Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

PERTUSIS

PENYUSUN :
Sumita Dewi
20360118
PEMBIMBING :
dr. Sevina Marisya Sp. A

KEPANITRAAN KLINIK PENYAKIT ANAK


RUMAH SAKIT RSUD HAJI MEDAN 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan

karunia-Nya, penulisan referat “Pertusis” ini dapat diselesaikan. Makalah ini

diajukan untuk melengkapi tugas kepanitraan klinik senior Departemen Ilmu

Kesehatan Anak Universitas Malahayati.

Di dalam makalah ini dipaparkan informasi mengenai definisi pertusis sampai

bagaimana menangani seseorang yang menderita pertusis tersebut sebagai materi

khusus di bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Malahayati.

Akhir kata, apabila penulisan referat ini banyak terdapat kesalahan, penulis

memohon maaf. Untuk itu, kritik dan saran dari berbagai pihak untuk

menyempurnakan referat ini.

Karawang, 1 Oktober 2020

Sumita Dewi

ii
Daftar Isi

KATAPENGANTAR...........................................................................................ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1

1.2 Latar Belakang.........................................................................................1

2.2 Tujuan Pembuatan Referat.......................................................................2

BAB II.PEMBAHASAN......................................................................................3

2.1 Definisi .....................................................................................................3

2.2 Epidemiologi ............................................................................................3

2.3 Etiologi .....................................................................................................4

2.4 Patogenesis................................................................................................5

2.5 Gejala Klinis..............................................................................................7

2.6 Diagnosis...................................................................................................9

2.7 Diagnosis Banding..................................................................................10

2.8 Komplikasi..............................................................................................11

2.9 Penatalaksanaan......................................................................................12

2.10 Pemantauan...........................................................................................13

2.11 Pencegahan............................................................................................13

2.12 Prognosis...............................................................................................15

BAB III. PENUTUP......... ................................................................................15

3.1 Kesimpulan ............................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA

iii
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertusis (batuk rejan) disebabkan oleh infeksi pernapasan akut dengan

bakteri patogen Bordetella pertusis. Beberapa negara mengalami peningkatan yang

meningkat secara signifikan jumlah kasus pertusis dalam beberapa tahun terakhir,

termasuk Amerika Serikat di mana jumlah kasus yang dilaporkan pada tahun 2012

adalah tertinggi 50 tahun (Carbonetti N. H., 2016).

Pertusis adalah infeksi akibat bakteri Gram-negatif Bordetella pertussis pada

saluran napas sehingga menimbulkan batuk hebat yang khas. Diperkirakan pada

tahun 2008 terjadi 16 juta kasus di seluruh dunia, 95% diantaranya terjadi di negara

sedang berkembang. Angka kematian akibat pertusis mencapai 195.000 anak (PPM

IDAI). Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada

anak, terutama dinegara berkembang, WHO memperkirakan lebih kurang 600.000

kemarian disebabkan pertusis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak

diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi

maka mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun. Data yang di ambil

dari profil kesehatan jawa barat 1993, jumlah kasus pertusis tahun 1990 adalah 4.

970 kasus dengan CFR (case fatality rate) 0,20 %, menurun menjadi 2.752 pada

tahun 1991 dengan CFR 0%, kemudian menurun lagi menjadi 1.379 kasus dengan

CFR 0% pada tahun 1992 (Soedarmo, 2010).

Masa inkubasi pertusis 9–10 hari (6–20 hari) yang terbagi atas 3 stadium,

yaitu: 1) stadium kataral (2-7 hari); 2) stadium paroksismal (1-2 minggu, namun

1
2

bisa mencapai 8 minggu) adalah karakteristik “batuk pertusis” terutama pasien anak

usia

2
2

6 bulan s/d 5 tahun; dan 3) stadium konvalesens. Masa stadium kataral sampai

konvalesens dapat berlangsung sampai berbulan-bulan. Sindrom pertusis

memberikan tanda dan gejala mirip dengan pertusis, namun manifestasi klinisnya

ringan dan tidak memiliki stadium sebagaimana yang disebabkan B. pertussis.

Penyebab sindrom pertusis adalah virus dan bakteri lain diluar B. pertussis.

Penularan penyakit ini melalui droplet pasien pertusis atau individu yang belum

diimunisasi/imunisasi tidak adekuat, dengan attack rate mencapai angka 100%. B.

pertussis merupakan patogen eksklusif pada manusia, sedangkan B. bronchiseptica,

B. parapertussis, dan B. holmesii mampu mengakibatkan infeksi saluran napas baik

pada manusia maupun mamalia. B. bronchiseptica umumnya menyerang yang

imukompromais seperti pada penderita HIV/AIDS. Dalam beberapa dekade

terakhir, program imunisasi pertusis pada bayi menunjukkan hasil yang

menggembirakan dalam menurunkan kejadian pertusis berat di seluruh dunia. Pada

tahun 2008, sekitar 82% bayi menerima 3 dosis vaksin pertusis dan diharapkan

mampu menekan angka kematian (Pudjiadi et al, 2011).

1.2 Tujuan Pembuatan Referat

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kepanitraan di

Bagian Ilmu Kesehatan Anak dan agar mahasiswa lebih memahami bagaimana cara

mengenali, menangani, dan mencegah kasus Pertusis sehingga dapat

mengoptimalisasi kemampuan dan pelayanan dalam merawat pasien yang

menderita Pertusis.
2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Pertusis adalah infeksi pernafasan yang parah akibat bakteri Gram-negatif

Bordetella pertussis pada saluran napas sehingga menimbulkan batuk hebat yang

khas (PPM IDAI; Kilgore dkk, 2016). Pertusis (batuk rejan) disebut juga

whooping cough, dan di Cina disebut disebut batuk seratus hari. Pertusis yang

berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit

saluran nafas akut yang menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang

belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan menurun. Disebut

whooping cough oleh karena penyakit ini ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri

dari batuk yang bersifat spasmodik dan paroksismal disertai nada yang tinggi,

karena pasien berupaya keras untuk menarik nafas sehingga pada kahir batuk

sering disertai bunyi yang khas (Soedarmo, 2010).

2.2 Epidemiologi

Pertusis merupakan salah satu penyakit yang menular yang dapat menimbulkan

attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Pertusis dapat ditularkan melalui

udara secara kontak langsung yang berasal dari droplet penderita selama batuk.

Penyebaran penyakit ini terdapat ini terdapat diseluruh udara, dapat menyerang

semua golongan umur, yang terbanyak adalah anak umur dibawah 1 tahun. Makin

muda usianya makin berbahaya, lebih sering menyerang anak perempuan daripada

laki-laki. Di Amerika Serikat kurang lebih 35% kasus terjadi pada usia < 6 bulan,

termasuk bayi yang berumur 3 bulan. Kurang lebih 45% penyakit terjadi pada usia

<1 tahun dan 66% < 5 tahun. Kematian dan jumlah kasus yang dirawat tertinggi

3
4

terjadi pada usia 6 bulan pertama kehidupan .Diperkirakan pada tahun 2008 terjadi

16 juta kasus di seluruh dunia, 95% diantaranya terjadi di negara sedang

berkembang. Angka kematian akibat pertusis mencapai 195.000 anak (PPM IDAI).

WHO memperkirakan lebih kurang 600.000 kemarian disebabkan pertusis setiap

tahunnya terutama pada bayi yang tidak diimunisasi. Dengan kemajuan

perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka mortalitas dan morbiditas

penyakit ini mulai menurun (Soedarmo, 2010).

Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan, tidaklah cukup

untuk mencegah bayi baru lahir terhadap pertusis. Pertusis yang berat pada

neonatus dapat ditemukan dari ibu dengan gejala pertusis ringan. Kematian sangat

menurun setelah diketahui bahwa dengan pengobatan eritromisin dapat

menurunkan tingkat penularan pertusis, karena biakan nasofaring akan negatif

setelah 5 hari pengobatan (Soedarmo, 2010).

2.3 Etiologi

Genus Bordetela mempunyai 4 spesies yaitu B. Pertusis, B. Parapertussis,

B. Bronkiseptika, dan B. Avium (Soedarmo, 2010). Penyebab pertusis adalah

Bordetella pertusis atau Haemophilus pertusis, Adenovirus tipe 1,2,3, dan 5 dapat

ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus gastrointestinal dan traktus

genitourinari penderita pertusis bersama-sama Bordetella pertusis atau tanpa

adanya Bordetella pertusis (IKA-UI, 2017). Bordetella pertusis termasuk

kokobasilus, gram negatif, kecil, ovoid, ukuran panjang 0,5-1 um, tidak bergerak,

tidak berspora. Dengan pewarnaan toloidin biru, dapat terlihat granula bipoler

metakromatik dan mempunyai kapsul. Untuk melakukan biakan B. Pertussis,

diperlukan suatu media pembenihan yang disebut bordet gengou (potato-blood-


5

glycerol agar) yang ditambah penisilin G 0,5 ug/ml untuk meghambat

pertumbuhan organisme lain.

Organisme yang didapatkan umumnya tipe virulen (disebut fase 1). Pasase

dalam biakan dapat merangsang pembentukan varian yang avirulen (fase II,III,

atau IV). Strain fase1 berperan untuk penularan penyakit dan menghasilkan vaksin

yang efektif. B. Pertusis dapat mati dengan pemanasan pada suhu 50 C selama

setengah jam, tetapi bertahan pada suhu rendah (0-10 C) (Soedarmo, 2010).

Gambar 1. Bordetella pertusis

2.4 Patogenesis

Bordetella pertussis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernafasan

kemudian melekat pada silia epitel saluran pernafarasan. Mekanisme patogenesis

infeksi oleh B. Pertussis terjadi melalui 4 tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan

terhadap mekanisme pertahanan penjamu, kerusakan lokal, dan akhirnya timbul

penyakit sistemik.

Filamentous hemaglutinin (FHA), lymphositosis promoting factor (LPF)/

pertusis toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan dalam perlekatan B. Pertussis pada

silia. Setelah terjadi perlekatan B. Pertussis, kemudian ber-multiplikasi dan

menuyebar ke seluruh permukaan epitel saluran pernafasan. Proses ini tidak

invasif, oleh karena itu pada pertusis tidak terjadi bakterimia. Selama pertumbuhan
6

B. Pertussis, maka akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit

yang kita kenal dengan whooping cough. Toksin terpenting yang dapat

menyebabkan penyakit disebabkan oleh karena pertussis toxin. Toxin pertusis

mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya berikatan

dengan reseptor sel target, kemudian menghasilkan sel unit A yang aktif pada

daerah aktivasi enzim membran sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan

makrofag ke daerah infeksi.

Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis

protein di dalam membran sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis

dari sel target termasuk linfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan

pengeluaran histamin dan serotonin, efek memblokir beta adenergik dan

meningkatkan aktivitas insulin, sehingga akan menurunkan konsentrasi gula darah.

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hiperplasia jaringan limfoid peri

bronkial dan meningkatkan jumlah mukosa pada permukaan silia, maka fungsi

silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah menjadi infeksi sekunder.

Penumpukan mukus akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan obstruksi

dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran

oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat

perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat

pengaruh langsung toksin ataukah sekunder akibat anoksia. Terjadi perubahan

fungsi sel yang reversibel, pemulihan tampak bila sel mengalami regenerasi, hal

ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik terhadap proses

penyakit.
7

Dermonecrotic toxin adalah heat labile cytoplasmic toxin menyebabkan

kontraksi otot polos pembuluh darah dinding trakea sehingga menyebabkan

iskemia dan nekrosis trakea. Sitotoksin bersifat menghambat sintesis DNA,

menyebabkan siliostasis, dan diakhiri dengan kematian sel. Pertusis

lipoplysacarida (endotoksin) tidak terlalu oenting dalam hal patogenesis penyakit

ini. Kadang-kadang B pertussis hanya menyebabkan infeksi yang ringan, karena

tidak menghasilkan toksin pertusis (Soedarmo, 2010).

2.5 Gejala Klinis

Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan

penyakit ini berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Perjalanan penyakit

berlangsung dalam 3 stadium, yaitu stadium katalaris (prodormal), stadium akut

paroksismal (paroksismal, sporadik), dan stadium konvalesens. Manifestasi

tergantung dari etiologi spesifik, umur dan status imunisasi. Gejala anak <2 tahun

yaitu, batuk paroksismal (100%), whoops (60-70%), emesis (66-80%), dispneu

(70-80%), dan kejang (20-25%). Pada anak yang lebih besar manifestasi klinis

tersebut lebih ringan dan lama sakit lebih pendek, kejang jarang pada anak>2

tahun. Suhu jarang >38,4 C pada semua golongan umur. Penyakit yang disebbakan

B. Parapertusis atau B. Bronkiseptika lebih ringan daripada B. Pertussis dan juga

lama sakit lebih pendek. Ketiga stadium pertusis diuraikan sebagai berikut,

1. Stadium katalaris (1-2 minggu)

Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas yaitu

timbulnya rinore (pilek) dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada

konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan dan panas tidak begitu tinggi. Pada stadium

ini biasnaya diagnosis pertusis belum dapat ditetapkan karena sukar dibedakan
8

dnegan common cold. Selama stadium ini, sejumlah besar organisme tersebar

dalam inti droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman paling mudah

diisolasi.

2. Stadium paroksismal/stadium spasmodik (2-4 minggu)

Frekuensi dan derajat batuk bertambah, khas terdapat pengulangan 5-10 kali

batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang

mendadak dan menimbulkan bunyi melengking (whoop). Udara yang dihisap

melalui glotis yang menyempit. Pada anak yang lebih tua dan bayi yang lebih

muda, serangan batuk hebat dengan berbunyi whoop sering tidak terdengar.

Selama serangan muka merah dan sianosis, mata menonjol, lidah menjulur,

lakrimasi, salivasi, dan distensi vena leher bahkan sampai menjadi ptekia di

wajah (terutama konjungtiva bulbi). Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi

sampai mucous plug pada saluran nafas menghilang. Muntah sesudah batuk

paroksismal cukup khas, sehingga seringkali menjadi tanda kecurigaan apakah

anak menderita pertusis walaupun tidak seperti bunyi whoop. Anak menjadi

apatis dan berat badan menurun. Batuk mudah dibangkitkan dengan stress

emosional (menangis, sedih, gembira) dan aktivitas fisik.

3. Stadium konvalesens (1-2 minggu)

Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah dengan

puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun. Batuk biasanya

masih menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2-3 minggu.

Pada beberapa pasien akan timbul serangan batuk paroksismal kembali. Episode

ini terjadi berulang-ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan

infeksi saluran bagian atas yang berulang (Soedarmo, 2010).


9

2.6 Diagnosis

1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis

a. Kontak dengan penderita pertusis dan belum diimunisasi/imunisasi tidak

adekuat

b. Tanda dan gejala klinis tergantung dari stadium:

- Stadium kataral

Gejala klinisnya minimal dengan/tanpa demam; rinorea; anoreksia;

frekuensi batuk bertambah.

- Stadium paroksismal

Batuk paroksismal yang dicetuskan oleh pemberian makan (bayi) dan

aktivitas; fase inspiratori batuk atau batuk rejan (inspiratory whooping);

post-tussive vomiting. Dapat pula dijumpai: muka merah atau sianosis;

mata menonjol; lidah menjulur; lakrimasi; hipersalivasi; distensi vena

leher selama serangan; apatis; penurunan berat badan.

- Stadium konvalesens: gejala akan berkurang dalam beberapa minggu

sampai dengan beberapa bulan; dapat terjadi petekia pada kepala/leher,

perdarahan konjungtiva, dan terdengar crackles difus.

 Bayi < 6 bulan gejalanya tidak khas, mungkin berupa tanda dan

gejala: hipoksia yang terlihat lebih hebat dibandingkan gambaran

klinis, muntah-muntah sampai menimbulkan dehidrasi, kadang

hanya menunjukkan tanda dan gejala sianosis dan apneic spell,

tanpa disertai whoop.


10

2. Pemeriksaan penujang

- Leukosit dan hitung jenis sel: leukositosis (15.000-100.000/mm3 ) dengan

limfositosis absolut.

- IgG terhadap toksin pertusis: didapatkan antibodinya (IgG terhadap toksin

pertusis)

- Foto toraks: infiltrat perihiler atau edema, atelektasis, atau empyema.

- Diagnosis pasti apabila ditemukan organisme pada apus nasofaring (bahan

media Bordet-Gengou) dengan menggunakan media transpor (Regan-Lowe)

(Pudjiadi et al, 2011).

2.7 Diagnosis Banding

1. Bentuk spasmodik pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis, pneumonia bakterial,

sistik fibrosis, tuberkulosis, dan penyakit lainnya yang menyebabkan

limfadenopati dengan penekanan diluar trakea dan bronkus. Pada umumnya


11

pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan laboratorium. Benda asing juga

menyebabkan batuk paroksismal, tetapi biasanya gejala mendadak dan dapat

dibedakan dengan pemeriksaan radiologik dan endoskopi.

2. Infeksi B. Parapertusis, B. Bronkiseptika dan adenovirus dapat menyerupai

sindrom klinis B. Pertussis. Dapat dibedakan dengan isolasi kuman penyebab

(Soedarmo, 2010).

2.8 Komplikasi

1. Alat pernafasan

Dapat terjadi otitis media (sering pada bayi), bronkitis, bronkopneumonia,

atelektasis yang disebbakan sumbatan mukus, emfisema (dapat juga terjadi

emfisema mediastinum, leher, kulit pada kasus berat), bronkiektasis, sedangkan

tuberkulosis yang sebelumnya telah ada dapat menjadi bertambah.

2. Susunan saraf

Kejang dapat timbul karena gangguan keseimbangan elektrolit akibat muntah.

Kadang-kadang terdapat kongesti dan edem otak, mungkin pula terjadi

perdarahan otak.

3. Alat pencernaan

Muntah-muntah yang berat dapat terjadi emasiasi, prolapsus rektum atau hernia

yang mungkin timbul karena tingginya tekanan intrabdominal. Ulkus pada

ujung lidah karena lidah tergosok pada gigi atau tergigit pada waktu serangan

batuk, stomatitis.

4. Lain-lain

Dapat pula terjadi perdarahan lain seperti epistaksis, hemoptisis dan perdarahan

subkonjungtiva (IKA-UI, 2017).


12

2.9 Penatalaksanaan

a. Suportif umum (terapi oksigen dan ventilasi mekanik jika dibutuhkan).

b. Observasi ketat diperlukan pada bayi, untuk mencegah/mengatasi terjadinya

apnea, sianosis, atau hipoksia.

c. Pasien diisolasi (terutama bayi) selama 4 minggu, diutamakan sampai 5-7 hari

selesai pemberian antibiotik. Gejala batuk paroksismal setelah terapi antibiotik

tidak berkurang, namun terjadi penurunan transmisi setelah pemberian terapi

hari ke-5.

d. Belum ada studi berbasis bukti untuk pemberian kortikosteroid, albuterol, dan

beta2-adrenergik lainnya, serta belum terbukti efektif sebagai terapi pertusis.

e. Dilakukan penilaian kondisi pasien, apakah terjadi apnea, spel sianotik,

hipoksia dan/ atau dehidrasi (Pudjiadi et al, 2011)

f. Imunoglobulin pertusis telah diberikan pada anak dibawah umur 2 tahun (1,25

ml/24 jam dalam 3-5 dosis), penelitian menunjukkan tidak ditemukan adanya

kegunaannya dan hal ini tidak direkomendasikan (Soedarmo, 2016).

Terapi antibiotik

Tujuan farmakoterapi adalah menghilangkan infeksi, mengurangi morbiditas, dan

mencegah kompilkasi. Pemberian antibiotik tidak memperpendek stadium

paroksismal. Eritromisin (50 mg/kgBB/hari) atau ampisilin (100 mg/kgBB/hari)

dapat mengeliminasi organisme dari nasofaring dalam 3-4 hari. Eritromisin dapat

mengeliminasi pertusis bila diberikan pada pasien dalam stadium kataral sehingga

memperpendek periode penularan (Soedarmo, 2010).


13

2.10Pemantauan

a. Monitor kemungkinan gangguan respirasi, kesadaran, dehidrasi, serta anoreksia

pada kasus yang memerlukan tindakan rawat di Rumah Sakit.

b. Amati apakah demam tidak membaik atau bahkan bertambah buruk setelah

terapi hari ke-3, karena mungkin terjadi infeksi sekunder.

c. Isolasi terhadap kasus sampai hari ke-5 pemberian antibiotic

d. Pemberian antibiotik profilaksis kepada kontak erat (Pudjiadi et al, 2011).

2.11Pencegahan

Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi. Melalui

Program Pengembangan Imunisasi (PPI) Indonesia telah melaksanakan imunisasi

pertusis dengan vaksis DPT. Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi pasif

dan aktif.

1 Imunisasi Pasif

Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globulin, ternyata

berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif sehingga akhir-

akhir ini human hyperimmune globulin tidak lagi diberikan untuk pencegahan.

2 Imunisasi Aktif

Diberikan vaksin pertusis dari kuman B. Pertussis yang telah dimatikan untuk

mendapatkan kekebalan aktif. Imunisasi pertusis diberikan bersama-sama

dengan vaksin difteria dan tetanus. Dosis imunisasi dasar dianjurkan 12 UI dan

diberikan tiga kali sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu. Jika prevalensi

pertusis dalam masyarakat tinggi, imunisasi dapat dimulai umur 2 minggu

dengan jarak 4 minggu. Anak berumur >7 tahun tidak lagi memerlukan
14

imunisasi rutin. Hasil imunisasi pertusis tidak permanen oleh karena proteksi

menurun selama adolesens, walaupun demikian infeksi pada pasien yang lebih

besar biasanya ringan hanya merupakan sumber infeksi B. Pertussis pada bayi

non imun. Vaksin pertusis monovalen (0,25 ml, IM) telah dipakai untuk

mengontrol epidemi diantara orang dewasa yang terpapar. Salah satu

efeksamping imunisasi pertusis adalah demam.

Untuk mengurangi terjadinya kejang demam dapat diberikan

antikonvulsan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72 jam. Anak dengan kelainan

neurologik yang mempunyai riwayat kejang 7,2 kali lebih mudah terjadi kejang

setelah imunisasi DPT dan mempunyai kesempatan 4x5 kali lebih tinggi bila

hanya memiliki riwayat kejang dalam keluarga. Maka pada keadaan anak yang

demikian hendaknya tidak diberikan imunisasi pertusis, jadi hanya diberikan

imunisasi DT,

Kontra indikasi pemebrian vaksin pertusis yaitu anak yang mengalami

ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa

demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis>3 jam, hight pitch cry

dalam 2 hari, kolaps atau hipotensif hiporesponsif dalam 2 hari, suhu tidak

dapat diterangkan >40,5 C dalam 2 hari. Eritromisin efektif untuk pencegahan

pertusis pada bayi baru lahir dan ibu dengan pertusis.

Kontak erat pada anak usia <7 tahun yang sebelumnya telah diberikan

imunisasi hendaknya diberi booster. Booster tidak perlu diberikan bila telah

diberikan imunisasi dalam waktu 6 bulan terakhir, juga diberikan eritromisin

50 mg/kgBB/24 jam dalam2-4 dosis selama 14 hari. Kontak erat pada usia

>7tahun juga perlu diberikan eritromisin sebagai profilaksis.


15

Pengobatan eritromisin awal berguna untuk mengurangi penyebaran

infeksi dan mengurangi gejala penyakit. Seseorang yang kontak dengan pasien

pertusis tetapi belum pernah diimunisasi hendakya diberi ertromisin selama 14

hari setelah kontak diputuskan. Jika kontak tidak dapat diputuskan hendaknya

eritromisin diberikan sampai pasien berhenti batuk atau setelah pasien

mendapat eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertusis monovalen dan eritromisin

diberikan pada waktu epidemi (Soedarmo, 2010).

2.12 Prognosis

- Mortalitas terutama oleh karena kerusakan otak (ensefalopati), pneumonia,

dan penyulit paru lain.

- Pada anak besar  prognosisnya baik.

- Dapat timbul sekuele berupa wheezing pada saat dewasa (Pudjiadi et al,

2011)

Prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis lebih baik.

Pada bayi resiko kematian (0,5-1%) disebabkan ensefalopati. Pada observasi

jangka panjang, apnea atau kejang akan menyebabkan gangguan intelektual di

kemudian hari (Soedarmo, 2010).


16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pertusis adalah infeksi pernafasan yang parah akibat bakteri Gram-negatif

Bordetella pertussis pada saluran napas sehingga menimbulkan batuk hebat yang

khas. Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemophilus pertusis,

Adenovirus tipe 1,2,3, dan 5. Pertusis dapat ditularkan melalui udara secara kontak

langsung yang berasal dari droplet penderita selama batuk. Penyebaran penyakit ini

terdapat ini terdapat diseluruh udara, dapat menyerang semua golongan umur, yang

terbanyak adalah anak umur dibawah 1 tahun. Masa inkubasi pertusis 6-20 hari,

rata-rata 7 hari. Perjalanan penyakit berlangsung dalam 3 stadium, yaitu stadium

katalaris (prodormal), stadium akut paroksismal (paroksismal, sporadik), dan

stadium konvalesens. Manifestasi tergantung dari etiologi spesifik, umur dan status

imunisasi. Untuk mendiagnosis diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Terapi di berikan suportif atau dengan antibiotik.

Pencegahannya dilakukan dengan vaksinasi diberikan bersama-sama dengan vaksin

difteria dan tetanus (DPT), atau vaksin pertusis monovalen (0,25 ml/ IM).

Prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis lebih baik

sedangkan pada bayi resiko kematian (0,5-1%) disebabkan ensefalopati.

16
DAFTAR PUSTAKA

Carbonetti N. H. (2016). Bordetella pertussis: new concepts in pathogenesis and


treatment. Current opinion in infectious diseases, 29(3), 287–294.

Kilgore, P. E., Salim, A. M., Zervos, M. J., & Schmitt, H. J. (2016). Pertussis:
Microbiology, Disease, Treatment, and Prevention. Clinical microbiology
reviews, 29(3), 449–486.

Pudjiadi et al. 2011. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia

Soedarmo, S. S. P. (2010). Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Edisi II. Jakarta : Badan
Penerbit IDAI.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Ed 4.
Jakarta : Infomedika

Anda mungkin juga menyukai