NIM : 04011181722150
Kelas : Alpha 2017
Learning Issue
1. Brugia Malayi
ii. Vektor
B. malayi yang hidup pada manusia dan hewan biasanya ditularkan oleh
berbagai spesies Mansonia seperti Ma. uniformis, Ma. bonneae, Ma. dives, dan
lain-lain yang berkembang biak di daerah rawa di Sumatera, Kalimantan, dan
Maluku. B. malayi periodik ditularkan oleh Anopheles barbitoris yang memakai
sawah sebagai tempat perindukannya seperti di daerah Sulawesi.
iii. Distribusi Geografik
Saat ini, lebih dari 1,3 miliar orang di 72 negara berisiko terkena penyakit
ini. Sekitar 65% dari mereka yang berisiko terinfeksi tinggal di wilayah Asia
Tenggara, dan 30% di Wilayah Afrika, dan sisanya di daerah tropis lainnya.
Filariasis dilaporkan di Indonesia sejak ditemukan scrotal elephantiasis pada
tahun 1889, dan sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat,
terutama di daerah pedesaan. B. malayi bersifat fokal terdapat dari Sumatera
sampai kepulauan Maluku.
iv. Morfologi
a. Cacing Dewasa
- Bentuknya halus seperti benang, warnanya putih susu
- Cacing betina panjangnya 55 mm x 0,16 mm
- Cacing jantan ukurannya lebih kecil dari cacing betina 22-23 mm x 0,09
mm dan ekornya melengkung kea rah ventral
b. Mikrofilaria
- Panjang kepala = 2x lebar kepala
- Berukuran 177-230 mikron
- Lekuk badan kaku (kink-kink)
- Inti berkelompok dan susunannya tidak teratur, pada ekornya terdapat 2
caudal nuclei (inti tambahan)
- Mempunyai sheath (selubung) berwarna merah muda pada pengecatan
giemsa.
c. Di dalam tubuh nyamuk berkembang dari larva satium I menjadi larva
stadium II dan III (menyerupai perkembangan W. bancrofti).
v. Siklus Hidup
Siklus tersebut dimulai dari dalam tubuh nyamuk sampai menimbulkan penyakit
filariasis adalah sebagai berikut:
[4] di dalam tubuh nyamuk spesies Mansonia atau Anopheles, mikrofilaria yang
ikut terhisap waktu menghisap darah akan
[5] melepaskan sarungnya dan melakukan penetrasi pada dinding lambung dan
berpindah ke otot thorax
[6] didalam thorax mikrofilaria berkembang dari larva stadium I (mengalami 2
kali pergantian kulit)
[7] hingga menjadi larva stadium III yang infektif
[8] larva akan berpindah ke bagian proboscis nyamuk.
[1] Larva infektif (larva stadium III) akan masuk melalui lubang bekas tusukan
nyamuk di kulit dan selanjutnya
[2] larva infektif akan bergerak mengikuti saluran limfa. Sebelum menjadi cacing
dewasa, larva infektif tersebut akan mengalami pergantian kulit bentuk sebanyak
dua kali
[3] mikrofilaria memproduksi sarung dan bergerak hingga mencapai aliran
pembuluh darah.
Larva stadium III (masa inkubasi ekstrinsik dari parasit) Brugia malayi
memerlukan waktu 3,5 bulan untuk menjadi cacing dewasa dalam tubuh manusia
dan memerlukan waktu 10 hari untuk masa pertumbuhan dalam tubuh nyamuk.
vi. Patofisiologi
Parasit memasuki sirkulasi saat nyamuk menghisap darah lalu parasit akan
menuju pembuluh limfa dan nodus limfa. Di pembuluh limfa terjadi perubahan
dari larva stadium 3 menjadi parasit dewasa. Cacing dewasa akan menghasilkan
produk – produk yang akan menyebabkan dilaasi dari pembuluh limfa sehingga
terjadi disfungsi katup yang berakibat aliran limfa retrograde. Akibat dari aliran
retrograde tersebut maka akan terbentuk limfedema.
Pada filariasis brugia, sistem limfe alat kelamin tidak pernah terkena,
berbeda dengan filariasis bankrofti. Limfedema biasanya hilang lagi setelah gejala
peradangan menyembuh, tetapi dengan serangan berulang kali, lambat laun
pembengkakan tungkai tidak menghilang setelah gejala peradangan sembuh,
sehingga timbullah elefantiasis. Selain kelenjar limfe inguinal, kelenjar limfe lain
di bagian medial tungkai, di ketiak dan di bagian medial lengan juga sering
terkena.
Filariasis dapat menimbulkan gangguan saluran napas yang disebut
sebagai Tropical Pulmonary Eosinophilia (TPE), pada keadaan ini terjadi
hiperesponsif reaksi imunologi terhadap antigen filaria. Gejala yang timbul adalah
hipereosinofilia (20-90%), kadang-kadang disertai batuk dengan sesak napas,
pembesaran kelenjar limfe dan tidak ditemukan mikrofilaria dalam darah.
Beberapa keadaan klinis lain seperti arthritis, tenosynovitis, fibrosis
endomiokardial, glomerulonephritis kadang-kadang merupakan manifestasi klinis
dari occult filariasis.
viii. Diagnosis
a. Diagnosis parasitologi
Deteksi parasit yaitu menemukan microfilaria di dalam darah, cairan hidrokel,
atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah. Pengambilan darah hanya
dilakukan pada malam hari (pukul 20.00) karena periodisitas microfilaria
umumnya nokturna. Selain itu teknik biologi molekuler dapat digunakan untuk
mendeteksi parasit melalui DNA parasit dengan menggunakan reaksi rantai
polimerase. Teknik ini mampu memperbanyak DNA sehingga dapat digunakan
untuk mendeteksi parasit.
b. Radiodiagnosis
Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah
bening inguinal pasien akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak.
Pemeriksaan ini hanya dapat digunakan untuk infeksi filarial oleh W.bancrofti.
c. Diagnosis Imunologi
Deteksi antigen dengan imunochromatographic (ICT) yang menggunakan
antibody monoclonal telah dikembangkan untuk mendeteksi antigen W.bancrofti
dalam sirkulasi darah. Hasil tes positif menunjukkan adanya infeksi aktif
walaupun microfilaria tidak ditemukan dalam darah. Deteksi antibody dengan
menggunakan rekombinan telah dikembangkan untuk mendeteksi antibody
subklas IgG4 pada filariasis Brugia. Kadar antibody IgG4 meningkat pada
penderita mikrofilaremia. Pada stadium obstruktif, microfilaria sering tidak
ditemukan lagi di darah. Kadang-kadang mikrofilaria tidak dijumpai dalam darah,
tetapi ada di dalam cairan hidrokel atau cairan kiluria.
Hingga sekarang DEC masih merupakan obat pilihan. Dosis yang dipakai di
beberapa negara Asia berbeda-beda. Di Indonesia dosis yang dianjurkan adalah 5
mg/kg berat badan/hari selama 10 hari. Efek samping DEC pada pengobatan filariasis
brugia jauh lebih berat, bila dibandingkan dengan yang terdapat pada pengobatan
filariasis bankrofti. Efek samping pengobatan akan berkurang pada ulangan
pengobatan.
Pengobatan dengan ivermektin sama dengan pada filariasis bankrofti. Untuk
mendapatkan hasil penyembuhan yang sempurna, pengobatan ini diulang beberapa
kali. Stadium mikrofilaremia, peradangan limfedema dan elefantiasis dini dapat
disembuhkan dengan pengobatan DEC. Beberapa kasus elefantiasis lanjut dapat pula
diobat dengan DEC.
Untuk program pemberantasan filariasis, pengobatan yang dianjurkan adalah
kombinasi DEC 6 mm/kg BB dengan albendazol 400 mg yang diberikan sekali
setahun secara massal pada penduduk di daerah endemis selama minimal 5 tahun.
2. Interpretasi Pemeriksaan
Pemeriksaan Khusus
Nilai Normal Kasus
Tensi 120/80 110/80 Normal
Respiration 16 – 20 x/ menit 24 x/ menit Takipnea
Rate (nafas cepat
Temperatur 36℃ - 37,5℃ 38℃ Demam
Nadi 60 – 100 x/ menit 100 x/ menit Normal
Terjadi Takipnea karena terjadi Tropical Pulmonary Eosinophilia yaitu gangguan saluran
nafas disebabkan hiperesponsif reaksi imunologi terhadap antigen filaria. Gejala yang
timbul adalah hipereosinofilia (20-90%) kadang-kadang disertai batuk dengan sesak
napas.
Terjadi demam
Perubahan larva stadium III menjadi parasit dewasa menyebabkan antigen parasit
mengaktifkan sel T terutama sel Th2 sehingga melepaskan sitokin seperti IL 1, IL 6, TNF
α. Sitokin - sitokin ini akan menstimulasi sum- sum tulang sehingga terjadi eosinofilia
yang berakibat meningkatnya mediator proinflamatori dan sitokin juga akan merangsang
ekspansi sel B klonal dan meningkatkan produksi IgE. IgE yang terbentuk akan berikatan
dengan parasit sehingga melepaskan mediator inflamasi sehingga timbul demam.
Terdapat benjolan dan abses pada limfe inguinale kiri
Kerusakan pembuluh getah bening akibat inflamasi yang ditimbulkan oleh cacing dewasa
yang hidup di pembuluh getah bening aferen atau sinus kelenjar getah bening dan
menyebabkan pelebaran pembuluh getah bening dan penebalan dinding pembuluh.
Infiltrasi sel plasma, eosinofil, dan makrofag di dalam dan sekitar pembuluh getah bening
yang mengalami inflamasi bersama dengan proliferasi sel endotel dan jaringan ikat,
menyebabkan berliku-likunya sistem limfatik dan kerusakan atau inkompetensi katup
pembuluh getah bening. Perubahan pembuluh limfe dapat berbentuk obstruksi, atresi atau
dilatasi dan dapat pula terjadi aliran balik ke arah kulit (dermal back flow).
Saluran limfe mempunyai 2 saluran yaitu:
1). Ductus thoracikus atau duktus limpatikus sinistra
Merupakan kumpulan dari pembuluh limfe yang berasal dari kepala kiri, leher kiri, dada
sebelah kiri bagian perut, anggota gerak bawah dan alat-alat dalam rongga perut.
2). Duktus limpatikus dekstra
Merupakan pembuluh limfe yang menerima limfe dari pembuluh limfe yang berasal dari
kepala kanan, leher kanan, dada kanan dan lengan sebelah kanan yang bermuara pada
vena kava subklavia dekstra.
Pada kasus cacing B. malayi bergerak mengikuti ductus limpatikus sinistra/ ductus
thoracikus sehingga sampai ke limfe inguinal sebelah kiri (disatu sisi saja dan merupakan
ciri khas filariasis malayi)
DAFTAR PUSTAKA