Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

KEJANG PADA NEONATUS

PENYUSUN :
Sumita Dewi
20360118
PEMBIMBING :
dr. Sevina Marisya Sp. A

KEPANITRAAN KLINIK PENYAKIT ANAK


RUMAH SAKIT RSUD HAJI MEDAN 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan

karunia-Nya, penulisan referat “Kejang pada Neonatus” ini dapat diselesaikan.

Makalah ini diajukan untuk melengkapi tugas kepanitraan klinik senior Departemen

Ilmu Kesehatan Anak Universitas Malahayati.

Di dalam makalah ini dipaparkan informasi mengenai pengertian kejang pada

neonatus sampai bagaimana menangani seseorang yang menderita kejang pada

neonatus tersebut sebagai materi khusus di bagian Ilmu Kesehatan Anak FK

Universitas Malahayati.

Akhir kata, apabila penulisan referat ini banyak terdapat kesalahan, penulis

memohon maaf. Untuk itu, kritik dan saran dari berbagai pihak untuk

menyempurnakan referat ini.

Karawang, 9 September 2020

Sumita Dewi

ii
Daftar Isi

KATAPENGANTAR...........................................................................................i

DAFTAR ISI.......................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1

1.1 Latar Belakang.........................................................................................1

1.2 Tujuan Pembuatan Referat.......................................................................1

BAB II.PEMBAHASAN......................................................................................3

2.1 Definisi ....................................................................................................3

2.2 Epidemiologi ...........................................................................................3

2.3 Etiologi ....................................................................................................4

2.4 Patofisiologi.............................................................................................9

2.5 Awitan Kejang........................................................................................11

2.6 Diagnosis................................................................................................12

2.7 Tatalaksana..............................................................................................18

2.8 Prognosis.................................................................................................21

BAB III. PENUTUP......... ................................................................................23

3.1 Kesimpulan ............................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kejang adalah depolarisasi berlebihan sel-sel neuron otak, yang

mengakibatkan perubahan yang bersifat paroksismal fungsi neuron (perilaku, fungsi

motorik dan otonom) dengan atau tanpa perubahan. Kejang pada neonatus dibatasi

waktu yaitu kejang yang terjadi pada 28 hari pertama kehidupan (bayi cukup bulan)

atau 44 minggu masa konsepsi (usia kronologis + usia gestasi pada saat lahir) pada

bayi premature (Handryastuti, 2016). Aktivitas kejang yang terjadi pada waktu

diferensiasi neuron, mielinisasi dan proliferasi glia pada Bayi Baru Lahir (BBL) di

anggap sebagai penyebab terjadinya kerusakan otak. (Kosim dkk, 2008).

Insidens kejang pada neonatus dibedakan menurut berat badan lahir, yaitu

57,5 per 1000 bayi dengan berat lahir (BL)< 1500 g, 4,4 pada bayi dengan BL 1500-

2499, 2,8 pada bayi dengan BL 2500-3999 g, serta 2,0 pada bayi BL > 4000 g

(Handryastuti, 2016). Karena sulitnya mengenal bangkitan pada BBL, angka

kejadian sesungguhnya tidak diketahui. Meskipun demikian angka kejadian di

Amerika Serikat berkisar antara 0,8-1,2 setiap 1000 bayi lahir hidup setiap tahunnya.

Sumber pustaka lain menyebutkan angka kejadian pada umumnya berkisar antara 1,5

per 1000 kelahiran sampai 14 per 1000 kelahiran. Di ruang perawatan intensif, pada

bayi berat lahir rendah yang sakit, frekuensi kejang meningkat sampai 25%. Kejang

pada bayi baru lahir 85% terjadi pada 15 hari pertama kehidupan dan 65% terjadi

pada hari kedua dan kelima kehidupan (Kosim dkk, 2008).

Kejang pada neonatus sering ditemukan dan merupakan satu-satunya gejala

disfungsi susunan saraf pusat pada neonatus, sulit dideteksi, sukar diberantas serta

1
2

berkaitan erat dengan mortalitas dan morbiditas seperti epilepsi, serebral palsi, dan

keterlambatan perkembangan di kemudian hari. Deteksi dini, mencari etiologi dan

memberikan tata laksana yang adekuat sangat penting pada kejang neonatus. Kejang

umumnya berkaitan dengan penyakit berat yang memerlukan terapi spesifik, kejang

mempengaruhi tindakan suportif seperti alat bantu nafas dan alimentasi yang sering

diberikan pada neonatus dengan penyakit tertentu, dam kejang dapat menyebabkan

kerusakan otak (Handryastuti, 2016).

1.3 Tujuan Pembuatan Referat

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kepanitraan di

Bagian Ilmu Kesehatan Anak dan agar mahasiswa lebih memahami mengenai kejang

pada neonatus.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kejang merupakan keadaan darurat atau tanda bahaya yang sering terjadi

pada neonatus karena kejang dapat mengakibatkan hipoksia otak yang cukup

berbahaya bagi kelangsungan hidup bayi atau dapat mengakibatkan sekuele di

kemudian hari. Selain itu kejang dapat merupakan tanda atau gejala dari satu masalah

atau lebih dan memiliki efek jangka panjang berupa penurunan ambang kejang,

gangguan belajar dan gangguan daya ingat. Aktivitas kejang yang terjadi pada waktu

diferensiasi neuron, mielinisasi, dan proliferasi glia pada neonatus dianggap sebagai

penyebab kerusakan otak. kejang berulang akan menyebabkan berkurangnya

oksigenasi, ventilasi, dan nutrisi di otak (Soetomenggolo dan ismail, 2000).

Kejang pada neonatus secara klinis adalah perubahan paroksimal dari fungsi

neurologik (misalnya prilaku, sensorik, motorik, dan fungsi autonom system syaraf)

yang terjadi pada bayi berumur sampai dengan 28 hari. (buku ajar neonatologi).

2.2 Epidemiologi

Angka kejadian kejang neonatus yang sebenarnya tidak diketahui secara pasti

karena sulitnya mengenali tanda bangkitan kejang pada neonatus. gambaran klinis

kejang sangat bervariasi bahkan sangat sulit membedakan gerakan normal bayi itu

sendiri. Meskipun demikian, angka kejadian di Amerika Serikat berkisar antara 0,8-

1,2 setiap 1000 bayi lahir hidup setiap tahunnya. Sumber pustaka lain menyebutkan

1-5% bayi pada bulan pertama mengalami kejang. Insiden meningkat pada BKB

(Bayi Kurang Bulan) sebesar 57,5-132 dibanding BCB (Bayi Cukup Bulan) sebesar

0,7-2,7 setiap 1000 kelahiran hidup. Pada kepustakaan lain menyebutkan insiden

3
4

20% pada BKB dan 1,4% pada BCB. Insiden kejang dini (terjadi kurang dari 48 jam

setelah lahir) pada bayi aterm telah diajukan sebagai indikator dari kualitas

perawatan perinatal karena penyebab tersering pada kelompok ini adalah hipoksik-

iskemik enselopati (Kosim dkk, 2008). Angka kejadian kejang pada bayi baru lahir

berkisar antara 0,2-1,2%. Pada penyelidikan Hendarto (1997) di RSCM Jakarta di

dapatkan angka sebesar 0,7% (IKA, 2007).

Insidens kejang pada neonatus dibedakan menurut berat badan lahir, yaitu

57,5 per 1000 bayi dengan berat lahir (BL)< 1500 g, 4,4 pada bayi dengan BL 1500-

2499, 2,8 pada bayi dengan BL 2500-3999 g, serta 2,0 pada bayi BL > 4000 g

(Handryastuti, 2016).

2.3 Etiologi

Penyebab kejang pada neonatus dapat karena kelainan Susunan Syaraf

Pusat (SSP) terjadi primer karena proses intrakranial (meningitis, cerebrovascular

accident, encephalitis, perdarahan intrakranial, tumor) atau sekunder karena masalah

sistemik atau metabolik (misalnya iskemik-hipoksik-hipokalsemia, hipoglikemia,

hiponatremia) (Kosim dkk, 2008).

Etiologi kejang yang sering terjadi dapat digolongkan sebagai berikut :

A. Ensefalopati iskemik hipoksik

Merupakan penyebab tersering (60-65%) kejang pada neonatus, biasanya terjadi

dalam waktu 24 jam pertama dan sering dimulai 12 jam pertama. Dapat terjadi

pada Bayi Cukup Bulan (BCB) maupun Bayi Kurang Bulan (BKB) terutama bayi

dengan asfiksia. Bentuk kejang subtel atau multifokal klonik serta fokal klonik.

Kasus iskemik hipoksik disertai kejang, 20% akan mengalami infark serebral.

Manifestasi kejang terjadi pada stadium sedang dan berat.


5

B. Perdarahan intrakranial

Perdarahan matriks germinal atau intraventrikel adalah penyebab kejang tersering

pada bayi preterm. Scher menemukan 45% bayi preterm dengan kejang

mengalami perdarahan matriks germinal atau intraventrikel (GMH-IVH).

Perdarahan intrakranial sering sulit disebut sebagai penyebab tunggal kejang,

biasanya berhubungan dengan penyebab lain, yaitu :

1. Perdarahan sub arachnoid

Perdarahan yang sering dijumpai pada neonatus, kemungkinan karena robekan

vena superfisial akibat partus lama. Pada mulanya bayi tampak baik, tiba-tiba dapat

terjadi kejang pada hari pertama atau kedua. Pungsi lumbal harus dikerjakan untuk

mengetahui apakah terdapat darah dalam cairan serebrospinal. Darah biasanya

terdapat di fisura interhemister dan resesus supra dan infra tentorial. Kemudian

bayi tampak sakit berat dalam 1-2 hari pertama dengan tanda peninggian tekanan

intrakranial seperti ubun-ubun besar tegang dan membonjol, muntah, tangis yang

melengking dan kejang-kejang. Pemeriksaan CT-scan sangat berguna untuk

menentukan letak dan luasnya perdarahan. Pemeriksaan pembekuan darah perlu

dikerjakan untuk menyingkirkan kemungkinan koagulopati.

2. Perdarahan sub dural

Perdarahan ini umumnya terjadi akibat robekan tentorium di dekat falks serebri.

Keadaan ini karena molase kepala yang berlebihan pada letak verteks, letak muka

dan partus lama. Darah terkumpul di fosa posterior dan dapat menekan batang otak.

Manifestasi klinis hampir sama dengan enselopati hipoksik-iskemik ringan sampai

sedang. Bila terjadi penekanan pada batang otak terdapat pernapasan yang tidak

teratur, kesadaran menurun, tangis melengking, ubun-ubun besar membonjol dan


6

kejang. Perdarahan pada parenkim otak kadang-kadang dapat menyertai

perdarahan sub dural. Deteksi kelainan ini dengan pemeriksaan USG atau CT-

scan. Perdarahan yang kecil tidak membutuhkan pengobatan, tetapi pada

perdarahan yang besar dan menekan batang otak perlu dilakukan tindakan bedah

untuk mengeluarkan darah. Mortalitas tinggi, dan pada bayi yang hidup biasanya

terdapat gejala sisa neurologis.

3. Perdarahan periventrikular/intraventrikular

Gambaran klinis perdarahan intraventrikuler tergantung kepada beratnya penyakit

dan saat terjadinya perdarahan. Pada bayi yang mengalami trauma atau asfiksia

biasanya kelainan timbul pada hari pertama atau kedua setelah lahir. Untuk

menegakkan diagnosis perdarahan intraventrikular yang pasti dilakukan pungsi

lumbal, pemeriksaan darah misalnya, Hb, Ht, dan trombosit, pemeriksaan EEG dan

USG.

Infark serebral fokal, bayi preterm dengan GMH-IVH sering juga mengalami

infark karena perdarahan vena, yang kemudian berperan sebagai fokus kejang.

Kejang pada bayi aterm dengan apgar skor normal yang tetap sadar diantaranya

kejang seringkali disebabkan oleh lesi infark fokal arteri serebral media. Kondisi

ini sering mumbutuhkan identifikasi MRI

C. Metabolik

Penyebab paling sering kejang metabolik adalah :

1. Hipoglikemia

Bayi dengan kadar glukosa darah < 45 mg/dl disebut hipoglikemia. Kadang

asimptomatis. Hipoglikemia yang berkepanjangan dan berulang dapat

mengakibatkan dampak yang menetap pada SSP. Neonatus yang mempunyai


7

resiko tinggi untuk terjadinya hipoglikemia adalah : Bayi Kecil untuk masa

kehamilan, Bayi Besar untuk masa kehamilan dan bayi dari ibu dengan

diabetes mellitus. Tidak ada keraguan pemberian terapi dextrosa intravena jika

ditemukan kadar glukosa rendah pada bayi kejang untuk mengembalikan

kadar gula darah kembali normal secepatnya.

2. Hipokalsemia/hipomagnesia

Kejadian awal kejang akibat hipokalsemia pada hari pertama dan kedua.

Hipokalsemia didefinisikan kadar kalsium <7,5 mg/dl (<1,87 mmol/L),

biasanya disertai dengan kadar fosfat >3 mg/dl (>0,95 mmol/L), seperti

hipoglikemia kadang asimtomatis. Sering berhubungan dengan prematuritas

atau kesulitan persalinan dan asfiksia.

Kadar magnesium yang rendah sering terjadii bersama dengan hipokalsemi

dan perlu diterapi tetapi mekanismenya belum jelas. Bila kejang pada

neonatus yang disebabkan oleh hipokalsemia diberikan kalsium glukonat

kejang masih belum berhenti harus dipikirkan adanya hipomagnesemia.

3. Hiponatremia dan hipernatremia

Kadar natrium serum yang sangat tinggi, sangat rendah atau yang mengalami

perubahan sangat cepat, sering terjadi pada kondisi tertentu seperti Syndrom

of Inappropriate Anti-Diuretic Hormone (SIADH), sindroma berrter, atau

dehidrasi berat dapat menyebabkan kejang.

D. Infeksi

Infeksi terjadi pada sekitar 5-10% dari seluruh penyebab kejang neonatus, bakteri,

non bakteri maupun congenital dapat menyebabkan kejang pda neonatus,

biasanya terjadi setelah minggu pertama kehidupan. Infeksi digolongkan menjadi


8

1. Infeksi akut

Infeksi bakteri atau virus pada SSP dengan atau tanpa keadaan sepsis dapat

mengakibatkan kejang, biasanya sering berhubungan dengan meningitis.

Bakteri yang sering ditemukan adalah grup B Streptococcus, E. Coli, Listeria

sp dll

2. Infeksi kronik

Infeksi intrauterine yang berlangsung lama : toxoplasmosis, rubella,

cytomeglovirus, herpes simpleks, rubella (TORCH), treponema pallidum juga

dapat menyebabkan kejang.

E. Kernikterus/ensefalopati bilirubin

Bilirubin indirek menyebabkan kerusakan otak pada BCB apabila melebihi 20

mg/dl. Pada bayi prematur yang sakit, kadar 10 mg/dl sudah berbahaya. BKP yang

sakit dengan sindrom distres pernapasan, asidosis mempunyai resiko tinggi untuk

terjadinya kernikterus.

F. Kejang yang berhubungan dengan obat yaitu berhubungan dengan pengaruh

pemberhentian obat (Drug withdrawl) dan intoksikasi anastesi lokal.

Etiologi kejang lainnya yang jarang terjadi dapat digolongkan sebagai berikut :

A. Gangguan perkembanga otak : penyebab yang sering ditemukan adalah disgenesis

korteks serebri, dapat disertai keadaan : dismorfi, hidrosefalus, mikrosefalus.

B. Kelainan yang diturunkan

1. Gangguann metabolisme asam amino : kejang biasanya terjadi antara 5-14

hari setelah bayi lahir. Termasuk kelainan ini adalah maple syrup urine

desease, isovaleric acidemia dll


9

2. Ketergantungan dan kekurangan piridoksin : karena kekurangan dalam

pengikatan koenzim peridoksal fosft pada glutamik acid (GABA).

Kekurangan atau menghilangnya GABA dapat menyebabkan kejang (Kosim

dkk, 2008).

I. Ideopatik

Kejang pada neonatus yang tidak diketahui penyebabnya, secara relatif sering

menunjukkan hasil yang baik. Tetapi pada kejang berulang yang lama, resisten

terhadap pengobatan atau kejang terulang sesudah pengobatan dihentikan

menunjukkan kemungkinan adanya kerusakan di otak. Pada golongan ideopatik

terdapat 2 hal yang perlu mendapat perhatian yaitu, kejang neonatal familial

jinak dan kejang hari kelima (Kosim dkk, 2008).

2.4 Patofisiologi

Depolarisasi berlebihan sel-sel neuron otak terjadi akibat masuknya ion

natrium ke dalam sel, sedangkan repolarisasi diakibatkan oleh keluarnya ion kalium

ke ekstra sel. Fungsi neuron adalah menjaga keseimbangan antara depolarisasi dan

repolarisasi. Jika terjadi depolarisasi maka terjadi potensial aksi yang mengakibatkan

penglepasan neurotransmiter dari presinaps di terminal akson. Neurotransmiter akan

berikatan dengan reseptor postsinaps dan menghasilkan potensial aksi yang dapat

bersifat eksitasi atau inhibisi. Fungsi otak normal sangat bergantung dari

keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi. Keseimbangan membran potensial

membutuhkan energi yang berasal dari adenosine triphospate (ATP) yang

menggerakkan pompa Na-K yang berfungsi mengeluarkan ion kalium dan

memasukkan ion natrium. Meskipun mekanisme terjadinya kejang pada neonatus

belum diketahui secara pasti, namun terdapat beberapa teori yang menerangkan
10

depolarisasi berlebihan, yaitu (1) Pompa Na-K tidak berfungsi akibat kekurangan

energi, disebabkan oleh hipoksik-iskemik dan hipoglikemia. (2) Neurotransmiter

eksitasi (glutamate) yang berlebihan (produksi yang berlebih atau berkurangnya re-

uptake) sehingga mengakibatkan depolarisasi yang berlebihan, ditemukan pada

keadaan hipoksik-iskemik dan hipoglikemia. (3) Defisiensi relatif neurotransmiter

inhibisi (gama-amynobutiric acid /GABA) mengakibatkan depolarisasi berlebihan,

hal ini terjadi akibat menurunnya aktivitas enzim glutamic acid decarboxylase pada

keadaan defisiensi piridoksin. (4) Terganggunya permeabilitas membran sel,

sehingga ion natrium lebih banyak masuk ke intrasel yang mengakibatkan

depolarisasi berlebihan, ditemukan pada hipokalsemia dan hipomagnesemia karena

ion kalsium dan magnesium berinteraksi dengan membran sel untuk menghambat

masuknya ion natrium. Kejang pada neonatus berbeda dari kejang pada bayi, anak

maupun orang dewasa demikian pula manifestasi kejang pada bayi prematur berbeda

dibandingkan bayi cukup bulan. Kejang neonatus lebih bersifat fragmenter, kurang

terorganisasi dan hampir tidak pernah bersifat kejang umum tonik klonik. Kejang

pada bayi prematur lebih tidak terorganisasi dibandingkan dengan bayi cukup bulan,

berkaitan dengan perkembangan neuroanatomi dan neurofisiologi pada masa

perinatal. Organisasi korteks serebri pada neonatus belum sempurna, selain itu

pembentukan dendrit, akson, sinaptogenesis dan proses mielinisasi dalam sistem

eferen korteks belum selesai. Imaturitas anatomi tersebut mengakibatkan kejang

yang terjadi tidak dapat menyebar ke bagian otak yang lain sehingga tidak

menyebabkan kejang umum. Daerah subkorteks seperti sistem limbik berkembang

lebih dahulu dibandingkan daerah korteks dan bagian ini sudah terhubung dengan

diensefalon dan batang otak sehingga kejang pada neonatus lebih banyak
11

bermanifestasi gerakan-gerakan oral-buccal-lingual movements seperti menghisap.

mengunyah, drooling, gerakan bola mata dan apnea. Hubungan antara sinaps eksitasi

dan inhibisi merupakan faktor penentu apakah kejang yang terjadi akan menyebar ke

daerah lain. Ternyata kecepatan perkembangan aktifitas sinaps eksitasi dan inhibisi

di otak manusia berbeda-beda. Sinaps eksitasi berkembang lebih dahulu

dibandingkan sinaps inhibisi terutama di daerah limbik dan korteks. Selain itu daerah

hipokampus dan neuron korteks yang masih imatur lebih mudah terjadi kejang

dibandingkan yang telah matur. Belum berkembangnya sistem inhibisi di substansia

nigra juga mempermudah timbulnya kejang (Handyastuti, 2016).

2.5 Awitan Kejang

Kebanyakan dimulai antara 12 hingga 48 jam setelah lahir, bayi jarang

mengalami kejang saat berada di ruang bersalin. Penelitian pada binatang

menunjukkan bahwa kejang muncul 3-13 jam setelah terjadi keadaan hipoksik

iskemik dan sesuai dengan yang kita ketahui tentang pelepasan dan penghancuran

glutamat selama fase reperfusi sekunder. Keadaan yang sama dapat terjadi pada bayi.

Kejang onset lanjut memberi kesan adanya meningitis, kejang familial benigna atau

hipokalsemia. Awitan kejang pada setiap etiologi dapat berbeda, perbedaan tersebut

dapat digunakan untuk memperkirakan penyebab kejang (Kosim dkk, 2008).


12

2.6 Diagnosis

A. Anamnesis

- Riwayat kejang dalam keluarga

- Riwayat kehamilan/prenatal : kehamilan kurang bulan, infeksi TORCH atau

infeksi lain saat ibu hamil, pre-eklamsi, gawat janin, pemakaian obat

golongan narkotika, metadon, imunisasi anti tetanus, rubella.

- Riwayat persalinan : asfiksia, episode hipoksik, gawat janin, trauma

persalinan , ketuban pecah dini, anesthesi lokal/ blok.

- Riwayat pascanatal : infeksi, bayi tampak kuning, perawatan tali pusat tidak

bersih dan kering, penggunaan obat tradisional, infeksi tali pusat, riwayat

kejang, gerakan abnormal pada mata, mulut, lidah dan ekstremitas, saat

timbulnya, lama, frekuensi terjadinya kejang, riwayat spasme atau kekakuan

pada ekstremitas, otot mulut dan perut, dipicu oleh kebisingan atau prosedur

atau tindakan pengobatan (Pudjiadi et al, 2011).

B. Manifestasi Klinis

Meskipun komponen korteks relatif lengkap tetapi sinaps aksodendrit masih

kurang dan mielinisasi sel otak belum sempurna terutama antara kedua hemisfer.

Kejang pada neonatus biasanya fokal dan agak sulit dikenali. Sering juga timbul

kejang klonik yang berpindah-pindah, kejang pada ekstremitas, atau kejang

primitip subkortikal (apneu, gerakan mengunyah, gerakan mata abnormal,

perubahan tonus otot periodik). Kejang tonik-klonik/grand mal jarang terjadi

pada neonatus.

Gambaran klinis kejang yang sering terjadi neonatus sebagai berikut:


13

1. Subtle:

Orofasial : Deviasi mata, kedipan mata, gerakan alis yang bergetar berulang,

mata yang tiba tiba terbuka dengan bola mata terfiksasi ke satu arah, gerakan

seperti menghisap, mengunyah, mengeluarkan air liur, menjulurkan lidah,

gerakan pada bibir

Ekstremitas: Gerakan seperti orang berenang, mendayung, bertinju atau

bersepeda.

Episode apnu: Serangan apnu yang termasuk kejang apabila disertai dengan

bentuk serangan kejang yang lain dan tidak disertai bradikardia.

Sistem autonom/vasomotor: Perubahan tekanan darah (takikardi atau

hipertensi) atau peningkatan salivasi.

2. Tonik

Fokal : Postur tubuh asimetris yang menetap dari badan atau ekstremitas

dengan atau tanpa adanya gerakan mata abnormal.

Umum: Fleksi tonik atau ekstensi leher, badan dan ekstremitas, biasanya

dengan ekstensi ekstremitas.

3. Klonik

Fokal : Gerakan bergetar dari satu atau dua ekstremitas pada sisi unilateral,

gerakan pelan dan ritmik, frekuensi 1-4 kali/ perdetik.

Multifokal : Kejang klonik dengan lebih dari satu fokus atau migrasi gerakan

dari satu ekstremitas secara acak pindah ke ekstremitas lainnya. Bentuk

gerakan klonik dari salah satu atau lebih anggota gerak yang berpindah

pindah atau terpisah secara teratur, misalnya kejang klonik lengan kiri diikuti

dengan kejang klonik tungkai bawah kanan.


14

4. Mioklonik

Fokal: Kontraksi cepat satu atau lebih otot fleksor ekstremitas atas.

Multifokal : Gerakan tidak sinkron dari beberapa bagian tubuh

Umum : Terdiri dari satu atau lebih gerakan fleksi masif dari kepala dan

badan dan adanya gerakan fleksi atau ekstensi dari ekstremitas

Ketiga jenis kejang mioklonik sering dijumpai pada BKB dan cukup bulan

saat sedang tidur (Pudjiadi et al, 2011).

Gerakan yang menyerupai kejang pada neonatus

1. Apnu

Pada BBLR biasanya pernapasan tidak teratur, diselingi dengan berhentinya

pernapasan 3-6 detik dan sering diikuti hiperpnea selama 10-50 detik. Bentuk

pernapasan ini disebabkan belum sempurnanya pusat pernapasan di batang otak dan

berhubungan dengan prematuritas (Kosim dkk, 2008).

2. Jiterness

Jiterness merupakan gerakan tremor kasar dengan amplitudo yang sama. Dapat

terlihat pada bayi normal dalam keadaan lapar atau hipoglikemia, bayi dari ibu

penderita diabetes melitus atau bayi yang kecil untuk masa kehamilan (KMK)

(IKAUI). Sistem saraf autonom yang berubah pada kejang, seperti adanya takikardi

atau hipertensi, tidak pernah dijumpai pada jiterness (IKA, 2007).


15

3. Hiperekpleksia

Hiperekpleksia suatu respons yang berlebihan terhadap stimulus (suara atau taktil)

berupa mioklonik umum seperti terkejut/kaget (startle response) (Hardiyati,

2016).

4. Spasme

Spasme pada tetanus neonatorum hampir mirip dengan kejang, tetapi kedua hal

tersebut harus dibedakan karena manajemen keduanya berbeda (Kosim dkk,

2008).
16

C. Pemeriksaan fisik

1. Identifikasi manifestasi kejang yang terjadi. Dengan mengetahui bentuk

kejang kemungkinan penyebab dapat dicurigai.

2. Neonatus yang mengalami kejang biasanya letargi dan tampak sakit.

Kesadaran yang tiba-tiba menurun berlanjut dengan hipoventilasi dan

berhentinya pernapasan, kejang tonik, posisi dalam deserebrasi, reaksi pupil

terhadap cahata (-) dan terdapat kuadriparesis flaksid, dicurigai terjadinya

perdarahan intraventrikuler.

3. Pantau perubahan tanda vital

4. Pemeriksaan kepala untuk mencari kelainan berupa frakture, depresi atau

moulding yang berlebihan karena trauma. Ubun-ubun besar yang tegang dan

membonjol menunjukkan adanya peningkatan TIK . penimbunan cairan

subdural atau kelainan bawaan seperti prolensefali atau hidrosefalus dapat

dicurigai dengan pemeriksaan transiluminasi yang positif, peningkatan

ukuran lingkar kepala.

5. Pemeriksaan fundus kopi dapat menunjukkan kelainan perdarahan retina

atau subaraknoid

6. Pemeriksaan tali pusat, apakah ada infeksi, berbau busuk.

D. Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

• Pemeriksaan gula darah, elektrolit (natrium, kalsium, magnesium),

amonia dan laktat.

• Pemeriksaan darah rutin : hemoglobin, hematokrit, trombosit, leukosit,

hitung jenis leukosis.


17

• Analisis gas darah

• Analisis cairan serebrospinal

• “Septic work up”: kultur dan uji kepekaan kuman

• kadar bilirubin total/direk dan indirek (Kosim dkk, 2008).

2. Elektro Ensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG pada kejang dapat membantu diagnosis, lamanya

pengobatan dan prognosis. Gambaran EEG abnormal pada neonatus dapat

berupa: gangguan kontinuitas, amplitudo atau frekuensi; asimetri atau

asinkron interhemisfer; bentuk gelombang abnormal; gangguan dari fase

tidur; aktivitas kejang mungkin dapat dijumpai (Pudjiadi et al, 2011).

The international league against epilepsy: mempertahankan kriteria kejang

sebagai berikut yaitu non epileptic (berdasarkan pada gejala klinik kejang yang

samata), dan epileptic (tidak tampak kejang, namun secara elektrografik masih

mengalami kejang) (Kosim dkk, 2008).

3. Pemeriksaan pencitraan dilakukan berdasarkan indikasi

• USG kepala jika dicurigai adanya perdarahan intrakranial atau

intraventriuler.

• Skintigrafi kepala (CT-scan Cranium), untuk mengetahui kelainan

parenkim otak.

• MRI, paling sensitif untuk mengetahui malformasi subtle yang terkadang

tidak terdeteksi dengan pemeriksaan CT-scan cranium

4. Pemeriksaan lain

• Foto radiologi kepala, perlu dikerjakan apabila pada pengukuran terdapat

lingkaran yang lebih kecil atau lebih besar dari ukuran standar normal.
18

• Uji tapis obat-obatan (Kosim dkk, 2008).

2.7 Tatalaksana

Penanganan utama adalah mengatasi hipoksia dan gangguan metabolik

sebagai penyebab tersering kejang pada neonatus kemudian pemberian antikejang.

Fenobarbital harus digunakan sebagai agen lini pertama untuk treatmen kejang

neonatal (WHO, 2011).

A. Medikamentosa

1 Medikamentosa untuk menghentikan kejang

- Fenobarbital 20 mg/kgBB intravena (IV) dalam waktu 10-15 menit, jika

kejang tidak berhenti dapat diulang dengan dosis 10 mg/kgBB sebanyak 2

kali dengan selang waktu 30 menit. Jika tidak tersedia jalur intravena, dapat

diberikan intramuskular (IM) dengan dosis ditingkatkan 10-15%.

- Bila kejang berlanjut diberikan fenitoin 20 mg/kgBB IV dalam larutan garam

fisiologis dengan kecepatan 1mg/kgBB/menit.

- Bila kejang masih berlanjut, dapat diberikan

• Golongan benzodiazepine misalnya lorazepam 0,05 – 0,1mg/kgBB

setiap 8-12 jam.

• Midazolam bolus 0,2mg/kgBB dilanjutkan dengan dosis titrasi 0,1-

0,4 mg/kgBB/ jam IV.

• Piridoksin 50-100 mg/kgBB IV dilanjutkan 10-100 mg/kgBB/hari

peroral.

2 Pengobatan rumatan.

- Fenobarbital 3-5 mg/kgBB/hari, dosis tunggal atau terbagi tiap 12 jam secara

IV atau peroral.
19

- Fenitoin 4-8 mg/kgBB/hari IV atau peroral, dosis terbagi dua atau tiga.

3. Pengobatan spasme/tetanus neonatorum

- Beri diazepam 10 mg/kgBB/hari dengan drip selama 24 jam atau bolus IV

tiap 3 jam, maksimum 40 mg/kgBB/hari.

• Bila frekuensi napas kurang 30 kali per menit, hentikan pemberian

obat meskipun bayi masih mengalami spasme.

• Bila tali pusat merah dan membengkak, mengeluarkan pus atau

berbau busuk obati untuk infeksi tali pusat.

- Beri bayi

• Human tetanus immunoglobin 500 U IM, bila tersedia, atau tetanus

antitoksin 5000 U IM. Tetanus toksoid 0,1 mL IM pada tempat yang

berbeda dengan tempat pemberian antitoksin

• Benzil penicillin G 100.000 U/kgBB IV dosis tunggal selama 10 hari

• Bila terjadi kemerahan dan/atau pembengkakan pada kulit sekitar

pangkal tali pusat, atau keluar nanah dari permukaaan tali pusat, atau

bau busuk dari area tali pusat, berikan pengobatan untuk infeksi lokal

tali pusat.

- Berikan ibunya imunisasi tetanus toksoid 0.5 mL (untuk melindungi ibu dan

bayi yang dikandung berikutnya) dan minta datang kembali satu bulan

kemudian untuk pemberian dosis kedua.

- Pengobatan sesuai dengan penyebab kejang.


20

B. Suportif

1. Menjaga jalan napas tetap bersih dan terbuka serta pemberian oksigen untuk

mencegah hipoksia otak yang berlanjut.

2. Menjaga kehangatan bayi

3. Pasang jalur IV dan beri cairan IV dengan dosis rumat serta tunjangan nutrisi

adekuat

4. Mengurangi rangsang suara, cahaya maupun tindakan invasif untuk

menghindari bangkitan kejang pada penderita tetanus

5. Pemberian nutrisi bertahap, diutamakan ASI.

6. Bila memerlukan ventilator mekanik, maka harus dirujuk ke Rumah Sakit

dengan fasilitas Pelayanan Neonatal Level III yang tersedia fasilitas NICU.

C. Pemantauan

1. Terapi

- Efektifitas terapi dipantau dengan melihat gejala klinis, bila perlu diulang dan

segera dilakukan pemeriksaan penunjang untuk menentukan penyakit

penyebabnya.
21

- Jika kejang telah teratasi maka dilanjutkan dengan pemberian antikejang

rumatan, fenobarbital 5 mg/kgBB/hari adalah pilihan pertama.

- Pemberiaan dosis rumatan dihentikan setelah tidak ada kelainan neurologis

dan atau kelainan gambaran EEG.

2. Tumbuh Kembang

- Pemantauan terutama ditujukan pada pertumbuhan dan perkembangan

sensorik dan motorik. Setiap adanya gangguan perkembangan, perubanhan

tingkah laku ataupun gejala neurologik, eksplorasi harus dilakukan dengan

pemeriksaan neurologis lengkap.

- Kejang awitan dini biasanya dihubungkan dengan angka kesakitan dan

kematian yang tinggi. Kejang berulang, semakin lama kejang berlangsung

semakin tinggi risiko kerusakan pada otak dan berdampak pada terjanya

kelainan neurologik lanjut (misalnya palsi serebral dan retardasi mental)

(Pudjiadi et al, 2011).

D. Kriteria memulangkan bayi

Beberapa melakukan pemeriksaan EEG lagi dalam satu bulan, atau sesaat

sebelum keluar dari perawatan dengan tetap menggunakan obat antikonvulsan,

pertimbangkan penghentiannya jika mereka telah bebas kejang selama 9 bulan

(Kosim dkk, 2008).

2.8 Prognosis

Kejang neonatus sebanyak 25%-30% berhubungan dengan gangguan

perkembangan. Faktor penentu utama prognosis adalah etiologi neonatus dengan

disgenesis serebral serta hipoksik-iskemik sedang dan berat mempunyai prognosis

yang buruk. Gangguan metabolik akut dan perdarahan subarachnoid mempunyai


22

prognosis yang baik, sedangkan infeksi intrakranial dan IEM mempunyai prognosis

yang bervariasi.

Karakteristik kejang juga mempengaruhi prognosis, kejang onset dini, kejang

berulang dan berkepanjangan yang resisten terhadap pengobatan mempunyai

prognosis yang buruk. Kejang tonik berhubungan dengan palsi serebral, retardasi

mental dan epilepsi sedangkan kejang mioklonik berkaitan dengan retardasi mental.

Penelitian Brunquell menunjukkan bahwa dibandingkan dengan tipe kejang yang

lain kejang subtle dan tonik umum mempunyai komplikasi epilepsi, retardasi mental

dan epilepsi yang lebih tinggi.Gambaran EEG juga merupakan faktor prognosis.

Hasil EEG interiktal normal 85% mempunyai prognosis baik, sedangkan gambaran

EEG yang isoelektrik, voltase rendah atau paroksismal burst-suppression

mempunyai prognosis buruk (Herdayati, 2016).


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kejang pada neonatus secara klinis adalah perubahan paroksimal dari fungsi

neurologik (misalnya prilaku, sensorik, motorik, dan fungsi autonom system syaraf)

yang terjadi pada bayi berumur sampai dengan 28 hari. Penyebab kejang pada

neonatus dapat karena kelainan Susunan Syaraf Pusat (SSP) terjadi primer atau

sekunder karena masalah sistemik atau metabolik. Kejang pada neonatus sering sulit

dikenali, langkah pertama jika menghadapi kasus tersebut adalah memastikan gejala

yang tampak kejang atau bukan. Tata laksana selain bertujuan untuk memberantas

kejang juga mengatasi etiologi. Obat antikonvulsan yang diberikan harus efektif

memberantas kejang dengan mempertimbangkan efek samping obat. Pemeriksaan

EEG sangat penting untuk diagnosis, menilai respon terapi, lama terapi serta

menentukan prognosis. Prognosis ditentukan oleh etiologi, tipe kejang, serta

gambaran EEG. Pemahaman yang baik tentang diagnosis dan tata laksana kejang

pada neonatus akan membantu menurunkan mortalitas dan morbiditas.

23
DAFTAR PUSTAKA

Handryastuti, S. (2016). Kejang pada Neonatus, Permasalahan dalam Diagnosis dan Tata
laksana. Sari Pediatri, 9(2), 112-20.

Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa G dan Usman A .2008. Buku Ajar Neonatologi.
Ed 1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia

Pudjiadi et al. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011

Soetomenggolo T dan Ismail S .2000. Buku ajar neurologi anak. Jakarta: IDAI. hal: 244.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 3. Ed 4.
Jakarta : Infomedika

WHO. 2011. Guidelines on Neonatal Seizures. WHO Departement of Maternatal,


Newborn, Child and Adolescent Health.

Anda mungkin juga menyukai