Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Konsep medis
1. Definisi Kejang pada Neonatus
Kejang adalah serangkaian spasme otot involunter yang menyebabkan tubuh sering
kaku. Kejang disebabkan oleh impuls listri abnormal di otak yang biasanya disertai
kehilangan kesadaran atau konfusi sementara (Paula Kelly, 2010)
Kejang pada bayi baru lahir ialah kejang yang timbul masa neonatus atau dalam 28
hari sesudah lahir (Buku Kesehatan Anak dalam Maryunani & Puspita Sari, 2013).
Menurut Johnston (2007), kejang pada neonatus adalah kejang yang terjadi dalam 4
minggu pertama kehidupan dan paling sering terjadi pada 10 hari pertama kehidupan.
Kejang tersebut berbeda dengan kejang yang terjadi pada anak atau orang dewasa karena
kejang tonik-klonik umum cenderng tidak terjadi pada bulan pertama kehidupan.
Kejang pada neonatus bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan gejala dari
gangguan saraf pusat, lokal atau sistemik. Kejang ini merupakan gejala gangguan syaraf
dan tanda penting akan adanya penyakit lain sebagai penyebab kejang tersebut, yang
dapat mengakibatkan gejala sisa yang menetap di kemudian hari. Bila penyebab tersebut
diketahui harus segera di obati. Hal yang paling penting dari kejang pada bayi baru lahir
adalah mengenal

kejangnya, mendiagnosis penyakit penyebabnya dan memberikan pertolongan terarah,


bukan hanya mencoba menanggulangi kejang tersebut dengan obat antikonvulsan (Nany
Vivian, 2010)
Kejang merupakan keadaan darurat atau tanda bahaya yang sering terjadi pada
neonatus karena kejang dapat mengakibatkan hipoksia otak yang cukup berbahaya bagi
kelangsungan hidup bayi atau dapat mengakibatkan sekuele di kemudian hari. Selain itu
kejang dapat merupakan tanda atau gejala dari satu masalah atau lebih dan memiliki efek
jangka panjang berupa penurunan ambang kejang, gangguan belajar dan gangguan daya
ingat. Aktivitas kejang yang terjadi pada waktu diferensiasi neuron, mielinisasi, dan
proliferasi glia pada neonatus dianggap sebagai penyebab kerusakan otak. Kejang
berulang akan menyebabkan berkurangnya oksigenasi, ventilasi, dan nutrisi di otak.
Angka kejadian kejang neonatus yang sebenarnya tidak diketahui secara pasti karena
sulitnya mengenali tanda bangkitan kejang pada neonatus. Gambaran klinis kejang
sangat bervariasi bahkan sangat sulit membedakan gerakan normal bayi itu sendiri.
2. Etiologi
Menemukan etiologi dari kejang neonatus sangatlah penting. Hal ini berguna
untuk melakukan penanganan secara spesifik dan juga untuk mengetahui prognosis.
Beberapa etiologi dari kejang neonatus yaitu:
a. Prematuritas
Masa gestasi dikatakan cukup bulan ketika janin berusia lebih dari 37 minggu dan
kurang dari 42 minggu. Bayi yang dilahirkan pada kehamilan sampai usia 37 minggu
disebut dengan bayi prematur. Bayi yang dilahirkan secara prematur belum memiliki
organ-organ yang tumbuh dan berkembang secara lengkap dibandingkan dengan bayi
yang dilahirkan cukup bulan. Oleh sebab itu, bayi prematur akan mengalami lebih banyak
kesulitan untuk hidup normal di luar uterus ibunya. Makin pendek usia kehamilannya
semakin kurang sempurna pertumbuhan dan perkembangan organ tubuh bayi tersebut,
sehingga angka mortalitas serta komplikasi setelah lahir meningkat dibanding bayi cukup
bulan.
Pada bayi prematur akan didapatkan komplikasi baik secara anatomik maupun
fisioligik seperti perdarahan bawah kulit, perdarahan intrakranial, anemia, gangguan
keseimbangan asam basa, serta asfiksia. Diantara komplikasi yang timbul akibat bayi
lahir prematur, perdarahan intrakranial, asfiksia, dan gangguan keseimbangan asam basa
yang dapat mengakibatkan kejang pada neonatus.

Perdarahan intrakranial yang terjadi pada bayi prematur dan berat badan lahir
rendah akan menimbulkan gejala dalam waktu beberapa menit sampai beberapa jam
sebagai gangguan respirasi, kejang tonik umum, pupil terfiksasi, kuadriparesis flaksid,
deserebrasi, dan stupor atau koma dalam.

b. Asfiksia
Asfiksia perinatal menyebabkan terjadinya ensefalopati hipoksik-iskemik dan
merupakan masalah neurologis yang penting pada masa neonatal, dan menimbulkan
gejala sisa neurologis di kemudian hari. Kejang yang terjadi akibat ensefalopati hipoksik-
iskemik biasanya terjadi dalam 24 jam pertama (Sudarti&Afroh, 2013). Asfiksia
intrauterin adalah penyebab terbanyak ensefalopati hipoksik-iskemik. Hal ini karena
terjadi hipoksemia, kurangnya kadar oksigen ke jaringan otak. Kedua keadaan tersebut
dapat terjadi secara bersama-sama, yang satu dapat lebih dominan tetapi faktor iskemia
merupakan faktor yang paling penting dibandingkan hipoksemia. Ensefalopatik hipoksik-
iskemik adalah terminologi yang digunakan untuk menggambarkan kelainan
neuropatologik dan klinis yang terjadi pada bayi baru lahir akibat asfiksia.
c. Trauma dan Perdarahan Intrakranial
Trauma dan perdarahan intrakranial biasanya terjadi pada bayi yang besar yang
dilahirkan oleh ibu dengan kehamilan primipara. Hal ini terjadi pada partus lama,
persalinan yang sulit disebabkan oleh kelainan kedudukan janin dalam rahim atau
kelahiran presipitatus sebelum serviks uteri membuka cukup lebar. Pada bayi berat lahir
rendah dengan berat badan <1500 gram biasanya perdarahan terjadi didahului oleh
keadaan asfiksia. Selain itu perdarahan juga bias terjadi akibat persalinan dengan tindakan
(vacuum ekstraksi dan forcep). Perdarahan intracranial terdiri dari :

1) Perdarahan Sub Arachnoid


Perdarahan yang sering dijumpai pada bayi baru lahir, kemungkinan
karena robekan vena superfisial akibat partus lama. Pada mulanya bayi tampak baik,
tiba-tiba dapat terjadi kejang pada hari pertama dan hari kedua. Pungsi lumbal harus
dikerjakan untuk mengetahui apakah terdapat darah di dalam cairan serebrospinal.
Kemudian bayi tampak sakit berat dalam 1-2 hari pertama dengan tanda peninggian
tekanan intrakranial seperti ubun-ubun besar tegang dan membenjol, muntah, tangis
yang melengking dan kejang-kejang. Pemeriksaan CT-scan sangat berguna untuk
menentukan letak dan luasnya perdarahan.
2) Perdarahan Sub Dural
Perdarahan ini umunya terjadi akibat robekan tentorium di dekat falks
serebri. Keadaan ini karena molase kepala yang berlebihan pada letak verteks, letak
muka dan partus lama. Darah terkumpul di fosa posterior dan dapat menekan batang
otak. Bila terjadi penekanan pada batang otak terdapat pernapasan yang tidak teratur,
kesadaran menurun, tangis melengking, ubun-ubun besar membonjol dan kejang.
Deteksi kelainan ini dengan pemeriksaan CT-scan.
3) Perdarahan Intraventrikuler
Perdarahn intraventrikuler dapat terjadi pada bayi prematur dan bayi cukup
bulan. Gambaran klinis perdarahan intraventrikuler tergantung kepada beratnya
penyakit dan saat terjadinya perdarahan. Pada bayi kurang bulan dapat mengalami
perdarahan hebat, gejala ynag timbul dalam waktu beberapa menit sampai beberapa
jam berupa gangguan nafas, kejang tonik umum, kuadriparesis flaksid, deserebrasi
dan stupor atau koma yang dalam. Pada perdarahn sedikit, gejala timbul dalam
beberapa jam sampai beberapa hari sampai penurunan kesadaran, kurang aktif,
hipotonia dan lain-lain. Bila keadaab memburuk akan terjadi kejang.
Pada bayi cukup bulan biasanya disertai riwayat intrapartum misalnya
trauma, pasca pemberian cairan hiprtonik secra cepat terutama natrium bikarbonat
dan asfiksia. Manifestasi klinis yang timbul bervariasi mulai dari asimtomatik sampai
gejala yang hebat.

d. Infeksi
Pada bayi baru lahir infeksi dapat terjadi di dalam rahim, selama persalinan,
atau
segera sesudah lahir. Infeksi dalam rahim terjadi karena infeksi primer dari ibu
seperti toxoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, dan herpes. Selama persalinan atau
segera sesudah lahir, bayi dapat terinfeksi oleh virus herpes simpleks, virus
Coxsackie, E. Colli, dan Streptococcus B yang dapat menyebabkan ensefalitis dan
meningitis. Selain itu infeksi juga dapat terjadi akibat penggunaan alat-alat selama
prses persalinan tidak steril.

e. Kernikterus / Ensefalopati Bilirubin


Suatu keadaan ensefalo akut dengan sekuele neorologis yang disertai
meningkatkan kadar serum bilirubin dalam darah. Bilirubin indirek menyebabkan
kerusakan otak pada bayi cukup bulan apabila melebihi 20mg/dL. Pada bayi
prematur, kadar 10 mg/dL sudah beerbahaya. Kemungkianan kerusakan otak yang
terjadi tidak hanya disebabkan oleh kadar bilirubin yang tinggi tetapi tergantung
kepada lamanya

hiperbilirubinemia. Bayi kurang bulan yang sakit dengan Sindrom distres


pernapasan, asidosis mempunyai resiko yang tinggi untuk terjadinya kernikterus.

f. Gangguan Metabolik
Gangguan metabolik yang menyebabkan kejang pada bayi baru lahir adalah
gangguan metabolisme glukosa, kalsium, magnenisum, elektrolit, dan asam amino.
Gangguan metabolik ini terdapat pada 73% bayi baru lahir dengan kerusakan
otak. Berkurangnya level glukosa dari nilai normal merupakan keadaan tersering
penyebab gangguan metabolik pada bayi baru lahir. Berbagai keadaan gangguan
metabolik yang berhubungan dengan kejang pada neonatus adalah:
1) Hipoglikemia
Bayi dengan kadar glukosa darah < 45 mg/dL disebut hipoglikemia. Kadar
glukosa darah normal pada bayi adalah 45-60 mg/dl. Hipoglikemia yang
berkepanjangan dan berulang dapat mengakibatkan dampak yang menetap pada
Sistem Syaraf Pusat. Bayi baru lahir yang mempunyai risiko tinggi untuk menjadinya
hipoglikemia adalah bayi kecil untuk masa kehamilan, bayi besar untuk masa
kehamilan dan bayi dari ibu dengan Diabetes Melitus atau bayi dengan penyakit berat
seperti asfiksia dan sepsis. Hipoglikemia dapat mnejadi penyebab dasar pada kejang
bayi baru lahir dengan gejala neurologis seperti apnea, letargi, hipotoni, sianosis,
reflek hisap bayi lemah dan jiternes.

2) Hipokalsemia
Hipokalsemia jarang menjadi penyebab tunggal kejang pada neonatus.
biasanya hipokalsemia disertai dengan gangguan lain, misalnya hipoglikemia,
hipomagnersemia, atau hipofosfatemia. Hipomagnesemia dan hipokalsemia sering
terdapat bersamaan pada bayi baru lahir dengan asfiksia dan bayi dari ibu dengan
Diabetes Melitus. Hipokalsemia didefinisikan kadar kalsium < 7,5 mg/dL, biasanya
asimptomatis. Sering berhubungan dengan prematuritas atau kesulitan persalinan dan
asfiksia. Bila kejang pada bayi berat lahir rendah yang disebabkan oleh hipokalsemia
diberikan Kalsium glukonat kejang masih belum berhenti harus dipikirkan adanya
hipomagnesemia. Hipokalsemia terjadi pada masa dini dijumpai pada bayi berat lahir
rendah, ensefalopati hipoksik-iskemik, bayi dari ibu dengan diabetes melitus, bayi
yang lahir akibat komplikasi berat terutama karena asfiksia.

3) Gangguan Elektrolit
Gangguan keseimbangan elektrolit terutama natrium menyebabkan
hiponatremia ataupun hipernatremia yang kedua-duanya merupakan penyebab
kejang. Hiponatremia

dapat terjadi bila ada gangguan sekresi dari anti diuretik hormon (ADH) yang tidak
sempurna. Hal ini sering terjadi bersamaan dengan meningitis, meningoensefalitis,
sepsis, dan perdarahan intrakranial. Hiponatremia dapat terjadi pada diare akibat
pengeluaran natrium berlebihan, kesalahan pemberian cairan pada bayi, dan akibat
pengeluaran keringat berlebihan. Hipernatremia terjadi bila pemberian natrium
bikarbonat berlebihan pada koreksi asidosis dengan dehidrasi.
g. Pengaruh Pemberhentian Obat (Drug withdrawal)
Kecanduan metadon pada ibu hamil sering dikaitkan dengan kejang bayi
baru lahir karena efek putus obat dari kecanduan heroin. Ibu yang ketagihan dengan
obat narkotik selama hamil, bayi yang dilahirkan dalam 24 jam pertama terdapat
gejala gelisah dan kejang.

h. Intoksikasi Anestesi Lokal


Kejang akibat intoksikasi anestesi lokal/ anestesi blok pada ibu yang masuk
ke dalam sirkulasi janin. Biasanya dicurigai bila ditemukan pupil tetap dilatasi pada
pemeriksaan refleks pupil dan gerakan mata terfiksasi pada refleks okulosefalik
(refleks doll’s eye menghilang). Bayi yang dilahirkan menunjukkan skor apgar yang
rendah, hipotonia dan hipoventilasi. Kejang terjadi dalam waktu 6 jam pertama
kelahiran. Prognosisnya baik, bila diberikan pengobatan suportif yang memadai akan
membaik setelah 24-48 jam.
i. Penyebab Kejang Lainnya yang Jarang Terjadi
1) Gangguan Perkembangan Otak
Kelainan disebabkan karena terganggunya perkembangan otak. Beberapa
kelainan susunan saraf pusat dapat menimbulkan kejang pada hari pertama
kehidupan. Penyebab yang sering ditemukan adalah disgenesis korteks serebri, dapat
disertai dengan keadaan : dismorfi, hidrosefalus, mikrosefalus.
2) Idiopatik
Kejang pada bayi baru lahir yang tidak diketahui penyebabnya, secara relatif
sering menunjukkan hasil yang baik. Tetapi pada kejang berulang yang lama, resisten
terhadap pengobatan atau kejang berulang sesudah pengobatan dihentikan
menunjukkan kemungkinan adanya kerusakan di otak.
3. Manifestasi Klinis
Manifestasi kejang pada bayi baru lahir dapat berupa tremor, hiperaktif, kejang-
kejang, tiba-tiba menangis melengking. Tonus otot hilang disertai atau tidak dengan
kehilangan kesadaran, gerakan yang tidak menentu (involuntary movements) nistagmus
atau mata mengedip-edip proksismal, gerakan seperti mengunyah dan menelan. Oleh
karena itu Manifestasi klinik yang berbeda-beda dan bervariasi, sering kali kejang pada
bayi baru lahir tidak di kenali oleh yang belum berpengalaman. Dalam prinsip, setiap
gerakan yang tidak biasa pada bayi baru lahir apabila berangsur berulang-ulang dan
periodik, harus dipikirkan kemungkinan manifestasi kejang (Maryunani & Puspita Sari,
2013).
Manifestasi kejang pada neonates dapat dibedakan berdasarkan jenis
kejangnya,
yaitu :
a. Klonik Fokal
 Kontraksi ritmis otot-otot tungkai, muka dan batang tubuh.
 Fokal dan multifocal dapat dihentikan dengan peregangan.
 Simultan pada kedua sisi tubuh.
b. Tonkik Fokal
 Kekakuan asimetris pada batang tubuh, satu tungkai, deviasi mata.
 Diprovokasi dengan stimulasi atau dihentikan dengan peregangan.
c. Mioklonik
 Kontraksi mendadak(cepat) secara acak, berulang atau tidak berulang pada
tungkai, muka dan badan.
 Dapat diprovokasi dengan stimulasi.
d. Spasme
 Kekakuan pada otot fleksor ekstensor atau keduanya
e. Tonik Umum
 Kekakuan pada otot fleksor ekstensor atau keduanya
 kekakuan secara simetris pada batang tubuh, leher dan tungkai.
f. Motor Automtism (Subtle)
 gerakan okuler atau nistagmus
 Gerakan oral-bukal-lingual : menghisp, mengunyah, protusi lidah
 gerakan progresif : gerakan seperti mendayung, berenang, mengayuh sepeda
4. Patofisiologi Kejang
Terdapat faktor khusus dalam perkembangan otak yang membuat otak
imatur lebih sensitif dalam menghasilkan kejang. Faktor tersebut meliputi
karakteristik dari neuron, neurotransmiter, sinaps, reseptor, mielinisasi, glia, dan
sirkuit neuron seluler maupun regional. Fungsi dasar neuron adalah depolarisasi
dan hiperpolarisasi membran yang menghasilkan aliran ion. Depolarisasi membran
mengawali potensial aksi yang menyebabkan lepasnya neurotransmitter dari regio
presinaps di akson terminal. Transmitter berkaitan dengan reseptor post-sinap untuk
mengawali eksitasi potensial post-sinap atau inhibisi potensial post- sinaps. Fungsi
otak secara normal didasarkan pada keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi.
Kejang terjadi akibat timbulnya muatan listrik (depolarisasi) berlebihan
susunan saraf pusat sehingga terbentuk gelombang listrik yang berlebihan. Neuron
dalam sistem saraf pusat mengalami depolarisasi sebagai hasil dari perpindahan
natrium ke arah dalam, sedangkan repolarisasi terjadi akibat keluarnya kalium. Untuk
mempertahankan potensial membran memerlukan energi yang dan bergantung pada
mekanisme pompa yaitu keluarnya natrium dan masuknya kalium.
Meskipun mekanisme dasar kejang pada neonatus tidak sepenuhnya dipahami,
data terbaru menunjukkan bahwa depolarisasi berlebihan dapat diakibatkan oleh:

 Gangguan dalam produksi energi dapat mengakibatkan kegagalan pompa natrium


dan kalium.
 Rangsang berlebihan dari neurotransmitter di susunan saraf pusat.
 Adanya kekurangan relatif dari inhibitor neurotransmitter dibanding eksitatorik
dapat menyebabkan depolarisasi berlebihan.
 Perubahan membran neuron menyebabkan inhibisi dari pergerakan natrium.

Perubahan fisiologis yang mengakibatkan kejang berupa penurunan kadar glukosa


otak yang tajam dibandingkan kadar glukosa darah yang tetap normal atau meningkat.
Hal ini merupakan refleksi dari kebutuhan otak yang tidak dapat dipenuhi secara adekuat.
Kebutuhan oksigen dan aliran darah ke otak sangat esensial untuk mencukupi kebutuhan
oksigen dan glukosa otak sehingga pH arteri menurun dengan cepat. Hal ini
menyebabkan tekanan darah sistemik meningkat dan aliran darah ke otak naik.
Perkembangan otak anak terjadi sangat cepat mulai dari sejak lahir hingga usia
dua tahun yang disebut sebagai periode emas dan pembentukan sinaps serta kepadatan
dendrit pada sumsum tulang belakang terjadi sangat aktif pada sekitar kehamilan sampai
bulan pertama setelah kelahiran. Pada saat bayi baru lahir, merupakan periode tertinggi
dari aktifitas eksitasi sinaps fisiologis. Menurut penelitian, pada periode ini
keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi pada sinaps cenderung mengarah pada
eksitasi untuk memberi jalan pada pembentukan sinaps yang bergantung pada
aktivitasnya.
5. Pathway

trauma dan Asfiksia infeksi gangguan metabolik


perdarahan
intra kranial kadar oksigen ensefalitis hipokalsemia hipoglikemia

ke otak meningitis
edema dan kalsium dlm penurunan
hematom hipocsic ischemic darah energi ke
ensefalopathy menurun otak
(HIE)
menekan risiko ketidakseimbangan kadar glukosa
jaringan otak darah
Problem Kolaboratif Kejang

Risiko perfusi serebral tidak efektif

tatalaksana tatalaksana kurang terpapar informasi


bayi terpasang akses (bayi dirawat dalam
vena, OTG incubator) ortu mengeluh bingung
dan khawatir pada kondsi
bayinya
Risiko infeksi Risiko
kerusakan
integritas Ansietas
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Untuk menentukan prioritas pada pemeriksaan laboratorium, harus digunakan
informasi yang didapatkan dari riwayat dan pemeriksaan fisik dengan baik untuk mencari
penyebab yang lebih spesifik. Pemeriksaan laboratorium meliputi :
1) Kimia darah
Pemeriksaan kadar glukosa, kalsium, natrium, BUN dan magnesium pada darah serta
analisa gas darah harus dilakukan.
2) Pemeriksaan darah lengkap
Termasuk di dalamnya pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, trombosit, leukosit, hitung
jenis leukosit
3) Kelainan metabolik
Dengan adanya riwayat keluarga kejang neonatus, intoleransi laktosa, asidosis, alkalosis
atau kejang yang tidak responsif terhadap antikonvulsan, harus dicari penyebab-
penyebab metabolik yang mungkin. Kadar ammonia dalam darah harus diperiksa. Asam
amino di plasma darah dan urin. Pada urin sebaiknya diperiksa untuk mencari substansi
reduksi
b. Pemeriksaan Radiologis
1) CT-scan cranium merupakan pemeriksaan dengan hasil mendetail mengenai adanya
penyakit intrakranial. CT scan sangat membantu dalam menentukan bukti-bukti adanya
infark, perdaraham, kalsifikasi dan malformasi serebral. Pemeriksaan ini memberikan
hasil yang penting pada kasus kejang neonatus.
2) MRI merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk mengetahui adanya malformasi subtle
yang kadang tidak terdeteksi dengan CT-scan kranium.
c. Pemeriksaan lain
EEG (electroencephalography) yang dilakukan selama kejang akan
memperlihatkan tanda abnormal. Pemeriksaan EEG akan jauh lebih bernilai pabila
dilakukan pada 1-2 hari awal terjadinya kejang, untuk mencegah kehilangan tanda-tanda
diagnostik yang penting untuk menentukan prognosis di masa depan bayi. EEG sangat
signifikan dalam menentukan prognosis pada bayi cukup bulan dengan gejala kejang
yang jelas. EEG sangat penting untuk memastikan adanya kejang di saat manifestasi
klinis yang timbul subtle atau apabila obat-obatan penenang neuromuscular telah
diberikan.Untuk menginterpretasikan hasil EEG dengan benar, sangatlah penting untuk
mengetahui status klinis bayi (termasuk keadaan tidur) dan obat-obatan yang diberikan.
The International League Against Epilepsy mempertimbangkan kriteria sebagai
berikut :
 Non epileptikus : berdasarkan gejala klinis kejang semata
 Epileptikus : Berdasarkan konfirmasi pemeriksaan EEG. Secara klinis
mungkin tidak terlihat kejang, namun dari gambaran EEG masih mengalami
kejang.

7. Penatalaksanaan
a. Manajemen Terapi
Tatalaksana kejang pada neonatus bertujuan untuk meminimalisir gangguan
fisiologis dan metabolik serta mencegah berulangnya kejang. Ini melibatkan
bantuan ventilasi dan perfusi, jika dibutuhkan, dan koreksi keadaan hipoglikemia,
hipokalcemia atau gangguan metabolik lainnya.
Kebanyakan bayi diterapi dan dimonitor hanya berdasarkan pada diagnosis
klinis saja, tanpa melibatkan penggunaan EEG. Penggunaan EEG yang kontinyu
menunjukkan bahwa masalah pada kejang elektrografik adalah sering menetapnya
kejang walaupun setelah dimulainya terapi anti konvulsi.
Manajemen kejang pada neonatus meliputi :

1) Pengawasan jalan napas bersih dan terbuka, pemberian oksigen


2) Periksa dan catat aktivitas kejang yang terjadi
3) Lakukan penilaian secepatnya apakah penyebab kejang dapat ditangani dengan
cepat, jika tidak bisa ditangani beri fenobarbital 20 mg/kg IV sambil terus
memonitor sistem kardiovaskular dan respirasi dan lakukan teapi suportif yang
dibutuhkan.
4) Hentikan semua asupan secara oral
5) Usahakan tangani penyebab utama kejang.
6) Jika kejang masih berlanjut, berikan dosis tambahan fenobarbital 5 mg/kg IV
(sampai tercapai dosis maksimal 40 mg/kgbb).
7) Jika kejang masih berlanjut, berikan fenitoin 15-20mg/kgbb.
8) Kejang dapat tertangani, lanjutkan pengawasan. Pertimbangkan untuk
menghentikan obat antikonvulsan jika : kejang terkontrol dan pemeriksaan
neurologis normal atau pemeriksaan neurologis abnormal namun EEG normal
b. Penggunaan obat-obatan anti konvulsan
Prinsip penatalaksaan pertama yaitu menangani penyebab yang mendasari
sangatlah penting untuk mencegah kerusakan otak yang lebih berat.Namun, apabila
penyebab yang mendasar kejang sulit untuk ditangani dengan segera, perlu
diingat untuk secepatnya menangani kejang agar tidak terjadi kerusakan neurologis
yang berat. Pada akhirnya, kejang yang terjadi mungkin saja menjadi sulit ditangani
dengan obat-obatan anti konvulsi apabila penyebab utama yang mendasar tidak
ditangani dengan baik. Terapi awal yang bisa dipergunakan adalah phenobarbital
dan fenitoin.

1) Phenobarbital
Penggunaan fenobarbital telah lama dianggap sebagai yang utama untuk
menangani kejang pada neonatus. Pemberian secara intravena dapat dilakukan
secepatnya setelah jalur infus telah terpasang. Konsentarsi serum dapat
ditentukan dengan sangat cepat dan dosis yang lebih jauh lagi dapat diberikan
apabila diperlukan. Absorbsi secara enteral termasuk baik, jadi memudahkan
pemindahan antara administrasi intravena ke pemberian secara oral.
Fenobarbital dimetabolismekan di hepar, sehingga dosis rumatan biasanya harus
dinaikkan 5-8 mg/kg6 karena pada beberapa kasus asfiksia, bayi harus
memulihkan diri dari disfungsi hepar akut. Hipotermia juga menurunkan
metabolisme phenobarbital.

2) Fenitoin
Fenitoin memiliki efektivitas yang sama dengan phenobarbital sebagai
terapi awal kejang neonatus. Namun dikarenakan sulitnya mempertahankan
dosis terapi fenitoin, phenobarbital lebih sering digunakan sebagai terapi awal,
terutama pada kasus akut. Kekurangan lain pada fenitoin adalah tingginya
potensi interaksi dengan obat-obatan yang berikatan dengan protein. Namun,
dosis awal dari fenitoin lebih rendah resikonya untuk menyebabkan efek sedasi
dibandingkan fenobarbital. Fenitoin bercampur kurang baik pada PH netral dan
juga menyebabkan presipitat jika digunakan bersama dextrose, jadi harus
diberikan dengan jalur intravena bebas dextrose. Fenitoin menggunakan jalur
anti kejang yang berbeda dengan phenobarbital, fenitoin menghalangi kanal
natrium sehingga mencegah tembakan neuron berulang. Sedangkan
phenobarbital meningkatkan kemampuan inhibisi.
1. Konsep Dasar Askep
a. Pengkajian
Data Subyektif
1) Identitas pasien meliputi meliputi : nama, no RM, umur, jenis kelamin, alamat, nama
orang tua, agama, pendidikan, pekerjaan.
2) Keluhan utama
3) Riwayat kesehatan sekarang
Pengkaji ini dilakukan untuk memperoleh data riwayat kesehatan pasien dari sejak
muncul gejala sampai pasien di rawat.
4) Riwayat kesehatan Lalu
Pengkajian ini sangat diperlukan untuk mencari kemungkinan penyebab atau faktor
pencetus dari kejang. Hal-hal yang perlu dikaji dalam riwayat kesehatan masa lalu
terdiri dari :
 Riwayat Prenatal
Untuk mengetahui keadaan bayi saat dalam kandungan. Pengkajian ini meliputi:
hamil ke berapa, umur kehamilan, ANC, HPL, HPHT dan kebiasaan ibu selama
kehamilan serta obat-obat yang dikonsumsi ibu selama kehamilan.
 Riwayat Intranatal
Untuk mengetahui keadaan bayi saat lahir, penolong, tempat, cara pesalinan,
komplikasi persalinan dan keadaan bayi saat lahir.
 Riwayat Post Natal
Untuk mengetahui bagaimana keadaan umum bayi setelah lahir, apakah bayi mampu
beradaptasi atau perlu resusitasi. Selain itu penting diketahui apakah terdapat
kelainan atau trauma akibat proses persalinan.
 Riwayat Kesehatan keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit menular dan menurun. selain
itu perlu dikaji apakah anak sebelumnya menderita kejang atau tidak.
 Riwayat Sosial Ekonomi
Untuk mengetahui sosial ekonomi keluarga terkait kesanggupan membiayai
perawatan bayinya. Ini merupakan hal yang sangat sensitive karena merupakan salah
satu hal yang meningkatkan kecemasan ibu selain kondisi bayinya.
Data Obyektif
1. Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum
b) Kesadaran
Untuk mengetahi keaadan umum bayi meliputi kesadaraan (sadar penuh,
apatis, gelisah, koma) gerakan yang ekstrem dan ketegangan otot.
c) Suhu
Untuk mengetahui bayi hipotermi atau tidak. Nilai batas normal 36,5-37,5 oC.
d) Nadi
Untuk mengetahui nadi lebih cepat atau tidak. Nilai batas normal
120-160x/menit.
e) Respirasi
Untuk mengetahui pola pernafasan. Nilai batas normal 40-60x/menit.
f) Apgar Score
Pemeriksaan khusus apgar score yang dinilai antara lain:
0 1 2
Appariance Sianosis seluruh Sianosis pada Kemerahan
(Warna Kulit) tubuh ekstrimitas
Pulse Tidak ada <100 >100
(Nadi)
Grimace Tidak ada Sedikit perubahan Menangis
(Menyeringai) mimik
Activity Tidak ada Fleksi /sedikit Aktif
(Tonus Otot) angkat tangan
Respon Tidak ada Sedikit nangis Menangis kuat

g) Pemeriksaan sistematis
 Kepala
Observasi adanya cepal hematoma dan caput succedaneum sebagai tanda adanya
perdarahan ataupun trauma pada kepala. Selain itu perhatikan bentuk adanya kelaian
pada kepala seperti adanya microchepali dan hidrosefalus yang biasanya dapat
menyebabkan kejang.
 Kulit
Observasi turgor dan warna kulit. Perhatikan adanya adanya sianosi dan icterus.
Kejng biasanya juga dapat terjadi pada bayi dengan kadar bilirubin yang meningkat.
 Mata
Observasi bentuk mata, perhatikan adanya gerakan yang tidak normal seperti deviasi
bola mata horisontal, dan pergerakan bola mata yang cepat (nystagmus). Selain itu
perhatikan konjungtiva mata.
 Hidung
Observasi kondisi hidung secara umum seperti bentuk, jadanya pengeluaran secret
ataupun penumpukan kotoran hidung yang dapat menyebakan sumbatan, perhatikan
juga adanya pernafasan cuping hidung.
 Telinga
observasi kebersihan dan bentuk telinga.
 Mulut
Observasi kebersihan mulut, lihat adanya hipersaliva atau penumpukan secret yang
dapat menyebabkan sumbatan pada jalan nafas. bservasi adanya kelainan seperti
labioschizis, labiopalatoschizis ataupun labiogenatopalatoschizis. Bila memungkinkan
observasi reflek hisap bayi.
 Leher
Observasi adanya pembesaran kelenjar tiroid, kelenjar getah bening dan bendungan
vena jugularis.
 Dada
Observasi bentuk dada, RR bayi (normal 40-60 x/menit), pergerakan dada dekstra dan
sisistra. Dengarkan suara pada kedua lapang paru. Dengarkan suara jantung. Catat
adanya suara paru yang tidak normal dan suara jantung tambahan.
 Abdomen
Observasi adanya distensi, kondisi tali pusat tanda-tanda infeksi pada tali pusat.
 Genetalia
perhatikan jenis kelamin bayi, bila berjenis kelamin laki-laki perhatikan apakah testis
sudah turun atau belum, terdapat rugae atau tidak. Bila perempuan perhatkan apakah
labia mayor sudah menutupi labia minor.
 Ekstrimitas
Observasi jumlah ekstrimitas atas dan bawah lihat adanya polidaktili atau sindaktili,
cyanosis dan clubbing finger. Perhatikan CRT (normal CRT ≤ 3 detik)
 Neurologi/Reflek Fisiologis pada Bayi (Wong, Dona L, 2004).
- Reflek Moro
Bayi akan terkejut ketika mendengarkan suara yang keras
- Reflek menggenggam atau reflek gaspin
Bayi reflek menggenggam jari perawat saat diletakan di telapak tangannya.
- Reflek menghisap atau reflek suckhing
Bayi normal yang cukup bulan akan berupaya unuk menghisap setiap benda yang
menyentuk bibirnya.
- Reflek mencari atau reflek rooting
Apabila pipi bayi disentuh ia akan menolehkan kepalanya kesisi yang disentuh.
h) Data Penunjang
 Pemeriksaan Darah
- Glukosa Darah (glukosa darah norma pada bayi 45-60 mg/dL
- Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro
toksik akibat dari pemberian obat.
- Elektrolit (K, Na) Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang.
Kadar normal Kalium 136-145 mmol/L dan kadar Natrium normal 3.50-5.10
mmol/L

 Cairan Cerebo Spinal : Mendeteksi adanya infeksi


 EEG (electroencephalography) yang dilakukan selama kejang akan memperlihatkan
tanda abnormal. Pemeriksaan EEG akan jauh lebih bernilai pabila dilakukan pada 1-2
hari awal terjadinya kejang, untuk mencegah kehilangan tanda-tanda diagnostik yang
penting untuk menentukan prognosis bayi..
 CT Scan : Untuk mengidentifikasi lesi cerebral, hematoma, cerebral oedem, trauma,
abses dan tumor.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakseimbangan kadar glukosa darah berhubungan dengan gangguan metabolik
b. Risiko perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan hipoksia jaringan
c. Risiko infeksi berhubungan dengan tatalaksana kejang (pemasangan akses vena, OGT)
d. Risiko gangguan intgritas kulit berhubungan dengan perawatan bayi dalam inkubator.
e. Ansietas berhubungan dengan kurangnya terpapar informasi ditandai dengan orang tua
bayi mengeluh bingung dan khawatir dengan kondisi bayinya.
3. Rencana Keperawatan
No. Diagnosa Luaran keperawatan Intervensi keparwatan
Keperawatan
1 Ketidakstabilan Setelah diberikan asuhan
Managemen hiperglikemia (I.03115)
glukosa darah keperawatan 1x24 jam
Definisi : Mengidentifikasi dan mengelola
berhubungan diharapkan gula darah kadar glukosa darah di atas normal
dengan gangguan stabil Tindakan
metabolik Ekspektasi : Membaik Observasi
1. Menggigil
ditandai dengan 1. Identifikasi kemungkinan
2. Kulit merah
penyebab hiperglikemia
gula darah 3. Kejang
4. Akrosianosis 2. Identifikasi situasi yang
dibawah normal
5. Konsumsi oksigen menyebabkan kebutuhan insulin
8. Piloereksi meningkat (mis. penyakit
9. Vasokontriksi perifer kambuhan)
10. Kutis memorata
3. Monitor kadar glukosa darah, Jika
(<45 mg/dl) 11. Pucat
perlu
12. Takikardia
13. Takipnea 4. Monitor tanda dan gejala
14. Bradikardia hiperglikemia (mis. poliuria,
15. Dasar kuku sianotik polidipsia, polifagia, kelemahan,
16. Hipoksia malaise, pandangan kabur, sakit
17. Suhu tubuh kepala)
18. Suhu kulit
5. Monitor intake dan output cairan
19. Kadar glukosa tubuh
20. Pengisian kapiler 6. Monitor keton urine, kadar analisa
Ventilasi gas darah, elektrolit, tekanan darah
21. Tekanan darah ortostatik dan frekuensi nadi
Terapeutik
7. Berikan asupan cairan oral
8. Konsultasi dengan medis jika
tanda dan gejala hiperglikemia
tetap dan ada atau memburuk
9. Fasilitasi ambulans jika ada
hipotensi ortostatik
Edukasi
10. Anjurkan menghindari olahraga
saat kadar glukosa darah lebih dari
250 mg/dL
11. Anjurkan monitor kadar glukosa
darah secara mandiri
12. Anjurkan kepatuhan terhadap diet
dan olahraga
13. Ajarkan indikasi dan pentingnya
pengujian keton urin, Jika perl
14. Ajarkan pengelolaan diabetes
(mis. penggunaan insulin, obat
oral, monitor asupan cairan,
penggantian karbohidrat, dan
bantuan profesional kesehatan)
Kolaborasi
15. Kolaborasi pemberian insulin, Jika
perlu
16. Kolaborasi pemberian cairan IV,
Jika perlu
17. Kolaborasi pemberian kalium, Jika
perlu
Ansietas Setelah diberikan asuhan Reduksi ansietas (1.09134)
2.
berhubungan keperawatan 1x24 jam Definisi : Meminimalkan kondisi
dengan diharapkan tingkat individu dan pengalaman subjektif
kurangnya ansietas terhadap objek yang tidak jelas dan
terpapar Ekspektasi : Menurun spesifik akibat antisipasi bahaya yang
informasi 1. Verbalisasi memungkinkan individu melakukan
ditandai dengan kebingungan tindakan untuk menghadapi ancaman
Gejala dan tanda 2. Verbalisasi khawatir Tindakan
mayor : akibat kondisi yang Observasi
Data subjektif : dihadapi 1. Identifikasi saat tingkat
1. Merasa 3. Perilaku gelilsah ansietas berubah (mis. kondisi,
binggung 4. Perilaku tegang waktu, stressor)
2. Merasa 5. Keluhan pusing 2. Identifikasi kemampuan
khawatiran 6. Anoreksia mengambil keputusan
dengan akibat 7. Palpitasi 3. Monitor tanda-tanda ansietas
dari kondisi 8. Diaforesis (verbal dan nonverbal)
yang di hadapi 9. Tremor Terapeutik
3. Sulit 10. Pucat 4. Ciptakan suasana terapeutik
berkonsentrasi 11. Konsentrasi untuk menumbuhkan
Data objektif : 12. Pola tidur kepercayaan
1. Tampak 13. Frekuensi pernapasan 5. Temani pasien untuk
gelisah 14. Frekuensi nadi mengurangi kecemasan, jika
2. Tampak 15. Perasaan keberdayaan memungkinkan
tegang 16. Tekanan darah 6. Pahami situasi yang membuat
3. Sulit tidur 17. Kontak mata ansietas
Gejala dan tanda 18. Pola berkemih 7. Dengarkan dengan penuh
minor : 19. Orientasi perhatian
Data subjektif : 8. Gunakan pendekatan yang
1. Mengeluh tenang dan meyakinkan
pusing 9. Tempatkan barang pribadi
2. Anoreksia yang memberikan kenyamanan
3. Palpitasi 10. Motivasi mengidentifikasi
4. Merasa situasi yang memicu
tidak kecemasan
berdaya 11. Diskusikan perencanaan
Data objektif : realistis tentang peristiwa yang
1. Frekuensi akan datang
napas Edukasi
meningkat 12. Jelaskan prosedur, termasuk
2. Frekuensi sensasi yang mungkin dialami
nadi 13. Informasikan secara faktual
meningkat mengenai diagnosis,
3. Tekanan pengobatan, dan prognosis
darah 14. Anjurkan keluarga untuk tetap
meningkat bersama pasien, Jika perlu
4. Diafhoresi 15. Anjurkan melakukan kegiatan
s yang tidak kompetitif, sesuai
5. Tremor kebutuhan
6. Muka 16. Anjurkan mengungkapkan
tampak perasaan dan persepsi
pucat 17. Latih kegiatan pengelihatan
7. Suara untuk mengurangi ketegangan
bergetar 18. Latih penggunaan mekanisme
8. Kontak pertahanan diri yang tepat
mata 19. Latih teknik relaksasi
buruk Kolaborasi
9. Sering
Kolaborasi pemberian obat antiansietas,
berkemih jika perlu
10. Berorienta
si pada
masa lalu
3. Setelah diberikan asuhan
Risiko perfusi Managemen peningkatan tekanan
jaringan serebral keperawatan 1x24 jam intracranial
tidak efektif
diharapkan perfusi Definisi : Mengidentifikasi dan mengelola
ditandai dengan
peningkatan tekanan dalam rongga cranial
hipoksia jaringan serebral
Tindakan
Ekspektasi : meningkat
Observasi
1. Tingkat
1. Identifikasi penyebab peningkatan
kesadaran TIK (mis. lesi, gangguan
metabolisme, edema serebral)
2. Kognitif
2. Monitor tanda atau gejala
3. Tekanan peningkatan TIK (mis. tekanan
darah meningkat, tekanan nadi
intrakranial melebar, bradikardia, pola napas
ireguler, kesadaran menurun)
4. Sakit kepala
3. Monitor MAP (Mean Arterial
5. Gelisah Pressure)
4. Monitor CVP (Central Verious
6. Kecemasan Pressure), jika perlu
7. Agitasi 5. Monitor PAWP, jika perlu
6. Monitor PAP, jika perlu
8. Demam
7. Monitor ICP (Intra Cranial
9. Nilai rata-rata Pressure), jika tersedia
tekanan darah 8. Monitor CPP (Cerebral Perfusion
Pressure)
10. Kesadaran
9. Monitor gelombang ICP
11. Tekanan darah 10. Monitor status pernapasan
sistolik 11. Monitor intake dan output cairan

12. Takanan darah 12. Monitor cairan serebro-spinalis


(mis. warna, konsistensi)
diastolik
Terapeutik
13. Refkeks saraf 13. Minimalkan stimulus dengan
menyediakan lingkungan yang
tenang
14. Berikan posisi semi Fowler
15. Hindari manuver Valsava
16. Cegah terjadinya kejang
17. Hindari penggunaan PEEP
18. Hindari pemberian cairan IV
hipotonik
19. Atur ventilator agar PaCO2
optimal
20. Pertahankan suhu tubuh normal
Kolaborasi
4 Setelah diberikan asuhan
Risiko infeksi Pencegahan infeksi (I.14539)
ditandai dengan keperawatan 1x24 jam
Definisi : Mengidentifikasi dan
tatalaksana kejang
diharapkan tingkat infeksi menurunkan risiko terserang organisme
(pemasangan akses
patogenik
vena, OGT) Ekspektasi : Menurun
Tindakan
1. Kebersihan tangan
Observasi
2. Kebersihan badan
1. Monitor tanda dan gejala infeksi
3. Nafsu makan
lokal dan sistematik
4. Demam
Terapeutik
5. Kemerahan
2. Batasi jumlah pengunjung
6. Nyeri
3. Berikan perawatan kulit pada area
7. Bengkak edema
8. Vesikel 4. Cuci tangan sebelum dan sesudah
kontak dengan pasien dan
9. Cairan berbau
lingkungan pasien
busuk
5. Pertahankan teknik aseptik pada
10. Sputum berwarna pasien beresiko tinggi
hijau Edukasi
11. Drainase purulen 6. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
12. Piuria 7. Ajarkan cara mencuci tangan
dengan benar
13. Periode malaise
8. Ajarkan etika batuk
14. Periode menggigil
9. Ajarkan cara memeriksa kondisi
15. Letargi
luka dan luka operasi
16. Gangguan kognitif
10. Anjurkan meningkatkan asupan
17. Kadar sel darah nutrisi
putih 11. Anjurkan meningkatkan asupan
cairan
18. Kultur darah
Kolaborasi
19. Kultur urine
12. Kolaborasi pemberian imunisasi,
20. Kultur sputum
jika perlu
21. Kultur area luka
22. Kultur feses

5 Risiko Setelah diberikan asuhan


Perawatan integritas kulit (I.11353)
gangguan keperawatan 1x24 jam
Definisi : Mengidentifikasi dan merawat
intgritas diharapkan integritas kulit kulit untuk menjaga keutuhan,
kelembaban dan mencegah perkembangan
kulit dan jaringan :
mikroorganisme
ditandai Ekspektasi : Meningkat
Tindakan
dengan 1. Elastisitas
Observasi
perawatan 2. Hidrasi
1. Identifikasi penyebab gangguan
bayi dalam 3. Perfusi jaringan integritas kulit (mis. perubahan
sirkulasi, perubahan status nutrisi,
inkubator 4. Kerusakan
penurunan kelembaban, suhu
jaringan lingkungan ekstrem, penggunaan
mobilitas)
5. Kerusakan lapisan
Terapeutik
kulit
2. Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring
6. Nyeri
3. Lakukan pemijatan pada area
7. Perdarahan
penonjolan tulang, jika perlu
8. Kemerahan
4. Bersihkan perineal dengan air hangat,
9. Hematoma terutama selama periode diare
10. Pigmentasi 5. Gunakan produk berbahan petrolium
atau minyak pada kulit kering
abnormal
6. Gunakan produk berbahan
11. Jaringan parut
ringan/alami dan hipoalergik pada
12. Nekrosis kulit sensitive
13. Abrasi kornea 7. Hindari produk berbahan dasar alkohol
pada kulit kering
14. Suhu kulit
Edukasi
15. Sensasi
8. Anjurkan menggunakan pelembab
16. Tekstur
(mis. lotion, serum)
17. Pertumbuhan
9. Anjurkan minum air yang cukup
rambut
10. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
11. Anjurkan meningkatkan asupan buah
dan sayur
12. Anjurkan menghindari terpapar suhu
ekstrem
13. Anjurkan menggunakan tabir surya
SPF minimal 30 saat berada di luar
rumah
14. Anjurkan mandi dan menggunakan
sabun secukupnya

Anda mungkin juga menyukai