Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN KISTA OVARIUM


DI RUANG RAMIN RSUD Dr. SOEDARSO

DISUSUN OLEH

M. WAHID ICSANNUDIN CHANIAGO ADLAO


NIM. 221133100

PROGRAM STUDI PROFESI NERS JURUSAN KEPERAWATAN


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PONTIANAK
OKTOBER 2022
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN KISTA OVARIUM
DI RUANG RAMIN RSUD Dr. SOEDARSO
Mata Kuliah : Keperawatan Dasar Profesi
Semester : I (Ganjil)
Institusi : Poltekkes Kemenkes Pontianak
Prodi : Ners

Pontianak, 7 Oktober 2022


Mahasiswa

M. Wahid Icsannudin Chaniago Adlao


NIM. 221133100

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

Ns. Egidius Umbu Ndeta, S.Kep, M.Kes Ns. Masjanifah, S. Kep


NIP.1991090220151101 NIP. 196706061987032003

i
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN i
DAFTAR ISI ii
A. KONSEP DASAR PENYAKIT 1
1. Definisi 1
2. Etiologi 1
3. Patofisiologi 3
4. Pathway 5
5. Manifestasi Klinis 6
6. Klasifikasi 6
7. Pemeriksaan Penunjang 9
8. Penatalaksanaan 10
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN 12
1. Pengkajian 12
2. Diagnosa Keperawatan 15
3. Intervensi Keperawatan 15
4. Implementasi 21
5. Evaluasi 22
DAFTAR PUSTAKA 23

ii
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN KISTA OVARIUM
DI RUANG RAMIN RSUD Dr. SOEDARSO

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Definisi
Menurut Saydam (2012), kista ovarium merupakan penyakit tumor
jinak yang bertumbuh pada indung telur perempuan. Biasanya berupa
kantong kecil yang berbeda dengan penyakit kanker yang berisi cairan
atau setengah cairan
2. Etiologi
Menurut Nugroho (2012), kista ovarium disebabkan oleh gangguan
pembentukan hormone pada hipotalamaus, hipofisis dan ovarium.
Penyebab lain timbulnya kista adalah ovarium adalah adanya
penyumbatan pada saluran yang berisi cairan karena adanya bakteri dan
virus, adanya zat dioksin dan asap pabrik dan pembakaran gas bermotor
yang dapat menurunkan daya tahan tubuh manusia yang akan membantu
tumbuhnya kista, faktor makan makanan yang berlemak yang
mengakibatkan zat-zat lemak tidak dapat dipecah dalam proses
metabolisme sehingga akan meningkatkan resiko timbulnya kista
(Mumpuni dan Andang, 2013).
Arif,dkk (2016) mengatakan faktor resiko pembentukan kista
ovarium terdiri dari:
a. Usia
Umumnya, kista ovarium jinak (tidak bersifat kanker) pada wanita
kelompok usia reproduktif. Kista ovarium bersifat ganas sangat
jarang, akan tetapi wanita yang memasuki masa menopause (usia 50-
70 tahun) lebih beresiko memiliki kista ovarium ganasKekerasan
tidak langsung.
b. Status menopause
Ketika wanita telah memasuki masa menopause, ovarium dapat
menjadi tidak aktif dan dapat menghasilkan kista akibat tingkat
aktifitas wanita menopause yang rendah.

1
c. Pengobatan infertilitas
Pengobatan infertilitas dengan konsumsi obat kesuburan dilakukan
dengan induksi ovulasi dengan gonadotropin (konsumsi obat
kesuburan). Gonadotropin yang terdiri dari FSH dan LH dapat
menyebabkan kista berkembang.
d. Kehamilan
Pada wanita hamil, kista ovarium dapat terbentuk pada trimester
kedua pada puncak kadar hCG (human chorionic gonadotrpin).
e. Hipotiroid
Hipotiroid merupakan kondisi menurunnya sekresi hormone tiroid
yang dapat menyebabkan kelenjar pituitary memproduksi TSH
(Thyroid Stimulating Hormone) lebih banyak sehingga kadar TSH
meningkat. TSH merupakan faktor yang memfasilitasi
perkembangan kista ovarium folikel.
f. Merokok
Kebiasaan merokok juga merupakan faktor resiko untuk
pertumbuhan kista ovarium fungsional. Semakin meningkat resiko
kista ovarium dan semakin menurun indeks massa tubuh (BMI) jika
seseorang merokok.
g. Ukuran massa
Kista ovarium fungsional pada umumnya berukuran kurang dari 5
cm dan akan menghilang dalam waktu 4-6 minggu. Sedangkan pada
wanita pascamenopause, kista ovarium lebih dari 5 cm memiliki
kemungkinan besar bersifat ganas.
h. Kadar serum petanda tumor CA-125
Kadar CA 125 yang meningkat menunjukkan bahwa kista ovarium
tersebut bersifat ganas. Kadar abnormal CA125 pada wanita pada
usia reproduktif dan premenopause adalah lebih dari 200 U/mL,
sedangkan pada wanita menopause adalah 35 U/mL atau lebih.
i. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga menderita kanker ovarium, endometrium,
payudara, dan kolon menjadi perhatian khusus. Semakin banyak

2
jumlah keluarga yang memiliki riwayat kanker tersebut, dan semakin
dekat tingkat hubungan keluarga, maka semakin besar resiko seorang
wanita terkena kista ovarium.
j. Konsumsi alcohol
Konsumsi alkohol dapat meningkatkan resiko terbentuknya kista
ovarium, karena alkohol dapat meningkatkan kadar estrogen. Kadar
estrogen yang meningkat ini dapat mempengaruhi pertumbuhan
folikel.
k. Obesitas
Wanita obesitas (BMI besar sama 30kg/m2 ) lebih beresiko terkena
kista ovarium baik jinak maupun ganas. Jaringan lemak
memproduksi banyak jenis zat kimia, salah satunya adalah hormone
estrogen, yang dapat mempengaruhi tubuh. Hormone estrogen
merupakan faktor utama dalam terbentuknya kista ovarium.
3. Patofisiologi
Perkembangan ovarium setelah lahir didapatkan kurang lebih
sebanyak 1.000.000 sel germinal yang akan menjadi folikel, dan sampai
pada umur satu tahun ovarium berisi folikel kistikdalam berbagai ukuran
yang dirasngsang oleh peningkatan gonadotropin secara mendadak,
bersamaan dengan lepasnya steroid fetoplasental yang merupakan umpan
balik negative pada hipotalamuspituitari neonatal. Pada awal pubertas sel
germinal berkurang menjadi 300.000 sampai 500.000 unit dari selama
35-40 tahun dalam masa kehidupan reproduksi, 400-500 mengalamai
proses ovulasi, folikel primer akan menipis sehingga pada saat
menopause tinggal beberapa ratus sel germinal.pada rentang 10-15 tahun
sebelum menopause terjadi peningkatan hilangnya folikel berhubungan
dengan peningkatan FSH. Peningkatan hilangnya folikel kemungkinan
disebabkan peningkatan stimulasi FSH.
Pada masa reproduksi akan terjadi maturasi folikel yang khas
termasuk ovulasi dan pembentukan korpus luteum. Proses ini terjadi
akibat interaksi hipotalamus-hipofisis-gonad di mana melibatkan folikel
dan korpus luteum, hormone steroid, gonadotropin hipofisis dan faktor

3
autokrin atau parakrin bersatu untuk menimbulkan ovulasi. Kista
ovarium yang berasal dari proses ovulasi normal disebut kista fungsional
jinak. Kista dapat berupa folikular dan luteal. Kista ini terjadi karena
kegagalan ovulasi (LH surge) dan kemudian cairan intrafolikel tidak
diabsorpsi kembali. Pada beberapa keadaan, kegagalan ovulasi juga dapat
terjadi secara artificial dimana gonatropin diberikan secara berlebihan
untuk menginduksi ovulasi. Hipotalamus menghasilkan gonadotrophin
releasing hormone (GnRH), yang disekresi secara pulpasi dalam rentang
kritis. Kemudian GnRH memacu hipofisis untuk menghasilkan
gonadotropin (FSH dan LH) yang disekresi secara pulpasi juga. Segera
setelah menopause tidak ada folikel ovarium yang tersisa. Terjadi
peningkatan FSH 10-20 kali lipat dan peningkatan LH sekitar 3 kali lipat
dan kadar maksimal dicapai 1-3 tahun pasca menopause, selanjutnya
terjadi penurunan yang bertahap walaupun sedikit pada kedua
gonadotropin tersebut. Peningkatan kadar FSH dan LH pada saat
kehidupan merupakan bukti pasti terjadi kegagalan ovarium
(Prawirohardjo,2011).
Ukuran kista ovarium bervariasi, misalnya kista korpus luteum yang
berukuran sekitar 2 cm-6 cm, dalam keadaan normal lambat laun akan
mengecil dan menjadi korpus albikans. Kadang-kadang korpus luteum
akan Poltekkes Kemenkes Padang mempertahankan diri, perdarahan
yang sering terjadi di dalamnya menyebabkan terjadinya kista, berisi
cairan bewarna merah coklat tua karena darah tua. Korpus luteum dapat
menimbulkan gangguan haid, berupa amnorea diikuti perdarahan tidak
teratur. Adanya kista dapat pula menyebabkan rasa berat di perut bagian
bawah dan perdarahan berulang dalam kista dapat menyebabkan ruptur
(Wiknjosastro, 2008).

4
4. Pathway

5
5. Manifestasi Klinis
Menurut Nugroho (2012), tanda dan gejala kista ovarium antara lain:
a. Sering tanpa gejala
b. Nyeri saat menstruasi
c. Nyeri pada perut bagian bawah
d. Nyeri saat berhubungan badan
e. Nyeri pada punggung terkadang menjalar sampai kaki
f. Terkadang disertai nyeri saat buang air kecil.
g. Siklus menstruasi tidak teratur, bisa juga jumlah darah yang keluar
banyak
6. Klasifikasi
a. Kista ovarium neoplastik
1) Kistadenoma ovarii serosum
Kista ini mencakup sekitar 15-25% dari keseluruhan tumor jinak
ovarium. Usia penderita berkisar antara 20-50 tahun. Pada 12-
50% kasus, kista ini terjadi pada kedua ovarium (bilateral).
Ukuran kista berkisar antara 5-15 cm dan ukuran ini lebih keil
dari rata-rata ukuran kistadenoma musinosum. Kista berisi
cairan serosa, jernih kekuningan.
2) Kistadenoma ovarii musinosum
Kistadenoma ovarii musinosum mencakup 16-30% dari total
tumor jinak ovarium dan 85% diantaranya adalah jinak. Tumor
ini pada umumnya multilokuler dan lokulus yang berisi cairan
musinosum tampak bewarna kebiruan di dalam kapsul yang
dindingnya tegang. Dinding tumor tersusun dari epitel kolumner
yang tinggi dengan inti sel bewarna sel gelap terletak di bagian
basal. Dinding kistadenoma musinosum ini, pada 50% kasus
mirip dengan struktul epitel endoserviks dan 50% lagi mirip
dengan struktur epitel kolon di mana cairan musin di dalam
lokulus kista mengandung sel-sel goblet.

6
3) Kista dermoid
Kista dermoid merupakan tumor terbanyak (10% dari total
tumor ovarium) yang berisi sel germinativum dan paling banyak
diderita oleh gadis yang berusia di bawah 20 tahun.
4) Kista ovarii simpleks
Kista ini mempunyai permukaan rata dan halus, biasanya
bertangkai sering kali bilateral dan dapat menjadi besar. Dinding
kista tipis dan cairan di dalam kista jernih, serus dan berwarna
kuning. Pada dinding kista tampak lapisan epitel kubik.
Berhubung dengan adanya tangkai, dapat terjad putaran tungkai
dengan gejala-gejala mendadak.
5) Kista endometroid
Kista ini biasanya unilateral dengan permukaan licin pada
dinding dalam satu lapisan sel-sel ang menyerupai lapisan epitel
endometrium.
b. Kista ovarium non neoplastik
1) Ovarium polisistik (Stein-Leventhal Syndrome)
Penyakit ovarium polisistik ditandai dengan pertumbuhan
polisistik kedua ovarium, amnorea sekunder atau oligomenorea
dan infertilitas. Sekitar 50% pasien mengalami hirsutiseme dan
obesitas. Walaupun mengalami pembesaran ovarium, ovarium
polisistik juga mengalami sklerotika yang menyebabkan
permukaannya bewarna putih tanpa identasi seperti mutiara
sehingga disebut juga sebagai ovarium kerang. Ditemukan
banyak folikel berisis cairan di bawah fibrosa korteks yang
mengalami penebalan. Teka interna terlihat kekuningan karena
mengalami luteinisasi, sebagian stroma juga mengalami hal
yang sama.
2) Kista folikuler
Kista folikel merupakan kista yang paling sering ditemukan di
ovarium dan biasanya sedikit lebih besar (3-8 cm) dari folikel
pra ovulasi (2,5 cm). Kista ini terjadi karena kegagalan ovulasi

7
(LH surge) dan kemudian cairan intrafolikel tidak diabsorpsi
kembali. Pada beberapa keadaan, kegagalan ovulasi juga dapat
terjadi secara artificial dimana gonatropin diberikan secara
berlebihan untuk menginduksi ovulasi. Kista ini tidak
menimbulkan gejala yang spesifik. Jarang sekali terjadi torsi,
ruptur, atau perdarahan.
3) Kista korpus luteum
Kista korpus luteum terjadi akibat pertumbuhan lanjut korpus
luteum atau perdarahan yang mengisi rongga yang terjadi
setelah ovulasi.
Terdapat 2 jenis kista lutein, yaitu kista granulosa dan kista teka.
a) Kista granulosa lutein
Kista granulosa merupakan pembesaran non-neoplastik
ovarium. Setelah ovulasi, dinding sel garnulosa mengalami
luteinisasi. Pada tahap berikutnya vaskularisasi baru, darah
terkumpul di tengah rongga membentuk korpus
hemoragikum. Reabsorpsi darah ini menyebabkan
terbentuknya kista korpus luteum. Kista lutein yang persisten
dapat menimbulkan nyeri lokal dan tegang dinding perut
yang juga disertai amenorea atau menstruasi terlambat yang
menyerupai gambaran kehamilan ektopik. Kista lutein juga
dapat menyebabkan torsi ovarium sehingga menimbulkan
nyeri hebat atau perdarahan.
b) Kista theka lutein
Biasanya bersifat bilateral dan berisi cairan jernih
kekuningan. Kista sering kali bersamaan dengan ovarium
polisistilk, mola hodatidosa, koro karsinoma, terapi hCG dan
klomifen sitrat. Tidak banyak keluhan yang ditimbulkan oleh
kista ini. Pada umunya tidak diperlukan tindakan
pembedahan untuk menangani kista ini karena kista dapat
menghilang secara spontan setelah evakuasi mola, terapi
korio karsinoma, dan penghentian stimulasi ovulasi dengan

8
klomifen. Walaupun demikian, apabila terjadi ruptur kista
dan terjadi perdarahan ke dalam rongga peritoneum maka
diperlukan tindakan laparatomi untuk menyelamatkan
penderita.
4) Kista inklusi germinal
Terjadi karena invagimasi dan isolasi bagian-bagian kecil dari
epitel germinativum pada permukaan ovarium. Tumor ini lebih
banyak pada wanita yang lanjut umurnya dan besarnya jarang
melebihi diameter 1 cm. Kista biasanya ditemukan pada
pemeriksaan histologik ovarium yang diangkat waktu operasi.
Kista terletak dibawah permukaan ovarium, dindingnya terdiri
atad satu lapisan epitel kubik dan isinya jernih dan serus.
7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut (Wiknjosastro,2008) dan (Nugroho,2012), pemeriksaan
penunjang yang perlu dilakukan sebagai berikut:
a. Laparaskopi
Pemeriksaan ini sangat berguna untuk mengetahui apakah sebuah
tumor berasal dari ovarium atau tidak, serta untuk menentukan sifat-
sifat tumor itu.
b. Ultrasonografi
Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan letak dan batas tumor,
apakah tumor berasal dari uterus, ovarium, atau kandung kencing,
apakah tumor kistik atau solid, dan dapat pula dibedakan antara
cairan dalam rongga perut yang bebas dan yang tidak.
c. Foto Rontgen
Pemeriksaan ini berguna untuk menentukan adanya hidrotoraks.
Selanjutnya, pada kista dermoid kadang-kadang dapat dilihat adanya
gigi dalam tumor.
d. Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi)
atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh
pada taruma multiple).

9
e. Parasintesis
Pungsi ascites berguna untuk menentukan sebab ascites. Perlu
diperhatikan bahwa tindakan tersebut dapat mencemarkan kavum
peritonei dengan isi kista bila dinding kista tertusuk.
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kanker ovarium utama adalah pembedahan. Saat
operasi, juga dilakukan pemeriksaan histopatologi untuk menentukan ada
tidaknya keganasan serta jenis kanker, dan juga penentuan staging
kanker. Kemoterapi ajuvan dilakukan pada pasien setelah pembedahan,
kecuali jika penyakit terbatas hanya pada ovarium, serta pada kanker
yang tidak dapat dioperasi.
a. Operasi dengan Sitoreduksi
Operasi bertujuan untuk menentukan staging kanker, sitoreduksi
untuk meningkatkan keberhasilan kemoterapi, serta untuk tujuan
kuratif pada kanker yang terbatas hanya pada ovarium saja. Dengan
pembedahan, diharapkan kontrol kanker dapat maksimal dan harapan
hidup dapat dipertahankan selama mungkin.
Operasi dengan sitoreduksi oleh ahli ginekologis onkologi merupakan
pilihan utama pada pasien kanker ovarium. Seberapa luas operasinya
bergantung dari stadium kanker, misalnya wanita dengan kanker
stadium lanjut akan menjalani ooforektomi bilateral sedangkan pada
stadium I dapat dilakukan ooforektomi unilateral. Tindakan operasi
sering kali mereseksi organ lain yang terlibat secara makroskopis
misalnya reseksi usus besar, uterus, massa adneksa dan
peritonektomi.
b. Penambahan Kemoterapi
Penambahan kemoterapi dengan menggunakan dasar platinum
setelah operasi direkomendasikan pada pasien kanker ovarium
stadium awal (stadium 2 ke atas) dan/atau pada pasien yang memiliki
karakter histologi spesifik (HGSC atau karsinoma clear-cell).
Kemoterapi diberikan setelah pembedahan atau pada pasien yang
tidak dapat dioperasi. Penambahan kemoterapi setelah pembedahan

10
dapat meningkatkan angka harapan hidup pasien. Pada tahun 2011,
European Medicines Agency merekomendasikan penambahan
bevacizumab selain carboplatin dan paclitaxel.
Berdasarkan rekomendasi dari National Comprehensive Cancer
Network (NCCN), kemoterapi primer yang disarankan adalah:
a) Stadium IA, IB atau IC dari kanker ovarium epitel : 3-6 siklus
taxan/carboplatin kemoterapi ajuvan intravena
b) Stadium II-IV: Kemoterapi intraperitoneal atau 6-8 siklus
taxan/carboplatin intravena
Pada pasien yang mengalami rekurensi dapat diberikan kombinasi
kemoterapi platinum dengan docetaxel atau etoposide atau gemcitabine
atau liposomal doxorubicin + bevacizumab atau paclitaxel +
bevacizumab atau Topotecan + bevacizumab. Selain itu bisa diberikan
PARP inhibitor (poly-ADP-ribose polymerase) yang berfungsi untuk
menghalangi homeostasis sel dan menyebabkan kematian sel, di
antaranya termasuk olaparib, rucaparib dan niraparib.
c. Pengawasan Setelah Terapi
Rekomendasi pengawasan setelah terapi dari the Society of
Gynecologic Oncologist pada tahun 2011 di antaranya:
a) Pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan pelvis dan kelenjar getah
bening setiap 3 bulan dalam 2 tahun pertama, setiap 4-6 bulan pada
tahun ketiga, dan setiap 6 bulan pada tahun keempat dan seterusnya
b) Pemeriksaan CA 125 bersifat opsional
c) Lakukan CT scan hanya bila dicurigai ada kekambuhan (rekurensi)
(dr. Yelvi Levani, 2019).

11
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identifikasi Pasien
Meliputi : Nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, suku, bangsa,
pendidikan, pekerjaan, tgl. MRS, diagnosa medis, no. registrasi.
b. Keluhan Utama
Biasanya mengalami perdarahan abnormal atau menorhagia pada
wanita usia subur atau wanita diatas usia 50 tahun / menopause untuk
stadium awal (Hutahaean, 2009). Pada stadium lanjut akan
mengalami pembesaran massa yang disertai asites (Reeder, dkk.
2013).
c. Riwayat Penyakit Sekarang
1) Gejala kembung, nyeri pada abdomen atau pelvis, kesulitan makan
atau merasa cepat kenyang dan gejala perkemihan kemungkinan
menetap.
2) Pada stadium lanjut sering berkemih, konstipasi, ketidaknyamanan
pelvis, distensi abdomen, penurunan berat badan dan nyeri pada
abdomen.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat kesehatan dahulu pernah memiliki kanker kolon, kanker
payudara dan kanker endometrium (Reeder, dkk. 2013).
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat kesehatan keluarga yang pernah mengalami kanker payudara
dan kanker ovarium yang beresiko 50 % (Reeder, dkk. 2013).
f. Riwayat haid/status ginekologi
Biasanya akan mengalami nyeri hebat pada saat menstruasi dan
terjadi gangguan siklus menstruasi (Hutahaean, 2009).
g. Riwayat obstetric
Biasanya wanita yang tidak memiliki anak karena ketidakseimbangan
sistem hormonal dan wanita yang melahirkan anak pertama di usia >
35 tahun (Padila, 2015).

12
h. Data keluarga berencana
Biasanya wanita tersebut tidak menggunakan kontrasepsi oral
sementara karena kontrasepsi oral bisa menurunkan risiko ke kanker
ovarium yang ganas (Reeder, dkk. 2013).
i. Data psikologis
Biasanya wanita setelah mengetahui penyakitnya akan merasa cemas,
putus asa, menarik diri dan gangguan seksualitas (Reeder, dkk. 2013).
j. Data aktivitas/istirahat
Pasien biasanya mengalami gejala kelelahan dan terganggu aktivitas
dan istirahat karena mengalami nyeri dan ansietas.
k. Data sirkulasi
Pasien biasanya akan mengalami tekanan darah tinggi karena cemas.
l. Data eliminasi
Pasien biasanya akan terganggu BAK akibat perbesaran massa yang
menekan pelvis.
m. Data makanan/cairan
Biasanya pasien tidak mengalami gangguan dalam nutrisi tetapi kalau
dibiarkan maka akan mengalami pembesaran lingkar abdomen
sehingga akan mengalami gangguan gastrointestinal.
n. Data nyeri/kenyamanan
Pasien biasanya mengalami nyeri karena penekanan pada pelvis.
o. Pemeriksaan fisik
1) Kesadaran Kesadaran pasien tergantung kepada keadaan pasien,
biasanya pasien sadar, tekanan darah meningkat dan nadi
meningkat dan pernafasan dyspnea.
2) Kepala dan rambut Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada
benjolan, tidak ada hematom dan rambut tidak rontok.
3) Telinga Simetris kiri dan kanan, tidak ada gangguan pendengaran
dan tidak ada lesi.
4) Wajah Pada mata konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,
reflek pupil +/+, pada hidung tidak ada pernapasan cuping hidung,
pada mulut dan gigi mukosa tidak pucat dan tidak ada sariawan.

13
5) Leher Tidak ada pembendungan vena jugularis dan pembesaran
kelenjer tiroid.
6) Thoraks Tidak ada pergerakan otot diafragma, gerakan dada
simetris.
7) Paru-paru Inspeksi Pernapasan dyspnea, tidak ada tarikan dinding
dada. Palpasi Fremitus kiri dan kanan sama. Perkusi Suara ketok
sonor, suara tambahan tidak ada. Auskultasi Vesikuler.
8) Jantung Pada pasien kanker ovarium biasanya tidak ada mengalami
masalah pada saat pemeriksaan di jantung. Inspeksi Umumnya
pada saat inspeksi, Ictus cordis tidak terlihat. Palpasi Pada
pemeriksaan palpasi Ictus cordis teraba. Perkusi Pekak. Auskultasi
Bunyi jantung S1 dan S2 normal. Bunyi jantung S1 adalah
penutupan bersamaan katup mitral dan trikuspidalis. Bunyi jantung
S2 adalah penutupan katup aorta dan pulmanalis secara bersamaan.
9) Payudara/mamae Simetris kiri dan kanan, aerola mamae
hiperpigmentasi, papila mamae menonjol, dan tidak ada
pembengkakan.
10) Abdomen. Inspeksi Pada stadium awal kanker ovarium, belum
adanya perbesaran massa, sedangkan pada stadium lanjut kanker
ovarium, akan terlihat adanya asites dan perbesaran massa di
abdomen. Palpasi Pada stadium awal kanker ovarium, belum
adanya perbesaran massa, sedangkan pada stadium lanjut kanker
ovarium, di raba akan terasa seperti karet atau batu massa di
abdomen. Perkusi Hasilnya suara hipertympani karena adanya
massa atau asites yang telah bermetastase ke organ lain.
Auskultasi Bising usus normal yaitu 5- 30 kali/menit.
11) Genitalia Pada beberapa kasus akan mengalami perdarahan
abnormal akibat hiperplasia dan hormon siklus menstruasi yang
terganggu. Pada stasium lanjut akan dijumpai tidak ada haid lagi.
12) Ekstremitas Tidak ada udema, tidak ada luka dan CRT kembali <
2 detik. Pada stadium lanjut akan ditandai dengan kaki udema.
(Reeder, dkk. 2013).

14
2. Diagnosa Keperawatan
a. deficit nutrsi berhubungann dengan ketidakmampuan mencerna
makanan (D.0019).
b. gangguan eliminasi urin berhubungan dengan kelemahan otot pelvis
(D.0040).
c. hipovolemia berhubungan dengan kekurangan intake cairan
(D.0023).
d. nausea berhubungan dengan distensi lambung (D.0076).
e. risiko infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas kulit
(D.0142).
f. nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (D.0077).
3. Intervensi Keperawatan
a. Diagnosa : deficit nutrsi berhubungan dengan ketidakmampuan
mencerna makanan (D.0019)
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan kepada pasien
diharapkan membaik
Kriteria hasil Tingkat nyeri:
1) Porsi makan yang dihabiskan meningkat
2) Kekuatan otot pengunyah meningkat
3) Perasaan cepat kenyang menurun
4) Nyeri abdomen menurun
5) Berat badan membaik
Intervensi : manajemen nutrisi (I.03119)
1) Observasi
a) Identifikasi status nutrisi
b) Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
c) Identifikasi makanan yang disukai
d) Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
e) Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastric
f) Monitor berat badan
g) Monitor asupan makanan
h) Monitor hasil pemeriksaan laboratorium

15
2) Terapeutik
a) Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu.
b) Fasilitas pedomat diet (mis. Piramida makanan).
c) Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai.
d) Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
e) Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
3) Edukasi
a) Anjurkan posisi duduk, jika mampu.
b) Ajarkan diet yang diprogramkan Kolaborasi
4) Kolaborasi
a) Pemberian medikasi sebelum makan(mis, Pereda
nyeri,antiemetic).
b) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori
dan jenis nutrient yang dibutuhkan, jika perlu.
b. Diagnosa : gangguan eliminasi urin berhubungan dengan kelemahan
otot pelvis (D.0040).
Tujuan: setalah melakukan tindakankeperawatan kepada pasien
diharapkan eliminasi urine membaik.
Kriteria hasil : (L.04034)
1) Sensasi berkemih meningkat
2) Distensi kandung kemih menurun
3) Berkemih tidak tuntas menurun
4) Volume residu urine menurun
Intervensi : manajemen eliminasi urine (I.04152).
1) Observasi
a) Identifikasi tanda dan gejala retensi atau inkontinensia urine
b) Identifikasi factor yang menyebabkan retensi atau
inkontinensia Urine
c) Monitor eliminasi urine (mis frekuensi, konsistensi, aroma,
volume dan warna.
2) Terapeutik
a) Catat waktu-waktu dan haluaran berkemih

16
b) Batasi asupan cairan, jika perlu
c) Ambil sampel urine tengah (midstream) atau kultur
3) Edukasi
a) Ajarkan tanda gejala saluram kemih
b) Ajarkan mengukur asupan cairan dan haluaran urine
c) Ajarkan mengambil specimen urine midstream ajarkan
mengenali tanda dan berkemih dan waktu yang tepat untuk
berkemih.
d) Ajarkan terapi modalitas penguatan otot-otot
panggul/berkemihan.
e) Anjurkan minum yang cukup, jika tidak ada kontraindikasi
f) Anjurkan mengurangi minum menjelang tidur
4) Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian obat supositoria uretra, jika perlu.
c. Diagnosa : hipovolemia berhubungan dengan kekurangan intake
cairan(D.0023).
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan kepada pasien
diharapkan status cairan membaik
Kriteria hasil : (L.03028).
1) Kekuatan nadi meningkat
2) Turgor kulit meningkat
3) Berat badan menurun
4) Perasaan lemah menurun
Intervensi
1) Observasi
a) Periksa tanda dan gejala hypovolemia(mis frekuensi nadi
meningkat,nadi teraba lemah, tekanan darah menurun,
tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun, membrane
mukosa kering, volume urin menurun, hematocrit meningkat,
haus, lemah).
b) Monitor intake dan output cairan

17
2) Terapeutik
a) Hitung kebutuhan cairan
b) Berikan posisi modified Trendelenburg
c) Berikan asupan cairan oral
3) Edukasi
a) Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral.
b) Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak.
4) Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (mis. NaCl , RL)
b) Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (mis. Glukosa
2,5%, NaCl 0,4%)
c) Kolaborasi pemberian cairan koloid (mis. Albumin,
plasmanate)
d) Kolaborasi pemberian produk darah
d. Diagnosa : nausea berhubungan dengan distensi lambung (D.0076)
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan kepada pasien
diharapkan tingkat nausea menurun.
Kriteria hasil : (L.12111)
1) Nafsu makan meningkat
2) Keluhan mual menurun
3) Perasaaan ingin muntah menurun
Intervensi : manajemen mual (I.03117).
1) Observasi
a) Identifikasi pengalaman mual
b) Identifikasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan(mis.bayi,
anakanak, dan mereka yang tidak dapat berkomunikasi secara
efektif)
c) Identifikasi dampak mual terhadap kulitas hidup (mis. Nafsu
makan, aktivitas, kinerja, tanggung jawab peran, dan tidur)
d) Identifikasi factor penyebab mual (mis. Pengobatan dan
prosedur

18
e) Identifikasi antiemetic untuk mencegah mual (kecuali mual
pada kehamilan)
f) Monitor mual (mis. Frekuensi, durasi, dan tingkat keparahan)
g) Monitor asupan nutrisi dan kalori
2) Terapeutik
a) Kendalikan factor lingkungan penyebab mual (mis. Bau tak
sedap, suara, dan rangsangan visual yang tidak
menyenangkan)
b) Kurangi atau hilangkan keadaan penyebab mual (mis.
Kecemasan, ketakutan, kelelahan)
c) Berikan makanan dalam jumlah kecil dan menarik
d) Berikan makanan dingin, cairan bening, tidak berbau dan
tidak berwarna, jika perlu.
3) Edukasi
a) Anjurkan istirahat dan tidur yang cukup
b) Anjurkan sering membersihkan mulut, kecuali jika
merangsang mual
c) Anjurkan makanan tinggi karbohidrat dan rendah lemak
d) Anjurkan penggunaan teknik nonfarmakologis untuk
mengatasi mual(mis. Biofeedback, hypnosis, relaksasi, terapi
music, akupresur)
4) Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian antiemetic, jika perlu
e. Diagnosa : risiko infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas
kulit(D.0142).
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan kepada pasien
diharapkan tingkat infeksi menurun
Kriteria hasil : (L.14137)
1) Demam menurun
2) Kemerahan menurun
3) Nyeri menurun
4) Bengkak menurun

19
Intervansi : pencegahan infeksi (I.14539)
1) Observasi
a) Monitor tanda dan gejala infeksi local dan sisemik
Terapeutik
b) Batasi jumlah pengunjung
c) Berikan perawatan kulit pada area edema
d) Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
e) Pertahankan teknik aseptic pada pasien berisiko tinggi
2) Edukasi
a) Jelaskan tanda dan gejala infeksi
b) Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
c) Ajarkan etika batuk
d) Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
e) Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
f) Anjurkan meningkatkan asupan cairan
3) Kolaborasi
a) Pemberian imuniasasi, jika perlu
f. Diagnosa : nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
(D.0077)
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan kepada pasien
diharapkan tingkat nyeri menurun
Kriteria hasil : (L.08066)
1) Keluhan nyeri menurun
2) Meringis menurun
3) Sikap protektif menurun
4) Gelisah menurun
5) Kesulitan tidur menurun
Intervensi : manajemen nyeri (I.08238)
1) Observasi
a) Identifikasi local, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri

20
b) Identifikasi skala nyeri
c) Identifikasi respons nyeri non verbal
d) Identifikasi factor yang memperberat dan memperingan
nyeri.
e) Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
f) Identifikasi pengaruh budaya terhaadap respon nyeri
g) Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
h) Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah
diberikan.
i) Monitor efek samping penggunaan analgetik.
2) Terapeutik
a) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
(mis.TENS, hypnosis, akupresur, terapi music, biofeedback,
terapi pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin, terapi bermain).
b) Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
c) Fasilitas istirahat dan tidur
d) Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri
3) Edukasi
a) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
b) Jelaskan strategi meredakan nyeri
c) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
d) Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
e) Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
4) Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
4. Implementasi
implementasi keperawatan merupakan salah satu tahap pelaksanaan
dalam proses keperawatan. Dalam implementasi terdapat susunan dan
tatanan pelaksanaan yang akan mengatur kegiatan pelaksanaan sesuai

21
dengan diagnosa keperawatan dan intervensi keperawatan yang sudah
ditetapkan. Implementasi keperawatan ini juga mengacu pada
kemampuan perawat baik secara praktik maupun intelektual(Beatrik Yeni
Sampang Ukur Lingga, 2019a).
5. Evaluasi
Evaluasi keperawatan merupakan suatu tahap yang terdapat dalam
proses keperawatan evaluasi dilakukan pada banyak hal yang dapat
dinilai keberhasilan dan ketepatannya agar kebutuhan klien dapat
terpenuhi, perawat sendiri perlu melakukan evaluasi untuk mendapat
kesadaran diri dan membuat peningkatan dari hasil yang sudah
didapatkan. (Beatrik Yeni Sampang Ukur Lingga,2019).

22
DAFTAR PUSTAKA

Adhisty, K., Rica, D. S., Zaleha, Marista, D., Winni, P. A., Agustin, I., & Dwi, S.
(2019). The Effect Of Complementer Therapy: Seft Therapy On Stress
And. Seminar Nasional Keperawatan.
Apri, S., & Desi, Y. M. A. (2016). Faktor-Faktor Determinat Terjadinya Kanker
Ovarium Di Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Mpelok Provinsi
Lampung 2015. P- Issn: 2086-3071, E-Issn: 2443-0900.
Ari, D., Yanti, M., & Sulistianingsih, A. (2016). FAKTOR DETERMINAT
TERJADINYA KANKER OVARIUM DI RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH ABDOEL MOELOK PROVINSI LAMPUNG 2015
Determniant Factors of Ovarium Cancer in Abdoel Moelok Hospital
Lampung in 2015. Ejournal Umm.
Beatrik Yeni Sampang Ukur Lingga. (2019a). PELAKSANAAN
PERENCANAAN TERSTRUKTUR MELALUIIMPLEMENTASI
KEPERAWATAN. 6. https://osf.io/jdu7v
Beatrik Yeni Sampang Ukur Lingga. (2019b). PENINGKATAN MUTU
PERAWAT DAN ASUHAN KEPERAWATANMELALUI EVALUASI
KEPERAWATAN. https://osf.io/5y9fb
Budiana, I. N. G. (2013). Tumor Ovarium: Prediksi Keganasan Pra
Bedah.MEDICINA.
dr.annisa siti rohima. (2013). anatomi genetalia feminine
dr. Sardjito. (2019). mengenal kanker ovarium.
dr. Yelvi Levani. (2019). Diagnosis Kanker Ovarium.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). standar diagnosis keperawatan indonesia.
Dewan pengurus pusat persatuan perawat nasional indonesia.
Drs.H.syaifuddin, A. (2016). Anatomi Fisiologi berbasis kompetensi untuk
keperawatan & kebidanan (S. K. monica ester (ed.)). buku kedokteran
EGC.
Hariyono Winarto, & Andrew Wijaya. (2020). Gambaran Myelosupresi pada
pasien Kanker Ovarium yang Menerima Kemoterapi Carboplatin-

23
Paclitaxel di RSUPN Cipto Mangunkusumo Tahun 2018. Journal Of The
Indonesian Medical Association.
Istighosah, N., & Yunita, N. (2019). Perbedaan Pengetahuan Wanita Usia Subur
( Wus ) Tentang Kanker Ovarium Sebelum Dan Sesudah Diberi
Penyuluhan ( Di Rt 03 Rt 04 Desa Sumengko Kecamatan Sukomoro
Kabupaten Nganjuk ). Jurnal Kebidanan.
Kartikasari, F., Yani, A., & Azidin, Y. (2020). Pengaruh Pelatihan Pengkajian
Komprehensif Terhadap Pengetahuan Dan Keterampilan Perawat
Mengkaji Kebutuhan Klien Di Puskesmas. Jurnal Keperawatan Suaka
Insan (Jksi).
Louis. (2017). woc CA ovarium.
https://id.scribd.com/document/359869325/WocCA-Ovarium
Purwoko, M. (2018). Hubungan Tingkat Pendidikan dan Pekerjaan dengan
Tingkat Pengetahuan Mengenai Kanker Ovarium pada Wanita. Mutiara
Medika: Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan.
https://doi.org/10.18196/mm.180214
Rina Mardiani. (n.d.). MENULISKAN TUJUAN DAN KRITERIA HASIL
PERENCANAAN KEPERAWATAN.
file:///C:/Users/ASUS/Downloads/5. MENULISKAN TUJUAN DAN
KRITERIA HASIL PERENCANAAN KEPERAWATAN (1).pdf
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). standar diagnosis keperawatan indonesia.
Dewan pengurus pusat persatuan perawat nasional indonesia.
Utami, S. (2016). Efektifitas Latihan Progressive Muscle Relaxation(Pmr)
Terhadap Mual Muntah Kemoterapi Pasien Kanker Ovarium. Jurnal
Keperawatan.

24

Anda mungkin juga menyukai