Anda di halaman 1dari 11

Nama : Wira Veronica

NIM : 04011181722150
Kelas : Alpha 2017

Tutorial Kelompok 2 Skenario A Blok 8 Tahun 2018

Learning Issue
1. Brugia Malayi

i. Hospes dan Nama Penyakit


Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang
disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,
Culex, Armigeres. Kepadatan mikrofilaria dalam pembuluh darah perifer pada
manusia dan hewan menunjukkan perilaku mikrofilaria yang berbeda pada tiga
jenis mikrofilaria yaitu W. bancrofti, B. malayi dan B. timori. Perilaku
mikrofilaria yang berbeda disebut periodisitas mikrofilaria terdiri dari periodik
nokturna, subperiodik nokturna dan non periodik.
Periodik nokturna yaitu bila kepadatan mikrofilaria ditemukan tinggi pada
malam hari dan hampir tidak ada pada siang hari, sedangkan subperiodik
nokturna, apabila mikrofilaria ditemukan sepanjang hari, yang kepadatan
mikrofilarianya lebih banyak pada malam hari dibandingkan siang hari. Adapun
nonperiodik yaitu mikrofilaria ditemukan sepanjang hari, baik pada siang hari
maupun pada malam hari dengan volume yang hampir sama. Perilaku mikrofilaria
dalam darah perifer berbeda-beda, hal ini disebabkan karena adanya kadar zat
asam dan zat lemas di dalam darah, aktivitas hospes, “irama sirkardian”, jenis
hospes dan jenis parasit, tetapi mekanisme periodisitas mikrofilaria tersebut
belum diketahui
Malayan filariasis atau filariasis malayi merupakan sebutan untuk filariasis
yang disebabkan oleh infeksi Brugia malayi. B. malayi dapat dibagi dalam 2
varian yaitu yang hidup pada manusia, dan yang hidup pada manusia dan hewan,
misalnya kera, kucing, dan lain-lain. B. malayi bersifat zoonosis karena selain
ditularkan melalui nyamuk dari manusia ke menusia juga dapat dari hewan
(kucing dan primata terutama jenis Presbytis) ke manusia.

ii. Vektor
B. malayi yang hidup pada manusia dan hewan biasanya ditularkan oleh
berbagai spesies Mansonia seperti Ma. uniformis, Ma. bonneae, Ma. dives, dan
lain-lain yang berkembang biak di daerah rawa di Sumatera, Kalimantan, dan
Maluku. B. malayi periodik ditularkan oleh Anopheles barbitoris yang memakai
sawah sebagai tempat perindukannya seperti di daerah Sulawesi.
iii. Distribusi Geografik
Saat ini, lebih dari 1,3 miliar orang di 72 negara berisiko terkena penyakit
ini. Sekitar 65% dari mereka yang berisiko terinfeksi tinggal di wilayah Asia
Tenggara, dan 30% di Wilayah Afrika, dan sisanya di daerah tropis lainnya.
Filariasis dilaporkan di Indonesia sejak ditemukan scrotal elephantiasis pada
tahun 1889, dan sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat,
terutama di daerah pedesaan. B. malayi bersifat fokal terdapat dari Sumatera
sampai kepulauan Maluku.

iv. Morfologi
a. Cacing Dewasa
- Bentuknya halus seperti benang, warnanya putih susu
- Cacing betina panjangnya 55 mm x 0,16 mm
- Cacing jantan ukurannya lebih kecil dari cacing betina 22-23 mm x 0,09
mm dan ekornya melengkung kea rah ventral
b. Mikrofilaria
- Panjang kepala = 2x lebar kepala
- Berukuran 177-230 mikron
- Lekuk badan kaku (kink-kink)
- Inti berkelompok dan susunannya tidak teratur, pada ekornya terdapat 2
caudal nuclei (inti tambahan)
- Mempunyai sheath (selubung) berwarna merah muda pada pengecatan
giemsa.
c. Di dalam tubuh nyamuk berkembang dari larva satium I menjadi larva
stadium II dan III (menyerupai perkembangan W. bancrofti).
v. Siklus Hidup

Siklus tersebut dimulai dari dalam tubuh nyamuk sampai menimbulkan penyakit
filariasis adalah sebagai berikut:
[4] di dalam tubuh nyamuk spesies Mansonia atau Anopheles, mikrofilaria yang
ikut terhisap waktu menghisap darah akan
[5] melepaskan sarungnya dan melakukan penetrasi pada dinding lambung dan
berpindah ke otot thorax
[6] didalam thorax mikrofilaria berkembang dari larva stadium I (mengalami 2
kali pergantian kulit)
[7] hingga menjadi larva stadium III yang infektif
[8] larva akan berpindah ke bagian proboscis nyamuk.
[1] Larva infektif (larva stadium III) akan masuk melalui lubang bekas tusukan
nyamuk di kulit dan selanjutnya
[2] larva infektif akan bergerak mengikuti saluran limfa. Sebelum menjadi cacing
dewasa, larva infektif tersebut akan mengalami pergantian kulit bentuk sebanyak
dua kali
[3] mikrofilaria memproduksi sarung dan bergerak hingga mencapai aliran
pembuluh darah.
Larva stadium III (masa inkubasi ekstrinsik dari parasit) Brugia malayi
memerlukan waktu 3,5 bulan untuk menjadi cacing dewasa dalam tubuh manusia
dan memerlukan waktu 10 hari untuk masa pertumbuhan dalam tubuh nyamuk.
vi. Patofisiologi

Parasit memasuki sirkulasi saat nyamuk menghisap darah lalu parasit akan
menuju pembuluh limfa dan nodus limfa. Di pembuluh limfa terjadi perubahan
dari larva stadium 3 menjadi parasit dewasa. Cacing dewasa akan menghasilkan
produk – produk yang akan menyebabkan dilaasi dari pembuluh limfa sehingga
terjadi disfungsi katup yang berakibat aliran limfa retrograde. Akibat dari aliran
retrograde tersebut maka akan terbentuk limfedema.

Perubahan larva stadium III menjadi parasit dewasa menyebabkan antigen


parasit mengaktifkan sel T terutama sel Th2 sehingga melepaskan sitokin seperti
IL 1, IL 6, TNF α. Sitokin - sitokin ini akan menstimulasi sum- sum tulang
sehingga terjadi eosinofilia yang berakibat meningkatnya mediator proinflamatori
dan sitokin juga akan merangsang ekspansi sel B klonal dan meningkatkan
produksi IgE. IgE yang terbentuk akan berikatan dengan parasit sehingga
melepaskan mediator inflamasi sehingga timbul demam. Adanya eosinofilia dan
meningkatnya mediator inflamasi maka akan menyebabkan reaksi granulomatosa
untuk membunuh parasit dan terjadi kematian parasit. Parasit yang mati akan
mengaktifkan reaksi inflam dan granulomatosa. Proses penyembuhan akan
meninggalkan pembuluh limfe yang dilatasi, menebalnya dinding pembuluh
limfe, fibrosis, dan kerusakan struktur. Hal ini menyebabkan terjadi ekstravasasi
cairan limfa ke interstisial yang akan menyebabkan perjalanan yang kronis.

vii. Patologi dan Gejala Klinis

Filariasis terutama disebabkan karena adanya cacing dewasa yang hidup


dalam pembuluh getah bening. Cacing tersebut akan merusak pembuluh getah
bening yang mengakibatkan cairan getah bening tidak dapat tersalurkan dengan
baik sehingga menyebabkan pembengkakan pada tungkai dan lengan. Cacing
dewasa mampu bertahan hidup selama 5 – 7 tahun di dalam kelenjar getah bening.

Kerusakan pembuluh getah bening akibat inflamasi yang ditimbulkan oleh


cacing dewasa yang hidup di pembuluh getah bening aferen atau sinus kelenjar
getah bening dan menyebabkan pelebaran pembuluh getah bening dan penebalan
dinding pembuluh. Infiltrasi sel plasma, eosinofil, dan makrofag di dalam dan
sekitar pembuluh getah bening yang mengalami inflamasi bersama dengan
proliferasi sel endotel dan jaringan ikat, menyebabkan berliku-likunya sistem
limfatik dan kerusakan atau inkompetensi katup pembuluh getah bening.
Perubahan pembuluh limfe dapat berbentuk obstruksi, atresi atau dilatasi dan
dapat pula terjadi aliran balik ke arah kulit (dermal back flow).
Manifestasi gejala klinis filariasis disebabkan oleh cacing dewasa pada
sistem limfatik dengan konsekuensi limfangitis dan limfadenitis. Selain itu, juga
oleh reaksi hipersensitivitas dengan gejala klinis yang disebut occult filariasis.

Dalam proses perjalanan penyakit, filariasis bermula dengan limfangitis


dan limfadenitis akut berulang dan berakhir dengan terjadinya obstruksi menahun
dari sistem limfatik. Perjalanan penyakit berbatas kurang jelas dari satu stadium
ke stadium berikutnya, tetapi bila diurutkan dari masa inkubasi dapat dibagi
menjadi:

1. Masa inkubasi biologis


Berlangsung dari masuknya larva stadium III ke dalam tubuh, sampai terdapat
mikrofilaria untuk pertama kali dalam darah. Bagi penduduk yang berdiam di
daerah endemik sejak kecil, masa inkubasi ini berlangsung kurang lebih satu
tahun dan biasanya tidak disertai dengan gejala klinis.
2. Masa paten tanpa gejala
Berlangsung mulai dari terdapatnya mikrofilaria di dalam darah sejak kecil di
daerah endemik, masa ini kadang-kadang dapat berlangsung seumur hidup
tanpa penderita ini sadar bahwa di dalam darahnya mengandung parasit
filaria.
3. Stadium akut
Penderita mengeluh demam, terdapat pembesaran kelenjar limfe yang terasa
nyeri dan panas. Gejala berupa demam, limfangitis dan limfadenitis.
4. Stadium menahun
Stadium akut lambat laun beralih ke stadium menahun dengan gejala hidrokel,
kiluria, limfedema dan elephantiasis.

Pada filariasis yang disebabkan Brugia malayi dan Brugia timori


limfadenitis paling sering mengenai kelenjar inguinal, sering terjadi setelah
bekerja keras. Kadang-kadang disertai limfangitis retrograd. Pembuluh limfe
menjadi keras dan nyeri, dan sering terjadi limfedema pada pergelangan kaki dan
kaki. Penderita tidak mampu bekerja selama beberapa hari. Serangan dapat terjadi
12 kali dalam satu tahun sampai beberapa kali perbulan. Kelenjar limfe yang
terkena dapat menjadi abses, memecah, membentuk ulkus dan meninggalkan
parut yang khas, setelah 3 minggu hingga 3 bulan.

Pada filariasis brugia, sistem limfe alat kelamin tidak pernah terkena,
berbeda dengan filariasis bankrofti. Limfedema biasanya hilang lagi setelah gejala
peradangan menyembuh, tetapi dengan serangan berulang kali, lambat laun
pembengkakan tungkai tidak menghilang setelah gejala peradangan sembuh,
sehingga timbullah elefantiasis. Selain kelenjar limfe inguinal, kelenjar limfe lain
di bagian medial tungkai, di ketiak dan di bagian medial lengan juga sering
terkena.
Filariasis dapat menimbulkan gangguan saluran napas yang disebut
sebagai Tropical Pulmonary Eosinophilia (TPE), pada keadaan ini terjadi
hiperesponsif reaksi imunologi terhadap antigen filaria. Gejala yang timbul adalah
hipereosinofilia (20-90%), kadang-kadang disertai batuk dengan sesak napas,
pembesaran kelenjar limfe dan tidak ditemukan mikrofilaria dalam darah.
Beberapa keadaan klinis lain seperti arthritis, tenosynovitis, fibrosis
endomiokardial, glomerulonephritis kadang-kadang merupakan manifestasi klinis
dari occult filariasis.
viii. Diagnosis

a. Diagnosis parasitologi
Deteksi parasit yaitu menemukan microfilaria di dalam darah, cairan hidrokel,
atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah. Pengambilan darah hanya
dilakukan pada malam hari (pukul 20.00) karena periodisitas microfilaria
umumnya nokturna. Selain itu teknik biologi molekuler dapat digunakan untuk
mendeteksi parasit melalui DNA parasit dengan menggunakan reaksi rantai
polimerase. Teknik ini mampu memperbanyak DNA sehingga dapat digunakan
untuk mendeteksi parasit.
b. Radiodiagnosis
Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah
bening inguinal pasien akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak.
Pemeriksaan ini hanya dapat digunakan untuk infeksi filarial oleh W.bancrofti.
c. Diagnosis Imunologi
Deteksi antigen dengan imunochromatographic (ICT) yang menggunakan
antibody monoclonal telah dikembangkan untuk mendeteksi antigen W.bancrofti
dalam sirkulasi darah. Hasil tes positif menunjukkan adanya infeksi aktif
walaupun microfilaria tidak ditemukan dalam darah. Deteksi antibody dengan
menggunakan rekombinan telah dikembangkan untuk mendeteksi antibody
subklas IgG4 pada filariasis Brugia. Kadar antibody IgG4 meningkat pada
penderita mikrofilaremia. Pada stadium obstruktif, microfilaria sering tidak
ditemukan lagi di darah. Kadang-kadang mikrofilaria tidak dijumpai dalam darah,
tetapi ada di dalam cairan hidrokel atau cairan kiluria.

ix. Pengobatan dan Prognosis

Hingga sekarang DEC masih merupakan obat pilihan. Dosis yang dipakai di
beberapa negara Asia berbeda-beda. Di Indonesia dosis yang dianjurkan adalah 5
mg/kg berat badan/hari selama 10 hari. Efek samping DEC pada pengobatan filariasis
brugia jauh lebih berat, bila dibandingkan dengan yang terdapat pada pengobatan
filariasis bankrofti. Efek samping pengobatan akan berkurang pada ulangan
pengobatan.
Pengobatan dengan ivermektin sama dengan pada filariasis bankrofti. Untuk
mendapatkan hasil penyembuhan yang sempurna, pengobatan ini diulang beberapa
kali. Stadium mikrofilaremia, peradangan limfedema dan elefantiasis dini dapat
disembuhkan dengan pengobatan DEC. Beberapa kasus elefantiasis lanjut dapat pula
diobat dengan DEC.
Untuk program pemberantasan filariasis, pengobatan yang dianjurkan adalah
kombinasi DEC 6 mm/kg BB dengan albendazol 400 mg yang diberikan sekali
setahun secara massal pada penduduk di daerah endemis selama minimal 5 tahun.
2. Interpretasi Pemeriksaan

Pemeriksaan Khusus
Nilai Normal Kasus
Tensi 120/80 110/80 Normal
Respiration 16 – 20 x/ menit 24 x/ menit Takipnea
Rate (nafas cepat
Temperatur 36℃ - 37,5℃ 38℃ Demam
Nadi 60 – 100 x/ menit 100 x/ menit Normal

Pemeriksaan Fisik Spesifik


Nilai Normal Kasus
Kel. Limfe Inguniale kiri
Benjolan - +
Abscess - +

Pemeriksaan Lab Darah


Nilai Normal Kasus
Hb 12 - 14 12,5 mmHg Normal
Leukosit 4.000 – 10.000 / 9000 / mm3 Normal
mm3
Diff Count Nilai Normal Kasus
Basofil 0–1% 0 Normal
Eusinofil 1–4% 16 Tinggi
Neutrofil batang 2–6% 4 Normal
Neutrofil segmen 50 – 70 % 50 Normal
Limfosit 20 – 40 % 22 Normal
Monosit 2–8% 4 Normal

Terjadi Takipnea karena terjadi Tropical Pulmonary Eosinophilia yaitu gangguan saluran
nafas disebabkan hiperesponsif reaksi imunologi terhadap antigen filaria. Gejala yang
timbul adalah hipereosinofilia (20-90%) kadang-kadang disertai batuk dengan sesak
napas.

Terjadi demam
Perubahan larva stadium III menjadi parasit dewasa menyebabkan antigen parasit
mengaktifkan sel T terutama sel Th2 sehingga melepaskan sitokin seperti IL 1, IL 6, TNF
α. Sitokin - sitokin ini akan menstimulasi sum- sum tulang sehingga terjadi eosinofilia
yang berakibat meningkatnya mediator proinflamatori dan sitokin juga akan merangsang
ekspansi sel B klonal dan meningkatkan produksi IgE. IgE yang terbentuk akan berikatan
dengan parasit sehingga melepaskan mediator inflamasi sehingga timbul demam.
Terdapat benjolan dan abses pada limfe inguinale kiri
Kerusakan pembuluh getah bening akibat inflamasi yang ditimbulkan oleh cacing dewasa
yang hidup di pembuluh getah bening aferen atau sinus kelenjar getah bening dan
menyebabkan pelebaran pembuluh getah bening dan penebalan dinding pembuluh.
Infiltrasi sel plasma, eosinofil, dan makrofag di dalam dan sekitar pembuluh getah bening
yang mengalami inflamasi bersama dengan proliferasi sel endotel dan jaringan ikat,
menyebabkan berliku-likunya sistem limfatik dan kerusakan atau inkompetensi katup
pembuluh getah bening. Perubahan pembuluh limfe dapat berbentuk obstruksi, atresi atau
dilatasi dan dapat pula terjadi aliran balik ke arah kulit (dermal back flow).
Saluran limfe mempunyai 2 saluran yaitu:
1).  Ductus thoracikus atau duktus limpatikus sinistra
Merupakan kumpulan dari pembuluh limfe yang berasal dari kepala kiri, leher kiri, dada
sebelah kiri bagian perut, anggota gerak bawah dan alat-alat dalam rongga perut.
2). Duktus limpatikus dekstra
Merupakan pembuluh limfe yang menerima limfe dari pembuluh limfe yang berasal dari
kepala kanan, leher kanan, dada kanan dan lengan sebelah kanan yang bermuara pada
vena kava subklavia dekstra.

Pada kasus cacing B. malayi bergerak mengikuti ductus limpatikus sinistra/ ductus
thoracikus sehingga sampai ke limfe inguinal sebelah kiri (disatu sisi saja dan merupakan
ciri khas filariasis malayi)

DAFTAR PUSTAKA

1. Hadidjaja P, Kurniawan A. Filariasis. Dalam : Dasar Parasitologi Klinik,


Edisi Pertama, Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta 2011. h : 204 – 11.
2. Ideham B, Pusarawati S. Filariasis, Kelas Nematoda. Dalam : Helmintologi
Kedokteran. Cetakan Pertama. Airlangga University Press. Surabaya 2007.
3. Pohan HT. Filariasis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam , Edisi kelima,
Jilid I. Penerbit : Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta 2009.
4. CDC. nn.
https://www.cdc.gov/parasites/lymphaticfilariasis/biology_b_malayi.html
[Online] diunduh tanggal 15 Agustus 2018, pukul 05.00 WIB
5. Tim Editor FKUI. 2009. Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI
6. Kurniawan Liliana. Filariasis – aspek klinis, diagnosis, pengobatan dan
pemberantasannya. Jakarta: Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI
7. Chadijah, S., Rosmini, R., & Srikandi, Y. Perilaku Mikrofilaria Brugia Malayi
Pada Subjek Filariasis Di Desa Polewali Kecamatan Bambalamotu Kabupaten
Mamuju Utara Sulawesi Barat. 2015. Aspirator Journal of Vector-Borne
Diseases, 7(2), 42-47.
8. Mutiara, H., & Anindita, A. 2016. Filariasis: Pencegahan Terkait Faktor
Risiko. Jurnal Majority, 5(3), 11-16.

Anda mungkin juga menyukai