PENYUSUN :
Sumita Dewi
20360118
PEMBIMBING :
dr. Sevina Marisya Sp. A
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan
Makalah ini diajukan untuk melengkapi tugas kepanitraan klinik senior Departemen
Universitas Malahayati.
Akhir kata, apabila penulisan referat ini banyak terdapat kesalahan, penulis
memohon maaf. Untuk itu, kritik dan saran dari berbagai pihak untuk
Sumita Dewi
ii
Daftar Isi
KATAPENGANTAR...........................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
BAB II.PEMBAHASAN......................................................................................3
2.4 Patofisiologi.............................................................................................9
2.6 Diagnosis................................................................................................12
2.7 Tatalaksana..............................................................................................18
2.8 Prognosis.................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
motorik dan otonom) dengan atau tanpa perubahan. Kejang pada neonatus dibatasi
waktu yaitu kejang yang terjadi pada 28 hari pertama kehidupan (bayi cukup bulan)
atau 44 minggu masa konsepsi (usia kronologis + usia gestasi pada saat lahir) pada
bayi premature (Handryastuti, 2016). Aktivitas kejang yang terjadi pada waktu
diferensiasi neuron, mielinisasi dan proliferasi glia pada Bayi Baru Lahir (BBL) di
Insidens kejang pada neonatus dibedakan menurut berat badan lahir, yaitu
57,5 per 1000 bayi dengan berat lahir (BL)< 1500 g, 4,4 pada bayi dengan BL 1500-
2499, 2,8 pada bayi dengan BL 2500-3999 g, serta 2,0 pada bayi BL > 4000 g
Amerika Serikat berkisar antara 0,8-1,2 setiap 1000 bayi lahir hidup setiap tahunnya.
Sumber pustaka lain menyebutkan angka kejadian pada umumnya berkisar antara 1,5
per 1000 kelahiran sampai 14 per 1000 kelahiran. Di ruang perawatan intensif, pada
bayi berat lahir rendah yang sakit, frekuensi kejang meningkat sampai 25%. Kejang
pada bayi baru lahir 85% terjadi pada 15 hari pertama kehidupan dan 65% terjadi
disfungsi susunan saraf pusat pada neonatus, sulit dideteksi, sukar diberantas serta
1
2
berkaitan erat dengan mortalitas dan morbiditas seperti epilepsi, serebral palsi, dan
memberikan tata laksana yang adekuat sangat penting pada kejang neonatus. Kejang
umumnya berkaitan dengan penyakit berat yang memerlukan terapi spesifik, kejang
mempengaruhi tindakan suportif seperti alat bantu nafas dan alimentasi yang sering
diberikan pada neonatus dengan penyakit tertentu, dam kejang dapat menyebabkan
Bagian Ilmu Kesehatan Anak dan agar mahasiswa lebih memahami mengenai kejang
pada neonatus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kejang merupakan keadaan darurat atau tanda bahaya yang sering terjadi
pada neonatus karena kejang dapat mengakibatkan hipoksia otak yang cukup
kemudian hari. Selain itu kejang dapat merupakan tanda atau gejala dari satu masalah
atau lebih dan memiliki efek jangka panjang berupa penurunan ambang kejang,
gangguan belajar dan gangguan daya ingat. Aktivitas kejang yang terjadi pada waktu
diferensiasi neuron, mielinisasi, dan proliferasi glia pada neonatus dianggap sebagai
Kejang pada neonatus secara klinis adalah perubahan paroksimal dari fungsi
neurologik (misalnya prilaku, sensorik, motorik, dan fungsi autonom system syaraf)
yang terjadi pada bayi berumur sampai dengan 28 hari. (buku ajar neonatologi).
2.2 Epidemiologi
Angka kejadian kejang neonatus yang sebenarnya tidak diketahui secara pasti
karena sulitnya mengenali tanda bangkitan kejang pada neonatus. gambaran klinis
kejang sangat bervariasi bahkan sangat sulit membedakan gerakan normal bayi itu
sendiri. Meskipun demikian, angka kejadian di Amerika Serikat berkisar antara 0,8-
1,2 setiap 1000 bayi lahir hidup setiap tahunnya. Sumber pustaka lain menyebutkan
1-5% bayi pada bulan pertama mengalami kejang. Insiden meningkat pada BKB
(Bayi Kurang Bulan) sebesar 57,5-132 dibanding BCB (Bayi Cukup Bulan) sebesar
0,7-2,7 setiap 1000 kelahiran hidup. Pada kepustakaan lain menyebutkan insiden
3
4
20% pada BKB dan 1,4% pada BCB. Insiden kejang dini (terjadi kurang dari 48 jam
setelah lahir) pada bayi aterm telah diajukan sebagai indikator dari kualitas
perawatan perinatal karena penyebab tersering pada kelompok ini adalah hipoksik-
iskemik enselopati (Kosim dkk, 2008). Angka kejadian kejang pada bayi baru lahir
Insidens kejang pada neonatus dibedakan menurut berat badan lahir, yaitu
57,5 per 1000 bayi dengan berat lahir (BL)< 1500 g, 4,4 pada bayi dengan BL 1500-
2499, 2,8 pada bayi dengan BL 2500-3999 g, serta 2,0 pada bayi BL > 4000 g
(Handryastuti, 2016).
2.3 Etiologi
dalam waktu 24 jam pertama dan sering dimulai 12 jam pertama. Dapat terjadi
pada Bayi Cukup Bulan (BCB) maupun Bayi Kurang Bulan (BKB) terutama bayi
dengan asfiksia. Bentuk kejang subtel atau multifokal klonik serta fokal klonik.
Kasus iskemik hipoksik disertai kejang, 20% akan mengalami infark serebral.
B. Perdarahan intrakranial
pada bayi preterm. Scher menemukan 45% bayi preterm dengan kejang
vena superfisial akibat partus lama. Pada mulanya bayi tampak baik, tiba-tiba dapat
terjadi kejang pada hari pertama atau kedua. Pungsi lumbal harus dikerjakan untuk
terdapat di fisura interhemister dan resesus supra dan infra tentorial. Kemudian
bayi tampak sakit berat dalam 1-2 hari pertama dengan tanda peninggian tekanan
intrakranial seperti ubun-ubun besar tegang dan membonjol, muntah, tangis yang
Perdarahan ini umumnya terjadi akibat robekan tentorium di dekat falks serebri.
Keadaan ini karena molase kepala yang berlebihan pada letak verteks, letak muka
dan partus lama. Darah terkumpul di fosa posterior dan dapat menekan batang otak.
sedang. Bila terjadi penekanan pada batang otak terdapat pernapasan yang tidak
perdarahan sub dural. Deteksi kelainan ini dengan pemeriksaan USG atau CT-
perdarahan yang besar dan menekan batang otak perlu dilakukan tindakan bedah
untuk mengeluarkan darah. Mortalitas tinggi, dan pada bayi yang hidup biasanya
3. Perdarahan periventrikular/intraventrikular
dan saat terjadinya perdarahan. Pada bayi yang mengalami trauma atau asfiksia
biasanya kelainan timbul pada hari pertama atau kedua setelah lahir. Untuk
lumbal, pemeriksaan darah misalnya, Hb, Ht, dan trombosit, pemeriksaan EEG dan
USG.
Infark serebral fokal, bayi preterm dengan GMH-IVH sering juga mengalami
infark karena perdarahan vena, yang kemudian berperan sebagai fokus kejang.
Kejang pada bayi aterm dengan apgar skor normal yang tetap sadar diantaranya
kejang seringkali disebabkan oleh lesi infark fokal arteri serebral media. Kondisi
C. Metabolik
1. Hipoglikemia
Bayi dengan kadar glukosa darah < 45 mg/dl disebut hipoglikemia. Kadang
resiko tinggi untuk terjadinya hipoglikemia adalah : Bayi Kecil untuk masa
kehamilan, Bayi Besar untuk masa kehamilan dan bayi dari ibu dengan
diabetes mellitus. Tidak ada keraguan pemberian terapi dextrosa intravena jika
2. Hipokalsemia/hipomagnesia
Kejadian awal kejang akibat hipokalsemia pada hari pertama dan kedua.
biasanya disertai dengan kadar fosfat >3 mg/dl (>0,95 mmol/L), seperti
dan perlu diterapi tetapi mekanismenya belum jelas. Bila kejang pada
Kadar natrium serum yang sangat tinggi, sangat rendah atau yang mengalami
perubahan sangat cepat, sering terjadi pada kondisi tertentu seperti Syndrom
D. Infeksi
Infeksi terjadi pada sekitar 5-10% dari seluruh penyebab kejang neonatus, bakteri,
1. Infeksi akut
Infeksi bakteri atau virus pada SSP dengan atau tanpa keadaan sepsis dapat
sp dll
2. Infeksi kronik
E. Kernikterus/ensefalopati bilirubin
mg/dl. Pada bayi prematur yang sakit, kadar 10 mg/dl sudah berbahaya. BKP yang
sakit dengan sindrom distres pernapasan, asidosis mempunyai resiko tinggi untuk
terjadinya kernikterus.
Etiologi kejang lainnya yang jarang terjadi dapat digolongkan sebagai berikut :
hari setelah bayi lahir. Termasuk kelainan ini adalah maple syrup urine
dkk, 2008).
I. Ideopatik
Kejang pada neonatus yang tidak diketahui penyebabnya, secara relatif sering
menunjukkan hasil yang baik. Tetapi pada kejang berulang yang lama, resisten
terdapat 2 hal yang perlu mendapat perhatian yaitu, kejang neonatal familial
2.4 Patofisiologi
natrium ke dalam sel, sedangkan repolarisasi diakibatkan oleh keluarnya ion kalium
ke ekstra sel. Fungsi neuron adalah menjaga keseimbangan antara depolarisasi dan
repolarisasi. Jika terjadi depolarisasi maka terjadi potensial aksi yang mengakibatkan
berikatan dengan reseptor postsinaps dan menghasilkan potensial aksi yang dapat
bersifat eksitasi atau inhibisi. Fungsi otak normal sangat bergantung dari
belum diketahui secara pasti, namun terdapat beberapa teori yang menerangkan
10
depolarisasi berlebihan, yaitu (1) Pompa Na-K tidak berfungsi akibat kekurangan
eksitasi (glutamate) yang berlebihan (produksi yang berlebih atau berkurangnya re-
hal ini terjadi akibat menurunnya aktivitas enzim glutamic acid decarboxylase pada
ion kalsium dan magnesium berinteraksi dengan membran sel untuk menghambat
masuknya ion natrium. Kejang pada neonatus berbeda dari kejang pada bayi, anak
maupun orang dewasa demikian pula manifestasi kejang pada bayi prematur berbeda
dibandingkan bayi cukup bulan. Kejang neonatus lebih bersifat fragmenter, kurang
terorganisasi dan hampir tidak pernah bersifat kejang umum tonik klonik. Kejang
pada bayi prematur lebih tidak terorganisasi dibandingkan dengan bayi cukup bulan,
perinatal. Organisasi korteks serebri pada neonatus belum sempurna, selain itu
yang terjadi tidak dapat menyebar ke bagian otak yang lain sehingga tidak
lebih dahulu dibandingkan daerah korteks dan bagian ini sudah terhubung dengan
diensefalon dan batang otak sehingga kejang pada neonatus lebih banyak
11
mengunyah, drooling, gerakan bola mata dan apnea. Hubungan antara sinaps eksitasi
dan inhibisi merupakan faktor penentu apakah kejang yang terjadi akan menyebar ke
daerah lain. Ternyata kecepatan perkembangan aktifitas sinaps eksitasi dan inhibisi
dibandingkan sinaps inhibisi terutama di daerah limbik dan korteks. Selain itu daerah
hipokampus dan neuron korteks yang masih imatur lebih mudah terjadi kejang
menunjukkan bahwa kejang muncul 3-13 jam setelah terjadi keadaan hipoksik
iskemik dan sesuai dengan yang kita ketahui tentang pelepasan dan penghancuran
glutamat selama fase reperfusi sekunder. Keadaan yang sama dapat terjadi pada bayi.
Kejang onset lanjut memberi kesan adanya meningitis, kejang familial benigna atau
hipokalsemia. Awitan kejang pada setiap etiologi dapat berbeda, perbedaan tersebut
2.6 Diagnosis
A. Anamnesis
infeksi lain saat ibu hamil, pre-eklamsi, gawat janin, pemakaian obat
- Riwayat pascanatal : infeksi, bayi tampak kuning, perawatan tali pusat tidak
bersih dan kering, penggunaan obat tradisional, infeksi tali pusat, riwayat
kejang, gerakan abnormal pada mata, mulut, lidah dan ekstremitas, saat
pada ekstremitas, otot mulut dan perut, dipicu oleh kebisingan atau prosedur
B. Manifestasi Klinis
kurang dan mielinisasi sel otak belum sempurna terutama antara kedua hemisfer.
Kejang pada neonatus biasanya fokal dan agak sulit dikenali. Sering juga timbul
pada neonatus.
1. Subtle:
Orofasial : Deviasi mata, kedipan mata, gerakan alis yang bergetar berulang,
mata yang tiba tiba terbuka dengan bola mata terfiksasi ke satu arah, gerakan
bersepeda.
Episode apnu: Serangan apnu yang termasuk kejang apabila disertai dengan
2. Tonik
Fokal : Postur tubuh asimetris yang menetap dari badan atau ekstremitas
Umum: Fleksi tonik atau ekstensi leher, badan dan ekstremitas, biasanya
3. Klonik
Fokal : Gerakan bergetar dari satu atau dua ekstremitas pada sisi unilateral,
Multifokal : Kejang klonik dengan lebih dari satu fokus atau migrasi gerakan
gerakan klonik dari salah satu atau lebih anggota gerak yang berpindah
pindah atau terpisah secara teratur, misalnya kejang klonik lengan kiri diikuti
4. Mioklonik
Fokal: Kontraksi cepat satu atau lebih otot fleksor ekstremitas atas.
Umum : Terdiri dari satu atau lebih gerakan fleksi masif dari kepala dan
Ketiga jenis kejang mioklonik sering dijumpai pada BKB dan cukup bulan
1. Apnu
pernapasan 3-6 detik dan sering diikuti hiperpnea selama 10-50 detik. Bentuk
pernapasan ini disebabkan belum sempurnanya pusat pernapasan di batang otak dan
2. Jiterness
Jiterness merupakan gerakan tremor kasar dengan amplitudo yang sama. Dapat
terlihat pada bayi normal dalam keadaan lapar atau hipoglikemia, bayi dari ibu
penderita diabetes melitus atau bayi yang kecil untuk masa kehamilan (KMK)
(IKAUI). Sistem saraf autonom yang berubah pada kejang, seperti adanya takikardi
3. Hiperekpleksia
Hiperekpleksia suatu respons yang berlebihan terhadap stimulus (suara atau taktil)
2016).
4. Spasme
Spasme pada tetanus neonatorum hampir mirip dengan kejang, tetapi kedua hal
2008).
16
C. Pemeriksaan fisik
perdarahan intraventrikuler.
moulding yang berlebihan karena trauma. Ubun-ubun besar yang tegang dan
atau subaraknoid
D. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
sebagai berikut yaitu non epileptic (berdasarkan pada gejala klinik kejang yang
samata), dan epileptic (tidak tampak kejang, namun secara elektrografik masih
intraventriuler.
parenkim otak.
4. Pemeriksaan lain
lingkaran yang lebih kecil atau lebih besar dari ukuran standar normal.
18
2.7 Tatalaksana
Fenobarbital harus digunakan sebagai agen lini pertama untuk treatmen kejang
A. Medikamentosa
kali dengan selang waktu 30 menit. Jika tidak tersedia jalur intravena, dapat
peroral.
2 Pengobatan rumatan.
- Fenobarbital 3-5 mg/kgBB/hari, dosis tunggal atau terbagi tiap 12 jam secara
IV atau peroral.
19
- Fenitoin 4-8 mg/kgBB/hari IV atau peroral, dosis terbagi dua atau tiga.
- Beri bayi
pangkal tali pusat, atau keluar nanah dari permukaaan tali pusat, atau
bau busuk dari area tali pusat, berikan pengobatan untuk infeksi lokal
tali pusat.
- Berikan ibunya imunisasi tetanus toksoid 0.5 mL (untuk melindungi ibu dan
bayi yang dikandung berikutnya) dan minta datang kembali satu bulan
B. Suportif
1. Menjaga jalan napas tetap bersih dan terbuka serta pemberian oksigen untuk
3. Pasang jalur IV dan beri cairan IV dengan dosis rumat serta tunjangan nutrisi
adekuat
dengan fasilitas Pelayanan Neonatal Level III yang tersedia fasilitas NICU.
C. Pemantauan
1. Terapi
- Efektifitas terapi dipantau dengan melihat gejala klinis, bila perlu diulang dan
penyebabnya.
21
2. Tumbuh Kembang
semakin tinggi risiko kerusakan pada otak dan berdampak pada terjanya
Beberapa melakukan pemeriksaan EEG lagi dalam satu bulan, atau sesaat
2.8 Prognosis
prognosis yang baik, sedangkan infeksi intrakranial dan IEM mempunyai prognosis
yang bervariasi.
prognosis yang buruk. Kejang tonik berhubungan dengan palsi serebral, retardasi
mental dan epilepsi sedangkan kejang mioklonik berkaitan dengan retardasi mental.
lain kejang subtle dan tonik umum mempunyai komplikasi epilepsi, retardasi mental
dan epilepsi yang lebih tinggi.Gambaran EEG juga merupakan faktor prognosis.
Hasil EEG interiktal normal 85% mempunyai prognosis baik, sedangkan gambaran
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kejang pada neonatus secara klinis adalah perubahan paroksimal dari fungsi
neurologik (misalnya prilaku, sensorik, motorik, dan fungsi autonom system syaraf)
yang terjadi pada bayi berumur sampai dengan 28 hari. Penyebab kejang pada
neonatus dapat karena kelainan Susunan Syaraf Pusat (SSP) terjadi primer atau
sekunder karena masalah sistemik atau metabolik. Kejang pada neonatus sering sulit
dikenali, langkah pertama jika menghadapi kasus tersebut adalah memastikan gejala
yang tampak kejang atau bukan. Tata laksana selain bertujuan untuk memberantas
kejang juga mengatasi etiologi. Obat antikonvulsan yang diberikan harus efektif
EEG sangat penting untuk diagnosis, menilai respon terapi, lama terapi serta
gambaran EEG. Pemahaman yang baik tentang diagnosis dan tata laksana kejang
23
DAFTAR PUSTAKA
Handryastuti, S. (2016). Kejang pada Neonatus, Permasalahan dalam Diagnosis dan Tata
laksana. Sari Pediatri, 9(2), 112-20.
Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa G dan Usman A .2008. Buku Ajar Neonatologi.
Ed 1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia
Pudjiadi et al. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011
Soetomenggolo T dan Ismail S .2000. Buku ajar neurologi anak. Jakarta: IDAI. hal: 244.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 3. Ed 4.
Jakarta : Infomedika