Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

DEPARTEMEN MATERNITAS

“CYSTA OVARY”

Disusun untuk memenuhi tugas pada Mata Kuliah Clinical Study 2

Oleh:
Kenny Maharani 135070201111016

Kelompok 6/Reguler 2/PSIK 2013

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
CYSTA OVARI

A. DEFINISI
Kista ovarium adalah kantung berisi cairan atau bahan semi-solid yang terdapat di
ovarium (Ammer, 2009).
Kista ovarium merupakan rongga berbentuk kantong yang berisi cairan di dalam
jaringan ovarium. Kista ovarium disebut juga dengan kista fisiologis karena
terbentuk selama siklus menstruasi dan biasanya menghilang setelah 1-3 bulan
(Yatim, 2005).

B. KLASIFIKASI
Klasifikasi kista ovarium dibagi menjadi dua yaitu kista fisiologis dan kosta patologis.
1. Kista Fisiologis
a. Kista Folikel
Kista ini berasal dari folikel yang tidak ruptur. Kista ini biasanya dapat
menghilang secara spontan dan memiliki ukuran kurang dari 6 cm (Umami &
Safitri, 2007 dalam Riskita, 2015).
b. Kista Korpus Luteum
Dalam keadaan normal korpus luteum lambat laun mengecil dan menjadi
korpus albikans. Kadang-kadang korpus luteum mempertahankan diri (korpus
luteum persistens); perdarahan yang sering terjadi di dalamnya menyebabkan
terjadinya kista yang berisi cairan berwarna merah coklat karena darah tua. Kista
korpus luteum dapat menimbulkan gangguan menstruasi seperti amenorea diikuti
oleh perdarahan tidak teratur. Kista ini juga dapat menyebabkan rasa berat di
perut bagian bawah (Prawirohardjo, 2008).
c. Kista Lutein
Pada kasus mola hidatidosa, ovarium banyak terdapat kista teka lutein yang
disebabkan oleh pengaruh HCG yang berlebihan. Kista ini dapat mengalami
torsi, infark, dan perdarahan (Leveno et al., 2009 dalam Riskita, 2015).
d. Kista Inklusi Germinal
Kista ini terjadi karena invaginasi dan isolasi bagian-bagian kecil dari epitel
germinativum pada permukaan ovarium. Kista ini lebih banyak terdapat pada
wanita yang lanjut usia, dan besarnya jarang melebihi diameter 1 cm
(Prawirohardjo, 2008).

e. Kista Endometrium
Kista endometrium terbentuk dari jaringan endometrium yang berkembang
di luar tempat normalnya, paling sering terdapat di ovarium. Terdapat tiga teori
tentang patogenesis dari kista endometrium, yaitu transpor retrograd dan
implantasi, transpor retrograd dan transformasi metaplastik pada peritonium
yang berdekatan, dan penyebaran limfatik atau hematogen (Graber et al.,
2006 dalam Riskita, 2015).
f. Kista Stein-Leventhal atau Polycystic Syndrome (PCOS)
Kelainan ini disebabkan oleh gangguan proses pengaturan ovulasi dan
ketidakmampuan enzim yang berperan pada proses sintesis estrogen di
ovarium. Pada perempuan dengan PCOS, tidak dijumpai gangguan sintesis
estrogen, tetapi justru ditemukan produksi estrogen yang tinggi yang
meningkatkan risiko terkena kanker endometrium dan payudara (Baziad, 2012
dalam Riskita, 2015).

2. Kista Patologis
Menurut Prawirohardjo (2008), kista ovarium yang patologis terdiri dari:
a. Kistoma Ovarii Simpleks
Kista ini mempunyai permukaan rata dan halus, biasanya bertangkai sehingga
dapat terjadi torsi (putaran tangkai), sering bilateral dan dapat membesar. Dinding
kista tipis dan cairan di dalamnya jernih, serus dan berwarna kuning. Pada dinding
kista terlihat lapisan epitel kubik
b. Kistadenoma Ovarii Serosum
Kista ini berasal dari epitel permukaan ovarium. Ukurannya tidak lebih
besar dari kistadenoma musinosum. Permukaannya licin, tetapi dapat pula
berbagala sehingga dapat berbentuk multilokuler, meskipun lazimnya
berongga satu. Warna kista putih keabu-abuan dan isi kista cair, kuning, dan
kadang-kadang cokelat. Ciri khas kista ini adalah potensi pertumbuhan papiler
ke dalam rongga kista sebesar 50%, dan keluar pada permukaan kista
sebesar 5%.
c. Kistadenoma Ovarii Musinosum
Asal tumor ini belum diketahui dengan pasti. Menurut Meyer, kista ini
berasal dari suatu teratoma di mana dalam pertumbuhannya satu elemen
mengalahkan elemen-elemen lainnya. Tumor berbentuk multilokuler sehingga
permukaan berbagala (lobulated), dapat mencapai ukuran yang sangat besar,
unilateral atau bilateral. Dinding kista agak tebal dan berwarna putih keabu-
abuan yang berisi cairan lendir yang khas, kental seperti gelatin, melekat dan
berwarna kuning sampai cokelat. Dinding kista dilapisi oleh epitel torak tinggi
dengan inti pada dasar sel.
d. Kista Endometroid
Kista ini biasanya unilateral dengan permukaan licin. Pada dinding dalam
terdapat satu lapisan sel-sel, yang menyerupai lapisan epitel endometrium.
e. Kista Dermoid
Kista ini merupakan satu teratoma kistik yang jinak di mana struktur-struktur
ektodermal dengan diferensiasi sempurna, seperti epitel kulit, rambut, gigi, dan
produk glandula sebasea berwarna putih kuning seperti lemak terlihat lebih
menonjol dibandingkan elemen entoderm dan mesoderm.

C. FAKTOR RESIKO
Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terbentuknya kista ovarium yaitu:
1. Riwayat Keluarga
Sekitar 10% dari kanker ovarium disebabkan oleh mutasi gen yang diwariskan
dalam gen tertentu sehingga dapat meningkatkan risiko kanker ovarium. Misalnya,
mutasi pada gen Breast Cancer 1 (BRCA1) dan Breast Cancer 2 (BRCA2)
meningkatkan risiko kanker payudara. Kanker payudara pada wanita dapat
bermetastasis ke ovarium, sehingga wanita yang memiliki riwayat anggota keluarga
dengan kanker payudara dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium
(American Cancer Society, 2013 dalam Riskita, 2015).
2. Usia
Risiko peningkatan kanker ovarium semakin tinggi seiring bertambahnya usia.
Kebanyakan kanker ovarium berkembang setelah menopause (American Cancer
Society, 2013 dalam Riskita, 2015).
3. Siklus menstruasi
Menurut penelitian Hariyanti (2012) tentang faktor risiko kista ovarium, didapatkan
sebesar 80 % wanita mengalami siklus menstruasi tidak teratur. Dari hasil rasio
prevalensi menunjukan bahwa siklus menstruasi tidak teratur mempengaruhi
kejadian kista ovarium. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya.
4. Obesitas
Beberapa penelitian menemukan bahwa ada hubungan antara obesitas dengan
kanker ovarium. Body Mass Index (BMI) yang lebih dari 30 memiliki risiko lebih besar
terhadap pekembangan kanker ovarium (American Cancer Society, 2013 dalam
Riskita, 2015).
5. Merokok
Beberapa penelitian epidemiologi membuktikan adanya hubungan antara
merokok dengan perkembangan kista fungsional. Meskipun mekanisme merokok
menyebabkan kista ovarium tidak diketahui, diduga adanya perubahan pada sekresi
gonadotropin dan fungsi ovarium (Schorge et al., 2008 dalam Riskita, 2015).
6. Faktor lingkungan
Beberapa peneliti telah memperkirakan bahwa paparan bahan kimia lingkungan
seperti pestisida dan herbisida berhubungan dengan kista ovarium. Hubungan antara
atrazine dan tumor ovarium telah diamati dalam dua penelitian di Italia, yang
menunjukkan bahwa atrazine adalah karsinogenik pada manusia (Hariyanti, 2012
dalam Riskita, 2015).
7. Hipotiroid
Menurut Shivaprasad et al. (2013) dalam Riskita (2015), ada beberapa teori yang
menjelaskan hubungan hipotiroid dengan kista ovarium yaitu:
a. Kesamaan struktural antara Thyroid Stimulating Hormone (TSH) dengan Follicle
Stimulating Hormone Receptor (FSHR), sehingga tingginya level TSH dapat
menyebabkan aktivasi sel folikel.
b. Pada pasien hipotiroid yang parah terjadi perubahan kadar gonadotropin. Mereka
memiliki tingkat FSH relatif tinggi dan tingkat LH yang rendah.
c. FSHR memperkuat efek Human Chorionic Gonadotropin (HCG) atau TSH pada
folikel.
d. TSH memiliki efek pada ovarium untuk menstimulasi gonadotropin dengan
stimulasi reseptor nuklir tiroid dalam sel granulosa. Gangguan dalam
steroidogenesis oleh jenis myxedematou infiltrasi ovarium hipotiroidisme
mempengaruhi perubahan kistik dalam ovarium.

D. ETIOLOGI
Penyebab dari kista belum diketahui secara pasti, kemungkinan disebabkan oleh
beberapa faktor pendukung, yaitu:
1. Ketidakseimbangan hormon progesteron dan estrogen
2. Pertumbuhan folikel yang tidak terkontrol
3. Degenerasi ovarium
4. Gaya hidup tidak sehat yakni dengan:
a. Konsumsi makanan yang tinggi lemak, kurang serat dan makanan berpengawet
b. Penggunaan zat tambahan pada makanan
c. Kurang berolah raga
d. Merokok dan mengkonsumsi alkohol
e. Terpapar dengan polusi dan agen infeksius
f. Sering stress
5. Faktor genetik
Dalam tubuh kita terdapat gen – gen yang berpotensi memicu kanker yaitu yang
disebut protoonkgen, karena suatu sebab tertentu misalnya karena makan makanan
yang bersifat karsinogen, polusi atau terpapar zat kimia tertentu atau atau karena
radiasi, protoonkgen ini dapat berubah menjadi onkgen yaitu gen pemicu kanker.
(Ryta, 2008 dalam Cahyono, 2013).

E. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian kista sering terjadi pada wanita berusia produktif. Jarang sekali di
bawah umur 20 maupun di atas 50 tahun (William, 2007 dalam Fadhilah, 2015).
Kista Ovarium ditemukan pada hampir semua wanita premenopause dan pada 18%
wanita post menopause. Insiden yag sering terjadi pada wanita usia 30-54 tahun dan
yang paling tinggi adalah wanita dengan kulit putih. (William, 2007 dalam Fadhilah,
2015)
Di Amerika insidensi kista ovarium semua ras adalah 12,5 kasus per 100.000
populasi pada tahun 1988 sampai 1991. Sebagian besar kista adalah kista fungsional
dan jinak.Di Amerika karsinoma ovarium didiagnosa pada kira-kira 22.000 wanita,
kematian sebanyak 16.000 orang.
Di RSU H. Adam Malik Medan terdapat jumlah seluruh penderita kista ovarium tahun
2008-2009 sebanyak 47 orang. Di Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan dari bulan Januari
2010- Oktober 2010 penderita kista ovarium pada wanita usia subur terdata sebanyak
34 kasus. Kemudian Di Rumah Sakit ST. Elisabeth Medan penderita kista ovarium dari
tahun 2008-2012 terdata sebanyak 116 kasus (Dumaris, 2012 dalam Fadhilah, 2015).

F. MANIFESTASI KLINIS
Kista ovarium biasanya tidak menimbulkan gejala (Gulati & Goyal, 2013 dalam
Riskita, 2015). Menurut Sain Mary’s Hospital (2012) dalam Riskita (2015), gejala kista
ovarium dapat ditemukan apabila massa berukuran besar, pecah (splits), atau terjadi
torsi. Dalam keadaan seperti itu dapat ditemukan gejala berupa:
1. Nyeri panggul karena ukuran kista yang besar, dan nyeri tajam yang tiba-tiba karena
kista pecah atau torsi.
2. Kesulitan mengosongkan perut.
3. Peningkatan frekuensi buang air kecil.
4. Nyeri panggul selama hubungan seksual.
5. Menstruasi yang tidak teratur.
6. Merasa kenyang dan kembung

G. PATOFISIOLOGI
(Terlampir)
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Anamnesis
Setiap mengevaluasi pasien dengan kista ovarium harus mencakup riwayat
kesehatan menyeluruh. Mencari tahu faktor risiko dan risiko keganasan pada
pasien. Gejala seperti nyeri panggul, perut kembung, cepat kenyang, dan
perubahan nafsu makan harus diwaspadai adanya keganasan dan
penatalaksanaan yang dipilih harus tepat. Hal ini juga penting untuk mencari
gejala yang menunjukkan endometriosis, terutama pada pasien wanita usia
reproduksi dengan infertilitas (Rofe et al., 2013 dalam Riskita, 2015).

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaan abdominal dan pemeriksaan
pelvis, termasuk pemeriksaan palpasi bimanual untuk mencari massa. Bila
dijumpai massa, maka karakteristik dari massa harus dievaluasi dengan baik
sehingga asal massa dapat diketahui dengan pasti untuk penanganan lebih
lanjut. Karakteristik massa yang harus dievaluasi meliputi lokasi, ukuran,
konsistensi, bentuk, mobilitas, unilateral atau bilateral dan penemuan lain yang
bermakna seperti demam, asites. Demam menunjukan proses infeksi atau torsi
ovarium dan asites menandakan adanya kemungkinan keganasan. Namun, perlu
diingat bahwa pemeriksaan fisik memiliki sensitivitas yang buruk untuk
mendeteksi massa ovarium (15 % - 51 %) (Rofe et al., 2013 dalam Riskita,
2015).

3. Pemeriksaan Laboratorium
Penanda adanya tumor adalah protein, yang dihasilkan oleh sel-sel tumor atau
oleh tubuh sebagai respons terhadap sel-sel tumor. Cancer Antigen 125 (CA-125)
adalah antigen penentu glikoprotein dengan berat molekul besar. CA-125 bukan
antigen spesifik tumor, tetapi penentuan serum CA-125 dapat membantu dan
sering digunakan dalam evaluasi kista ovarium. Pemeriksaan CA-125 biasanya
dilakukan pada wanita yang berisiko memiliki keganasan (Yatim, 2005). CA-125
pada wanita usia reproduksi meningkat dalam berbagai kondisi seperti fibroid,
endometriosis, adenomiosis, infeksi panggul dan selama siklus menstruasi
normal. CA-125 digunakan untuk membedakan massa jinak dengan massa
ganas. Anti-Mullerian Hormone (AMH) adalah penanda yang relatif baru pada
cadangan ovarium dan dianggap paling akurat pada saat ini. Serum AMH diatas
0,5 ng/mL menunjukan cadangan ovarium yang baik, sedangkan serum AMH
yang rendah menunjukan adanya penurunan folikel ovarium. Tingkat serum AMH
dapat memberikan petunjuk manajemen yang tepat untuk pasien kista ovarium.
Penurunan AMH mungkin kontraindikasi untuk bedah pada pasien tertentu. AMH
juga dapat digunakan sebagai alat untuk mengevaluasi kerusakan ovarium
setelah operasi (Rofe et al., 2013 dalam Riskita, 2015).

4. Pemeriksaan penunjang
Pencitraan yang paling banyak digunakan adalah ultrasonography (USG)
transvaginal. Pencitraan ini sering digunakan untuk wanita usia reproduksi dan
asimtomatik (Rofe et al., 2013 dalam Riskita, 2015). Melalui USG dapat diketahui
tempat lesi (unilateral atau bilateral), ukuran, konsistensi (kistik atau solid),
struktur internal (septa tipis atau tebal), permukaan kista (rata atau tidak rata).
Pada USG gambaran khas yang menunjukan adanya lesi jinak adalah dinding
yang tipis, tidak adanya eko internal, kurangnya septa internal. Kista sederhana
yang berukuran kurang dari 6 cm harus dipantau dengan USG. Jika USG
memberikan gambaran yang kurang jelas atau jika terdapat kecurigaan adanya
keganasan, maka dapat digunakan Computerized Tomography (CT) dan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk melihat pencitraan yang lebih akurat.

I. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Konservatif
Menurut konsensus yang diterbitkan oleh Society of Radiologists in Ultrasound
dalam Levine et al. (2010) dalam Riskita (2015), kista ovarium dan kista adneksa
lainnya pada wanita yang asimtomatik dapat ditatalaksana dengan cara berikut ini:
a. Kista adneksa dengan ukuran fisiologis pada wanita usia reproduksi, atau kista
sederhana yang berukuran ≤ 1 cm pada wanita pascamenopause, cenderung
jinak dan tidak berbahaya.
b. Kista sederhana dengan ukuran lebih dari 3 cm pada wanita usia reproduksi atau
lebih besar dari 1 cm pada wanita pascamenopause harus diperiksa dengan
USG. Meskipun kista sederhana dari berbagai ukuran tidak mungkin menjadi lesi
ganas, tetapi perlu dilakukan USG tahunan untuk mengawasi kista yang lebih dari
5 cm pada wanita pramenopause dan 1 cm pada wanita pascamenopause. Batas
5 cm juga digunakan sebagai rekomendasi tindak lanjut untuk kista hemoragik
pada wanita pramenopause.
c. Penggunaan pedoman ini bertujuan untuk mengurangi kecemasan pasien dan
dokter, serta membatasi kebutuhan tindak lanjut pemeriksaan.

2. Pembedahan
Sebagian besar kista ovarium tidak memerlukan pengobatan, tetapi yang lebih
besar dari 5 cm dapat diangkat melalui pembedahan. Bedah laparoskopi merupakan
standar baku untuk pengobatan kista ovarium jinak. Ini adalah prosedur yang sangat
efektif dan amanM. Menurut Hadibroto (2005) dalam Riskita (2015), dengan
laparoskopi trauma dinding abdomen lebih minimal, waktu operasi lebih singkat,
risiko perlengketan lebih minimal dan masa penyembuhan lebih cepat dibanding
dengan prosedur pembedahan laparotomi. Ketika melakukan operasi laparoskopi
pada kista ovarium jinak, penghapusan kapsul lengkap harus dilakukan. Apabila
hanya melakukan aspirasi, pengobatan menjadi kurang efektif dan tingkat
kekambuhan lebih tinggi (46% - 84%).

J. KOMPLIKASI
1. Torsi
Kista ovarium dengan diameter besar dari 4 cm memiliki tingkat torsi sekitar
15%. Torsi menyebabkan obstruksi vena, sehingga aliran arteri dapat mengalami
infark. Sebagian besar kasus torsi terjadi pada wanita pramenopause usia subur,
tetapi 17% dari kasus terjadi pada wanita prapubertas dan pascamenopause.
Torsi ovarium lebih umum di sisi kanan karena kolon sigmoid membatasi
mobilitas ovarium kiri. Massa ovarium yang paling umum yang terkait dengan
torsi adalah kista dermoid (Helm, 2014 dalam Riskita, 2015).

2. Ruptur
Kista folikular menyebabkan timbulnya nyeri yang akut dan singkat. Kista
korpus luteum yang ruptur dapat menyebabkan perdarahan yang mengancam
jiwa karena kista tersebut memiliki banyak pembuluh darah. Nyeri akut tidak
dapat dibedakan dari kehamilan ektopik yang ruptur tetapi HCG serum negatif.
Nyeri tekan pelvis yang difus terdeteksi pada pemeriksaan pelvis dan sering
terjadi unilateral pada sisi yang terkena. Suatu massa dapat terdeteksi melalui
palpasi (Sinclair, 2009 dalam Riskita, 2015).
DAFTAR PUSTAKA

Ammer, Christine. 2009. The Encyclopedia of Women’s Health, Sixth Edition. United States
of America: Facts on File Inc.
Cahyono, Dista Evi. 2013. Kista Ovarium. Online. Diakses dari [https://www.scribd.com/doc/
129291238/KISTA-OVARIUM-pdf] diakses pada 1 Mei 2017.
Fadhilah, Elicia. 2015. Karakteristik Wanita Penderita Kista Ovarium di Rumah Sakit Vita
Insani Pematang Siantar Tahun 2011-2013. Online. Diakses dari
[http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/48681] diakses pada 1 Mei 2017.
Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Ilmu Kandungan. Edisi ke-2. Cetakan ke-6. Jakarta: PT. Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Riskita, Dila. 2015. Gambaran Gangguan Menstruasi Pada Penderita Kista Ovarium Di
RSUP H. Adam Malik Pada Tahun 2012-2013. Online. Diakses dari
[http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/54273] diakses pada 1 Mei 2017.
Yatim, Faisal. 2005. Penyakit Kandungan: Myoma, Kanker Rahim/Leher Rahim Dan Indung
Telur, Kista, Serta Gangguan Lainnya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai