Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN NEONATUS DENGAN SEIZURE

DI RUANG PERINATOLOGI RSUD ABDUL AZIZ SINGKAWANG

Disusun Oleh:
MUTIARA FITRI
NIM. 211133057

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PONTIANAK
JURUSAN KEPERAWATAN PONTIANAK
PROFESI
NERS
2021/2022
VISI DAN MISI

PROGRAM STUDI NERS KEPERAWATAN


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES
PONTIANAK

VISI

"Menjadi Institusi Pendidikan Ners yang Bermutu dan Unggul


dalam Bidang Keperawatan Gawat Darurat dan Keperawatan
Perioperatif di Tingkat Regional Tahun 2020"

MISI

1. Meningkatkan Program Pendidikan Ners yang Unggul dalam Bidang


Keperawatan Gawat Darurat dan Keperawatan Perioperatif yang
Berbasis Kompetensi.
2. Meningkatkan Program Pendidikan Ners yang Unggul dalam Bidang
Keperawatan Gawat Darurat dan Keperawatan Perioperatif yang
Berbasis Penelitian.
3. Mengembangkan Upaya Pengabdian Masyarakat yang Unggul dalam
Keperawatan Gawat Darurat dan Keperawatan Perioperatif yang
Berbasis IPTEK dan Teknologi Tepat Guna.
4. Mengembangkan Program Pendidikan Ners yang Unggul dalam Bidang
Keperawatan Gawat Darurat dan Keperawatan Perioperatif yang
Mandiri, Transparan dan Akuntabel.
5. Mengembangkan kerjasama baik lokal maupun regional.

LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN NEONATUS DENGAN SEIZURE
DI RUANG NIFAS RSUD ABDUL AZIZ SINGKAWANG
Telah mendapat persetujuan dari Pembimbing Akademik
(Clinical Teacher) dan Pembimbing Klinik (Clinical Instructure).

Telah disetujui pada :


Hari :
Tanggal :

Mengetahui,

Pembimbing akademik pembimbing klinik

Ns. Astuti Lestari, S.ST


NIP.198104132005022004

Mahasiswa

Mutiara Fitri
211133057
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejang dan spasme merupakan keadaan emergensi atau tanda bahaya yang
sering terjadi pada BBL, karena kejang dapat mengakibatkan hipoksia otak yang
cukup berbahaya bagi kelangsungan hidup bayi atau dapat mengakibatkan sekuele
dikemudian hari. Disamping itu kejang dapat merupakan tanda atau masalah dari
satu masalah atau lebih. Sekitar 70-80% BBL secara klinis tidak tampak kejang,
namun secara elektrografik masih mengalami kejang. Karena sulitnya mengenal
bangkitan kejang pada BBL, angka kejadian sesungguhnya tidak diketahui
(Kusuma, 2019).
Meskipun demikian angka kejadian di Amerika Serikat berkisar antara 0.8-1.2
setiap 1000 BBL pertahun, sedang pada kepustakaan lain menyebutkan 1-5% bayi
pada bulan pertama mengalami kejang. Insidensi meningkat pada bayi kurang bulan
sebesar 57.5-132 dibanding bayi cukup bulan sebesar 0.7-2.7 setiap 1000 kelahiran
hidup. Pada kepustakaan lain menyebutkan bahwa insidensi 20% pada bayi kurang
bulan dan 1.4% pada bayi cukup bulan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka ditetapkan rumusan
masalah sebagai berikut “Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Neonatus dengan
Seizure/Kejang di RSUD Abdul Aziz Singkawang?”.
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dibuatnya Laporan Pendahuluan ini agar mahasiswa mampu
menerapkan Asuhan Keperawatan pada Ibu Nifas dengan post Sectio Caesarea
di RSUD Abdul Aziz Singkawang.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian pada neonatus dengan kejang
b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada neonatus dengan kejang
c. Mampu merumuskan rencana asuhan keperawatan pada neonatus dengan
kejang
d. Mampu melakukan tindakan keperawatan pada neonatus dengan kejang
e. Mampu merumuskan evaluasi pada neonatus dengan kejang
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Kejang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan
tungkai. Kejang yang terjadi pada bayi baru lahir adalah kejang yang terjadi pada
bayi baru lahir sampai dengan usia 28 hari. Kejang pada BBL merupakan keadaan
darurat karena kejang merupakan suatu tanda adanya penyakit sistem saraf pusat
(SSP), kelainan metabolik atau penyakit lain. Kejang pada bayi baru lahir sering
tidak dikenali karena berbeda dengan kejang pada anak dan dewasa. Hal ini
disebabkan karena ketidakmatangan organisasi korteks pada bayi baru lahir
(Chrismayanti, 2018).
Kejang dapat timbul sebagai gerakan involunter klonik atau tonik pada satu atau
lebih anggota gerak. Kejang adalah suatu kondisi dimana otot tubuh berkontraksi
dan berelaksasi secara cepat dan berulang, oleh karena abnormalitas sementara dari
aktivitas elektrik di otak, yaitu terjadi loncatan – loncatan listrik karena
bersinggungannya ion (+) dan ion (-) di dalam sel otak.
B. Etiologi
Beberapa penyebab kejang pada bayi baru lahir, diantaranya :
1. Komplikasi perinatal dapat berupa : hipoksi-iskemik ensefalopati; biasanya
kejang timbul pada 24 jam pertama kelahiran, perdarahan intrakranial, dan
trauma susunan saraf pusat yang dapat terjadi pada persalinan presentasi
bokong, ekstrasi cunam atau ekstrasi vakum berat
2. Kejang bayi dengan asfiksia disertai kelainan metabolisme seperti:
hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesemia, hiponatremia, dan
hipernatremia. Hiperbilirubinemia, ketergantungan piridoksin, dan kelainan
metabolisme asam amino. Kejang dengan penyebab ini dapat terjadi 24-48 jam
pertama.
3. Kejang yang terjadi pada hari ke-7 hingga hari ke-10, dapat disebabkan adanya
infesi dari bakteri dan virus seperti TORCH dan Tetanus Neonatorum
C. Klasifikasi
Bentuk tugas dari tiap-tiap orang dapat berbeda, tergantung jenis penyakit yang
mendasari dan berat ringan penyakitnya.
1. Berdasarkan lokasi kejang
Kejang motorik dapat berupa kejang fokal atau umum. Kejang fokal
dicirikan oleh gejala motorik atau sensorik dan termasuk gerakan yang kuat
dari kepala dan mata ke salah satu sisi, pergerakan klonik unilateral yang
diawali dari muka atau ekstremitas, atau gangguan sensorik seperti parestesi
(kesemutan) atau nyeri lokal pada suatu area. Sedangkan pada kejang umum,
bisa menyuluruh pada organ tubuh, dapat berlangsung bertahap maupun
bersamaan. Terkadang kejang ini tak dapat dideteksi atau tersamar, yaitu
mmiliki ciri – ciri:
a. Hampir tidak terlihat

b. Menggambarkan perubahan tingkah laku

c. Bentuk kejang :

d. Otot muka, mulut, lidah menunjukan gerakan menyeringai

e. Gerakan terkejut-kejut pada mulut dan pipi secara tiba-tiba menghisap,

mengunyah, menelan, menguap

f. Gerakan bola mata ; deviasi bola mata secara horisontal, kelopak mata

berkedip-kedip, gerakan cepat dari bola mata

g. Gerakan pada ekstremitas : pergerakan seperti berenang, mangayuh pada

anggota gerak atas dan bawah

h. Pernafasan apnea, BBLR hiperpnea

i. Untuk memastikan : pemeriksaan EEG

2. Berdasarkan serangan pada otot

a. Kejang klonik, terdapat kontraksi otot secara ritmik. Ciri – ciri yang

dapat diperhatikan adalah:


1) Berlangsung selama 1-3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak

disertai gangguan kesadaran

2) Dapat disebabkan trauma fokal

3) BBL dengan kejang klonik fokal perlu pemeriksaan USG,

pemeriksaan kepala untuk mengetahui adanya perdarahan otak,

kemungkinan infark serebri

4) Kejang klonik multifokal sering terjadi pada BBL, terutama bayi

cukup bulan dengan BB>2500 gram

5) Bentuk kejang : gerakan klonik pada satu atau lebih anggota

gerak yang berpindah-pindah atau terpisah secara teratur, misal

kejang klonik lengan kiri diikuti kejang klonik tungkai bawah

kanan

b. Kejang tonik, dicirikan oleh peningkatan tonus arau kekakuan. Dapat

terjadi pada:

1) Terdapat pada BBLR, masa kehamilan kurang dari 34 minggu

dan pada bayi dengan komplikasi perinatal berat

2) Bentuk kejang : berupa pergerakan tonik satu ekstremitas,

pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai,

menyerupai sikap deserebasi atau ekstensi tungkai dan fleksi

lengan bawah dengan bentuk dekortikasi

c. Kejang tonik – klonik, merupakan kumpulan gejala kejang tonik dan

klonik.

d. Kejang mioklonik, ditandai dengan kontraksi otot seperti adanya kejutan.

Gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang
berulang dan terjadinya cepat, gerakan menyerupai refleks moro.\

e. Kejang atonik, dicirikan oleh kelumpuhan atau kurangnya gerakan

selama kejang.

3. Berdasarkan demam sebagai gejala penyerta

a. Kejang dengan demam, meliputi Kejang Demam dan non-Kejang

Demam

1) Kejang demam terbagi menjadi Kejang Demam Sederhana

(KDS) dan Kejang Demam Kompleks (KDK)

2) KDS (simple febrile seizures)

Adalah bila kejang berlangsung kurang dari 15 menit dan tidak

berulang pada hari yang sama. Tidak menyebabkan

kelumpuhan, meninggal ataupun mengganggu kecerdasan.

Resiko untuk menjadi epilepsi dikemudian hari juga sangat kecil

(2 – 3%). Resiko terbanyak adalah berulangnya kejang demam,

yang dapat terjadi pada 30 – 50% anak – anak.

3) KDK (complex febile seizures )

Adalah bila kejang hanya terjadi pada satu sisi tubuh,

berlangsung lama (lebih dari 15 menit) atau berulang dua kali

atau lebih dalam satu hari. Resiko untuk menjadi epilepsi

dikemudian hari dan resiko berulangnya kejang demam lebih

tinggi dari KDS. Untuk anak yang mengalami kelainan saraf

yang nyata, dokter akan mempertimbangkan untuk memberikan

pengobatan dengan anti kejang selama 1 – 3 tahun.


b. Bukan kejang demam (non-KD), yang diantaranya disebabkan oleh:

infeksi intrakranial meningitis/ensefalitis, gangguan elektrolit berat

akibat dehidrasi, serangan epilepsi yang disertai demam, dan penyakit

dengan demam dan gerakan mirip kejang.Kejang tanpa demam dapat

terjadi pada beberapa penyakit diantaranya: epilepsi (tanpa demam dan

berulang), hipo/hiperglikemi, gangguan elektrolit tanpa demam,

keracunan, trauma, dan hipoksia.

D. Manifestasi Klinis
1. Tremor/gemetar

2. Hiperaktif

3. Kejang-kejang

4. Tiba-tiba menangis melengking

5. Tonus otot hilang diserati atau tidak dengan hilangnya kesadaran

6. Pergerakan tidak terkendali

7. Nistagmus atau mata mengedip ngedip paroksismal


E. Pathway

Kejang timbul akibat timbulnya muatan listrik (depolarisasi) berlebihan


pada susunan saraf pusat sehingga terbentul gelombang listrik yang berlebihan.
Neuron dalam sistem saraf pusat mengalami depolarisasi sebagai hasil dari
perpindahan natrium ke arah dalam, sedangkan repolarisasi terjadi akibat
keluarnya kalium. Untuk mempertahankan potensial membran memerlukan energi
yang berasal dari ATP dan bergantung pada mekanisme pompa yaitu keluarnya
natrium dan masuknya kalium.
Meskipun mekanisme dasar kejang pada neonatus tidak sepenuhnya
dipahami, data terbaru menunjukkan bahwa depolarisasi berlebihan dapat
diakibatkan oleh:
a. Gangguan dalam produksi energi dapat mengakibatkan kegagalan pompa
natrium dan kalium
b. Rangsang berlebihan dari neurotransmitter di susunan saraf pusat
c. Adanya kekurangan relatif dari inhibitor neurotransmitter dibanding
eksitatorik dapat menyebabkan depolarisasi berlebihan
d. Perubahan membran neuron menyebabkan inhibisi dari pergerakan natrium
Perkembangan otak anak terjadi sangat cepat mulai dari sejak lahir hingga usia
dua tahun yang disebut sebagai periode emas dan pembentukan sinaps serta
kepadatan dendrit pada sumsum tulang belakang terjadi sangat aktif pada sekitar
kehamilan sampai bulan pertama setelah kelahiran. Pada saat bayi baru lahir,
merupakan periode tertinggi dari aktifitas eksitasi sinaps fisiologis. Menurut
penelitian, pada periode ini keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi pada sinaps
cenderung mengarah pada eksitasi untuk memberi jalan pada pembentukan sinaps
yang bergantung pada aktivitasnya

F. Komplikasi
1. Hipoksia serebral proksimal
2. Perubahan aliran darah ke otak
3. Edema cerebral
4. Asidosis laktat
G. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut (Nule, 2018) pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:
1. Pemeriksaan darah dapat berupa: gula darah, elektrolit darah (terutama kalsium

dan magnesium), darah tepi, punksi lumbal, punksi subdural, kultur darah, dan

titer TORCH

2. EKG dan EEC

3. Foto rotgen dan USG kepala

H. Penatalaksaan
1. Prinsip tindakan untuk mengatasi kejang

a. Menjaga jalan nafas tetap bebas

Penting sekali mengusahakan jalan napas yang bebas agar

oksigenasi terjamin. Tindakan yang dapat segera dilakukan adalah

membuka semua pakaian yang ketat. Kepala sebaiknya dimiringkan

untuk menghindari aspirasi isi lambung. Bisa juga dengan memberikan

benda yang dapat digigit guna mencegah tergigitnya lidah atau

tertutupnya jalan napas .


b. Mengatasi kejang secepat mungkin

Untuk pertolongan pertama, bila suhu penderita meninggi, dapat

dilakukan kompres dengan air kran atau alkohol atau dapat juga diberi

obat penurun panas (antipiretik). Obat anti kejang seperti diazepam

dalam sediaan perectal dapat diberikan sesuai dengan dosis. Dosis

tergantung dari BB, BB <10kg diberikan 5mg dan BB >10kg rata-rata

pemakaiannya 0,4 - 0,6mg/KgBB.

c. Mengobati penyebab kejang

Setelah penyebab kejang diketahui, dapat diberikan obat-obatan

untuk mengatasi penyebabnya. Misalnya kejang dikarenakan infeksi

traktus respiratori bagian atas, pemberian antibiotik yang tepat dapat

mngobati infeksi tersebut.


BAB III

KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Anamnesis yang teliti tentang keluarga, riwayat kehamilan, riwayat persalinan

dan kelahiran.

a. Riwayat kehamilan

1) Bayi kecil untuk masa kehamila

2) Bayi kurang bulan

3) Ibu tidak disuntik TT

4) Ibu menderita DM

b. Riwayat persalinan

1) Persalinan dengan tindakan

2) Persalinan presipitatus

3) Gawat janin

c. Riwayat kelahiran

1) Trauma lahir

2) Lahir asfiksia

3) Pemotongan tali pusat dengan alat tidak steril

2. Pemeriksaan kelainan fisik bayi baru lahir

a. Kesadaran (normal, apatis, somnolen, sopor, koma)

b. Suhu tubuh (normal, hipertermia, hipotermia)

c. Tanda-tanda infeksi lainnya


B. Diagnosa
1. Resiko cidera berhubungan dengan aktivitas kejang
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan
produksi mucus
3. Resiko aspirasi berhubungan dengan peningkatan sekresi kesukaran menelan
kerusakan otot faring
C. Intervensi
No SDKI SLKI SIKI
1. Bersihan jalan nafas tidak Bersihan jalan Manajemen jalan
efektif (D.0149) nafas (L.01001) nafas (I.01011)

Penyebab Setelah dilakukan Observasi


1. Spasme jalan nafas tindakan 1. Monitor pola nafas
2. Hipersekresi jalan nafas keperawatan 2. Monitor bunyi
3. Disfungsi neuromuscular selama 3x24 jam nafas tambahan
4. Benda asing dalam jalan diharapkan 3. Monitor sputum
nafas tingkat nyeri
5. Adanya jalan nafas buatan menurun dengan Terapeutik
6. Sekresi yang tertahan kriteria hasil: 4. Lakukan
7. Hyperplasia dinding jalan penghisapan lender
nafas - Produksi kurang dari 15
8. Proses infeksi sputum detik (jika perlu)
9. Respon alergi menurun 5. Berikan oksigen
10. Efek agen farmakologis - Mengi (jika perlu)
menurun
Gejala dan tanda mayor - Wheezing Kolaborasi
Subjektif menurun 6. Kolaborasi
- - Meconium pemberian
Objektif menurun bronkodilator,
1. Batuk tidak efektif - Frekuensi ekspektoran,
2. Tidak mampu batuk nafas mukolitik (jika
3. Sputum berlebih membaik perlu)
4. Mengi, wheezing atau - Pola nafas
ronkhi kering membaik
5. Meconium dijalan nafas
(pada neonates)

Gejala dan tanda minor


Subjektif
1. Dispnea
2. Sulit bicara
3. Ortopnea

Objektif
1. Gelisah
2. Sianosis
3. Bunyi nafas menurun
4. Frekuensi nafas berubah
5. Pola nafas berubah
2. Resiko Cidera (D.0136) Tingkat Cedera Manajemen
(L.14136) keselamatan
Faktor resiko lingkungan (I.14513)
Eksternal Setelah dilakukan
1. Terpapar pathogen tindakan Observasi
2. Terpapar zat kimia toksik keperawatan di 1. Identifikasi
3. Terpapar agen nosocomial harapkan tingkat kebutuhan
4. Ketidakamanan cedera menurun keselamatan
transportasi dengan kriteria ( mis.kondisi fisik,
hasil : fungsi kognitif dan
Internal riwayat perilaku)
1. Ketidaknormalan profil - Kejadian
darah cedera Terapeutik
2. Perubahan orientasi menurun 2. Modifikasi
afektif - Luka/lecet lingkungan untuk
3. Perubahan sensasi menurun meminimalkan
4. Disfungsi autoimun bahaya dan resiko
5. Disfungsi biokimia 3. Sediakan alat
6. Hipoksia jaringan bantu bantu
7. Kegagalan mekanisme kemanan
pertahan tubuh lingkungan (mis
8. Malnutrisi pegangan tangan)
9. Perubahan fungsi 4. Gunakan
psikomotor perangkat
10. Perubahan fungsi kognitif pelindung ( mis
pintu terkunci,
Kondisi Klinis Terkait pagar)
1. Kejang
2. Sinkop
3. Vertigo
4. Gangguan penglihatan
5. Gangguan pendengaran
6. Penyakit Parkinson
7. Hipotensi
8. Kelainan nervus
vestibularis
9. Retardasi mental
3. Resiko Aspirasi (D.0006) Tingkat Aspirasi Pencegahan Aspirasi (
(L.01006) I.01018)
Factor resiko
1. Penurunan tingkat Setelah dilakukan Observasi
kesadaran tindakan 1. monitor tingkat
2. Penurunan reflex muntah keperawatan kesadaran, batuk
atau batuk selama 3x24 jam muntah dan
3. Gangguan menelan diharapkan menelan
4. Disfagia tingkat aspirasi 2. monitor status
5. Kerusakan mobilitas fisik menurun dengan pernafasan
6. Peningkatan residu kriteria hasil:
lambung - tingkat terapeutik
7. Peningkatan tekanan kesadaran 3. pertahankan
intragastrik meningkat kepatenan jalan
8. Penurunan motilitas - kemampuan nafas
gastrointestinal menelan 4. lakukan
9. Sfingter esophagus bawah meningkat penghisapan jalan
inkompeten - dispneu nafas jika produksi
10. Perlambatan pengosongan menurun secret meningkat
lambung - kelemahan otot 5. sediakan suction
11. Terpasang selang menurun diruangan
nasogastric - akumulasi
12. Terpasang trakeostomi secret menurun
atau endotrakeal tube - sianosis
13. Trauma/pembedahan menurun
leher, mulut dan wajah - frekuensi nafas
14. Efek agen farmakologis membaik
15. Ketidakmatangan
koordinasi menghisap
menelan dan bernapas

Kondisi klinis terkait


1. Cedera kepala
2. Stroke
3. Cedera medulla spinalis
4. Guillain barre syndrome
5. Penyakit perkinson
6. Keacunan obat dan
alcohol
7. Pembesaran uterus
8. Miestenia gravis
9. Fistula trakeoesofagus
10. Striktura esophagus
11. Sclerosis multiple
12. Labiopalatoskizis
13. Atresia esophagus
14. Laringomalasia
15. prematuritas

D. Implementasi
Merupakan inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang
spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan
pada nursing orders untuk membantu klien mncapai tujuan yang diharapkan. Oleh
karena itu rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-
faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien. Tujuan pelaksanaan adalah
membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yang mencakup
peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan dan
memfasilitasi koping.

E. Evaluasi
Tindakan intelektual yang melengkapi proses keperawatan yang menandakan
seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaan sudah
berhasil dicapai. Meskipun tahap evaluasi diletakkan pada akhir proses
keperawatan, evaluasi merupakan bagian integral pada setiap tahap proses
keperawatan.
BAB IV

EVIDANCE BASED NURSING PRACTICE (EBNP)


A. Pengaruh Terapi Hipotermi Terhadap Kejadian Kejang Pada Bayi Asfiksia
Di Ruang Alamanda Rumah Sakit Umum Daerah Bangil (Anastasia Desy
Chrismayanti, 2018)
Menurut (Chrismayanti, 2018) bayi yang diberikan terapi hipotermi pada
umumnya mengalami kejang. Sedangkan bayi yang tidak diberikan terapi
hipotermi pada umumnya tidak mengalami kejang, sehingga terapi hipotermi
efektif untuk mengurangi resiko kejang pada bayi asfiksia (p 0,032<α 0.05).
terapi hippotermi mencegah terjadinya kejang pada bayi asfiksia dengan
mengurangi kecepatan metabolic serebral, menghambat aktivitas glutamate dan
dopamine dan meningkatkan ambang batas kejang listrik pada otak.
B. Pengaruh Terapi Hipotermi Terhadap Kejadian Kejang Pada Bayi Asfiksia
Di Ruang Alamanda di RSUD Bangil (Erik Kusuma, 2019)
Menurut (Kusuma, 2019) bayi asfiksia yang diberikan terapi hipotermi
hamper seluruhnya (91%) tidak mengalami kejang, sedangkan pada bayi asfiksia
yang tidak diberikan terapi hipotermi, sebanyak 55% mengalami kejang. Dari
hasil uji fisher dengan tingkat kemaknaan 95% (α=0.05) didapatkan nilai
ρ=0,032 (<α 0.05), maka dapat disimpulkan nahwa ada pengaruh terapi
hipotermi terhadap kejadian kejang pada bayi asfiksia di Ruang Alamanda
RSUD Bangil. Terapi hipotermi mencegah terjadinya kejang pada bayi asfiksia
dengan mengurangi kecepatan metabolic serebral, menghambat aktivitas
glutamate dan dopamine dan meningkatkan ambang batas kejang listrik pada
otak.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan 3x24 jam dan melakukan pengkajian
kembali didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
1. Setelah dilakukan pengkajian dan analisis kasus muncul tiga diagnose pada
pasien: ketidakefektifan jalan nafas, resiko aspirasi dan resiko cedera.
2. Intervensi yang muncul dalam teori, tidak sepenuhnya dijadikan intervensi
pada pengelolaan pasien karena situasi dan kondisi pasien.
3. Seluruh implementasi dapat dilakukan dengan baik, sampai pengelolaan pasien
dalam implementasi pada pasien tidak mengalami kesulitan
4. Setelah dilakukan implementasi keperawatan selama 3x24 jam hasil yang
didapatkan sesuai dengan yang diharapkan. Diagnose yang muncul pada pasie
bisa teratasi.
B. Saran
Sebagai tim kesehatan yang paling sering berhubungan dengan pasien sangat
perlu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan agar mampu merawat pasien
secara komprehensif dan optimal dalam menjalankan asuhan keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
Chrismayanti, A. D. (2018). Pengaruh Terapi Hipotermi Terhadap Kejadian Kejang
Pada Bayi Asfiksia Di Ruang Alamanda Rumah Sakit Umum Daerah Bangil.
Forum American Bar Association, 1(2), 142–146.
Kusuma, E. (2019). Pengaruh Terapi Hipotermi Terhadap Kejadian Kejang Pada Bayi
Asfiksia Di Ruang Alamanda Rumah Sakit Umum Daerah Bangil. Efektifitas
Penyuluhan Gizi Pada Kelompok 1000 HPK Dalam Meningkatkan Pengetahuan
Dan Sikap Kesadaran Gizi, 3(3), 69–70.
Nule, M. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Bayi Ny.E Dengan Asfiksia Sedang
Diruangan NICU RSUD Pof Dr W.Z Johanes Kupang. (Vol. 151, Issue 2).
https://www.academia.edu/10123720/KEJANG_PADA_NEONATUS

PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI). Jakarta: PPNI.


PPNI. (2017). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: PPNI.
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) . Jakarta: PPNI.

Anda mungkin juga menyukai