Anda di halaman 1dari 28

Nama : Devitania Azahra

Kelas : Gamma 2018


NIM : 04011381823210

Learning Issue
Tutorial Blok 23 – Skenario A

Cerebral Palsy
1. Definisi
Cerebral palsy adalah Sekelompok gangguan perkembangan gerakan dan
postur menyebabkan keterbatasan aktivitas yang dikaitkan dengan gangguan
non-progresif yang terjadi pada otak janin atau bayi yang sedang berkembang.
Gangguan motorik cerebral palsy sering disertai dengan gangguan sensasi,
kognisi, komunikasi, persepsi, dan / atau perilaku dan / atau gangguan kejang.

2. Etiologi dan Faktor Risiko


Etiologi yang pasti sulit diketahui, karena kadang-kadang terdapat > 1 etiologi.
Karena itu, diperlukan anamnesis dan pemeriksaan yang teliti. Penyebab CP
dapat dibagi dalam 3 bagian yaitu prenatal, perinatal, dan pasca natal.
1. Faktor ibu
a. Siklus menstruasi yang panjang
b. Riwayat keguguran sebelumnya
c. Riwayat bayi lahir mati
d. Ibu dengan retardasi mental
e. Ibu dengan penyakit tiroid, terutama defisiensi yodium
f. Kejang pada ibu
g. Riwayat melahirkan anak dengan berat badan < 2000 gram
h. Riwayat melahirkan anak dengan defisit motorik, RM atau defisit
sensorik
2. Faktor pranatal
a. Polihidramnion
b. Ibu dalam pengobatan hormon tiroid, estrogen atau progesteron
c. Ibu dengan proteinuria berat atau hipertensi
d. Ibu terpapar merkuri
e. Multiple/malformasi kongenital mayor pada bayi/kelainan genetik
f. Bayi laki-laki/kehamilan kembar
g. Perdarahan pada TM 3 kehamilan
h. Bayi dengan IUGR
i. Infeksi virus kongenital (HIV, TORCH)
j. Radiasi

k. Asfiksia intrauterin (abrupsio plasenta, plasenta previa, masalah


lain pada plasenta, anoksia maternal, kelainan umbilikus, ibu
hipertensi, toksemia gravidarum)
l. DIC oleh karena kematian pranatal pada salah satu bayi kembar
3. Faktor perinatal
a. Bayi prematur; UK < 30 mgg
b. BBLR < 1.500 g
c. Korioamnionitis
d. Bayi bukan letak kepala
e. Asfiksi perinatal berat
f. Keadaan hipoglikemia lama atau menetap
g. Kelainan jantung bawaan sianotik
4. Faktor pascanatal
a. Infeksi (meningitis, ensefalitis yang terjadi 6 bulan pertama
kehidupan)
b. Perdarahan intrakranial (bayi prematur, malformasi pembuluh
darah atau trauma kepala)
c. Leukomalasi periventrikular
d. Hipoksik-iskemik (pada aspirasi mekonium), HIE (hipoksik-
iskemik ensefalopati)
e. Kern-ikterus
f. Persistent fetal circulation atau persistent pulmonary hypertension
of the newborn
g. Penyakit metabolik
h. Racun: logam berat, gas CO

3. Epidemiologi
Insidensi PS di negara maju sebesar 2-2,5 per 1000 kelahiran hidup;
insidensnya lebih tinggi pada bayi prematur dan bayi kembar. Prematuritas
dan BBLR (menyebabkan asfiksia perinatal), malformasi kongenital, dan
kernikterus adalah penyebab serebral palsi yang diketahui saat lahir. Palsi
serebral sering terjadi pada anak pertama, mungkin karena anak pertama lebih
sering mengalami kesulitan pada waktu dilahirkan (Nelson, 2018).
Data dari central for disease control and prevention mengindikasikan bahwa
insidensi CP adalah sekitar 3,6 per 1000 anak dangan rasio laki-laki : wanita
sebesar 1,4 : 1.

4. Klasifikasi
Berdasarkan letak kelainan otak dan fungsi gerak Cerebral palsy dibagi menjadi
4 kategori, yaitu:
1) Cerebral Palsy Spastik
Cerebral palsy spastik merupakan bentukan CP Anatomi yang
mengalami kerusakan pada kortex cerebellum yang menyebabkan
hiperaktive reflex dan stretch reflex terjadi terbanyak (70-80%). Otot
mengalami kekakuan dan secara permanen akan menjadi kontraktur. Jika
kedua tungkai mengalami spastisitas pada saat seseorang berjalan, kedua
tungkai tampak bergerak kaku dan lurus. Cerebral Palsy spastik dapat
dikelompokkan menurut kelainan pokoknya, yaitu berdasarkan jumlah
ekstremitas yang terkena :
a. Monoplegia Bila hanya mengenai 1 ekstremitas saja, biasanya lengan.
b. Diplegia Keempat ekstremitas terkena, tetapi kedua kaki lebih berat
daripada kedua lengan.
c. Tetraplegia/Quadriplegia Tetraplegia bila mengenai 3 ekstremitas, yang
paling banyak adalah mengenai kedua lengan dan 1 kaki. Quadriplegia
bila keempat ekstremitas terkena dengan derajat yang sama.
d. Hemiplegia Bila mengenai salah satu sisi tubuh dan lengan terkena
lebih berat, Serangan epilepsi fokal tidak begitu umum, tetapi secara
banding lebih sering dijumpai pada anak hemiplegia spastik daripada
anak non-spastik.

2) Cerebral Palsy athetosis/diskenetik/koreoatetosis


Bentuk CP ini menyerang kerusakan pada bangsal banglia yang
mempunyai karakteristik gerakan menulis yang tidak terkontrol dan
perlahan. Kondisi ini melibatkan sistem ekstrapiramidal. Karakteristik
yang ditampakkan adalah gerakan-gerakan yang involunter dengan
ayunan yang melebar.
Gerakan abnormal ini mengenai lengan atau tungkai dan pada
sebagian besar kasus, otot muka dan lidah menyebabkan anak-anak
menyeringai dan selalu mengeluarkan air liur. Gerakan sering meningkat
selama periode peningkatan stress dan hilang pada saat tidur.
Pasien juga mengalami masalah koordinasi gerakan otot bicara
(disartria). CP atetosis terjadi pada 10-20% penderita CP (Kemala, 2014).
Atetotis dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Distonik
Kondisi ini sangat jarang sehingga penderita yang mengalami
distonik dapat mengalami misdiagnosis. Gerakan distonia tidak seperti
kondisi yang ditunjukkan oleh distonia lainnya. Umumnya menyerang
otot kaki dan lengan sebelah proksimal. Gerakan yang dihasilkan
lambat dan berulang-ulang, terutama pada leher dan kepala.
b. Diskinetik
Didominasi oleh abnormalitas bentuk atau gerakan-gerakan
involunter tidak terkontrol, berulang-ulang dan kadang melakukan
gerakan stereotipe

3) Cerebral Palsy ataksid/ataxia


Penderita yang terkena sering menunjukkan koordinasi yang
buruk, berjalan tidak stabil dengan gaya berjalan kaki terbuka lebar,
meletakkan kedua kaki dengan posisi saling berjauhan, berjalan gontai
kesulitan dalam melakukan gerakan cepat dan tepat, misalnya menulis,
atau mengancingkan baju.

4) Cerebral Palsy campuran


Seseorang mempunyai kelainan dua atau lebih dar tipe-tipe kelainan di atas.

5. Patofisiologi
Pada CP terjadi kerusakan pada pusat motorik dan menyebabkan terganggunya
fungsi gerak yang normal. Pada kerusakan korteks cerebri terjadi kontraksi otak
yang terus menerus dimana disebabkan karena tidak terdapatnya inhibisi
langsung pada lengkung reflex. Bila terdapat cidera berat pada system ekstra
pyramidal dapat menyebabkan gangguan pada semua gerak atau hypotonic,
termasuk kemampuan bicara. Namun bila hanya cedera ringan maka gerakan
gross motor dapat dilakukan tetapi tidak terkoordinasi dengan baik dan
gerakan motorik halus sering kali tidak dapat dilakukan. Gangguan proses
sensorik primer terjadi di sereblum yang mengakibatkan terjadinya ataksia.
Pada keterbatasan gerak akibat fungsi motor control akan berdampak juga
pada proses sensorik

6. Algoritma Penegakkan Diagnosis


Penegakkan diagnosis dilakukan dengan melakukan anamnesis mendalam,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis, serta pemeriksaan tambahan lain
bila diperlukan.
a. Anamnesis
Biasanya orang tua datang dengan keluhan gangguan perkembangan pada
anak, seperti belum bisa duduk, berguling, atau merangkak . Dari
anamnesis dapat ditanyakan adanya riwayat prenatal dan perinatal yang
memiliki risiko menyebabkan terjadinya CP pada anak.
Perlu juga ditanyakan riwayat perkembangan anak ditinjau dari 4 aspek
yaitu motorik kasar, motorik halus, bahasa, dan sosial. Perkembangan anak
dapat dinilai dengan melakukan tes seperti KPSP untuk dilihat aspek mana
yang terganggu.
Tanyakan juga kepada orang tua apakah keluhan pada anak terjadi secara
progresif atau non-progresif untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit
lain.
Pada kasus didapatkan gangguan perkembangan pada Sabrina bersifat non-
progresif. Hal ini terlihat dari hasil anamnesis yaitu tidak adanya tanda
progresivitas (regresi) keluhan (sebelumnya ada milestone yang dicapai,
tapi kemudian kemampuan itu hilang).
b. Pemeriksaan fisik
Indikator fisik cerebral palsy meliputi kontraktur sendi sekunder akibat otot
spastik, tonus hipotonik ke spastik, keterlambatan pertumbuhan, dan reflex
primitif persisten.
Pasien dengan cerebral palsy mungkin menunjukkan peningkatan refleks,
menunjukkan adanya lesi neuron motorik atas. Kondisi ini juga dapat hadir
sebagai persistensi refleks primitif, seperti Moro (refleks kejut) dan reflex
leher tonik asimetris (yaitu, postur pagar dengan leher berpaling ke arah
yang sama ketika satu lengan direntangkan dan yang lainnya dilenturkan).
Leher simetris tonik, genggaman palmar, tonik labirin, dan refleks
penempatan kaki juga dicatat. Refleks Moro dan tonik labirin harus
memadamkan pada saat bayi berusia 4-6 bulan; Refleks genggam palmar,
pada 5-6 bulan; Refleks leher tonik asimetris dan simetris, pada 6-7 bulan;
Dan refleks penempatan kaki, sebelum 12 bulan.

7. Diagnosis Banding
a. HSP (hereditary spastic paraplegia) with pediatric onset
b. Sagawa disease
c. Monoamine transmitter disorder
d. treatable inborn error of metabolism

8. Pemeriksaan Penunjang
a. Electroencephalogram (EEG)
EEG dapat dilakukan dari usia bayi sampai dewasa.merupakan
salah satu pemeriksaan penting pada pasien dengan kelainan susunan saraf
pusat. Alat ini bekerja dengan prinsip mencatat aktivitas elektrik di dalam
otak, terutama pada bagian korteks (lapisan luar otak yang tebal). Dengan
pemeriksaan ini, aktifitas sel-sel saraf otak kortek yang fungsinya untuk
kegiatan sehari-hari, seperti tidur, istirahat, dan lainlain, dapat direkam.
Pada infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis,
pemeriksaan EEG perlu dilakukan untuk melihat kemungkinan, misalnya
terjadi kejang yang tersembunyi atau adanya bagian otak yang terganggu.

b. Elektromiografi (EMG) dan Nerve Conduction Velocity (NCV)


Alat ini berguna untuk membuktikan dugaan adanya kerusakan
pada otot atau saraf. NCV digunakan terlebih dahulu sebelum EMG, dan
digunakan untuk mengukur kecepatan saat dimana saraf-saraf
mentransmisikan sinyal.
Selama pemeriksaan NCV, elektroda ditempelkan pada kulit yang
dilalui saraf yang spesifik untuk suatu otot atau sekelompok otot. Prinsip
kerja NCV adalah memberikan stimulus elektrik yang dihantarkan melalui
electrode, kemudian respon dari otot di deteksi, diolah dan ditempelkan.
Kekuatan dari sinyal yang diberikan juga dihitung. Kondisi neurologis
dapat menyebabkan NCV melambat atau menjadi lebih lambatpada salah
satu sisi tubuh.
EMG mengukur impuls dari saraf dalam otot. Electrode kecil
diletakkan dalam otot pada lengan dan kaki dan respon elektronik diamati
dengan menggunakan suatu alat yang menampilkan gerakan suatu arus
listrik (oscilloscope). Alat ini mendeteksi bagaimana otot bekerja.

c. Tes Laboratorium
1) Analisa kromosom
Analisis kromosom dapat menunjukkan identifikasi suatu anomali
genetic, contohnya Down’s syndrome, ketika anomali tersebut muncul
pada sistem organ.
2) Tes fungsi tiroid
Tes fungsi tiroid dapat menunjukkan kadar hormon tiroid yang
rendah dapat menyebabkan beberapa cacat bawaan dan retardasi
mental berat.
3) Tes kadar ammonia darah
Kadar ammonia yang tinggi dalam darah (hiperammonemia)
bersifat toksik terhadap sistem saraf pusat (otak dan sumsum tulang
belakang). Defisiensi beberapa enzim menyebabkan kerusakan asam
amino yang menimbulkan hiperammonemia. Hal ini dapat disebabkan
oleh kerusakan hati atau kelainan metabolisme bawaan

d. Imaging test Imaging test sangat membantu dalam mendiagnosis


hidrosefalus, abnormalitas structural,dan tumor. Informasi yang diberikan
dapat membantu dalam menentukan prognosis jangka panjang seorang
anak.
1) Computed Tomography Scan (CT Scan)
Teknik ini merupakan gabungan sinar X dan teknologi computer yang
menghasilkan suatu gambar yang memperlihatkan setiap bagian tubuh
secara terinci termasuk tulang, otot, lemak dan organ-organ tubuh. CT
scan kepala dapat menjabarkan struktur jaringan otak, seperti area otak
yang kurang berkembang, kista abnormal, malformasi bawaan,
haemoragic dan PVL pada bayi.dengan informasi dari CT scan, dokter
dapat menentukan prognosis penderita CP.
2) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI menggunakan medan magnet dan gelombang radio untuk
menciptakan gambar dan struktur internal otak. Dilakukan pada anak-
anak yang lebih tua. MRI adalah teknik imaging yang canggih,
menghasilkan gambar yang lebih baik dalam hal struktur atau area
abnormal dengan lokasi dekat dengan tulang dibandingkan CT Scan
kepala. MRI dapat mendefinisikan abnormalitas dari substansia alba
(white matter) dan korteks motorik lebih jelas daripada metode-
metode lainnya. Dikatakan neuroimaging direkomendasikan jika
dalam evaluasi anak dengan CP etiologinya tidak dapat ditemukan.
3) Ultrasonography (USG)
USG menggunakan echo dari gelombang suara yang dipantulkan
kedalam tubuh untuk membentuk suatu gambar yang disebut sonogram.
Alat ini dapat menggambarkan masalah dalam jaringan otak. USG dapat
digunakan pada bayi sebelum tulang kepala mengeras dan UUB tertutup.
Walaupun hasilnya kurang akurat dibandingkan MRI dan CT Scan,
pemeriksaan ini dapat mendeteksi kista dan struktur otak, lebih murah
dan tidak membutuhkan periode lama pemeriksaannya.

e. Penilaian psikologik perlu dilakukan untuk menentukan tingkat


pendidikan yang diperlukan.
Pemeriksaan metabolik untuk menyingkirkan penyebab lain retardasi
mental. Selain pemeriksaan di atas, kadang-kadang diperlukan
pemeriksaan arteriografi dan pneumoensefalografi individu. Untuk
memperoleh hasil yang maksimal, penderita CP perlu ditangani oleh
suatu tim yang terdiri dari: dokter anak, ahli saraf, ahli jiwa, ahli
bedah tulang, ahli fisioterapi, occupational therapist,guru luar biasa,
orang tua penderita dan bila perlu ditambah dengan ahli mata, ahli
THT, perawat anak dan lain-lain.
9. Tata Laksana
Pasien dengan CP akan dirujuk ke dokter spesialis anak. Sebagai dokter umum,
hal yang dapat dilakukan adalah memberikan edukasi kepada orang tua pasien.
Edukasi yang diberikan terkait dengan apa saja langkah pemeriksaan yang akan
dilakukan, kemungkinan terapi yang akan didapat, berapa lama anak akan
menjalankan terapi, peran dan dukungan orang tua, serta prognosis anak.

1) Edukasi dan rehabilitasi.


Terapid diberikan sesuai dengan aspek yang terganggu. Tujuan yang akan
dicapai perlu juga disampaikan kepada orang tua/famili penderita, agar
anak mendapatkan dukungan untuk menjalani perawatan. Fisioterapi
bertujuan untuk mengembangkan berbagai gerakan yang diperlukan untuk
memperoleh keterampilan secara independen untuk aktivitas sehari-hari.
Fisioterapi ini harus segera dimulai secara intensif. Untuk mencegah
kontraktur perlu diperhatikan posisi penderita sewaktu istirahat atau tidur.
Selain fisioterapi, anak dengan CP perlu dididik sesuai dengan tingkat
inteligensinya, di Sekolah Luar Biasa dan bila mungkin di sekolah biasa
bersama-sama dengan anak yang normal. Di Sekolah Luar Biasa dapat
dilakukan speech therapy dan occupational therapy yang disesuaikan
dengan keadaan anak. Mereka sebaiknya diperlakukan sebagai anak biasa
yang pulang ke rumah dengan kendaraan bersanrm-sama sehingga tidak
merasa diasingkan, hidup dalam suasana normal. Orang tua janganlah
melindungi anak secara berlebihan dan untuk itu pekerja sosial dapat
membantu di rumah dengan melihat seperlunya.
2) Psikoterapi untuk anak dan keluarganya.
Oleh karena gangguan tingkah laku dan adaptasi sosial sering menyertai
CP, maka psiko terapi perlu diberikan, baik terhadap penderita maupun
terhadap keluarganya.

3) Koreksi operasi.
Bertujuan untuk mengurangi spasme otot, menyamakan kekuatan otot yang
antagonis, menstabilkan sendi-sendi dan mengoreksi deformitas. Tindakan
operasi lebih sering dilakukan pada tipe spastik dari pada tipe lainnya. Juga
lebih sering dilakukan pada anggota gerak bawah dibanding dengan anggota
gerak atas. Prosedur operasi yang dilakukan disesuaikan dengan jenis
operasinya, apakah operasi itu dilakukan pada saraf motorik, tendon, otot
atau pada tulang.

4) Obat-obatan.
Pemberian obat-obatan pada CP bertujuan untuk memperbaiki gangguan
tingkah laku, neuro-motorik, spastisitas dan untuk mengontrol serangan
kejang.

10. Komplikasi
Komplikasi cerebral palsy dapat mempengaruhi banyak sistem. Sebagai
contoh, komplikasi kulit termasuk bisul dan luka dekubitus; Komplikasi
ortopedi dapat meliputi kontraktur, dislokasi pinggul, dan / atau skoliosis.
Komplikasi dapat muncul sebagai berikut:

Komplikasi gastrointestinal dan nutrisi meliputi:


• Gagal tumbuh karena kesulitan makan dan menelan sekunder karena
kontrol oromotor yang buruk
• Refluks gastroesofagus dan pneumonia aspirasi terkait
• Sembelit
• Karies gigi
• Masalah gigi juga termasuk disgenesis enamel, maloklusi, dan
hiperplasia gingiva.

Komplikasi pernapasan meliputi:


• Peningkatan risiko pneumonia aspirasi karena disfungsi oromotor
• Penyakit paru-paru kronis / displasia bronkopulmonalis
• Bronkiolitis / asma
Komplikasi neurologis meliputi:
• Epilepsi
Epilepsi terjadi pada 15-60% anak-anak dengan cerebral palsy dan
lebih sering terjadi pada pasien dengan quadriplegia spastik atau
retardasi mental.
• Kehilangan pendengaran (terutama pada pasien yang mengalami
ensefalopati bilirubin akut [kernikterus]; juga terlihat pada pasien yang
dilahirkan prematur atau yang terpapar obat ototoksik)
• Penglihatan
Ketajaman visual (visual acuity) berkurang pada bayi prematur karena
retinopati prematuritas dengan hipervaskularisasi dan kemungkinan
ablasi retina.
• Kelainan bidang visual karena cedera kortikal
• Strabismus

Komplikasi kognitif / psikologis / perilaku meliputi:


• Retardasi mental / Disabilitas Intelektual (30-50%), paling sering
dikaitkan dengan quadriplegia spastik
• Gangguan perhatian-defisit / hiperaktif
• Mempelajari ketidakmampuan
• Berdampak pada kinerja akademik dan harga diri
• Peningkatan prevalensi depresi
• Kesulitan integrasi sensorik

11. Prognosis
Sebagian besar anak-anak dengan cerebral palsy akan bertahan hidup hingga
dewasa. Penyebab kematian dini yang paling umum adalah penyakit
pernapasan, biasanya pneumonia aspirasi.
Prognosis kemampuan motorik tergantung pada subtipe cerebral palsy, laju
perkembangan motorik, kepastian refleks perkembangan, dan kemampuan
kognitif.

10. Manifestasi Klinis


Tanda awal Cerebral Palsy biasanya tampak pada usia kurang dari 3 tahun, dan
orangtua sering mencurigai ketika kemampuan perkembangan motorik anak
tidak normal (Sitorus, 2016) Bayi dengan CP sering kelambatan
perkembangan, misalnya tengkurap, duduk, merangkak, atau berjalan Sebagian
mengalami abnormalitas tonus otot. Penurunan tonus otot atau hipotonia
(keadaan sulit berjalan) dapat menyebabkan bayi tampak lemah dan lemas
serta bayi tampak kaku. Pada sebagian kasus, bayi pada periode awal tampak
hipotonia dan selanjutya berkembang menjadi hypertonia setelah 2-3 bulan
pertama. Anak CP mungkin menunjukkan postur abnormal pada salah satu sisi
tubuh (Arvin K. B., 2012). Anak CP memiliki karakteristik berikut :
1) Kemampuan motorik
Anak CP memiliki gangguan fungsi motorik. Gangguan ini berupa kekauan,
kelumpuhan,kurang koordinasi, hilang keseimbangan dan munculnya gerakan-
gerakan ritmis.gangguan ini tidak hanya berakibat kepada fungsi anggota
gerak tetapi fungsi-fungsi lain yang berhubungan dengan masalah motorik lain
seperti gangguan bicara, mengunyah, dan menelan.
2) Kemampuan sensoris
Pada umumnya anak CP juga memiliki gangguan dalam hal sensorisnya.
Gangguan sensoris tersebut meliputi gangguan penglihatan, gangguan
pendengaran, dan gangguan kinestetik-taktil
3) Kemampuan intelektual
Kemampuan intelektual anak CP beragam rentang dari rentang idiot sampai
gifted. Dengan tingkat kecerdasan bervariasi sekitar 45% mengalami
keterbelakangan mental , 35% mempunyai tingkat kecerdasan normal hingga
diatas rata-rata dan sisanya mengalami cenderung dibawah rata-rata.
4) Kemampuan persepsi
Peristiwa persepsi terjadi di otak. Karena kerusakan anak CP terjadi di otak,
maka pada umumnya mereka juga mengalami gangguan persepsi baik itu
secara visual, auditif maupun kinestetik-taktil.
5) Kemampuan berbicara dan komunikasi
Sebagian besar anak CP mengalami gangguan bicara sebagai akibat dari
kekakuan otot-otot motorik bicara mereka. Gangguan bicara yang terjadi dapat
mengarah kepada gangguan komunikasi. Anak CP mengalami kesulitan dan
mengungkapkan ide dan gagasan mereka bahkan diantara mereka bicaranya
tidak jelas sehingga sukar dipahami maksut pembicaraannya.
6) Kemampuan Emosi dan penyesuaian Sosial
Kebanyakan CP mengalami kesulitan dalam penyesuaian sosial ini berkaitan
dengan konsep yang mereka miliki.
12. Pencegahan
Pendekatan antenatal untuk pencegahan
Sampai tingkat yang mengkhawatirkan, cerebral palsy secara keliru dikaitkan
dengan tindakan kelalaian atau komisi oleh dokter kandungan. Di antara jalur
penelitian terpenting selama dua dekade terakhir adalah penyelidikan tentang
peran infeksi perinatal dan peradangan pada kerusakan otak yang didapat pada
janin dan bayi baru lahir cukup bulan dan prematur, dan peran faktor
prothrombotik dan penyebab lain dari stroke neonatal dalam patogenesis
hemiplegia kongenital. Meskipun studi epidemiologi menunjukkan bahwa
kurang dari 10% hasil cerebral palsy akibat hipoksia intrapartum, tiga
perempat dari dokter kandungan di Amerika Serikat melaporkan menjadi
subjek acara litigasi, paling sering terkait dengan penyebab cerebral palsy
yang diduga karena tidak mencegah atau mengobati hipoksia janin. Dalam
sebuah studi terhadap 46 kasus malpraktek, para penyelidik menyimpulkan
bahwa "tingkat keparahan kecacatan pasien, bukan terjadinya peristiwa buruk
atau peristiwa buruk karena kelalaian, yang memprediksi pembayaran kepada
penggugat".

Banyak asumsi tentang efektivitas asuhan kebidanan untuk mencegah cerebral


palsy umumnya didasarkan pada bukti yang lemah atau tidak ada sama sekali.
Daftar periksa yang dipublikasikan memberikan pendekatan yang lebih
berbasis bukti untuk atribusi. Peristiwa intrapartum sebagai penyebab cerebral
palsy lebih mungkin terjadi jika asidosis janin yang signifikan (seperti pH
<7.0) dan ensefalopati neonatal diamati, dan lebih mungkin terjadi dengan
spastic quadriplegia atau dyskinetic cerebral palsy. Meskipun kejadian ini
mungkin disebabkan oleh hipoksia intrapartum, kejadian ini mungkin juga
disebabkan oleh infeksi janin. Jadi, hampir selalu ada ketidakpastian yang
cukup besar tentang penyebab cerebral palsy, terutama di antara bayi yang
lahir pada saat atau hampir cukup bulan.

Meskipun demikian, karena sekitar setengah dari semua kasus baru cerebral
palsy muncul dari kelompok neonatus yang lahir prematur, ada kemungkinan
intervensi yang memperpanjang kehamilan atau menurunkan risiko kelahiran
prematur juga akan menurunkan risiko cerebral palsy. Pendekatan khusus
untuk mengurangi angka kelahiran prematur, yang didukung oleh bukti tingkat
tinggi, termasuk membatasi jumlah embrio yang ditransfer dengan fertilisasi in
vitro, berhenti merokok selama kehamilan, skrining dan pengobatan
bakteriuria asimtomatik selama kehamilan, obat antiplatelet hingga cegah
preeklamsia, 17α-progesteron caproate, dan serviks untuk wanita dengan
riwayat kelahiran prematur dan serviks pendek (yaitu, <2,5 cm). Selain itu,
intervensi yang telah terbukti memperpanjang kehamilan termasuk
penghambat saluran kalsium dan antagonis oksitosin (atosiban) untuk wanita
dengan persalinan prematur dan eritromisin untuk wanita dengan ketuban
pecah dini. Selain pengukuran ini, hasil meta-analisis dari empat uji coba
menunjukkan bahwa pengobatan ibu yang diharapkan melahirkan sebelum 36
minggu kehamilan dengan glukokortikoid (misalnya β-metason) mengurangi
risiko cerebral palsy. Dalam Uji Kolaborasi Australasia dari Magnesium
Sulfat, pengobatan magnesium sulfat pada ibu yang berisiko melahirkan
prematur sebelum usia kehamilan 30 minggu mengurangi risiko disfungsi
motorik kasar yang substansial, dan dalam uji coba acak multisenter di Prancis
kecenderungan penurunan kerusakan materi putih otak diamati. Informasi
lebih lanjut tentang kemungkinan manfaat magnesium sulfat antenatal
diharapkan segera dari uji coba National Institutes of Health Maternal Fetal
Medicine Network (Manfaat Antenatal Magnesium Sulfate).

Pendekatan pascakelahiran untuk pencegahan


Sebagian besar bayi cukup bulan atau cukup bulan yang mengalami cerebral
palsy mengalami perjalanan neonatal yang lancar. Pengecualian penting
adalah mereka yang menderita ensefalopati neonatal. Salah satu dugaan
penyebab ensefalopati neonatal adalah hipoksia serebral intrapartum dan
iskemia, yang pada kasus yang parah dapat menyebabkan kerusakan otak
permanen yang bermanifestasi sebagai cerebral palsy. Pada bayi seperti itu,
hipotermia, baik yang diterapkan secara selektif ke kepala atau seluruh tubuh,
tampaknya menurunkan risiko gangguan perkembangan saraf, termasuk
cerebral palsy. Meskipun tampaknya efektif, intervensi ini hanya berlaku
untuk sebagian kecil anak-anak yang kemudian mengembangkan cerebral
palsy.

Pada bayi prematur, kafein adalah satu-satunya terapi yang telah ditunjukkan
dalam uji coba multisenter untuk menurunkan risiko cerebral palsy. Dalam uji
coba ini, bayi dengan berat badan lahir sangat rendah diacak dengan kafein
atau plasebo pada hari-hari pertama kehidupan. Walaupun hasilnya mungkin
hanya berlaku untuk sebagian kecil bayi prematur, subkelompok inilah yang
berisiko tertinggi mengalami cerebral palsy. Steroid pascakelahiran, diberikan
kepada bayi prematur untuk mengurangi peradangan paru dan menurunkan
risiko displasia bronkopulmonalis, meningkatkan risiko palsi serebral.
Sehingga dengan membatasi penggunaan pengobatan ini diharapkan dapat
mengurangi resiko terjadinya cerebral palsy. Tujuan dari uji coba yang baru
saja diselesaikan oleh National Institutes of Health Neonatal Research
Network adalah untuk mempelajari efek fototerapi agresif untuk
hiperbilirubinemia pada hasil perkembangan saraf. Hasil uji coba ini mungkin
relevan dengan pencegahan cerebral palsy pada bayi berat lahir sangat rendah.

13. Tingkat Kompetensi Dokter Umum – II


Tingkat Kemampuan 2:
Mendiagnosis dan merujuk. Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik
terhadap penyakit tersebut berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dan
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

Kejang dan demam pada Cerebral Palsy


1. Definisi dan klasifikasi kejang demam

Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak berusia 3

bulan sampai 5 tahun dan berhubungan dengan demam serta tidak didapatkan

adanya infeksi ataupun kelainan yang jelas di intracranial. Demam adalah


0 0
kenaikan suhu tubuh lebih dari 38 C rektal atau lebih 37,8 C aksila. Anak

yang didiagnosa kejang demam tidak mempunyai riwayat kejang saat

neonatus, tidak ada faktor pencetus sebelumnya atau ditemukan kriteria dari

gejala kejang akut.

Kejang demam dibagi menjadi dua kelompok yaitu kejang demam

sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana yaitu

kejang demam yang berlangsung singkat, biasanya kurang dari 15 menit dan

umumnya akan berhenti sendiri. Kejang demam kompleks mempunyai ciri yaitu

kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial,

terjadi lebih dari satu kali dalam 24 jam, atau terjadi lebih dari 15 menit.

Keterbelakangan mental dan usia muda berhubungan dengan lamanya kejadian

kejang demam. Sebagian kejang demam dapat diperpanjang jika awalan

kejang demam juga lama.


Tabel 1.Karakteristik kejang demam sederhana dan kompleks

No Klinis KD sederhana KD kompleks


1 Durasi < 15 menit ≥15 menit
2 Tipe kejang Umum Umum/fokal
3 Berulang dalam satu episode (24 jam) 1 kali >1 kali
4 Defisit neurologis - ±
5 Riwayat keluarga kejang demam ± ±
6 Riwayat keluarga kejang tanpa demam ± ±
7 Abnormalitas neurologis sebelumnya ± ±
Sebagian besar kejang demam berupa kejang demam sederhana
sekitar 63% dan kejang demam kompleks sekitar 35%.
2. Etiologi

Faktor- faktor penyebab kejang demam yang sering muncul pada


anak, antara lain :
a. Efek produk toksik daripada mikroorganisme terhadap otak
b. Neoplasma toksin
c. Respon alergik yang abnormal oleh infeksi
d. Gangguan metabolik : hipoglikemi, gagal ginjal, hipoksia,
hipokalsemia, hiponatremia, hiperbilirubinemia, aminoasiduria,
hipomagnesemia.

e. Infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial seperti otitis,


tonsilitis, bronkitis.
f. Keracunan alkohol dan teofilin
g. Gangguan vaskular : petekia akibat anoksia dan asfiksia terjadi di
intraserebral dan intraventrikuler, perdarahan akibat trauma
langsung terjadi di daerah subaraknoidal dan subdural, trombosis,
defisiensi vitamin K, sindrom hiperviskositas.
h. Idiopatik

3. Epidemiologi
Pendapat para ahli tentang usia penderita saat terjadi bangkitan

kejang demam tidak sama. Pendapat para ahli terbanyak kejang demam terjadi

pada waktu anak berusia antara 3 bulan sampai 5 tahun. Menurut The

American Academy of Pediatrics (AAP) usia termuda bangkitan kejang


demam 6 bulan. Kejang demam merupakan salah satu kelainan saraf tersering
pada anak. Berkisar 2-5% anak di bawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan
kejang demam. Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi

pada anak berusia di bawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam


terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai 22 bulan. Insiden bangkitan
kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.

Di berbagai negara insiden dan prevalensi kejang demam berbeda.

Di Amerika Serikat prevalensi kejang demam berkisar 2-5%. Di Asia

prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan di Eropa

dan di Amerika. Di Jepang kejadian kejang demam bekisar 8,3-9,9%. Bahkan di

kepulauan Mariana (Guam), telah dilaporkan insiden kejang demam yang lebih

besar, mencapai 14%. Pronosis kejang demam baik, kejang demam bersifat

benigna. Angka kematian hanya 0,64-0,75%. Sebagian besar penderita kejang

demam sembuh sempurna, sebagian kecil berkembang

menjadi epilepsi sebanyak 2-7%. Empat persen penderita kejang demam


secara bermakna mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat
intelegensi.

Data kejadian kejang demam di Indonesia masih terbatas. Insiden

dan faktor predileksi kejang demam di Indonesia sama dengan negara lain.

Kira-kira satu sampai tiga anak dengan kejang demam pernah mempunyai

riwayat kejang demam sebelumnya, dengan sekitar 75% terjadi pada tahun

yang sama dengan kejang demam pertama, dan sekitar 90% terjadi pada tahun

berikutnya dari kejang demam pertama. Dengan demikian, dapat diperkirakan

bahwa prevalensi kejang demam pada anak di Indonesia cukup banyak,

mengingat banyak faktor predileksi yang dapat menyebabkan kejang demam.

4. Patofisiologi
Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan

muatan listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsipada

neuron tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi.


Sel saraf, seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial

membran. Potensial membran yaitu selisih antara intrasel dan ekstrasel. Potensial

intrasel lebih negatif dibandingkan dengan ekstrasel. Keadaan istirahat potensial

membran berkisar antara 30-100Mv, selisih potensial membran ini akan tetap

sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan. Potensial membran ini terjadi

+ + ++
akibat perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama ion Na , K , dan Ca . Bila

sel saraf mengalami stimulasi, misalnya stimulasi listrik akan mengakibatkan

menurunya potensial membran. Penurunan potensial membran ini akan

+
menyebabkan permeabilitas membrane terhadap ion Na akan meningkat,

+
sehingga Na akan mengalami lebih banyak masuk ke dalam sel. Selama

serangan kejang lemah, perubahan potensial membran masih dapat dikompresi

+ -
oleh transport aktif ion dan ion , sehingga selisih potensial kembali ke keadaan

istirahat. Perubahan potensial yang demikian sifatnya tidak menjalar, yang

disebut respon lokal. Bila rangsangan cukup kuat perubahan potensial dapat

mencapai ambang tetap (firing level), maka permeabilitas membran terhadap

+
Na akan meningkat secara besar-besaran pula, sehingga timbul spike

potensial atau potensial aksi.

Potensial aksi ini akan dihantarkan ke sel saraf berikutnya melalui sinap

dengan perantara zat kimia yang dikenal denagn neurotransmitter. Bila

perangsangan telah selesai, maka permeabilitas membran kembali ke keadaan

+ +
istirahat, dengan cara Na akan kembali ke luar sel dan K masuk ke dalam

sel melalui mekanisme pompa Na-K yang membutuhkan ATP dari sintesa
glukosa dan oksigen.

Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori:

a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K

misalnya pada hipoksemia, iskemia dan hipoglikemia. Sedangkan pada

kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.


b. Perubahan permeabilitas membran sel saraf, misalnya hipokalsemia dan

hipomagnesemia.

c. Perubahan relatif neurotransmitter yang bersifat eksitasi dibandingkan

dengan neurotransmitter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang

berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan

menimbulkan kejang.

Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui,

diperkirakan bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia

tubuh. Dengan demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat habis,

terjadilah hipoksia. Transport aktif yang memerlukan ATP terganggu,

sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat yang akan menyebabkan

potensial membran cenderung turun atau kepekaan sel saraf meningkat.

Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di

otak, jantung, otot, dan terjadi ganggaun pusat pengatur suhu. Demam akan

menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin

bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa

hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik dan

hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemia neuron karena

kegagalan metabolisme di otak.

Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai


berikut:

a. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum

matang/ immatur.

b. Timbul dehidrasi sehingga terjadi ganguan elektrolit yang menyebabkan

gangguan permeabilitas membran sel.

c. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan

CO2 yang akan merusak neuron.


Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta

meningkatkan kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan

gangguan pengaliran ion-ion keluar masuk sel.

5. Tanda dan gejala

Kejang demam biasanya terjadi pada awal demam. Sering diperkirakan bahwa

cepatnya peningkatan temperatur merupakan pencetus untuk terjadinya kejang.

Meskipun belum ada data yang menunjangnya.

Umumnya serangan kejang tonik-klonik, awalnya dapat berupa

menangis, kemudian tidak sadar dan timbul kekakuan otot. Selama fase tonik,

mungkin disertai henti nafas dan inkontinensia. Kemudian diikuti fase klonik

berulang, ritmik dan akhirnya anak setelah kejang latergi atau tidur.

Bentuk kejang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik ke atas

dengan disertai kekakuan, atau hanya sentakan atau kekakuan fokal. Serangan

dalam bentuk absens atau mioklonik sangat jarang.

Pada umumnya kejang akan berhenti sendiri, kemudian anak tidak

memberikan reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau

menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa kelainan neurologis. Kejang
demam kompleks dapat disertai hemiparesis, kemudian dapat pula

berkembang menjadi status epileptikus.

Sebagian besar kejang demam berlangsung kurang dari 5 menit,

dan kurang dari 8% berlangsung lebih dari 15 menit, dan 4% kejang

berlangsung lebih dari 30 menit. Jadi umumnya anak tidak kejang lagi pada

waktu dibawa ke dokter. Bila anak kejang lagi perlu diidentifikasi apakah ada

penyakit lain yang memerlukan pengobatan tersendiri. Perlu juga mengetahui

pengobatan sebelumnya ada tidaknya trauma, perkembangan psikomotor, dan

riwayat keluarga dengan epilepsi atau kejang demam.

Deskripsi lengkap mengenai kejang sebaiknya didapat dari orang yang

melihatnya. Dari pemeriksaan fisik, derajat kesadaran, ubun-ubun besar yang

tegang atau membenjol, tanda Kernig atau Brudzinski, kekuatan dan tonus, harus

diperiksa dengan teliti dan dinilai ulang secara periodik. Kira-kira 6% anak akan

mengalami rekurensi dalam 24 jam pertama, namun belum diketahui kasus yang

mana akan cepat mengalami kejang kembali.

Faktor risiko utama kejang demam berulang adalah umur saat onset

kejang demam pertama kali, umur makin awal makin berisiko kejang berulang.

Tiga faktor risiko kejang demam berulang adalah serangan kejang berlangsung

lama lebih dari 30 menit, dalam satu episode lebih dari satu kali, dan terdapat

defisit neurologis pasca kejang. Selain itu, faktor lain yang berperan antara lain

jenis kelamin laki-laki, riwayat kejang dalam keluarga, jenis kelamin wanita

dengan usia kurang dari 18 bulan.

6. Faktor resiko

a.Faktor suhu

Anak dengan demam lebih dari 39˚C mempunyai risiko untuk mengalami
kejang 4,5 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang mengalami
demam kurang dari 39˚C. Demam pada anak paling sering disebabkan oleh
infeksi. Demam yang disebabkan infeksi virus menjadi penyebab tersering
terjadinya kejang demam, sekitar 80% angka kejadiannya. Setiap terjadi
kenaikan suhu tubuh 1˚C dapat meningkatkan metabolisme karbohidrat
10-15%. Dengan peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan
kebutuhan glukose dan oksigen. Pada demam tinggi akan mengakibatkan
hipoksi jaringan ke otak. Demam berperan dalam terjadinya perubahan
potensial membran dan akan menurunkan nilai ambang kejang. Bangkitan
kejang terjadi pada suhu tubuh 37˚C – 38,9˚C sebanyak 11% penderita,
pada suhu 38,9˚- 39,9˚C sebanyak 69% penderita dan demam diatas 40˚C
sebanyak 20%.

b. Faktor usia
Dari penelitian yang pernah dilakukan sekitar 2,5 – 5% anak pernah mengalami
kejang demam sebelum umur 5 tahun.1 Kejang demam banyak mengenai anak usia 3
bulan – 5 tahun dan terbanyak umur 14- 18 bulan. 2,3 Kejang demam terjadi lebih dari
90% pada anak usia di bawah 5 tahun. 4 Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun
setidaknya pernah mengalami sekali kejang selama hidupnya.

Usia tersebut berkaitan dengan fase perkembangan otak yaitu masa


development window, masa dimana dimulainya perkembangan otak
dimulai fase organisasi yaitu pada waktu anak berumur kurang dari 2
tahun. Anak dibawah usia 2 tahun mempunyai nilai ambang kejang
(threshold) rendah, sehingga mudah terjadi kejang demam. Threshold
adalah stimulasi paling rendah yang dapat menyebabkan depolarisasi
perkembangan otak.

c. Faktor jenis kelamin

Laki-laki lebih berisiko terjadi kejang demam, dua kali lipat lebih banyak
dari perempuan dengan perbandingan 2:1. Hal tersebut disebabkan karena
pada wanita di didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat dibandingkan
laki-laki.
Diperkuat dengan penelitian yang dilakukan di RSUP Dr.Kariadi pada
bulan Oktober tahun 2010 dengan 36 kasus, menunjukkan bahwa 19 pasien
laki-laki menderita kejang demam dan 17 sisanya adalah perempuan.
Hasil penelitian lain juga menyebutkan dari 148 penderita kejang demam,
terdiri dari laki-laki 94 (63,5%) dan perempuan sebanyak 54 (36,5%)
penderita.

d. Faktor riwayat keluarga


Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di Amerika oleh Hauser dkk
menunjukkan bahwa penderita demam disertai dengan riwayat keluarga
pernah menderita kejang demam mempunyai risiko untuk terjadi kejang
demam sebesar 2,7%. Sedangkan, apabila salah satu orang tua pernah
menderita kejang demam berisiko terjadi bangkitan kejang demam sebesar
10% dan apabila kedua orang tuanya mempunyai riwayat pernah menderita
kejang demam risiko meningkat menjadi 20%. Pewarisan risiko kejang
29
demam ibu dibandingkan ayah sebesar 27% : 7%. Sebanyak 25-40%
penderita kejang demam mempunyai keluarga dengan riwayat pernah
kejang demam.

e. Faktor prenatal dan perinatal

Riwayat kehamilan ataupun persalinan sebagai salah satu faktor risiko


kejang demam berkaitan dengan pematangan otak ataupun jejas pada otak
akibat prematuritas dan proses persalinan. Insiden kejang demam pada
anak yang dilahirkan dari ibu dengan riwayat konsumsi rokok dalam sehari
lebih dari 10 batang mempunyai risiko menderita kejang demam. Insiden
kejang demam pada ibu dengan riwayat perokok sewaktu hamil terjadi
sebesar 4,4%. Ibu dengan konsumsi rokok per hari lebih dari 10 batang
mempunyai risiko 1,25 kali mempunyai anak menderita kejang demam.

f. Faktor usia ibu saat hamil

Usia ibu saat hamil berperan dalam menentukan status kesehatan bayi yang
dilahirkan. Pada usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
lebih berisiko menyebabkan adanya komplikasi kehamilan dan persalinan.
Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan prematuritas,
bayi berat lahir rendah dan partus lama. Keadaan tersebut dapat
menyebabkan bayi lahir asfiksia. Pada asfiksia terjadi hipoksi dan iskemi.
Hipoksi dapat menyebabkan rusaknya faktor inhibisi sehingga mudah
timbul kejang.

g. Faktor umur kehamilan

Anak yang dilahirkan dari ibu dengan kehamilan postterm dan ibu yang
mempunyai riwayat kejang demam mempunyai risiko terjadi kejang
demam sebesar 28%. Bayi lahir preterm berisiko 3 kali untuk terjadi kejang
demam dibandingkan bayi yang lahir aterm.
h. Faktor BBLR

Bayi dengan berat lahir rendah yaitu bayi lahir kurang dari 2500 gram.
Risiko terjadinya bangkitan kejang demam pada bayi berat lahir kurang
dari 2500 gram sebesar 3,4% dan bayi berat lahir diatas 2500 berisiko
2,3%. Bayi dengan BBLR dapat mengalami hipokalsemia dan
hipoglikemia. Keadaan tersebut diatas dapat menyebabkan kerusakan otak
sehingga pada perkembangan selanjutnya terganggu dan dapat
menyebabkan kejang.

i. Faktor Asfiksia

Asfiksia merupakan penyebab terbanyak bangkitan kejang demam pada


proses persalinan dan prenatal. Asfiksia dapat menimbulkan adanya lesi di
daerah hipokampus yang selanjutnya dapat menyebabkan kejang.
Bangkitan kejang demam dapat terjadi tergantung pada lamanya asfiksia,
derajat beratnya asfiksia dan usia janin.

j. Faktor partus lama

Persalinan yang sukar dan lama dapat meningkatkan risiko terjainya cedera
mekanik dan hipoksia janin, dengan manifestasi klinis kejang.
Bayi dilahirkan dengan masalah persalinan dapat menyebabkan hipoksi
otak pada saat dilahirkan. Hipoksia menyebabkan kerusakan enzim
glutamic acid decarboxyase (GAD) pada GABA- ergic. Enzim tersebut
berperan dalam pembentukan GABA, sehingga enzim tersebut
menyebabkan pembentukan GABA tergnggu. Gangguan pembentukan
GABA menyebabkan gangguan inhibisi menururn, sehingga menurunkan
nilai ambang kejang.

Chan KK( 2007) melakukan penelitian di sebuah Rumah Sakit di


Hongkong dengan pengambilan data dari tahun 2002-2004 di dapatkan 181
pasien kejang demam. Terdapat 4 (2,2%) bayi lahir dengan riwayat partus
lama mengalami kejang demam.
Dari kesimpulan diatas bayi yang dilahirkan dari ibu dengan problem
kehamilan dan persalinan mempunyai risiko terjadinya kejang demam pada
masa anak.

7. Prognosis
Risiko cacat akibat komplikasi kejang demam tidak pernah

dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada

pasien yang sebelumnya normal. Kelainan neurologis dapat timbul pada

sebagian kecil kasus, yang biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama

atau kejang berulang. Kematian akibat kejang demam tidak pernah dilaporkan.

Anak yang menderita kejang demam berisiko lebih besar

mengalami epilepsi, dibandingkan dengan yang tidak. Derajat risiko

dipengaruhi oleh banyak faktor, tetapi yang terpenting adalah adanya kelainan

status neurologis sebelum kejang, timbulnya kejang demam kompleks, dan

riwayat kejang afebris pada keluarga. Seorang anak yang normal dan

mengalami kejang demam jinak memiliki peningkatan risiko dua kali lipat

mengalami epilepsi.

Gangguan belajar dan perilaku, retardasi mental, defisit koordinasi

dan motorik, status epileptikus, dan kematian pernah dilaporkan sebagai

sekuele kejang demam. Insidensi pasti sekuele-sekuele tersebut tidak

diketahui, dan kejadiannya akan dipengaruhi oleh status pasien sebelum kejang

demam dan tipe kejang itu sendiri. Insidensi penyulit-penyulit ini sangat

rendah pada anak normal yang mengalami kejang demam jinak. Tidak terjadi

peningkatan insidensi retardasi mental pada anak yang hanya mengalami

kejang demam dan yang normal sebelum kejang pertama.

8. Penatalaksanaan dan terapi

Pengelolaan rutin bayi normal yang menderita kejang demam

sederhana meliputi pencatatan yang teliti penyebab demam, cara-cara aktif

untuk mengendalikan demam termasuk penggunaan atipiretik, dan

menenangkan orangtua. Profilaksis antikonvulsan jangka pendek tidak

terindikasi. Profilaksis antikonvulsan yang lama untuk mencegah kejang

demam berulang adalah dalam perdebatan dan tidak lagi dianjurkan.

Antiepilepsi seperti fenitoin dan karbamazepin tidak mempunyai pengaruh

pada kejang demam. Fenobarbital tidak efektif dalam pencegahan kejang


demam berulang dan dapat menurunkan fungsi kognitif pada anak yang diobati

dibanding dengan anak yang tidak diobati. Natrium valproate efektif pada

pengelolaan kejang demam, tetapi kemungkinan risiko obat tidak

membenarkan penggunaannya pada penyakit dengan prognosis yang sangat

baik tanpa pengobatan. Diazepam oral dianjurkan sebagai metode yang efektif

dan aman untuk mengurangi risiko kejang demam berulang. Diazepam

diberikan dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg/hari peroral dibagi dalam 3 dosis,

diberikan untuk selama demam (biasanya 2-3 hari). Efek samping biasanya

ringan, tetapi gejala kelesuan, iritabilitas, dan ataksia dapat dikurangi dengan

menyesuaikan dosis.

Edukasi pada orang tua merupakan bagian penting dari

penetalaksanaan kejang demam. Orangtua sering panik menghadapi kejang

karena merupakan peristiwa yang menakutkan. Kecemasan ini dapat dikurangi

dengan edukasi antara lain meyakinkan bahwa kejang demam umumnya

mempunyai prognosis baik, memberitahukan cara penganganan kejang,

memberi informasi tentang risiko efek samping obat. Sehingga pengelolaan

dan penatalaksanaan kejang demam dapat lebih baik.


Analisis Masalah
1. Kemas, anak laki-laki, usia 14 bulan, dibawa ke klinik pada tanggal 20 Maret 2021 karena
belum bisa duduk dan merangkak.
a. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin terhadap keluhan pada kasus?
Keterlambatan perkembangan lebih banyak terjadi pada laki-laki namun tetap dapat terajadi
pada perempuan, jenis kelamin laki-laki juga menjadi faktor resiko(Pranatal) untuk
mengalami cerebral palsy.
b. Apa saja penyebab bayi usia 14 bulan belum bisa duduk dan merangkak?
Dapat disebabkan penyakit genetik, kelainan anatomi, obat-obat tertentu, toksin, kelainan
neurologis, cerebral palsy, trauma dll.
c. Apa makna klinis Kemas belum bisa duduk dan merangkak?
Makna klinis anak belum bisa duduk dan merangkak ialah terlambatnya perkembangan
aspek motorik kasar

2. Kemas anak pertama dari ibu usia 32 tahun. Lahir spontan dengan bidan pada kehamilan
37 minggu. Selama hamil ibu tidak ada keluhan dan periksa kehamilan ke bidan 3 kali.
Segera setelah lahir langsung menangis. Berat badan lahir 2.800 gram
a. Bagaimana hubungan usia ibu dan riwayat kehamilan / paritas dengan keluhan yang
dialami pada kasus? Pada kasus, tidak ada.
b. Bagaimana hubungan riwayat kelahiran pasien dengan keluhan pada kasus?
Pada kasus, tidak ada.

3. Pada saat usia 8 bulan Kemas baru bisa tengkurap dan itupun belum bisa bolak balik.
Sebelum terkena kejang dan demam itu Kemas sudah bisa tengkurap bolak balik, sudah
bisa tersenyum ke arah ibunya dan perkembangan lainnya sesuai usia. Usia 6 bulan kemas
mengalami kejang dg demam.
a. Bagaimana hubungan kejang dan demam yang dialami dengan keterlambatan
perkembangan bayi?
Pada prognosis kejang, dapat terjadi gangguan belajar dan perilaku, retardasi mental,
defisit koordinasi dan motorik, dan kejadiannya akan dipengaruhi oleh status pasien
sebelum kejang demam dan tipe kejang itu sendiri.
c. Mengapa kejang demam pada bayi ini baru timbul secara tiba tiba pada usia 6 bulan?
Berkaitan dengan fase perkembangan otak yaitu masa development window, masa
dimana dimulainya perkembangan otak dimulai fase organisasi yaitu pada waktu anak
berumur kurang dari 2 tahun. Anak dibawah usia 2 tahun mempunyai nilai ambang
kejang (threshold; stimulasi paling rendah yang dapat menyebabkan depolarisasi
perkembangan otak) rendah, sehingga mudah terjadi kejang demam.
2. Pertanyaan tambahan (Semua ada di LI)
a. Apa diagnosis kerja pada kasus?
b. Apa diagnosis banding pada kasus?
c. Bagaimana etiologi penyakit pada kasus?
d. Bagaimana epidemiologi penyakit pada kasus?
e. Bagaimana faktor risiko penyakit pada kasus?
f. Bagaimana patofisiologi penyakit pada kasus?
g. Bagaimana manifestasi klinis penyakit pada kasus?
h. Bagaimana alur penegakan diagnosis pada kasus?
i. Bagaimana tata laksana penyakit pada kasus ?
j. Bagaimana komplikasi penyakit pada kasus?
k. Bagaimana prognosis dan SKDI 2012 penyakit pada kasus?
m. Bagaimana pencegahan penyakit pada kasus?
DAFTAR PUSTAKA

(An. thn.) Jurnal Universitas Muhammadiyah Malang.


http://eprints.umm.ac.id/48807/3/BAB%20II.pdf. Diakses tanggal 6 April 2021.

(An. thn.) Jurnal Universitas Muhammadiyah Semarang.


http://repository.unimus.ac.id/1522/3/bab%202.pdf. Diakses tanggal 6 April 2021.

Abel-Hamid, H. Z., Zeldin, A. S., Bazzano, A. T. F., Ratanawongsa, B. (2018). Cerebral


palsy. eMedicine Medscape. https://emedicine.medscape.com/article/1179555-
overview. Diakses tanggal 6 April 2021.

Hallman-Cooper JL, Gossman W. Cerebral Palsy. [Updated 2019 Jul 18]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538147/

Krigger, K. W. (2006). Cerebral palsy: an overview. American family physician, 73(1),


91-100.

O’Shea, T. M. (2008). Diagnosis, treatment, and prevention of cerebral palsy in near-


term/term infants. Clinical obstetrics and gynecology, 51(4), 816.

Udin, M. A. A. (thn.) Jurnal Universitas Diponegoro.


http://eprints.undip.ac.id/44819/3/MUHAMAD_ARIP_AMIR_UDIN_22010110130
150_Bab2KTI.pdf. Diakses tanggal 6 April 2021.

Anda mungkin juga menyukai