Anda di halaman 1dari 21

TINJAUAN SISTEMATIS

ENSEFALITIS VIRUS

Oleh:

I Putu Dema Prasetya 1902612145


Gusti Ngurah Prana Jagannatha 1902612146
I Gusti Bagus Mulia Agung Pradanyaandara 1902612148
Ni Kadek Dwi Karlina 1902612149
Xena Laveda 1902612183

Pembimbing:
dr. A. A. A. Suryapraba Indradewi, Sp.S

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI


DEPARTEMEN NEUROLOGI
FK UNUD / RSUP SANGLAH
TAHUN 2020

i
ii
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,
Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat-Nya tinjauan sistematis dengan judul “Ensefalitis Virus” ini selesai pada waktunya.
Tinjauan sistematis ini disusun sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik
Madya di Departemen/KSM Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah membantu penyelesaian tinjauan sistematis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada:

1. Dr.dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K), selaku Ketua Departemen/KSM Neurologi FK


UNUD/RSUP Sanglah Denpasar yang telah memfasilitasi dan memberikan penulis
kesempatan selama proses pembelajaran di bagian ini.

2. dr. Ida Ayu Sri Indrayani, Sp.S selaku Penanggung Jawab Pendidikan Dokter Muda
Departemen/KSM Neurologi FK UNUD/RSUP Denpasar yang telah memberikan
penulis kesempatan dan membantu penulis selama proses pembelajaran di bagian ini.

3. dr. A. A. A. Suryapraba Indradewi, Sp.S, selaku pembimbing dalam pembuatan


tinjauan sistematis ini yang telah memberikan saran, dan masukkan dalam
penyempurnaan tinjauan sistematis ini.

4. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam penyusunan tinjauan sistematis ini.

Penulis menyadari tinjauan sistematis ini masih jauh dari kata sempurna sehingga saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan tinjauan
sistematis ini. Semoga tinjauan sistematis ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Om Santih,
Santih, Santih Om

Denpasar, Juli 2020

i
Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1

BAB II KEPUSTAKAAN
2.1 Definisi............................................................................................................ 3
2.2 Epidemiologi................................................................................................... 3
2.3 Etiologi............................................................................................................ 3
2.4 Anatomi........................................................................................................... 6
2.5 Patofisiologi.................................................................................................... 7
2.6 Diagnosis......................................................................................................... 7
2.6.1 Anamnesis dan Gejala Klinis............................................................. 7
2.6.2 Pemeriksaan Fisik.............................................................................. 8
2.6.3 Komplikasi ........................................................................................ 8
2.6.4 Pemeriksaan Penunjang..................................................................... 9
2.6.5 Diagnosis Banding............................................................................. 9
2.7 Penatalaksanaan.............................................................................................. 10
2.7.1 Preventif............................................................................................. 10
2.7.2 Terapi ................................................................................................ 10
2.8 Komplikasi dan Prognosis.............................................................................. 11

BAB III SIMPULAN........................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 15

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Infeksi pada sistem saraf pusat menimbulkan masalah medis yang serius dan
membutuhkan pengenalan dan penanganan dengan segera untuk memperkecil gejala sisa
neurologis yang serius dan memastikan kelangsungan hidup pasien tetap dalam keadaan
baik. Salah satu infeksi yang menyerang system saraf pusat adalah ensefalitis. Esenfalitis
adalah infeksi yang mengenai sistem saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh virus atau
mikroorganisme lain yang nonpurulen seperti bakteri, cacing, protozoa dan jamur.
Penyebab tersering dari ensefalitis adalah virus herpes simpleks, arbovirus, dan jarang
disebabkan oleh enterovirus, mumps, dan adenovirus. Ensefalitis juga dapat terjadi pasca
infeksi campak, influenza, varicella dan pasca vaksinasi pertussis.[1]
Di Indonesia, ensefalitis/meningitis merupakan penyebab kematian pada semua umur
dengan urutan ke-17 dimana persentasenya yaitu 0,8% setelah malaria.
Ensefalitis/meningitis dapat terjadi pada semua usia dengan persentase 3,2%. Pada bayi
menyebabkan kematian pada umur 29 hari-11 bulan menemapti urutan ketiga dengan
persentase 9,3% setelah diare 31,4% dan pneumonia 23,8%.[2] Pasien yang mengalami
ensefalitis biasanya terajdi peradangan pada jaringan otak yang dapat mengenai selaput
pembungkus otak sampai dengan medulla spinalis. Secara umum gejala dari ensefalitis
yaitu berupa demam, kejang, dan terjadi penurunan kesadaran.
Penyakit ini dapat dijumpai pada semua usia mulai dari anak-anak sampai orang
dewasa, sehigga diagnosis secara dini sangat dibutuhkan agar dapat menegakan diagnosis
ensefalitis dengan segera. Diagnosis ensefalitis dapat ditegakan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik/neurologik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang
lainnya. [3,4]
Terapi dari ensefalitis tergantung pada penyebab peradangan, seperti antibiotik, obat-
obatan anti virus dan anti inflamasi. Jika ensefalitis sampai menyebabkan terjadinya
kerusakan otak, maka terapi yang diberikan dapat berupa terapi fisik atau terapi restorasi
kognitif untuk membantu pasien yang telah kehilangan fungsi tubuhnya. Pada beberapa
kasus ensefalitis dapat menyebabkan kematian, sehingga pengobatan ensefalitis harus
dimulai sedini mungkin untuk untuk menghindari dampak serius dan efek seumur hidup
dari penyakitnya. Berdasarkan hal tersebut penting bagi dokter umum untuk dapat

1
mengidentifikasi ensefalitis dan mengedukasi pasien terkait dengan rencana pemeriksaan
dan terapi yang akan diberikan.

2
BAB II
KEPUSTAKAAN

2.1 Definisi
Ensefalitis virus adalah peradangan parenkim otak yang disebabkan oleh virus. Ini
adalah jenis ensefalitis yang paling umum dan sering berdampingan dengan meningitis virus.
Virus menyerang inang di luar sistem saraf pusat (SSP) dan kemudian mencapai sumsum
tulang belakang dan otak secara hematogen atau secara retrograde dari ujung saraf. [1]
Ensefalitis virus cenderung lebih umum pada orang yang lebih muda dibandingkan
dengan orang tua. Namun, lingkungan juga berperan penting. Banyak kasus ensefalitis virus
tidak terdeteksi karena kurangnya tes dan gejala yang ditimbulkan ringan. Selain itu,
penelitian menunjukkan bahwa banyak pasien mengembangkan antibodi tingkat tinggi
terhadap virus tetapi tidak menunjukkan gejala. [5]

2.2Epidemiologi
Insiden ensefalitis virus adalah 3,5 hingga 7,5 per 100.000 orang, dengan insiden
tertinggi pada usia muda dan lanjut usia. Epidemiologi penyebab virus tertentu dari
ensefalitis telah berubah seiring waktu. Misalnya, ditemukannya vaksin telah menyebabkan
penurunan kejadian ensefalitis akibat virus mumps dan measles [2]. Saat ini, ensefalitis akibat
EBV dan CMV prevalensinya cukup tinggi karena infeksi terjadi pada orang yang mengalami
gangguan imunitas, seperti pasien AIDS, transplantasi, dan kemoterapi. Faktor epidemiologi
penting lainnya termasuk waktu dalam setahun, geografi, dan paparan hewan atau serangga.
Misalnya, arbovirus menyebabkan penyakit selama musim panas ketika nyamuk aktif.[5]

2.3 Etiologi
Terdapat beberapa etiologi tersering dari ensefalitis virus yang diketahui diantaranya:
a. Enterovirus Encephalitis
Enterovirus adalah penyebab sebagian besar kasus ensefalitis virus baik pada
anak-anak maupun orang dewasa. Infeksi bersifat musiman di daerah beriklim sedang
(puncak musim panas dan gugur) tetapi sangat tinggi sepanjang tahun di daerah
beriklim tropis dan subtropis. 10 tahun terakhir, wabah neurovirulent Enterovirus 71
telah dilaporkan dari Jepang, Malaysia, dan Taiwan. Tingkat kematian yang tinggi
(19,3%) telah dilaporkan dari Taiwan pada anak di bawah usia 5 tahun.[7]

3
b. Herpes Simplex Encephalitis (HSE)
Dalam HSE, disfungsi grey matter dari lobus temporal dan frontal adalah
mekanisme dominan, dan penyakit ini hadir dengan perubahan kepribadian,
kebingungan, dan disorientasi. Kejang terjadi pada setengah dari pasien, tanda-tanda
neurologis fokal (hemiparesis) pada sekitar sepertiga. Karena prognosis tergantung
pada awal pengobatan, ada kebutuhan untuk diagnosis segera dan akurat. Untuk
alasan ini, pungsi lumbal harus didahului dengan neuroimaging hanya ketika ada
tanda-tanda neurologis fokal. CSF abnormal pada lebih dari 95% kasus HSE;
Ditemukan pleositosis sedang, biasanya dari sel darah putih mononuklear dan sel
darah merah, yang terakhir karena sifat hemoragik dari proses infeksi.[7]
c. Varicella Zoster Enchepalitis
Ensefalitis VZV terjadi terutama pada dewasa muda dan bayi Kejang terjadi
pada 29 hingga 52% kasus. Kelainan neurologis fokal meliputi ataksia, hipertonia
atau hipotonia, hemiparesis, dan respons plantar positif. Mortalitas bervariasi dari 5
hingga 10%. Inklusi intranuklear dan nekrosis hemoragik, sugestif dari varicella
encephalitis, telah dilaporkan juga pada pasien immunocompromised dan pada
neonates.[7]
d. Human Herpes Virus 6 (HHV-6) Enchepalitis
HHV-6, agen penyebab exanthema subitum, menginfeksi hampir semua anak
pada usia 3 tahun; dua varian, A dan B, telah diidentifikasi. Keduanya merupakan
neurotropik in vivo dan berada belakangan di otak orang dewasa, namun HHV-6
dianggap sebagai kemungkinan penyebab ensefalitis pada anak yang mengalami
imunosupres.[7]
e. Tick-Borne Encephalitis
Virus yang ditularkan ke manusia melalui gigitan kutu adalah penyebab
penting infeksi SSP di seluruh dunia. TBE disebabkan oleh dua flavivirus yang
berbeda biologis. Pergantian musim terjadi di daerah pedesaan Rusia (Russian Spring-
Summer Encephalitis, RSSE) dan di Eropa Tengah (Central European Encephalitis,
CEE); transmisi diperantarai oleh kutu keras Ixodes persulcatus dan Ixodes ricinus,
masing-masing (I. ovatus dan I. gibosus mungkin vektor tambahan). Masa inkubasi
adalah 2 hingga 28 hari.[7]
f. Measles Enchepalitis
Pada infeksi ME, keterlibatan SSP dapat terjadi dini atau lambat setelah
campak akut, menyebabkan bentuk ensefalitis akut dan subakut. MV setelah infeksi
4
akut umumnya terjadi pada pasien imunokompeten (kebanyakan anak-anak dan
remaja) selama fase exanthematic dan dalam waktu 8 hari setelah onset klinis.
Tingkat kematian adalah antara 10 dan 20%.[7]
g. Rabies
Rabies adalah satu-satunya infeksi pada manusia yang menyebabkan ensefalitis akut
dengan angka kematian mendekati 100%. Masa inkubasi bervariasi dari 5 hari hingga
lebih dari 6 bulan, tetapi biasanya 20-60 hari.[7]
h. West Nile Virus
West Nile, sebuah flavivirus yang dipelihara di seluruh dunia dalam siklus
enzootic dan ditularkan terutama antara inang unggas dan vektor nyamuk (genus
Culex), kadang-kadang dapat menginfeksi manusia, tetapi kebanyakan individu tetap
tanpa gejala.[7]
i. Human Immunodeficiency Virus
Selama infeksi HIV primer, manifestasi neurologis, mulai dari sakit kepala
yang parah dan persisten hingga tanda-tanda klinis yang menunjukkan adanya
ensefalitis dan / atau meningitis, dapat terjadi. Pasien dengan infeksi HIV kronis juga
dapat, walaupun jarang, mengembangkan sindrom neurologis akut dan memiliki viral
load cairan serebrospinal yang sangat tinggi.[7]
j. Japanese Enchepalitis
Japanese encephalitis (JE) merupakan penyakit infeksi akut pada susunan
saraf pusat (SSP) yang ditularkan melalui nyamuk yang terinfeksi virus JE. Virus JE
termasuk dalam famili flavivirus. Penyakit ini pertama kali dikenal pada tahun 1871
di Jepang dan diketahui menginfeksi sekitar 6.000 orang pada tahun 1924. Virus JE
pertama kali diisolasi tahun 1934 dari jaringan otak penderita ensefalitis yang
meninggal. Di Indonesia, terdapat sekitar 19 jenis nyamuk yang dapat menularkan
penyakit ini; paling sering ialah Culex tritaeniorhynchus, yang banyak dijumpai di
daerah persawahan, rawa-rawa dan genangan air.[8]
k. Eastern Equine Enchepalitis
Alphavirus menyebabkan eastern equine ensefaslitis. Virus ini berasal dari
Togaviridae, yang mencakup beberapa virus yang menyebabkan infeksi equine
ensefalitis lainnya. Vektor untuk penularan manusia adalah spesies nyamuk Culex
tarsalis, Culiseta, dan Aedes. Tidak ada transmisi aerosol, tetapi virus dapat melewati
plasenta dan ditularkan dari ibu ke janin. Penularan melalui transfusi darah yang

5
terinfeksi tidak mungkin karena viral load yang rendah di sebagian besar host, tetapi
tetap memiliki kemungkinan. [9]
i. Epstein Barr Virus Enchepalitis
EBV adalah patogen yang sering menyebabkan infeksi mononukleosis (IM).
Infeksi EBV memiliki berbagai manifestasi sendiri atau disertai dengan gambaran
klinis IM, seperti meningo ensefalitis dan ensefalitis.[10]

2.4 Anatomi Otak


Otak bertanggung jawab dalam mengurus organ dan jaringan yang terdapat di kepala.
Otak terdiri atas otak besar atau cerebrum, otak kecil atau cerebellum dan batang otak
(trunkus serebri). Jaringan otak dibungkus oleh tiga selaput otak (meninges) yang dilindungi
oleh tulang tengkorak dan mengapung dalam suatu cairan yang berfungsi menunjang otak
yang lembek dan halus sebagai penyerap goncangan akibat pukulan dari luar terhadap kepala.
[11]

Gambar 1. Struktur saraf dan otak.[14]

6
2.5 Patofisiologi
Virus masuk ke tubuh melalui kulit, saluran pernafasan dan saluran cerna. Setelah
masuk ke tubuh virus akan menyebar keseluruh tubuh secara lokal yaitu aliran virus terbatas
yang menginfeksi selaput lender permukaan atau organ tertentu. Penyebaran hematogen
primer yaitu virus masuk ke dalam darah, kemudian menyebar ke organ dan berkembang biak
di organ tersebut dan menyebar melalui saraf. Virus berkembang Biak di permukaan selaput
lender dan menyebar melalui sistem persyarafan.[12]
Virus-virus yang melalui parotitis, morbili, varisela, dll. masuk ke dalam tubuh
manusia melalui saluran pernapasan. Virus polio dan enterovirus melalui mulut, virus herpes
simpleks melalui mulut atau mukosa kelamin. Virus-virus yang lain masuk ke tubuh melalui
inokulasi seperti gigitan binatang (rabies) atau nyamuk. Bayi dalam kandungan mendapat
infeksi melalui plasenta oleh virus rubela atau cytomegalovirus. Di dalam tubuh manusia
virus memperbanyak diri secara lokal, kemudian terjadi viremia yang menyerang susunan
saraf pusat melalui kapilaris di pleksus koroideus. Cara lain ialah melalui saraf perifer atau
secara retrograde axoplasmic spread misalnya oleh virus-virus herpes simpleks, rabies dan
herpes zoster. Di dalam susunan saraf pusat virus menyebar secara langsung atau melalui
ruang ekstraseluler. Infeksi virus dalam otak dapat menyebabkan meningitis aseptik dan
ensefalitis (kecuali rabies). Pada ensefalitis terdapat kerusakan neuron dan glia dimana terjadi
peradangan otak, edema otak, peradangan pada pembuluh darah kecil, trombosis, dan
mikroglia.[13]
Setelah terjadi penyebaran ke otak maka timbul infeksi klinis ensefalitis. Masa
prodromal berlangsung selama satu sampai empat hari yang ditandai dengan demam, sakit
kepala, pusing, muntah, nyeri tenggorok, malaise, nyeri ekstrimitas dan pucat.[12]

2.6 Diagnosis
2.6.1 Anamnesis & Gejala Klinis

Pada umumnya, tampilan klinis dari ensefalitis virus ditandai dengan onset yang akut
dari triad iritasi leptomeningeal yaitu sakit kepala, kekakuan leher, dan demam. Tampilan
pasien dengan ensefalitis virus juga dapat berupa tanda-tanda neurologis fokal, kejang,
perubahan kesadaran, letargi, berkembang menjadi kebingungan, stupor, hingga koma.
Tampilan lainnya yang dapat muncul meliputi gangguan berbicara dan perilaku, juga
pergerakan abnormal.[3,4]

7
Beberapa tampilan klinis dari ensefalitis virus bergantung pada etiologinya. Berikut gejala-
gejala yang diasosiasikan dengan berbagai sumber infeksi virus yang spesifik.
a. Herpes simplex virus tipe 1 dan 2 (HSV-1, HSV-2), memiliki tampilan subakut,
dengan gejala psikiatri.
b. Japanese encephalitis (JE), biasanya menyerang anak-anak dan remaja. Presentasi
klinis meliputi sering kejang.
c. Demam berdarah, pada umumnya tampil dengan gejala menyerupai influenza
yang parah. Dalam frekuensi yang lebih jarang dapat menjadi ensefalopati,
myelitis, dan neuropati seperti pada sindroma Guillain-Barre.
d. Enterovirus, biasanya prognosis baik, namun dapat tampil penyakit mulut, kaki,
dan tangan. Komplikasi dapat meliputi myokarditis dan paralisis akut.
e. Parotitis ensefalitis, beberapa timbul hidrosefalus.
f. Rabies, sesuai dengan tampilan klinis rabies yaitu demam, sakit kepala, kejang,
perilaku abnormal, hidrofobik dan aerofobik. Koma dan kematian dalam satu
hingga beberapa minggu.
2.6.2 Pemeriksaan Fisik

Umumnya temuan dari pemeriksaan fisik tidak bersifat diagnostik. Temuan klinis
meliputi tanda defisit neurologis fokal seperti opisthotonos, paresis, tremor, ataksia,
hipotonia, diplopia, dan beberapa refleks patologis. [3]
Temuan klinis yang diasosiasikan dengan berbagai sumber infeksi virus yang spesifik adalah
sebagai berikut.
a. Japanese encephalitis (JE), dapat menyebabkan manifestasi ekstrapiramidal
seperti mata melotot lebar, tremor, koreoatetosis, kepala mengangguk, dan
rigiditas. Selain itu, paralisis flaksid pada ekstremitas bawah.
b. Enterovirus, dapat menyebabkan rhomboencephalitis dengan mioklonus, tremor,
ataksia, gangguan syaraf kranial, edema pulmoner neurogenik, hingga koma.
c. Zika virus pada bayi baru lahir akibat ibu yang terinfeksi, dapat menyebabkan
mikrosefalus.
2.6.3 Komplikasi

Komplikasi utama dari ensefalitis meliputi infeksi bakteri sekunder terhadap jalur
respirasi dan urinaria. Komplikasi tergantung pada tingkat keparahan dari ensefalitis.
Komplikasi setelah penyembuhan dari fase ensefalitis virus akut, terdapat residu defek
neurologis, gangguan kecerdasan, dan gangguan psikiatri, tergantung dari virus penyebab. [3]

8
2.6.4 Pemeriksaan Penunjang

Evaluasi diagnostik meliputi tes darah lengkap, fungsi ginjal dan hepar, studi
koagulasi, dan radiografi thoraks. Namun, biasanya temuan laboratorium umum tidak banyak
membantu. Diagnosis diambil dari temuan klinis, namun penegakkan diagnosis lanjutan
diperlukan untuk menghindari pengobatan yang tidak diperlukan dengan efek sampingnya.
Pemeriksaan penunjang lainnya meliputi tes serologi, analisis cairan cerebrospinal (CSF),
MRI, dan sebagainya. Berikut penjelasan dari berbagai pemeriksaan penunjang diagnosis
ensefalitis. [3]
a. Kultur darah, merupakan pemeriksaan wajib, untuk menyingkirkan diagnosis
infeksi bakteri dan jamur.
b. Tes serologi, dengan mendeteksi serum antibodi IgM. Namun, bahkan dengan
usaha yang tergolong besar, tidak dapat secara pasti menentukan diagnosis
etiologisnya.
c. Analisis cairan cerebrospinal, dengan prosedur lumbar puncture, harus dilakukan
sesegera mungkin karena penting dalam menentukan diagnosis dan menunjukkan
tipe profil virus. Hasil ensefalitis virus meliputi: peningkatan protein ringan
hingga sedang (60-80 mg/dL), glukosa normal, pleositosis sedang (hingga 1000
leukosit/microL), predominansi sel mononuklear atau predominansi leukosit
polimorfonuklear pada tahap awal fulminan. Tes PCR juga perlu dilaksanakan
untuk mendeteksi asam nukleat virus pada CSF, terutama pada infeksi oleh
herpesvirus dan enterovirus. [4]
d. CT, PET, dan MRI, untuk menunjukkan adanya lesi pada lobus otak. Biasanya
tidak perlu dilaksanakan. Lainnya meliputi elektroensefalografi (EEG), biopsi
otak, dan temuan histologis, yang dalam prakteknya jarang dilaksanakan.
2.6.5 Diagnosis Banding

Diagnosis lainnya yang perlu diperhatikan meliputi berbagai jenis dari meningitis, yaitu
meningitis meningococcal, staphylococcal, aseptik, hemofilus, tuberculous, dan viral. Selain
itu dapat juga dibandingkan dengan komplikasi sistem syaraf pusat dari komplikasi HIV,
perdarahan intrakranial, kejang demam pada anak, status epilepticus pada anak, dan lain-lain.

9
2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Preventif

Tindakan preventif ensefalitis viral tergantung pada masing-masing etiologi


penyakitnya. Salah satu preventif terpenting adalah penggunaan vaksin yang tersedia, yaitu
untuk melawan virus varicella-zoster dan Japanese ensefalitis, dan juga profilaksis pasca-
pajanan melawan rabies yang dapat dicapai melalui imunisasi aktif oleh vaksin
dikombinasikan dengan imunisasi pasif menggunakan globulin kekebalan tubuh manusia
terhadap rabies.
Selain itu tindakan pencegahan lainnya meliputi pencegahan transmisi beberapa virus
melalui nyamuk. Hal ini meliputi menggunakan pakaian protektif dan krim atau spray
repellent serangga untuk mencegah digigit, penghindaran aktivitas luar, membersihkan
genangan air dan sumber pertumbuhan nyamuk lainnya. Preventif lainnya meliputi program
surveilans untuk memprediksi outbreak infeksi. [4]
2.7.2 Terapi

Pendekatan multidisipliner perlu diterapkan dalam penatalaksanaan penyakit


ensefalitis. Terapi medis meliputi penanganan memyeluruh dari jalur napas, fungsi kemih,
keseimbangan cairan dan elektrolit, nutrisi, pencegahan decubitus, infeksi sekunder, dan
hiperpireksia. Rehabilitasi fisik dan kognitif juga diperlukan sesegera mungkin untuk
meminimalkan masalah kognitif dan komplikasi jangka panjang. Selain dari prinsip-prinsip
dasar, tidak ada perawatan khusus tersedia untuk sebagian besar penyebab ensefalitis virus
atau radang otak. [15]
Kortikosteroid tidak terbukti bermanfaat kecuali pada sindrom postinfectious yang
dimediasi imun. Sakit kepala dan demam dapat diobati dengan acetaminophen atau obat
antiinflamasi nonsteroid. Prinsip penatalaksanaan lainnya dijelaskan seperti berikut. [15]
A. Terapi antivirus

Farmakoterapi utama dari ensefalitis virus adalah terapi medikasi antivirus.


Berikut beberapa terapi antivirus untuk berbagai sumber virus spesifik penyebab
ensefalitis viral.
a. Varicella-zoster, merespons terhadap Acyclovir 10-15 mg/kg secara intravena
setiap 8 jam untuk 14 hari

10
b. Cytomegalovirus, diobati dengan Ganciclovir selama 21 hari dengan dosis 5
mg/kg secara intravena 2 kali setiap hari dan Foscarnet 60 mg/kg secara intravena
setiap 8 jam, diikuti dengan terapi pemeliharaan selama 3 hingga 6 minggu
dengan salah satu obat.
B. Penanganan peningkatan tekanan intrakranial

Penanganan peningkatan TIK dilakukan di ICU dengan prinsip elevasi kepala,


diuresis, mannitol, dan hiperventilasi.
C. Penanganan kejang
Penanganan kejang dapat dengan medikasi phenytoin dan asam valproate
melalui intravena. Jika memungkinkan, phenytoin dan carbamazepine dapat diberikan
secara oral atau intragastrik. Benzodiazepine dapat digunakan untuk menghentikan
status epilepticus.

2.8 Komplikasi dan Prognosis Ensefalitis Virus


Mayoritas pasien yang menderita ensefalitis akan mengalami setidaknya satu
komplikasi, terutama pasien usia lanjut, mereka yang memiliki riwayat koma, dan individu
yang tidak menerima pengobatan pada tahap awal. Meskipun menggunakan obat antivirus,
squele dan kekambuhan dapat tetap terjadi. Tingkat kematian pada ensefalitis virus non-
herpes berkisar dari yang sangat rendah misalnya ensefalitis EBV, hingga sangat tinggi yaitu
Eastern Equine Enchephalitis. Angka kematian pada HSE yang tidak diobati sekitar 70% dan
kurang dari 3% akan kembali ke fungsi normal [16]. Dalam analisis retrospektif pasien dengan
diagnosis HSE, hanya 16% dari pasien yang tidak diobati yang selamat.
Beberapa komplikasi sekunder yang dapat timbul akibat ensefalitis virus diantaranya
adalah peningkatan tekanan intrakranial, infark serebral, trombosis vena serebral, sindrom
sekresi hormon antidiuretik yang tidak sesuai, pneumonia aspirasi, perdarahan saluran cerna
bagian atas, infeksi saluran kemih, dan koagulopati intravaskular diseminata. Sekuel akhir
dari ensefalitis virus sangat tergantung pada usia pasien, etiologi ensefalitis, dan tingkat
keparahan episode klinis.[17] Komplikasi dari HSE yang parah diketahui dapat berupa epilepsi,
anomie persisten, afasia, defisit motorik, dan keadaan amnestik kronis mirip dengan psikosis
Korsakoff. Sindrom ekstrapiramidal (parkinsonisme) sebagai sekuel lanjut dari ensefalitis
virus pertama kali diketahui setelah epidemi ensefalitis virus influenza yang ditandai oleh
sindrom somnolent-ophthalmoplegic dan fatigue.

11
Dilaporkan, setelah infeksi ensefalitis virus sporadis, terutama setelah japanese
enchepalitis, hampir sepertiga dari semua anak-anak dengan Japanese Enchepalitis akan
mati, dan 75% dari anak-anak yang selamat dapat dibiarkan dengan sekuele neurologis
utama, termasuk retardasi mental, epilepsi, kelainan perilaku (kepribadian obsesif-
kompulsif), gangguan gerak bicara dan ekstrapiramidal (parkinsonian). Sindrom fatigue yang
berkepanjangan dan menetap, mialgia, saraf, serta gangguan konsentrasi. [18]

12
BAB III
SIMPULAN

Ensefalitis virus adalah peradangan parenkim otak yang disebabkan oleh virus. Ini
adalah jenis ensefalitis yang paling umum dan sering berdampingan dengan meningitis virus.
Ensefalitis virus cenderung lebih umum pada orang yang lebih muda dibandingkan dengan
orang tua.
Insiden ensefalitis virus adalah 3,5 hingga 7,5 per 100.000 orang, dengan insiden
tertinggi pada usia muda dan lanjut usia. Epidemiologi penyebab virus tertentu dari
ensefalitis telah berubah seiring waktu. Terdapat beberapa etiologi tersering dari ensefalitis
virus yang diketahui diantaranya: Enterovirus Ensefalitis, Herpes Simplex Ensefalitis,
Varicella Zoster Ensefalitis, Human Herpes Virus 6 (HHV-6) Ensefalitis, Tick-Borne
Ensefalitis, Measles Ensefalitis, Rabies, West Nile Virus, Human Immunodeficiency Virus,
Japanese Ensefalitis, Eastern Equine Ensefalitis, Epstein Barr Virus Ensefalitis.
Virus masuk ke tubuh melalui kulit, saluran pernafasan dan saluran cerna. Setelah
masuk ke tubuh virus akan menyebar keseluruh tubuh secara lokal yaitu aliran virus terbatas
yang menginfeksi selaput lender permukaan atau organ tertentu. Penyebaran hematogen
primer yaitu virus masuk ke dalam darah, kemudian menyebar ke organ dan berkembang biak
di organ tersebut dan menyebar melalui saraf. Virus berkembang Biak di permukaan selaput
lender dan menyebar melalui sistem persyarafan. Di dalam tubuh manusia virus
memperbanyak diri secara lokal, kemudian terjadi viremia yang menyerang susunan saraf
pusat melalui kapilaris di pleksus koroideus. Cara lain ialah melalui saraf perifer atau secara
retrograde axoplasmic spread misalnya oleh virus-virus herpes simpleks, rabies dan herpes
zoster. Pada ensefalitis terdapat kerusakan neuron dan glia dimana terjadi peradangan otak,
edema otak, peradangan pada pembuluh darah kecil, trombosis, dan mikroglia. Setelah terjadi
penyebaran ke otak maka timbul infeksi klinis ensefalitis
Pada umumnya, tampilan klinis dari ensefalitis virus ditandai dengan onset yang akut
dari triad iritasi leptomeningeal yaitu sakit kepala, kekakuan leher, dan demam. Tampilan
pasien dengan ensefalitis virus juga dapat berupa tanda-tanda neurologis fokal, kejang,
perubahan kesadaran, letargi, berkembang menjadi kebingungan, stupor, hingga koma.
13
Tampilan lainnya yang dapat muncul meliputi gangguan berbicara dan perilaku, juga
pergerakan abnormal. Tampilan klinis dari ensefalitis virus bergantung pada etiologinya.
Umumnya temuan dari pemeriksaan fisik tidak bersifat diagnostik. Temuan klinis meliputi
tanda defisit neurologis fokal seperti opisthotonos, paresis, tremor, ataksia, hipotonia,
diplopia, dan beberapa refleks patologis. Biasanya temuan laboratorium umum tidak banyak
membantu. Diagnosis diambil dari temuan klinis, namun penegakkan diagnosis lanjutan
diperlukan untuk menghindari pengobatan yang tidak diperlukan dengan efek sampingnya.
Pendekatan multidisipliner perlu diterapkan dalam penatalaksanaan penyakit
ensefalitis. Farmakoterapi utama dari ensefalitis virus adalah terapi medikasi antivirus, seperti
Acyclovir dan Ganiclovir. Penanganan peningkatan TIK dilakukan di ICU dengan prinsip
elevasi kepala, diuresis, mannitol, dan hiperventilasi. Penanganan kejang dapat dengan
medikasi phenytoin dan asam valproate melalui intravena.
Mayoritas pasien yang menderita ensefalitis akan mengalami setidaknya satu
komplikasi, terutama pasien usia lanjut, mereka yang memiliki riwayat koma, dan individu
yang tidak menerima pengobatan pada tahap awal. Meskipun menggunakan obat antivirus,
squele dan kekambuhan dapat tetap terjadi. Komplikasi maupun prognosis dari Ensefalitis
virus berbeda beda tergantung dari etiologi yang mendasarinya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Im JH, Baek J, Durey A, Kwon HY, Chung MH, Lee JS. Current Status of Tick-
Borne Diseases in South Korea. Vector Borne Zoonotic Dis. 2019 Apr;19(4):225-
233. 
2. Kadambari S, Harvala H, Simmonds P, Pollard AJ, Sadarangani M. Strategies to
improve detection and management of human parechovirus infection in young
infants. Lancet Infect Dis. 2019 Feb;19(2):e51-e58.

14
3. Misra U, Tan C, Kalita J. Viral encephalitis and epilepsy. Epilepsia. 2008;49:13-18.
4. Simon R, Aminoff M, Greenberg D. Lange Clinical Neurology, 10th Edition. 10th ed.
LANGE; 2010.
5. Phipps P, Johnson N, McElhinney LM, Roberts H. West Nile virus season in
Europe. Vet. Rec. 2018 Aug 18;183(7):224. 
6. Ben Abid F, Abukhattab M, Ghazouani H, Khalil O, Gohar A, Al Soub H, Al
Maslamani M, Al Khal A, Al Masalamani E, Al Dhahry S, Hashim S, Howadi F, Butt
AA. Epidemiology and clinical outcomes of viral central nervous system
infections. Int. J. Infect. Dis. 2018 Aug;73:85-90. 
7. Ferrari S , Toniolo A , Monaco S , Luciani F , Cainelli F. Viral Encephalitis: Etiology,
Clinical Features, Diagnosis and Management. The Open Infectious Diseases Journal.
2010 Feb; 66: 75-80
8. Soedarma SP, Garna H, Hadinegoro SR, Satara IH. Japanese Encephalitis. In:
Soedarma SP , Garna H, Hadinegoro SR, Satara IH, editors. Buku Ajar Infeksi dan
Pediatri Tropis (2nd ed). Jakarta: Badan penerbit IDAI, 2008; p. 259-75.
9. MacLachlan N.J. & Dubovi E.J. (2010). – Togaviridae. In Fenner’s veterinary
virology, 4th Ed. (N.J. MacLachlan & E.J. Dubovi, eds). Academic Press, London,
456–464.
10. Kalita J, Maurya PK, Kumar B, Misra UK. Epstein Barr virus encephalitis: Clinical
diversity and radiological similarity. Neurol India. 2011;59:605–7. 
11. Syaifuddin. 2009. Anatomi Tubuh Manusia. Edisi 2. Salemba Medika, Jakarta.
12. Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Ganggun system
Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika
13. Harsono. 1999. Buku Ajar Neurologi Klinis. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
14. Tarwoto, W. E. 2007. Keperawatan Medikal Bedah (Gangguan Sistem Persarafan).
Jakarta: CV. Sagung Seto.
15. Tunkel A, Glaser C, Bloch K, Sejvar J, Marra C, Roos K et al. The Management of
Encephalitis: Clinical Practice Guidelines by the Infectious Diseases Society of
America. Clinical Infectious Diseases. 2008;47(3):303-327.
16. Samra JA, Hagood NL, Summer A, Medina MT, Holden KR. Clinical Features and
Neurologic Complications of Children Hospitalized With Chikungunya Virus in
Honduras. J Child Neurol. 2017; 32: 712-716.

15
17. Senadim S, Alpaydin Baslo S, Tekin Güveli B, Dedei Daryan M, Kantaroglu E, et al.
A rare cause of cerebral venous thrombosis: cryptococcal meningoencephalitis.
Neurol Sci. 2016; 37: 1145-1148.
18. Edmond P, Gentian S, Ermira M, Elda Q, Zhenisa H, et al. Acute Enchepalitis; A
Short Review and Problems in Daily Practice for Clinicans. SMGroup. 2017: 7.

16

Anda mungkin juga menyukai