Anda di halaman 1dari 19

DISKUSI KELOMPOK KOLABORATIF

JOURNAL & BOOK READING TENTANG


PENATALAKSANAAN KEGAWATDARURATAN

NEONATAL KEJANG

Mata Kuliah : Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal & Neonatal


Dosen Pengajar : Evi Rinata, SST. M.Keb

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 1 :

1. Fita Dian Lestari (221520100054)


2. Hafifa (221520100052)
3. Lilik Agustin (221520100031)
4. Nisful Laili (221520100034)

PROGAM STUDI S1 KEBIDANAN / ALIH JENJANG


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO
TA 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyusun tugas diskusi kelompok kolaboratif journal
and book reading tentang “PENATALAKSANAAN KEGAWAT DARURATAN
NEONATAL KEJANG” sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas Asuhan
Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal.Dalam hal ini, penulis banyak
mendapat bantuan dari berbagai pihak, karena itu pada kesempatan kali ini penulis
mengucapkan terimakasih kepada :

1.Ibu Evi Rinata, S.ST. M.Keb, selaku dosen pengampuh.

2.Serta semua pihak yang terlibat dalam pembuatan tugas ini.

Penulis menyadari dalam penyusunan tugas kelompok ini masih banyak


kekurangan dan oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
sangat diperlukan. Semoga hasil dari tugas kelompok kolaboratif ini dapat bermanfaat
bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Sidoarjo, 10 April 2023

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................ii

DAFTAR ISI...................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1

1.1. Latar belakang.............................................................................................................1

1.2. Rumusan masalah........................................................................................................1

1.3. Tujuan.........................................................................................................................2

BAB II JOURNAL & BOOK READING ......................................................................3

2.1. Judul artikel jurnal.......................................................................................................3

2.2 Resume singkat artikel ...............................................................................................4

BAB III PEMBAHASAN.................................................................................................7

2.1. Over view kasus kejang : Isu global dan nasional.......................................................7

2.2 Prinsip dasar kegawatdaruratan kejang.........................................................................8

2.3.Penilaian awal kasus kejang.......................................................................................10

2.4. Penilaian klinik lengkap kasus kejang.......................................................................10

2.5 Penatalaksanaan Kasus Kejang Neonatal...................................................................11

BAB III PENUTUP........................................................................................................14

3.1. Kesimpulan...............................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................15

LAMPIRAN

- Original Article

- Sesi Diskusi Tanya Jawab (Q & A)

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kejang adalah tanda neurologis yang paling sering diamati di unit perawatan intensif neonatal
dan sebagian besar terjadi dalam hubungan temporal yang dekat dengan cedera otak akut atau
gangguan sistemik, dengan atau tanpa kelainan struktural yang dapat diidentifikasi. Peristiwa ini
didefinisikan sebagai gejala akut atau kejang yang dipicu (Pisani et al., 2021).
Kejang simtomatik akut adalah keadaan darurat neurologis yang paling umum pada bayi baru
lahir dan paling umum pada periode neonatal. Itu adalah tanda-tanda awal kerusakan otak dan
sangat mengganggu perkembangan otak bayi yang belum matang. Kejang mempengaruhi 1-3
neonatus per 1000 kelahiran hidup (Revisited, 2021).
Terlepas dari kenyataan bahwa kejang neonatal adalah kelainan neurologis yang langka,
kejang dapat menyebabkan konsekuensi Kesehatan yang serius. Kejang memiliki efek yang
sangat merugikan pada perkembangan otak dan dapat mengakibatkan gangguan kognitif,
keterlambatan perkembangan, epilepsi atau kelumpuhan otak (Revisited, 2021). Namun,
diagnosis menimbulkan tantangan bagi dokter, karena kebanyakan kejang secara klinis tidak
terlihat dan sulit untuk diidentifikasi. Selain itu, sementara kejang neonatal dapat terjadi dengan
atau tanpa manifestasi klinis, mayoritas kejang neonatal (50-80%) hanya elektrografi tanpa
manifestasi klinis (Pressler et al., 2021).
Oleh karena itu, sangat penting untuk memulai proses diagnostik segera setelah kecurigaan
kejang dan memulai pengobatan yang efektif. Diagnosis kejang, penatalaksanaan, dan
pemeriksaan etiologi yang mendasari semuanya harus dilakukan secara bersamaan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana management penatalaksanaan kegawatdaruratan neonatal dengan kejang ?

1.3 Tujuan

A. Tujuan Umum

1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal &

Neonatal

1
B. Tujuan Khusus

1. Untuk mengidentifikasi Manajemen Umum Kegawatdaruratan Bayi baru lahir dengan kasus

kejang

2
BAB II

JOURNAL & BOOK READING

2.1 Judul & Abstrak Artikel Jurnal

Judul : Current Overview of Neonatal Convulsions

: Tinjauan Saat Ini tentang Kejang Neonatal

Penulis : Duygu Besnili Acar, Ali Bulbul, Sinan Uslu

Tahun terbit : 2018

Abstrak :

Neonatal convulsions are one of the most common emergency neurological events in the early
period after birth. The frequency has been reported to be 1.5 to 3 in 1000 live births. It has been
established that the convulsion threshold is lower in infants due to immature neonatal neurons
and differences in neurotransmitters. Hypoxic ischemic encephalopathy is the most common
etiology in neonatal convulsions. Other causes vary, and may be related to the level of
development of the country. Convulsions are classi- fied into 4 different types according to the
clinical findings. The most common is the subtle (undefined) type of seizure; the other types are
defined as clonic, tonic, and myoclonic seizures. Non-epileptic paroxysmal movements
frequently seen in the neonatal period, should not be confused with seizures. The most common
non-epileptic paroxysmal movements are jitteriness, benign neo- natal sleep myoclonus, and
hyperekplexia. A newborn that experiences convulsions should be hospitalized and monitored
with continuous video electroencephalogram, if possible. If an initial rapid evaluation detects an
acute metabolic disorder, treatment is provided, and, if warranted, it will be followed by a plan
for further treatment with anticonvulsant drugs. Phenobarbital is still cur- rently recommended as
first-line therapy, though there are studies of other anticonvulsant drugs. Levetiracetam and
phenytoin are commonly used as second-step anticonvulsant drugs. The aim of treatment should
be not only to stop acute symptomatic seizures, but also to reduce the risk of brain damage and to
minimize the possible negative effects of epilepsy and neurological deficits.

3
2.2 Resume Singkat Artikel

2.2.1 Artikel 1 : Current Overview of Neonatal Convulsions (Tinjauan Saat Ini tentang Kejang
Neonatal)
Kejang neonatal adalah salah satu peristiwa neurologis darurat yang paling umum
pada periode awal setelah lahir. Frekuensi telah dilaporkan 1,5 sampai 3 dalam 1000
kelahiran hidup. ditetapkan bahwa ambang kejang lebih rendah pada bayi karena neuron
neonatal yang belum matang dan perbedaan neurotransmiter. Ensefalopati iskemik
hipoksik adalah etiologi yang paling umum pada kejang neonatus. Anamnesis yang
mendetail sangat penting untuk mengklarifikasi etiologi saat mengevaluasi bayi yang
mengalami kejang. Penyebab lainnya bervariasi, dan mungkin terkait dengan tingkat
perkembangan negara. Kejang diklasifikasikan menjadi 4 jenis yang berbeda sesuai
dengan temuan klinis. Yang paling umum adalah jenis kejang halus (tidak terdefinisi);
jenis lainnya didefinisikan sebagai kejang klonik, tonik, dan mioklonik. Gerakan
paroksismal non-epilepsi yang sering terlihat pada periode neonatal, jangan disamakan
dengan kejang. Gerakan paroksismal non-epilepsi yang paling umum adalah gelisah,
mioklonus tidur neonatal jinak, dan hiperekpleksia. Bayi baru lahir yang mengalami
kejang harus dirawat di rumah sakit dan dipantau dengan elektroensefalogram video
berkelanjutan, jika memungkinkan. Jika evaluasi cepat awal mendeteksi gangguan
metabolisme akut, pengobatan diberikan, dan, jika diperlukan, akan diikuti dengan rencana
pengobatan lebih lanjut dengan obat antikonvulsan. Fenobarbital saat ini masih
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama, meskipun ada penelitian tentang obat
antikonvulsan lainnya. Levetiracetam dan fenitoin umumnya digunakan sebagai obat
antikonvulsan langkah kedua. Tujuan pengobatan seharusnya tidak hanya untuk
menghentikan kejang simtomatik akut, tetapi juga untuk mengurangi risiko kerusakan otak
dan untuk meminimalkan kemungkinan efek negatif dari epilepsi dan defisit neurologis.
Metode penelitian menggunakan : Sistematic review. Hasil penelitian : Kejang neonatus
harus segera dihentikan dan penyebab etiologinya harus ditentukan. Perawatan terutama
diarahkan ke penyebab etiologis. Fenobarbital masih merupakan obat yang digunakan
sebagai pengobatan lini pertama pada bayi yang membutuhkan obat antikonvulsan.
Levetiracetam dan phe nytoin umumnya digunakan sebagai obat antikonvulsan lini kedua.
Pedoman saat ini untuk obat antikonvulsan yang digunakan pada periode bayi baru lahir
tampaknya masih belum memadai.

4
2.2.2 Artikel 2 : Neonatal Seizures: Diagnosis, Etiologies, and Management (Kejang Neonatal:
Diagnosis, Etiologi, dan Pengelolaan)
Neonatus sangat rentan terhadap kejang karena beberapa faktor fisiologis dan
kombinasi risiko yang secara unik terkait dengan kehamilan, persalinan, dan periode
segera setelah melahirkan. Kejang neonatal bisa sulit untuk diidentifikasi; oleh karena itu,
sangat penting bahwa dokter memiliki tingkat kecurigaan kejang yang tinggi berdasarkan
Riwayat klinis atau adanya ensefalopati dengan atau tanpa gerakan abnormal paroksismal.
Kejang neonatus simtomatik akut disebabkan oleh cedera otak akut, sedangkan epilepsy
onset neonatal mungkin terkait dengan kelainan struktural, metabolik, atau genetik yang
mendasarinya. Meskipun pengobatan awal dan akut serupa, pengobatan jangka Panjang
dan prognosis sangat bervariasi berdasarkan etiologi kejang yang mendasarinya.
Identifikasi dan pengobatan dini mungkin penting untuk hasil jangka panjang pada kejang
simtomatik akut, meskipun studi tambahan diperlukan untuk memahami metrik kontrol
kejang yang optimal dan durasi pengobatan yang ideal. Kemajuan dalam kedokteran
genetik semakin memperluas pemahaman kita tentang epilepsi onset neonatal dan akan
terus membuka pintu bagi pengobatan yang dipersonalisasi untuk mengoptimalkan hasil
pada populasi yang rapuh ini. Metode penelitian: Systematic Review . Hasil Penelitian:
Kejang di awal kehidupan berkontribusi pada peningkatan patologis koneksi sinaptik di
hippocampus pada periode setelah aktivitas ictal. Kejang neonatal dapat menyebabkan
cedera saraf atau memperburuk cedera otak yang ada.

2.2.3 Artikel 3 : Seizures in the neonate: A review of etiologies and outcomes (Kejang pada
neonatus: Tinjauan etiologi dan hasil)
Kejang neonatus sebagian besar terjadi dalam hubungan temporal yang dekat dengan
cedera otak akut atau gangguan sistemik, dan karenanya didefinisikan sebagai kejang
simtomatik akut atau kejang yang dipicu. Namun lebih jarang, kejang yang tidak
diprovokasi juga dapat muncul pada periode neonatal sebagai kelainan structural otak
sekunder, sehingga berhubungan dengan epilepsi struktural, atau kondisi genetik, sehingga
sesuai dengan epilepsi genetik. Kejang neonatal yang tidak beralasan harus dianggap
sebagai manifestasi klinis dari epilepsy struktural atau genetik onset dini yang sering
memiliki karakteristik ensefalopati epilepsi onset dini. Teka-teki kejang neonatal termasuk
kejang simtomatik akut, gejala jauh, terprovokasi, dan tidak beralasan, berkembang
menjadi epilepsi post-neonatal, dan epilepsi onset neonatal. Berbagai scenario klinis yang
melibatkan kejang neonatal, masing-masing dengan evolusi pasca-neonatal yang berbeda
disajikan. Dampak struktural dan fungsional dari kejang neonatal pada perkembangan otak
dan konsep epileptogenesis sekunder, dengan atau tanpa periode laten setelah kejang akut,
dibahas. Perlunya diagnosis diferensial dini antara kejang simtomatik akut dan kejang

5
tanpa provokasi, karena ini terkait dengan perbedaan mendasar dalam evolusi klinis. Ini
adalah aspek-aspek penting untuk penatalaksanaan, konseling dan prognostikasi neonatal.
Metode penelitian: Systematic Review. Hasil penelitian: Sebagian besar studi klinis telah
dilakukan dalam konteks kejang simptomatik akut dan jarang pada epilepsi simtomatik
jarak jauh, sedangkan untuk beberapa epilepsi genetik, bukti yang mendukung penggunaan
pendekatan farmakologis yang lebih khusus baru tersedia baru-baru ini. Pengamatan klinis
menunjukkan bahwa kejang neonatal biasanya mereda setelah beberapa hari, terlepas dari
intervensi terapeutik. tidak ada bukti bahwa pengobatan yang berlarut-larut dapat berperan
dalam mencegah risiko kejang berulang yang tidak diprovokasi di kemudian hari, seperti
yang dilaporkan terjadi pada 18-25% kasus. Sebaliknya, ada bukti bahwa pengobatan
jangka panjang dengan fenobarbital mungkin memiliki efek buruk pada perkembangan
otak

6
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Overview kasus kejang


3.1.1 Overview kasus kejang : Isu Nasional
Kejang neonatorum adalah kejang yang terjadi pada bayi baru lahir sampai usia 28
hari. Kejang neonatorum juga didefinisikan sebagai perubahan parok- sismal dari
fungsi neurologik misalnya perilaku sensorik, motorik dan fungsi autonom sistem
saraf.
Neonatus memiliki risiko yang tinggi terhadap terjadinya kejang dan memiliki
karakteristik yang berbeda dengan kejang pada anak-anak dan dewasa, dimana kejang
pada neonatus lebih sering terjadi dalam bentuk tonik klonik. Pada neonatus proses
mielinisasi akson dan dendrit belum sempurna, karena itu kejadian kejang tidak dapat
dengan mudah untuk disebarkan ke seluruh bagian otak neonatus untuk menghasilkan
kejang umum.
Angka kejadian kejang neonatorum berkisar antara 0,5-3/1000 kelahiran bayi hidup,
angka kejadian kejang neonatorum pada neonatus preterm meningkat berkisar 1-
13%. Penyebab kejang neonatus tersering adalah Hipoksik Iskemik Ensefalopati
(HIE), dimana memegang persentase tertinggi yaitu 30%-50% dari seluruh penyebab
kejang neonatorum. Menurut data, penyebab kematian neonatus 0-6 hari di Indonesia
karena asfiksia (37%), prematuritas (34%), dan sepsis (12%) dan penyebab kematian
neonatus 7-28 hari adalah sepsis (20,5%), kelainan kongenital (19%), pneumonia
(17%), respiratory distress syndrome (RDS) (14%), dan prematuritas (1%) (Khanis &
Purbowati, 2018)
3.1.2 Overview kasus kejang : Isu Internasional
Kejang neonatal adalah salah satu peristiwa neurologis darurat yang paling umum
pada periode awal setelah lahir. Frekuensi telah dilaporkan 1,5 sampai 3 dalam 1000
kelahiran hidup. (Besnili Acar, 2018)
Terlepas dari klasifikasi mereka sebagai peristiwa gejala akut atau sebagai
manifestasi dari epilepsi neonatal-onset, kejang neonatal terjadi dengan perkiraan
kejadian 1/1000 sampai 5/1000 kelahiran hidup dalam studi berbasis populasi tetapi
8,6/1000 tingkat dalam studi berbasis NICU, dengan tingkat yang jauh lebih tinggi
untuk bayi prematur. Selain itu, kejadian kejang neonatal sulit untuk ditentukan,
karena sebagian besar studi epidemiologi berasal dari pengamatan klinis saja yang
diketahui sering tidak dapat diandalkan. Baru-baru ini, dalam studi epidemiologi yang
mempertimbangkan hanya kejang neonatal yang dikonfirmasi EEG [18], insiden

7
5,0/1000 dilaporkan untuk neonatus dengan usia kehamilan 31-36 minggu, 54,9/1.000
untuk mereka dengan usia kehamilan 28-30 minggu, dan 85,6 /1000 untuk neonates <
28 minggu kehamilan. Selanjutnya, resiko kejang neonatal meningkat dengan
penurunan berat badan lahir. Perlu dicatat bahwa perbedaan dalam tingkat kejadian
kejang antara studi yang berbeda tidak hanya disebabkan oleh perbedaan usia
kehamilan dan berat badan lahir neonates yang terkena dampak, tetapi jugaperbedaan
dalam kriteria diagnostic yang diterapkan. (Pisani et al., 2021)
3.2 Prinsip Dasar Kegawatdaruratan Kejang
Prinsip dasar jika terjadi kasus kejang, yakni :

1. Tindakan awal adalah melakukan tindakan standar kedaruratan berupa ABC (Airway,
Breathing, Circulation), oksigenasi dan penilaian tekanan darah, nadi, saluran napas,
penilaian suhu. Tujuan pengobatan adalah untuk mengendalikan kejang sebelum cedera
neuron terjadi (teoritis antara 20 menit sampai 1 jam).
2. Pasien ditempatkan pada posisi semi-prone dengan kepala diletakkan menghadap
samping untuk menghindari aspirasi.
3. Diberikan spatel lidah yang diletakkan dalam ronggan mulut untuk mencegah tergigitnya
lidah. Lepas gigi palsu bila ada.
4. Akses antarvena harus dilakukan untuk hampir semua pasien (tapi bisa ditangguhkan
pada meraka dengan kejang sederhana).

Menurut Ngastiyah (1997) terdapat faktor yang perlu dikerjakan yaitu:


1. Memberantas kejang secepat mungkin bila pasien datang dalam keadaan status
convulsifus, obat pilihan utama adalah diazepam.
2. Pengobatan penunjang sebelum memberantas kejang tidak boleh dilupakan perlunya
pengobatan penunjang.

3.3 Penilaian Awal Kasus Kejang


Penilaian awal pada kasus kejang di awali dengan
1. Melakukan anamneses, meliputi riwayat kehamilan harus ditinjau untuk faktor risiko
HIE, stroke, perdarahan intrakranial, infeksi, atau penarikan obat. Defisiensi nutrisi ibu
atau diabetes gestasional dapat memengaruhi perkembangan otak dan harus dinilai.
Sebuah riwayat keluarga epilepsi neonatal familial jinak dapat mengungkapkan penyebab
kejang pada bayi yang tampak sehat (hati-hati, bagaimanapun, bahwa semua neonatus
harus dievaluasi untuk etiologi menular atau reversibel terlepas dari riwayat keluarga).
2. Temuan pemeriksaan umum dan neurologis dapat memberikan petunjuk tentang etiologi
kejang neonatus . Perhatian khusus pada ukuran kepala, kulit, dan fitur dismorfik lainnya.

8
Temuan pemeriksaan fisik umum kunci untuk bayi baru lahir dengan dugaan kejang :

Lingkar kepala

 Mikrosefali – infeksi SSP bawaan (terutama infeksi TORCH atau virus Zika) -
disgenesis serebral – defisiensi serin
 Makrosefali – hidrosefalus – hemimegalencephaly – malformasi

Pemeriksaan Kulit

 Lesi Veskuler – pola menyebar – pertimbangkan infeksi HSV – pola dermatom –


inkontinensia pigmen
 Noda port wine pada dahi/kelopak mata – sindrom sturge-weber (daevaluasi untuk
glukoma)
 Nevus atau perubahan warna pada pola dermatomatau pola melingkar- disgenesis
serebral Lesi vesikular Pemeriksaan oftalmologi Dismorfisme wajah (atau lainnya).
Temuan pemeriksaan fisik – disgenesis serebral
 Penampilan kulit “muffin blueberry”. – infeksi rubella kongenital (atau infeksi
tORCH lainnya)
 Makula daun Abu. –Sklerosis tuberosa
 Aplasia kutis( kekurangan rambut dan kulit di area lokal) – disgenesis serebral

Pemeriksaan Oftalmologi

 Saraf Optik hipoplastik – displasia septo optic atau disgenesis serebral lainnya
 Korioretinitis – infeksi SSP kongenital
 Pigmentasi retina abnormal – lipofuscinosis ceroid neuronal
 Koloboma – agenesis korpus kalosum (sindrom Aicardi)
 Katarak kongenital – infeksi SSP kongenital (khususnya infeksi TORCH) – penyakit
metabolik (penyimpanan) –

Dismorfisme Wajah atau lainnya

 Abnormalitas bagian tengah wajah (hipotelorisme; celah bibir langit langit)


 Abnormalitas kromosom (sindroma trisomy, mikrodelesi/duplikasi), mudah marah,
gelisah

9
Status Jiwa

 Ensefalopati neonatal, kelesuan, penurunanrespon, penyakit sitemikyang parah missal


infeksi meningoensefalitis

Penilaian Klinik Lengkap Kasus Kejang

1. Anamnesis yang mendetail sangat penting untuk mengklarifikasi etiologi saat


mengevaluasi bayi yang mengalami kejang. Infeksi ibu pada periode prenatal, infeksi
kongenital, diabetes, hipoglikemia, dan riwayat kelahiran yang sulit adalah kuncinya
indikator potensi asfiksia perinatal. Karakteristik individu lain dalam keluarga harus
diperiksa untuk sindrom epilepsi familial.
2. Temuan pemeriksaan fisik sangat membantu dalam menentukan etiologi. Misalnya,
penampilan wajah yang tidak biasa mungkin merupakan petunjuk untuk banyak penyakit,
mulai dari berbagai sindrom hingga malformasi sistem saraf pusat dan penyakit
metabolik. Bau abnormal pada keringat atau urin juga penting untuk diagnosis penyakit
metabolik. Hem angioma dan bintikbintik kulit, seperti bintik café au lait, pada tubuh
merupakan tanda yang signifikan untuk sindrom neurokutan.
3. Setelah evaluasi fisik, kadar glukosa, kalsium, magnesium, dan elektrolit harus dievaluasi
dalam hal gangguan metabolism yang sederhana dan mudah diperbaiki.
4. Untuk membedakan adanya infeksi, jumlah darah dan reaktan fase akut diperiksa, dan
pungsi batang lumbal dilakukan untuk mengevaluasi cairan serebrospinal (CSF) pada
pasien dengan gejala sistem saraf pusat yang nyata atau dicurigai. Langkah pertama untuk
menentukan penyakit metabolik meliputi analisis gas darah, laktat, asam amino serum,
asam organik urin, dan profil tandem acylcarnitine.
5. Magnetic resonance imaging (MRI) diterima sebagai modalitas pencitraan standar emas.
Namun, ultrasonografi Trans fontanelle (AS) harus dilakukan dalam kasus darurat di
mana MRI tidak segera tersedia.

6. Bayi harus dipantau dengan EEG video terus menerus jika memungkinkan.(Besnili Acar,
2018)
3.4 Penatalaksanaan kasus kejang
Kejang pada bayi adalah kondisi neuropatologis yang memerlukan diagnosis dan pengobatan
segera.
Tujuan pengobatan tidak hanya untuk menghentikan kejang atik gejala akut, tetapi juga untuk
mengurangi potensi kerusakan otak dan untuk meminimalkan kemungkinan efek negatif dari
epilepsi atau efek samping neurologis lainnya.

10
Tatalaksana Non-Farmakologis pasien kejang meliputi

1. Tindakan awal adalah melakukan tindakan standar kedaruratan berupa ABC (Airway,
Breathing, Circulation), oksigenasi dan penilaian tekanan darah, nadi, saluran napas,
penilaian suhu. Tujuan pengobatan adalah untuk mengendalikan kejang sebelum cedera
neuron terjadi (teoritis antara 20 menit sampai 1 jam).
2. Pasien ditempatkan pada posisi semi-prone dengan kepala diletakkan menghadap
samping untuk menghindari aspirasi.
3. Diberikan spatel lidah yang diletakkan dalam ronggan mulut untuk mencegah tergigitnya
lidah. Lepas gigi palsu bila ada.
4. Akses antarvena harus dilakukan untuk hampir semua pasien (tapi bisa ditangguhkan
pada meraka dengan kejang sederhana).
5. Koreksi kelainan metabolik yang ada (hiponatremia, hipoglikemia, hipokalsemia, putus
obat atau alkohol).
6. Bila aktivitas kejang pasien tidak mereda di UGD setelah tindakan ABC dilakukan, maka
untuk pasien yang berada dalam status epileptikus atau sianotik epilepticus, intubasi
endotrakeal harus diper-timbangkan.
7. Pemberian obat anti kejang/antiepilepsi.
8. Pengawasan di ruang perawatan intensif, mungkin diperlukan bila terdapat kondisi
refrakter.

Tatalaksana Farmakologis Pasien Kejang meliputi :

1. Fenobarbital tetap menjadi pengobatan lini pertama untuk kejang neonatus. Survei
internasional secara konsisten mencerminkan preferensi untuk obat ini (Bartha et al.,
2007; Glass et al., 2012). Baru-baru ini, dalam daftar prospektif besar lebih dari 600
neonatus berturut-turut dengan kejang yang dirawat di tujuh rumah sakit anak perawatan
tersier Amerika, 89% neonatus menerima dosis muatan fenobarbital (Shellhaas et al.,
2017a) . Kejang dikendalikan untuk sekitar setengah dari neonatus setelah dosis muatan
feno barbit 20mg/kg (Painter et al., 1999; Glass et al., 2016).al
2. Fosfenitoin lebih disukai daripada fenitoin karena keamanan yang lebih baik dengan
pemberian intravena. Dalam uji coba terkontrol secara acak, fenitoin terbukti memiliki
kemanjuran yang serupa dibandingkan dengan fenobarbital; dengan loading dose
20mg/kg salah satu obat, sekitar setengah neonatus mengalami resolusi kejang (Painter et
al., 1999). Fenitoin tidak disukai untuk pengobatan jangka panjang, karena penyerapan
dan farmakokinetiknya yang kurang dapat diprediksi dibandingkan dengan fenobarbital
Levetiracetam semakin banyak diresepkan untuk pengobatan kejang neonatal, meskipun
data keamanan dan kemanjurannya masih kurang (Ahmad et al., 2017)

11
a. Jika kejang bertahan setelah pengobatan standar dimaksimalkan, atau jika neonatus
memiliki status epileptikus, infus dapat diindikasikan. Pilihannya termasuk midazolam
atau lido caine. Midazolam dapat dimulai dengan dosis bolus dan kemudian dititrasi
untuk memberikan efek. Obat ini dapat dilanjutkan selama beberapa hari dan secara
bertahap dikurangi setelah neonatus bebas kejang selama 24 jam (Castro Conde et al.,
2005).
b. Lidokain juga bisa efektif dalam kasus status epileptikus. Yang penting, lidokain
dikontraindikasikan untuk neonatus yang sebelumnya menerima fenitoin/fosfenitoin atau
yang memiliki penyakit jantung bawaan karena risiko aritmia jantung. Selain itu, untuk
menghindari toksisitas, infus lidokain hanya boleh dilanjutkan selama < 30 jam (Weeke
et al., 2016). Data pengamatan awal menunjukkan bahwa lidocaine mungkin memiliki
kemanjuran yang lebih baik jika dibandingkan dengan midazolam, tetapi belum uji coba
acak yang dilakukan (Shany et al., 2007; Weeke et al, 2017). Dosis lidocaine harus
disesuaikan berdasarkan berat lahir dan paparan hipotermia terapeutik.
Penting juga bahwa etiologi kejang dievaluasi kembali jika kejang tidak berespon seperti
yang diharapkan terapi biasa. Jika kejang resisten terhadap pengobatan, percobaan
piridoksin harus dipertimbangkan dengan kuat sehingga epilepsi yang bergantung pada
piridoksin tidak terlewatkan. Pertimbangan diagnostik lanjutan tambahan (misalnya,
untuk epilepsi onset neonatal atau kesalahan metabolisme bawaan) juga harus dilakukan,
berdasarkan kasus per kasus . Tidak ada data yang tersedia untuk menyarankan bahwa
salah satu obat antiseizure lebih manjur daripada yang lain. Dengan demikian beberapa
algoritme perawatan potensial mungkin masuk akal. Sangat penting bahwa ahli neona
dan ahli saraf mengembangkan jalur praktik berbasis konsensus khusus rumah sakit
untuk evaluasi dan pengobatan kejang neonatal. Jalur praktik semacam itu dapat
merampingkan pengambilan keputusan medis, memfasilitasi pemberian obat yang cepat,
dan berpotensi mengurangi beban kejang.
Penatalaksanaan jangka panjang untuk kejang neonatus simtomatik akut
Untuk neonatus yang mengalami kejang yang dikonfirmasi EEG, dosis obat anti kejang
pemeliharaan harus dimulai setelah kejang dikontrol dengan dosis bolus atau infus. Jika
kejadian klinis ditemukan tidak memiliki korelasi EEG, maka itu bukan kejang dan obat anti
kejang harus dihentikan.
Durasi pengobatan yang ideal setelah kejang neonatal atik dengan gejala akut tidak diketahui
dan terdapat variabilitas praktik yang nyata (Shellhaas et al., 2017). Tidak ada data saat ini
yang menunjukkan bahwa durasi pengobatan yang singkat vs. berkepanjangan lebih disukai.
Untuk sebagian besar neonatus, kejang simtomatik akut bertahan selama 48-96 jam sebelum
mereda. Risiko kekambuhan kejang pada periode neonatal relatif rendah, sehingga obat anti
kejang dapat dihentikan dengan cepat untuk beberapa pasien. Karena waktu paruhnya yang

12
panjang, jika fenobarbital telah diberikan kurang dari 1 minggu, tidak perlu mengurangi dosis
sebelum menghentikan pengobatan. Yang penting, riwayat kejang neonatal merupakan faktor
risiko utama kejang infantil. Surveilans klinis untuk regresi perkembangan dan munculnya
epilepsi postneonatal diperlukan, karena obat yang biasanya diresepkan untuk kejang neonatal
biasanya tidak efektif untuk sindrom epilepsi postneonatal. Dalam banyak kasus, dokter dan
orang tua lebih memilih untuk melanjutkan pengobatan selama beberapa minggu atau bulan
setelah kejang neonatal teratasi. Jika bayi akan dipertahankan dengan pengobatan antiseizure,
disarankan untuk menyederhanakan rejimen sebanyak mungkin. Fenitoin oral harus dihindari
karena penyerapan yang buruk pada bayi. Bayi harus diikuti secara ketat setelah keluar dari
rumah sakit sehingga obat anti kejang dapat dihentikan dalam beberapa bulan pertama
kehidupan. (Ziobro & Shellhaas, 2020)

13
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kejang neonatorum adalah kejang yang terjadi pada bayi baru lahir sampai usia 28 hari.
Kejang neonatorum juga didefinisikan sebagai perubahan parok- sismal dari fungsi neurologik
misalnya perilaku sensorik, motorik dan fungsi autonom sistem saraf.. Kejang diklasifikasikan
menjadi 4 jenis yang berbeda sesuai dengan temuan klinis yaitu sebagai berikut :

1. Kejang halus (tidak ditentukan)


2. Kejang klonik
3. Kejang tonik
4. Kejang mioklonik

Fenobarbital masih menjadi pilihan pertama antikonvulsan awal saat pengobatan obat untuk
bayi. Pilihan kedua termasuk fenitoin, levetiracetam, benzodiazepin, dan lidokain. Levetiracetam
adalah obat antikonvulsan yang telah digunakan lebih sering pada bayi baru lahir dalam beberapa
tahun terakhir karena menurunkan pelepasan neurotransmitter presinaptik dengan mengikat
vesikel sinaptik.

Studi skala besar yang terencana dengan baik tentang obat antikonvulsan yang dapat
digunakan pada kejang neonatal sangat diperlukan untuk memberikan pengobatan secara
optimal.

4.2 Saran
1. Bagi Mahasiswa Mahasiswa diharapkan bisa lebih aktif mempelajari dan meningkatkan
pengetahuan mengenai manajemen umum kegawatdaruratan pada Neonatus dengan kasus
kejang.
2. Bagi Instansi Diharapkan makalah ini dapat menambah referensi yang berkaitan dengan
asuhan kebidanan kegawatdaruratan neonatal.

14
DAFTAR PUSTAKA

Besnili Acar, D. (2018). Current overview at neonatal convulsions. SiSli Etfal Hastanesi Tip Bulteni /
The Medical Bulletin of Sisli Hospital, 53(1), 1–6. https://doi.org/10.14744/semb.2018.22844

Khanis, A., & Purbowati, M. R. (2018). Hubungan Asfiksia Neonatorum Dan Kejang Neonatorum Di
Rumah Sakit Umum Daerah Prof . Dr Margono Soekarjo Purwokerto Periode 2016-2017.
Sainteks, 15(1), 73–79.

Pisani, F., Spagnoli, C., Falsaperla, R., Nagarajan, L., & Ramantani, G. (2021). Seizure : European
Journal of Epilepsy Seizures in the neonate : A review of etiologies and outcomes. Seizure:
European Journal of Epilepsy, 85(July 2020), 48–56.
https://doi.org/10.1016/j.seizure.2020.12.023

Pressler, R. M., Cilio, M. R., Mizrahi, E. M., Moshé, S. L., Nunes, M. L., Plouin, P., Vanhatalo, S.,
Yozawitz, E., de Vries, L. S., Puthenveettil Vinayan, K., Triki, C. C., Wilmshurst, J. M.,
Yamamoto, H., & Zuberi, S. M. (2021). The ILAE classification of seizures and the epilepsies:
Modification for seizures in the neonate. Position paper by the ILAE Task Force on Neonatal
Seizures. Epilepsia, 62(3), 615–628. https://doi.org/10.1111/epi.16815

Revisited, N. S. (2021). Neonatal Seizures Revisited. 1–17.

Ziobro, J., & Shellhaas, P. R. A. (2020). Kejang Neonatal : Diagnosis , Etiologi , dan Pengelolaan.
https://dokterpost.com/diagnosis-dan-terapi-kejang-di-instalasi-gawat-darurat/

15
LAMPIRAN

Original Article (PDF)

3. GADAR KEJANG REFERENSI\Current Overview of Neonatal Convulsions.pdf


4. GADAR KEJANG REFERENSI\Neonatal Seizures Diagnosis, Etiologies, and Manag.pdf
5. GADAR KEJANG REFERENSI\Seizures in the neonate A review of etiologies and
outcomes.pdf

Pertanyaan dan Jawaban Sesi Diskusi (Q&A)

16

Anda mungkin juga menyukai