PERTUSIS
PENYUSUN :
Sumita Dewi
20360118
PEMBIMBING :
dr. Sevina Marisya Sp. A
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan
Akhir kata, apabila penulisan referat ini banyak terdapat kesalahan, penulis
memohon maaf. Untuk itu, kritik dan saran dari berbagai pihak untuk
Sumita Dewi
ii
Daftar Isi
KATAPENGANTAR...........................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
BAB II.PEMBAHASAN......................................................................................3
2.4 Patogenesis................................................................................................5
2.6 Diagnosis...................................................................................................9
2.8 Komplikasi..............................................................................................11
2.9 Penatalaksanaan......................................................................................12
2.10 Pemantauan...........................................................................................13
2.11 Pencegahan............................................................................................13
2.12 Prognosis...............................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA
iii
1
BAB I
PENDAHULUAN
meningkat secara signifikan jumlah kasus pertusis dalam beberapa tahun terakhir,
termasuk Amerika Serikat di mana jumlah kasus yang dilaporkan pada tahun 2012
saluran napas sehingga menimbulkan batuk hebat yang khas. Diperkirakan pada
tahun 2008 terjadi 16 juta kasus di seluruh dunia, 95% diantaranya terjadi di negara
sedang berkembang. Angka kematian akibat pertusis mencapai 195.000 anak (PPM
IDAI). Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada
kemarian disebabkan pertusis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak
maka mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun. Data yang di ambil
dari profil kesehatan jawa barat 1993, jumlah kasus pertusis tahun 1990 adalah 4.
970 kasus dengan CFR (case fatality rate) 0,20 %, menurun menjadi 2.752 pada
tahun 1991 dengan CFR 0%, kemudian menurun lagi menjadi 1.379 kasus dengan
Masa inkubasi pertusis 9–10 hari (6–20 hari) yang terbagi atas 3 stadium,
yaitu: 1) stadium kataral (2-7 hari); 2) stadium paroksismal (1-2 minggu, namun
1
2
bisa mencapai 8 minggu) adalah karakteristik “batuk pertusis” terutama pasien anak
usia
2
2
6 bulan s/d 5 tahun; dan 3) stadium konvalesens. Masa stadium kataral sampai
memberikan tanda dan gejala mirip dengan pertusis, namun manifestasi klinisnya
Penyebab sindrom pertusis adalah virus dan bakteri lain diluar B. pertussis.
Penularan penyakit ini melalui droplet pasien pertusis atau individu yang belum
tahun 2008, sekitar 82% bayi menerima 3 dosis vaksin pertusis dan diharapkan
Bagian Ilmu Kesehatan Anak dan agar mahasiswa lebih memahami bagaimana cara
menderita Pertusis.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Bordetella pertussis pada saluran napas sehingga menimbulkan batuk hebat yang
khas (PPM IDAI; Kilgore dkk, 2016). Pertusis (batuk rejan) disebut juga
whooping cough, dan di Cina disebut disebut batuk seratus hari. Pertusis yang
berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit
saluran nafas akut yang menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang
whooping cough oleh karena penyakit ini ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri
dari batuk yang bersifat spasmodik dan paroksismal disertai nada yang tinggi,
karena pasien berupaya keras untuk menarik nafas sehingga pada kahir batuk
2.2 Epidemiologi
Pertusis merupakan salah satu penyakit yang menular yang dapat menimbulkan
attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Pertusis dapat ditularkan melalui
udara secara kontak langsung yang berasal dari droplet penderita selama batuk.
Penyebaran penyakit ini terdapat ini terdapat diseluruh udara, dapat menyerang
semua golongan umur, yang terbanyak adalah anak umur dibawah 1 tahun. Makin
muda usianya makin berbahaya, lebih sering menyerang anak perempuan daripada
laki-laki. Di Amerika Serikat kurang lebih 35% kasus terjadi pada usia < 6 bulan,
termasuk bayi yang berumur 3 bulan. Kurang lebih 45% penyakit terjadi pada usia
<1 tahun dan 66% < 5 tahun. Kematian dan jumlah kasus yang dirawat tertinggi
3
4
terjadi pada usia 6 bulan pertama kehidupan .Diperkirakan pada tahun 2008 terjadi
berkembang. Angka kematian akibat pertusis mencapai 195.000 anak (PPM IDAI).
untuk mencegah bayi baru lahir terhadap pertusis. Pertusis yang berat pada
neonatus dapat ditemukan dari ibu dengan gejala pertusis ringan. Kematian sangat
2.3 Etiologi
Bordetella pertusis atau Haemophilus pertusis, Adenovirus tipe 1,2,3, dan 5 dapat
kokobasilus, gram negatif, kecil, ovoid, ukuran panjang 0,5-1 um, tidak bergerak,
tidak berspora. Dengan pewarnaan toloidin biru, dapat terlihat granula bipoler
Organisme yang didapatkan umumnya tipe virulen (disebut fase 1). Pasase
dalam biakan dapat merangsang pembentukan varian yang avirulen (fase II,III,
atau IV). Strain fase1 berperan untuk penularan penyakit dan menghasilkan vaksin
yang efektif. B. Pertusis dapat mati dengan pemanasan pada suhu 50 C selama
setengah jam, tetapi bertahan pada suhu rendah (0-10 C) (Soedarmo, 2010).
2.4 Patogenesis
penyakit sistemik.
pertusis toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan dalam perlekatan B. Pertussis pada
invasif, oleh karena itu pada pertusis tidak terjadi bakterimia. Selama pertumbuhan
6
yang kita kenal dengan whooping cough. Toksin terpenting yang dapat
mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya berikatan
dengan reseptor sel target, kemudian menghasilkan sel unit A yang aktif pada
daerah aktivasi enzim membran sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan
dari sel target termasuk linfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan
bronkial dan meningkatkan jumlah mukosa pada permukaan silia, maka fungsi
dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran
oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat
fungsi sel yang reversibel, pemulihan tampak bila sel mengalami regenerasi, hal
penyakit.
7
penyakit ini berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Perjalanan penyakit
tergantung dari etiologi spesifik, umur dan status imunisasi. Gejala anak <2 tahun
(70-80%), dan kejang (20-25%). Pada anak yang lebih besar manifestasi klinis
tersebut lebih ringan dan lama sakit lebih pendek, kejang jarang pada anak>2
tahun. Suhu jarang >38,4 C pada semua golongan umur. Penyakit yang disebbakan
lama sakit lebih pendek. Ketiga stadium pertusis diuraikan sebagai berikut,
Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas yaitu
timbulnya rinore (pilek) dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada
konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan dan panas tidak begitu tinggi. Pada stadium
ini biasnaya diagnosis pertusis belum dapat ditetapkan karena sukar dibedakan
8
dnegan common cold. Selama stadium ini, sejumlah besar organisme tersebar
dalam inti droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman paling mudah
diisolasi.
Frekuensi dan derajat batuk bertambah, khas terdapat pengulangan 5-10 kali
batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang
melalui glotis yang menyempit. Pada anak yang lebih tua dan bayi yang lebih
muda, serangan batuk hebat dengan berbunyi whoop sering tidak terdengar.
Selama serangan muka merah dan sianosis, mata menonjol, lidah menjulur,
lakrimasi, salivasi, dan distensi vena leher bahkan sampai menjadi ptekia di
wajah (terutama konjungtiva bulbi). Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi
sampai mucous plug pada saluran nafas menghilang. Muntah sesudah batuk
anak menderita pertusis walaupun tidak seperti bunyi whoop. Anak menjadi
apatis dan berat badan menurun. Batuk mudah dibangkitkan dengan stress
masih menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2-3 minggu.
Pada beberapa pasien akan timbul serangan batuk paroksismal kembali. Episode
ini terjadi berulang-ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan
2.6 Diagnosis
adekuat
- Stadium kataral
- Stadium paroksismal
Bayi < 6 bulan gejalanya tidak khas, mungkin berupa tanda dan
2. Pemeriksaan penujang
limfositosis absolut.
pertusis)
pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan laboratorium. Benda asing juga
(Soedarmo, 2010).
2.8 Komplikasi
1. Alat pernafasan
2. Susunan saraf
perdarahan otak.
3. Alat pencernaan
Muntah-muntah yang berat dapat terjadi emasiasi, prolapsus rektum atau hernia
ujung lidah karena lidah tergosok pada gigi atau tergigit pada waktu serangan
batuk, stomatitis.
4. Lain-lain
Dapat pula terjadi perdarahan lain seperti epistaksis, hemoptisis dan perdarahan
2.9 Penatalaksanaan
c. Pasien diisolasi (terutama bayi) selama 4 minggu, diutamakan sampai 5-7 hari
hari ke-5.
d. Belum ada studi berbasis bukti untuk pemberian kortikosteroid, albuterol, dan
f. Imunoglobulin pertusis telah diberikan pada anak dibawah umur 2 tahun (1,25
ml/24 jam dalam 3-5 dosis), penelitian menunjukkan tidak ditemukan adanya
Terapi antibiotik
dapat mengeliminasi organisme dari nasofaring dalam 3-4 hari. Eritromisin dapat
mengeliminasi pertusis bila diberikan pada pasien dalam stadium kataral sehingga
2.10Pemantauan
b. Amati apakah demam tidak membaik atau bahkan bertambah buruk setelah
2.11Pencegahan
Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi. Melalui
pertusis dengan vaksis DPT. Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi pasif
dan aktif.
1 Imunisasi Pasif
akhir ini human hyperimmune globulin tidak lagi diberikan untuk pencegahan.
2 Imunisasi Aktif
Diberikan vaksin pertusis dari kuman B. Pertussis yang telah dimatikan untuk
dengan vaksin difteria dan tetanus. Dosis imunisasi dasar dianjurkan 12 UI dan
diberikan tiga kali sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu. Jika prevalensi
dengan jarak 4 minggu. Anak berumur >7 tahun tidak lagi memerlukan
14
imunisasi rutin. Hasil imunisasi pertusis tidak permanen oleh karena proteksi
menurun selama adolesens, walaupun demikian infeksi pada pasien yang lebih
besar biasanya ringan hanya merupakan sumber infeksi B. Pertussis pada bayi
non imun. Vaksin pertusis monovalen (0,25 ml, IM) telah dipakai untuk
antikonvulsan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72 jam. Anak dengan kelainan
neurologik yang mempunyai riwayat kejang 7,2 kali lebih mudah terjadi kejang
setelah imunisasi DPT dan mempunyai kesempatan 4x5 kali lebih tinggi bila
hanya memiliki riwayat kejang dalam keluarga. Maka pada keadaan anak yang
imunisasi DT,
ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa
demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis>3 jam, hight pitch cry
dalam 2 hari, kolaps atau hipotensif hiporesponsif dalam 2 hari, suhu tidak
Kontak erat pada anak usia <7 tahun yang sebelumnya telah diberikan
imunisasi hendaknya diberi booster. Booster tidak perlu diberikan bila telah
50 mg/kgBB/24 jam dalam2-4 dosis selama 14 hari. Kontak erat pada usia
infeksi dan mengurangi gejala penyakit. Seseorang yang kontak dengan pasien
hari setelah kontak diputuskan. Jika kontak tidak dapat diputuskan hendaknya
2.12 Prognosis
- Dapat timbul sekuele berupa wheezing pada saat dewasa (Pudjiadi et al,
2011)
Prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis lebih baik.
3.1 Kesimpulan
Bordetella pertussis pada saluran napas sehingga menimbulkan batuk hebat yang
Adenovirus tipe 1,2,3, dan 5. Pertusis dapat ditularkan melalui udara secara kontak
langsung yang berasal dari droplet penderita selama batuk. Penyebaran penyakit ini
terdapat ini terdapat diseluruh udara, dapat menyerang semua golongan umur, yang
terbanyak adalah anak umur dibawah 1 tahun. Masa inkubasi pertusis 6-20 hari,
stadium konvalesens. Manifestasi tergantung dari etiologi spesifik, umur dan status
difteria dan tetanus (DPT), atau vaksin pertusis monovalen (0,25 ml/ IM).
Prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis lebih baik
16
DAFTAR PUSTAKA
Kilgore, P. E., Salim, A. M., Zervos, M. J., & Schmitt, H. J. (2016). Pertussis:
Microbiology, Disease, Treatment, and Prevention. Clinical microbiology
reviews, 29(3), 449–486.
Pudjiadi et al. 2011. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
Soedarmo, S. S. P. (2010). Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Edisi II. Jakarta : Badan
Penerbit IDAI.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Ed 4.
Jakarta : Infomedika