Bell’s Palsy
PENYUSUN :
Sumita Dewi (20360118)
Tanti Kristiana (20360119)
PEMBIMBING :
dr. Luhu Tapiheru Sp. S
BANDAR LAMPUNG
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-
Nya, penulisan referat “Bell’s palsy” ini dapat diselesaikan. Makalah ini diajukan untuk
Universitas Malahayati.
Di dalam makalah ini dipaparkan informasi mengenai definisi Bell’s palsy sampai
bagaimana menangani seseorang yang menderita Bell’s palsy tersebut sebagai materi
Akhir kata, apabila penulisan referat ini banyak terdapat kesalahan, penulis
memohon maaf. Untuk itu, kritik dan saran dari berbagai pihak untuk menyempurnakan
referat ini.
ii
Daftar Isi
KATAPENGANTAR..................................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................1
BAB II.PEMBAHASAN.............................................................................................3
2.5 Patogenesis....................................................................................................11
2.8 Diagnosis.......................................................................................................16
2.12 Penatalaksanaan...........................................................................................25
2.13 Komplikasi...................................................................................................30
2.14 Prognosis.....................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Bell’s Palsy (BP) adalah suatu kelumpuhan akut nervus fasialis perifer yang tidak
diketahui penyebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang pertama yang meniliti
Fasialis perifer yang tidak diketahui penyebabnya disebut Bell’s palsy. (Hardinoto dkk,
1990)
faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan
pada usia dewasa, jarang pada anak dibawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh
infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin.
Penyebab Bells’ palsy tidak diketahui, diduga penyakit ini bentuk polineuritis
dengan kemungkinan virus, inflamasi, auto imun dan etiologi iskemik. Peningkatan
kejadian berimplikasi pada kemungkinan infeksi HSV type I dan reaktivasi herpes
dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah
ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden BP setiap tahun sekitar
1
23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden BP rata-rata
15-30 kasus per 100.000 populasi. Sedangkan di Indonesia, insiden BP secara pasti
sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia
didapatkan frekuensi Bells palsi sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan
terbanyak pada usia 21-30 tahun. BP mengenai laki-laki dan wanita dengan
perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih
rentan terkena daripada laki- laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini
dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun.
timbulnya BP lebih tinggi dari pada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali
lipat . Tidak didapati juga perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi
pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin
Bagian Ilmu Kesehatan Neurologi dan agar mahasiswa lebih memahami bagaimana
cara mengenali, menangani, dan mencegah kasus Bell’s Palsy sehingga dapat
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
tersering dari paralisis fasialis unilateral. Bells’ palsy merupakan kejadian akut,
unilateral, paralisis saraf fasial type LMN (perifer), yang secara gradual mengalami
Bell’s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron
yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat,
wajah unilateral karena gangguan nervus fasialis perifer yang bersifat akut dengan
non- degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian
tersebut yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan. (PERDOSSI,
2016)
2.2 Epidemiologi
Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden
terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden BP setiap tahun
3
sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden BP
secara pasti sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di
Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsi sebesar 19,55 % dari seluruh kasus
neuropati dan terbanyak pada usia 21-30 tahun. BP mengenai laki-laki dan wanita
dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19
tahun lebih rentan terkena daripada laki- laki pada kelompok umur yang sama.
Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-
kemungkinan timbulnya BP lebih tinggi dari pada wanita tidak hamil, bahkan bisa
mencapai 10 kali lipat . Tidak didapati juga perbedaan insiden antara iklim panas
maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar
melibatkan saraf kranialis, dan penyebab tersering (60-75% dari kasus paralisis
fasialis unilateral akut) paralisis fasial di dunia. Bells’ palsy lebih sering ditemukan
pada usia dewasa, orang dengan DM, dan wanita hamil. (Hadinoto S, DKK. 1990)
2.3 Etiologi
Teori ini sangat populer dan banyak yang menerimanya sebagai penyebab dari BP.
Menurut teori ini terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N.VII, terjadi
diikuti oleh dilatasi vaskuler dan permeabilitas kapiler yang meningkat dengan akibat
4
terjadi transudasi. Cairan transudat yang keluar akan menekan dinding kapiler limfe
sehingga menutup. Selanjutnya akan menyebabkan keluar cairan lagi dan akan lebih
menekan kapiler dan venula dalam kanalis fasialis sehingga terjadi iskemik, dengan
2. Teori Virus
sehingga menurut teori ini penyebab BP adalah virus. Juga dikatakan bahwa
perjalanan klinis BP sangat menyerupai viral neuropathy pada saraf perifer lainnya.
3. Teori Herediter
dominan. Ini mungkin kanalis fallopi yang sempit pada keturunan atau keluarga
4. Teori Imunologi
Dikatakan bahwa BP terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang
timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi. Berdasarkan teori ini maka
inflamasi dan edema di dalam kanalis fallopii dan juga sebagai immunosupresor.
Saraf fasialis atau saraf kranialis ketujuh mempunyai komponen motorik yang
mempersarafi semua otot ekspresi wajah pada salah satu sisi, komponen sensorik
kecil (nervus intermedius Wrisberg) yang menerima sensasi rasa dari 2/3 depan
5
mempersarafi glandula lakrimalis. Saraf fasialis keluar dari otak di sudut serebello-
pontin memasuki meatus akustikus internus. Saraf selanjutnya berada di dalam kanalis
ke cabang motorik ditandai dengan garis warna biru, cabang parasimpatis ditandai
dengan garis warna jingga, dan cabang aferen viseral spesial (pengecapan) ditandai
dengan garis putus-putus dan titik. muskulus stapedius dan bergabung dengan korda
timpani. Pada bagian awal dari kanalis fasialis, segmen labirin merupakan bagian
yang tersempit yang dilewati saraf fasialis; foramen meatal pada segmen ini hanya
memiliki diameter sebesar 0,66 mm. (Willbrand JW, Blumhagen JD, May M. 1974)
Saraf fasialis merupakan saraf campuran yang terdiri dari 2 akar saraf, yaitu akar
motorik (lebih besar dan lebih medial) dan intermedius (lebih kecil dan lebih lateral).
Akar motorik berasal dari nukleus fasialis dan berfungsi membawa serabut-serabut
motorik ke otot-otot ekspresi wajah. Saraf intermedius yang berasal dari nukleus
6
salivatorius anterior, membawa serabut-serabut parasimpatis ke kelenjar lakrimal,
untuk pengecapan pada dua pertiga depan lidah dan aferen somatik dari kanalis auditori
Kedua akar saraf ini muncul dari pontomedullary junction dan berjalan
menuju meatus akustikus internus, yang memiliki panjang ± 1 cm, dibungkus dalam
fasialis (fallopi) memiliki panjang sekitar 33 milimeter (mm), dan terdiri dari 3 segmen
yang berurutan: labirin, timpani dan mastoid. Segmen labirin terletak antara vestibula dan
7
cochlea dan mengandung ganglion genikulatum. Karena kanal paling sempit berada di
segmen labirin ini (rata- rata diameter 0,68 mm), maka setiap terjadi pembengkakan
saraf, paling sering menyebabkan kompresi di daerah ini. Pada ganglion genikulatum,
muncul cabang yang terbesar dengan jumlahnya yang sedikit yaitu saraf petrosal. Saraf
ekstradural, dan masuk kedalam foramen lacerum dan berjalan menuju ganglion
pterigopalatina. Saraf ini mendukung kelenjar lakrimal dan palatina. (Matthew B. 1987)
musculus stapedius (melekat pada stapes). Lebih kearah distal, terdapat percabangan
lainnya yaitu saraf korda timpani, yang terletak ± 6 mm diatas foramen stylomastoideus.
Saraf korda timpani merupakan cabang yang paling besar dari saraf fasialis, berjalan
melewati membran timpani, terpisah dari kavum telinga tengah hanya oleh suatu
dengan saraf lingualis dan didistribusikan ke dua pertiga anterior lidah. (Matthew B.
1987)
sublingual dan submandibularis, dan serabut aferen viseral untuk pengecapan, Badan
sel dari neuron gustatori unipolar terletak didalam ganglion genikulatum, dan
kutaneus pada kulit dari meatus auditori eksterna) dan ke anterolateral menuju ke
8
kelompok (pes anserinus) yaitu temporal, zygomat icus, buccal, marginal mandibular dan
cervical. Kelima kelompok saraf ini terdapat pada bagian superior dari kelenjar
parotid, dan mempersarafi dot- otot ekspresi wajah, diantaranya m. orbicularis oculi,
Bawah
Temporal & Zigomatik Orbicularis okuli Menutup mata & kontraksi kulit
sekitar mata
9
5. Businator medial dan ala
9. Nasalis pipi
compressor nares
6. Menarik tepi mulut ke
atas dan garis tengah
7. Menutup &
mengembungkan bibir
8. Mengembangkan lubang
hidung
Buccal & Mandibula Depressor angulus oris Menarik tepi mulut ke bawah
10
Gambar 3. Persyarafan Pada Wajah
2.5 Patogenesis
palsy, yaitu iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Teori virus lebih
virus herpes simpleks (HSV) di ganglion genikulatum seorang pria usia lanjut yang
genom virus, dikenal sebagai HSV tipe 1 di dalam cairan endoneural sekeliling
saraf ketujuh pada 11 sampel dari 14 kasus Bell’ s palsy yang dilakukan
dalam telinga dan lidah tikus yang menyebabkan paralisis pada wajah tikus
tersebut. Antigen virus tersebut kemudian ditemukan pada saraf fasialis dan ganglion
genikulatum. Dengan adanya temuan ini, istilah paralisis fasialis herpes simpleks
Bell’s palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada ganglion
ini terletak didalam kanalis fasialis pada persambungan labirin dan segmen timpani,
klinis, Bell’s palsy telah didefinisikan idiopatik, dan penyebab proses inflamasi masih
tidak jelas.Beberapa teori telah diduga sebagai penyebab dari Bell’s palsy, antara
lain iskemik vaskular, imunologi, infeksi dan herediter telah diduga menjadi penyebab.
(Stennert E. 1981)
11
Beberapa mekanisme termasuk iskemia primer atau inflamasi saraf
didalam kanal tulang temporal dan menghasilkan kompresi dan kerusakan langsung
atau iskemia sekunder terhadap saraf. Teori ini merupakan latar belakang untuk
menemukan transformasi limfosit pada pasien Bell’s palsy dan menduga bahwa
beberapa penyebab Bell’s palsy merupakan hasil dari cell mediated immunity melawan
antigen saraf perifer. Hasil ini mendukung penelitian selanjutnya dengan steroid dan
fungsi saraf melalui mekanisme inflamasi, yang kemungkinan terjadi pada seluruh
perjalanan saraf dan bukan oleh kompresi pada kanal tulang. Suatu penelitian
penyembuhan lengkap pada pasien Bell’s palsy. Karena tidak efektifnya antivirus
Adanya peran genetik juga telah dikemukakan sebagai penyebab Bell’s palsy,
penelitian telah berusaha rnemberikan temuan objektif tentang dasar genetik dari
12
BeII’s palsy, dan kebanyakan terpusat pada sistem Human leucocyte antigen
(HLA), yang memiliki hubungan objektif yang kuat dengan berbagai penyakit
2.6 Patofisiologi
Saraf fasialis membawa sekitar 10.000 serabut saraf, dan 7.000 serabut tersebut
Masing- masing dari serabut saraf tersebut dapat dikenai secara terpisah terhadap
yang dapat mengenai satu serabut saraf perifer. Klasifikasi ini menggambarkan
mengenai saraf fasialis secara lebih mudah. Tiga derajat pertama dapat terjadi pada
Bell’s palsy dan herpes zoster cephalicus. Derajat keempat dan kelima dari trauma
tersebut dapat terjadi bila terdapat gangguan dari saraf, seperti pada transeksi
saraf yang mungkin terjadi selama operasi, sebagai hasil dari fraktur tulang temporal
yang berat atau dari suatu pertumbuhan tumor jinak atau ganas yang tumbuh
dengan cepat. Pada Bell’s palsy, herpes zoster cephalicus, otitis media dan trauma,
kompresi dapat terjadi tiba- tiba atau lambat progresif dalam 5-10 hari. Pada otitis
media dan trauma, proses yang terjadi lebih kepada tekanan yang mendesak saraf
daripada gangguan intraneural, namun hasil kompresi saraf tetap sama seperti pada
aksoplasma, kompresi pada aliran vena dan selanjutnya terjadi kompresi saraf dan
kehilangan akson- akson, dan dengan cepat terjadi kehilangan endoneural tube
13
Pada derajat empat dan lima, karena kebanyakan atau semua endoneural
tube telah dirusak, sama seperti perineurium pada derajat keempat trauma, dan
prineurium dan epineurium pada pada trauma derajat kelima, penyembuhan tidak akan
pernah sebaik pada derajat pertama. Selama proses regenerasi saraf fasialis, terjadi
Mayor pada akson, yaitu: (1) perubahan pada jarak antara nodus renvier (2).
akson-akson yang baru terbentuk dilapisi oleh myelin yang lebih tipis daripada
akson normal (3) terdapat pemecahan dan penyilangan dari akson-akson yang
menyesuaikan dengan susunan badan sel- motor unit yang dijumpai sebelum
terjadi degenerasi. Akibat dari faktor- faktor ini, dapat terjadi suatu tic atau
kedutan involunter. Selain itu, terdapat juga gerakan yang tidak wajar, seperti
gerakan mulut dengan berkedip, atau menutup mata dengan tersenyum. Penyebab
lain dari gerakan abnormal selama regenerasi mungkin karena terjadi perubahan
didalam dan disekitar nukleus saraf fasialis di batang otak, sama seperti
perubahan pada hubungan sentral menuju badan sel. Kombinasi dari faktor-
faktor ini, dapat menyebabkan spasme yang terjadi pada sisi wajah yang paralisis,
menyebabkan mata menutup dan sudut mulut menarik. spasme ini dapat dirasakan
14
Gambar 4. Gambaran Klinis Bell’s Palsy
adanya kelumpuhan pada wajahnya pada waktu bangun tidur atau diberitahukan oleh
teman bahwa salah satu sudut mulutnya lebih rendah. Teatpi dapat juga berkembang
perlahan lahan, yang biasanya kurang dari 4 hari. Umunya mengenai satu sisi dan jarang
sekali mengenai kedua sisi adapun gambaran klinisnya dapat berupa : hilangnya semua
gerakan volunter pada kelumpuhan total pada sisi wajah yang terkena ekspresi akan
menghilang sehingga lipatan nasolabialis akan menghilang, sudut mulu akan menurun,
kelopak mata tidak dapat dipejamkan sehingga fisura palpebra melebar serta kerut dahi
menghilang. Bila penderita disuruh untuk memejamkan matanya, maka kelopak mata
pada sisi yang terkena akan tetap terbuka (disebut lagoftalmus) dan bola mata berputar
15
keatas. Keadaan ini dikenal dengan tanda dari bell (lagoftalmus disertai dorsorotasi bola
mat). Karena kedipan mata yang berkurang maka akan terjadi iritasi oleh debu dan angin
Pada waktu bernafas maka pipi sisi lumpuh akan menggembung, hal ini disebabkan
karena kelumpuhan dari otot buksinator, disamping itu makanan cenderung terkeumpul
diantara pipi dan gusi. Bila khorda timpani ikut terkena maka terjadi gangguan
pengecapan dari 2/3 depan lidah yang merupakan kawasan sensorik khusu
N.intermedius.Dan bila saraf ke M.stapedius juga terlibat, maka akan terjadi hiperakusis.
Keadaan ini dapat diperiksa dengan pemeriksaan audiometri. Pada kasus yang lebih
berat akan terjadi gangguan produksi air mata berupa pengurangan atau hilangnya
produksi air mata. Ini menunjukan terkenanya ganglion genikulatum dan dapat diperiksa
2.8 Diagnosis
Anamnesis
Gejala awal:
Hiperakusis (30%)
16
Epiphora
Nyeri ocular
Penglihatan kabur
kurang dari 48 jam. Kebanyakan pasien mencatat paresis terjadi pada pagi
hari. Kebanyakan
b. Tidak adanya gejala dan tanda pada susunan saraf pusat, telinga, dan penyakit
cerebellopontin angle.
17
Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan.
berikut:
Asimetris luas.
18
Tidak ada gerakan.
Pemeriksaan yang teliti pada kepala, telinga, mata, hidung dan mulut harus
kelemahan wajah satu sisi (atas dan bawah). Pada lesi UMN (lesi supra nuclear
di atas nukleus pons), 1/3 wajah bagian atas tidak mengalami kelumpuhan.
batang otak. Inspeksi awal pasien memperlihatkan lipatan datar pada dahi dan
Saat pasien diminta untuk tersenyum, akan terjadi distorsi dan lateralisasi pada
Pada saat pasien diminta untuk mengangkat alis, sisi dahi terlihat datar.
Pasien juga dapat melaporkan peningkatan salivasi pada sisi yang lumpuh.
atau ada riwayat trauma dan infeksi, penyebab lain dari paralisis fasial harus sangat
memburuk pada hari ke 7 sampai 10. Progresifitas antara hari ke 7-10 dicurigai
19
Pasien dengan kelumpuhan fasial bilateral harus dievaluasi sebagai Sindroma
Corneal exposure
Dua pertiga pasien mengeluh masalah air mata. Hal ini terjadi karena penurunan
Gangguan pengecapan :
mengenal penurunan rasa, karena sisi lidah yang lain tidak mengalamigangguan.
(PERDOSSI, 2006).
20
1. Fungsi motorik
simetris atau tidak. Perhatikan kerutan pada dahi, pejaman mata, plika nasolabialis
dan sudut mulut. Bila asimetri muka jelas, maka hal ini disebabkan oleh
kelumpuhan jenis perifer. Dalam ini kerutan dahi menghilang, mata kurang
dipejamkan, plika nasolabialis mendatar dan sudut mulut menjadi lebih rendah. Pada
kelumpuhan jenis sentral, muka dapat simetris waktu istirahat, kelumpuhan baru
B. 1987)
Minta pasien untuk mengangkat kedua alis kemudian nilai apakah simetris atau
tidak. Kemudian minta pasien untuk mengerutkan dahi, nilai apakah musculus
atau tidak. Pada kelumpuhan jenis supranuklear sesisi, penderita dapat mengangkat
b. Memejamkan mata
Minta pasien untuk memejamkan mata, bila lumpuhnya berat paasien tidak dapat
memejamkan mata; bila lumpuhnya ringan, maka tenaga pejaman mata kurang
kuat. Hal ini dapat dinilai dengan jalan mengangkat kelopak mata dengan tangan
pemeriksa, sedangkan pasien disuruh tetap memejamkan mata. Suruh pula pasien
21
memejamkan matanya satu per satu. Hal ini merupakan pemeriksaan yang baik bagi
parese ringan. Bila terdapat parese, pasien tidak dapat memejamkan matanya pada
sisi yang lumpuh. Disini dinilai apakah musculus orbicularis okuli dapat
berkontraksi dengan baik atau tidak, simetris atau tidak. (Matthew B. 1987)
Minta pasien untuk menyeringai, menunjukkan gigi geligi. Perhatikan apakah hal
ini dapat dilakukan dan apakah simetris, perhatikan sudut mulutnya. Jika pasien
zigomatikus mayor. Pada penderita yang tidak kooperatif atau yang menurun
kesadarannya, dan tidak dapat disuruh menyeringai, dapat dibuat menyeringai bila
diberikan ransangan nyeri, yaitu dengan menekan pada sudut rahangnya (musculus
d. Mencucurkan bibir
Minta pasien untuk mencucurkan bibir. Perhatikan apakah dapat dilakukan dan
apakah simetris. Jika pasien tidak dapat melakukan dengan baik dan asimetris
e. Menggembungkan pipi.
Minta pasien untuk menggembungkan pipi. Perhatikan apakah hal ini dapat
dilakukan dan apakah simetris. Apabila pasien tidak dapat melakukan dengan baik
Minta pasien untuk mengembang kempiskan cuping hidung, nilai apakah simetris
atau tidak. Jika tidak, maka terdapat gangguan persarafan pada musculus nasalis.
2. Fungsi Pengecapan
22
Kerusakan N. VII, sebelum percabangan khorda timpani dapat
menyebabkan ageusi (hilangnya pengecapan) pada 2/3 lidah bagian depan. Untuk
lidahnya bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam (hal ini dilakukan secara bergiliran
dan diselingi istirahat). Bila bubuk ditaruh, pasien tidak boleh menarik lidahnya ke
dalam mulut, sebab bila lidah ditarik ke dalam mulut bubuk akan tersebar
melalui ludah ke bagian lainnya, yaitu sisi lidah lainnya atau ke bagian belakang
lidah yang persarafannya diurus oleh saraf lain. Pasien diminta untuk menyatakan
untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4 untuk rasa asam. Kerusakan pada atau
diatas nervus petrosus mayor dapat menyebabkan kurangnya produksi air mata,
dan lesi khorda timpani dapat menyebabkan kurangnya produksi saliva. (Matthew
B. 1987)
Pemeriksaan radiologi dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk
menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP).
Selain itu MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis.
Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy sudah dikenal sejak tahun 1970 sebagai
23
elektromiografi (EMG) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan
latensi saraf fasialis, serta pada pemeriksaan blink reflex didapatkan pemanjangan
EMG
Amiloidosis.
Sindroma autoimun.
Botulismus.
Karsinomatosis.
24
Malformasi congenital.
Schwannoma N. Fasialis.
2.12 Penatalaksanaan
Kortikosteroid Rujuk
Proteksi dan obat pelindung mata
Obat antivirus, 5-‐10 hari
Facial exercise
a.Pengobatan inisial
25
1. Steroid dan asiklovir (dengan prednison) mungkin efektif untuk pengobatan
4. Antiviral: asiklovir diberikan dengan dosis 400 mg oral 5 kali sehari selama 10
hari. Jika virus varicella zoster dicurigai, dosis tinggi 800 mg oral 5 kali/hari.
b.Lindungi mata
Perawatan mata: lubrikasi okular topikal (artifisial air mata pada siang hari)
sequele.
1. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi yang diberikan pada pasien bells palsy yaitu pemberian obat
a. Kortikosteroid
Dasar untuk pemberian obat kortikosteroid pada bell’s palsy karena inflamasi dan
edema pada nervus fasialis merupakan salah satu penyebab dari Bell’s palsy dan
kerusakan pada saraf dan sehingga hasil meningkat. Pada percobaan yang dilakukan
secara random ditemukan bahwa terapi bells palsy dengan menggunakan prednisolon
dengan lumpuh pada otot wajah dengan pemakaian 72 jam dimulai dari onset
26
dimana tidak dapat kontraindikasi pada terapi steroid. Dosis prednisolon yaitu 60 mg
perawatan ) dan 50 mg per hari dalam 10 hari. Terapi dengan prednisolon lebih
hemat biaya. Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid
jangka panjang (lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes,
ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan
Cushing syndrome.
b. Anti-viral
kortikosteroid. Data-data ini mendukung kombinasi terapi antiviral dan steroid pada
48-72 jam pertama setelah onset. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan
keuntungan penggunaan terapi kombinasi. Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2
tahun adalah 80 mg per kg per hari melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian
selama 10 hari. Sementara untuk dewasa diberikan dengan dosis oral 2 000-4 000
mg per hari yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan
dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk
dewasa adalah 1 000-3 000 mg per hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari.
kadang dapat ditemukan keluhan berupa adalah mual, diare, dan sakit kepala.
27
Rehabilitasi medik menurut WHO adalah semua tindakan yang ditujukan guna
3. Melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat hidup dan bekerja
a. Program fisioterapi
1. Pemanasan
2. Stimulasi listrik
memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya, dengan faradisasi yang tujuannya
adalah untuk menstimulasi otot redukasi dari aksi otot, melatih fungsi otot baru,
28
mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul atau meniup (dilakukan di depan
dengan maksud untuk perbaikan atau pemulihan. Pada fase akut bell’s palsy
diberi gentle massage secara perlahan dan berirama. Hal ini memberikan efek
Setelah lewat fase akut diberi Deep Kneuding Massage sebelum latihan
terhadap pembuluh darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan sisa metabolik,
daerah wajah dibagi 4 daerah yaitu dagu, mulut, hidung dan dahi. Semua gerakan
Pada dasarnya terapi didini memberikan latihan gerakan pada otot wajah.
permainan. Perlu diingat bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi
Penderita bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan
sosial. Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya.
29
kerja, mungkin untuk sementara waktu bekerja pada bagian yang tidak banyak
fasilitas kesehatan di tempat kerja atau melalui keluarga. selain itu memberikan
penyuluhan bahwa kerja sama penderita dengan petugas yang merawat sangat
d. Program Psikologi
Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol, rasa
Dapat dilakukan pemasangan “Y” plester dengan tujuan agar sudut mulut
yang sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan
reaksi intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan “Y” plester dilakukan juka
dalam waktu 3 bulan belum ada perubahan zigomatikus selama parese dan
Edukasi
2. Massage wajah yang sakit kearah atas dengan menggunakan tangan dari sisi wajah
yang sehat
3. Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit, minum
4. Perawatan mata :
30
a. Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3 kali sehari.
2.13 Komplikasi
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul
beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang
salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke
2. Synkinesis
Contohnya yaitu :
- Pada saat mata dipejamkan maka akan timbul gerakan involunter elevasi
- Pada saat memperlihatkan gigi, maka mata penderita pada sisi sakit menjadi
tertutup
- Bila penderita menggerakan suatu bagian wajahnya, maka semua otot wajah
Yaitu timbulnya kedutan paa wajah yang pada stadium awal hanya mengenai 1
sisi wajah saja tetapi kemudian kontraksi ini dapat mengenai pada sisi lainnya.
31
Bila mengenai kedua sisi wajah, maka tidak terjadi bersama-sama pada kedua
2.14 Pencegahan
Ad vitam : bonam
Ad Sanationam : bonam
Ad Fungsionam : bonam
Sembuh spontan pada 75-90% dalam beberapa minggu atau dalam 1-2 bulan.
Kira- kira 10-15% sisanya akan memberikan gambaran kerusakan yang permanen.
(Ludman H. 1981)
32
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bell’s Palsy (BP) adalah suatu kelumpuhan akut nervus fasialis perifer yang tidak
diketahui penyebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang pertama yang meniliti
Fasialis perifer yang tidak diketahui penyebabnya disebut Bell’s palsy. BP menempati
urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial akut. Gambaran klinis
biasanya timbul secara mendadak, penderita menyadari adanya kelumpuhan pada wajahnya
pada waktu bangun tidur atau diberitahukan oleh teman bahwa salah satu sudut mulutnya
lebih rendah. Onset Onset Bells’ palsy mendadak, dan gejala mencapai puncaknya
kurang dari 48 jam. Tujuan pengobatan bells palsy adalah memperbaiki fungsi saraf
untuk pasien dalam 1-4 hari onset. Bells Palsy biasanya Sembuh spontan pada 75-
90% dalam beberapa minggu atau dalam 1-2 bulan. Kira- kira 10-15% sisanya akan
33
34
DAFTAR PUSTAKA
Capildeo R. 1970. Aetiology of Bell’s Palsy, In: Rose FC, eds. Clinical
Neuroimmunology. Oxford: Blackwell Scintific Publ.
Hadinoto S, DKK. 1990. Gangguan Gerak. Fakultas Kedokteran Universitas
Dipenogoro.
Karnes B. 1985. Bell’s Palsy, In:Johnson RT, eds, Current Therapy in Neurologic
Disease 1985-1986. Philadelphia: BC Decker Inc.
Kementrian Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 5 tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta.
Ludman H. 1981. Facial Palsy. BMJ.
Margono, Widjaja D, Tjondronoto dkk. Perbandingan Pengobatan Secara Buta
Ganda antara Fluocortolone dengan Serratiopeptidase pada Penderita Bell’s
Palsy.
Matthew B. 1987. Bell’s Palsy, In: Gibberd FB, eds. Medicine International.
2(16):1985-7.
McGovern FH & Estevez J. 1980. The use of Cromalyn Sodium in The Prevention of
Nerve Degeration in Bell’s Palsy. The Laryngoscope.
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS SARAF INDONESIA. 2006. Standar
Pelayanan Medis(SPM) & Standar Prosedur Operasional (SPO). Jakarta.
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS SARAF INDONESIA. 2016. Neurologi.
Jakarta.
Stennert E. 1981. Pathomechanism in Cell Metabolism: A Key to Treatment of Bell’s
Palsy. Ann Otot.
Willbrand JW, Blumhagen JD, May M. 1974. Inherited Bell’sPalsy. Ann Otot
1974;83:343-6.