Anda di halaman 1dari 22

MODUL

NEURO-ONKOLOGI

(MODUL INDUK)

KOLEGIUM NEUROLOGI INDONESIA

PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS SARAF INDONESIA

2008
Modul Pelatihan Neuro-onkologi terdiri dari:

1. Meningioma
2. Astrositoma
3. Tumor hipofisis
4. Neurinoma Akustik
5. Tumor medulla spinalis
6. Tumor metastasis

Mengembangkan Kompetensi Waktu


Sesi di dalam kelas Minggu 1, 2, dan 3 : Classroom – introduksi
tentang tumor susunan saraf pusat. Patofisiologi,
patogenesis, diagnosis, diagnosa banding,
pemeriksaan penunjang, manajemen terapi disertai
pelatihan pemeriksaan pasien dan mengatasi
kegawatdaruratan.
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing Minggu 4 dan 5 : clinical practice session diskusi
kasus tumor susunan saraf pusat dan mengelola
komplikasi
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi Minggu 4 : clinical practice session

TUJUAN UMUM

1. Melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi yaitu dalam bidang pendidikan, penelitian dan
pengabdian masyarakat.
2. Mempersiapkan para kandidat dalam menangani masalah-masalah penyakit-penyakit secara
klinis sehingga mampu mengatasi berbagai masalah di bidang neurologi yang akan dihadapi
sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, dan kompetensi sebagai spesialis
saraf

TUJUAN KHUSUS
1. Memiliki pengetahuan yang lebih mendalam mengenai penyakit terutama dari aspek ilmu-
ilmu dasar untuk melaksanakan kegiatan promosi, prevensi, kurasi, rehabilitasi dan
kegawatan.
2. Memiliki pengetahuan dasar untuk menganalisis penyakit secara klinis, komunitas maupun
science, dan mempunyai ketrampilan untuk mengobati penderita.
3. Berpartisipasi aktif untuk mengembangkan pengetahuan dan memiliki ketrampilan dalam
penerapan ilmu pada penderita yang memerlukan pertolongan.
4. Dapat bekerja sama dengan profesi lain demi kepentingan pasien dan pengetahuan.
5. Mampu menerapkan prinsip-prinsip dan metode berpikir ilmiah dalam menerapkan ilmu
6. Mampu mengenal dan merumuskan pendekatan penyelesaian serta menyusun prioritas
masalah neurologi dengan menggunakan penalaran ilmiah, melalui perencanaan,
implementasi, dan evaluasi terhadap upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

1
7. Mampu menangani kasus-kasus dengan kemampuan profesional yang tinggi melalui
pendekatan Evidence Base Medicine
8. Mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas penelitian dasar, klinis dan lapangan serta
mempunyai motivasi mengembangkan pengalaman belajar sehingga dapat mencapai tingkat
akademis lebih tinggi
9. Bersifat terbuka, tanggap terhadap perubahan dan kemajuan ilmu dan tehkologi atau masalah
yang dihadapi masyarakat.

REFERENSI :
 Standar kompetensi spesialis saraf 2006, KNI PERDOSSI
 Ropper A.H., Robert HB., Adams and Victor, Principles of Neurology, 8th ed. Mc
Graww Hill, 2005, 11-13, 541-542.
 Berger S, Prados D. Textbook of neurooncology. Philadelphia : Elsevier, 2005.
 Kaye A.H, Laws ER. Brain tumors. New York : Churchill Livingstone, 1995.

KOMPETENSI

 Menegakkan diagnosis dan tatalaksana tumor susunan saraf pusat


mencakup epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patogenesis, dan patofisiologi, gambaran
klinik, pemeriksaan penunjang dan interpretasinya disertai manajemen pengobatan
terpadu.

KETERAMPILAN
Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan:
 Identifikasi, anamnesis dan diagnosis tumor susunan saraf pusat
 Mengetahui epidemiologi, patogenesis, patofisiologi, gambaran klinik tumor susunan saraf
pusat
 Menegakkan diagnosis tumor susunan saraf pusat
 Mengetahui dan menjelaskan berbagai pemeriksaan penunjang dalam membantu penegakkan
diagnosis tumor susunan saraf pusat
 Menguasai tatalaksana dan pengelolaan pasien tumor susunan saraf pusat
 Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada tumor susunan saraf pusat
 Memprediksi dan mengelola komplikasi yang terjadi pada tumor susunan saraf pusat
 Mempertimbangkan terapi operatif tumor susunan saraf pusat
 Mengetahui upaya preventif tumor otak, baik secara global maupun di tingkat biomolekular.
 Menguasai terapi paliatif pada penderita tumor susunan saraf pusat untuk meningkatkan
kualitas hidup penderita.

2
GAMBARAN UMUM

Tujuan pelatihan ini adalah untuk memberikan bekal pengetahuan mengenai praktek dan
tatalaksana tumor pada susunan saraf pusat secara komprehensif melalui pendekatan berbasis
kasus (case based learning). Peserta didik mempelajari mengenai proses patologis, diagnostik,
evaluasi, serta terapi farmakologis tumor susunan saraf pusat secara mandiri dan aktif.

CONTOH KASUS

Kasus I
Wanita, 40 tahun, datang dengan keluhan utama sakit kepala kronis. Sejak 3 bulan SMRS pasien
mengeluh sakit kepala berdenyut di seluruh kepala yang semakin lama semakin terasa nyeri.
Sakit kepala terutama timbul saat pagi hari, terkadang disertai muntah tanpa didahului mual.
Sakit kepala dirasakan memberat saat pasien mengedan buang air besar dan batuk. Keluhan sakit
dirasakan memberat dalam 1 bulan terakhir dan pasien mulai merasakan kelemahan pada
anggota gerak sebelah kiri. Riwayat KB hormonal sejak usia 30 tahun

Kasus II
Seorang wanita, 21 tahun, datang dengan keluhan gangguan lapang pandang yang semakin
menyempit. Sejak 4 bulan SMRS pasien mengeluh sakit kepala yang hilang timbul. Sakit kepala
dirasakan seperti berat terutama bagian depan, keluhan tidak dirasakan memberat. Lebih kurang
2 bulan SMRS saat bercermin dan hendak menyisir rambut, pasien mengeluh pandangan sebelah
kanan dan kiri luar agak kabur, dan pasien sulit melihat lengan bagian luarnya. Saat berjalan pun
pasien mengaku sering menabrak barang yang ada di samping kiri dan kanannya. Keluhan
pandangannya semakin memberat, sehingga pasien hanya dapat melihat jelas pada bagian tengah
lapang pandangnya saja. Keluhan juga disertai keluarnya air susu dari kedua payudaranya.
Keluhan tidak disertai demam

Kasus III
Laki-laki, 34 tahun, datang dengan keluhan utama kejang-kejang. 1 jam SMRS pasien tampak
tidak sadarkan diri, sebelumnya pasien mengalami kejang kelojotan seluruh tubuh, seluruh
anggota geraknya tampak kaku dan kadang bergerak kencang dengan sendirinya tanpa dapat
dikontrol oleh pasien. Kejang berlangsung lebih kurang 2 menit kemudian pasien tidak sadarkan
diri. Tak berapa lama kemudian mengalami kejang kembali dengan pola yang sama. Setelah
kejang pasien tampak tertidur lebih kurang setengah jam kemudian pasien terbangun tampak
linglung dan tidak ingat kejadian sebelumnya. Riwayat demam sebelum kejang (-) . Riwayat
kejang saat pasien usia kanak-kanak atau usia sekolah tidak pernah dialami sebelumnya. Pasien
sering mengeluh sakit kepala 6 bulan terakhir, yang pada awalnya tidak terlalu nyeri dan
membaik bila pasien minum obat warung. Namun sejak 3 bulan terakhir sakit kepala semakin
memberat hingga pasien sering sekali mengkonsumsi obat sakit kepala dari warung. Keluhan
sakit kepala dirasakan berat dan berdenyut diseluruh bagian kepala. Kadang disertai muntah
terutama di pagi hari. Pasien juga mengeluh menjadi sering tampak bingung, dan agak lambat
merespon pembicaraan orang lain. Dan 1 bulan terakhir pasien mengeluh tungkai kanannya
terasa berat dan kesulitan memakai sandal, dan terkadang disertai kesemutan.

3
Kasus IV
Wanita, 51 tahun, datang dengan keluhan utama sakit kepala di bagian depan dan muntah sejak
10 jam sebelum masuk RS. Pasien cenderung mengantuk dan bicara mulai tidak sesuai dengan
pertanyaan. Sejak 1 tahun telinga kanan sering berdenging dan pendengaran menurun, namun
tidak pernah berobat. Pasien juga sering merasa pusing berputar dan lebih senang berbaring.

Kasus V
Laki-laki, 36 tahun, datang dengan keluhan utama tidak dapat berjalan. Sejak 1 tahun terakhir
pasien mengeluh pinggang pasien terasa berat dan terkadang disertai nyeri. 2 bulan kemudian
pasien mengeluh rasa kesemutan pada kedua tungkainya yang semakin lama semakin memberat
hingga terasa hingga pusarnya. Lebih kurang 3 bulan kemudian pasien mulai mengeluh tungkai
kanannya mulai terasa lemas dan kesulitan dalam memakai sandal jepit. Keluhan dirasakan
semakin memberat hingga pasien sulit untuk berjalan. Sekitar 4 bulan kemudian keluhan
bertambah berat hingga pasien kesulitan untuk buang air kecil dan pasien harus mengedan agak
keras untuk mengeluarkan air kemihnya. Riwayat kencing batu sebelumnya tidak pernah
dikeluhkan.

Kasus VI
Seorang wanita, 45 tahun, datang dengan keluhan utama sakit kepala memberat sejak 6 bulan
SMRS. Keluhan sakit kepala dirasakan berdenyut dan berat diseluruh bagian kepala. Keluhan
juga kadang disertai muntah, terutama dirasakan saat pagi hari. Lebih kurang 1 bulan terakhir
pasien mengeluh lengan kirinya sering bergerak-gerak sendiri, pasien masih tetap sadar, namun
pasien tidak dapat sama sekali mengkontrol gerakan tersebut. Lebih kurang 10 tahun yang lalu
pasien pernah didiagnosis kanker payudara dan pernah dioperasi oleh dokter bedah dan telah
dilakukan radiasi pada payudaranya

Diskusi
1. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, apakah diagnosis pasien ini ?
2. Apakah gejala klinis yang paling sering timbul pada tumor susunan saraf pusat ?
3. Apakah tumor susunan saraf pusat dapat menimbulkan gangguan hormonal ?
4. Tumor susunan saraf pusat apa yang paling sering menimbulkan kelainan hormonal ?
5. Pemeriksaan penunjang apa untuk membantu menegakkan diagnosis anda ?
6. Bagaimana tatalaksana seseorang dengan tumor susunan saraf pusat ?
7. Bagaimana tatalaksana keadaan emergensi pada tumor susunan saraf pusat ?
8. Kapan diperlukan terapi operatif pada pasien dengan tumor susunan saraf pusat ?
9. Apa upaya preventif terjadinya keganasan?
10. Bagaimana terapi paliatif pada tumor susunan saraf pusat?

RANGKUMAN
a. Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan cara anamnesis; pemeriksaan fisik
neurologis; pemeriksaan penunjang; penentuan diagnosis klinik, topis, etiologi, patologi, dan
anatomi; dan diagnosa banding tumor susunan saraf pusat (SSP).
b. Kompetensi pengobatan dicapai dengan cara keragaman dan beratnya keadaan
klinis pasien tumor susunan saraf pusat.

4
TUJUAN PEMBELAJARAN
a. Mengidentifikasi, anamnesis dan pemeriksaan klinis pasien dengan tumor susunan
saraf pusat
 Mengetahui anamnesis dan pemeriksaan klinik pasien dengan kecurigaan tumor susunan
saraf pusat
 Mengetahui penilaian fungsional dan kognitif akibat dari tumor susunan saraf pusat
 Melakukan penilaian kondisi pasien secara umum berdasarkan skala tampilan Karnofski
(Karnofski Performance Scale / KPS)

b. Mengetahui epidemiologi, patogenesis, patofisiologi, gambaran klinik tumor susunan


saraf pusat
 Mengetahui epidemiologi tumor susunan saraf pusat
 Mengetahui patogenesis dan patofisiologi tumor susunan saraf pusat
 Mengetahui gambaran klinik tumor susunan saraf pusat

c. Menegakkan diagnosis tumor susunan saraf pusat


 Mengetahui dan menjelaskan cara mendiagnosis tumor susunan saraf pusat

d. Mengetahui dan menjelaskan berbagai pemeriksaan penunjang dalam membantu


penegakkan diagnosis tumor susunan saraf pusat
 Mengetahui dan menjelaskan kapan suatu pemeriksaan penunjang yang sesuai dengan
tumor susunan saraf pusat

e. Menguasai tatalaksana dan pengelolaan pasien tumor susunan saraf pusat


 Menguasai tatalaksana kegawatdaruratan pasien dengan tumor susunan saraf pusat
 Menguasai manajemen pengelolaan tumor susunan saraf pusat dan kaitannya dengan
bagian lain
 Mengetahui dan menjelaskan waktu pemberian kemoterapi dan radioterapi pada pasien
dengan tumor susunan saraf pusat
 Mengetahui prognosis berbagai pasien dengan tumor susunan saraf pusat berdasarkan
patologi tumor dan penatalaksanaan yang diberikan

f. Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada tumor susunan saraf
pusat
 Mengetahui dan menjelaskan cara kerja serta efek samping penggunaan kortikosteroid
pada pasien dengan tumor susunan saraf pusat
 Mengetahui dan menjelaskan cara kerja serta efek samping obat anti kejang pada pasien
dengan tumor susunan saraf pusat
 Mengetahui cara kerja serta efek samping radioterapi dan kemoterapi pada pasien dengan
tumor susunan saraf pusat
 Mampu mengevaluasi hasil terapi
g. Memprediksi dan mengelola komplikasi yang terjadi pada tumor susunan saraf pusat
 Mampu memprediksi komplikasi yang terjadi pada tumor susunan saraf pusat
 Mampu mengelola komplikasi yang terjadi pada tumor susunan saraf pusat

5
h. Mempertimbangkan terapi operatif tumor susunan saraf pusat
 Mengetahui indikasi tindakan operatif pada waktu yang tepat
 Mengetahui risiko dan harapan dari tindakan operatif

i. Mengetahui upaya preventif tumor otak, baik secara global maupun di tingkat
biomolekular.
 Mengetahui dan menjelaskan upaya preventif hal-hal yang dapat memicu karsinogenesis
secara umum
 Mengetahui dan menjelaskan upaya deteksi dini tumor susunan saraf melalui penanda
biomolekular dan pemeriksaan genetik yang diperlukan

j. Menguasai terapi paliatif pada penderita tumor susunan saraf pusat untuk
meningkatkan kualitas hidup penderita.
 Menguasai penanganan nutrisi pada pasien dengan tumor susunan saraf pusat
 Menguasai penanganan nyeri pada pasien dengan tumor susunan saraf pusat
 Menguasai neurorehabilitasi pada pasien dengan tumor susunan saraf pusat

Metode Pembelajaran
Tujuan akhir dari pembelajaran, pencapaian kompetensi dan pengamalan ilmu neurologi pada
dasarnya adalah untuk menghasilkan spesialis di bidang ini untuk memiliki professional
behavior yang ditunjukkan dengan:
a. Kepakaran medik / pembuat keputusan klinik
b. Komunikator
c. Kolaborator
d. Manajer
e. Advokasi kesehatan
f. Kesarjanaan
g. Profesional
h. Performance

Kasus untuk pembelajaran

Seorang laki-laki, 34 tahun, datang dengan keluhan utama kejang-kejang. 1 jam SMRS pasien
tampak tidak sadarkan diri, sebelumnya pasien mengalami kejang kelojotan seluruh tubuh,
seluruh anggota geraknya tampak kaku dan kadang bergerak kencang dengan sendirinya tanpa
dapat dikontrol oleh pasien. Kejang berlangsung lebih kurang 2 menit kemudian pasien tidak
sadarkan diri. Tak berapa lama kemudian mengalami kejang kembali dengan pola yang sama.

6
Setelah kejang pasien tampak tertidur lebih kurang setengah jam kemudian pasien terbangun
tampak linglung dan tidak ingat kejadian sebelumnya. Riwayat demam sebelum kejang (-) .
Riwayat kejang saat pasien usia kanak-kanak atau usia sekolah tidak pernah dialami sebelumnya.
Pasien sering mengeluh sakit kepala 6 bulan terakhir, yang pada awalnya tidak terlalu nyeri dan
membaik bila pasien minum obat warung. Namun sejak 3 bulan terakhir sakit kepala semakin
memberat hingga pasien sering sekali mengkonsumsi obat sakit kepala dari warung. Keluhan
sakit kepala dirasakan berat dan berdenyut diseluruh bagian kepala. Kadang disertai muntah
terutama di pagi hari. Pasien juga mengeluh menjadi sering tampak bingung, dan agak lambat
merespon pembicaraan orang lain. Dan 1 bulan terakhir pasien mengeluh tungkai kanannya
terasa berat dan kesulitan memakai sandal, dan terkadang disertai kesemutan.

Hasil pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut: kesadaran compos mentis, tekanan darah: 110/70
mmHg; frekuensi nadi 90 x/ menit; suhu 37,3 0C; respirasi 21 x / menit; jantung dan paru dalam
batas normal; abdomen tegang , hepar dan lien tak teraba; ekstremitas tidak ada edema.
Pemeriksaan fisik neurologis menunjukkan SKG: E4 M6 V4 (disorientasi tempat dan waktu);
status mental: terganggu; tidak ditemukan tanda rangsang meningeal; pupil isokor, refleks
positif/positif, FODS : papil edema; saraf kranialis: paresis N VII kanan UMN; motorik:
hemiparese kanan; sensorik: baik; refleks fisiologis +++/++; refleks patologis +/-; klonus +/-;
saraf otonom : dalam batas normal.
Pada pasien dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium (darah perifer
lengkap, hitung jenis, laju endap darah) dan CT Scan otak/MRI. Dilakukan pemantauan
kesadaran, tanda vital, defisit fokal, dan ancaman gagal nafas.

Diskusi
1. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, apakah diagnosis pasien ini ?
2. Apakah gejala klinis yang paling sering timbul pada tumor susunan saraf pusat ?
3. Pemeriksaan penunjang apa untuk membantu menegakkan diagnosis anda ?
4. Bagaimana tatalaksana seseorang dengan tumor susunan saraf pusat ?
5. Bagaimana tatalaksana keadaan emergensi pada tumor susunan saraf pusat ?
6. Kapan diperlukan terapi operatif pada pasien dengan tumor susunan saraf pusat ?
7. Apa upaya preventif terjadinya keganasan?
8. Bagaimana terapi paliatif pada tumor susunan saraf pusat?

Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan cara :


 Anamnesis
 Pemeriksaan fisik/neurologis
 Diagnosis banding
 Diagnosis (klinis, topis, etiologi, patologi-anatomi)
 Pemeriksaan penunjang
 Sistem rujukan

Penilaian kompetensi
Hasil observasi selama alih pengetahuan dan ketrampilan

7
EVALUASI
Kompetensi Kognitif
 Pre-test
 Essay
 MCQ
 Lisan
 Ujian pasien

PENUNTUN BELAJAR

NAMA PESERTA: ...................................... TANGGAL: .................................

II. INFORMED CHOICE


1. Sapa dengan hormat pasien anda
Kenalkan diri anda dan jelaskan tujuan anda dalam wawancara
Tanyakan apakah pasien telah tahu tentang kelainan yang ada dan apakah sudah
mendapat penjelasan tentang apa yang akan dilakukan
 Jika belum, jelaskan kelainan yang dialami dan upaya yang akan
dilakukan
 Jika sudah, nilai kemali apakah penjelasannya benar dan lengkap
Tunjukkan diagnosis dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan dan
penatalaksanaan untuk kelainan yang ada
Jelaskan berbagai pengobatan dan tindakan yang dapat diterapkan terhadap
pasien, termasuk efek samping, komplikasi dan risiko (sampaikan dengan
bahasa yang mudah dimengerti dan pastikan pasien telah mengerti)
Minta pasien untuk menentukan salah satu pengobatan dan tindakan yang
menurut pasien adalah paling tepat, setelah mendapat penjelasan yang obyetif
dan benar dari operator/dokter
Persilahkan pasien dan keluarganya untuk menyatakan dan menuliskan cara
pengobatan yang menjadi pilihannya pada status pasien atau formulir yang
telah disediakan

8
MATERI BAKU

MENINGIOMA
Pendahuluan
Meningioma merupakan salah satu jenis tumor jinak intrakranial yang sering terjadi, yaitu sekitar
15–20% dari seluruh tumor intrakranial dan 25% dari seluruh tumor intraspinal. Tumor ini
berasal dari sel arakhnoid, yaitu sel yang berada pada lapisan paling luar (outer ining) granulasi
arakhnoid, dan dapat menekan korteks atau saraf kranial. Penelitian biomolekuler menunjukkan
adanya delesi pada lengan panjang kromosom 22, yang merupakan lokasi gen supresor tumor,
sehingga menyebabkan tumbuhnya sel araknoid secara berlebihan.
Insidens meningioma lebih sering terjadi pada wanita, dengan perbandingan wanita:pria adalah
3:2. Hal ini dicurigai berkaitan dengan hormon, karena ditemukannya reseptor estrogen pada
30% kasus meningioma serta reseptor progesteron pada 70%) kasus. Angka rekurensi juga
tinggi, sekitar 20%.

Gejala Klinis
Seperti tumor otak yang lain, penderita meningioma dapat menunjukkan gejala klinis sakit
kepala, kejang, perubahan status mental, dan defisit neurologis fokal, tergantung pada lokasi otak
yang terkena. Lokasi yang paling sering adalah di daerah parasagital (25%) dan konveksitas
(20%), selain juga di sphenoid wing (10%), olfactory groove (10%), suprasella (10%), fossa
posterior (10%), intraventrikel (2%), dan lain-lain (3%). Sekitar 30% pasien meningioma
mengalami kejang sebelum operasi, dan insidens kejang pasca-operasi juga cukup tinggi.

Diagnosis
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah foto polos kepala, angiografi, CT scan, dan
MRI kepala. Foto polos dapat menunjukkan adanya hiperostosis, erosi, pelebaran pembuluh
darah, dan kalsifikasi. Angiografi dilakukan jika ada pertimbangan untuk dilakukan embolisasi
pra-operatif dan sebagai konfirmasi vaskularisasi tumor. Pada 18% kasus angiografi
meningkatkan ketepatan diagnosis dan harus disertai dengan pemeriksaan CT scan. CT scan
merupakan pemeriksaan radiologis yang penting. Pemeriksaan dengan dan tanpa kontras
dilaporkan positif pada 96% kasus dan spesifik pada 90% kasus. Sekitar 70 – 75% meningioma
menunjukkan gambaran hiperdens yang homogen, 25% isodens, serta pada 20% kasus tampak
kalsifikasi. Dengan pemberian kontras, tampak penyangatan yang homogen.
Diagnosis pasti meningioma ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan patologi anatomi.
Klasifikasi patologi menurut WHO dibagi menjadi 4 kategori, yaitu klasik, angioblastik, agresif,
dan maligna. Gambaran yang khas adalah adanya pusaran (whorl) yang mengelilingi materi
hialin. Jika pusaran tersebut disertai oleh deposit kalsium sehingga sebagian atau seluruhnya
tampak kalsifikasi, maka gambaran itu disebut psammoma body. Adanya gambaran ini
menunjukkan prognosis pasien yang lebih baik, karena pertumbuhannya lambat.

9
Terapi
Terapi definitif adalah pembedahan dengan reseksi total jaringan tumor. Namun, pada
meningioma dapat diberikan radioterapi untuk menghambat kekambuhan, dengan indikasi jika
terdapat residu tumor, tumor tidak dapat dioperasi, dan secara histologis memperlihatkan tanda-
tanda keganasan. Radiasi eksternal diberikan dengan dosis 5000 – 5500 cGy, difraksinasi 180 –
200 cGy perhari dan diberikan selama 5 – 6 minggu. Tindakan ini dilaporkan memiliki
komplikasi yang rendah, tetapi harus hati-hati pada tumor yang berada dekat dengan nervus
opticus dan batang otak. Radiasi dapat juga diberikan dalam dosis besar dengan satu kali
pemberian, yaitu dengan radiosurgeri stereotaktik pada tumor yang berukuran <3 cm dan tidak
melibatkan nervus optikus atau struktur vital lainnya.
Terapi lain pada meningioma rekurens adalah penggunaan anti-progesteron, yaitu mifepristone,
tetapi penelitian belum memberikan hasil yang memuaskan. Penggunaan anti-estrogen seperti
tamoxifen juga terbukti tidak efektif.

Kepustakaan:
1. de Monte F, al Mefty O. Meningioma. Dalam: Kaye AH, Laws E, eds. Brain Tumor.
Edinburg: Churchill Livingstone, 1995; 675-704
2. Goldstein RA, Jorden MA, Harsh IV GR. Meningiomas: natural history, diagnosis, and
imaging. Dalam: Black PM, Loeffler JS, eds. Cancer of the nervous system. 2 nd ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005;279 – 314.
3. Dunn IF, Black PM. Meningioma: surgery. Dalam: Black PM, Loeffler JS, eds. Cancer of
the nervous system. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005; 315 – 328.
4. DeAngelis LM. Brain tumors. N Eng J Med 2001;344 (2):114-23.

10
ASTROSITOMA

Pendahuluan
Tumor ini berasal dari astrosit, jaringan penunjang di susunan saraf pusat. Menurut WHO,
astrositoma diklasifikasikan menjadi grade I sampai grade IV (glioblastoma multiforme= GBM)
berdasarkan gambaran patologinya.
Glioblastoma multiforme (GBM) adalah tumor otak yang paling ganas dan paling sering terjadi
pada orang dewasa, yaitu sekitar 33 – 45 % dari seluruh otak primer; lebih sering terjadi pada
pria dibandingkan wanita (3 : 2), dan biasanya timbul pada pasien berusia lebih dari 50 tahun.
Sedangkan astrositoma dengan grade rendah biasanya timbul pada orang muda, yang rata-rata
berusia 35 tahun.
Sebanyak 15% penderita astrositoma berkaitan dengan sindroma neurofibromatosis tipe I. GBM
dapat diklasifikasikan menjadi GBM primer dan sekunder, tergantung pada pemeriksaan
radiografi dan patologi. Pemeriksaan molekuler pada GBM primer menunjukkan ekspresi
epidermal growth factor receptor (EGFR) yang berlebihan, mutasi MMAC 1, dan hilangnya
protein p16. Pada GBM sekunder ditemukan mutasi pada kromosom p53.

Gejala klinis
Gejala yang timbul merupakan kombinasi dari kompresi dan infiltrasi jaringan di sekitar tumor,
kompresi vaskular, dan peninggian tekanan intrakranial; sehingga gejala yang timbul berupa
defisit neurologis fokal dan umum. Gejala umum terjadi akibat peningkatan tekanan intrakranial,
seperti sakit kepala (30–50%), mual, muntah, vertigo, dan pusing (dizziness); sedangkan gejala
fokal menunjukkan lokasi tumor, misalnya hemiparesis, afasia, gangguan penglihatan, gangguan
sensoris, dan sebagainya, tergantung pada lokasi, ukuran, dan kecepatan pertumbuhan tumor.
Tumor ini paling sering terletak di lobus frontal dan temporal. Jika terletak di lobus frontal,
tumor ini dapat menimbulkan perubahan perilaku dan paralisis spastis konralateral karena
penekanan sulkus presentralis. Afasia motorik terjadi bila tumor menekan area Broca, dan kejang
juga sering terjadi pada tumor di lobus frontal. Tumor di lobus temporal bagian medial pada
hemisfer dominan dapat menimbulkan gangguan memori verbal dan lesi pada hemisfer non-
dominan dapat menimbulkan gangguan memori visuospasial, sedangkan tumor di lobus temporal
anterior dapat tidak menimbulkan gejala sampai ukurannya cukup besar. Afasia sensorik dapat
terjadi pada tumor lobus temporal posterior.
Tumor di lobus parietal dapat mengganggu korteks sensorik primer atau korteks asosiasi yang
terletak di dekatnya. Korteks asosiasi parietal berperan untuk integrasi ragsang auditorik dan
visual; kerusakan pada area ini mengakibatkan defisit pemahaman kata-kata dan integrasi
multimodal. Tumor pada girus angularis dapat menyebabkan sindroma Gertsman. Sindroma
pengacuhan (neglect) lebih sering timbul pada lesi di lobus parietal hemisfer nondominan.
Tumor di lobus oksipital dapat menimbulkan gangguan lapang pandang, dan—pada hemisfer
dominan—dapat menimbulkan aleksia.

11
Diagnosis
Pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik untuk tumor ini adalah MRI; terlihat lesi
hiperintens atau isointens inhomogen yang dikeliling oleh daerah hipointens pada T1 atau
hiperintens pada T2 sebagai daerah edema yang mengelilingi massa tumor. Dengan pemberian
kontras tumor akan menyangat.

Terapi
Operasi dilakukan untuk memastikan diagnosis patologis dengan biopsi, menghilangkan efek
massa, dan bila memungkinkan dilakukan reseksi total untuk memudah terapi ajuvan. Tindakan
operasi dengan reseksi yang luas dapat meningkatkan angka ketahanan hidup (survival rate).
Dari penelitian, pasien GBM yang dilakukan reseksi total mempunyai suvival rate 2 tahun
sekitar 19% dan 0% dengan reseksi subtotal.
Radioterapi konvensional (external beam radiotherapy) pasca-operasi menunjukkan peningkatan
survival rate dibandingkan terapi dengan operasi saja. Stereotactic brachytherapy diindikasikan
pada tumor rekuren setelah radioterapi konvensional dan reseksi ulang. Stereotactic
radiosurgery lebih menguntungkan, karena tindakannya lebih mudah dan tidak invasif, sehingga
dapat dilakukan pada pasien tumor yang tidak dapat dioperasi.
Walaupun regimen kemoterapi yang optimal belum ada, namun beberapa penelitian
menunjukkan pemberian kemoterapi pasca-operasi juga dapat meningkatkan survival rate. Saat
ini yang digunakan adalah temozolamide dengan dosis 150 mg/m2 atau kombinasi vinkristin dan
prokarbazin.
Edema serebri diatasi dengan pemberian deksametason 4–6 mg tiap 6 jam, dan manitol diberikan
jika terdapat peningkatan tekanan intrakranial dengan dosis 0,25–1 mg/kg BB. Anti kejang
diberikan sebelum dan sesudah operasi, diteruskan hingga diteruskan 6 – 12 bulan pasca-operasi.
Meskipun dengan pengobatan agresif, prognosis GBM buruk. Biasanya pasien hanya dapat
bertahan hidup 1– 3 tahun. Sedangkan pada astrositoma berderajat rendah, survival rate 5 tahun
adalah 40–50%. Untuk memantau kekambuhan pada astrositoma derajat rendah dilakukan
pemeriksaan MRI berkala.

Kepustakaan:
1. Salomon M. Astrocytoma. Dalam: Kaye AH, Laws E, eds. Brain Tumor. Edinburg:
Churchill Livingstone, 1995; 449-478
2. Parney IF, Larson DA, Burton EC, Chang SM. Malignant gliomas. Dalam: Black PM,
Loeffler JS, eds. Cancer of the nervous system. 2 nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 2005; 497 – 520.
3. Bauman GS, Shaw EG. Low grade supratentorial glioma. Dalam: Black PM, Loeffler JS,
eds. Cancer of the nervous system. 2 nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,
2005; 315 – 328.

12
TUMOR HIPOFISIS

Pendahuluan
Tumor kelenjar hipofisis adalah jenis tumor intrakanial yang unik. Secara anatomis kelenjar ini
berdekatan dengan struktur lainnya, dan, secara fungsional, berperan pada pengaturan hormonal.
Insidens tumor hipofisis berkisar antara 5–20% dari seluruh kejadian tumor intrakranial dan
merupakan ketiga terbanyak setelah glioma dan meningioma. Frekuensi tumor ini sama pada pria
maupun wanita, namun ada jenis tumor tertentu yang lebih sering terjadi pada wanita. Usia juga
memengaruhi insidens tumor hipofisis; hanya sekitar 2–5 % terjadi pada anak-anak.
Secara genetik, tumor hipofisis termasuk dalam kelompok penyakit herediter sindroma multiple
endocrine neoplasia tipe I (MEN I), bersama dengan tumor pankreas dan paratiroid. Tumor
hipofisis ditemukan pada 25% pasien dengan MEN I, dan sebagian besar berupa makroadenoma
dengan hipersekresi growth hormone (GH) dan/atau prolaktin. Penelitian biomolekuler
menunjukkan hilangnya alel gen supresor tumor pada lokus 11q13. Adanya mutasi sebagian,
deaktivasi atau hilangnya alel normal yang tersisa menyebabkan pertumbuhan sindroma MEN I.
Penelitian lainnya menyatakan adanya pengaruh ekspresi gen tumor hipofisis secara berlebihan,
inaktivasi gen tumor supressor, hipersekresi hypothalamus releasing hormone, serta hiposekresi
hormon inhibitor.

Gejala klinis
Manifestasi klinis tumor hipofisis umumnya terdiri dari tiga gejala utama yaitu berupa
hiperfungsi kelenjar, insufisiensi kelenjar, dan efek massa yang ditimbulkannya. Prolactin
releasing hormone (PRL), growth hormone (GH), adenocorticotropic hormone (ACTH)
merupakan hormon yang sering mengalami hipersekresi, dan 70% adenoma bersifat aktif.
Peningkatan prolaktin menimbulkan gejala amenore dan galaktore pada wanita, sedangkan pada
pria menyebabkan impotensi dan penurunan libido. Peningkatan GH antara lain menyebabkan
akromegali dan gigantisme. Insufisiensi kelenjar sering terjadi pada tumor yang berukuran
besar, akibat penekanan pada jaringan non-tumor atau tangkai hipofisis. Hormon gonadotropin
lebih terpengaruh oleh mekanisme ini. Yang menarik adalah tumor di lobus posterior tidak
terpengaruh oleh ukuran tumor.
Manifestasi klinis ketiga timbul sebagai akibat efek penekanan massa tumor, yang menimbulkan
gejala nyeri kepala akibat peregangan di daerah sella. Gangguan penglihatan merupakan gejala
yang paling sering terjadi, berupa gangguan lapang pandang dan visus akibat penekanan pada
jaras visual anterior. Oleh karena itu, pemeriksaan neurooftalmologi menjadi pemeriksaan klinis
utama. Pertumbuhan tumor ke atas dapat mengenai hipothalamus dan menimbulkan gangguan
tidur, kewaspadaan, perilaku, pola makan, dan emosi, serta menekan ventrikel II yang
menyebabkan hidrosefalus. Sedangkan jika tumor membesar ke sisi lateral dapat menimbulkan
sindroma sinus kavernosus, yaitu mengenai nervus III, IV, VI, dan/atau nervus V1-2. Pada
akhirnya, tumor dapat benar-benar membesar sehingga mengakibatkan munculnya semua gejala
neurologis.

13
Diagnosis
Klasifikasi tumor berdasarkan radiologis dibagi menjadi mikroadenoma dan makroadenoma jika
berukuran < 10 mm atau > 10 mm. Foto sella dilakukan untuk melihat adanya pembesaran sella,
sehingga dapat dinilai grading-nya mulai dari 0 (tidak ada pelebaran sella) sampai grade IV
(pelebaran, erosi, dan destruksi sella yang luas). Pencitraan MRI merupakan pilihan utama;
ditemukan gambaran hipointens pada T1 dan hiperintens pada T2 yang tidak menyangat dengan
kontras. Pada keadaan tertentu yang tidak dapat menggunakan MRI, CT scan merupakan
modalitas alternatif yang cukup membantu.
Pada pasien-pasien yang dicurigai menderita tumor hipofisis dilakukan skrining dengan
melakukan pemeriksaan hormon prolaktin, GH, kortisol darah, ACTH, LH/FSH,  subunit
tiroksin, dan TSH, yang menggambarkan integritas aksis hipofisis-hipothalamus (AHH).

Terapi
Tujuan terapi adalah untuk memperbaiki gangguan endokrin serta pengangkatan massa tumor
untuk memperbaiki fungsi neurologis dengan cara operasi, medikamentosa, dan radioterapi.
Tindakan operatif merupakan terapi utama, terutama pada makroadenoma yang sudah
menimbulkan efek penekanan dan gangguan penglihatan, sebagai upaya dekompresi dan biopsi,
melalui transfenoid (95%). Tindakan ini cukup aman, namun dapat beresiko tumbulnya
komplikasi pos operatif akibat trauma berupa diabetes insipidus, atau bahkan jika terjadi
perdarahan hingga mengenai hipothalamus, dapat menyebabkan koma hingga kematian. Untuk
meminimalisasi gangguan AHH pasca operasi, diberikan terapi glokokortikoid perioperatif,
sedangkan pasca operasi dilakukan radioterapi untuk mencegah pertumbuhan dan rekurensi
tumor.
Manipulasi hormonal secara farmakologis dapat dilakukan dengan agonis dopamin untuk
menginhibisi sekresi prolaktin, atau analog somatostatin untuk menginhibisi GH, dengan
pemantauan yang ketat. Pemberian bromokriptin terutama dilakukan pada mikroadenoma.
Prognosis pada pasien tumor hipofisis non-fungsional umumnya baik, selama tidak ada residu
kemungkinan relaps hanya 10%. Oleh karena itu tetap perlu pemantauan MRI kepada dan
pemeriksaan hormonal secara berkala.

Kepustakaan
1. Thapar K, Laws Jr E, Pituitary tumor. Dalam: Kaye AH, Laws E, eds. Brain Tumor.
Edinburg: Churchill Livingstone, 1995; 759-775
2. Alexander E, Klibanski A. Medical management of pituitary adenoma. Dalam: Black
PM, Loeffler JS, eds. Cancer of the nervous system. 2 nd ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, 2005; 411 – 426.
3. Webb KM, Laurent JJ, Laws ER, Jane J. Surgery for pituitary adenoma. Dalam: Black
PM, Loeffler JS, eds. Cancer of the nervous system. 2 nd ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, 2005; 427 – 438.

14
NEURINOMA AKUSTIK

Pendahuluan
Istilah neurinoma akustik sudah lama ditinggalkan; yang benar adalah schwannoma vestibular
(SV), karena tumor ini berasal dari sel Schwan pada saraf kranial ke-delapan, nervus vestibulo-
koklearis, terutama pada bagian vestibular.
Tumor ini termasuk jinak dengan insidens 3 – 8% dari semua tumor primer intrakanial, tersering
pada usia 50 tahunan, pria lebih banyak dari pada wanita, dan terutama terletak di sudut
serebellopontin (cerebello-pontine angle / CPA). Dari seluruh tumor di daerah tersebut, 90%
adalah schwannoma vestibular, sedangkan 10% nya adalah tumor jenis lain, seperti meningioma,
hemangioma, kolesteatom, kista subaraknoid, atau lipoma.
Sebanyak 10% dari penderita dapat mengalami SV bilateral yang merupakan ciri penyakit
Neurofibromatosis tipe 2 (NF2) yang disebabkan oleh kelainan genetik berupa mutasi pada
kromosom 22, dan bersifat autosom dominan. Penderita NF2 biasanya nerumur lebih muda, usia
15 – 25 tahun.
Sel schwan tumbuh membesar di dalam kanalis auditori internal, menyebabkan pelebaran
diameter meatus akustikus dan tumbuh terus sampai ke sudut serebelopontin, ke arah batang otak
dan serebelum, hingga menekan inti nervus koklearis, fasialis, dan trigeminus. Kompresi
selanjutnya dapat menyebabkan hidrosefalus akibat obstruksi di ventrikel IV.

Diagnosis
Gejala klinis
Keluhan awal biasanya vertigo, dizziness, dan tinnitus ringan yang hilang timbul selama
beberapa minggu/bulan. Tinnitus biasanya berupa nada tinggi, disertai penurunan pendengaran
sebagai gejala akut akibat proses kompresi bertahun-tahun sebelumnya.
Gejala lain adalah hipestesia daerah wajah, facial twitching, gangguan menelan, gangguan gait,
atau bahkan penurunan kesadaran, sakit kepala dan muntah jika terjadi hidrosefalus.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan nistagmus, lesi nervus VIII, gangguan sensorik dan
motorik wajah, ataksia gait, serta gangguan serebelum. Jika terdapat peninggian tekanan
intrakranial akan didapatkan papiledema pada pemeriksaan funduskopi.

Pemeriksaan penunjang
Pada audiometri didapatkan hipakusis pada nada tinggi (> 1 kHz), sedangkan Brainstem
Auditory Evoked Potential (BAEP) menunjukkan latensi gelombang III dan pada fase akhir,
latensi gelombang IV dan V.

15
CT scan dan MRI dilakukan potongan aksial paralel dengan basis kranii untuk melihat perluasan
tumor yang dikelompokkan menjadi 4 kategori; tumor terlokalisir di dalam meatus (T1),
sebagian tumor terletak di luar meatus (T2), tumor di intra-ekstra meatus hingga di sisterna
serebellopontin (T3), dan tumor menekan batang otak (T4). Pada pemeriksaan CT scan juga
dilengkapi dengan bone window untuk melihat struktur tulang petrosus, posisi dan pelebaran
meatus akustikus.
Pada CT scan tampak lesi isodens di daerah sudut serebellopontin yang menyangat setelah
pemberian kontras, bisa inhomogen oleh adanya lesi kistik atau perdarahan intra tumor.
Sedangkan pada MRI tampak lesi iso/hipointens (T1 dan T2) yang sangat menyangat pada T1-
gadolinium.

Terapi
SV merupakan tumor yang tumbuh lambat, bahkan dapat berhenti tumbuh setelah 1 tahun atau
lebih. Oleh karena itu, pada pasien usia lanjut lebih dari 65 tahun dan mempunyai penyakit
penyulit lainnya disarankan hanya observasi disertai kontrol MRI setiap 6 – 12 bulan.
Terapi utama adalah reseksi total secara microsurgery pada tumor dengan ukuran medium
sampai besar. Pendekatan operasi bisa translabirin, fossa media, atau melalui suboksipital
retrosigmoid, tergantung pada lokasi tumor. Angka kematiannya rendah (1%) dan jarang
rekurens (0,8%), kecuali pada tipe NF2.
Stereotactic radiosurgery dengan gamma knife dan linear accelerator dilakukan pada tumor
berukuran kecil (diameter sampai 2 – 3 cm), untuk dapat menghantarkan radiasi dosis besar tepat
pada tumor dan hanya dosis minimal pada struktur penting di sekitarnya. Tumor dapat berhenti
tumbuh pada 70 – 90% kasus, namun masih terdapat risiko perburukan oleh karena masih
adanya massa tumor.
Pasca-operasi dapat diberikan deksametason 8 mg intravena tiap 6 jam. Fungsi vestibularis
biasanya akan hilang pada 90% kasus sehingga diperlukan latihan keseimbangan, sedangkan
fungsi pendengaran dapat dipertahankan pada 47% kasus, tergantung pada perburukan awal. Alat
bantu dengar dapat digunakan jika beda fungsi telinga kanan dan kiri tidak terlalu besar.

Kepustakaan
Matthies C, Samii M. Acoustic neuromas (vestibular schwannomas). Dalam: Berger S, Prados D.
Textbook of neurooncology. Philadelphia: Elsevier Inc, 2005.

16
TUMOR MEDULLA SPINALIS

Pendahuluan
Prevalensi tumor medulla spinalis lebih sedikit dibandingkan tumor intrakranial, dengan rasio 1 :
4. Terutama ditemukan pada dewasa muda atau usia pertengahan dan jarang pada usia anak atau
usia tua. Berbeda dengan tumor intrakranial, umumnya tumor spinal bersifat jinak dan gejala
yang timbul terutama akibat efek penekanan pada medulla spinalis, dan bukan akibat invasi
tumornya. Oleh karena sebagian besar tumor spinal dapat dilakukan tindakan eksisi, maka
deteksi dini adanya tumor sangat penting untuk mencegah defisit neurologis yang lebih berat.
Tipe sel tumor spinal hampir sama dengan tumor intrakranial, dapat berasal dari sel parenkim,
serabut saraf, selaput mielin, jaringan vaskuler intraspinal, rantai simpatis, atau kolumna
vertebralis. Segmen yang paling sering terkena adalah segmen torakal (50%), servukal (25%),
dan lumbosakral (20%).
Berdasarkan lokasinya, tumor spinal dikategorikan menjadi tumor ekstradural (55%), tumor
intradural–ekstrameduler (40%), dan tumor intrameduler (5%). Tumor ekstradural biasanya
merupakan metastasis dari tempat lain, dan merupakan jenis yang tersering dibanding tumor
primernya yang hanya 1,3 per 100.000 populasi. Tumor intradural – ekstrameduler yang paling
sering diakibatkan oleh meningioma dan neurofibroma, sedangkan tumor intrameduler berasal
dari sel glia, terutama astrositoma dan ependimoma (80 – 90%) yang bersifat menginvasi dan
merusak traktus dan substansia grisea di medulla spinalis.

Gejala klinis
Pasien dengan tumor intraspinal biasanya menunjukkan salah satu dari tiga sindroma klinis
berikut:
1. Sindroma traktus sensorimotor
Gambaran ini terutama disebabkan oleh kompresi, invasi, dan destruksi traktus medulla
spinalis. Tanda-tanda kompresi antara lain
- Kelemahan spastik asimetris pada tungkai jika lesi di torakolumbal, lengan dan
tungkai jika lesi di servikal.
- Menurunnya sensibilitas nyeri dan suhu di bawah lesi
- Tanda-tanda kolumna posterior
- Spastic bladder
2. Sindroma radikuler
Bisa timbul bersamaan dengan sindroma kompresi, Rasa nyeri seperti diiris, tumpul, dan
menjalar ke distal sesuai dengan daerah distribusi saraf, yang bertambah berat jika batuk,
bersin, atau mengedan.
3. Sindroma intramedular–syringomyelik
Disebut juga sindroma substansia grisea. Gangguan berupa disosiasi sensorik, yaitu
hilangnya rasa nyeri dan suhu dengan kualitas sensorik lain masih baik.

17
Diagnosis
Pemeriksaan penunjang awal adalah foto polos pada daerah yang dicurigai. Pada tumor
ekstradural akibat metastasis biasanya akan didapatkan kerusakan pedikel vertebra di daerah lesi.
Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukkan peningkatan protein pada 95% kasus, terutama
pada tumor yang memblok aliran likuor. Hitung sel biasanya normal atau dapat terjadi
pleiositosis ringan pada 30% kasus, sedangkan kadar glukosa biasanya normal. Mielografi dan
CT mielografi dapat digunakan untuk membedakan letak tumor ekstradural, intradural –
ekstrameduler, atau intrameduler, serta dapat menentukan adanya blok parsial atau total. Hampir
semua tumor intraspinal dapat terdiagnosa dengan mielografi, kecuali tumor intrameduler
kemampuannya hanya 35%. Selain itu, mielografi merupakan tindakan invasif.
MRI merupakan prosedur pemeriksaan non-invasif yang paling dianjurkan pada kasus tumor
intrameduler, karena selain dapat menentukan lokasi yang tepat, juga dapat memperlihatkan
gambaran edema, perdarahan, dan kista secara jelas. Umumnya akan tampak lesi isointens atau
sedikit hipointens pada T1 dibanding jaringan sekitarnya, dan menyangat setelah pemberian
kontras.

Terapi
Tindakan operatif merupakan pilihan utama sebagai upaya dekompresi mencegah defisit
neurologis yang lebih berat, serta untuk pemastian diagnosis histopatologis. Namun pada tumor
intramedular masih kontrovesial oleh karena besarnya risiko kegagalan respirasi dan timbulnya
tetraplegi saat dilakukan reseksi tumor.
Pemberian radioterapi pasca operasi pada astrositoma derajat tinggi dan ependimoma
memberikan hasil yang baik. Perbaikan biasanya berlangsung lambat, bisa berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun, oleh karena itu harus dilakukan bersamaan dengan program rehabilitasi.
Prognosis tergantung pada usia dan jenis tumor. Pada tumor yang berkapsul seperti
hemangioblastoma dan tumor selaput saraf, serta yang berbatas tegas seperti ependimoma,
prognosisnya cukup baik. Astrositoma tergantung pada derajatnya, derajat rendah mempunyai
survival rate 5 tahun 80% dan 10 tahun 55%. Sedangkan pada derajat III – IV rata-rata survival
rate hanya < 1 tahun.

Kepustakaan:
1. Byme TN, Waxman SG. Spinal cord compression. Diagnosis and principles of
management. Philadelphia, Davis Co: 1990;194-205
2. Mccormick PC. Spinal Tumors. Dalam: Merrit’s textbook of neurology. Baltimore:
Williams&Wilkins, 1995;405 – 16.
3. Victor M, Ropper AH. Diseases of spinal cord tumors. Dalam: Adam & Victor’s
principles of neurology. New York: McGraw Hill, 2001;1293 – 1341.
4. Greenberg MS. Spine and spinal cord tumors. Dalam: Handbook of neurosurgery. New
York: thieme, 2001;480 – 505.

18
TUMOR METASTASIS

Pendahuluan
Tumor metastasis merupakan tumor yang paling sering mengenai otak dibandingkan dengan
tumor primer. Hampir 30% tumor pada dewasa dan 6–10% tumor pada anak-anak akan
bermetastasis ke otak, terutama dari keganasan di paru, payudara, dan melanoma. Dari seluruh
tumor sistemik, melanoma adalah yang paling berpotensi untuk menyebar ke otak, namun karena
insidensnya lebih sedikit, maka tumor paru dan payudara yang paling sering menimbulkan
metastasis. Bahkan 10% tumor metastasis belum diketahui sumbernya karena lebih dulu
menimbulkan manifestasi klinis dibandingkan tumor primernya.
Sirkulasi darah ke otak berperan dalam penentuan lokasi. Tumor metastasis lebih sering muncul
di serebrum dari pada serebelum (rasio 8:1), terutama di pertemuan area putih dan abu-abu (grey
– white matter junction) dan daerah watershed. Hal ini disebabkan karena terperangkapnya sel
tumor pada ujung-ujung kapiler, dengan proporsi aliran darah ke otak yang lebih banyak ke
kompartemen supratentorial. Sementara tumor-tumor yang berasal dari pelvis dan abdomen akan
cenderung bermetastasis ke fosa posterior.
Sel tumor harus melewati serangkaian proses untuk dapat bermetastasis; harus tumbuh secara
efisien, mempenetrasi pembuluh darah dan limfe, bertahan di sirkulasi darah, terperangkap di
mikrosirkulasi organ target, ekstravasasi, migrasi ke organ target, dan tumbuh. Khusus di otak,
setelah melewati sawar darah otak, sel tumor harus melewati matriks ekstraselular. Sel tumor
dapat mengeluarkan enzim-enzim yang dapat melisiskan matriks tersebut. Kadar enzim-enzim
ini tampak berbeda pada tumor kolon, prostat, ovarium, payudara, dan melanoma

Gejala klinis
Interval waktu antara diagnosis tumor primer dan metastasisnya bervariasi, antara 4 bulan pada
tumor paru dan 3 tahun untuk tumor payudara. Kebanyakan pasien dengan metastasis di otak
mempunyai metastasis pula di tempat lain, terutama di paru (70%). Gejala klinis progresif akibat
peningkatan tekanan intrakranial oleh massa tumor, edema, dan hidrosefalus, terutama adalah
sakit kepala, kejang, penurunan kesadaran, perubahan kognitif, dan kelemahan ekstremitas.

Diagnosis
Diagnosis tumor metastasis harus dicurigai pada semua pasien dengan tumor sistemik yang
mempunyai defisit neurologis fokal. Pemeriksaan penunjang adalah MRI yang lebih unggul dari
pada CT scan, karena dapat dengan jelas membedakan tumor metastasis dengan tumor primer,
serta jumlah lesinya, karena sangat menentukan terapi. Pemeriksaan selanjutnya adalah menilai
perluasan atau mencari tumor primernya jika belum diketahui, seperti CT torak, abdomen atau
pelvis, bone scan, dan sebagainya.

19
Terapi
Begitu diagnosis metastasis telah ditegakkan, pasien harus segera diterapi dengan kortikosteroid,
terutama jika akan dimulai radioterapi, untuk menurunkan permeabilitas kapiler dan edema
vasogenik. Pilihan steroid adalah deksametason karena mempunyai efek mineralokortikoid yang
rendah dan risiko infeksi oportunistik yang juga rendah, dengan dosis 4 mg IV tiap 6 jam. Pada
pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial, dapat diberi bolus 10 mg, bahka pada
impending herniation bisa sampai 100 mg dilanjutkan 96 mg/hari selama 3 hari dan dititrasi
dalam 10 hari. Antikejang diberikan, karena 20% penderita tumor metastasis akan mengalami
kejang.
Tindakan operatif dilakukan pada lesi tunggal atau salah satu dari lesi multipel yang cukup besar
untuk membahayakan klinis penderita, dengan syarat kondisi klinis dalam keadaan stabil. Terapi
paliatif adalah whole brain radiotherapy (WBRT), diberikan pasca operasi atau hanya WBRT
jika tidak memungkinkan dilakukan operasi. Pada lesi multipel, pasien rata-rata dapat bertahan 3
– 6 bulan dengan WBRT, dan hanya 10 – 15% yang bertahan lebih dari 1 tahun. WBRT dapat
memperbaiki defisit neurologis (66 – 85%), dan mengurangi kemungkinan relaps menjadi hanya
21% pada kombinasi operasi dan WBRT dibandingkan yang hanya tindakan operatif (85%).
Radiosurgery dikatakan lebih efektif dibandingkan operasi, karena dapat menjangkau daerah
yang tidak dapat dijangkau dengan operasi, bisa pada lesi multipel dan tidak perlu rawat inap,
serta mempunyai efek samping yang lebih minimal dibandingkan WBRT. Namun tindakan ini
terbatas pada ukuran tumor yang diameternya < 3 cm dan sulit membedakan secara kasat mata
dengan sel yang normal, serta angka survival rate yang tidak jauh berbeda. Kemoterapi diberikan
pada tumor sistemik yang sensitif seperti tumor paru jenis karsinoma sel kecil, tumor payudara,
dan koriokarsinoma. Zat-zat tersebut dapat melewati sawar darah otak karena sawar darah telah
rusak jika sudah ditemukan lesi metastasis yang berukuran > 1 mm.
Prognosis baik jika lesi tunggal, tidak ada penyakit ekstrakranial, skor Karnofsky > 70, usia < 69
tahun, ukuran tumor kecil, jenis kelamin wanita, dan letak tumor di supratentorial.

Kepustakaan:
1. Sawaya R, Bindal RK, Brain metastasis. Dalam: Kaye AH, Laws E, eds. Brain Tumor.
Edinburg: Churchill Livingstone, 1995; 923-945
2. Perides G, Julian K. Molecular markers of metastatic disease. Dalam: Black PM, Loeffler
JS, eds. Cancer of the nervous system. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,
2005; 849 – 854.

20
Algoritma Penatalaksanaan Kasus Baru Tumor Otak

Kasus Baru tumor Otak

Dokter umum; Neurolog; Non neurolog

Neuroemergensi
Pemeriksaan Antisipasi medis
neurologis klinis

Ro, CT scan, MRI, MRA, MRS, PET-SPECT


Laboratorium, tumor marker
EE, EMG, EKG, Doppler, Evoked Potential

Bukan
tumor otak

Tumor otak
Tumor otak primer Konsul Bedah Saraf: Tumor otak sekunder
IICP VP Shunt IICP
PA Biopsi Soliter
Pengangkatan
total.
Stereotaktik
Mengurangi Terbuka
ukuran tumor. - Reseksi
- Tumor
residual

Perawatan Lanjutan

< 3 cm Radiosurgery ?
Definitif radioterapi Radioterapi Paliatif
Terapi 3 modalitas Kemoterapi Tergantung kanker primer

21

Anda mungkin juga menyukai