Anda di halaman 1dari 38

MODUL

ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK NEUROLOGIK

(BUKU ACUAN)

KOLEGIUM NEUROLOGI INDONESIA

PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS SARAF INDONESIA

2008
1. TUJUAN UMUM
Tujuan umum modul ini adalah memberi bekal kepada peserta didik dalam hal
dasar-dasar pemeriksaan neurologi klinik agar peserta didik memiliki kompetensi sebagai
dokter spesialis saraf yang mencakup consistency, independence, timeliness, accuracy,
dan appropriatenes. Makna consistency adalah kemampuan mengulang teknik-praktik
dengan keluaran (out-put) yang sama; independence berarti kemampuan praktik tanpa
bantuan pihak lain. Sementara itu timeliness berarti kemampuan praktik dalam jangka
waktu tertentu demi keselamatan pasien. Accuracy bermakna kemampuan praktik dengan
menggunakan teknik yang benar untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Yang terakhir,
appropriateness berarti kemampuan praktik sehubungan dengan standar klinik dan
protokol dalam ruang lingkup jurisdiksi praktik.

2. TUJUAN KHUSUS
Tujuan khusus modul ini adalah memberi bekal ketrampilan kepada peserta didik untuk:
 Memiliki ketrampilan klinik secara berjenjang, mulai dari akuisisi, kompetensi
sampai dengan profisiensi, dengan rincian sebagai berikut:
o Melakukan anamnesis dengan ramah dan empati
o Melakukan pemeriksaan kesadaran secara sistematik
o Melakukan pemeriksaan fungsi motorik beserta interpretasi / penilaiannya
o Melakukan pemeriksaan fungsi sensorik dengan alat-alat yang sesuai beserta
interpretasi / penilaiannya
o Melakukan pemeriksaan fungsi otonom beserta interpretasi / penilaiannya
o Melakukan pemeriksaan nervi kraniales beserta interpretasi / penilaiannya
o Melakukan pemeriksaan refleks fisiologik secara benar beserta interpretasi /
penilaiannya
o Melakukan pemeriksaan refleks patologik secara benar beserta interpretasi /
penilaiannya
o Melakukan pemeriksaan neurobehavior secara sistematik beserta interpretasi /
penilaiannya
o Melakukan pemeriksaan keseimbangan dan koordinasi beserta interpretasi /
penilaiannya
o Melakukan pemeriksaan lainnya (manuver) yang spesifik, misalnya
meningeal sign, Burdzinski test, Lasegue test, Patrick test, Valsava test
o Melakukan clinical assessment secara komprehensif
 Mencapai kompetensi utama – berdasarakan ketrampilan klinik tersebut di atas –
sebagaimana sebagaimana tercantum di dalam Standar Kompetensi Dokter
Spesialis Saraf, meliputi kompetensi humanistik, kompetensi profesional,
kompetensi managemen penyakit saraf secara menyeluruh dan terpadu dan
kompetensi dalam hal etika kedokteran.

1
3. REFERENSI (BUKU WAJIB)
 Buku standar Kompetensi Dokter Spesialis Saraf. Perdossi Pusat, Jakarta,
2006.
 Chusid, J.G.Correlative Neuroanatomy and Functional Neurology. Lange
Medical Publication.Los Altos California, 1976
 De Jong’s.The Neurologic Examination.Sixth Edition. Lippincott Williams
Wilkins,Philadelphia,2005
 De Myer,W. Technique of The Neurologic Examination: A Programmed Text.
Edisi 5, 2004.
 Fuller, G. Neurologycal examination Made Eazy. New York: Churchill
Livingstone, 2004.
 Campell WW, Pridgeon RP. Practical Primer of Clinical Neurology,
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkin, 2002
 Sidharta P, 2005. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Dian Rakyat.
Cetakan ke-5, Dian Rakyat,Jakarta.

4. KOMPETENSI
a. Setelah menyelesaikan modul ini diharapkan para peserta didik memiliki
kompetensi professional behavior dalam hal melakukan pendekatan klinik dengan
pemeriksaan neurologi klinik secara benar (lege artis), sesuai dengan prinsip
kompetensi (Bab II angka 1), elemen-elemen kompetensi ( Bab II angka 3) dan
ruang lingkup kompetensi (Bab II angka 9) yang tercantum di dalam Standar
Kompetensi Dokter Spesialis Saraf tahun 2006.
b. Clinical skills provide the medium for the human interaction, that is the
heart of patient care and care the source of the information on which decisions
are based. Technology may extend but can never replace clinical skills (Wiener,
1974).

5. GAMBARAN UMUM
Pemeriksaan neurologi klinik merupakan pemeriksaan yang relatif sulit dan
memerlukan kecermatan serta kehati-hatian. Interpretasi dan / atau penilaian hasil
pemeriksaan neurologik sangat berarti dalam penegakan diagnosis topik maupun
prognosis. Sebagai contoh, dari aspek anamnesis ada suatu pesan sebagai berikut: listen
carefully, the pasien is telling you about the diagnosis. Adanya defisit neurologik
maupun tanda dan gejala lainnya sebenarnya merupakan refleksi diagnosis yang masih
tersamar. Dengan demikian pemeriksaan neurologik secara teliti dan sistematik akan
dapat mengungkap kemungkinan diagnosis klinik dan topik. Dari kemungkinan diagnosis
ini maka perencanaan pemeriksaan tambahan / penunjang dapat disusun secara rasional
dan obyektif. Dengan demikian, bagi dokter spesialis saraf ketrampilan pemeriksaan
neurologi klinik merupakan nilai yang melekat di dalam profesinya, is a must, tanpa
terpengaruh oleh kemajuan alat-alat diagnostik yang makin canggih.
Pelatihan ini dimaksudkan untuk memberi bekal pengetahuan dan ketrampilan
dalam hal pemeriksaan neurologi klinik agar peserta didik siap untuk melakukan

2
pemeriksaan neurologi klinik secara benar dan cakap dalam hal pengambilan keputusan
klinik. Ketrampilan pemeriksaan klinik neurologik mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisik – neurologik
 Pemeriksaan fungsi sensorik
 Pemeriksaan fungsi motorik
o Gerakan voluntar
o Kekuatan otot-otot rangka
o Trofi otot-otot rangka
 Pemeriksaan refleks fisiologik
 Pemeriksaan refleks patologik
 Pemeriksaan nervi kraniales
 Pemeriksaan fungsi otonom
 Pemeriksaan neurobehavior
 Pemeriksaan lainnya /spesifik
c. Penilaian klinik / clinical assessment

6. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah menyelesaikan modul ini maka peserta didik diharapkan memiliki
kompetensi sebagai berikut:
a. Mampu membedakan keadaan normal dengan abnormal yang ditandai oleh gejala
dan tanda klinik-neurologik
b. Mampu berkomunikasi dengan pasien dan keluarganya berdasarkan nilai-nilai
humanisme / prinsip interpersonal skills
c. Mampu melakukan anamnesis secara efektif dengan memerhatikan etika dan
empati
d. Mampu melakukan pemeriksaan fisik secara sistematik, efektif dan efisien
e. Mampu menerapkan penalaran klinik berdasarkan hasil pemeriksaan klinik
f. Mampu melakukan pendekatan diagnostik secara sistematik
g. Mampu membuat keputusan diagnostik klinik secara tepat
h. Menyadari keterbatasan pengetahuan seseorang, termasuk dokter, dan melakukan
rujukan dengan sejawat lain
i. Mampu membuat analisis risiko dan biaya yang ditanggung oleh pasien
sehubungan dengan kemungkinan adanya pemeriksaan penunjang, berdasarkan
hasil pemeriksaan klinik, untuk menetapkan diagnosis pasti

3
7. MATERI BAKU

KETRAMPILAN PEMERIKSAAN NEUROLOGIK

A. ANAMNESIS

Penurunan Kesadaran
 Alloanamnesis kepada pengantar pasien
 Onset (sangat mendadak, mendadak, bertahap, aktivitas pasien)
 Perjalanan penyakit yang mendahului
 Faktor risiko penyakitnya atau penyakit-penyakit yang berhubungan dengan sakit
sekarang
 Tanda-tanda dan gejala-gejala penyakit pada pasien sebelum terjadinya gangguan
kesadaran
 Riwayat penyakit dahulu
 Riwayat minum obat, alkohol
 Kemungkinan keracunan (makanan, bahan kimia, gas, minuman)
 Riwayat pengobatan atau operasi atau tindakan manajemen lain sebelumnya?

Nyeri

Nyeri Kepala
 Mendadak, bertahap
 Lokasi nyeri kepala(misalnya hemicranial, holocranial, occipitonichal, bandlike)
 Intensitas nyeri kepala: ringan (masih mampu bekerja), sedang (mengganggu
konsentrasi bekerja), berat (tak masuk kerja)
 Kualitas nyeri ( steady, throbbing, stabbing)
 Waktu (pagi / bangun tidur, setiap saat), durasi dan frekuensi nyeri kepala
 Kebiasaan minum kopi: berapa cangkir
 Kebiasaan minum obat analgesik
 Faktor-faktor presipitasi (misalnya pemakaian alkohol, gangguan tidur, terlalu
lama tidur, makanan, cahaya terang)
 Faktor-faktor yang meringankan gejala nyeri (misalnya istirahat, ruang gelap,
aktivitas, obat-obatan)
 Respon terapi
 Keluhan-keluhan neurologik (misalnya rasa baal, parestesi, kelemahan, gangguan
berbahasa)
 Keluhan-keluhan visual (misalnya scintillating scotoma, transient blindness)
 Keluhan-keluhan gastrointestinal (misalnya mual, muntah, anureksia)
 Gejala-gejala penyerta (misalnya photophobia, phonophobia, tearing, nasal
stuffiness)
 Riwayat trauma kepala

4
Nyeri Leher
 Onset (akut, subakut, kronis) dan durasinya (menetap, timbul-hilang)
 Intensitas nyeri: ringan (masih mampu bekerja), sedang (mengganggu konsentrasi
bekerja), berat (tak masuk kerja)
 Riwayat trauma leher
 Riwayat infeksi virus atau imunisasi?
 Riwayat HNP, operasi vertebra, riwayat nyeri leher dan nyeri lengan?
 Lokasi nyeri yang memberat? (misalnya bagian leher, lengan atau bahu
 Penjalaran nyeri (misalnya bahu, lengan, regio pektoralis, atau regio periskapuler)
 Hubungan nyeri dengan gerakan leher
 Hubungan nyeri dengan gerakan lengan dan bahu
 Faktor-faktor yang mempengaruhi
 Nyeri memberat dengan batuk, bersin, mengejan saat buang air besar
 Kelemahan pada lengan dan tangan
 Rasa baal, kesemutan (parestesia atau distesia), pada lengan atau tangan
 Gangguan buang air besar, buang air kecil atau disfungsi seksual yang disebabkan
kompresi medula spinalis

Catatan: Diferensial diagnosanya paling sering adalah antara nyeri radikulopati dan nyeri
muskuloskeletal.

Nyeri pinggang
 Kualitas nyeri : seperti ditusuk, mendenyut dsb
 Intensitas nyeri : ringan, sedang, berat
 Lokasi nyeri
 Riwayat HNP, operasi vertebra, riwayat nyeri leher dan nyeri pinggang?
 Onset, durasi, dan frekuensi nyeri
 Lokasi nyeri yang memberat
 Penjalaran nyeri
 Faktor-faktor presipitasinya
 Faktor-faktor yang meringankan gejala nyeri
 Hubungan nyeri dengan gerakan leher
 Hubungan nyeri dengan gerakan bahu dan lengan
 Respon terapi
 Nyeri memberat dengan batuk, bersin dan mengejan
 Keluhan neurologik lainnya ( misalnya kesemutan, gangguan bicara, kelemahan)
 Keluhan-keluhan gastrointestinal
 Gejala kelemahan
 Gejala inkontinensia urine dan alvi (ngompol dan BAB tidak terasa)
 Riwayat trauma punggung

5
Gangguan motorik
 Onset: kelemahan secara mendadak atau bertahap
 Bagian anggota gerak yang mengalami kelemahan
 Hemiplegi, paraplegi, tetraplegi, monoplegi
 Kesulitan dalam hal ketrampilan jari-jari ( misalnya mengancingkan baju,
menulis)
 Kesulitan mengangkat lengan ke atas, atau abduksi
 Mudah terjatuh sewaku berjalan
 Sewaktu berjalan sandal yang dikenakan sering terlepas
 Kesulitan pada saat berdiri dari posisi duduk di lantai
 Mulut terasa /tampak perot atau mencong
 Pada saat berkumur air mudah keluar dari rongga mulut
 Penglihatan ganda
 Kesulitan menutup mata
 Kesulitan menelan
 Mudah lelah (dengan aktivitas fisik minimal)
 Suara makin melemah
 Kekuatan otot makin lemah (dari pagi sampai sore)

Gangguan sensibilitas

Rasa baal dan kesemutan pada lengan :

 Gejala menetap atau timbul-hilang


 Jika simtomnya intermiten, waktunya, terutama hubungannya dengan waktu
serangan harian, apakah berhubungan dengan tanda-tanda pada malam hari, durasi
dan frekuensinya?
 Adakah ada hubungan dengan aktivitas (misalnya mengendarai mobil)
 Bagian tangan manakah yang paling sering terlibat
 Adakah keterlibatan lengan, wajah dan tungkai?
 Adakah ada problem berbicara atau penglihatannya yang berhubungan dengan
kesemutan pada lengan?
 Apakah ada nyeri leher?
 Apakah ada nyeri lengan/ nyeri tangan?
 Apakah ada kelumpuhan lengan/ kelumpuhan tangan?
 Adakah riwayat trauma, terutama riwayat trauma pergelangan tangan?
 Adakah keterlibatan tangan sisi yang lain?
Catatan: Differensial diagnosis (DD) yang digunakan pada anamnesis ini adalah carpal
tunnel syndrome dan radikulopati servikal

Modified from : Campbell WW, Pridgeon RP. Practical Primer of Clinical Neurology. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins,
2002 .
Rasa baal dan kesemutan pada tungkai
 Apakah simtomnya menetap atau intermiten?

6
 Jika simtomnya intermiten, adakah hubungan dengan posisi (sikap), aktivitas atau
gerakan tertentu?
 Adakah ada hubungan dengan nyeri di pinggang (LBP), tungkai, atau kaki?
 Apakah ada kelumpuhan pada kedua tungkai atau kaki?
 Adakah riwayat trauma pinggang, hernia nucleus pulposus (HNP), atau operasi
pinggang?
 Apakah gejalanya simetris?
 Apakah ada gangguan buang air besar, buang air kecil atau disfungsi seksual?
 Adakah riwayat penyakit sistemik (misal diabetes mellitus, penyakit thiroid,
anemia, hipovitaminosis B12)
 Adakah penurunan berat badan?
 Adakah kebiasaan minum alkohol?
 Adakah riwayat merokok?
 Adakah riwayat terpapar toksin terus menerus atau intermiten?
 Bagaimana riwayat diet?
 Riwayat pemakaian obat, termasuk vitamin-vitamin?
 Riwayat keluarga yang mempunyai simtom sama?
 Riwayat keluarga yang menderita DM, anemia pernisiosa, atau neuropati perifer

Catatan: Differensial diagnosis (DD) yang digunakan pada anamnesis ini adalah antara
neuropathy perifer dan radiculopathy lumbosacral. Neuropathy perifer sendiri memiliki
banyak DD
Modified from : Campbell WW, Pridgeon RP. Practical Primer of Clinical Neurology. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins,
2002

Gangguan Fungsi Otonom


 Apakah ada gangguan berkeringat (tunjuk lokasinya)
 Apakah mudah berdebar-debar
 Apakah ada gangguan fungsi seksual (pada laki-laki)
 Apakah ada gangguan miksi ( retensi, inkontinensia)
 Apakah ada gangguan warna kulit di ujung jari

Gangguan Gerak
 Apakah ada gerakan jari-jari yang tak terkontrol
 Apakah ada gerakan tangan / lengan yang tak terkontrol
 Apakah ada gerakan kasar tak terkontrol pada lengan / tungkai / tubuh
 Apakah ada gerakan tubuh seolah terlempar
 Apakah ada gerakan meliuk-liuk
 Apakah ada gerakan seperti orang menari

Gangguan Berjalan
 Apakah pasien mengalami kesulitan berjalan
 Apakah pada saat sedang berjalan tampak terhuyung jatuh ke depan / ke belakang
 Apakah ketika berjalan kedua tungkai tidak sinkron gerakannya

7
 Apakah salah satu kaki ternagkat ketika melangkah
 Apakah ujung kaki / jari-jari kaki tampak terseret
 Apakah jarak kedua tungkai tampak melebar
 Apakah langkahnya setapak demi setapak

Gangguan Fungsi Luhur: lihat modul Neurobehavior

Gangguan Kejang
 Berapa kali mengalami kejang
 Apakah ada perubahan suhu tubuh / demam
 Bentuk kejang: kaku, berkelojotan
 Apakah kejang seluruh tubuh, anggota gerak, atau setempat / fokal
 Berapa lama kejang terjadi
 Tempat terjadinya kejang
 Apakah pasien tetap sadar atau mengalami gangguan kesadaran
 Apakah dari mulut keluar buih
 Riwayat penyakit sebelumnya: nyeri kepala, stroke, tumor otak dsb

Gangguan dizziness dan vertigo


 Awitan: sangat mendadak / mendadak, sedang tidur, bangun tidur, berbaring
 Keparahannya: sampai tidak berani membuka mata, muntah, disertai nyeri kepala
 Ada atau tidaknya ilusi gerakan
 Simtom-simtomnya persinten atau intermiten
 Jika intermiten, frekuensinya, durasinya dan waktu serangan .
 Hubungannya pusing berputar dan posisi tubuh (misalnya berdiri,duduk,
berbaring)
 Adanya faktor presipitasi dari pusing berputar dengan gerakan kepala
 Gejala-gejala penyerta (misalnya mual, muntah, tinitus, penurunan pendengaran,
kelemahan, rasa baal, diplopia, disartria, gangguan menelan, gangguan berjalan
dan keseimbangan, palpitasi, nafas pendek, mulut kering, nyeri dada)
 Obat-obat yang tel;ah digunakan, terutama obat antihipertensi atau obat ototoksis

B. PEMERIKSAAN FUNGSI SENSORIK

Pendahuluan

Adanya gangguan pada otak, medula spinalis, dan saraf tepi dapat menimbulkan
gangguan sensorik. Gangguan ini tidak tampak seperti halnya pada gangguan motorik
maupun trofi otot. Gangguan sensorik dapat menimbulkan perasaan semutan atau baal
(parestesia), kebas atau mati rasa, dan ada pula yang sangat sensitif (hiperestesi). Pada
gangguan di kanalis sentralis medula spinalis dapat terjadi fenomena disosiasi: analgesia
terhadap rangsang panas dan nyeri sementara rangsang lainnya masih dapat dirasakan
oleh penderita. Orang neurotik sering kali mengeluh adanya perasaan tidak enak di
seluruh permukaan tubuh, misalnya ada hewan yang merayap di permukaan kulitnya.

8
Sehubungan dengan pemeriksaan fungsi sensorik maka beberapa hal berikut ini
harus dipahami terlebih dahulu:
a. Kesadaran penderita harus penuh dan tajam (komposmentis dan kooperatif)
b. Penderita tidak boleh dalam keadaan lelah; kelelahan akan mengakibatkan
gangguan perhatian serta memperlambat waktu reaksi
c. Prosedur pemeriksaan harus benar-benar dimengerti oleh penderita, karena
pemeriksaan fungsi sensorik benar-benar memerlukan kerjasama yang sebaik-
baiknya antara pemeriksa dengan penderita
d. Cara dan tujuan pemeriksaan harus dijelaskan kepada penderita dengan istilah
yang mudah dimengerti olehnya
e. Kadang-kadang terlihat adanya manifestasi obyektif ketika dilakukan
pemeriksaan anggota gerak atau bagian tubuh yang dirangsang, misalnya
penderita menyeringai, mata berkedip-kedip serta perubahan sikap tubuh.
Mungkin pula muncul dilatasi pupil, nadi yang cepat dari semua, keluar banyak
keringat.
f. Yang dinilai bukan hanya ada atau tidak adanya sensasi tetapi juga meliputi
perbedaan-perbedaan sensasi yang ringan;dengan demikian harus dicatat gradasi
atau tingkat perbedaannya.
g. Ketajaman persepsi dan interpretasi rangsangan berbeda pada setiap individu,
pada tiap bagian tubuh, dan pada individu yang sama tetapi dalam situasi yang
berlainan. Oleh sebab itu, pemeriksa perlu menganjurkan penderita untuk
melakukan pemeriksaan ulang pada hari berikutnya
h. Perlu ditekankan mengenai azas simetris: pemeriksaan bagian kiri harus selalu
dibandingkan dengan bagian kanan. Juga pelu dipahami tentang azas ekstrem:
pemeriksaan dikerjakan dari “ujung atas” dan “ujung bawah” ke arah pusat. Hal
ini untuk menjamin kecermatan pemeriksaan.
i. Pemeriksaan fungsi sensorik harus dikerjakan dengan sabar (jangan tergesa-gesa),
menggunakan alat yang sesuai dengan kebutuhan atau tujuan, tanpa menyakiti
penderita, dan penderita tidak boleh dalam keadaan tegang
j. Perlu ditekankan bahwa hasil pemeriksaan fungsi sensorik pada suatu saat tidak
dapat dipercaya, membingungkan, dan sulit dinilai. Dengan demikian kita harus
berhati-hati dalam hal penarikan kesimpulan.

Pemeriksaan sensasi taktil

Alat yang dipakai dapat berupa kuas halus, kapas, bulu, tissue, atau bila terpaksa
dengan ujung jari tangan yang disentuhkan ke kulit secara halus sekali. Cara memberi
rangsangan: stimulasi harus seringan mungkin, jangan sampai memberikan tekanan
terhadap jaringan subkutan. Tekanan dapat ditambah sedikit bila memeriksa telapak
tangan dan telapak kaki yang kulitnya lebih tebal. Penderita diminta menyatakan “ya”
atau ‘tidak” apabila dia merasakan atau tidak merasakan adanya rangsangan, dan
sekaligus juga diminta untuk menyatakan tempat atau bagian tubuh mana yang
dirangsang.
Cara memeriksa sensasi taktil diskriminatik, secara teknis sama denga apa yang
telah diuraikan di bagian depan. Daerah yang dirangsang ialah daerah yang bebas dari
rambut atau bulu; hal ini disebabkan oleh adanya kemungkinan gangguan dari

9
rambut/bulu yang turut tergerakkan pada saat melakukan rangsanga taktil sehingga
rambut tadi akan mengacaukan panilaian. Penderita diminta untuk menyatakan tempat
mana yang dirangsang, dan juga diminta untuk membedakan dua titik yang dirangsang.
Beberapa istilah sehubungan dengan kelainan sensasi taktil, antara lain:
a. Kelainan sensasi taktil dikenal sebagai ansetesia, hipestesia, dan hiperestesia;
akan tetapi istilah tadi secara rancu juga digunakan untuk semua perubahan
sensasi.
b. Apabila sensasi raba ringan negatif disebut tigmanestesia
c. Kehilangan sensasi gerakan rambut disebut trikoanestesia
d. Kehilangan sensasi lokalisasi disebut topoanestesi
e. Ketidakmampuan untuk mengenal angka atau huruf yang “:dituliskan” pada kulit
disebut grafanestesia.
Pasien dalam posisi berbaring, mata tertutup atau secara pasif kedua mata ditutup
secara ringan tanpa menekan bola mata. Pemderita harus dalam keadaan santai, tidak
boleh tegang. Bagian tubuh yang diperiksa harus bebas dari pakaian.

Pemeriksaan sensasi nyeri superfisial

Alat yang dipakai dapat beruba jarum biasa, peniti, jarum pentul (ini yang paling
praktis karena ujung dan kepala.pentul jarum dapat digunakan secara bergantian), atau
jarum yang terdapat dalam pangkal palu refleks; stimulator listrik atau panas tidak
dianjurkan.

a. Cara pemeriksaan:
 Mata penderita tertutup.
 Pemeriksa terlebih dahulu mencoba jarum tersebut terhadap dirinya sendiri.
 Tekanan terhdapa kulit penderita seminimal mungkin, jangan sampai
menimbulkan perlukaan.
 Penderita jangan ditanya: “apakah anda meraskan ini? Atau apakah ini runcing?”
 Rangsangan terhadap kulit dikerjakan dengan ujung jarum dan kepala jarum
secara bergantian, sementara itu penderita diminta untuk menyatakan sensasinya
sesuai dengan pendapatnya.
 Penderita juga diminta untuk menyatakan apakah terdapat perbedaan intensitas
ketajaman rangsangan di daerah yang berlainan.
 Apabila dicurigai ada daerah yang sensasinya menurun, maka rangsangan
dimulai dari daerah tadi dan menuju arah yang normal.

b. Istilah
Beberapa istilah sehubungan dengan gangguan sensasi nyeri superfisial adalah
sebagai berikut:
 Alganestesia dan anelgesia dipergunakan untuk menunjukkan daerah yang tidak
sensitif terhadap rasa nyeri
 Hiperalgesia menunjukkan sensitivitas yang menurun
 Hiperalgesia menunjukkan peningkatan sensitivitas

10
Pemeriksaan sensasi suhu

Alat yang dipakai pada prinsipnya adalah tabung yang diisi air dingin atau air
panas. Lebih dipilih tabung metal daripada tabung gelas karena bahan gelas merupakan
konduktor yang buruk. Untuk sensasi dingin diperlukan air dengan suhu 5-10o C, dan
sensasi panas diperlukan suhu 40-45o C. Suhu kurang dari 5o dan lebih dari 45o C akan
menimbulkan rasa nyeri.

a. Cara pemeriksaan :
 Penderita lebih baik dianjurkan dalam posisi berbaring.
 Mata penderita tertutup.
 Tabung dingin/panas terlebih dahulu dicoba terhadap diri pemeriksa.
 Tabung ditempelkan pada kulit penderita, dan penderita diminta untuk
menyatakan apakah tersa dingin atau panas.
 Sebagai variasi, penderita dapat diminta untuk menyatakan adanya rasa hangat.
 Pada orang normal, adanya perbedaan suhu 2-50C sudah mampu untuk
mengenalinya.
b. Istilah
Perubahan sensibilitas suhu dikenal dengan istilah termanestesia, termihipestesia,
dan termihiperestia, baik terhadap rangsang dingin maupun panas. Apabila penderita
dirangsang dingin dan dirangsang panas, keduanya dijawab dengan hangat atau panas
maka keadaan demikian ini disebut isotermognosia.

Pemeriksaan sensasi gerak dan posisi

a. Pengertian umum
 Sensasi gerak juga dikenal sebagai sensasi kinetic atau sensasi gerak aktif/pasif.
 Sensasi gerak terdiri dari kesadaraan tentang adanya gerakan di dalam berbagai
bagian tubuh.
 Sensasi posisi atau sensasi postur terdiri dari kesadaran terhadap posisi tubuh atau
posisi bagian tubuh terhadap ruang
 Arteresetesia digunakan untuk persepsi gerakan dan posisi sendi, dan statognosis
menunjukkan kesadaran postur.
 Kemampuan pengenalan gerakan bergantung pada rangsangan yang muncul
sebagai akibat dari gerakan sendi serta pemanjangan/pemendekan otot-otot.
 Individu normal sudah mampu mengenal gerakan selebar 1-2 derajat pada sendi
interfalangeal.
b. Tujuan pemeriksaan
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk memperoleh kesan penderita terhadap
gerakan dan pengenalan terhadap arah gerakan, kekuatan, lebar atau luas gerakan (range
of movement) sudut minimal yang penderita sudah mengenali adanya gerakan pasif, dan
kemampuan penderita untuk menentukan posisi jari di dalam ruangan.
c. Cara pemeriksaan:
 Tidak diperlukan alat khusus.
 Mata penderita tertutup. Penderita dapat duduk atau berbaring

11
 Jari-jari penderita harus benar-benar dalam keadaan relaksasi dan digerakkan
secara pasif oleh pemeriksa, dengan sentuhan seringan mungkin sehingga
dihindari adanya tekanan terhadap jari-jari tadi.
 Jari yang diperiksa harus “dipisahkan” dari jari-jari di sebelah kiri / kanannya
sehingga tidak bersentuhan, sementara itu jari yang diperiksa tidak boleh
melakukan gerakan aktif seringan apapun.
 Penderita diminta untuk menyatakan apakah ada perubahan posisi jari ataupun
apakah ada gerakan pada jarinya
 Apabila diperoleh kesan adanya gangguan sensasi gerak dan posisi maka
dianjurkan untuk memeriksa bagian tubuh lain yang ukurannya lebih besar,
misalnya tungkai bawah atau lengan bawah.
 Cara lain adalah dengan menempatkan jari-jari salah satu tangan penderita pada
posisi tertentu, sementara itu mata penderita tetap tertutup; kemudian penderita
diminta untuk menjelaskan posisi jari-jari tadu ataupun menirukan posisi tadi
pada tangan yang satunya lagi.

Pemeriksaan sensasi getar / vibrasi

Sensasi vibrasi disebut pula dengan palestesia yang berarti kemampuan untuk
mengenal atau merasakan adanya rasa getar, ketika garpu tala yang telah digetarkan
diletakkan pada bagian tulang tertentu yang menonjol.
a. Alat yang dipakai
 Garpu tala yang mempunyai frekuensi 128 Hz
 Ada pula yang berpendapat bahwa dengan frekuensi 256 Hz akan diperolrh hasil
yang lebih baik.
 Bagian tubuh yang nantinya akan ditempeli pangkal garpu tala antara lain: ibu jari
kaki, maleolus lateralis/medialis, tibia, sacrum, spina iliaka anterior superior,
prosesua spinosus vertebra, sternum, klavikula, prosesus stiloideus radius/ulna,
dan sendi-sendi jari.
b. Cara pemeriksaan
 Getarkan garpu tala terlebih dahulu, dengan jalan ujung garpu tala dipukulkan
pada benda padat/keras yang lain.
 Kemudian pangkal garpu tala segera ditempelkan pada bagian tubuh tertentu.
 Yang dicatat ialah tentang intensitas dan lamanya vibrasi.
 Kedua hal tersebut bergantung pada kekuatan penggetaran tabung tala dan
interval antara penggetaran garpu tala tadi dengan saat peletakkan garpu tala pada
bagian tubuh yang diperiksa.
c. Hasil pemeriksaan
Hasil pemeriksaan disebut normal bila penderita merasakan getaran maksimal;
yang lebih penting lagi ialah kemampuan penderita untuk merasakan getaran ketika garpu
tala hampir berhenti bergetar; hilangnya rasa getar disebut palanestesia.

12
Pemeriksaan sensasi tekan

Sensasi tekan disebut pula sebagai piestesia. Sensasi tekan atau sentuh-tekan
sangat erat kaitannya dengan sensasi taktil tetapi melibatkan persepsi tekanan dari
struktur subkutan.Sensasi tekan juga erat hubungannya dengan sensasi posisi dengan
perantaraan kolumna posteriot medula spinalis.
a. Alat yang dipakai
 Benda tumpul atau kalau terpaksa dapat menggunakan ujung jari
 Untuk pemeriksaan kuantitatif dipergunakan headpressure estesiometer atau
piesimeter

b. Cara pemeriksaan
 Penderita dalam posisi berbaring dan mata tertutup.
 Ujung jari atau benda tumpul ditekankan atau disentuhkan lebih kuat terhadap
kulit.
 Di samping itu juga dapat diperiksa dengan menekan struktur subkutan misalnya
massa otot, tendo dan saraf itu sendiri, baik dengan benda tumpul atau dengan
“cubitan” dengan skala yang lebih besar.
 Penderita diminta untuk menyatakan apakah ada tekana dan sekaligus diminta
untuk mengatakan daerah mana yang ditekan tadi.

Pemeriksaan sensasi nyeri dalam atau nyeri tekan

Untuk pemeriksaan ini tidak diperlukan alat khusus, cukup menggunakan jari-jari
tangan.
a. Cara pemeriksaan
Massa otot, tendo atau saraf yang dekat permukaan ditekan dengan ujung jari atau
dengan “mencubit” (menekan di antara jari telunjuk dan ibu jari).
b. Hasil pemeriksaan
Pasien diminta untuk menyatakan apakah ada perasaan nyeri atau tidak;
pernyataan ini dicocokkan dengan intensitas tekanan atau cubitan.

B. PEMERIKSAAN FUNGSI MOTORIK

Kekuatan otot dinilai dengan menggunakan tingkatan konvensional skala MRC


(Medical Research Council). Nilai kekuatan otot berdasarkan skala tersebut berkisar dari
0 sampai dengan 5. Berdasarkan kesepakatan1, untuk kekuatan otot dengan nilai 4, dibagi
lagi menjadi 4+, 4, dan 4-. Berikut adalah tingkatan kekuatan otot yang dimaksud :

13
Tingkat Kekuatan Otot
5 Normal kekuatan otot (muscle strength)
4+ Kekuatan gerakan dan pergerakan sendi penuh melawan gravitasi dan
resistensi sub maksimal
4 Kekuatan gerakan dan pergerakan sendi sedang melawan gravitasi dan
resistensi sedang atau kelemahan ringan
4- Kelemahan ringan pada kekuatan gerakan dan pergerakan sendi sedang
melawan gravitasi dan resistensi sedang atau kelemahan ringan
3 Gerakan sendi dengan adanya gravitasi tetapi tanpa ada tahanan
2 Gerakan sendi dengan tanpa gravitasi
1 Sedikit / tanpa ada pergerakan sendi
0 Tidak ada kontraksi

Berdasarkan tabel di atas, pemakaian istilah slight lebih mengacu pada tingkat
pergerakan (slight movement) atau pun tingkat tahanan (slight resistance). Sedangkan
istilah slight yang sering digunakan pada kalimat diagnosis seperti slight parese/slight
hemiparese, lebih merujuk pada kekuatan otot dengan skala nilai 4 (slight weakness).

C. PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIK

Pendahuluan

a. Pada umumnya pemeriksaan reflek fisiologik merupakan bagian yang tidak


terpisahkan dari pemeriksaan fisik secara keseluruhan; dengan demikian bukan
merupakan pemeriksaan yang eksklusif. Namun demikian, pada kasus-kasus
tertentu pemeriksaan reflek fisiologik merupakan pemeriksaan yang sangat
penting sehingga harus dikerjakan dengan secermat-cermatnya.
b. Kasus-kasus tertentu tadi berkaitan erat dengan keluhan utama: mudah lelah,
kesulitan berjalan, kelemahan/kelumpuhan, kesemutan, nyeri otot-otot anggota
gerak, gangguan trofi otot anggota gerak, nyeri punggung, dan gangguan fungsi
autonom (ereksi, buang air besar, buang air kecil).
c. Yang dimaksud dengan reflek fisiologik adalah muscle stretch reflexes, yang
muncul sebagai akibat rangsangan terhadap tendo atau periosteum atau kadang-
kadang terhadap tulang, sendi, fasia atau aponeurosis. Reflek tadi seringkali
disebut dengan istilah yang keliru, misalnya reflek tendo atau reflek periosteum.
Yang menimbulkan gerakan reflek sebenarnya adalah muscle stretch, sedang
tendo itu sendiri hanya merupakan tempat di mana rangsangan mudah diberikan.
Oleh karena rangsangan disalurkan melalui organ sensorik yang lebih dalam

14
misalnya gelondong neuromuskular (neuromuscular spindle), maka ada pula yang
menyebutnya sebagai proprioseptif .

Dasar pemeriksaan refleks

a. Alat yang dipergunakan biasa disebut palu refleks (hammer reflex) yang pada
umumnya dibuat dari bahan karet, walaupun bahan lain dapat pula dipergunakan.
Namun demikian untuk mencapai hasil yang baik, bahan karet yang lunak lebih
umum dipakai. Bahan tersebut tidak akan menimbulkan rasa nyeri pada penderita.
Rasa nyeri pada pemeriksaan refleks memang harus dihindari oleh karena akam
mempengaruhi hasil pemeriksaan.
b. Penderita harus dalam posisi yang seenak-enaknya dan santai. Bagian tubuh yang
akan diperiksa harus dalam posisi sedemikian rupa sehingga gerakan otot yang
nantinya akan terjadi dapat muncul secara optimal.
c. Rangsangan harus diberikan secara cepat dan langsung; kerasnya pukulan harus
dalam batas nilai ambang, tidak perlu terlalu keras.
d. Oleh karena sifat reaksi bergantung pada tonus otot, maka otot yang diperiksa
harus dalam keadaan “sedikit kontraksi”. Apabila akan membandingkan refleks
sisi kiri dan kanan maka posisi ekstremitas harus simetris.

Penilaian hasil refleks

Refleks dapat dinilai sebagai negatif, menurun, normal, meninggi dan hiperaktif.
Ada pula yang menggunakan kriteria kuantitatif sebagai berikut:
O = negatif
+1 = lemah (dari normal)
+2 = normal
+3 = meninggi, belum patologik
+4 = hiperaktif, sering disertai klonus, sering merupakan indikator suatu
penyakit

Jenis-jenis pemeriksaan refleks

a. Pemeriksaan refleks pada lengan


Refleks biseps, triseps, brakhioradialis dan fleksor jari merupakan sekelompok
refeleks pada lengan/ tangan yang padahal penting. Untuk itu pemeriksaan refleks pada
lengan dibatasi pada keempat jenis refleks tadi.
 Pemeriksaan refleks biseps
o Pasien duduk dengan santai
o Lengan dalam keadaan lemas, lengan bawah dalam posisi antara fleksi dan
ekstensi serta sedikit pronasi
o Siku penderita diletakkan pada lengan/tangan pemeriksa
o Pemeriksa meletakkan ibu jarinya di atas tendo biseps, kemudian pukullah
ibu jari tadi dengan reflex hammer yang telah tersedia
o Reaksi utama adalah kontraksi otot biseps dan kemudian fleksi lengan
bawah

15
o Oleh karena biseps juga merupakan supinator untuk lengan bawah maka
sering kali muncul pula gerakan supinasi
o Apabila refleks meninggi maka zona refleksogen akan meluas dan refleks
biseps ini dapat muncul dengan mengetuk daerah klavikula
o Juga, apabila refleks ini meninggi maka akan disertai gerakan fleksi
pergelangan tangan serta jari-jari dan aduksi ibu jari
o M. Biseps brakhii dipleihara oleh n. muskulokutaneus
 Pemeriksaan refleks triseps
o Pasien duduk dengan santai
o Lengan pasien diletakkan di atas lengan/tangan pemeriksa
o Posisi pasien sama dengan posisi pada pemeriksaan refleks biseps
o Lengan penderita dalam keadaan lemas, relaksasi sempurna
o Apabila telah dipastikan bahwa lengan pasien sudah benar-benar relaksasi
(dengan meraba triseps: tak teraba tegang), pukulan tendo yang lewat di
fossa olekrani
o Maka triseps akan berkontraksi dengan sedikit menyentak, gerakan ini
dapat dilihat dan sekaligus dirasakan oleh lengan pemeriksa yang
menopang lengan pasien.
o M. Triseps dipelihara oleh nervus radialis (C6-C8), proses refleks melalui
C7
 Pemeriksaan refleks brakioradialis
o Posisi pasien dan pemeriksa sama dengan pemeriksaan refleks biseps
o Pukullah tendo brakhioradialis pada radius bagian distal dengan memakai
reflekx hammer yang datar
o Maka akan timbul gerakan menyentak pada tangan
o M. Brakioradialis dipelihara oleh n. Radialis melewati C6
 Pemeriksaan refleks fleksor jari tangan
o Pemeriksaan ini disebut pula Wartenberg’s sign
o Pasien duduk dengan santai, tidak boleh tegang
o Tangan pasien dalam posisi setengah supinasi; tangan diletakkan di atas
meja atau permukaan benda lain yang padat dan jari-jari dalam posisi
fleksi ringan
o Pemeriksa meletakkan telunjuk dan jari tengahnya pada permukaan tangan
penderita (bagian volar) di bagian jari-jari
o Punggung jari-jari pemeriksa tadi dipukul secara ringan tetapi cepat,
dengan permukaan reflex hammer yang datar
o Reaksinya ialah fleksi keempat jari tangan penderita serta fleksi ibu jari
bagian distal
o Pada umumnya refleks ini cukup sulit untuk ditimbulkan, terutama bagi
pemeriksa yang belum berpengalaman
o Wartenberg menganggap bahwa refleks ini merupakan salah satu refleks
yang terpenting pada lengan/tangan
b. Pemeriksaan refleks pada tungkai
 Pemeriksaan refleks patela / kuadriseps
o Pasien dalam posisi duduk dengan tungkai menjuntai

16
o Daerah kanan-kiri tendo patela terlebih dahulu diraba, untuk menetapkan
daerah yang tepat
o Tangan pemeriksa yang satu memegang paha penderita bagian distal, dan
tangan yang lain memukul tendo patela tadi dengan reflex hammer secara
cepat (ayunan reflex hammer bertumpu pada sendi pergelangan tangan)
o Tangan yang memegang paha tadi akan merasakan kontraksi otot
kuadriseps, dan pemeriksa dapat melihat tungkai bawah yang bergerak
secara menyentak untuk kemudian berayun sejenak
o Apabila ada kesulitan dengan pemeriksaan tadi maka pakailah cara
berikut:
 Tangan pasien saling berpegangan
 Kemudian penderita diminta untuk menarik kedua tangannya
 Pukullah tendo patella ketika penderita menarik tangannya
 Cara ini disebut reinforcement
o Apabila pasien tidak mampu duduk, maka pemeriksaan refleks patella
dapat dilakukan dengan posisi berbaring
 Pemeriksaan refleks Achilles
o Pasien dapat duduk dengan tungkai menjuntai, atau berbaring, atau dapat
pula penderita berlutut di mana sebagian tungkai bawah dan kakinya
menjulur di luar meja pemeriksa
o Pada dasarnya pemeriksa sedikit meregangkan tendo Achilles dengan cara
menahan ujung kaki kea rah dorsofleksi
o Tendo Achilles dipukul dengan ringan tapi cepat
o Akan muncul gerakan fleksi kaki yang menyentak
o Bila perlu dapat dikerjakan reinforcement sebagaimana dilakukan pada
refleks patela

D. PEMERIKSAAN REFLEKS PATOLOGIK

Pendahuluan

Pada umumnya pemeriksaan reflek patologik merupakan respon yang tidak umum
dijumpai pada individu normal. Beberapa respon yang timbul adalah minimal, dan dalam
keadaan normal munculnya terbatas, namun aktif pada munculnya penyakit. Sebagian
besar refleks patologik berhubungan dengan traktus kortikospinal dan jaras-jarasnya,
serta juga terjadi pada penyakit-penyakit lobus frontal dan gangguan sistem
ekstrapiramidal. Refleks patologik pada ekstremitas bawah lebih konstan, lebih mudah
muncul, lebih reliabel dan lebih mempunyai korelasi secara klinis dibandingkan pada
ekstremitas atas.

Dasar pemeriksaan refleks

a. Selain dengan jari-jari tangan untuk pemeriksaan refleks pada ekstremitas atas,
adalah menggunakan palu refleks yang pada umumnya dibuat dari bahan karet,
walaupun bahan lain dapat pula dipergunakan. Namun pada refleks hammer,

17
menggunakan tangkai dengan ujung yang tidak tumpul untuk memeriksa refleks
pada ekstremitas bawah.
b. Pasien harus dalam posisi yang seenak-enaknya dan santai.
c. Rangsangan harus diberikan secara cepat dan langsung.

Jenis-jenis pemerikaan refleks patologik

a. Babinski’s sign
 Cara: pemeriksa menggores bagian lateral telapak kaki dengan ujung palu refleks
 Reaksi: dorsofleksi ibujari kaki disertai plantarfleksi dan gerakan melebar jari-jari
lainnya
b. Chaddock’s sign
 Cara: pemerika menggores di bawah dan sekitar maleolus eksterna ke arah lateral
dengan palu refleks ujung tumpul
 Reaksi: sama dengan Babinski’s sign
c. Gordon’s sign
 Cara: pemeriksa menekan otot-otot betis dengan kuat
 Reaksi: sama dengan Babinski’s sign
d. Schaeffer’s sign
 Cara: pemeriksa menekan tendo Achilles dengan kuat
 Reaksi: sama dengan Babinski’s sign
e. Oppenheim’s sign
 Cara: pemeriksa memberi tekanan yang kuat dengan ibu jari dan telunjuk pada
permukaan anterior tibia kemudian digeser ke arah distal
 Reaksi: sama dengan Babinski’ sign
f. Rossolimo’s sign
 Stimulasi
 Respon normal dorsofleksi ringan jari-jari kaki/tidak ada gerakan
 Respon abnormal : plantar fleksi jari dengan cepat

E. PEMERIKSAAN NERVI KRANIALES

Nervus I (Olfaktorius)

Maksud pemeriksaan nervus olfaktorius adalah untuk memeriksa fungsi


pembauan / penghiduan.
a. Persiapan pemeriksaan :
 Yakinkan bahwa jalan nafas melalui hidung baik, tidak ada sumbatan
 Yakinkan tidak ada atrofi mukosa hidung
b. Cara pemeriksaan:
 Kedua mata mata ditutup
 Satu persatu kedua lubang hidung diperiksa, lubang yang sedang tidak diperiksa
ditutup.
 Pasien diminta untuk mengidentifikasi bahan yang dipakai untuk tes (kopi, teh,
tembakau, kulit jeruk, dll)

18
 Terciumnya bau dengan tepat berarti susunan olfaktorik berfungsi dengan baik
c. Interpretasi pemeriksaan klinis:
 Anosmia = hilangnya daya pembauan yang dapat dijumpai pada trauma kapitis di
mana berkas n.I terpotong oleh o skribriformis atau oleh fraktur os ethmoidalis
atau terendam oleh perdarahan di fossa serebri anterior. Dapat juga merupakan
komplikasi meningitis, penekanan oleh meningioma, dll.
 Hiposmia = daya pembauan yang kurang tajam, misalnya pada manifestasi
rinitis, terutama rinitis vasomotor. Hiposmia yang menetap terjadi pada usia
lanjut.
 Hiperosmia = daya pembauan yang teramat peka, misalnya pada histeria konversi.
 Parosmia = bila tercium yang tidak sesuai dengan bahan yang disium, misalnya
pada trauma kapitis.
 Kakosmia = parosmia yang tidak menyenangkan, misalnya mencium bau pesing,
bacin, kakus. Dapat dijumpai pada truma kapitis atau pada histeria konversi.

Nervus II (Optikus)

a. Daya penglihatan
 Persiapan pemeriksaan
o Ruang harus cukup terang
o Yakinkan bahwa tidak ada katarak, radang parut di kornea atau nebula, iritis,
uveitis, glaukoma atau korpus alienum
 Cara pemeriksaan
o Dengan memakai kartu Snellen
o Secara kasar, pemeriksaan visus ini dapat dilakukan tanpa menggunakan
kartu, yaitu dengan membaca telunjuk pemeriksa. Orang normal dapat
membaca hitungan jari pada jarak maksimal 60 m. Bila pasien hanya dapat
membaca pada jarak 1 m saja, berarti visusnya adalah 1/60.
b. Penglihatan warna
 Persiapan pemeriksaan:
o Disiapkan kartu tes Ischihara dan Stilling, atau
o Disiapkan benang wol berbagai warna
 Cara pemeriksaan:
o Pasien diminta untuk mengambil atau menunjuk warna sesuai dengan
perintah pada kartu tes Ischikhara
c. Medan penglihatan
 Persiapan pemeriksaan :
o Untuk pemeriksaan medan penglihatan yang sederhana, tanpa menggunakan
alat khusus adalah tes konfrontasi, dengan tangan. Sedangkan yang lainnya
menggunakan alat khusus yaitu perimeter dan kampimeter.
 Cara pemeriksaan
o Dalam klinik dikenal 3 metode tes medan penglihatan:
 tes dengan perimeter
 tes dengan kampimeter
 tes konfrontasi dengan tangan

19
- pasien diminta koperatif untuk memandang satu titik fiksasi di
tengah.
- pemeriksa dengan medan penglihatan yang normal berhadapan
sejajar dengan jarak antara mata pemeriksa dan mata pasien sejauh
30 – 40 cm.
- satu persatu mata pasien diperiksa. Bila mata kanan yang diperiksa,
mata kiri ditutup. Begitu pula sebaliknya.
- pemeriksa menggerakkan jarinya dari perifer ke tengah (jarak jari
terhadap kedua pihak harus sama).
- bila pemeriksa telah melihat, sementara pasien belum, berarti medan
penglihatan pasien menyempit.
 Interpretasi hasil pemeriksaan
o Dengan metode ini lesi dapat dideteksi. Misalnya ditemukan hemianopsia
bitemporal berarti ada lesi di garis tengah khiasma optikum. Hemianopsia
binasale berarti ada lesi di khiasma optikum bagian luar.
d. Pemeriksaan fundus okuli
 Pemeriksaan papil, retina, arteri/vena, perdarahan dilakukan dengan menggunakan
oftalmoskop
e. Pemeriksaan pupil: lihat pemeriksaan fungsi batang otak
f. Marcus Gunn: lihat modul neuro-oftalmologi

Nervus III (Okulomotorius)

Kelumpuhan N. III menimbulkan ptosis, oftalmoplegia dan midriasis (pada


kelumpuhan total)
a. Ptosis: penyempitan fisura palpebra karena turunnya kelopak mata akibat
kelemahan/kelumpuhan otot elevator palpebra dan/atau tarsalis superior.
 Cara meyakinkan adanya ptosis:
o Pasien disuruh mengangkat kelopak mata atas secara volunter. Jika ptosis
tetap terlihat dan dahi menunjukkan adanya lipatan kulit maka terbukti ada
ptosis tulen.
o Lipatan dahi menunjukkan kontraksi otot frontalis yang selamanya akan
timbul bila kelopak mata diangkat sekuat-kuatnya.
b. Pemeriksaan gerakan bola mata:
N III menginervasi m. rektus superior dan inferior dan m. obliquus inferior, yang
menyebabkan bola mata bergerak ke atas, nasal dan ke bawah.
 Cara pemeriksaan:
o pasien disuruh untuk mengikuti gerakan tangan pemeriksa ke atas, medial dan
ke bawah.
o bila terjadi paresis, pasien tidak dapat mengikutinya. Bola mata akan tetap ke
temporal.
d. Strabismus divergen
Karena n. III mempersarafi m. rektus superior, inferior dan medial, maka adanya
lesi pada n. III akan menyebabkan bola mata menyimpang ke sisi lateral/temporal. Jadi,
bila tidak didapatkan bola mata yang menyimpang ke temporal berarti strabismus

20
divergen positif. Tetapi, adanya strabismus belumlah berarti satu otot okuler lumpuh.
Mungkin saja ada kelainan kongenital pada panjang otot okular.
e. Diplopia
Bila seseorang mengeluh tentang diplopia tapi tidak memperlihatkan strabismus,
mungkin sekali terdapat paresis ringan. Cara meyakinkan paresis ringan: adalah sebagai
berikut:
 Cover–uncover test
o Bila satu mata yang mengalami kelemahan otot okuler yang sedang menatap
satu obyek secara binokuler pada satu obyek ditutup, maka mata ter5sebut
akan bergerak menyimpang menjauhi otot okuler yang lemah.
o Bila mata yang sehat ganti ditutup, maka bola mata itu tersebut akan memutar
ke arah yang berlawanan dengan arah penyimpangan otot yang paretik.

Nervus IV (troklearis)

Nervus IV mempersarafi m. obliquus superior yang mengatur gerakan bola mata


ke bawah sedikit temporal. Paralisis n. IV akan melumpuhkan gerakan bola ke bawah
lateral, menyebabkan penyimpangan ke arah nasal sedikit ke atas.

a. Cara pemeriksaan:
 Pasien disuruh mengikuti gerakan jari pemeriksa ke bawah lateral.
 Bila bola mata pasien tidak mampu mengikuti gerakan tersebut berarti ada
paralisis n. IV.
b. Strabismus konvergen
 Perhatikan sikap bola mata penderita apakah ada penyimpangan ke nasal.
c. Diplopia

Cara pemeriksaan sama dengan pada pemeriksaan n. III.

Nervus V (trigemius)

Nervus trigeminus mempunyai fungsi motorik dan sensorik, terbagi atas 3 (tiga)
cabang. Pemeriksaan fungsi N.V adalah sebagai berikut:
a. Menggigit
Serabut motorik n. V hanya mengikuti cabang ke-3 (n. mandibularis). Otot yang
dipersarafi adalah m. masseter, m. temporalis, m. pterigoideus eksternus dan internus.
 Cara pemeriksaan:
o Pasien disuruh menggigit sekuat-kuatnya
o Selama pasien menggigit, pemeriksa melakukan palpasi pada m. masseter dan
temporalis untuk memeriksa adakah kontraksi
o Bila ada kelumpuhan unilateral, maka serabut motorik n. V yang ipsilateral
tak mampu mengontraksikan m. masseter dan temporalis.
b. Membuka mulut
 Cara pemeriksaan
o Pemeriksa berdiri di depan pasien dan mengawasi rahang bawah pasien:
apakah simetris atau menyimpang.

21
o Pada kelumpuhan unilateral, rahang bawah akan menyimpang ke ipsilateral
saat mulut dibuka karena m. pterigoideus eksternus yang sehat akan
mendorong mandibula ke depan tanpa diimbangi oleh sisi yang lain.
c. Sensibilitas
Sensibilitas wajah diperiksa di 3 daerah berbeda, yaitu atas, tengah dan bawah,
karena masing-masing diinervasi oleh cabang yang berbeda yaitu cabang oftalmikus,
maksilaris dan mandibularis.
 Alat yang digunakan:
o untuk sensasi nyeri superfisial, gunakan jarum
o untuk sensasi halus, gunakan kapas/bulu
o untuk sensasi termis, gunakan air panas/dingin.
 Cara pemeriksaan:
o pasien harus kooperatif
o selama pemeriksaan sensibilitas kedua mata harus ditutup agar pasien tidak
tahu bagian tubuh yang diperiksa
o untuk mempermudah penilaian maka perangsangan dimulai dari proksimal
dan distal sehingga mudah teridentifikasi daerah dengan defisit sensorik dan
daerah yang normal
o selanjutnya perangsangan berjalan terus maju saling mendekat dari yang
normal ke daerah yang defisit dan sebaliknya
o intensitas perangsangan harus diubah-ubah untuk mengetahui ketepatan
penilaian pasien
o mintalah respons yang tegas dari pasien; bila pasien merasa ditusuk/digores
maka pasien harus bilang “ya”
o buatlah peta manifestasi sensorik setelah pemeriksaan selesai.
d. Refleks bersin
 Alat yang digunakan
o Kapas yang sudah dipilin
 Cara pemeriksaan:
o mukosa hidung dirangsang / digelitik dengan kapas yang sudah tersedia
o positif: bila timbul bersin secara reflektorik

e. Refleks maseter/ refleks rahang bawah


 Alat yang digunakan
o Palu refleks
 Cara periksaan:
o Pasien diminta membuka mulutnya dengan santai, dengan cara selama
membuka mulut mengeluarkan suara “aaaaaa,” sementara itu pemeriksa
menempatkan jari telunjuk tangan kirinya di garis tengah dagu, kemudian
dengan palu refleks jari tersebut diketuk
o Jawaban positif berupa kontraksi m. masseter dan m. temporalis bagian
depan yang mengakibatkan penutupan mulut secara tiba-tiba/ berlebihan.
f. Refleks zigomatikus
 Alat yang digunakan
o Palu refleks
 Cara periksaan:

22
o Dilakukan pengetukan pada os. zigomatikus dengan palu reflek
o Pada orang sehat tidak akan didapatkan respons, juga pada lesi nuklearis dan
infranuklearis
o Pada orang dengan lesi supranuklearis n. V akan muncul gerak berupa
gerakan rahang bawah ipsilateral.
g. Trismus
 Amati apakah terdapat spasme otot-otot rahang.

h. Refleks kornea (lihat pemeriksaan refleks batang otak)


 Komponen aferen dan eferen busur refleks kornea disusun oleh serabut sensorik n.
V cabang oftalmik dan serabut eferen n. VII yang mensarafi m. orbicularis okuli.
 Cara periksa:
o Pasien diminta melirik ke atas atau ke samping supaya mata jangan berkedip
bila kornea hendak disentuh
o Goreskan seutas kapas pada kornea (jangan pada konjungtiva bulbi) pada satu
sisi untuk membangkitkan gerakan reflektorik

Nervus VI (abdusen)

Nervus VI menginervasi m. rektus lateralis yang mengatur gerakan bola mata ke


lateral. Paralisis nervus VI akan melumpuhkan gerakan bola mata ke lateral,
menyebabkan penyimpangan ke medial/nasal.
a. Cara pemeriksaan:
 Mata penderita disuruh mengikuti gerakan jari pemeriksa ke lateral
 Bila tidak mampu berarti ada paralisis n. VI
b. Strabismus konvergen
 Perhatikan sikap bola mata penderita. Apakah ada penyimpangan ke arah nasal
atau tidak.
c. Diplopia
 Sama dengan pemeriksaan n. III

Nervus VII (Fasialis)


 Pada pemeriksaan n. VII yang umum diperiksa adalah:
o Pemeriksaan motorik: inspeksi wajah yaitu pada kerutan dahi, kedipan mata,
lipatan nasolabial, dan sudut mulut serta beberapa gerakan volunter dan
involunter reflektorik
o Pemeriksaan vasomotor: misal lakrimasi
o Pemeriksaan sensorik: cita rasa (kecap) lidah.
a. Kerutan kulit dahi
 Perhatikan kulit dahi pasien apakah tampak kerutan kulit dahi atau tidak
o Pada kelumpuhan n. VII perifer (hemifasialis), kerutan kulit dahi pada sisi
sakit akan hilang
o Pada kelumpuhan n. VII sentral (hemifasialis), kerutan kulit dahi masih akan
tampak.

23
b. Kedipan mata
 Perhatikan apakah masih tampak kedipan mata
o Pada sisi yang lumpuh kedipan mata lambat, tidak gesit dan tidak kuat,.
disebut lagoftalmos
o Pada kelumpuhan sentral kedipan mata masih baik.
c. Lipatan nasolabial
 Lipatan nasolabial pada sisi yang lumpuh tampak mendatar.
d. Sudut mulut
 Sudut mulut pada sisi yang lumpuh tampak lebih rendah.
e. Mengerutkan dahi
 Pasien disuruh mengerutkan dahi unilateral dan bilateral. Pada kelumpuhan n. VII
perifer pasien tidak mampu mengerutkan dahinya unilateral dan bilateral
 Pada kelumpuhan n. VII sentral pasien masih mampu mengerutkan dahinya.
Dalam hal ini pemeriksa hendaknya melakukan palpasi antara kanan dan kiri dan
bandingkan sisi mana yang terkuat, akan didapatkan perbedaan tonus.
f. Mengerutkan alis
 Cara kerjanya sama dengan mengerutkan dahi.
g. Menutup mata
 Pasien disuruh menutup mata
 Pada kelumpuhan perifer mata tidak dapat menutup
 Pada kelumpuhan sentral unilateral mata masih bisa menutup. Dalam hal ini
pasien disuruh menutup mata kuat-kuat, kemudian pemeriksa mencoba membuka
mata pasien yang sedang dipejamkan tersebut, akan didapatkan perbedaan tonus
kanan – kiri.
h. Meringis
 Pasien disuruh meringis
 Baik kelumpuhan sentral maupun perifer pada sisi yang lumpuh tidak dapat
diangkat.
i. Bersiul
 Pasien disuruh bersiul
 Adanya kelumpuhan n. VII baik unilateral maupun bilateral menyebabkan pasien
tidak dapat bersiul.
j. Tik fasialis (spasmus klonik fasialis)
 Adanya gerakan involunter di mana sudut mulut terangkat dan kelopak mata
terpejam beberapa kali, berlebihan
 Tik fasialis tidak punya dasar organik, tetapi mungkin diduga adanya iritasi di gln.
genikulatum.
k. Lakrimasi
 Dapat dinilai dari anamnesis maupun observasi langsung
 Adanya paralisis fasialis perifer menyebabkan hiperlakrimasi, tampak nerocos.
l. Daya kecap lidah 2/3 depan
 Diperlukan 4 rasa pokok: manis, asin, asam, pahit. Bahan rangsang sebaiknya
cairan.
 Pasien diminta menjulurkan lidahnya keluar, satu persatu rasa diteteskan

24
 Penyebut tidak boleh menyebut rasa dengan bicara, melainkan dengan memberi
kode berupa tulisan yang sudah disiapkan. Hal ini akan mencegah kacaunya
identifikasi.
m. Gerakan fasial reflektorik
 Reflek visuopalpebra
o Ancaman colokan pada salah satu mata akan menimbulkan pejaman pada
kedua mata
o Hal ini terjadi pada orang normal.
 Refleks glabela
o Pada orang normal setiap kali glabela diketuk akan menyebabkan kedua mata
berkedip
o Akan tetapi setelah berturut-turut diketuk (3 – 4 kali) kedipan mata tidak akan
timbul lagi
o Sebaliknya pada orang dengan demensia, mata akan berkedip terus seiring
dengan ketukan berturut-turut pada glabela itu.
 Reflek aurikulopalpebra
o Gerak reflek berupa mata, jika terdengar suara keras dan tak terduga
o Dapat dihasilkan melalui tepuk tangan yang keras dan tiba-tiba.
 Tanda Myerson
o Pada orang normal ketukan pada pangkal hidung menyebabkan kedipan mata
hanya sekali saja
o Pada penderita Parkinson menyebabkan kedipan yang gencar.
 Tanda Chovstek
o Dengan palu atau ujung jari tangan, cabang-cabang n. fasialis di depan lubang
telinga kita ketuk
o Tanda Chovstek positif bila timbul reflek berupa kontraksi otot-otot rasialis
sebagai jawaban atas pengetukan pangkal cabang-cabang n. fasialis
o Tanda Chovstek positif khas untuk tetani.

Nervus VIII (akustikus)

Karena fungsi n. VIII terbagi atas fungsi pendengaran (n. koklearis) dan fungsi
keseimbangan (n. vestibularis) maka gangguan yang terjadi dapat berupa gangguan
koklearis saja atau vestibularis atau keduanya. Cara Pemeriksaan daya pendengaran (n.
koklearis) adalah sebagai berikut:
a. Mendengarkan suara berbisik
 Tes ini kurang akurat tapi cukup informatif
 Kedua telinga dites satu persatu, salah satu telinga harus ditutup
 Pasien diberitahu dulu bahwa dia harus mengucapkan kata yang dikatakan
pemeriksa. Pasien harus menutup matanya agar dia tidak dapat membaca gerakan
bibir pemeriksa. Yang dikatakan pemeriksa adalah kata dan angka secara
berselingan, intensitas suara harus sekeras bisikan sejauh 30 cm dari telinga.
b. Mendengarkan detik arloji
 Tes ini kurang akurat
 Apalagi pada saat ini kebanyakan arloji yang dipakai tidak berdetik

25
 Arloji yang sesuai untuk tes ini adalah arloji yang mempunyai detik suara jelas.
c. Tes Rinne
 Tes Rinne prinsipnya membandingkan hantaran sura lewat udara dan tulang
 Pada orang normal hantaran suara lewat udara adalah lebih baik dibandingkan
lewat tulang (tes ini positif juga pada tuli sensory neural hearing loss, meskipun
perbandingannya lebih kecil).
 Garpu tala yang sudah digetarkan diletakkan dengan kaki menempel os.
Mastoideum salah satu pasien
 Pasien diminta memberi tanda bila bunyi garpu tala sudah tidak terdengar lagi.
Pada saat itu juga garpu tala dipindahkan ke depan liang telinga pasien
 Bila normal/hantaran udara baik maka bunyi garpu tala masih terdengar minimal
2 kali lebih lama daripada yang terdengar lewat tulang mastoideum tadi
 Bila masih terdengar berarti tes Rinne (+) pada tulang tersebut. Terdapat telinga
normal atau tuli saraf (sensory neural hearing loss).
 Bila sudah tak terdengar lagi alias suar garpu tala lebih baik jika lewat os.
mastoideum daripada lewat lubang telinga berarti tes Rinne (-), yang ditemui pada
tuli hantaran
d. Tes Weber
 Prinsipnya adalah membandingkan antara tulang antara telinga kiri dan kanan,
dimana getaran akan terdengar lebih keras pada tuli hantaran dibandingkan pada
telinga normal dan atau tuli saraf.
 Pasien diminta menggigit garpu tala yang sudah digetarkan atau bisa juga garpu
tala tersebut diletakkan di verteks
 Bila suara terdengar sama keras berarti kedua telinga normal
 Bila salah satu sisi terdengar lebih keras (terjadi lateralisasi) berarti kemungkinan:
 Sisi tersebut merupakan telinga yang sakit pada pasien tuli hantaran/tuli konduktif
sebab hantaran tulang sisi yang sakit diperpanjang
 Sisi tersebut merupakan telinga yang sehat pada pasien tuli unilateral; sebab
tulang sisi yang sakit diperpendek.
e. Tes Schwabach
 Prinsipnya adalah membandingkan hantaran tulang telinga pasien terhadap
hantaran tulang telinga pemeriksa. Dengan catatan hantaran tulang pemeriksa
dianggap normal (standar).
 Garpu tala yang bergetar langsung diletakkan pada planum mastoideum
pemeriksa, sampai tak terdengar lagi, lalu segera dipindah ke planum mastoideum
pasien
 Dapat juga dilakukan sebaliknya pasien duluan
 Bila pasien masih mampu mendengar dibandingkan pemeriksa, berarti
Schwabach diperpanjang, terdapat tuli hantaran
 Jika garpu tala diletakkan lebih dulu pada planum mastiodeum penderita baru
setelah tak terdengar olehnya ke telinga pemeriksa; dan bila pemeriksa masih
mendengar berarti Schwabach diperpendek, maka berarti terdapat tuli saraf
(SNHL).

26
Nervus IX (glossofaringeus)

Secara klinis pemeriksaan n. IX tidak dapat dipisahkan dengan pemeriksaan n. X,


keduanya mempunyai fungsi yang bersamaan. Gangguan fungsi kedua saraf dalam klinik
sering diungkap lewat anamnesis.
a. Arkus faring
 Pasien diminta membuka mulut lebar-lebar dan lidah dikeluarkan sejauh-jauhnya
 Bila tidak bisa maka kita bantu menggunakan spatula lidah untuk menekan lidah;
dengan demikian arkus faring, uvula, dinding belakang faring dapat terlihat jelas
 Adanya paresis/paralisis ipsilateral n. IX dan atau n. X menyebabkan asimetri dan
tampak melengkung ke sisi yang sehat
 Asimetri dapat diperjelas dengan menyuruh pasien bersuara, ujung uvula
menunjuk ke arah yang sehat.
b. Daya kecap lidah (1/3 belakang lidah)
 Cara pemeriksaan sama dengan pengecapan lidah depan.
c. Reflek muntah
 Pembangkitan reflek ini merupakan pemeriksaan penting untuk menilai fungsi
kedua saraf ini
 Sewaktu mulut masih terbuka lebar, sensibilitas orofaring kita periksa dengan
menyentuh dinding posterior faring dengan spatula lidah; akan timbul reflek
muntah.
d. Sengau
 Suara yang sengau menunjukkan adanya kelumpuhan unilateral/bilateral n. IX
dan atau n. X.
e. Tersedak
 Merupakan gejala kesukaran menelan yang berat
 Karena epiglotis mengalami paresis sehingga tidak dapat menutup baik, akibatnya
makanan masuk ke laring dan menimbulkan reflek batuk (tersedak).

Nervus X (vagus)

Pemeriksaan fungsi nervus vagus meliputi hal-hal sebagai berikut:


a. Denyut nadi
 Cara pemeriksaan sama seperti fisik diagnostik biasa, yaitu palpasi a. radialis.
b. Arkus faring
 Sama dengan pemeriksaan n. IX.
c. Bersuara (fonasi)
 Perhatikan adakah suara serak/lemah
 Bila ya, kemungkinan terdapat paralisis laring yang dipersarafi n. X (n. laringeus
superior dan rekuren).
d. Menelan
 Gangguan menelan merupakan manifestasi gabungan dari gangguan n. IX, X, dan
VII. Karena mekanisme menelan merupakan hasil kerja integral saraf tersebut.

27
Nervus XI (Aksesorius)

Karena n. XI mensarafi m. sternokleidomastiodeus dan m. trapezius, maka yang


diperiksa adalah fungsi muskuli tersebut.
a. Memalingkan kepala
 Pasien disuruh memalingkan kepala, sementara pemeriksa memegang rahang
pasien untuk menahan gerakan tersebut
 Bila fungsi muskulusnya baik akan tampak konsistensinya yang keras
 Bila terdapat parese akan nampak kontur yang tidak menonjol;tampak konsistensi
yang keras dan kontur otot yang menonjol tegas
 Tetapi bila terdapat parese kontur otot tidak begitu jelas dan konsistensi otot pun
lemah, timbul asimetri/tortikolis
 Jika terdapat kelumpuhan bilateral, posisi kepala akan anterofleksi (menunduk).
b. Sikap bahu
 Kelumpuhan m. trapezius unilateral dapat diperlihatkan sikap bahu dan skapula
 Bahu sisi yang lumpuh akan lebih rendah dan bagian bawah skapula terletak lebih
dekat ke garis tengah daripada bagian atasnya.
 Pasien diminta mengangkat kedua bahunya, sedangkan pemeriksa menahan
elevasi bahu tersebut; jika gerakan elevasi tersebut lemah dan kontur otot tidak
ada berarti terdapat paresis
 Perhatikan kontur otot bahu, jelas atau tidak; apakah adan gangguan retraksi bahu
dan elevasi humerus.

Nervus XII (hipoglosus)

Lesi n. hipoglosus dapat terjadi di perifer atau sentral. Ciri khas kelumpuhan
perifer adalah atrofi otot yang cepat terjadi, garis tengah menjadi cekung, bagian lidah
yang lumpuh menjadi tipis dan berkeriput, bila lesinya unilateral lidah akan menyimpang
ke sisi yang sehat. Berbeda dengan kelumpuhan sentral, dimana kita ingat lidah
mempunyai intervasi kortikal yang bilateral, maka pada kelumpuhan unilateral bersifat
hanya sementara dan atrofi lidah tidak tampak. Bila lidah dijulurkan tak akan lurus ke
garis tengah, tetapi secara volunter lidah dapat digerakkan ke kanan dan ke kiri. Pada
kelumpuhan bilateral lidah tidak bisa dikeluarkan.
a. Sikap lidah
 Perhatikan sikap lidah apakah ada penyimpangan.
b. Artikulasi
 Pemeriksa dapat memerhatikan / mendengarkan pasien berbicara, apakah ada
disartria. Pada kelumpuhan unilateral disartria lebih jelas terlihat.
c. Tremor/Mioklonus
 Pasien diminta mengeluarkan lidahnya
 Perhatikan adanya gerakan ritmis bolak-balik yang tidak bertujuan; dapat disertai
bunyi gerakan lidah
 Dapat dijumpai pada degenerasi olivoserebelar.
d. Menjulurkan lidah
 Pasien diminta menjulurkan lidahnya secara lupus

28
 Pada kelumpuhan unilateral lidah tidak dapat dikeluarkan secara lurus, tetapi
menyimpang ke sisi yang lumpuh karena terdorong oleh otot yang sehat
 Bila kelumpuhan sentral lidah tersebut masih dapat digerakkan ke kanan dan ke
kiri. Bila kelumpuhan perifer maka lidah tetap menyimpang ke sisi yang lumpuh
dan tak dapat bergerak ke sisi yang sehat.
e. Kekuatan lidah
 Penderita disuruh menekankan lidahnya ke salah satu pipi
 Kemudian pemeriksa melakukan pelpasi dari luar, lalu kita nilai kekuatannya
(bisa atau tidak bisa menahan desakan tangan pemeriksa).
f. Trofi otot lidah
 Pada kelumpuhan perifer, atrofi otot lebih cepat terjadi, tidak tampak lumpuh,
tipis dan berkeringat
 Pada kelumpuhan sentral atrofi otot tidak tampak (yang unilateral).
g. Fasikulasi lidah
 Fasikulasi merupakan kontraksi otot setempat yang halus, cepat, spontan dan
sejenak.

F. PEMERIKSAAN FUNGSI SARAF OTONOM

TES PERSPIRASI

a. Pengertian
Tes perspirasi adalah suatu pemeriksaan non invasif, untuk menentukan letak atau
tinggi lesi di medula spinalis, segera dapat dikerjakan, mudah dan aman.
b. Tujuan Pemeriksaan
 Untuk menentukan Diagnosis Topis suatu penyakit
 Untuk menentukan letak lesi atau tinggi lesi di medula spinalis
c. Prosedur Pemeriksaan
 Mempersiapkan ruangan, alat-alat dan bahan-bahan
 Ruangan dengan suhu 370C dan kelembaban suhu 40 - 500C
 Sediakan alat penutup badan khusus
 Solusio Yodium 2%, tepung amilum, tablet parasetamol 500 mg
 Pasien dan atau perawat melepas seluruh pakaian penderita
 Perawat dan atau dokter mengolesi tubuh penderita dengan yodium 2% dan
tunggu sampai kering
 Perawat dan atau dokter menaburi seluruh tubuh penderita dengan tepung amilum
 Penderita minum tablet parasetamol 500 mg
 Perawat dan atau dokter memasukkan penderita ke dalam “alat khusus” penutup
badan selama 60 menit
 Dalam keadaan normal, terjadi perubahan warna putih (tepung amilum) menjadi
warna ungu, pada daerah yang diolesi yodium 2% dan ditaburi tepung amilum.

29
d. Interpretasi hasil :
 Jika terjadi gangguan berkeringat, tidak terjadi perubahan warna putih (tepung
amilum) menjadi warna ungu.
 Pada perbatasan antara warna putih dan ungu merupakan topik lesi yang dicari.

G. PEMERIKSAAN NEUROBEHAVIOR: LIHAT MODUL NEUROBEHAVIOR

H. PEMERIKSAAN SPESIFIK LAINNYA

Pemeriksaan iritasi meningeal


a. Rigiditas nuchae:
Istilah nuchae merujuk pada bagian belakang leher. Rigiditas nuchae berarti
bahwa baik pasien maupun pemeriksa tidak mampu melakukan fleksi kepala pasien
karena spasme refleks otot nuchae (ekstensor). Iritasi ruang subarakhnoid, paling sering
oleh inflamasi (ensefalitis atau meningitis) atau karena darah subaraknoid, menyebabkan
rigiditas nuchae.
Teknik untuk menguji rigiditas nuchae
 Pasien dalam posisi berbaring telentang dan relaks, tempatkan tangan anda di
bawah bagian belakang kepala pasien dan dengan hati-hati coba lakukan fleksi
leher. Pada keadaan normal, ia akan menekuk dengan bebas. Jika pasien memiliki
rigiditas nuchae, leher melawan fleksi dan pasien merasa kesakitan. Jika rigiditas
nuchae berat, anda dapat menaikkan kepala pasien dan badan dengan tulang
belakang seperti batang lurus atau pasien seperti patung.
 Karena rigiditas nuchae yang nyata mengindikasikan iritasi meningeal, pemeriksa
harus membedakannya dari bentuk rigiditas servikal lainnya. Dengan rigiditas
nuchae yang nyata, leher hanya melawan fleksi. Leher bergerak bebas melalui
rotasi dan ekstensi, karena gerakan ini tidak meregangkan meninges, medula
spinalis, dan nerve root. Untuk menunjukkan rigiditas hanya mempengaruhi otot
nuchae, lakukan dua hal berikut ini:
o Tempatkan tangan anda pada dahi pasien. Secara pasief gulingkan kepala
pasien dari satu sisi ke sisi lainnya untuk menunjukkan rotasi kepala yang
bebas meski ada resistensi terhadap fleksi
o Kemudian angkat bahu pasien untuk membiarkan kepala jatuh ke arah
belakang, menguji kebebasan ekstensi
o Rigiditas servikal berrarti ada resistensi apapun terhadap gerakan leher ke
segala arah. Sebaliknya, rigiditas nuchae secara khusus berarti resistensi
terhadap fleksi leher, yaitu rigiditas bagian belakang leher

b. Brudzinski neck sign


 Cara pemeriksaan

30
o Pasien dalam posis tidur telentang, kepala difleksikan oleh pemeriksa
sehingga dagu menyentuh dada
 Reaksi abnormal: fleksi pangkal paha dan lutut sebagai respon terhadap fleksi
leher

c. Brudzinski kontralateral
 Cara pemeriksaan
o Salah satu tungkai pasien diangkat dengan sikap lurus di sendi lutut dan fleksi
di sendi panggul, lutut kemudian difleksikan
 Reaksi abnormal: tungkai kontralateral timbul gerakan fleksi di sendi lutut

d. Kernig sign
 Cara pemeriksaan
o Pasien berbaring lurus di tempat tidur
o Kaki fleksi pada pangkal paha dengan lutut dalam keadaan fleksi
o Kemudian usahakan ekstensi lutut
o Ulangi untuk sisi yang lain
 Interpretasi hasil :
o Lutut lurus tanpa kesulitan: normal
o Resistensi terhadap pelurusan lutut: Kernig’s sign—bilateral mengindikasikan
iritasi meningeal; jika unilateral, mungkin terjadi pada radikulopati
(bandingkan dengan straight leg raising)

e. Straight leg raising


 Tes untuk jeratan / jebakan radiks lumbosakral.
 Cara pemeriksaan
o Pasien berbaring lurus, tungkai diangkat dengan menahan tumit naikkan kaki
o Catat sudut yang diperoleh dan adanya perbedaan antara kedua sisi.
 Interpretasi
o Normal > 90 derajat; lebih kecil pada pasien yang tua
o Keterbatasan dengan nyeri di punggung memberikan dugaan nerve root
entrapment.

f. Lhermitte’s phenomenon
 Cara pemeriksaan :
o Fleksikan leher pasien ke arah depan; hal akan menghasilkan perasaan seperti
tersengat listrik, biasanya menjalar ke arah punggun
o Pasien mungkin mengeluhkan hal ini secara spontan atau anda dapat
memeriksanya dengan melakukan fleksi pada leher
o Kadang pasien memiliki perasaan yang sama pada saat ekstensi (reverse
Lhermitte’s)
 Interpretasi
o Hal ini mengindikasikan adanya proses patologi di daerah servikal—biasanya
demielinisasi.
o Kadang terjadi pada mielopati spondilitik servika atau tumor servikal.

31
Pemeriksaan refleks primitif
a. Snout reflex
 Cara pemeriksaan
o Pasien diminta untuk menutup mata. Ketuk mulutnya dengan palu refleks.
 Interpretasi: bila tidak ada reaksi maka berarti normal, bila tampak mengkerutnya bibir
maka berarti snout reflex positif

b. Refleks palmo-mental
 Cara pemeriksaan
o Garuk telapak tangan pasien dengan cepat pada tengah telapak tangan dan
perhatikan dagu
 Interpretasi: bila tidak ada reaksi maka berarti normal; bila ada kontraksi otot
pada sisi dagu yang sama maka berarti refleks palmo-mental positif

c. Refleks menggenggam
 Cara pemeriksaan
o Tempatkan jari tangan anda pada telapak tangan pasien dan tarik tangan anda,
minta pasien untuk melepaskan tangan anda
 Interpretasi: bila pasien mampu melepaskan jari-jari pemeriksa maka berarti normal; bila
pasien secara involunter menggenggam tangan anda maka berarti refleks menggenggam
positif
Penjelasan
Semua refleks primitif ini mungkin ditemukan pada orang normal. Mereka lebih sering
muncul pada pasien dengan patologi frontalis dan ensefalopati difus. Jika unilateral mereka
memberikan dugaan kuat adanya patologi lobus frontalis

Pemeriksaan refleks genital

Secara klinis, penentuan ada tidaknya disfungsi ereksi dan disfugi seksual tidak
sulit. Penderita sudah dapat menentukan sendiri, apakah mereka menderita disfungsi
ereksi atau tidak, berdasar pengalamannya. Seorang dokter harus dapat melakukan
pemeriksaan neurologis untuk menentukan respon ereksi. Pemeriksaan refleks genital
(misalnya refleks bulbokacavernosus dan refleks kremaster) harus dilakukan untuk
mengetahui adanya refleks ereksi.

Refleks kremaster
Prinsipnya adalah rangsangan sensoris yang ditimbulkan dengan cara
menggorespaha. Rangsangan dibawa ke korda spinalis setinggi lumbal 1-2 melalui
cabang femoral dari serabut saraf genitofemoralis. Serabut saraf motorik yang berjalan
pada cabang genital dari serabut saraf genitofemoral menyebabkan refleks kontraksi otot-
otot kremaster yang mengangkat testis.
 Cara pemeriksaan
o Refleks ini dapat dilakukan pada laki-laki
o Aspek medial dari paha atas digores secara tumpul ke arah bawah
o Gerakan testikel di dalam skrotum diamati

32
o Kontraksi kremaster menaikkan testikel pada sisi tersebut.
o Aferen: nervus femoralis L1, L2
o Eferen: L1, L2
 Interpretasi: jika tidak tampak gerakan maka mungkin terjadi pada patologi fokal
non-neurologis atau bedah lokal sebelumnya, atau ada lesi dalam arkus refleks,
atau ada lesi piramidalis diatas L1

Refleks bulbokavernosus
Prinsip pemeriksaan ini adalah rangsangan sensoris yang ditimbulkan dengan cara
menekan (seperti meremas) gland penis. Rangsangan bergerak menuju ke vertebra sakral
2-4 melalui serabut saraf pudendus. Serabut motorik juga terdapat pada serabut saraf
pudendus yang menyebabkan refleks kontraksi otot bulbokavernosus.
Hal ini dapat juga dirasakan pada garis tengah posterior ke arah skrotum. Refleks
kontraksi pada sfingter anus bagian luar timbul saat jari dimasukkan ke dalam anus juga
menunjukkan keutuhan serabut saraf pudendus dan otot-otot voluntar pada dasar pelvis.
Pada pemeriksaan refleks-refleks tersebut, pasien harus dalam posisi terlentang dan
benar-benar rileks sehingga kontraksi muskulus perineal yang terjadi hanya berhubungan
dengan stimulasi yang kita berikan, bukan karena rangsangan lain
 Cara pemeriksaan
o Tes ini memeriksa integritas arkus refleks dengan inervasi segmen S4 dan S5
untuk komponen sensorik dan motorik
o Baringkan pasien pada satu sisi dengan lutut fleksi.
o Dengan lembut pukul batas anal dengan orange stick
 Interpretasi hasil : akan ditemukan kontraksi yang terlihat jelas pada sphincter anal
externa

Pemeriksaan klonus
Klonus adalah respon / gerakan otot secara involuntar dan ritmik yang timbul
akibat peregangan otot atau tendon secara tiba-tiba.
a. Klonus patela
 Cara pemeriksaan
o Pasien dalam keadaan berbaring, kedua tungkai dalam keadaan ekstensi /
lurus
o Kedua tungkai terbebas dari pakaian / celana
o Pemeriksa mendorong patela ke arah distal secara mendadak dan kuat
 Interpretasi: bila terjadi gerakan involuntar dan ritmik yang tampak pada patela
maka berarti klonus patela / paha positif
b. Klonus kaki
 Cara pemeriksaan :
o tungkai dan kaki pasien direlaksasikan
o tumit dan lutut sedikit difleksikan
o kaki sedikit diangkat
o dengan tekanan yang kuat, cepat dan bolak balik dorsofleksi dan sedikit
plantar fleksi

33
 Interpretasi hasil pemeriksaan : bila positif maka terjadi gerakan involuntar dan
ritmik pada kaki

Pemeriksaan refleks batang otak


a. Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil
 Pada pupil terdapat 2 otot yang bekerja berlawanan yaitu m. sfingter pupilae dan
m. dilatator pupilae. Masing-masing otot tersebut dipersarafi oleh serabut
parasimpatis n. III untuk sfingter dan saraf simpatis untuk dilatator pupilae.
 Ukuran dan bentuk pupil: secara praktis, kedua pupil adalah sama dan sebangun,
berbentuk bulat dan berbatas licin. Perbedaan diameter pupil kanan–kiri sampai 1
mm masih dianggap normal. Anisokor dianggap tidak patologik selama kedua
pupil bereaksi terhadap penyinaran dengan sama cepatnya.
 Pengertian pemeriksaan pupil
o Menggambarkan ukuran dan bentuk pupil
o Mendefinisikan dengan jelas refleks cahaya langsung dan refleks cahaya
tidak langsung (konsensual)
o Mendefinisikan dengan jelas pemeriksaan refleks konvergensi
 Cara pemeriksaan
o Refleks cahaya langsung
 Kepala pasien kita pegang dengan tangan kiri agar tekfiksir. Lalu salah
satu pupil disorot dengan lampu senter dari samping agar pupil satunya
tidak ikut tersorot. Tes ini positif bila timbul miosis pada pupil tersebut.
Bila sinar dimatikan, pupil akan melebar kembali.
 Utuhnya n. III (lintasan aferen dan eferen) serta efektor menjamin refleks
cahaya yang positif.
o Refleks cahaya konsensual (tidak langsung)
 Cara pengerjaannya sama dengan di atas. Penyinaran terhadap pupil
sesisi akan menyebabkan miosis pada kedua sisi. Miosis yang terjadi
pada pupil yang tidak disinari ini disebut refleks konsensual.
o Refleks akomodasi (konvergensi)
 Pada penatapan mata ke satu benda dekat mata, mata akan
berkonvergensi. Sinkron dengan gerakan konvergensi ini, m. siliaris juga
berkontraksi sehingga menimbulkan kontraksi pupil (miosis).
 Pupil yang semakin menyempit pada penetapan terhadap obyek yang
semakin mendekat menandakan kalau refleks pupil akomodasi baik.
b. Refleks kornea
 Pengertian pemeriksaan kornea: komponen aferen dan eferen busur refleks kornea
disusun oleh serabut sensorik n. V cabang oftalmik dan serabut eferen n. VII yang
mensarafi m. orbikularis okuli.
 Cara pemeriksaan kornea :
o seutas kapas pada kornea (jangan pada konjungtiva bulbi) pada satu sisi
pasien diminta melirik ke atas atau ke samping supaya mata jangan berkedip
bila kornea hendak disentuh
o goreskan untuk membangkitkan gerakan reflektorik berupa kedipan mata
secara bilateral

34
o bila mata tidak berkedip bisa berarti ada kelumpuhan cabang oftalmik n. V
atau kelumpuhan fasialis perifer.

c. Doll’s eye phenomen


 Pengertian pemeriksaan doll,s eye phenomen: Doll’s eye phenomen adalah respon
okulosefalik ini yang sangat penting digunakan untuk evaluasi pasien dengan
koma.
 Cara pemeriksaan doll’s eye phenomen
o Pemeriksaan dengan cara menggerakkan kepala dalam satu arah yang akan
menyebabkan kedua mata bergerak berlawanan dengan arah gerakan kepala.
Respon ini menunjukkan bahwa jalur yang menghubungan antara nukleus
vestibularis dalam medulla dengan nukleus ekstraokuler dalam pons dan
batang otak adalah berfungsi dan menunjukkan bahwa batang otak itu masih
intak.

I. PEMERIKSAAN FUNGSI KOORDINASI

Tes Romberg
 Tes Romberg hanya dilakukan apabila seseorang dapat berdiri tanpa bantuan
 Sebelum pasien menjalani tes Romberg, ia harus diberi penerangan yang jelas
 Pasien disuruh berdiri dengan kedua kakinya dekat satu dengan yang lain dan
kedua matanya tertutup hanya selama beberapa detik saja
 Jika pasien tidak dapat melaksanakan tes tersebut, maka ia diperbolehkan berdiri
dengan kedua tungkainya jauh satu dengan lain, seenaknya sendiri, tetapi dengan
mata tertutup sejenak
 Bila pasien berdiri dalam keadaan goyang / akan jatuh maka tes Romberg positif

Tes disdiadokokinesis
 Disdiadokokinesis adalah tes untuk menilai kemampuan melakukan gerakan cepat
secara berselingan
 Gerakan tersebut misalnya mempronasi-supinasikan tangan, melakukan
dorsofleksi dan volarfleksi di pergelangan tangan secara berselingan seperti kalau
menepuk-nepuk paha atau membolak-balikkan tangan di atas paha secara
berulang-ulang atau menyentuh ujung jari telunjuk dan ujung ibu jari secara
berulang-ulang.
 Tes ini dianggap valid apabila tangan pasien tidak mengalami kelumpuhan atau
penuruna kekuatan motoriknya

Tes dismetri
 Tes ini untuk memeriksa adanya gangguan kemampuan untuk mengelola
kecepatan gerakan, kekuatan, dan jangkuan
 Adapun tes-tes yang digunakan dalam klinik adalah : tes telunjuk-hidung, tes
hidung-telunjuk-hidung, dan tes telunjuk-telunjuk.
 Dalam melakukan ketiga dismetri tersebut diatas pasien boleh duduk atau baring
dengan mata terbuka dan ditutup secara bergiliran

35
 Dengan adanya dismetri, maka jari telunjuk tidak mendarat secara luwes di ujung
hidung atau ujung jari telunjuk lainnya, melainkan jatuh menabrak atau
menerjang tujuannnya.

Tes nistagmus
 Cara pemeriksaan di dalam klinik ialah dengan menggunakan teromol berputar
yang dicat seluruhnya dengan kolom putih dan kolom hitam secara bergantian
 Tromol itu diputar di depan mata pasien dan diminta utuk mengikuti dengan
matanya deretan kolom putih dan hitam yang melintasi lapangan penglihatannya
dari kiri ke kanan datau sebaliknmya, tergantung cara memutar tromol tersebut.

Tes tandem-gait
 Pasien dengan vestibulopati akut mungkin mengalami kesulitan dengan tandem
gait, dengan kecenderungan jatuh ke sisi yang mengalami lesi, tetapi berjalan
lurus masih bisa terlihat, tidak ada kelainan karena tanda-tanda visual
mengkompensasi abnormlaitas vestibular.
 Akan tetapi dengan berjalan lurus dan mata tertutup mungkin bisa memberikan
informasi; individu normal dapat berjalan dengan tanpa tanda visual yang cukup
baik untuk menunjukkan indeks jari pada telapak tangan pemeriksa pemeriksa,
tutup matanya, berjalan sepanjang jalan 20 kali atau lebih, kemudian sentuh jari
dari telapak tangan pemeriksa
 Pasien dengan vestibulopati akut akan jatuh ke sisi yang mengalami lesi dan
akhirnya berdiri sesuai target, cara berjalan sesuai dengan sasaran sebelumnya.

Tes nilen barani ( Hallpike maneuver)


 Tes ini merupakan pemeriksaan untuk mencari adanya vertigo/ nistagmus
posisional paroksismal oleh karena itu untuk membangkitkannya diperlukan
rangsangan perubahan posisi secara cepat.
 Penderita duduk di meja periksa kemudian disuruh cepat-cepat berbaring
terlentang dengan kepala tergantung (disanggah dengan tangan pemeriksa) di
ujung meja dan cepat-cepat kepala disuruh menengok ke kiri (10-20 °),
pertahankan sampai 10 – 15 detik, lihat adanya nistagmus; kemudian kembali ke
posisi duduk dan lihat adanya nistagmus (10 – 15 detik).
 Ulangi pemeriksaan tersebut tetapi kali ini kepala menengok ke kanan. Orang
normal dengan manuver tersebut tidak timbul vertigo atau nistagmus.
Vertigo/nistagmus yang timbul dengan arah tertentu pada seorang penderita
selama pemeriksaan ini, pada saat posisinya kembali sering timbul nistagmus
dengan arah yang berlawanan.

Tes kalori
 Caranya, sebelumnya yakinkan terlebih dahulu bahwa membrana timpani kedua
sisi utuh dan kedua liang telinga kedua sisi bersih
 Pasien diperiksa dalam posisi terlentang dengan kepalanya sedikit diangkat,
sehingga bersudut 300 dengan bidang landasannya
 Dalam posisi demikain kanalis semisirkularis lateralis hampir seluruhnya dapat
terangsang secara kalorik

36
 Perangsangan kalorik itu dilakuikan dengan pengisisan liang telinga dengan air
yang berderajat 30 dan 40 celcius, yaitu 70 dibawah dan diatas suhu badan normal
 Tekanan hidrostatik yang dieprlukan untuk pengisisan air kedalam telinga ialah
kira-kira 60 cm diatas bidang telinga
 Irigasi setiap liang telinga dengan air panas (440 C) atau dingin (300 C) harus
dilakukans elama 40 detik
 Setiap telinga yang telah diirigasi baru boleh menjalani irigasi lagi 5 menit setelah
tes sebelumnya berakhir.

KEPUSTAKAAN

1. Fuller, G., 2004. Neurological Examination Made Easy 3rd Ed. Churchill
Livingstone: New York.
2. Oishi, M., 1997. Handbook of Neurology. Word Scientific: New Jersey
3. Gilroy, J., 2000. Basic Neurology 3rd Ed. Mc Graw Hill: New York.
4. Marshall K.G., 2005. Meningael Sign and Disorder of Speech. Patient Care
Canada 16 (10):63-8
5. Sidharta, P. 2005. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologis Cetakan ke-5. Dian
Rakyat : Jakarta
6. De Jong’s.The Neurologic Examination.Sixth Edition. Lippincott Williams
Wilkins,Philadelphia,2005
7. De Myer,W. Technique of the Neurologiacal Examination 5th Ed. McGraw Hill:
New York
8. Buku standar Kompetensi Dokter Spesialis Saraf. Perdossi Pusat, Jakarta, 2006.
9. Chusid, J.G.Correlative Neuroanatomy and Functional Neurology
10. Campell WW, Pridgeon RP. Practical Primer of Clinical Neurology, Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkin, 2002.

37

Anda mungkin juga menyukai