Peritonitis
Infeksi peritoneum dibagi menjadi umum (peritonitis) dan terlokalisasi (abses
intraabdomen).
Etiologi dari peritonitis tergantung jenis, penyebab, dan lokasinya, terbagi sebagai berikut :
Peritonitis Primer
Peritonitis Sekunder
Peritonitis Tersier
Peritonitis oleh karena Bahan Kimiawi
Abses Peritoneal
Peritonitis Tersier
Peritonitis tersier lebih sering terjadi pada pasien dengan sistem imun yang tertekan dan
pada orang dengan kondisi komorbiditas yang sudah ada sebelumnya. Meskipun jarang diamati
pada infeksi peritoneum tanpa komplikasi, kejadian peritonitis tersier pada pasien yang
membutuhkan ICU untuk infeksi perut parah mungkin setinggi 50-74%. Peritonitis tuberkulosis
(TP) jarang terjadi di Amerika Serikat (<2% dari semua penyebab peritonitis), tetapi terus
menjadi masalah yang signifikan di negara-negara berkembang dan di antara pasien dengan
infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Gejala yang muncul seringkali tidak spesifik dan
berbahaya pada onsetnya (misalnya demam ringan, anoreksia, penurunan berat badan). Banyak
pasien dengan PT memiliki sirosis yang mendasarinya. Lebih dari 95% pasien dengan PT
memiliki bukti asites pada studi pencitraan, dan lebih dari setengah pasien ini memiliki asites
yang tampak secara klinis.
Dalam kebanyakan kasus, temuan radiografi dada pada pasien dengan peritonitis tersier
tidak normal; penyakit paru aktif jarang terjadi (<30%). Hasil pada pewarnaan Gram cairan
asites jarang positif, dan hasil kultur mungkin negatif palsu hingga 80% dari pasien. Tingkat
protein cairan peritoneum lebih besar dari 2,5 g / dL, tingkat laktat dehidrogenase (LDH) lebih
besar dari 90 U / mL, atau jumlah sel mononuklear dominan lebih besar dari 500 sel / μL harus
meningkatkan kecurigaan TP tetapi memiliki spesifisitas terbatas untuk diagnosa. Laparoskopi
dan visualisasi granuloma pada spesimen biopsi peritoneum, serta kultur (membutuhkan 4-6
minggu), mungkin diperlukan untuk diagnosis definitif; Namun, terapi empiris harus segera
dimulai
Abses Peritoneum
Abses peritoneum menggambarkan pembentukan pengumpulan cairan yang terinfeksi
yang dienkapsulasi oleh eksudat fibrinosa, omentum, dan/atau organ visceral yang berdekatan.
Mayoritas abses terjadi setelah peritonitis sekunder. Pembentukan abses dapat menjadi
komplikasi operasi. Insiden pembentukan abses setelah operasi perut kurang dari 1-2%, bahkan
ketika operasi dilakukan untuk proses inflamasi akut. Risiko abses meningkat menjadi 10-30%
dalam kasus perforasi viskus berlubang pra operasi, kontaminasi tinja yang signifikan pada
rongga peritoneum, iskemia usus, keterlambatan diagnosis dan terapi peritonitis awal, dan
kebutuhan untuk operasi ulang, serta kebutuhan operasi ulang, serta pada pengaturan
imunosupresi. Pembentukan abses adalah penyebab utama infeksi persisten dan perkembangan
peritonitis tersier.
Faktor Resiko
1. Prosedur medis, seperti dialisis peritoneum. Dialisis peritoneum menggunakan tabung
(kateter) untuk mengeluarkan produk limbah dari darah ketika ginjal tidak mampu
melakukan ekskresi. Infeksi dapat terjadi selama dialisis peritoneum karena lingkungan
yang tidak bersih, kebersihan yang buruk atau peralatan yang terkontaminasi. Peritonitis
juga dapat berkembang sebagai komplikasi dari operasi gastrointestinal, penggunaan
tabung makanan atau prosedur untuk menarik cairan dari perut (paracentesis) dan jarang
sebagai komplikasi kolonoskopi atau endoskopi.
2. Apendiks yang ruptur, tukak/ulkus lambung atau perforasi usus. Salah satu dari kondisi
ini dapat memungkinkan bakteri masuk ke peritoneum melalui lubang di saluran
pencernaan.
3. Pankreatitis. Peradangan pankreas yang rumit oleh infeksi dapat menyebabkan peritonitis
jika bakteri menyebar ke luar pankreas.
4. Divertikulitis. Infeksi kantong kecil yang menonjol di saluran pencernaan dapat
menyebabkan peritonitis jika salah satu kantong pecah dan menumpahkan limbah usus ke
dalam rongga perut.
5. Trauma. Cedera atau trauma dapat menyebabkan peritonitis dengan membiarkan bakteri
atau bahan kimia dari bagian lain tubuh memasuki peritoneum.
6. Kondisi medis lainnya. Kondisi medis berikut meningkatkan risiko mengalami
peritonitis: sirosis, apendisitis, penyakit Crohn, radang lambung, divertikulitis, dan
pankreatitis.
7. Riwayat peritonitis. Setelah mengalami peritonitis, risiko untuk mengembangkannya lagi
lebih tinggi daripada seseorang yang tidak pernah menderita peritonitis.
Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan
fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga
membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat
menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka
dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya
interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke
perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk
mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan
juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera
gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ di dalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami
edema. Edema disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ
tersebut meninggi. Pengumpulan cairan di dalam rongga peritoneum dan lumen-lumen
usus serta edema seluruh organ intra peritoneal dan udem dinding abdomen termasuk
jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan
adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan di cavum
peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat
usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau
bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan
peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus
kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen
usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan
dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat
mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan
ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan
peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus
sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat
bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh
darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau gangrene dan
akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen
sehingga dapat terjadi peritonitis.
Perforasi tukak peptic khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di
epigastrium dan meluas ke seluruh peritoneum akibat peritonitis generalisata. Perforasi
lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang
mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini
timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan
peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian
menyebar ke seluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum
ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di
bahu menunjukkan rangsangan peritoneum berupa mengenceran zat asam garam yang
merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian
terjadi peritonitis bakteria.
Pada appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan, makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding
apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan udem, diapedesis bakteri,
ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri
terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau
gangren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya
mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general.
Manifestasi Klinis
Dehidrasi dapat terjadi akibat ketiga hal diatas, yang didahului dengan hipovolemik
intravaskular. Dalam keadaan lanjut dapat terjadi hipotensi, penurunan output urin dan syok.
1. Distensi abdomen dengan penurunan bising usus sampai tidak terdengar bising usus
2. Rigiditas abdomen atau sering disebut ’perut papan’, terjadi akibat kontraksi otot
dinding abdomen secara volunter sebagai respon/antisipasi terhadap penekanan pada
dinding abdomen ataupun involunter sebagai respon terhadap iritasi peritoneum
3. Nyeri tekan dan nyeri lepas (+)
4. Takikardi, akibat pelepasan mediator inflamasi
5. Tidak dapat BAB/buang angin.
Tata Laksana
Penilaian awal dan resusitasi
Diagnosis ditegakkan secara klinis dan dengan investigasi laboratorium yang penting
(urea, elektrolit, osmolalitas, Hb, diff count, serum amilase) dan rontgen dada (udara di
bawah diafragma). Pereda nyeri prioritas dan harus diberikan. Analgesik (opioid) diberi
secara i.m (i.v jika pasien syok). Pandangan bahwa analgesia harus diberi cepat pada pasien
karena mungkin tanda fisik belum benar. Hal ini juga mengurangi kooperasi dan
kepercayaan diri pasien selain unkind. Sampel darah diambil dari pasien yang akan
menjalani pembedahan setelah resusitasi.
Terapi cairan intravena dan nasogastric suction
Pasang i.v line untuk cairan dan pengganti elektrolit dan asupan oral dihentikan. NGT
dipasang dan penghisap sisa menuju kantong, perawat mencek patensi tube dengan
syringing dan aspirating setiap jam.
Terapi antibiotik
Antibiotik diberikan untuk semua pasien dengan bukti sepsis intra-abdominal. Jika
infeksi dipikirkan berasal dari GI atas atau traktus hepatobilier, sefalosporin (aktif melawan
kuman gram negatif aerob) cukup. Akan tetapi, jika peritonitis generalisata atau penyakit
dipikirkan dari kolon, ada tambahan untuk melawan kuman gram negatif anaerob harus
diberi. Hal ini biasanya diberikan dengan metronidazole sebagai tambahan
sefalosporin/aminoglikosida. Regimen antibiotik mungkin berubah pada tiap individu
tergantung progresi klinis, kultur bakterial dan tes sensitivitas.
Sebagai contoh, Ampicillin 2 g IV tiap 6 jam + Gentamicin 5 mg/kgBB/hari IV tiap 24 jam
+ Metronidazole 500 mg IV tiap 8 jam.
Pemantauan
Jika operasi tidak segera dilakukan setelah dinilai oleh senior staff bedah, pemantauan
progresi harus dilakukan, nadi, temperatur, tekanan darah dan output urin dan pemeriksaan
fisik berulang abdomen. Melihat pasien membaik, tatalaksana konservatif dilanjutkan, jika
terjadi perburukan dan kondisi tetap statis, maka dibutuhkan laparotomi eksplorasi.
Pembedahan
Pembedahan tergantung penyebab dari peritontis bakterial sekunder dengan laparotomi.
Penyebab acute intra-abdominal patologi dihadapi dan tatalaksana ditunjukkan pada tabel
15.3. Tujuan utama adalah menyegel perforasi atau membuang sumber primer patologi. Hal
ini diikuti dengan evakuasi pus dengan procurement dan sampel untuk kultur, diikuti
abdominal lavage dengan beberapa liter larutan garam fisiologis hangat. Perforasi ulkus
gaster harus dibiopsi dikarenakan kemungkinan adanya keganasan.
Konservatif
Prinsip umum pengobatan adalah mengistirahatkan saluran cerna dengan :
a. Memuasakan pasien
b. Dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik atau intestinal
c. Pengganti cairan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena
d. Pemberian antibiotik yang sesuai
e. Pembuangan fokus septik (apendiks) atau penyebab radang lainnya
1. Pemberian oksigen
Adalah vital untuk semua pasien dengan syok. Hipoksia dapat dimonitor oleh pulse
oximetri atau BGA.
2. Resusitasi cairan
Biasanya dengan kristaloid, volumenya berdasarkan derajat syok dan dehidrasi.
Penggantian elektrolit (biasanya potassium) biasanya dibutuhkan. Pasien harus
dikateterisasi untuk memonitor output urine tiap jam. Monitoring tekanan vena sentral
dan penggunaan inotropik sebaiknya digunakan pada pasien dengan sepsis atau pasien
dengan komorbid. Hipovolemi terjadi karena sejumlah besar cairan dan elektrolit
bergerak dari lumen usus ke dalam rongga peritoneal dan menurunkan caran ke dalam
ruang vaskuler.
3. Analgetik
Digunakan analgetik opiat intravena dan mungkin dibutuhkan antiemetik.
4. Antibiotik
Harus spektrum luas, yang mengenai baik aerob dan anaerob, diberikan intravena.
Cefalosporin generasi III dan metronidazole adalah strategi primer. Bagi pasien yang
mendapatkan peritonitis di RS (misalnya oleh karena kebocoran anastomose) atau yang
sedang mendapatkan perawatan intensif, dianjurkan terapi lini kedua diberikan
meropenem atau kombinasi dari piperacillin dan tazobactam. Terapi antifungal juga
harus dipikirkan untuk melindungi dari kemungkinan terpapar spesies Candida.
Definitif
Pembedahan
1. Laparotomi
Biasanya dilakukan insisi upper atau lower midline tergantung dari lokasi yang dikira.
Tujuannya untuk
a. Menghilangkan Kausa Peritonitis
b. Mengkontrol Origin Sepsis Dengan Membuang Organ Yang Mengalami Inflamasi
atau Ischemic (atau penutupan viscus yang mengalami perforasi).
c. Peritoneal lavage
Mengkontrol sumber primer dari sepsis adalah sangat penting. Relaparotomi
mempunyai peran yang penting pada penanganan pasien dengan peritonitis sekunder,
dimana setelah laparotomi primer ber-efek memburuk atau timbul sepsis. Re-operasi
dapat dilakukan sesuai kebutuhan. Relaparotomi yang terencana biasanya dibuat dengan
membuka dinding abdomen dengan pisau bedah sintetik untuk mencegah eviserasi.
Bagaimanapun juga, penelitian menunjukkan bahwa five year survival rate di RS dan
jangka panjang, lebih tinggi pada relaparotomi sewaktu daripada relaparotomi yang
direncanakan. Pemeriksaan ditunjang dengan CT scan. Perlu diingat bahwa tidak semua
pasien sepsis dilakukan laparotomi, tetapi juga memerlukan ventilasi mekanikal,
antimikrobial, dan support organ. Mengatasi masalah dan kontrol pada sepsis saat
operasi adalah sangat penting karena sebagian besar operasi berakibat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas
2. Laparoskopi
Teori bahwa resiko keganasan pada hiperkapnea dan syok septik dalam absorbsi
karbondioksida dan endotoksin melalui peritoneum yang mengalami inflamasi, belum
dapat dibuktikan. Tetapi, laparoskopi efektif pada penanganan appendicitis akut dan
perforasi ulkus duodenum. Laparoskopi dapat digunakan pada kasus perforasi kolon,
tetapi angka konversi ke laparotomi lebih besar. Syok dan ileus adalah kontraindikasi
pada laparoskopi.
3. Drain
Efektif digunakan pada tempat yang terlokalisir, tetapi cepat melekat pada dinding
sehingga seringkali gagal untuk menjangkau rongga peritoneum. Ada banyak kejadian
yang memungkinkan penggunaan drain sebagai profilaksis setelah laparotomi.
Algoritma Penegakan Diagnosis
SKDI
Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan merujuk
3A. Bukan gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan
pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang
paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu
menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
3B. Gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan
pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan
dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang
paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu
menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium
Mekanisme Takikardi
Karena terjadi peningkatan suhu sekitar 1℃ maka akan meningkatkan HR sebanyak 10 x.
Limfosit Menurun
Perubahan utama pada fungsi imun orang tua adalah perubahan respons proliferatif limfosit
seperti berkurangnya Interleukin-2 (IL-2) yang tercermin dari rusaknya proses signal pada orang
tua, minimnya kadar Ca dalam tubuh, dan perubahan membran limfosit sehingga mempengaruhi
fungsi imun. Penurunan Calcium (Ca) pada orang tua mempengaruhi perpindahan signal dengan
gagalnya merangsang enzim termasuk protein kinase C, MAPK dan MEK; serta menghambat
produksi cytokines, protein yang bertanggung jawab untuk koordinasi interaksi dengan antigen
dan memperkuat respons imun. Salah satu cytokine yang dikenal adalah interleukin 2 (IL-2),
cytokine diproduksi dan disekresi oleh sel T untuk menginduksi proliferasi sel dan mendukung
pertumbuhan jangka panjang sel T. Sesuai peningkatan usia sel T, maka kapasitas sel T untuk
menghasilkan IL-2 menurun. Jika terpapar antigen, maka sel T memori akan membelah diri
menjadi lebih banyak untuk melawan antigen. Jika produksi IL-2 sedikit atau sel T tidak dapat
berespons dengan IL-2, maka fungsi sel T rusak. Perubahan cytokine lain adalah interleukin 4,
tumor necrosis factor alpha, dan gamma interferon.
Daftar Pustaka
Fatmah. Juni 2006. Respons Imunitas yang Rendah pada Tubuh Manusia Usia Lanjut.
MAKARA, 10 (1) : 47 – 53.
Lata J, Stiburek O, Kopacova M. Spontaneous bacterial peritonitis: a severe complication of
liver cirrhosis. World J Gastroenterol. 2009 Nov 28. 15(44):5505-10.
Wittmann, D. H., Schein, M., & Condon, R. E. (1996). Management of secondary
peritonitis. Annals of surgery, 224(1), 10–18.