22,23
TABEL 2 DIAGNOSIS BANDING

2.6 KRITERIA DERAJAT DEMENSIA


A. Ringan : Walaupun terdapat gangguan berat daya kerja dan aktivitas sosial,
kapasitas untuk hidup mandiri tetap dengan higiene personal cukup dan
penilaian umum yang baik.

12
B. Sedang : Hidup mandiri berbahaya diperlukan berbagai tingkat suportivitas.
C. Berat : Aktivitas kehidupan sehari-hari terganggu sehingga tidak
berkesinambungan, inkoheren.
2.7 PROGRESSIVE SUPRANUCLEAR PALSY
Disebut juga sebagai Steele-Richardson-Olszewski syndrome
merupakan suatu penyakit neurodegeneratif yang menyerang orang pada
pertengahan usia serta usia lanjut.24 Penyebab dari PSP tersebut belum
diketahui secara pasti. Infeksi virus atau paparan toksin dianggap sebagai
penyebab dari penyakit ini, tetapi hal tersebut juga belum dapat dipastikan
secara ilmiah. Insidensi penyakit ini sekitar 5.3 kasus baru dari 100.000
populasi orang dalam setiap tahunnya dimana jumlah insidensi akan
meningkat secara drastis dengan bertambahnya usia (usia diatas 50 tahun)25.
Laki-laki lebih banyak terkena dibandingkan perempuan.26 Onset dari PSP
tersebut terjadi secara tiba-tiba dan tidak dapat diprediksi.27 Postural
instability, supranuclear vertical gaze palsy, kekakuan disertai posisi leher
yang abnormal (retrocollis), gejala lobus frontalis, serta demensia. Gejala
piramidal dan cerebellar sign tidak pasti selalu terjadi. Postural instabillity
dan jatuh merupakan gejala yang paling sering terjadi dan pasien juga dapat
mengalami kelambatan dan ketidakstabilan dalam berjalan. Bradikinesia
biasanya terjadi secara simetris, serta rigiditas terrjadi secara aksial dan kedua
gejala tersebut tidak berespon dengan terapi levodopa. Disartria dan disfagia
dapat terjadi karena pseudobulbar palsy dapat terjadi pada gejala awal. Begitu
pula dengan gejala lobus frontalis. Diplopia, pandangan kabur, burning eyes
dan sensitifitas terhadap cahaya dapat pula terjadi.28 Sakadik yang melambat
serta sakadik hipometrik dapat terjadi karena limitasi supranuclear vertical
gaze palsy.29,30 Limitasi terhadap upward gaze lebih sering terjadi
dibandingkan downward gaze pada penyakit neurodegenerasi. Disfungsi dari
pergerakan kelopak mata merupakan karakteristik dari PSP termasuk kedipan
mata yang berkurang, kerusakan motilitas kelopak mata, dan bahkan
blepharospasm. Perlambatan pembukaan atau penutupan kelopak mata.31
Kelainan pada motorik biasanya terkait di aksial dibandingkan otot anggota
gerak. Pada otot aksial, otot leher lebih dapat terkena dibandingkan dengan
otot tubuh. 32 Gangguan pada pemikiran, kesulitan untuk membat rencana dan

13
penyelesaian masalah, gangguan perilaku termasuk apatis, depresi, dan
ansietas merupakan gejala gangguan dari lobus frontalis. 33

2.8 NEUROPATOLOGI PROGRESSIVE SUPRANUCLEAR PALSY


Prinsip abnormalitas makroskopik adalah ditemukannya beberapa
deplesi yang parah dari pigmen di substansia nigra, dimana mengalami
perubahan warna menjadi orange dan menciut. Pigmen tersebut juga direduksi
di locus coeruleus. Pada mikroskop cahaya, substansia nigra, subthalamus dan
pallidum juga mengalami degenerasi. Neurofibrillary tangles juga terjadi
secara menyeluruh termasuk di hippocampus, parahippocampus, caudate,
putamen, pallidum, regio subinsular, colliculi, periaqueductal grey, red
nucleus, nucleus basis pontis, inferior olive dan dentate.34 National Institute of
Neurological Disorders and Stroke(NINDS) memberikan kriteria untuk PSP
yaitu terdapat densitas yang tinggi terhadap neurofibrillary tangles dan
neuropil di minimal tiga tempat yaitu: pallidum, subthalamic nucleus,
substansia nigra atau pons dan densitas yang rendah samapi tinggi di minimal
tinga tempat tersebut yaitu: striatum, kompleks okulomotor, medulla atau
dentate nucleus. Deposit amiloid dan plak neuritik biasanya tidak ada.35
Neurotransmitter utama yang terpengaruh pada PSP adalah jalur
dopaminergic nigostriatal, GABAergic cholinoceptive striatal neurones dan
cholinergic brainstem dan basal forebrain nuclei.

14
Gambar 1.
Pada hindbrain tampak atrofi generalisata, dengan pucat pada substansia nigra
dan locus coeruleus, serta atrofi pada superior bellar peduncles. Gambaran
makroskopik lain yang lebih jarang terjadi adalah atrofi pada globus pallidus
dan frontotemporal.

Gambar 2.
Terdapat atrofi pada subthalamic nucleus. Spesimen pada panel A
menunjukan gambaran normal dengan bentuk bulat, lens shaped subthalamic
nucleus. Spesimen B dan C menunjukan kasus PSP yang berbeda. Pada

15
spesimen B terdapat atrofi yang moderate disertai pendataran. Pada spesimen
C terdapat atrofi yang hampir lengkap.

Gambar 3.
Terdapat akumulasi sel neuron dan glial. Pada akumulasi sel neuron, sering
dikaitkan dengan pembentukan neurofibrillary tangles(kiri) yang positif
dengan tau immunostaining(kanan),
2.9 GAMBARAN RADIOLOGIS PROGRESSIVE SUPRANUCLEAR PALSY
• Atrofi midbrain
Rasio area midbrain ke pons mengalami penurunan pada potongan sagittal
kira-kira 0.12(normalnya:~0.24. Ini merupakan gambaran yang paling
akurat untuk membedakan dengan MSA-P(menunjukan atrofi pontine dan
midbrain)36

16
Gambar 4.
• Gambaran Mickey Mouse: pengurangan dari potongan anteroposterior
diameter midbrain, pada level superior collliculi pada gambaran axial(dari
fossa interpeduncular ke intercollicular groove: <12mm37,38

Gambar 5.

17
• Gambaran Morning Glory: hilangnya margin dari lateral convex
tegmentum midbrain.

Gambar 6.
• Tanda hummingbird disebut juga tanda penguin: Pendataran pada outline
concave ke aspek superior dari midbrain yang seharusnya upwardly
convex. Merupakan atrofi dari tegmentum midbrain dan pons yang normal.

18
Gambar 7.
• T2: terdapat difusi lesi high signal di:
o Pontine tegmentum
o Tectum dari midbrain
o Inferior olivary nucleus.
2.10 PENGGUNAAN GAMBARAN RADIOLOGIS PADA KASUS DEMENSIA
2.10.1 Protokol MRI45
• Coronal Oblique T1
Digunakan untuk menilai lobus temporal medial dan atrofi di hipokampus.
Tambahan rekonstruksi struktur gambaran sagittal akan mempermudah dalam
menilai atrofi lobus parietal yang mungkin terdapat pada penyakit neurodegenrasi.
• Gambaran FLAIR

19
Digunakan untuk menilai global cortical atrophy (GCA), vascular hiperintensitas
pada white matter dan infark.
• T2- Weighted Images
Digunakan untuk menilai infark khususnya infark pada lacunar di thalamus dan basal
ganglia, yang bisa tidak terdeteksi di gambaran FLAIR.
• T2*-Weighted Images
Digunakan untuk mendeteksi perdarahan mikro di amyloid angiopathy. Gambaran
ini juga bias menilai kalsifikasi dan deposisi besi.
• DWI
Seharusnya dipertimbangkan sebagai sekuens tambahan pada pasien muda atau pada
penyakit neurodegenerasi yang cepat(vaskulitis, CJD)
Ketika kita mempelajari gambaran MRI, kita harus menghitung secara sistematik
penilaian dalam atrofi global, atrofi fokal dan ada atau tidak adanya penyakit
vascular(contohL infark, lesi di white matter dan lesi di lacuna)
Penilaiain standar yang dipakai untuk penemuan MRI pada pasien yang mempunyai
penyakit kognitif termasuk:
o GCA-scale untuk atrofil kortikal global.
o MTA-scale untuk atrofi lobus temporal medial.
o Koedam score untuk atrofi parietal.
o Fazekas scale untuk lesi white matter.
o Mencari apakah adanya infark atau tidak.
GCA Scale untuk Atrofi kortikal global
Merupakan skor untuk atrofi kortikal pada serebrum secara komplit.
0: Tidak ada atrofi kortikal.
1: Ada atrofi ringan: biasanya pada bagian depan sulkus.
2: Ada atrofi sedang: adanya volume yang hilang dari girus.
3: Atrofi berat(end stage): adanya gambaran “knife blade”
Atrofi kortikal paling baik dinilai pada gambaran FLAIR. Pada beberapa
penyakit neurodegenerative, atrofi ini dapat terjadi secara asimetris dan terjadi pada
region yang spesifik.
MTA Scale untuk Atrofi Lobus Temporal Medial
Skor MTA seharusnya dapat dinilai pada potongan T1 koronal pada posisi slice
yang konsisten. Pilih slice pada korpus hipokampus pada level di pons anterior.

20
Skor 0: tidak ada atrofi.
Skor 1: hanya ada pelebaran fisura koroid.
Skor 2: Terdapat juga pelebaran temporal horn dari ventrikel lateralis.
Skor 3: Adanya kehilangan yang cukup moderat dari volume hipokampus(penurunan
dari tinggi)
Skor 4: Adanya cukup banyak volume yang loss dari hipokampus.
<75 tahun: skor 2 atau lebih adalah abnormal.
>75 tahun: skor 3 atau lebih adalah abnormal.
Skor MTA yang tinggi merupakan penilaian diagnosis yang sensitive untuk penyakit
Alzheimer.

Gambar 8.

Gambar 9.

21
Fazekas scale untuk lesi White Matter
Pada MRI, adanya hiperintensitas white matter dan lacuna merupakan temuan
yang sering terlihat pada pasien usia tua. Fazekas scale membantu untuk melihat
adaya WMH(white matter hiperintesities) pada seluruh otak. Penilaian paling baik
dilakukan pada FLAIR yang trasverse atau T2 weight.
Skor Fazekas 0: Tidak ada lesi WMH.
Skor Fazekas 1: Terdapat lesi multiple punctate.
Skor Fazekas 2: Permulaan adanya konfluensi dari lesi(bridging)
Fazekas 1 dapat dipertimbangkan normal pada orangtua. Fazekas 2 dan 3 merupakan
suatu yang patologis tetapi individu dapat terlihat normal.

Gambar 10.
Koedam Score untuk Atrofi Parietal
Selain atrofi temporal medial, atrofi parietal juga dapat digunakan
sebagai prediktor untuk mendiagnosis AD. Atrofi dari precuneus merupakan
karakteristik dari AD. Biasanya digunakan untuk kasus dimana pada pasien

22
muda dengan AD(Presenile AD), dimana MTA scores nya normal. Koedam
scale dapat menilai atrofi lobus parietal yang dinilai dari potongan sagittal,
kornal dan axial. Pada potongan ini, adanya pelebaran pada singulata posterior
dan sulkus parieto oksiptal.

Gambar 11

Gambar 12
Grade 0-1 Koedam Scale

23
Gambar 13
Grade 2-3 Koedam Scale, tampak adanya pelebaran yang ekstrim pada singulata
posterior dan sulkus parieto oksiptal.(tanda panah)
Normal Aging
Terkadang dapat membingungkan apabila melihat gambaran MRI apakah pasien
tersebut terkena demensia atau memang normal aging yang biasa. Pada normal
aging, terdapat beberapa stage atrofi. Terdapat beberapa atrofi pada lobus temporalis
medial. Skor MTA 2 pada individu diatas 75 tahun adalah normal. Terdapat pula,
adanya peningkatan deposit dari iron pada area yang spesifik di otak: biasanya di
basal ganglia, nucleus ruber dan pars reticularis dari substansia nigra. Dapat pula
terbentuk rim dari intesitas yang tinggi pada T2W dan FLAIR sekeliling ventrikel
yang disebut caps and bands. Terdapat WMH yaitu Fazekas grade 1 pada normal
aging.

Gambar 14.
Gambaran caps dan bands

24
2.10.2 Protokol CT45
CT dapat berguna ketika penggunaan MRI adalah kontraindikasi atau ketika alas an
yang ada dalam penggunaan pencitraan adalah untuk menentukan kasus-kasus yang
dapat disembuhkan dengan operasi karena penurunan fungsi kognitif. Pada gambaran
transverse, gambaran harus parallel dengan long axis dari lobus temporalis. Dengan
menggunakan multi detector CT, dapat memberikan gambaran koronal yang di reformat
yang akan direkonstruksikan secara perpendicular ke long axis dari lobus temporalis
untuk mengoptimalkan visualisasi hipokampus.

Gambar 15.
Angle CT scan negative untuk mengoptimalkan visualisasi dari hipokampus di
gambaran transverse.

Gambar 16.
Spiral CT dari otak dengan rekonstruksi koronal

25
2.10.3 Penilaian MRI pada Demensia

Gambar 17.

Gambar 18.
2.10.4 Tanda Spesifik pada Subtipe Demensia
• Penyakit Alzheimer: Terdapat atrofi pada medial temporal dan atrofi pada lobus
parietal.
• Frontotemporal Lobar Degeneration(FTLD): Terdapat atrofi pada lobus frontalis
yang asimetris dan atrofi pada lobus temporal.
• Demensia Vaskular: Terdapat global atrofi, difusi lesi white matter, lacuna, dan
terdapat ‘strategic infarcts’(infark di region yang tergabung dalam fungsi kognitif)
• Demensia dengan Lewy Bodies(DLB): Dibandingkan dengan demensia yang lain,
pada demensia ini, tidak terdapat abnormalitas yang spesifik.

26
2.10.5 MRI pada Penyakit Alzheimers(AD)
Terdapat kira-kira sekitar 50-70 % dari seluruh kasus demensia pada populasi
usia lanjut. Faktor resiko paling terbanyak adalah usia tua. Progresifitas dari AD
adalah gradual dan rata-rata pasien hidup 10 tahun setelah onset dari gejalanya timbul.
Dengan bertambahnya populasi usia lanjut, AD diperkirakan akan bertambah tiga kali
lipat dalam 50 tahun kedepan.
Pada stadium lanjut AD, terdapat atrofi yang menyebar, yang akan sulit
dibedakan dengan stadium lanjut dari demensia yang lain. Pada pencitraan, biasanya
AD akan diidentifikasikan di stadium yang lebih awal. Yang perlu diperhatikan adalah
hipokampus dan lobus medial temporal, karena itu tempat dimana permulaan AD ada.
Tujuan dari MRI dalam diagnostic adalah untuk:
• Menegakan penyebab lain dari gangguan kognitif lain.
• Mengidetifikasikan adanya onset awal dari AD sehinggan dapat
dilakukannya terapi inivatif dan konseling.

Gambar 19.
Gambaran T1 MRI pada pasien AD, panah menunjukan adanya atrofi hipokampus
kanan.

27
Gambar 20.
Gambaran atrofi serebral(adanya dilatasi dari ventrikel lateral dan pelebaran sulkus
kortikalis yang biasanya terdapat pada lobus temporalis posterior dan parietal.

2.10.6 MRI pada Presenile AD


Meskipun terdapat atrofi hipokampus ringan, tetapi penemuan khas yang
terdapat pada penyakit ini adalah adalah atrofi parietal dengan atrofi pada posterior
cingulum dan precuneus; hipokampus dapat normal.

Gambar 21.
Presenile AD dengan hipokampus yang normal dan atrofi lobus parietal yang parah.

28
2.10.7 MRI pada Demensia Vaskular(VAD)
Diperkirakan sebagai peringkat kedua dari demensia yang paling sering setelah
penyakit Alzheimer(AD). Ini dapat dibedakan dengan AD dengan dilihat bahwa onset yang
terjadi lebih cepat dan asosiasinya dengan faktor resiko vaskular. Karakteristik VAD adalah
dengan adanya gangguan penurunan fungsi kognitif yang terjadi tiba-tiba. Pada banyak pasien,
biasanya terdapat penyakit pembuluh darah kecil, yang akan membuat karakteristik dari
penyakit ini lebih gradual. Kontrol terhadap faktor resiko merupakan pengobatan yang tepat,
tetapi kolinesterasi inhibitor yang biasanya digunakan pada AD juga terbukti dapat mengobati
demensia vascular. Pada kebanyakan pasien dengan VAD terdapat difusi white matter dengan
lesi confluent yang besar (Fazekas 3). Pada beberapa pasien, ventrikel-ventrikelnya dapat
mengalami dilatasi karena atrofi global yang trejadi dan dapat pula terjadi atrofi lobus
temporalis media.
Disfungsi kognitif pada VAD dapat pula terjadi karena: 39
• Infark pada pembuluh darah besar.
o Bilateral pada territorial arteri serebral anterior.
o Parietotemporal dan temporooksipital area yang berasosiasi dari hemisfer yang
dominan(girus angular termasuk).
o Infarks pada teritorial arteri serebral posterior dari region thalamus paramedian
dan lobus temporal medial inferior dari hemisfer yang dominan.
• Infark watershed pada hemisfer yang dominan(frontal superior dan parietal)
• Penyakit pada pembuluh darah kecil:
o Infark lacunar multiple di frontal white matter(>=2) dan basal ganglia (>2)
o WML(paling sedikit lebih dari 25 persen dari white matter)
o Lesi pada thalamus bilateral.
Pada nucleus medial dari thalamus memegang peran yang sangat penting dalam
menyimpan memori dan pembelajaran. Dengan adanya infark unilateral atau bilateral pada
region ini dapat menyebabkan demensia.
Pada gambaran FLAIR, kita dapat dengan mudah tidak terdiagnosa bahwa adanya
infark, karena gambaran yang ada bisa juga terlihat sebagai isointense dengan gambaran
struktural di sekelilingnya.40

29
Gambar 22.
Infark pada PCA yang melibatkan lobus temporalis.

Gambar 23.
Demensia Vaskular, tidak ada atrofi pada lobus medial temporalis

Gambar 24.
Gambaran FLAIR yang tidak dapat mendiagnosis infark

30
Gambar 25.

2.10.8 MRI Frontotemporal Lobar Degeneration(FTLD)


Pada mulanya, penyakit ini disebut dengan penyakit Pick’s, merupakan
demensia yang progresif, terhitung sejumalah 5-10% dari seluruh demensia, yang
biasanya terjadi pada subjek presenile. FTLD secara klinis ditandai oleh adanya
gangguan tingkah laku dan bahasa yang biasanya cenderung lebih terlihat
dibandingkan dengan deficit memori yang ada. Untuk penyakit ini, belum ada
pengobatan yang baik yang dapat dilakukan.
Gambaran radiologis mempunyai peranan penting dalam mendiagnosis.
Terdapat atrofi pada lobus frontalis / lobus temporalis. Penemuan yang paling terlihat
jelas yaitu adanya atrofi yang asimetris dari lobus temporalis pada bagian kiri dengan
tidak hanya atrofi pada hipokampus, tetapi juga pada bagian temporal. Atrofi tersebut
menghasilkan pada girus yang berbentuk tajam seperti pisau (knife blade atrophy).
Selain itu, terdapat peningkatan intensitas yang terlihat pada gambaran FLAIR, yang
mungkin akibat gliosis. Penemuan tersebut merupakan patognomonik untuk
diagnosis FTLD.

31
Gambar 26.
Pada T2 dan FLAIR terdapat ‘Knife blade atrophy’ dari lobus temporalis kiri dengan
lobus temporalis kanan yang normal

Gambar 27.
Perbandingan antara gambaran sagital normal dan FTLD
2.10.9 MRI pada Dementia Lewy Body
Disebut juga dnegan synucleinopathy karena adanya penumpukan dari proten
alpha synuclein. Kasus pada demensia lewy body sebanyak kira-kira 25% dari total
penyakit demensia yang ada, dan termasuk dalam sindrom atipikal Parkinson
bersamaan dengan progressive supranuclear palsy(PSP) dan multi system
atrophy(MSA). Manifestasi klinis yang ada dapat sama dengan AD atau demensia yang
asosiasi dengan penyakit Parkinson. Pasien biasanya merasakan adanya satu dari tiga
gejala tersebut: adanya halusinasi visual yang detail, gejala Parkinson-like dalam

32
kesiagaan dan atensi. Secara patologik, penyakit ini ditandai dengan adanya Lewy
bodies pada beberapa region dari kompleks hipokampus, nucleus subkortikal dan
neokorteks dengan beberapa jumlah dari plak amyloid yang difusi.
Peran dari pencintraan pada penyakit ini adalah untuk melihat adanya kelainan
pada hipokampus. Untuk region otak yang lain biasanya normal.

Gambar 28.
Demensia Lewy body tetapi dengan hipokampus yang normal

Gambar 29.
Demensia Lewy Body
2.10.10 Multisistem Atrophy
Merupakan salah satu tipe dari sindrom parkinsonian atipikal. MSA adalah
kelaianan neurologis yang jarang dengan ditandai adanya parkinsonisme, cerebellar
dan tanda pyramidal, serta disfungsi otonomik. MSA dapat diklasifikasikan menjadi
MSA-C, MSA-P atau MSA-A.

33
Pada MSA-C(dahulu dikenal sebagai sporadic olivopontocerebellar atrophy
atau soPCA) dimana lebih dominan gejala serebellarnya, sedangkan MSA-P
lebih didominasi dengan gejala parkinsonisme nya. Dahulu disebut juga
striatonigral degeneration). MSA-A lebih didominasi dengan disfungsi
otonomik. Dahulu lebih deknal dengan Shy-Drager syndrome.
Gambaran yang terlihat biasanya terdapat atrofi serebellar dan atrofi yang
parah pada pons.

Gambar 30.
Merupakan ciri khas gambaran MSA-C dimana pada pons terdapat gambaran hot cross bun
sign. Tampak atrofi pada serebelum dan brainstem(terutama olivary nuclei dan middle
cerebellar peduncle)

Gambar 31.
Pada gambaran C terdapat dengan jelas hyperintense putaminal ring, yang sebagai salah satu
tanda dari MSA-P

34
Gambar 32.
Tampak Putaminal ring sign, pada MSA-P
2.10.11 Corticobasal Degeneration
CBD merupakan salah satu bentuk demensia yang jarang. Muncul dengan adanya
difungsi kognitif biasanya kombinasi dengan gejala Parkinson-like. Disebut juga sindrom
‘Alien Hand’.
Pada gambaran MRI tampak atrofi pada kortikal parietal yang asimetris, terkadang
disertai dengan hiperintensitas white matter pada T2. Pada gambaran FLAIR axial terdapat
atrofi kortikal parietal yang asimetris.

Gambar 33.
Gambaran Corticobasal degeneration tampak atrofi pada kortikal yang jelas.

35
2.10.12 Parkinson Disease
Disebut juga sebagai idiopathic parkinsonism merupakan penyakit neurodegenerasi
dan kelainan gerak yang ditandai dengan tremor saat istirahat , rigiditas, hipokinesia dan
degenerasi secara progresif neurotransmitter dopaminergic pada substansia nigra.
Penyakit Parkinson merupakan penyebab paling tersering dari sindrom
parkinsonian(kira-kira 80% kasus)41. Biasanya menyerang usia tua(individu diatas 65 tahun)
Gambaran radiologis yang terlihat adalah pada MRI kehilangan gambaran swallow
42
tail dari substansia nigra pada gambaran axial . Pada T1 dapat terlihat adanya hiperintesitas
yang ringan dari compact dan bagian reticular dari substansia nigra dan nucleus merah (karena
akumulasi besi). Terlihat kehilangan sedikit dari substansia nigra yang hiperintensitas karena
kehilangan neuromelanin.43

Gambar 34.
Swallow Tail sign adalah gambaran pencitraan axial yang normal dari nigrosome-1 didalam
substansia nigra dengan resolusi tinggi T2/SWI pada MRI

36
Gambar 35.
Gambaran swallow tail sign. Absen dari tanda tersebut menandakan 90%
kemungkinan diagnosis Parkinson disease.
2.11 SPECT PADA DEMENSIA
Merupakan kepanjangan dari single-photon emission computed tomography yang
berfungsi untuk mengevaluasi perfusi serebral.
Karena aliran otak sangat dekat kaitannya dengan aktifitas neuron, makan
distribusi aktifitas ini dianggap dapat merefleksikan aktifitas neuron pada area yang
berbeda di otak. Bahan radiofarmatika yang mempunyai PH yang normal serta
99m
lipofilik(paling sering digunakan Tc-hexamethylpropyleneamine oxime
99m
[HMPAO] dan Tc-ethylene cysteine diethylester [ECD], diinjeksikan pada pasien
yang akan menembus sawar darah otak dan akan menghasilkan gamma rays. Sebuah
alat 3D akan merepresentasikan aliran darah yang akan dideteksi oleh detector gamma
yang dapat digunakan sebagai interpretasi.
Indikasi dilakukan SPECT:
• Mendeteksi adanya penyakit serebrovaskular.
• Untuk menegakan diagnosis penyakit suspek demensia.
• Mendeteksi adanya focus kejang.
• Mengevaluasi adanya trauma otak.
• Menilai kematian otak.
• Penggunaan obat-obatan terlarang.

37
• Melihat adaya infeksi/inflamasi.
2.11.1 SPECT PADA ALZHEIMER DISEASE(AD)
Pada pemeriksaan SPECT, menunjukan bahwa adanya hipoperfusi pada
parietal dan lobus temporal posterior46,47,48

Gambar 36.
Pada gambaran individu yang normal, dapat dilihat bahwa aliran darah yang
ada perfusinya baik(ditandai dengan banyaknya marker warna kuning). Pada
gambaran penderita Alzheimer adanya perfusi yang rendah(ditandai banyaknya
marker berwarna hijau dan biru)

Gambar 37.
Adanya pengurangan jumlah 99mTc-HMPAO di lobus parietal, temporal dan frontal.
Hiporperfusi lebih parah pada hemisfer kiri.

38
2.11.2 SPECT PADA DEMENSIA VASKULAR
Hipoperfusi yang terjadi terletak pada lokasi terjadinya iskemik
diotak.49.. Pada infark mutipel pada demensia vascular, bentuk dari
perfusi dan metabolism mempunyai karakteristik dengan kecil atau
besar, single atau multiple defek kortikal yang menyebar secara acak.
Pada pasien yang demensia, lesi white matter, hipoperfusi, dan
hipometabolisme dapat terlihat di frontal, frontal posterior dan region
kortikal temporoparietal anterior karena adanya gangguan koneksi
antara kortiko-kortikal. 50

Gambar 38.
Adanya penurunan aliran otak pada lobus frontal bilateral dan basal
ganglia(panah)

Gambar 39.
Adanya hipoperfusi yang parah pada area frontotemporal kiri

39
2.11.3 SPECT PADA FRONTOTEMPORAL LOBAR DEGENERATION
Gambaran pada SPECT yang ada yaitu adanya penurunan drastic metabolism
glukosa dan perfusi pada area frontal dan temporal, girus singulata, uncus dan insula
serta area subkortikal termasuk basal ganglia dan region thalamik.

Gambar 40.
Adanya pengurangan 99mTc-HMPAO yang terlihat pada area kortikal
frontotemporal dan lebih banyak terlihat di lobus frontalis.

2.11.4 SPECT PADA DEMENSIA LEWY BODY


Untuk menegakan diagnosis DLB melalui SPECT cukup sulit karena
gambaran yang mirip dengan alzheimer disease. Adanya hipoperfusi dan
hipometabolisme pada SPECT yang sama-sama terlihat pada AD dan DLB.51
Hal yang membedakan keduanya adalah adanya derajat hipoperfusi oksipital
yang lebih berat atau hipometabolisme pada DLB dibandingkan di AD.

40
Gambar 41.
Pada DLB menujukan hipoperfusi yang lebih berat di bagian oksipital, sedangkan AD
menunjukan hipoperfusi yang lebih berat di bagian medial temporal.
2.11.5 SPECT PADA PARKINSONIAN SYNDROME
Pada pasien penyakit Parkinson, terlihat hipoperfusi pada posterior termasuk
lobus parietal, temporal, dan oksipital, dan juga ada hipoperfusi pada korteks
prefrontal dorsolateral. 52

Gambar 42.
Kiri: Gambaran Normal
Kanan: Gambaran Parkinson Disease(tampak bilateral asimetris loss
pada putamen

41
Pada PSP, metabolism glukosa dan perfusi menurun pada midbrain dan
korteks frontal medial.53

Gambar 43.
Gambar Kiri: Gambaran normal.
Gambar Kanan: Gambaran PSP ditandai berkurangnya radiologand di caudate
dan putamen.
Pada CBD, terdapat hipometabolisme dan hipoperfusi di basal ganglia dan
korteks frontoparietal kontralateral dengan bagian yang paling terkena.54

Gambar 44.
Terdapat gambaran hipometabolisme pada korteks frontoparietal dan basal
ganlia pada hemisfer kiri.

42
Pada MSA, terdapat reduksi bilateral dari perfusi dan metabolism di nucleus
lentiform, pons dan serebelum. 55

Gambar 45.
Adanya gambaran reduksi striatal dari metabolisme glukosa
2.12 PERJALANAN PENYAKIT DAN PROGNOSIS DEMENSIA
Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset) yang dimulai
pada usia 50 atau 60-an dengan perburukan yang bertahap dalam 5 atau 10 tahun, yang sering
berakhir dengan kematian. Usia awitan dan kecepatan perburukan bervariasi diantara jenis-
jenis demensia dan kategori diagnostik masing-masing individu. Usia harapan hidup pada
pasien dengan demensia tipe Alzheimer adalah sekitar 8 tahun, dengan rentang 1 hingga 20
tahun. Data penelitian menunjukkan bahwa penderita demensia dengan awitan yang dini atau
dengan riwayat keluarga menderita demensia memiliki kemungkinan perjalanan penyakit
yang lebih cepat. Dari suatu penelitian terbaru terhadap 821 penderita penyakit Alzheimer,
rata-rata angka harapan hidup adalah 3,5 tahun. Sekali demensia didiagnosis, pasien harus
menjalani pemeriksaan medis dan neurologis lengkap, karena 10 hingga 15 persen pasien
dengan demensia potensial mengalami perbaikan (reversible) jika terapi yang diberikan telah
dimulai sebelum kerusakan otak yang permanen terjadi.5 Perjalanan penyakit yang paling
umum diawali dengan beberapa tanda yang samar yang mungkin diabaikan baik oleh pasien
sendiri maupun oleh orang-orang yang paling dekat dengan pasien. Awitan yang bertahap
biasanya merupakan gejala-gejala yang paling sering dikaitkan dengan demensia tipe
Alzheimer, demensia vaskuler, endokrinopati, tumor otak, dan gangguan metabolisme.
Sebaliknya, awitan pada demensia akibat trauma, serangan jantung dengan hipoksia serebri,

43
atau ensefalitis dapat terjadi secara mendadak. Meskipun gejala-gejala pada fase awal tidak
jelas, akan tetapi dalam perkembangannya dapat menjadi nyata dan keluarga pasien biasanya
akan membawa pasien untuk pergi berobat. Individu dengan demensia dapat menjadi sensitif
terhadap penggunaan benzodiazepin atau alkohol, dimana penggunaan zat-zat tersebut dapat
memicu agitasi, sifat agresif, atau perilaku psikotik. Pada stadium terminal dari demensia
pasien dapat menjadi ibarat “cangkang kosong” dalam diri mereka sendiri, pasien mengalami
disorientasi, inkoheren, amnestik, dan inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.5 Dengan
terapi psikososial dan farmakologis dan mungkin juga oleh karena perbaikan bagian-bagian
otak (self-healing), gejala-gejala pada demensia dapat berlangsung lambat untuk beberapa
waktu atau dapat juga berkurang sedikit. Regresi gejala dapat terjadi pada demensia yang
reversibel (misalnya demensia akibat hipotiroidisme, hidrosefalus tekanan normal, dan tumor
otak) setelah dilakukan terapi. Perjalanan penyakit pada demensia bervariasi dari progresi
yang stabil (biasanya terlihat pada demensia tipe Alzheimer) hingga demensia dengan
perburukan (biasanya terlihat pada demensia vaskuler) menjadi demensia yang stabil (seperti
terlihat pada demensia yang terkait dengan trauma kepala).
2.13 PENATALAKSANAAN
Langkah pertama dalam menangani kasus demensia adalah melakukan verifikasi
diagnosis. Diagnosis yang akurat sangat penting mengingat progresifitas penyakit dapat
dihambat atau bahkan disembuhkan jika terapi yang tepat dapat diberikan. Tindakan
pengukuran untuk pencegahan adalah penting terutama pada demensia vaskuler. Pengukuran
tersebut dapat berupa pengaturan diet, olahraga, dan pengontrolan terhadap diabetes dan
hipertensi. Obat-obatan yang diberikan dapat berupa antihipertensi, antikoagulan, atau
antiplatelet. Pengontrolan terhadap tekanan darah harus dilakukan sehingga tekanan darah
pasien dapat dijaga agar berada dalam batas normal, hal ini didukung oleh fakta adanya
perbaikan fungsi kognitif pada pasien demensia vaskuler. Tekanan darah yang berada
dibawah nilai normal menunjukkan perburukan fungsi kognitif, secara lebih lanjut, pada
pasien dengan demensia vaskuler. Pilihan obat antihipertensi dalam hal ini adalah sangat
penting mengingat antagonis reseptor β-2 dapat memperburuk kerusakan fungsi kognitif.
Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan diuretik telah dibuktikan tidak
berhubungan dengan perburukan fungsi kognitif dan diperkirakan hal itu disebabkan oleh efek
penurunan tekanan darah tanpa mempengaruhi aliran darah otak. Tindakan bedah untuk
mengeluarkan plak karotis dapat mencegah kejadian vaskuler berikutnya pada pasien-pasien
yang telah diseleksi secara hati-hati. Pendekatan terapi secara umum pada pasien dengan
demensia bertujuan untuk memberikan perawatan medis suportif, dukungan emosional untuk

44
pasien dan keluarganya, serta terapi farmakologis untuk gejala-gejala yang spesifik, termasuk
perilaku yang merugikan. 5
Terapi Psikososial
Kemerosotan status mental memiliki makna yang signifikan pada pasien dengan
demensia. Keinginan untuk melanjutkan hidup tergantung pada memori. Memori jangka
pendek hilang sebelum hilangnya memori jangka panjang pada kebanyakan kasus demensia,
dan banyak pasien biasanya mengalami distres akibat memikirkan bagaimana mereka
menggunakan lagi fungsi memorinya disamping memikirkan penyakit yang sedang dialaminya.
Identitas pasien menjadi pudar seiring perjalanan penyakitnya, dan mereka hanya dapat sedikit
dan semakin sedikit menggunakan daya ingatnya. Reaksi emosional bervariasi mulai dari
depresi hingga kecemasan yang berat dan teror katastrofik yang berakar dari kesadaran bahwa
pemahaman akan dirinya (sense of self) menghilang.5 Pasien biasanya akan mendapatkan
manfaat dari psikoterapi suportif dan edukatif sehingga mereka dapat memahami perjalanan
dan sifat alamiah dari penyakit yang dideritanya. Mereka juga bisa mendapatkan dukungan
dalam kesedihannya dan penerimaan akan perburukan disabilitas serta perhatian akan masalah-
masalah harga dirinya. Banyak fungsi yang masih utuh dapat dimaksimalkan dengan membantu
pasien mengidentifikasi aktivitas yang masih dapat dikerjakannya. Suatu pendekatan
psikodinamik terhadap defek fungsi ego dan keterbatasan fungsi kognitif juga dapat
bermanfaat. Dokter dapat membantu pasien untuk menemukan cara “berdamai” dengan defek
fungsi ego, seperti menyimpan kalender untuk pasien dengan masalah orientasi, membuat
jadwal untuk membantu menata struktur aktivitasnya, serta membuat catatan untuk masalah-
masalah daya ingat. Intervensi psikodinamik dengan melibatkan keluarga pasien dapat sangat
membantu. Hal tersebut membantu pasien untuk melawan perasaan bersalah, kesedihan,
kemarahan, dan keputusasaan karena ia merasa perlahan-lahan dijauhi oleh keluarganya.
Farmakoterapi
Dokter dapat meresepkan benzodiazepine untuk insomnia dan kecemasan,
antidepresi untuk depresi, dan obat-obat antipsikotik untuk waham dan halusinasi, akan tetapi
dokter juga harus mewaspadai efek idiosinkrasi obat yang mungkin terjadi pada pasien usia
lanjut (misalnya kegembiraan paradoksikal, kebingungan, dan peningkatan efek sedasi). Secara
umum, obat obatan dengan aktivitas antikolinergik yang tinggi sebaiknya dihindarkan.
Donezepil, rivastigmin, galantamin, dan takrin adalah penghambat kolinesterase yang
digunakan untuk mengobati gangguan kognitif ringan hingga sedang pada penyakit Alzheimer.
Obat-obat tersebut menurunkan inaktivasi dari neurotransmitter asetilkolin sehingga
meningkatkan potensi neurotransmitter kolinergik yang pada gilirannya menimbulkan

45
perbaikan memori. Obat-obatan tersebut sangat bermanfaat untuk seseorang dengan kehilangan
memori ringan hingga sedang yang memiliki neuron kolinergik basal yang masih baik melalui
penguatan neurotransmisi kolinergik. Donezepil ditoleransi dengan baik dan digunakan secara
luas. Takrin jarang digunakan karena potensial menimbulkan hepatotoksisitas. Sedikit data
klinis yang tersedia mengenai rivastigmin dan galantamin, yang sepertinya menimbulkan efek
gastrointestinal (GI) dan efek samping neuropsikiatrik yang lebih tinggi daripada donezepil.
Tidak satupun dari obat-obatan tersebut dapat mencegah degenerasi neuron progresif.
Terapi dengan Menggunakan Pendekatan Lain
Obat-obatan lain telah diuji untuk meningkatkan aktivitas kognitif termasuk penguat
metabolisme serebral umum, penghambat kanal kalsium, dan agen serotonergik. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa slegilin (suatu penghambat monoamine oksidase tipe B), dapat
memperlambat perkembangan penyakit ini. 5,44
Terapi pengganti Estrogen dapat menginduksi risiko penurunan fungsi kognitif pada
wanita pasca menopause, walau demikian masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai
hal tersebut. Terapi komplemen dan alternatif menggunakan ginkgo biloba dan fitoterapi
lainnya bertujuan untuk melihat efek positif terhadap fungsi kognisi. Laporan mengenai
penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) memiliki efek lebih rendah terhadap
perkembangan penyakit Alzheimer. Vitamin E tidak menunjukkan manfaat dalam pencegahan
penyakit.
Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia (BPSD)
Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia (BPSD) penting untuk
diperhatikan karena merupakan satu akibat yang merepotkan bagi pengasuh dan membuat
payah bagi sang pasien karena ulahnya yang amat mengganggu.
2.14 MR SPECTROSCOPY
MR Spectroscopy menyediakan pengukuran akan kimia otak. Nuclei yang
1
paling banyak digunakan adalah H (proton), 23Na (sodium), 31P (phosphorus).
Penggunaan Spectroscopy proton lebih mudah dan menyediakan signal yang lebih
tinggi dibandingkan sodium atau phosporus. Proton MRS dapat digunakan selama 10-
15 menit dan bisa ditambahkan pada Protokol conventional MR. dapat digunakan
untuk memonitor perubahan biokimia di tumor, stroke, epilepsi, penyakit metabolik,
infeksi, dan penyakit neurodegenerasi. Spektra yang ada tidak datang berlabelkan
diagnosis. Dibutuhkan interpretasi dan harus selalu dikorelasikan dengan gambaran
MR untuk membuat diagnosis akhir.56

46
APLIKASI KLINIS SPECTROSCOPY
• TUMOR OTAK
MR spectroscopy dapat digunakan untuk menilai derajat keparahan
suatu keganasan. Seperti aturan umum yang ada, ketiga keganasan itu
meningkat, NAA dan creatinine menurun, dan clholine , lactate, lipids akan
meningkat. NAA akan turun ketika pertumbuhan tumor menggantikan atau
menghancurkan neuron-neuron. Tumor yang sangat ganas mempunyai
aktifitas metabolik yang tinggi dan dapat menghabiskan cadangan energi,
menghasilkan turunnya creatinine. Tumor hiperseluler yang pertumbuhannya
cepat akan mengelevasi level choline. Lipids ditemukan di bagian nekrotik
dari tumor., dan laktat akan muncul ketika suplai darahnya invasi keluar dan
memulai glikolisis anaerobik. Untuk mendapatkan penilaian yang akurat dari
kimia tumornya, spectroscopy voxel harus diletakan pada regio penyangatan
dari tumor, menghindari area nekrosis, perdarahan, kalsifikasi atau kista.
Multi-Voxel spectroscopy sangat baik untuk mendeteksi adanya
infiltrasi dari sel ganas pada margin penyangatan dari tumor. Pada kasus
glioma, peningkatan choline biasanya mendeteksi adanya regio yang edema
pada otak diluar masa yang tersangatkan. Pada akhirnya, MRS dapat
memandu dokter bedah kepada tempat bagian tumor yang paling aktif secara
metabolik.
Problem klinis yang paling sering adalah untuk membedakan rekurensi
tumor dari efek radiasi beberapa bulan setelah operasi dan terapi radiasi.
Peningkatan choline merupakan marker dari rekurensi tumor. Perubahan
radiasi akan menunjukan adanya NAA, Creatinine, Choline pada
spectroscopy. Jika nekoris radiasi masih ada, spectrum akan menunjukan
adanya penginkatan lipids dan lactate.
MRS tidak dapat membedakan tumor yang primary atau yag
secondary. Kunci dari diagnosis glioma adalah adanya choline yang
meningkat melewati margin dari penyangatan karena adanya infiltrasi dari
tumor ke jaringan sekitar. Kebanyakan tumor non glioma hanya punya NAA
yang sedikit atau tidak ada. Kenaikan alanine pada 1.48 ppm merupakan tanda
dari meningioma. Selain itu, tanda lain adalah tidak adanya NAA, creatinine
yang rendah dan peningkatan glutamate.57,58,59

47
• ISKEMI SEREBRAL DAN INFARK
Ketika otak menjadi iskemik, akan terjadi perubahan menjadi glikolisis
anaerobik dan akumulasi laktat. Elevasi laktate merupakan kunci dari
gambaran hipoksia serebral dan iskemia. Choline yang meningkat, NAA dan
creatinine menurun. Ketika infark serebral terjadi, lipids akan meningkat.
• TRAUMA
MR spectroscopy tidak secara rutin digunakan pada kasus cedera otak
yang akut. Ketika pasien sudah stabil, MRS akan sangat membantu untuk
menilai derajat cedera neuronal dan memprediksi prognosis pasien. Terutama
pada kasus cedera axonal difuse, pencitraan terkadang meremehkan derajat
kerusakan otak. Hasil klinis menghubungkan secara terbalik dengan NAA/Cr
rasio. Adanya laktat atau lipi mengindikasikan prognosis yang lebih buruk.
• PENYAKIT INFEKSIUS
Pada kasus tumor non glial, abses otak akan menghancurkan atau
menggantikan jaringan otak, sehingga NAA tidak tampak. Voxel seharusnya
mengikutsertakan kavitas abses untuk mendeteksi adanya produk breakdown
dari lesi tersebut. Lactate, asam cytosilic, alanine, acetate merupakan
karakteristik metabolik dari abses bakteri. Toxoplasmosis dan tuberculomas
menunjukan puncak prominen dari laktat dan lipids. Pada HIV encephalitis
stadium awal, MRS belum terbukti dapat mendeteksi secara sensitif. Tetapi,
ketika pasien mulai ada defisit di neurokonitif dan adanya demensia AIDS
komplek, MR spectra menjadi positif, dengan ditemukan adanya peningkatan
choline dan penurunan NAA. Choline merupakan marker yang terbaik untuk
melihat adanya abnormalitas pada white matter dan tingkat deplesi NAA
berkorelasi secara langsung dengan derajat demensia. MRS juga sangat
membantu dalam menilai efek terapi anti viral.
Choline akan meningkat pada limpoma, tetapi rendah atau tidak ada
pada toksoplasmosis, tuberuloma, dan cryptococoma. Toksoplasmosis dapat
dilihat dengan adanya kenaikan pada laktat dan lipids serta deplesi dari
metabolit otak normal. Tuberculoma dan cryptococoma hampir sama tetapi
dengan adanya laktat yang sedikit.

48
• HEPATIC ENCEPHALOPATHY
Spektrum dari hepatic encephalopathy ditandai dengan menurunnya
myo-inositol. Choline juga berkurang dan glutamine meningkat. Gagal hati
akan menghasilkan adanya amonia yang berlebihan dalam daraj. Ammonia
merupakan neurotoksin dan menyebabkan kenaikan dari glutamate menjadi
glutamine. Perubahan metabolik yang hampir sama dapat dilihat pada Reye’s
syndrome, merupakan bentuk akut dari gagal hati dari bayi.
• ALZHEIMER’S DISEASE
Meskipun Alzheimer tidak terlalu sensitf untuk mendeteksi AD pada
stadium awal, ketika penyakit tersebut mengalami progresi, spectrum menjadi
abnormal. Secara spesifik, dengan semakin advance penyakitnya, NAA akan
berkurang dan myo-inositol akan naik. Karena MRS merupakan tindakan non
invasive dan mudah untuk dilakukan, myo-inositol menjadi marker yang akan
menilai terapi tersebut.
Myo-inositol juga akan meninhkat pada Down syndrome. Tetapi, myo-
inositol tidak meningkat pada demensia orang dewasa, jadi ini merupakan
marker yang berguna untuk membedakan AD dengan demensia lain.
• DEMENTIA LEWY BODY
Pasien dengan suspek DLB akan cenderung mempunyai NAA/Cr level
yang normal. Level NAA/ Cr yang normal pada girus posterior singulata pada
pasien DLB mengartikan integritas neuron pada regio ini normal. Terdapat
elevasi level Cho/Cr pada girus singulata posterior pada pasien DLB.
• VASCULAR DEMENTIA
Pada pasien demensia vaskular, terdapat NAA/Cr level yang turun.
White matter pada pasien demensia vaskular lebih rendah dibandingkan
dengan AD. Kortikal mI/Cr level pada pasien demensia vaskular cenderung
normal. Pada pasien AD, mI/Cr levelnya cenderung naik.
• FRONTOTEMPORAL LOBAR DEGENERATION
Pada pasien FTLD, terdapat NAA/Cr yang tinggi dan mI/Cr yang
normal. Hal ini sama dengan pasien dengan AD.

49
Gambar. 46

Gambar 47.

50
Gambar 48.

Gambar 49.

2.15 VALUE MR PERFUSION IN DEMENTIA


Ada tiga aspek yang dinilai dari perfusi pada MRI yaitu CBF(cerebral blood
flow), CBV(cerebral blood volume), MTT( Mean Transit Time).
CBF adalah volume darah yang melewati jaringan otak per unit waktu. Biasanya
dalam milimeter darah per menit per 100g jaringan. Pada beberapa keadaan, sulit
untuk mengukur secara absolut CBF, oleh karena itu yang biasanya dihitung adalah
CBF relatif. Nilai normal yang ada:

51
• grey matter: ~50 +/- 15 ml/100g/min
• white matter: 22 +/- 5 ml/100g/min
Mean Transit Time adalah rata-rata waktu dalam detik dimana sel darah merah ada
dalam volume sirkulasi kapiler. Rumus yang ada: MTT = cerebral blood volume
(CBV) / cerebral blood flow (CBF). Nilai normal yang ada:

• gray matter: 4s
• white matter: 4.8s

Cerebral Blood Volume adalah volume darah pada jaringan otak, biasanya dalam
milimeter darah per 100g jaringan otak.

CBF PADA DEMENTIA

Pada pasien dengan demensia parah rata-rata nilai CBF yaitu 32.6 ± 2.4
ml/100 g/minute. 60

CBV PADA DEMENTIA

Ukuran cluster yang terdapat pada demensia yaitu > 1250 mm3.
Terjadi defisit yang signifikan pada white matter yang terletak pada lobus frontal
bilateral dan dapat memanjang sampai lobus parietal.

52
BAB 3 KESIMPULAN
Demensia adalah sindrom neurodegeneratif yang timbul karena adanya kelainan
yang bersifat kronis dan progesif disertai dengan gangguan fungsi luhur multipel seperti
kalkulasi, kapasitas belajar, bahasa, dan mengambil keputusan. Demensia terbagi menjadi
beberapa subtipe. Dari subtipe tersebut, semuanya mempunyai klinis yang hampir mirip,
dimana penurunan fungsi kognitif terdapat pada semua subtipe tersebut. Demensia menyerang
usia tua dan memiliki onset kronif progresif. Untuk menegakan diagnosis demensia diperlukan
pencitraan yang tepat. Penggunaan MRI sebagai pemeriksaan penunjang dapat menunjang
diagnosis demensia terpenuhi.

53
BAB 4 DAFTAR PUSTAKA

1. World Helath Organization. Dementia, April 2012,


<www.who.int/mediacentre/factsheets/fs362/en/ > [diakses 15 Oktober 2017].
2. Sjahrir H, 1999. PengenalanDemensia. Dalam: Sjahrir H, Nasution D, Rambe
HH, editor. Demensia, Hal 59-96. USU Press. Medan
3. Roan Witjaksana. Delirium dan Demensia. Diakses dari : http://www.
idijakbar.com/prosiding/delirium.htm. 7 Oktober 2008.
4. Hebert LE, Scherr PA, Bienias JL. Alzheimer disease in the US population:
prevalence estimates using the 2000 census. Arch Neurol. 2003;60(8):1119-
1122.
5. Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Delirium, dementia,
amnestic and cognitive disorders. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry:
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins.
6. Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik,
1993. 49-67
7. Ferri CP, Prince M, Brayne C, Brodaty H, Fratiglioni L, Ganguli M, et al.
Global prevalence of dementia: a Delphi consensus study. Lancet.
2005;366(9503):2112-7.
8. BAPPENAS. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. Jakarta: Badan Pusat
Statistik Republik Indonesia2013.
9. Yudiarto F, Machfoed M, Darwin A, Ong A, Karyana M, Siswanto. Indonesia
stroke registry. Neurology. 2014;82(10):Supplement S12.003
10. Gibson AK, Anderson KA. Difficult diagnosis: family caregivers experiences
during and following the diagnostic process for dementia. American journal of
Alzheimer’s disease and other dementias. 2011;26(3):212-7.
11. Marzanski M. Would you like to know what is wrong with you ? On telling
the truth to patients with dementia. Journal of Medical Ethics. 2000;26(2):108-
13.

54
12. Martínez MF, Flores JC, Heras SPdl. Risk factors for dementia in the
epidemiological study of Munguialde County (Basque Country-Spain). BMC
Neurology. 2008;8:39.
13. Berghmans RL. Dementia and end –of-life decisions:ethical issues-a
perspective from Netherlands: Springer Netherlands; 2010.
14. Hachinski V, Iadecola C, Petersen RC. National Institute of Neurological
Disorders and Stroke-Canadian Stroke Network vascular cognitive impairment
harmonization standards. Stroke. 2006;37(9):2220-41.
15. Dichgans M, Markus HS, Salloway S. Donepezil in patients with subcortical
vascular cognitive impairment: a randomised double-blind trial in CADASIL.
Lancet Neurology. 2008;7:310- 8.
16. Fairbairn A, Gould N, Kendall T, Ashley P, Bainbridge I, Bower L, et al.
Dementia: a NICE-SCIE guideline on supporting people with dementia and
their carers in health and social care: The British Psychological Society and
Gaskell; 2007.
17. Perry RH, Irving D, Tomlinson BE. Lewy body prevalence in the aging brain:
relationship to neuropsychiatric disorders, Alzheimer-type pathology and
catecholaminergic nuclei. J Neurol Sci. 1990;100(1-2):223-33.
18. Heidebrink JL. Is dementia with Lewy bodies the second most common cause
of dementia? . J Geriatr Psychiatry Neurol. 2002;15(4):182-7
19. Chartier-Harlin MC, Kachergus J, Roumier C. Alpha-synuclein locus
duplication as a cause of familial Parkinson’s disease. Lancet. 2004;364:1167-
9
20. Rascovsky K, Hodges JR, Kipps CM. Diagnostic criteria for the behavioral
variant of frontotemporal dementia (bvFTD): 91 Current limitations and future
directions. Alzheimer Dis Assoc Disord. 2007;21:S14-8.
21. Zekry D, Hauw JJ, Gold G. Mixed Dementia: epidemiology, diagnosis and
treatment. J Am Geriatr Assoc. 2002;50:1431-8.
22. Gearing M, Mirra SS, Hedreen JC. The Consortium to Establish a Registry
for Alzheimers Disease (CERAD). Part X. Neuropathology confirmation of
the clinical diagnosis of Alzheimers disease. Neurology. 1995;45(3 Pt 1):461-
6.

55
23. McKeith IG, Perry EK, Perry RH. Report of the second dementia with Lewy
body international workshop: diagnosis and treatment. Consortium on
Dementia with Lewy Bodies. Neurology. 1999;53(5):902-5
24. Steele JC, Richardson JC, Olszewski J. Progressive supranuclear palsy. Arch
Neurol 1964;10:333–59
25. Golbe Li, Davis PH, Schoenberg BS, et al. Prevalence and natural history of
progressive supranuclear palsy. Neurology 1988;38:1031–4.
26. Bower JH, Maraganore DM, McDonnell SK, et al . Incidence of progressive
supranuclear palsy and multiple system atrophy in Olmsted County
Minnesota, 1976 to 1990. Neurology 1997;49:1284–8
27. Santacruz P, Uttl B, Litvan I, et al. Progressive supranuclear palsy: a survey of
disease course. Neurology 1998;50:1637– 47.
28. Litvan I, Mangone CA, McKee A, et al. Natural history of progressive
supranuclear palsy (Steele-RichardsonOlszewski syndrome) and clinical
predictors of survival: a clinicopathological study. J Neurol Neurosurg
Psychiatry 1996;60:615–20
29. Vidailhet M, Rivaud S, Gouider-Khouja N, et al. Eye movements in
parkinsonian syndromes. Ann Neurol 1994;35: 420–6.
30. Litvan I, Agid Y, Calne D, et al. Clinical research criteria for the diagnosis of
progressive supranuclear palsy (SteeleRichardson-Olszewski syndrome).
Report of the NINDSSPSP international workshop. Neurology 1996;47:1–9
31. Troost B, DaroV R. The ocular motor defects in progressive supranuclear
palsy. Ann Neurol 1977; 2:397–403.
32. Tanigawa A, Komiyama A, Hasegawa O. Truncal muscle tonus in progressive
supranuclear palsy. J Neurol Neurosurg Psychiatry 1998;64:190–6.
33. Litvan I, Mega MS, Cummings JL, et al. Neuropsychiatric aspects of
progressive supranuclear palsy. Neurology 1997; 47:1184–9.
34. Daniel SE, De Bruin VMS, Lees AJ. The clinical and pathological spectrum of
Steele-Richardson-Olszewski syndrome (progressive supranuclear palsy): a
reappraisal. Brain 1995; 118:759–70.
35. Hauw JJ, Daniel SE, Dickson D, et al. Preliminary NINDS neuropathologic
criteria for Steele-Richardson-Olszewski syndrome
36. Oba H, Yagishita A, Terada H et-al. New and reliable MRI diagnosis for
progressive supranuclear palsy. Neurology. 2005;64 (12): 2050-5

56
37. Righini A, Antonini A, De Notaris R et-al. MR imaging of the superior profile
of the midbrain: differential diagnosis between progressive supranuclear palsy
and Parkinson disease. AJNR Am J Neuroradiol. 2004;25 (6): 927-32.
38. Josephs KA. Frontotemporal lobar degeneration. Neurol Clin. 2007;25 (3):
683-96
39. Operational definitions for the NINDS-AIREN criteria for vascular dementia:
am interobserver study. Van Straaten EC, Scheltens P, Knol DL et al. Stroke
2003; 34:1907-1912.
40. Thalamic Lesions in Vascular Dementia. Low sensitivity of Fluid-Attenuated
Inversion Recovery(FLAIR) Imaging. Antonio J. Bastos Leite, MD et al.
Stroke.2004;35:415.
41. Kornienko VN, Pronin IN. Diagnostic Neuroradiology. Springer Verlag.
(2008) ISBN:3540756523
42. Schwarz ST, Afzal M, Morgan PS et-al. The 'swallow tail' appearance of the
healthy nigrosome - a new accurate test of Parkinson's disease: a case-control
and retrospective cross-sectional MRI study at 3T. PLoS ONE. 2014;9 (4):
e93814.
43. Schwarz ST, Rittman T, Gontu V et-al. T1-weighted MRI shows stage-
dependent substantia nigra signal loss in Parkinson's disease. Mov. Disord.
2011;26 (9): 1633-8.
44. Maslim R.Buku saku Diagnosis Gangguan Jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ
III.2001, Jakarta; PT Nuh Jaya. 20- 26
45. Barkhof F, Hazewinkel M, Binnewijzend M,, Smithuis R. Dementia: role of
MRI. Radiology Assistant. 2012.
46. Ichimya, A.(1998). Functional and structural brain imagings in dementia.
Psychiatry and Clinical Neuroscience, 1440-1819 52 223 225.
47. K. Ishii, E. Mori, H. Kitagaki, S. Sakamoto, S. Yamaji, T. Imamura, Y. Ikejiri,
M. Kono, 1996. The clinical utility of visual evaluation of scintigraphic
perfusion patterns for Alzheimer’s disease using I-123 IMP SPECT. Clinical
Nuclear Medicine, 21 February, 106 110 0363-9762.
48. W. Lojkowska, D. Ryglewicz, T. Jedrzejczak, H. Sienkiewicz-Jarosz, S. Minc,
T.Jakubowska, I. Kozlowicz-Gudzinska, 2002 SPECT as a diagnostic test in
the investigation of dementia. Journal of the Neurological Sciences, 203-204
November, 215 219 0002-2510.

57
49. E, Mori, K. Ishii, M. Hashimoto, T. Imamura, N. Hirono, H. Kitagaki, 1999.
Role of functional brain imaging in the evaluation of vascular dementia.
Alzheimer Disease and Associated Disorders, 13Suppl. 3,(October-
December), 91 101 0893-0341.
50. J. De Reuck, D. Decoo, M. Marchau, P. Santens, I. Lemahieu, K. Strijckmans,
1998. Positron emission tomography in vascular dementia. Journal of the
Neurological Sciences, 154 1January), 55 61 0002-2510.
51. S. Minoshima, N. L. Foster, A. A. Sima, K. A. Frey, R. L. Albin, D. E. Kuhl,
2001. Alzheimer’s disease versus dementia with Lewy Bodies: cerebral
metabolic dinstiction with autopsy confirmation. Annals of Neurology, 50
3September), 358 365 0364-5134.
52. T. Eckert, A. Barnes, V. Dhawan, S. Fruncht, M.F. Gordon, A. S. Feigin, D.
Eidelberg, 2005FDG PET in the differential diagnosis of parkinsonian
disorders. Neuroimage, 26 3July), 912 921 1053-8119.
53. Okuda, H. Tachibana, K. Kawabata, M. Takeda, M. Sugita, 2000 Cerebral
blood flow in corticobasal degeneration and progressive supranuclear palsy.
Alzheimer Disease and Associated Disorders, 14 1January-March), 45 52
0893-0341.
54. A. K. Hossain, Y. Murata, L. Zhang, S. Taura, Y. Saitoh, H. Mizusawa, K.
Oda, E. Matsushima, Y. Okubo, H. Shibuya, 2003 Brain Prefusion SPECT in
patients with corticobasal degeneration: analysis using statistical parametric
mapping. Movement Disorders, 18 6June), 697 703 1531-8257.
55. R. Cilia, G. Marotta, R. Benti, G. Pezzoli, A. Antonini, 2005 Brain SPECT
imaging in multiple system atrophy. Journal of Neural Transmission, 112
12December), 1635 1645 0300-9564.
56. Ross BD, Colletti P, Lin A: MR spectroscopy of the brain:
Neurospectroscopy. in Edelman, Hesselink, Zlatkin & Crues, eds., Clinical
Magnetic Resonance Imaging, 3rd edition, Saunders-Elsevier, Philadelphia,
2006, pp 1840-1910.
57. Poptani H, Gupta RK, Roy R, et al. Characterization of intracranial mass
lesions with in vivo proton MR spectroscopy. AJNR 16:1593-1603, 1995.
58. Nelson SJ, McKnight TR, Henry RG. Characterization of untreated gliomas
by magnetic resonance spectroscopic imaging. Neuroimag Clin 12:599-613,
2002.

58
59. Law M, Cha S, Knopp EA, et al. High-grade gliomas and solitary metastases:
differentiation by using perfusion and proton spectroscopic MR imaging.
Radiology 222:715-721, 2002
60. Yamaguchi F, Meyer JS, Yamamoto M, et al: Noninvasive regional cerebral
blood flow measurements in dementia. Arch Neurol 37:410-418, 1980

59

Anda mungkin juga menyukai