Anda di halaman 1dari 38

REFERAT

Bell’s Palsy

PENYUSUN :
Sumita Dewi (20360118)
Tanti Kristiana (20360119)
PEMBIMBING :
dr. Luhu Tapiheru Sp. S

KEPANITRAAN KLINIK PENYAKIT NEUROLOGI

RUMAH SAKIT RSUD HAJI MEDAN 2020

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

BANDAR LAMPUNG
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-

Nya, penulisan referat “Bell’s palsy” ini dapat diselesaikan. Makalah ini diajukan untuk

melengkapi tugas kepanitraan klinik senior Departemen Ilmu Kesehatan Neurologi

Universitas Malahayati.

Di dalam makalah ini dipaparkan informasi mengenai definisi Bell’s palsy sampai

bagaimana menangani seseorang yang menderita Bell’s palsy tersebut sebagai materi

khusus di bagian Ilmu Kesehatan Neurologi FK Universitas Malahayati.

Akhir kata, apabila penulisan referat ini banyak terdapat kesalahan, penulis

memohon maaf. Untuk itu, kritik dan saran dari berbagai pihak untuk menyempurnakan

referat ini.

Karawang, 9 Oktober 2020

Sumita Dewi dan Tanti Kristiana

ii
Daftar Isi

KATAPENGANTAR..................................................................................................ii

DAFTAR ISI..............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................1

1.2 Latar Belakang................................................................................................1

2.2 Tujuan Pembuatan Referat.............................................................................2

BAB II.PEMBAHASAN.............................................................................................3

2.1 Definisi ...........................................................................................................3

2.2 Epidemiologi ..................................................................................................3

2.3 Etiologi ...........................................................................................................4

2.4 Anatomi Nervus Fasialis ................................................................................5

2.5 Patogenesis....................................................................................................11

2.6 Patofisiologi ..................................................................................................13

2.7 Gejala Klinis..................................................................................................14

2.8 Diagnosis.......................................................................................................16

2.9 Pemeriksaan Fisik .........................................................................................19

2.10 Pemeriksaan Penunjang ..............................................................................23

2.11 Diagnosis Banding.......................................................................................24

2.12 Penatalaksanaan...........................................................................................25

2.13 Komplikasi...................................................................................................30

2.14 Prognosis.....................................................................................................31

BAB III. PENUTUP......... .......................................................................................33

3.1 Kesimpulan ...................................................................................................33

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bell’s Palsy (BP) adalah suatu kelumpuhan akut nervus fasialis perifer yang tidak

diketahui penyebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang pertama yang meniliti

beberapa penderita dengan wajah asimetris, sejak itu semua kelumpuhan N.

Fasialis perifer yang tidak diketahui penyebabnya disebut Bell’s palsy. (Hardinoto dkk,

1990)

Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologi, laboratorium, dan patologi anatomi

menunjukan BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak

faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan

pada usia dewasa, jarang pada anak dibawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh

infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin.

Diagnosa BP dapat ditegakan dengan adanya kelumpuhan N. fasialis perifer diikuti

pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab lain kelumpuhan n.fasialis perifer.

(Hardinoto dkk, 1990)

Penyebab Bells’ palsy tidak diketahui, diduga penyakit ini bentuk polineuritis

dengan kemungkinan virus, inflamasi, auto imun dan etiologi iskemik. Peningkatan

kejadian berimplikasi pada kemungkinan infeksi HSV type I dan reaktivasi herpes

zoster dari ganglia nervus kranialis. (Karnes B. 1985)

BP menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial akut. Di

dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah

ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden BP setiap tahun sekitar

1
23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden BP rata-rata

15-30 kasus per 100.000 populasi. Sedangkan di Indonesia, insiden BP secara pasti

sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia

didapatkan frekuensi Bells palsi sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan

terbanyak pada usia 21-30 tahun. BP mengenai laki-laki dan wanita dengan

perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih

rentan terkena daripada laki- laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini

dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun.

Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan

timbulnya BP lebih tinggi dari pada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali

lipat . Tidak didapati juga perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi

pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin

berlebihan. (Hadinoto dkk, 1990)

1.2 Tujuan Pembuatan Referat

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kepanitraan di

Bagian Ilmu Kesehatan Neurologi dan agar mahasiswa lebih memahami bagaimana

cara mengenali, menangani, dan mencegah kasus Bell’s Palsy sehingga dapat

mengoptimalisasi kemampuan dan pelayanan dalam merawat pasien yang

menderita Bell’s Palsy.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Bell’s palsy adalah paralisis fasialis idiopatik, merupakan penyebab

tersering dari paralisis fasialis unilateral. Bells’ palsy merupakan kejadian akut,

unilateral, paralisis saraf fasial type LMN (perifer), yang secara gradual mengalami

perbaikan pada 80-90% kasus. (PERDOSSI, 2016)

Bell’s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron

yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat,

tanpa adanya penyakit neurologik lainnya. BP adalah kelumpuhan atau paralisis

wajah unilateral karena gangguan nervus fasialis perifer yang bersifat akut dengan

penyebab yang tidak teridentifikasi, seperti proses non-supuratif, non neo-plasmatik,

non- degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian

nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen

tersebut yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan. (PERDOSSI,

2016)

2.2 Epidemiologi

BP menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial akut.

Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden

terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden BP setiap tahun

3
sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden BP

rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Sedangkan di Indonesia, insiden BP

secara pasti sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di

Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsi sebesar 19,55 % dari seluruh kasus

neuropati dan terbanyak pada usia 21-30 tahun. BP mengenai laki-laki dan wanita

dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19

tahun lebih rentan terkena daripada laki- laki pada kelompok umur yang sama.

Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-

50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan

kemungkinan timbulnya BP lebih tinggi dari pada wanita tidak hamil, bahkan bisa

mencapai 10 kali lipat . Tidak didapati juga perbedaan insiden antara iklim panas

maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar

udara dingin atau angin berlebihan. (Hadinoto S, DKK. 1990)

Bells’ palsy merupakan satu dari penyakit neurologis tersering yang

melibatkan saraf kranialis, dan penyebab tersering (60-75% dari kasus paralisis

fasialis unilateral akut) paralisis fasial di dunia. Bells’ palsy lebih sering ditemukan

pada usia dewasa, orang dengan DM, dan wanita hamil. (Hadinoto S, DKK. 1990)

2.3 Etiologi

Ada 4 teori yang diajukan sebagai penyebab BP yaitu (Capildeo R. 1970) :

1. Teori Iskemik Vaskuler

Teori ini sangat populer dan banyak yang menerimanya sebagai penyebab dari BP.

Menurut teori ini terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N.VII, terjadi

vasokontriksi arteriole yang melayani N.VII sehingga terjadi iskemik, kemudian

diikuti oleh dilatasi vaskuler dan permeabilitas kapiler yang meningkat dengan akibat

4
terjadi transudasi. Cairan transudat yang keluar akan menekan dinding kapiler limfe

sehingga menutup. Selanjutnya akan menyebabkan keluar cairan lagi dan akan lebih

menekan kapiler dan venula dalam kanalis fasialis sehingga terjadi iskemik, dengan

demikian akan terjadi keaddan/circulus vitiosus.

2. Teori Virus

Dikatakan bahwa BP sering terjadi setelah penderita mengalami penyakit virus,

sehingga menurut teori ini penyebab BP adalah virus. Juga dikatakan bahwa

perjalanan klinis BP sangat menyerupai viral neuropathy pada saraf perifer lainnya.

Peningkatan kejadian berimplikasi pada kemungkinan infeksi HSV type I dan

reaktivasi herpes zoster dari ganglia nervus kranialis.

3. Teori Herediter

Willbrand 1974mendapatkan 6% penderita BP yang kasusnya herediter, autosomal

dominan. Ini mungkin kanalis fallopi yang sempit pada keturunan atau keluarga

tersebut sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis.

4. Teori Imunologi

Dikatakan bahwa BP terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang

timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi. Berdasarkan teori ini maka

penderita BP diberikan pengobatan kortikosteroid dengan tujuan untuk mengurangi

inflamasi dan edema di dalam kanalis fallopii dan juga sebagai immunosupresor.

2.4 Anatomi Nervus Fasialis

Saraf fasialis atau saraf kranialis ketujuh mempunyai komponen motorik yang

mempersarafi semua otot ekspresi wajah pada salah satu sisi, komponen sensorik

kecil (nervus intermedius Wrisberg) yang menerima sensasi rasa dari 2/3 depan

lidah, dan komponen otonom yang merupakan cabang sekretomotor yang

5
mempersarafi glandula lakrimalis. Saraf fasialis keluar dari otak di sudut serebello-

pontin memasuki meatus akustikus internus. Saraf selanjutnya berada di dalam kanalis

fasialis memberikan cabang untuk ganglion pterygopalatina sedangkan cabang kecilnya

ke cabang motorik ditandai dengan garis warna biru, cabang parasimpatis ditandai

dengan garis warna jingga, dan cabang aferen viseral spesial (pengecapan) ditandai

dengan garis putus-putus dan titik. muskulus stapedius dan bergabung dengan korda

timpani. Pada bagian awal dari kanalis fasialis, segmen labirin merupakan bagian

yang tersempit yang dilewati saraf fasialis; foramen meatal pada segmen ini hanya

memiliki diameter sebesar 0,66 mm. (Willbrand JW, Blumhagen JD, May M. 1974)

Gambar 1 : Skema Dari Saraf Kranialis Ketujuh (Nervus Fasialis)

Saraf fasialis merupakan saraf campuran yang terdiri dari 2 akar saraf, yaitu akar

motorik (lebih besar dan lebih medial) dan intermedius (lebih kecil dan lebih lateral).

Akar motorik berasal dari nukleus fasialis dan berfungsi membawa serabut-serabut

motorik ke otot-otot ekspresi wajah. Saraf intermedius yang berasal dari nukleus

6
salivatorius anterior, membawa serabut-serabut parasimpatis ke kelenjar lakrimal,

submandibular, dan sublingual. Saraf intermedius juga membawa serabut-serabut aferen

untuk pengecapan pada dua pertiga depan lidah dan aferen somatik dari kanalis auditori

eksterna dan pinna. (Willbrand JW, Blumhagen JD, May M. 1974)

Gambar 2. Anatomi dari Nervus Fasialis

Kedua akar saraf ini muncul dari pontomedullary junction dan berjalan

secara lateral melalui cerebellopontine angle bersama dengan saraf vestibulocochlearis

menuju meatus akustikus internus, yang memiliki panjang ± 1 cm, dibungkus dalam

periosteum dan perineurium . Selanjutnya saraf memasuki kanalis fasialis. Kanalis

fasialis (fallopi) memiliki panjang sekitar 33 milimeter (mm), dan terdiri dari 3 segmen

yang berurutan: labirin, timpani dan mastoid. Segmen labirin terletak antara vestibula dan

7
cochlea dan mengandung ganglion genikulatum. Karena kanal paling sempit berada di

segmen labirin ini (rata- rata diameter 0,68 mm), maka setiap terjadi pembengkakan

saraf, paling sering menyebabkan kompresi di daerah ini. Pada ganglion genikulatum,

muncul cabang yang terbesar dengan jumlahnya yang sedikit yaitu saraf petrosal. Saraf

petrosal meninggalkan ganglion genikulatum, memasuki fossa cranial media secara

ekstradural, dan masuk kedalam foramen lacerum dan berjalan menuju ganglion

pterigopalatina. Saraf ini mendukung kelenjar lakrimal dan palatina. (Matthew B. 1987)

Serabut saraf lainnya berjalan turun secara posterior di sepanjang dinding

medial dari kavum timpani (telinga tengah), dan memberikan percabangannya ke

musculus stapedius (melekat pada stapes). Lebih kearah distal, terdapat percabangan

lainnya yaitu saraf korda timpani, yang terletak ± 6 mm diatas foramen stylomastoideus.

Saraf korda timpani merupakan cabang yang paling besar dari saraf fasialis, berjalan

melewati membran timpani, terpisah dari kavum telinga tengah hanya oleh suatu

membran mukosa. Saraf tersebut kemudian berjalan ke anterior untuk bergabung

dengan saraf lingualis dan didistribusikan ke dua pertiga anterior lidah. (Matthew B.

1987)

Korda timpani mengandung serabut- serabut sekretomotorik ke kelenjar

sublingual dan submandibularis, dan serabut aferen viseral untuk pengecapan, Badan

sel dari neuron gustatori unipolar terletak didalam ganglion genikulatum, dan

berjalan melalui saraf intermedius ke traktus solitarius. (Matthew B. 1987)

Setelah keluar dari foramen stylomastoideus, saraf fasialis membentuk cabang

kecil ke auricular posterior (mempersarafi m.occipitalis dan m. stylohoideus dan sensasi

kutaneus pada kulit dari meatus auditori eksterna) dan ke anterolateral menuju ke

kelenjar parotid. Di kelenjar parotid, saraf fasialis kemudian bercabang menjadi 5

8
kelompok (pes anserinus) yaitu temporal, zygomat icus, buccal, marginal mandibular dan

cervical. Kelima kelompok saraf ini terdapat pada bagian superior dari kelenjar

parotid, dan mempersarafi dot- otot ekspresi wajah, diantaranya m. orbicularis oculi,

orbicularis oris, m. buccinator dan m. Platysma. (Matthew B. 1987)

OTOT-OTOT WAJAH DAN SARAF YANG MENSARAFINYA

CABANG N. VII OTOT FUNGSI

Aurikuler posterior 1. Aurikular posterior 1. Menarik telinga ke belakang

2. Oksipitofrontalis 2. Menarik kulit kepala ke


belakang

Temporal 1. Aurikular anterior 1. Menarik telinga ke depan

2. Aurikular superior 2. Mengangkat pinna

3. Oksipitofrontalis 3. Menarik kulit kepala ke


depan
4. Korugator
supersilia 4. Menarik alis ke medial dan
bawah

5. Procerus 5. Menarik alis bagian


tengah ke

Bawah

Temporal & Zigomatik Orbicularis okuli Menutup mata & kontraksi kulit
sekitar mata

Zigomatik & Buccal Zigomatikus mayor Mengangkat sudut mulut

1. Zigomatikus 1. Mengangkat bibir atas


minor
2. Mengangkat bibir atas &
2. Levator labii lipatan nasolabial bagian
superior
tengah
3. Levator labii sup
ala nasi 3. Mengangkat
lipatan
4. Risorius nasolabial bagian

9
5. Businator medial dan ala

6. Levator anguli nasi


oris
4. Menarik ke lateral saat
Buccal 7. Orbikularis oris senyum

8. Nasalis dilator 5. Menarik tepi mulut ke


nares belakang dan mengembungkan

9. Nasalis pipi
compressor nares
6. Menarik tepi mulut ke
atas dan garis tengah

7. Menutup &
mengembungkan bibir

8. Mengembangkan lubang
hidung

9. Mengecilkan lubang hidung

Buccal & Mandibula Depressor angulus oris Menarik tepi mulut ke bawah

Mandibular 1. Depressor labii 1. Menarik bibir bawah ke


inferior bawah

2. Mentalis 2. Menarik dagu ke atas

Servikal Platisma Menarik tepi mulut ke bawah

Tabel 1. Otot-otot Wajah dan Saraf yang mensarafinya

10
Gambar 3. Persyarafan Pada Wajah

2.5 Patogenesis

Terdapat lima teori yang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bell’ s

palsy, yaitu iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Teori virus lebih

banyak dibahas sebagai etiologi penyakit ini. Burgess et al mengidentifikasi genom

virus herpes simpleks (HSV) di ganglion genikulatum seorang pria usia lanjut yang

meninggal enam minggu setelah mengalami Bell’ s palsy. Murakami et al.

Menggunakan teknik reaksi rantai polimerase untuk mengamplifikasi sekuens

genom virus, dikenal sebagai HSV tipe 1 di dalam cairan endoneural sekeliling

saraf ketujuh pada 11 sampel dari 14 kasus Bell’ s palsy yang dilakukan

dekompresi pembedahan pada kasus yang berat. Murakami et al menginokulasi HSV

dalam telinga dan lidah tikus yang menyebabkan paralisis pada wajah tikus

tersebut. Antigen virus tersebut kemudian ditemukan pada saraf fasialis dan ganglion

genikulatum. Dengan adanya temuan ini, istilah paralisis fasialis herpes simpleks

atau herpetika dapat diadopsi. (Stennert E. 1981)

Bell’s palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada ganglion

genikulatum, yang menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi. Ganglion

ini terletak didalam kanalis fasialis pada persambungan labirin dan segmen timpani,

dimana lengkungan saraf secara tajam memasuki foramen stylomastoideus. Secara

klinis, Bell’s palsy telah didefinisikan idiopatik, dan penyebab proses inflamasi masih

tidak jelas.Beberapa teori telah diduga sebagai penyebab dari Bell’s palsy, antara

lain iskemik vaskular, imunologi, infeksi dan herediter telah diduga menjadi penyebab.

(Stennert E. 1981)

11
Beberapa mekanisme termasuk iskemia primer atau inflamasi saraf

fasialis, menyebabkan edema dan penjepitan saraf fasialis selama perjalanannya

didalam kanal tulang temporal dan menghasilkan kompresi dan kerusakan langsung

atau iskemia sekunder terhadap saraf. Teori ini merupakan latar belakang untuk

dekompresi bedah pada pengobatan Bell’s palsy. (Stennert E. 1981)

Suatu hipotesa imunologis telah diperkenalkan oleh Mc. Govern dkk,

berdasarkan penelitian eksperimental pada hewan. Begitu juga Hughes dkk,

menemukan transformasi limfosit pada pasien Bell’s palsy dan menduga bahwa

beberapa penyebab Bell’s palsy merupakan hasil dari cell mediated immunity melawan

antigen saraf perifer. Hasil ini mendukung penelitian selanjutnya dengan steroid dan

imunoterapi lainnya. (McGovern FH & Estevez J. 1980)

Mekanisme lainnya adalah infeksi virus, yang secara langsung merusak

fungsi saraf melalui mekanisme inflamasi, yang kemungkinan terjadi pada seluruh

perjalanan saraf dan bukan oleh kompresi pada kanal tulang. Suatu penelitian

systematic review berdasarkan Cochrane database, yang dilakukan terhadap

beberapa penelitian randomized yang berkualitas tinggi telah menyimpulkan

bahwa antivirus tidak lebih efektif daripada plasebo dalam menghasilkan

penyembuhan lengkap pada pasien Bell’s palsy. Karena tidak efektifnya antivirus

dalam mengobati pasien Bell’s palsy sehingga perlu dipertimbangkan adanya

penyebab Bell’s palsy yang lain. (McGovern FH & Estevez J. 1980)

Adanya peran genetik juga telah dikemukakan sebagai penyebab Bell’s palsy,

terutama kasus Bell’s palsy yang rekuren ipsilateral atau kontralateral.

Kebanyakan kasus yang dijumpai adalah autosomal dominant inheritance. Sejumlah

penelitian telah berusaha rnemberikan temuan objektif tentang dasar genetik dari

12
BeII’s palsy, dan kebanyakan terpusat pada sistem Human leucocyte antigen

(HLA), yang memiliki hubungan objektif yang kuat dengan berbagai penyakit

autoimun (McGovern FH & Estevez J. 1980)

2.6 Patofisiologi

Saraf fasialis membawa sekitar 10.000 serabut saraf, dan 7.000 serabut tersebut

merupakan akson motorik yang bermielin yang mencapai otot-otot wajah.

Masing- masing dari serabut saraf tersebut dapat dikenai secara terpisah terhadap

derajat trauma yang berbeda.Sunderland telah mendeskripsikan lima derajat trauma

yang dapat mengenai satu serabut saraf perifer. Klasifikasi ini menggambarkan

kejadian patofisiologi yang dihubungkan dengan setiap jenis gangguan yang

mengenai saraf fasialis secara lebih mudah. Tiga derajat pertama dapat terjadi pada

Bell’s palsy dan herpes zoster cephalicus. Derajat keempat dan kelima dari trauma

tersebut dapat terjadi bila terdapat gangguan dari saraf, seperti pada transeksi

saraf yang mungkin terjadi selama operasi, sebagai hasil dari fraktur tulang temporal

yang berat atau dari suatu pertumbuhan tumor jinak atau ganas yang tumbuh

dengan cepat. Pada Bell’s palsy, herpes zoster cephalicus, otitis media dan trauma,

kompresi dapat terjadi tiba- tiba atau lambat progresif dalam 5-10 hari. Pada otitis

media dan trauma, proses yang terjadi lebih kepada tekanan yang mendesak saraf

daripada gangguan intraneural, namun hasil kompresi saraf tetap sama seperti pada

Bell’s palsy dan herpes zoster cephalicus. Diawali dengan penggembungan

aksoplasma, kompresi pada aliran vena dan selanjutnya terjadi kompresi saraf dan

kehilangan akson- akson, dan dengan cepat terjadi kehilangan endoneural tube

yang kemudian menyebabkan derajat ketiga dari trauma. (Stennert E. 1981)

13
Pada derajat empat dan lima, karena kebanyakan atau semua endoneural

tube telah dirusak, sama seperti perineurium pada derajat keempat trauma, dan

prineurium dan epineurium pada pada trauma derajat kelima, penyembuhan tidak akan

pernah sebaik pada derajat pertama. Selama proses regenerasi saraf fasialis, terjadi

tiga perubahan. (Stennert E. 1981)

Mayor pada akson, yaitu: (1) perubahan pada jarak antara nodus renvier (2).

akson-akson yang baru terbentuk dilapisi oleh myelin yang lebih tipis daripada

akson normal (3) terdapat pemecahan dan penyilangan dari akson-akson yang

menginervasi kembali kelompok-kelompok otot yang denervasi tanpa perlu

menyesuaikan dengan susunan badan sel- motor unit yang dijumpai sebelum

terjadi degenerasi. Akibat dari faktor- faktor ini, dapat terjadi suatu tic atau

kedutan involunter. Selain itu, terdapat juga gerakan yang tidak wajar, seperti

gerakan mulut dengan berkedip, atau menutup mata dengan tersenyum. Penyebab

lain dari gerakan abnormal selama regenerasi mungkin karena terjadi perubahan

pada myoneural junction. Selain faktor-faktor ini, kemungkinan terjadi perubahan

didalam dan disekitar nukleus saraf fasialis di batang otak, sama seperti

perubahan pada hubungan sentral menuju badan sel. Kombinasi dari faktor-

faktor ini, dapat menyebabkan spasme yang terjadi pada sisi wajah yang paralisis,

menyebabkan mata menutup dan sudut mulut menarik. spasme ini dapat dirasakan

cukup nyeri. (Stennert E. 1981).

2.7 Gambaran Klinis

14
Gambar 4. Gambaran Klinis Bell’s Palsy

Gambaran klinis biasanya timbul secara mendadak, penderita menyadari

adanya kelumpuhan pada wajahnya pada waktu bangun tidur atau diberitahukan oleh

teman bahwa salah satu sudut mulutnya lebih rendah. Teatpi dapat juga berkembang

perlahan lahan, yang biasanya kurang dari 4 hari. Umunya mengenai satu sisi dan jarang

sekali mengenai kedua sisi adapun gambaran klinisnya dapat berupa : hilangnya semua

gerakan volunter pada kelumpuhan total pada sisi wajah yang terkena ekspresi akan

menghilang sehingga lipatan nasolabialis akan menghilang, sudut mulu akan menurun,

kelopak mata tidak dapat dipejamkan sehingga fisura palpebra melebar serta kerut dahi

menghilang. Bila penderita disuruh untuk memejamkan matanya, maka kelopak mata

pada sisi yang terkena akan tetap terbuka (disebut lagoftalmus) dan bola mata berputar

15
keatas. Keadaan ini dikenal dengan tanda dari bell (lagoftalmus disertai dorsorotasi bola

mat). Karena kedipan mata yang berkurang maka akan terjadi iritasi oleh debu dan angin

sehingga menimbulkan epifora. (Ludman H. 1981)

Pada waktu bernafas maka pipi sisi lumpuh akan menggembung, hal ini disebabkan

karena kelumpuhan dari otot buksinator, disamping itu makanan cenderung terkeumpul

diantara pipi dan gusi. Bila khorda timpani ikut terkena maka terjadi gangguan

pengecapan dari 2/3 depan lidah yang merupakan kawasan sensorik khusu

N.intermedius.Dan bila saraf ke M.stapedius juga terlibat, maka akan terjadi hiperakusis.

Keadaan ini dapat diperiksa dengan pemeriksaan audiometri. Pada kasus yang lebih

berat akan terjadi gangguan produksi air mata berupa pengurangan atau hilangnya

produksi air mata. Ini menunjukan terkenanya ganglion genikulatum dan dapat diperiksa

dengan pemeriksaan test schirmer. (PERDOSSI, 2006)

2.8 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik umum

dan neurologis (saraf kranialis, motorik, sensorik, serebelum). Bells’ palsy

adalah diagnosis eksklusi. (McGovern FH & Estevez J. 1980)

Anamnesis

Gejala awal:

 Kelumpuhan muskulus fasialis

 Tidak mampu menutup mata

 Nyeri tajam pada telinga dan mastoid (60%)

 Perubahan pengecapan (57%)

 Hiperakusis (30%)

 Kesemutan pada dagu dan mulut

16
 Epiphora

 Nyeri ocular

 Penglihatan kabur

Onset Onset Bells’ palsy mendadak, dan gejala mencapai puncaknya

kurang dari 48 jam. Kebanyakan pasien mencatat paresis terjadi pada pagi

hari. Kebanyakan

Gambaran klinis penyakit yang dapat membantu membedakan dengan

penyebab lain dari paralisis fasialis (Kemenkes, 2014):

a. Onset yang mendadak dari paralisis fasial unilateral

b. Tidak adanya gejala dan tanda pada susunan saraf pusat, telinga, dan penyakit

cerebellopontin angle.

Jika terdapat kelumpuhan pada saraf kranial yang lain, kelumpuhan

motorik dan gangguan sensorik, maka penyakit neurologis lain harus

dipikirkan (misalnya: stroke, GBS, meningitis basilaris, tumor Cerebello

Pontine Angle). (Kemenkes, 2014)

Klasifikasi Sistem grading ini dikembangkan oleh House and

Brackmann dengan skala I sampai VI. (Kemenkes, 2014)

a Grade I adalah fungsi fasial normal.

b Grade II disfungsi ringan. Karakteristiknya adalah sebagai berikut :

 Kelemahan ringan saat diinspeksi mendetil.

 Sinkinesis ringan dapat terjadi.

 Simetris normal saat istirahat.

 Gerakan dahi sedikit sampai baik.

 Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan sedikit usaha.

17
 Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan.

c. Grade III adalah disfungsi moderat, dengan karekteristik:

 Asimetri kedua sisi terlihat jelas, kelemahan minimal.

 Adanya sinkinesis, kontraktur atau spasme hemifasial dapat ditemukan

 Simetris normal saat istirahat.

 Gerakan dahi sedikit sampai moderat.

 Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan usaha.

 Sedikit lemah gerakan mulut dengan usaha maksimal.

d. Grade IV adalah disfungsi moderat sampai berat, dengan tandanya sebagai

berikut:

 Kelemahan dan asimetri jelas terlihat.

 Simetris normal saat istirahat.

 Tidak terdapat gerakan dahi.

 Mata tidak menutup sempurna.

 Asimetris mulut dilakukan dengan usaha maksimal.

e. Grade V adalah disfungsi berat. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:

 Hanya sedikit gerakan yang dapat dilakukan.

 Asimetris juga terdapat pada saat istirahat.

 Tidak terdapat gerakan pada dahi.

 Mata menutup tidak sempurna.

 Gerakan mulut hanya sedikit.

f. Grade VI adalah paralisis total. Kondisinya yaitu:

 Asimetris luas.

18
Tidak ada gerakan.

2.9 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan yang teliti pada kepala, telinga, mata, hidung dan mulut harus

dilakukan pada semua pasien dengan paralisis fasial. (PERDOSSI, 2006)

 Kelemahan atau paralisis yang melibatkan saraf fasial (N VII) melibatkan

kelemahan wajah satu sisi (atas dan bawah). Pada lesi UMN (lesi supra nuclear

di atas nukleus pons), 1/3 wajah bagian atas tidak mengalami kelumpuhan.

Muskulus orbikularis, frontalis dan korrugator diinervasi bilateral pada level

batang otak. Inspeksi awal pasien memperlihatkan lipatan datar pada dahi dan

lipatan nasolabial pada sisi kelumpuhan.

 Saat pasien diminta untuk tersenyum, akan terjadi distorsi dan lateralisasi pada

sisi berlawanan dengan kelumpuhan.

 Pada saat pasien diminta untuk mengangkat alis, sisi dahi terlihat datar.

 Pasien juga dapat melaporkan peningkatan salivasi pada sisi yang lumpuh.

Jika paralisis melibatkan hanya wajah bagian bawah, penyebab sentral

harus dipikirkan (supranuklear). Jika pasien mengeluh kelumpuhan kontra lateral

atau diplopia berkaitan dengan kelumpuhan fasial kontralateral supranuklear, stroke

atau lesi intra serebral harus sangat dicurigai. (PERDOSSI, 2006)

Jika paralisis fasial onsetnya gradual, kelumpuhan pada sisi kontralateral,

atau ada riwayat trauma dan infeksi, penyebab lain dari paralisis fasial harus sangat

dipertimbangkan. Progresifitas paresis masih mungkin,namun biasanya tidak

memburuk pada hari ke 7 sampai 10. Progresifitas antara hari ke 7-10 dicurigai

diagnosis yang berbeda. (PERDOSSI, 2006)

19
Pasien dengan kelumpuhan fasial bilateral harus dievaluasi sebagai Sindroma

Guillain-Barre, penyakit Lyme, dan meningitis.

Manifestasi Okular Komplikasi okular awal:

 Lagophthalmos (ketidakmampuan untuk menutup mata total)

 Corneal exposure

 Retraksi kelopak mata atas

 Penurunan sekresi air mata

 Hilangnya lipatan nasolabial

 Erosi kornea, infeksi dan ulserasi (jarang)

Manifestasi okular lanjut :

 Ringan: kontraktur pada otot fasial, melibatkan fisura palpebral.

 Regenerasi aberan saraf fasialis dengan sinkinesis motorik.

 Sinkinesis otonom (air mata buaya-tetes air mata saat mengunyah).

 Dua pertiga pasien mengeluh masalah air mata. Hal ini terjadi karena penurunan

fungsi orbicularis okuli dalam mentransport air mata.

Nyeri auricular posterior :

Hiperakusis pada telinga ipsilateral paralisis, sebagai akibat kelumpuhan

sekunder otot stapedius.

Gangguan pengecapan :

Walaupun hanya sepertiga pasien melaporkan gangguan pengecapan, sekitar

80% pasien menunjukkan penurunan rasa pengecapan. Kemungkinan pasien gagal

mengenal penurunan rasa, karena sisi lidah yang lain tidak mengalamigangguan.

Penyembuhan awal pengecapan mengindikasikan penyembuhan komplit.

(PERDOSSI, 2006).

20
1. Fungsi motorik

Dalam memeriksa fungsi motorik, perhatikan muka penderita, apakah

simetris atau tidak. Perhatikan kerutan pada dahi, pejaman mata, plika nasolabialis

dan sudut mulut. Bila asimetri muka jelas, maka hal ini disebabkan oleh

kelumpuhan jenis perifer. Dalam ini kerutan dahi menghilang, mata kurang

dipejamkan, plika nasolabialis mendatar dan sudut mulut menjadi lebih rendah. Pada

kelumpuhan jenis sentral, muka dapat simetris waktu istirahat, kelumpuhan baru

nyata bila penderita disuruh melakukan gerakan, misalnya menyeringai. (Matthew

B. 1987)

a. Mengangkat alis dan mengerutkan dahi

Minta pasien untuk mengangkat kedua alis kemudian nilai apakah simetris atau

tidak. Kemudian minta pasien untuk mengerutkan dahi, nilai apakah musculus

oksipitofrontalis, musculus corrgurator supercilli, musculus procerus simetris

atau tidak. Pada kelumpuhan jenis supranuklear sesisi, penderita dapat mengangkat

alis dan mengerutkan dahinya, sebab musculus oksipitofrontalis, musculus

corrgurator supercilli, musculus procerus mendapat persarafan bilateral. Pada

kelumpuhan jenis perifer terlihat adanya asimetri. (Matthew B. 1987)

b. Memejamkan mata

Minta pasien untuk memejamkan mata, bila lumpuhnya berat paasien tidak dapat

memejamkan mata; bila lumpuhnya ringan, maka tenaga pejaman mata kurang

kuat. Hal ini dapat dinilai dengan jalan mengangkat kelopak mata dengan tangan

pemeriksa, sedangkan pasien disuruh tetap memejamkan mata. Suruh pula pasien

21
memejamkan matanya satu per satu. Hal ini merupakan pemeriksaan yang baik bagi

parese ringan. Bila terdapat parese, pasien tidak dapat memejamkan matanya pada

sisi yang lumpuh. Disini dinilai apakah musculus orbicularis okuli dapat

berkontraksi dengan baik atau tidak, simetris atau tidak. (Matthew B. 1987)

c. Menyeringai (menunjukan gigi geligi)

Minta pasien untuk menyeringai, menunjukkan gigi geligi. Perhatikan apakah hal

ini dapat dilakukan dan apakah simetris, perhatikan sudut mulutnya. Jika pasien

tidak dapat melakukannya maka terdapat gannguan persarafan pada musculus

zigomatikus mayor. Pada penderita yang tidak kooperatif atau yang menurun

kesadarannya, dan tidak dapat disuruh menyeringai, dapat dibuat menyeringai bila

diberikan ransangan nyeri, yaitu dengan menekan pada sudut rahangnya (musculus

masseter). (Matthew B. 1987)

d. Mencucurkan bibir

Minta pasien untuk mencucurkan bibir. Perhatikan apakah dapat dilakukan dan

apakah simetris. Jika pasien tidak dapat melakukan dengan baik dan asimetris

maka dicurigai ada gangguan pada persarafan musculus orbicularis oris.

e. Menggembungkan pipi.

Minta pasien untuk menggembungkan pipi. Perhatikan apakah hal ini dapat

dilakukan dan apakah simetris. Apabila pasien tidak dapat melakukan dengan baik

maka dapat dikatakan terjadi gangguan pada persarafan musculus bucinator.

f. Mengembang kempiskan cuping hidung

Minta pasien untuk mengembang kempiskan cuping hidung, nilai apakah simetris

atau tidak. Jika tidak, maka terdapat gangguan persarafan pada musculus nasalis.

2. Fungsi Pengecapan

22
Kerusakan N. VII, sebelum percabangan khorda timpani dapat

menyebabkan ageusi (hilangnya pengecapan) pada 2/3 lidah bagian depan. Untuk

memeriksanya pasien disuruh menjulurkan lidah, kemudian kita berikan pada

lidahnya bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam (hal ini dilakukan secara bergiliran

dan diselingi istirahat). Bila bubuk ditaruh, pasien tidak boleh menarik lidahnya ke

dalam mulut, sebab bila lidah ditarik ke dalam mulut bubuk akan tersebar

melalui ludah ke bagian lainnya, yaitu sisi lidah lainnya atau ke bagian belakang

lidah yang persarafannya diurus oleh saraf lain. Pasien diminta untuk menyatakan

pengecapan yang dirasakannya degan isyarat, misalnya 1 untuk rasa manis, 2

untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4 untuk rasa asam. Kerusakan pada atau

diatas nervus petrosus mayor dapat menyebabkan kurangnya produksi air mata,

dan lesi khorda timpani dapat menyebabkan kurangnya produksi saliva. (Matthew

B. 1987)

2.10 Pemeriksaan Penunjang

Bells palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu

dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis.

Pemeriksaan radiologi dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk

menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP).

Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang

temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel.

Selain itu MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis.

Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy sudah dikenal sejak tahun 1970 sebagai

prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan kandidat

tindakan dekompresi intrakanikular. Grosheva et al melaporkan pemeriksaan

23
elektromiografi (EMG) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan

elektroneurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut

setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictivevalue (PPV) 100% dan negative-

predictive- value (NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan berupa

penurunan amplitudo Compound Motor Action Potential (CMAP), pemanjangan

latensi saraf fasialis, serta pada pemeriksaan blink reflex didapatkan pemanjangan

gelombang R1 ipsilateral. Pemeriksaan blink reflex ini sangat bermanfaat karena

96% kasus didapatkan abnormalitas hingga minggu kelima, meski demikian

sensitivitas pemeriksaan ini rendah. Abnormalitas gelombang R2 hanya ditemukan

pada 15,6% kasus. (Capildeo R. 1970)

Pemeriksaan Penunjang (Capildeo R. 1970):

 Darah rutin, ureum, kreatinin, Gula darah

 EMG

MRI kepala + Kontras (jika curiga lesi sentral)

2.11 Diagnosis Banding

 Acoustic neuroma danlesi cerebellopontine angle.

 Otitis media akut atau kronik.

 Amiloidosis.

 Aneurisma A. vertebralis, A. basilaris, atau A. carotis.

 Sindroma autoimun.

 Botulismus.

 Karsinomatosis.

 Penyakit carotid dan stroke, termasuk fenomena emboli.

 Cholesteatoma telinga tengah.

24
 Malformasi congenital.

 Schwannoma N. Fasialis.

 Infeksi ganglion genikulatum (Ludman H. 1981).

2.12 Penatalaksanaan

Algoritma Tatalaksana Bell’s Palsy

Pasien dengan kelemahan wajah unilateral, onset 48 jam

Menilai derajat paralisis wajah

Derajat I -‐ IV Derajat V --VI

Kortikosteroid Rujuk
Proteksi dan obat pelindung mata
Obat antivirus, 5-‐10 hari
Facial exercise

Evaluasi 2 minggu dan 4 minggu


Pemeriksaan fungsi n.fasialis
(EMG/KHS/ENG)

Tidak ada perbaikan


Dan/atau terjadi
kekambuhan
Dan/atau komplikasi

Tujuan pengobatan adalah memperbaiki fungsi saraf VII (saraf fasialis)


dan menurunkan kerusakan saraf. Pengobatan dipertimbangkan untuk pasien
dalam 1-4 hari onset. Hal penting yang perlu diperhatikan(PERDOSSI, 2016):

a.Pengobatan inisial

25
1. Steroid dan asiklovir (dengan prednison) mungkin efektif untuk pengobatan

Bells’ palsy (American Academy Neurology/AAN, 2011).

2. Steroid kemungkinan kuat efektif dan meningkatkan perbaikan fungsi saraf

kranial, jika diberikan pada onset awal (ANN, 2012).

3. Kortikosteroid (Prednison), dosis: 1 mg/kg atau 60 mg/day selama 6 hari, diikuti

penurunan bertahap total selama 10 hari.

4. Antiviral: asiklovir diberikan dengan dosis 400 mg oral 5 kali sehari selama 10

hari. Jika virus varicella zoster dicurigai, dosis tinggi 800 mg oral 5 kali/hari.

b.Lindungi mata

Perawatan mata: lubrikasi okular topikal (artifisial air mata pada siang hari)

dapat mencegah corneal exposure.

c.Fisioterapi atau akupunktur : dapat mempercepat perbaikan dan menurunkan

sequele.

1. Terapi Farmakologi

Terapi farmakologi yang diberikan pada pasien bells palsy yaitu pemberian obat

cortikosteroid dan anti-viral. (Margono, Widjaja D, Tjondronoto dkk)

a. Kortikosteroid

Dasar untuk pemberian obat kortikosteroid pada bell’s palsy karena inflamasi dan

edema pada nervus fasialis merupakan salah satu penyebab dari Bell’s palsy dan

kortikosteroid berpotensi sebagai anti inflamasi dimana dapat meminimalisasi

kerusakan pada saraf dan sehingga hasil meningkat. Pada percobaan yang dilakukan

secara random ditemukan bahwa terapi bells palsy dengan menggunakan prednisolon

mempercepat proses penyembuhan. Prednisolon dapat digunakan pada semua pasien

dengan lumpuh pada otot wajah dengan pemakaian 72 jam dimulai dari onset

26
dimana tidak dapat kontraindikasi pada terapi steroid. Dosis prednisolon yaitu 60 mg

dalam 5 hari,kemudian dikurangi menjadi 10 mg perhari (dari 10 hari total

perawatan ) dan 50 mg per hari dalam 10 hari. Terapi dengan prednisolon lebih

hemat biaya. Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid

jangka panjang (lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes,

ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan

Cushing syndrome.

b. Anti-viral

Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan preparat antivirus

digunakan dalam penanganan Bell’s palsy. Namun, beberapa percobaan kecil

menunjukkan bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih efektif dibandingkan

kortikosteroid. Data-data ini mendukung kombinasi terapi antiviral dan steroid pada

48-72 jam pertama setelah onset. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan

keuntungan penggunaan terapi kombinasi. Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2

tahun adalah 80 mg per kg per hari melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian

selama 10 hari. Sementara untuk dewasa diberikan dengan dosis oral 2 000-4 000

mg per hari yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan

dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk

dewasa adalah 1 000-3 000 mg per hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari.

Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan preparat antivirus, namun

kadang dapat ditemukan keluhan berupa adalah mual, diare, dan sakit kepala.

2. Terapi non Farmakologi/Rehabilitasi Medik

27
Rehabilitasi medik menurut WHO adalah semua tindakan yang ditujukan guna

mengurangi dampak cacat handikap serta meningkatkan kemampuan

penyandang cacat mengenai integritas sosial. (McGovern FH & Estevez J. 1980)

Tujuan rehabilitasi medik adalah :

1. Meniadakan keadaan cacat bila mungkin

2. Mengurangi keadaan cacat sebnyak mungkin

3. Melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat hidup dan bekerja

dengan apa yang tertinggal.

a. Program fisioterapi

1. Pemanasan

a. Pemanasan superfisial dengan infra red

b. Pemanasan profunda berupa Shortwave Diathermy

2. Stimulasi listrik

Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk mencegah

atau memperlambat terjasi atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan

memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya, dengan faradisasi yang tujuannya

adalah untuk menstimulasi otot redukasi dari aksi otot, melatih fungsi otot baru,

meningkatkan sirkulasi serta mencegah atau merenggangkan perlengketan.

Diberikan 2 minggu setelah onset. (McGovern FH & Estevez J. 1980)

3. Latihan otot-otot wajah dan massage wajah

Latihan gerak volunter diberikan setelah fase akut, latihan berupa

mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata, dan

28
mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul atau meniup (dilakukan di depan

kaca dengan konsentrasi penuh). (Karnes B. 1985)

Massage adalah manipulasi sistemik dan ilmiah dari jaringan tubuh

dengan maksud untuk perbaikan atau pemulihan. Pada fase akut bell’s palsy

diberi gentle massage secara perlahan dan berirama. Hal ini memberikan efek

mengurangi edema, memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus otot.

Setelah lewat fase akut diberi Deep Kneuding Massage sebelum latihan

gerakan volunter wajah. Deep Kneuding Massage memberikan efek mekanik

terhadap pembuluh darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan sisa metabolik,

asam laktat, mengurangi edema, meningkatkan nutrisi serabut-serabut otot dan

meningkatkan gerakan intramuskuler sehingga melepaskan perlengketan. Massage

daerah wajah dibagi 4 daerah yaitu dagu, mulut, hidung dan dahi. Semua gerakan

diarahkan keatas, lamanya 5-10 menit. (Karnes B. 1985)

b. Program Terapi Okupasi

Pada dasarnya terapi didini memberikan latihan gerakan pada otot wajah.

Latihan diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk

permainan. Perlu diingat bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi

penderita. Latihan dapat berupa latihan berkumur, latihan minum dengan

menggunakan sedotan, latihan meniup lilin, latihan menutup mata dan

mengerutkan dahi di depan cermin. (PERDOSSI, 2016)

c. Program Sosial Medik

Penderita bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan

sosial. Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya.

Petugas sosial medik dapat membantu mengatasi dengan menghubungi tempat

29
kerja, mungkin untuk sementara waktu bekerja pada bagian yang tidak banyak

berhubungan dengan umum. Untuk masalah biaya, dibantu dengan mencarikan

fasilitas kesehatan di tempat kerja atau melalui keluarga. selain itu memberikan

penyuluhan bahwa kerja sama penderita dengan petugas yang merawat sangat

penting untuk kesembuhan penderita. (Karnes B. 1985).

d. Program Psikologi

Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol, rasa

cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita muda wanita

ataupenderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di depan

umum, maka bantuan seorang psikolog sangat diperlukan. (Matthew B. 1987)

e. Program Ortotik Prostetik

Dapat dilakukan pemasangan “Y” plester dengan tujuan agar sudut mulut

yang sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan

reaksi intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan “Y” plester dilakukan juka

dalam waktu 3 bulan belum ada perubahan zigomatikus selama parese dan

mencegah terjadinya kontraktur. (Margono, Widjaja D, Tjondronoto dkk)

 Edukasi

1. Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit.

2. Massage wajah yang sakit kearah atas dengan menggunakan tangan dari sisi wajah

yang sehat

3. Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit, minum

dengan sedotan, mengunyah permen karet.

4. Perawatan mata :

30
a. Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3 kali sehari.

b. Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari.

c. Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur.

2.13 Komplikasi

Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat BP yaitu :

1. Crocodile tear phenomenon

Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul

beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang

salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke

kelenjar lakrimal. Lokasi lesi penyebab yaitu di sekitar ganglion genikulatum.

2. Synkinesis

Contohnya yaitu :

- Pada saat mata dipejamkan maka akan timbul gerakan involunter elevasi

sudut timbul kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi.

- Pada saat memperlihatkan gigi, maka mata penderita pada sisi sakit menjadi

tertutup

- Bila penderita menggerakan suatu bagian wajahnya, maka semua otot wajah

pada sisi lumpuh menjadi kontraksi.

Penyebabnya yaitu inervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami

regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah.

3. Clonic facial spasm (hemical spasm)

Yaitu timbulnya kedutan paa wajah yang pada stadium awal hanya mengenai 1

sisi wajah saja tetapi kemudian kontraksi ini dapat mengenai pada sisi lainnya.

31
Bila mengenai kedua sisi wajah, maka tidak terjadi bersama-sama pada kedua

sisi (PERDOSSI, 2006).

2.14 Pencegahan

Ad vitam : bonam

Ad Sanationam : bonam

Ad Fungsionam : bonam

Sembuh spontan pada 75-90% dalam beberapa minggu atau dalam 1-2 bulan.

Kira- kira 10-15% sisanya akan memberikan gambaran kerusakan yang permanen.

(Ludman H. 1981)

32
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Bell’s Palsy (BP) adalah suatu kelumpuhan akut nervus fasialis perifer yang tidak

diketahui penyebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang pertama yang meniliti

beberapa penderita dengan wajah asimetris, sejak itu semua kelumpuhan N.

Fasialis perifer yang tidak diketahui penyebabnya disebut Bell’s palsy. BP menempati

urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial akut. Gambaran klinis

biasanya timbul secara mendadak, penderita menyadari adanya kelumpuhan pada wajahnya

pada waktu bangun tidur atau diberitahukan oleh teman bahwa salah satu sudut mulutnya

lebih rendah. Onset Onset Bells’ palsy mendadak, dan gejala mencapai puncaknya

kurang dari 48 jam. Tujuan pengobatan bells palsy adalah memperbaiki fungsi saraf

VII (saraf fasialis) dan menurunkan kerusakan saraf. Pengobatan dipertimbangkan

untuk pasien dalam 1-4 hari onset. Bells Palsy biasanya Sembuh spontan pada 75-

90% dalam beberapa minggu atau dalam 1-2 bulan. Kira- kira 10-15% sisanya akan

memberikan gambaran kerusakan yang permanen.

33
34
DAFTAR PUSTAKA

Capildeo R. 1970. Aetiology of Bell’s Palsy, In: Rose FC, eds. Clinical
Neuroimmunology. Oxford: Blackwell Scintific Publ.
Hadinoto S, DKK. 1990. Gangguan Gerak. Fakultas Kedokteran Universitas
Dipenogoro.
Karnes B. 1985. Bell’s Palsy, In:Johnson RT, eds, Current Therapy in Neurologic
Disease 1985-1986. Philadelphia: BC Decker Inc.
Kementrian Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 5 tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta.
Ludman H. 1981. Facial Palsy. BMJ.
Margono, Widjaja D, Tjondronoto dkk. Perbandingan Pengobatan Secara Buta
Ganda antara Fluocortolone dengan Serratiopeptidase pada Penderita Bell’s
Palsy.
Matthew B. 1987. Bell’s Palsy, In: Gibberd FB, eds. Medicine International.
2(16):1985-7.
McGovern FH & Estevez J. 1980. The use of Cromalyn Sodium in The Prevention of
Nerve Degeration in Bell’s Palsy. The Laryngoscope.
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS SARAF INDONESIA. 2006. Standar
Pelayanan Medis(SPM) & Standar Prosedur Operasional (SPO). Jakarta.
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS SARAF INDONESIA. 2016. Neurologi.
Jakarta.
Stennert E. 1981. Pathomechanism in Cell Metabolism: A Key to Treatment of Bell’s
Palsy. Ann Otot.
Willbrand JW, Blumhagen JD, May M. 1974. Inherited Bell’sPalsy. Ann Otot
1974;83:343-6.

Anda mungkin juga menyukai