Learning Issue
Tutorial Blok 23 – Skenario A
Cerebral Palsy
1. Definisi
Cerebral palsy adalah Sekelompok gangguan perkembangan gerakan dan
postur menyebabkan keterbatasan aktivitas yang dikaitkan dengan gangguan
non-progresif yang terjadi pada otak janin atau bayi yang sedang berkembang.
Gangguan motorik cerebral palsy sering disertai dengan gangguan sensasi,
kognisi, komunikasi, persepsi, dan / atau perilaku dan / atau gangguan kejang.
3. Epidemiologi
Insidensi PS di negara maju sebesar 2-2,5 per 1000 kelahiran hidup;
insidensnya lebih tinggi pada bayi prematur dan bayi kembar. Prematuritas
dan BBLR (menyebabkan asfiksia perinatal), malformasi kongenital, dan
kernikterus adalah penyebab serebral palsi yang diketahui saat lahir. Palsi
serebral sering terjadi pada anak pertama, mungkin karena anak pertama lebih
sering mengalami kesulitan pada waktu dilahirkan (Nelson, 2018).
Data dari central for disease control and prevention mengindikasikan bahwa
insidensi CP adalah sekitar 3,6 per 1000 anak dangan rasio laki-laki : wanita
sebesar 1,4 : 1.
4. Klasifikasi
Berdasarkan letak kelainan otak dan fungsi gerak Cerebral palsy dibagi menjadi
4 kategori, yaitu:
1) Cerebral Palsy Spastik
Cerebral palsy spastik merupakan bentukan CP Anatomi yang
mengalami kerusakan pada kortex cerebellum yang menyebabkan
hiperaktive reflex dan stretch reflex terjadi terbanyak (70-80%). Otot
mengalami kekakuan dan secara permanen akan menjadi kontraktur. Jika
kedua tungkai mengalami spastisitas pada saat seseorang berjalan, kedua
tungkai tampak bergerak kaku dan lurus. Cerebral Palsy spastik dapat
dikelompokkan menurut kelainan pokoknya, yaitu berdasarkan jumlah
ekstremitas yang terkena :
a. Monoplegia Bila hanya mengenai 1 ekstremitas saja, biasanya lengan.
b. Diplegia Keempat ekstremitas terkena, tetapi kedua kaki lebih berat
daripada kedua lengan.
c. Tetraplegia/Quadriplegia Tetraplegia bila mengenai 3 ekstremitas, yang
paling banyak adalah mengenai kedua lengan dan 1 kaki. Quadriplegia
bila keempat ekstremitas terkena dengan derajat yang sama.
d. Hemiplegia Bila mengenai salah satu sisi tubuh dan lengan terkena
lebih berat, Serangan epilepsi fokal tidak begitu umum, tetapi secara
banding lebih sering dijumpai pada anak hemiplegia spastik daripada
anak non-spastik.
5. Patofisiologi
Pada CP terjadi kerusakan pada pusat motorik dan menyebabkan terganggunya
fungsi gerak yang normal. Pada kerusakan korteks cerebri terjadi kontraksi otak
yang terus menerus dimana disebabkan karena tidak terdapatnya inhibisi
langsung pada lengkung reflex. Bila terdapat cidera berat pada system ekstra
pyramidal dapat menyebabkan gangguan pada semua gerak atau hypotonic,
termasuk kemampuan bicara. Namun bila hanya cedera ringan maka gerakan
gross motor dapat dilakukan tetapi tidak terkoordinasi dengan baik dan
gerakan motorik halus sering kali tidak dapat dilakukan. Gangguan proses
sensorik primer terjadi di sereblum yang mengakibatkan terjadinya ataksia.
Pada keterbatasan gerak akibat fungsi motor control akan berdampak juga
pada proses sensorik
7. Diagnosis Banding
a. HSP (hereditary spastic paraplegia) with pediatric onset
b. Sagawa disease
c. Monoamine transmitter disorder
d. treatable inborn error of metabolism
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Electroencephalogram (EEG)
EEG dapat dilakukan dari usia bayi sampai dewasa.merupakan
salah satu pemeriksaan penting pada pasien dengan kelainan susunan saraf
pusat. Alat ini bekerja dengan prinsip mencatat aktivitas elektrik di dalam
otak, terutama pada bagian korteks (lapisan luar otak yang tebal). Dengan
pemeriksaan ini, aktifitas sel-sel saraf otak kortek yang fungsinya untuk
kegiatan sehari-hari, seperti tidur, istirahat, dan lainlain, dapat direkam.
Pada infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis,
pemeriksaan EEG perlu dilakukan untuk melihat kemungkinan, misalnya
terjadi kejang yang tersembunyi atau adanya bagian otak yang terganggu.
c. Tes Laboratorium
1) Analisa kromosom
Analisis kromosom dapat menunjukkan identifikasi suatu anomali
genetic, contohnya Down’s syndrome, ketika anomali tersebut muncul
pada sistem organ.
2) Tes fungsi tiroid
Tes fungsi tiroid dapat menunjukkan kadar hormon tiroid yang
rendah dapat menyebabkan beberapa cacat bawaan dan retardasi
mental berat.
3) Tes kadar ammonia darah
Kadar ammonia yang tinggi dalam darah (hiperammonemia)
bersifat toksik terhadap sistem saraf pusat (otak dan sumsum tulang
belakang). Defisiensi beberapa enzim menyebabkan kerusakan asam
amino yang menimbulkan hiperammonemia. Hal ini dapat disebabkan
oleh kerusakan hati atau kelainan metabolisme bawaan
3) Koreksi operasi.
Bertujuan untuk mengurangi spasme otot, menyamakan kekuatan otot yang
antagonis, menstabilkan sendi-sendi dan mengoreksi deformitas. Tindakan
operasi lebih sering dilakukan pada tipe spastik dari pada tipe lainnya. Juga
lebih sering dilakukan pada anggota gerak bawah dibanding dengan anggota
gerak atas. Prosedur operasi yang dilakukan disesuaikan dengan jenis
operasinya, apakah operasi itu dilakukan pada saraf motorik, tendon, otot
atau pada tulang.
4) Obat-obatan.
Pemberian obat-obatan pada CP bertujuan untuk memperbaiki gangguan
tingkah laku, neuro-motorik, spastisitas dan untuk mengontrol serangan
kejang.
10. Komplikasi
Komplikasi cerebral palsy dapat mempengaruhi banyak sistem. Sebagai
contoh, komplikasi kulit termasuk bisul dan luka dekubitus; Komplikasi
ortopedi dapat meliputi kontraktur, dislokasi pinggul, dan / atau skoliosis.
Komplikasi dapat muncul sebagai berikut:
11. Prognosis
Sebagian besar anak-anak dengan cerebral palsy akan bertahan hidup hingga
dewasa. Penyebab kematian dini yang paling umum adalah penyakit
pernapasan, biasanya pneumonia aspirasi.
Prognosis kemampuan motorik tergantung pada subtipe cerebral palsy, laju
perkembangan motorik, kepastian refleks perkembangan, dan kemampuan
kognitif.
Meskipun demikian, karena sekitar setengah dari semua kasus baru cerebral
palsy muncul dari kelompok neonatus yang lahir prematur, ada kemungkinan
intervensi yang memperpanjang kehamilan atau menurunkan risiko kelahiran
prematur juga akan menurunkan risiko cerebral palsy. Pendekatan khusus
untuk mengurangi angka kelahiran prematur, yang didukung oleh bukti tingkat
tinggi, termasuk membatasi jumlah embrio yang ditransfer dengan fertilisasi in
vitro, berhenti merokok selama kehamilan, skrining dan pengobatan
bakteriuria asimtomatik selama kehamilan, obat antiplatelet hingga cegah
preeklamsia, 17α-progesteron caproate, dan serviks untuk wanita dengan
riwayat kelahiran prematur dan serviks pendek (yaitu, <2,5 cm). Selain itu,
intervensi yang telah terbukti memperpanjang kehamilan termasuk
penghambat saluran kalsium dan antagonis oksitosin (atosiban) untuk wanita
dengan persalinan prematur dan eritromisin untuk wanita dengan ketuban
pecah dini. Selain pengukuran ini, hasil meta-analisis dari empat uji coba
menunjukkan bahwa pengobatan ibu yang diharapkan melahirkan sebelum 36
minggu kehamilan dengan glukokortikoid (misalnya β-metason) mengurangi
risiko cerebral palsy. Dalam Uji Kolaborasi Australasia dari Magnesium
Sulfat, pengobatan magnesium sulfat pada ibu yang berisiko melahirkan
prematur sebelum usia kehamilan 30 minggu mengurangi risiko disfungsi
motorik kasar yang substansial, dan dalam uji coba acak multisenter di Prancis
kecenderungan penurunan kerusakan materi putih otak diamati. Informasi
lebih lanjut tentang kemungkinan manfaat magnesium sulfat antenatal
diharapkan segera dari uji coba National Institutes of Health Maternal Fetal
Medicine Network (Manfaat Antenatal Magnesium Sulfate).
Pada bayi prematur, kafein adalah satu-satunya terapi yang telah ditunjukkan
dalam uji coba multisenter untuk menurunkan risiko cerebral palsy. Dalam uji
coba ini, bayi dengan berat badan lahir sangat rendah diacak dengan kafein
atau plasebo pada hari-hari pertama kehidupan. Walaupun hasilnya mungkin
hanya berlaku untuk sebagian kecil bayi prematur, subkelompok inilah yang
berisiko tertinggi mengalami cerebral palsy. Steroid pascakelahiran, diberikan
kepada bayi prematur untuk mengurangi peradangan paru dan menurunkan
risiko displasia bronkopulmonalis, meningkatkan risiko palsi serebral.
Sehingga dengan membatasi penggunaan pengobatan ini diharapkan dapat
mengurangi resiko terjadinya cerebral palsy. Tujuan dari uji coba yang baru
saja diselesaikan oleh National Institutes of Health Neonatal Research
Network adalah untuk mempelajari efek fototerapi agresif untuk
hiperbilirubinemia pada hasil perkembangan saraf. Hasil uji coba ini mungkin
relevan dengan pencegahan cerebral palsy pada bayi berat lahir sangat rendah.
bulan sampai 5 tahun dan berhubungan dengan demam serta tidak didapatkan
neonatus, tidak ada faktor pencetus sebelumnya atau ditemukan kriteria dari
kejang demam yang berlangsung singkat, biasanya kurang dari 15 menit dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang demam kompleks mempunyai ciri yaitu
kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial,
terjadi lebih dari satu kali dalam 24 jam, atau terjadi lebih dari 15 menit.
3. Epidemiologi
Pendapat para ahli tentang usia penderita saat terjadi bangkitan
kejang demam tidak sama. Pendapat para ahli terbanyak kejang demam terjadi
pada waktu anak berusia antara 3 bulan sampai 5 tahun. Menurut The
prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan di Eropa
kepulauan Mariana (Guam), telah dilaporkan insiden kejang demam yang lebih
besar, mencapai 14%. Pronosis kejang demam baik, kejang demam bersifat
dan faktor predileksi kejang demam di Indonesia sama dengan negara lain.
Kira-kira satu sampai tiga anak dengan kejang demam pernah mempunyai
riwayat kejang demam sebelumnya, dengan sekitar 75% terjadi pada tahun
yang sama dengan kejang demam pertama, dan sekitar 90% terjadi pada tahun
4. Patofisiologi
Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan
muatan listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsipada
membran. Potensial membran yaitu selisih antara intrasel dan ekstrasel. Potensial
membran berkisar antara 30-100Mv, selisih potensial membran ini akan tetap
sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan. Potensial membran ini terjadi
+ + ++
akibat perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama ion Na , K , dan Ca . Bila
+
menyebabkan permeabilitas membrane terhadap ion Na akan meningkat,
+
sehingga Na akan mengalami lebih banyak masuk ke dalam sel. Selama
+ -
oleh transport aktif ion dan ion , sehingga selisih potensial kembali ke keadaan
disebut respon lokal. Bila rangsangan cukup kuat perubahan potensial dapat
+
Na akan meningkat secara besar-besaran pula, sehingga timbul spike
Potensial aksi ini akan dihantarkan ke sel saraf berikutnya melalui sinap
+ +
istirahat, dengan cara Na akan kembali ke luar sel dan K masuk ke dalam
sel melalui mekanisme pompa Na-K yang membutuhkan ATP dari sintesa
glukosa dan oksigen.
hipomagnesemia.
menimbulkan kejang.
otak, jantung, otot, dan terjadi ganggaun pusat pengatur suhu. Demam akan
bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa
a. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum
matang/ immatur.
Kejang demam biasanya terjadi pada awal demam. Sering diperkirakan bahwa
menangis, kemudian tidak sadar dan timbul kekakuan otot. Selama fase tonik,
mungkin disertai henti nafas dan inkontinensia. Kemudian diikuti fase klonik
berulang, ritmik dan akhirnya anak setelah kejang latergi atau tidur.
Bentuk kejang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik ke atas
dengan disertai kekakuan, atau hanya sentakan atau kekakuan fokal. Serangan
memberikan reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau
menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa kelainan neurologis. Kejang
demam kompleks dapat disertai hemiparesis, kemudian dapat pula
berlangsung lebih dari 30 menit. Jadi umumnya anak tidak kejang lagi pada
waktu dibawa ke dokter. Bila anak kejang lagi perlu diidentifikasi apakah ada
tegang atau membenjol, tanda Kernig atau Brudzinski, kekuatan dan tonus, harus
diperiksa dengan teliti dan dinilai ulang secara periodik. Kira-kira 6% anak akan
mengalami rekurensi dalam 24 jam pertama, namun belum diketahui kasus yang
Faktor risiko utama kejang demam berulang adalah umur saat onset
kejang demam pertama kali, umur makin awal makin berisiko kejang berulang.
Tiga faktor risiko kejang demam berulang adalah serangan kejang berlangsung
lama lebih dari 30 menit, dalam satu episode lebih dari satu kali, dan terdapat
defisit neurologis pasca kejang. Selain itu, faktor lain yang berperan antara lain
jenis kelamin laki-laki, riwayat kejang dalam keluarga, jenis kelamin wanita
6. Faktor resiko
a.Faktor suhu
Anak dengan demam lebih dari 39˚C mempunyai risiko untuk mengalami
kejang 4,5 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang mengalami
demam kurang dari 39˚C. Demam pada anak paling sering disebabkan oleh
infeksi. Demam yang disebabkan infeksi virus menjadi penyebab tersering
terjadinya kejang demam, sekitar 80% angka kejadiannya. Setiap terjadi
kenaikan suhu tubuh 1˚C dapat meningkatkan metabolisme karbohidrat
10-15%. Dengan peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan
kebutuhan glukose dan oksigen. Pada demam tinggi akan mengakibatkan
hipoksi jaringan ke otak. Demam berperan dalam terjadinya perubahan
potensial membran dan akan menurunkan nilai ambang kejang. Bangkitan
kejang terjadi pada suhu tubuh 37˚C – 38,9˚C sebanyak 11% penderita,
pada suhu 38,9˚- 39,9˚C sebanyak 69% penderita dan demam diatas 40˚C
sebanyak 20%.
b. Faktor usia
Dari penelitian yang pernah dilakukan sekitar 2,5 – 5% anak pernah mengalami
kejang demam sebelum umur 5 tahun.1 Kejang demam banyak mengenai anak usia 3
bulan – 5 tahun dan terbanyak umur 14- 18 bulan. 2,3 Kejang demam terjadi lebih dari
90% pada anak usia di bawah 5 tahun. 4 Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun
setidaknya pernah mengalami sekali kejang selama hidupnya.
Laki-laki lebih berisiko terjadi kejang demam, dua kali lipat lebih banyak
dari perempuan dengan perbandingan 2:1. Hal tersebut disebabkan karena
pada wanita di didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat dibandingkan
laki-laki.
Diperkuat dengan penelitian yang dilakukan di RSUP Dr.Kariadi pada
bulan Oktober tahun 2010 dengan 36 kasus, menunjukkan bahwa 19 pasien
laki-laki menderita kejang demam dan 17 sisanya adalah perempuan.
Hasil penelitian lain juga menyebutkan dari 148 penderita kejang demam,
terdiri dari laki-laki 94 (63,5%) dan perempuan sebanyak 54 (36,5%)
penderita.
Usia ibu saat hamil berperan dalam menentukan status kesehatan bayi yang
dilahirkan. Pada usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
lebih berisiko menyebabkan adanya komplikasi kehamilan dan persalinan.
Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan prematuritas,
bayi berat lahir rendah dan partus lama. Keadaan tersebut dapat
menyebabkan bayi lahir asfiksia. Pada asfiksia terjadi hipoksi dan iskemi.
Hipoksi dapat menyebabkan rusaknya faktor inhibisi sehingga mudah
timbul kejang.
Anak yang dilahirkan dari ibu dengan kehamilan postterm dan ibu yang
mempunyai riwayat kejang demam mempunyai risiko terjadi kejang
demam sebesar 28%. Bayi lahir preterm berisiko 3 kali untuk terjadi kejang
demam dibandingkan bayi yang lahir aterm.
h. Faktor BBLR
Bayi dengan berat lahir rendah yaitu bayi lahir kurang dari 2500 gram.
Risiko terjadinya bangkitan kejang demam pada bayi berat lahir kurang
dari 2500 gram sebesar 3,4% dan bayi berat lahir diatas 2500 berisiko
2,3%. Bayi dengan BBLR dapat mengalami hipokalsemia dan
hipoglikemia. Keadaan tersebut diatas dapat menyebabkan kerusakan otak
sehingga pada perkembangan selanjutnya terganggu dan dapat
menyebabkan kejang.
i. Faktor Asfiksia
Persalinan yang sukar dan lama dapat meningkatkan risiko terjainya cedera
mekanik dan hipoksia janin, dengan manifestasi klinis kejang.
Bayi dilahirkan dengan masalah persalinan dapat menyebabkan hipoksi
otak pada saat dilahirkan. Hipoksia menyebabkan kerusakan enzim
glutamic acid decarboxyase (GAD) pada GABA- ergic. Enzim tersebut
berperan dalam pembentukan GABA, sehingga enzim tersebut
menyebabkan pembentukan GABA tergnggu. Gangguan pembentukan
GABA menyebabkan gangguan inhibisi menururn, sehingga menurunkan
nilai ambang kejang.
7. Prognosis
Risiko cacat akibat komplikasi kejang demam tidak pernah
sebagian kecil kasus, yang biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama
atau kejang berulang. Kematian akibat kejang demam tidak pernah dilaporkan.
dipengaruhi oleh banyak faktor, tetapi yang terpenting adalah adanya kelainan
riwayat kejang afebris pada keluarga. Seorang anak yang normal dan
mengalami kejang demam jinak memiliki peningkatan risiko dua kali lipat
mengalami epilepsi.
diketahui, dan kejadiannya akan dipengaruhi oleh status pasien sebelum kejang
demam dan tipe kejang itu sendiri. Insidensi penyulit-penyulit ini sangat
rendah pada anak normal yang mengalami kejang demam jinak. Tidak terjadi
dibanding dengan anak yang tidak diobati. Natrium valproate efektif pada
baik tanpa pengobatan. Diazepam oral dianjurkan sebagai metode yang efektif
diberikan untuk selama demam (biasanya 2-3 hari). Efek samping biasanya
ringan, tetapi gejala kelesuan, iritabilitas, dan ataksia dapat dikurangi dengan
menyesuaikan dosis.
2. Kemas anak pertama dari ibu usia 32 tahun. Lahir spontan dengan bidan pada kehamilan
37 minggu. Selama hamil ibu tidak ada keluhan dan periksa kehamilan ke bidan 3 kali.
Segera setelah lahir langsung menangis. Berat badan lahir 2.800 gram
a. Bagaimana hubungan usia ibu dan riwayat kehamilan / paritas dengan keluhan yang
dialami pada kasus? Pada kasus, tidak ada.
b. Bagaimana hubungan riwayat kelahiran pasien dengan keluhan pada kasus?
Pada kasus, tidak ada.
3. Pada saat usia 8 bulan Kemas baru bisa tengkurap dan itupun belum bisa bolak balik.
Sebelum terkena kejang dan demam itu Kemas sudah bisa tengkurap bolak balik, sudah
bisa tersenyum ke arah ibunya dan perkembangan lainnya sesuai usia. Usia 6 bulan kemas
mengalami kejang dg demam.
a. Bagaimana hubungan kejang dan demam yang dialami dengan keterlambatan
perkembangan bayi?
Pada prognosis kejang, dapat terjadi gangguan belajar dan perilaku, retardasi mental,
defisit koordinasi dan motorik, dan kejadiannya akan dipengaruhi oleh status pasien
sebelum kejang demam dan tipe kejang itu sendiri.
c. Mengapa kejang demam pada bayi ini baru timbul secara tiba tiba pada usia 6 bulan?
Berkaitan dengan fase perkembangan otak yaitu masa development window, masa
dimana dimulainya perkembangan otak dimulai fase organisasi yaitu pada waktu anak
berumur kurang dari 2 tahun. Anak dibawah usia 2 tahun mempunyai nilai ambang
kejang (threshold; stimulasi paling rendah yang dapat menyebabkan depolarisasi
perkembangan otak) rendah, sehingga mudah terjadi kejang demam.
2. Pertanyaan tambahan (Semua ada di LI)
a. Apa diagnosis kerja pada kasus?
b. Apa diagnosis banding pada kasus?
c. Bagaimana etiologi penyakit pada kasus?
d. Bagaimana epidemiologi penyakit pada kasus?
e. Bagaimana faktor risiko penyakit pada kasus?
f. Bagaimana patofisiologi penyakit pada kasus?
g. Bagaimana manifestasi klinis penyakit pada kasus?
h. Bagaimana alur penegakan diagnosis pada kasus?
i. Bagaimana tata laksana penyakit pada kasus ?
j. Bagaimana komplikasi penyakit pada kasus?
k. Bagaimana prognosis dan SKDI 2012 penyakit pada kasus?
m. Bagaimana pencegahan penyakit pada kasus?
DAFTAR PUSTAKA
Hallman-Cooper JL, Gossman W. Cerebral Palsy. [Updated 2019 Jul 18]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538147/