Cerebral Palsy
I. Definisi
Cerebral Palsy adalah gangguan gerakan dan postur tubuh yang muncul saat kanak-
kanak atau awal masa bayi menyangkut kerusakan fungsi motorik yang terjadi pada masa
awal kanak-kanak dan ditandai dengan perubahan sifat otot yang biasanya berupa
spastisitas, gerakan involunter, ataksia, atau kombinasi. [ CITATION Mun17 \l 1033 ]
Menurut Konsensus Internasional 2006, Palsi serebral adalah suatu kelainan gerakan dan
postur tubuh yang tidak progresif, karena suatu kerusakan/ gangguan pada sel-sel motorik
di susunan saraf pusat yang sedang tumbuh/ belum selesai pertumbuhannya. [ CITATION
Soe13 \l 1033 ]
IV. Klasifikasi
1. Berdasarkan gejala klinis dapat dibagi menjadi:
a. Spastik (50%) : lokasi lesi terutama pada traktus kortikospinal. Pada spastisitas
terjadi peningkatan konstan pada tonus otot , peningkatan reflex otot kadang di
sertai klonus (reflex peregangan otot yang meningkat) dan tanda Babinski positif.
Tonic neck reflex muncul lebih lama dari normal namun jarang terlihat jelas, dan
reflex neonatus lainnya menghilang pada waktunya. Hipertonik permanen dan
tidak hilang selama tidur. Peningkatan tonus otot tidak sama pada sesuatu
gabungan otot. Lengan adduksi, siku dan pergelangan tangan flexi, tangan
pronasi, jari flexi dengan jempol melintang di telapak tangan. kaki adduksi,
panggul dan lutut flexi, kaki plantar-flexi dengan tapak kaki berputar ke dalam.
i. Monoparesis (jarang) : kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi salah satu
anggota gerak lebih hebat dari yang lainnya.
ii. Hemiparesis/ hemiplegia (5:10) : kelumpuhan lengan dan tungkai di pihak
yang sama.
- Kongenital (3:10)
- Pascanatal (1:10)
iii. Diplegia/ paraparesis (2:10) : kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi
tungkai lebih hebat daripada tangan.
iv. Triplegia (jarang) : kelumpuhan pada tiga anggota gerak.
v. Kuadriplegia/ tetraplegia (3:10) : kelumpuhan keempat anggota gerak ,tetapi
lengan lebih atau sama hebatnya dibandingkan dengan tungkai.
b. Atheoid/ diskinetik, distonik (20%) : lokasi lesi utama yang menyebabkan
kelainan ini adalah ganglia basalis. 5-25% anak dengan cerebral palsy
menunjukkan choreoathethosis. Anak dengan choreoathetosis memiliki gangguan
pergerakan dengan karakteristik pergerakan yang tidak disadari dan sikap yang
abnormal. Pasien biasanya flaccid pada 6 bulan pertama lahir dan kadang di salah
diagnosiskan dengan gangguan motor unit. Gerakan yang tidak disadari dan
kelainan sikap biasanya berkembang selama pertengahan tahun kedua. Reflex
neonatus kadang tampak, spastisitas dan ataxia bisa ditemukan. Kecacatan
motorik kadang berat, kelainan postur mengganggu fungsi normal eksremitas.
c. Rigid/flaksid (4%) : lokasi lesi yang menyebabkan ketidaknormalan tonus otot
terutama pada brain stem. Bayi pada golongan ini pada usia bulan pertama
tampak flaksid dan berbaring dengan posisi seperti katak terlentang dan mudah di
kelirukan dengan bayi dengan kelainan motor neuron menjelang umur 1 tahun
barulah terjadi perubahan tonus otot daari rendah hingga tinggi. Bila dibiarkan
berbaring tampak flaksid dan sikap seperti katak terlentang namun bila dirangsang
atau mulai diperiksa tonus ototnya berubah menjadi spastis .reflex otot normal
atau sedikit meningkat dan klonus jarang ditemukan. Tanda Babinski bisa positif
maupun tidak. Karakteristik dari cerebral palsy tipe ini adalah reflex neonatus dan
tonic neck reflex menetap, kadang terbawa hingga masa kanak-kanak. Reflex
tonus otot dan reflex moro sangat jelas. Sindrom dari perubahan tonus otot dapat
disertai dengan choreoathetosis dan ataxia. Sekitar 10-25 persen anak dengan
cerebral palsy mengalami sindrom ini.
d. Ataksia (1%) : lokasi lesi utama yang menyebabkan kelainan ini adalah
cerebellum. 1-15% anak dengan cerebral palsy menunjukkan ataxia. Pasien
dengan kondisi ini biasanya flaccid ketika bayi dan menunjukkan perkembangan
retardasi motorik. Menjelang akhir tahun pertama ketika mereka memulai
menjangkau suatu objek dan mencoba berdiri, itu mulai tampak dan mereka tidak
seimbang. Ketidaknormalan akibat rendahnya tonus otot menetap hingga kanak-
kanak. Reflex otot normal dan reflex neonatus hilang sesua[ CITATION Has07 \l
1033 ]i umur normal.
e. Tremor (jarang)
f. Atonik/hipotonik (jarang)
g. Campuran (25%)
i. Spastik-atheoid (2:3)
ii. Rigid-spastik (1:3)
iii. Spastik-ataksik (jarang)
2. Berdasarkan derajat kemampuan fungsional, dibagi menjadi:
a. Ringan : penderita masih dapat melakukan pekerjaan/ aktivitas sehari-hari,
sehingga hanya sedikit membutuhkan bantuan.
b. Sedang : aktivitas sangat terbatas sekali. Penderita membutuhkan bermacam-
macam bantuan/pendidikan khusus agar dapat mengurus dirinya sendiri, bergerak,
atau berbicara, sehingga dapat bergaul di tengah masyarakat dengan baik.
c. Berat : penderita sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas fisik dan tidak
mungkin hidup tanpa pertolongan orang lain. Pendidikan/ latihan khusus sangat
sedikit hasilnya. Sebaiknya pasien seperti ini ditampung pada tempat perawatan
khusus, terutama bila disertai dengan retardasi mental atau yang diperkirakan
akan menimbulkan gangguan sosal-emosional, baik bagi keluarga maupun
lingkungannya.
Palisano dkk, 2007 juga membagi berdasarkan derajat kemampuan fungsional
cerebral palsy seperti berikut.
a. Tingkat I : Penderita dapat berjalan tanpa batasan
b. Tingkat II : Penderita dapat berjalan dengan batasan
c. Tingkat III : Penderita dapat berjalan menggunakan alat bantu tongkat
d. Tingkat IV : Penderita dapat memobilisasi diri sendiri dengan batasan, dapat
menggunakan kursi roda otomatis
e. Tingkat V : Penderita menggunakan kursi roda dikendalikan orang lain
IX. Prognosis
Prognosis pada penderita cerebral palsy tergantung pada tipe dan komplikasinya
a. Tipe tetraplegi : ad vitam dan ad functionam malam
b. Tipe hemiparesis/diparesis ringan : ad bonam
Menurut Lundy dkk (2009) prognosis anak palsi serebral bergantung pada umur dan
tingkat kemampuan pasien pada saat diagnosis ditegakkan. Anak tidak dapat duduk
sampai umur 4 tahun , maka hampir 99% dapat dipastikan anak tidak akan dapat berdiri
atau berjalan. Anak tidak dapat mengontrol kepala sampai umur 1 tahun, biasanya tidak
akan dapat berdiri atau berjalan dengan sempurna. Anak dapat duduk pada umur 2 tahun,
maka hampir 100% anak akan dapat duduk dan berjalan nantinya. Prognosis paling baik
pada derajat fungsional ringan. Prognosis bertambah berat apabila diseriai retardasi
mental, bangkitan kejang gangguan penglihatan dan pendengaran.
Kesembuhan-dalam arti regenerasi otak yang sesungguhnya-tidak pernah terjadi
pada palsi serebral. Namun, akan terjadi perbaikan sesuai dengan tingkat maturitas otak
yang sehat sebagai kompensasinya. Pada pengamatan jangka panjang terdapat tendensi
perbaikan fungsi koordinasi dan fungsi motorik mengikuti bertambahnya umur anak yang
mendapat stimulasi dengan baik.
Prognosis anak palsi serebral juga dapat dinilai berdasarkan keberhasilan terapi.
Pengukuran keberhasilan terapi palsi serebral dapat dinilai dengan menurunnya tingkat
keparahan penyakit berdasarkan GMFCS RE.
A. PERTUMBUHAN
Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai pertambahan ukuran, jumlah sel, dan jaringan
pembentuk tubuh lainnya sehingga ukuran fisik dan bentuk tubuh bertambah sebagian atau
keseluruhan.
Pertumbuhan dapat dinilai dengan mengukur
1. Tinggi badan/panjang badan
2. Berat badan
3. Lingkar kepala.
4. Lingkar lengan atas
Ciri-ciri pertumbuhan
1. Perubahan ukuran (BB, TB, LK, organ-organ tubuh)
2. Perubahan proporsi (Kepala, titik pusat tubuh)
Divisi Standar Pendidikan Profesi Konsil Kedokteran - KKI , 2012. Standar Kompetensi Dokter
Indonesia. Jakarta: Indonesian Medical Council .
Hasan, R. & Alatas, H., 2007. Ilmu Kesehatan Anak. 3 ed. Jakarta: Infomedika.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016. Pentingnya Memantau Pertumbuhan dan Perkembangan
Anak Bagian 1. (diakses: http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/pentingnya-
memantau-pertu mbuhan-dan-perkembangan-anak-bagian-1, 23 Mareth 2020)
Munir, B., 2017. Nerulogi Dasar. 2 ed. Jakarta: Sagung Seto.
Onigbanjo, Mutiat T. dan Susan Feigel. 2020. Nelson Textbook of Pediatrics 21st edition,
Chapter 22. Canada: Elsevier Inc.
Soetjiningsih & Ranuh, I. G., 2013. Tumbuh Kembang Anak. 2 ed. Jakarta: EGC.
Jawaban Anmal :
1. Apa kemungkinan penyebab dari anak usia 20 bulan belum bisa duduk, berbicara dan
tidak menoleh saat dipanggil, belum dapat memegang benda, serta memasukkan makanan
ke mulut dan bertepuk tangan?
Etiologi yang pasti sulit diketahui, karena kadang-kadang terdapat lebih dari satu etiologi,
karena itu diperlukan anamnesis dan pemeriksaan yang teliti. Cerebral palsy dapat
disebabkan oleh faktor genetik ataupun faktor lainnya.
a. Prenatal : Penyebab 70 -80% kasus CP; faktor genetik, keracunan, terkena radiasi,
infeksi TORCH, dll.
b. Perinatal : hyperbilirubinemia (jaundice selama periode neonatal dapat
menyebabkan kerusakan otak permanen dengan cerebral palsy akibat masuknya
bilirubin ke ganglia basal), prematuritas (bayi kurang bulan mempunyai
kemungkinan menderita perdarahan otak lebih banyak di bandingkan bayi cukup
bulan karena pembuluh darah, enzim, faktor pembekuan darah dan lain-lain masih
belum sempurna), trauma kelahiran, asfiksia, dll.
c. Postnatal : trauma kepala, tenggelam, infeksi pada 6 bulan kelahiran, malnutrisi,
dll.
Menurut Zeldin dkk (2011) dan Kini RP (2009) menyatakan faktor risiko cerebral palsy
sebagai berikut.
1. Faktor ibu
a. Siklus menstruasi yang panjang
b. Riwayat keguguran sebelumnya
c. Riwayat bayi lahir mati
d. Ibu dengan retardasi mental
e. Ibu dengan penyakit tiroid, terutama defisiensi yodium
f. Kejang pada ibu
g. Riwayat melahirkan anak dengan berat badan kurang dari 200 gram
h. Riwayat melahirkan anak dengan defisit motorik, retardasi mental, atau defisit
sensori.
2. Faktor Pranatal
a. Polihidramnion
b. Ibu dalam pengobatan hormon tiroid, estrogen, atau progesterone
c. Ibu dengan proteinuria atau hipertensi
d. Ibu terpapar merkuri
e. Multiple/ malformasi kongenital mayor pada bayi/ kelainan genetik
f. Bayi laki-laki/ kehamilan kembar
g. Perdarahan pada trimester ketiga kehamilan
h. Bayi dengan retardari pertumbuhan intrauterine (IUGR)
i. Infeksi virus kongenital (HIV, TORCH)
j. Radiasi
k. Asfiksia intrauterine (abrupsio plasenta, plasenta previa, masalah pada
plasenta, anoksia maternal, kelainan umbilicus, ibu hipertensi, toksemia
gravidarum)
l. DIC oleh karena kematian prenatal pada salah satu bayi kembar
3. Faktor Perinatal
a. Bayi premature; umur kurang dari 30 minggu (bayi kurang bulan mempunyai
kemungkinan menderita perdarahan otak lebih banyak di bandingkan bayi
cukup bulan karena pembuluh darah, enzim, faktor pembekuan darah dan
lain-lain masih belum sempurna)
b. Berat badan bayi kurang dari 1500 gram
c. Korioamnionitis
d. Bayi lahir bukan letak kepala
e. Asfiksia perinatal hebat
f. Keadaan hipoglikemia lama atau menetap
g. Kelainan jantung bawaan sianosis
4. Faktor Pascanatal
a. Infeksi (meningitis, ensefalitis, yang terjadi pada 6 bulan pertama kehidupan)
b. Perdarahan intracranial (pada bayi premature, malformasi pembuluh darah
atau trauma kepala)
c. Leukomalasi periventricular
d. Hipoksik-iskemik (pada aspirasi mekonium), HIE (Hipoxic Ischemic
Ensefalopati)
e. Kern-icterus (jaundice selama periode neonatal dapat menyebabkan kerusakan
otak permanen dengan cerebral palsy akibat masuknya bilirubin ke ganglia
basal)
f. Persisten fetal circulation atau persistent pulmonary hypertension of the
newborn
g. Penyakit metabolic
h. Racun : logam berat, gas CO
2. Apa dampak pemberian susu formula sejak usia 2 bulan selang seling dengan ASI?
Dampak negatif dari pemberian MP-ASI dini menurut riset yang dilakukan oleh Pusat
Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan diketahui, bayi ASI parsial lebih banyak
yang terserang diare, batuk-pilek, dan panas daripada bayi ASI predominan. Hal ini akan
berdampak terhadap kejadian infeksi yang tinggi, seperti diare, infeksi saluran napas, alergi,
hingga gangguan pertumbuhan. Asupan nutrisi yang tidak tepat juga akan menyebabkan anak
mengalami malnutrisi yang akhirnya meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas. Sumber
: [ CITATION Fit13 \l 1033 ]
Fitriana, E., Anzar, J., Nazir, H. & Theodorus, 2013. Dampak Usia Pertama Pemberian Makanan
Pendamping ASI Terhadap Status Gizi Bayi Usia 8-12 Bulan di Kecamatan Seberang Ulu I Palembang. Sari
Pediatri, 15(4), pp. 249-253.