Rekomendasi Penatalaksanaan
Kejang pada Neonatus
Penyunting:
Sofyan Ismael
Setyo Handryastuti
Rizalya Dewi
Disusun oleh:
Ikatan Dokter Anak Indonesia
Kontributor......................................................................................... iii
Kata Sambutan Ketua Umum PP.IDAI.................................................iv
Kata Pengantar......................................................................................v
Definisi kejang
Kejang klinis: Kejang yang tampak secara klinis, yaitu perubahan fungsi
neurologis (perilaku, motor, atau autonomik) yang bersifat paroksismal.
Kejang elektrografik: Kejang yang hanya tampak dari gambaran
elektroensefalografi (EEG), yaitu :(1) Perubahan mendadak pada gambaran
elektroensefalografi (EEG); (2) pola gelombang berulang yang berevolusi
dalam morfologi, frekuensi, dan/atau lokasi; (3) Amplitudo ≥2 μV; (4)
durasi ≥10 detik, atau durasi < 10 detik tetapi timbul berulang-ulang (5)
kejang disebut terpisah jika berjarak minimal 10 detik, (6) tanpa atau disertai
kejang klinis.
Abend NS, et al. Neonatal seizures. In: Volpe’s Neurology of the Newborn, 6th ed. 2018.
Tsuchida TN, et al. J Clin Neurophysiol. 2013;30:161-73.
Epidemiologi
Angka kejadian adalah 58 per 100 kelahiran hidup pada neonatus berat lahir
sangat rendah, 1 hingga 3-5 per 100 kelahiran hidup pada bayi cukup bulan
Glass HC, et al. J Pediatr Neurol. 2009;7:13-7.
Lawrence R, et al. Semin Pediatr Neurol. 2010;17:163-8..
Etiologi
•• Ensefalopati hipoksik iskemik (EHI)
Merupakan penyebab kejang pada neonatus yang paling sering dengan
median prevalensi 38-48%
•• Hipoglikemia
Prevalensi 3-7,5% dan dapat berhubungan dengan gejala lanjutan
termasuk didalamnya epilepsi.
•• Hipokalsemia
Prevalensi 2,3-9% dengan kecenderungan menurun dengan manajemen
nutrisi yang baik pada neonatus. Hal ini terlihat dari tingginya angka
kejadian pada studi tahun 1970an.
•• Infeksi susunan saraf pusat
Prevalensi 5,5-10,3%
•• Lainnya
Epilepsi dependen piridoksin merupakan penyakit yang jarang dengan
angka kejadian 1:396 000. Angka ini sangat rendah dibandingkan
dengan angka kejadian kejang pada neonatus yang mencapai 1:71 s/d
1:1000
*Tidak terdapat perbedaan bermakna antara prevalensi 4 penyebab
tersering kejang neonatus pada kelompok bayi prematur maupun matur
WHO. Guidelines on Neonatal Seizure.2011.
Manifestasi klinis
Karena sebagian besar fasilitas neonatologi di Indonesia tidak memiliki alat
amplitude EEG (aEEG ) maupun EEG maka pengamatan secara klinis sangat
•• Kejang subtle
Manifestasi klinis yang sering terlewatkan bahkan oleh tenaga kesehatan
yang terlatih. Kejang jenis ini lebih sering ditemukan pada bayi prematur
dibandingkan dengan bayi matur. Pada bayi prematur, kejang subtle
sering disertai kelainan EEG. Tampilan klinis yang terlihat:
− Fenomena Okular
»» Deviasi mata horizontal bersifat tonik dengan atau tanpa kedutan
mata (pada bayi matur).
»» Mata yang terus terbuka dengan fiksasi okular (pada bayi prematur)
− Gerakan oral-buccal-lingual
»» Mengunyah
− Manifestasi lain
»» Gerakan tungkai (pedaling, rowing, boxing)
»» Fenomena otonom
»» Episode apnea (Terutama bila berhubungan dengan aktivitas
kejang pada EEG dan jarang berhubungan dengan bradikardia).
Episode apnea biasanya juga disertai manifestasi kejang subtle
yang lain
•• Kejang klonik
Kejang dengan karakteristik gerakan ritmis dari suatu kelompok
otot dengan distribusi fokal yang terdiri dari suatu fase cepat diikuti
dengan gerakan kembali yang lambat. Bentuk kejang ini paling sering
berhubungan dengan kejang pada aktivitas EEG. Tampilan klinis yang
terlihat:
− Kejang klonik fokal
•• Kejang Tonik
Kejang tonik merupakan bentuk kejang dengan fleksi atau ekstensi yang
menetap baik aksial atau apendikular pada sekelompok otot. Kejang
tonik terbagi menjadi 2 kelompok:
− Kejang tonik fokal
Kejang berupa kekakuan postur salah satu ekstremitas atau kekakuan
asimetris batang tubuh atau leher. Kejang tonik fokal berhubungan
erat dengan kejang EEG
− Kejang tonik umum
Kejang berupa ekstensi tonik maupun fleksi ekstremitas superior dan
inferior. Sekitar 85% kejang tipe ini tidak diikuti aktivitas kejang
pada EEG karena gejala klinis ini sering ditemukan pada postur
deserebrasi atau dekortikasi yang berhubungan dengan perdarahan
intraventrikel.
•• Kejang Mioklonik
Mioklonus adalah gerakan menyentak yang cepat dan terisolasi yang
dapat memengaruhi satu atau beberapa kelompok otot dengan etiologi
iktal maupun non-iktal dan dapat timbul akibat cedera pada berbagai
level sistem saraf pusat. Kejang mioklonik umumnya tidak berhubungan
dengan kejang EEG.
− Kejang mioklonik fokal dan multifokal
Gerakan yang terlokalisasi, tunggal atau multipel, umumnya pada
Terdapat gerak pada neonatus yang bukan kejang yang kerap sulit
dibedakan tanpa pemeriksaan EEG. Gerak tersebut adalah jitteriness, tremor,
mioklonus non epileptik dan hiperekpleksia.
•• Jitteriness
Gerakan seperti gemetar yang kadang-kadang mirip klonik. Perbedaan
jitteriness dengan kejang : (1) tidak terdapat gerak mata atau gaze yang
abnormal, pada kejang ada. (2) dapat distimulasi, pada kejang tidak, (3)
gerak dominan tremor, sedangkan pada kejang clonic jerking, (4) gerak
menghilang dengan fleksi pasif, kejang tidak dapat menghilang dengan
maneuver apapun, (5) jitteriness tidak disertai perubahan otonom, kejang
disertai perubahan otonom.
•• Tremor
Kerap sulit dibedakan dengan kejang klonik. Tremor adalah gerak ritmik
dua fase dengan amplitudo rendah dan kecepatan tinggi yang sama di
kedua fase. Sedangkan klonik adalah gerak cepat diikuti gerak fase lambat.
Gerak pada klonik beramplitudo tinggi dengan kecepatan lambat.
•• Hiperekpleksia
Reaksi abnormal berupa startle yang berlebihan disertai tonik spasm
sebagai respons terhadap rangsang auditori, visual dan taktil.
Abend NS, et al. Neonatal seizures. In: Volpe’s Neurology of the Newborn, 6th ed. 2018.
Elektroensefalografi (EEG)
EEG konvensional
EEG konvensional hingga saat ini merupakan pemeriksaan penunjang yang
paling penting dalam menegakkan diagnosis kejang dan mengetahui lokasi
dimulainya kejang. Saat ini monitor EEG kontinu yang kerap dilengkapi
dengan rekaman video mulai digunakan di NICU. EEG perlu dilakukan
karena:
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kejang neonatus masing-masing negara maupun rumah
sakit dapat berbeda satu sama lain. Hal ini tentu mengingat ketersediaan
obat dan fasilitas yang ada.
Algoritme di bawah ini mencoba untuk memfasilitasi berbagai macam
tipe rumah sakit di Indonesia, oleh karena itu penerapan algoritme tentu
disesuaikan dengan PPK masing-masing RS.
* Bayi dengan klinis kejang : sesuai dengan manifestasi kejang neonatus secara
klinis dengan/tanpa bantuan rekaman video.
** Bayi risiko tinggi kejang : bayi dengan asfiksia sedang dan berat, bayi prematur,
sepsis, jika terdapat kejang atau gerakan-gerakan berulang dan stereotipi yang
menyerupai kejang diobservasi, jika memungkinkan lakukan perekaman video
untuk observasi lebih lama. Observasi juga dilakukan pada neonatus dengan
kecurigaan kejang seperti apneu/desaturasi berulang tanpa penyebab yang
jelas.
*** Neonatus kerap mengalami hipoglikemia maupun gangguan keseimbangan
elektrolit yang dapat menyebabkan kejang, oleh karena itu secara rutin diperiksa
dan dikoreksi jika terdapat kelainan.
**** Kecurigaan infeksi SSP jika ditemukan : (1) bayi dengan kejang disertai tanda-
tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti UUB membonjol, (2) bayi
dengan sepsis disertai kejang. Diagnosis pasti dengan pemeriksaan cairan
serebrospinal.
***** Pemeriksaan kadar obat dalam darah dilakukan jika hasil pemeriksaan dapat
diperoleh dalam waktu kurang dari 24 jam.
****** Pemeriksaan gula darah, kalsium ion, dan magnesium dikerjakan secara rutin
jika fasilitas laboratorium memadai. Jika tidak dapat dilakukan pemeriksaan
yang lengkap maka diberikan dekstrose dan koreksi kalsium. Jika setelah koreksi
kalsium masih terdapat kejang, maka dapat diberikan koreksi magnesium
PILIHAN UTAMA
L FENOBARBITAL ALTERNATIF 1 ALTERNATIF 2 ALTERNATIF 3
I Dosis inisial: MIDAZOLAM
FENITOIN
N IV: 20 mg/kgBB selama 10-15 menit Dosis inisial:
Dosis inisial:
I IM: 30 mg/kgBB Atau 0,15 mg/kgBB IV
20 mg/kgBB IV
Dilanjutkan rumatan 24 jam setelah
dengan kecepatan
S dosis inisial, dosis 4-6 mg/kgBB/hari
1 mg/kgBB/menit Kemudian
A dibagi 2 dosis IV/PO dilanjutkan infus
T 1 mcg.kg/menit
Pem berian dosis
U
ulangan tidak
Jika masih kejang: dianjurkan apabila
Pemberian fenobarbital dapat DIAZEPAM IV kontinu*
kadar fenitoin dalam
diulang selang waktu minimal 15 darah tidak dapat dalam dekstrosa 5% dosis 0,3 mg/kgBB/jam
menit diperiksa (dosis maksimal 2,75 mg/jam)
Masih kejang?
MIDAZOLAM
* Diazepam merupakan pilihan terakhir bila tidak tersedia pilihan apapun.Pilihan utama adalah infus diazepam kontinyu
**Diazepam rektal diberikan bila sediaan IV tidak tersedia atau sulit memperoleh akses IV
Keterangan gambar 2.
Protokol tatalaksana kejang pada fasilitas yang terbatas.
Lini pertama tetap memakai fenobarbital, jika tidak tersedia terdapat beberapa
alternatif :
1. Langsung ke obat lini kedua yaitu fenitoin
2. Langsung ke obat lini ketiga yaitu midazolam
3. Jika semua obat antikonvulsan standar seperti fenobarbital, fenitoin, midazolam
tidak ada, dapat dipakai diazepam IV.
Pemberian diazepam IV
Pemberian IV merupakan alternatif terakhir ketika tidak ada obat anti
konvulsan lain. Perlu diingat bahwa diazepam umumnya mengandung
sodium benzoat yang dapat melepas ikatan albumin-bilirubin sehingga
meningkatkan risiko terjadinya kern ikterus. Monitoring tanda vital terutama
pernapasan dilakukan lebih ketat. Campuran diazepam dan dekstrose 5%
dibuat ulang setiap 4 jam dalam spuit yang ditutup dengan kertas/plastik
berwarna gelap. Dosis diazepam infus kontinyu adalah 0,3 mg/kgBB/jam.
Dosis dapat dinaikkan bertahap hingga tercapai rata-rata dosis diazepam
sebesar 0,7-2,75 mg/jam. Apabila kejang telah teratasi selama 12 sampai 24
jam, dosis diazepam dapat diturunkan dalam 12 sampai 24 jam sebanyak
0,1-0,25 mg/jam.
Gamastorp I, Sedin G. Ups J Med Sci. 1982;87:143-49.
Buku PNPK Afiksia. UKK Neonatologi. 2018
Pemeriksaan neurologi
Ya Tidak
Normal
Etiologi dan
OAE Stop Etiologi
hasil EEG
Bayi masih
dirawat dan
kondisi stabil
ATAU akan EEG Normal atau Etiologi
dipulangkan
Ya
OAE Stop kelainan metabolik/
EEG Normal
simtomatik akut
Tidak
OAE Lanjutkan
Gambar 3. Algoritma penghentian obat anti epilepsi pada kejang neonatus di fasilitas
yang tidak memiliki aEEG atau EEG bedside
Ya Tidak
Normal
Usia 1
Usia 1 bulan
bulan atau OAE Stop Pemeriksaan EEG
atau setelah
1 bulan
dipulangkan
pasca rawat
Ya
OAE Stop EEG Normal
Tidak
OAE Lanjutkan
Evaluasi ulang pada saat usia 3 bulan dengan cara yang sama dengan saat usia 1 bulan.
Pemberian obat kejang rumatan pasca kejang neonatus direkomendasikan tidak lebih dari
usia 3 bulan
Gambar 4. Algoritma evaluasi penghentian obat anti epilepsi pada kejang neonatus
usia 1 bulan atau setelah dipulangkan
Abend NS, et al. Neonatal seizures. In: Volpe’s Neurology of the Newborn, 5th ed. 2008.
Prognosis
Faktor penentu utama prognosis kejang pada neonatus adalah proses patologi
di susunan saraf pusat yang mendasari. Sebagai contoh, kejang akibat EHI
menghasilkan luaran 50% bayi memiliki perkembangan yang normal, akan
tetapi bayi dengan perdarahan intraventrikular hanya 10% yang memiliki
perkembangan normal.