Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bell’s Palsy merupakan suatu kelumpuhan akut nervus fasialis perifer
yang tidak diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang
pertama meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua
kelumpuhan nevus fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell’s
palsy (Sukardi, 2004). Juga dikatakan Bell’s palsy atau prosoplegia adalah
kelumpuhan fasialis tipe lower motor neuron (LMN) akibat paralisis nervus
fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui
(idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis
lainnya (Aminoff, 1993, Djamil, 2009, Davis, 2005).
Bell’s palsy merupakan penyakit pada nervus fasialis yang paling sering
terjadi. Prevalensi BP di beberapa negara cukup tinggi. Di Inggris dan Amerika
berturut-turut 22,4 dan 22,8 penderita per 100,000 penduduk per tahun. Di
Belanda (1987) 1 penderita per 5000 orang dewasa dan 1 penderita per 20,000
anak per tahun (Sukardi, 2004). Data yang dikumpulkan di 4 rumah sakit di
Indonesia diperoleh frekuensi BP sebesar 19,55% dari seluruh kasus neuropati,
dan terbanyak terjadi pada usia 21-30 tahun. Penderita diabetes mempunyai
resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. BP mengenai laki-laki dan
wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang
berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok
umur yang sama. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca
persalinan kemungkinan timbulnya BP lebih tinggi daripada wanita tidak hamil,
bahkan bisa mencapai 10 kali lipat (Djamil, 2009).
Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur, dan setiap saat tidak
didapatkan perbedaan insidensi antara iklim panas maupun dingin. Meskipun
begitu pada beberapa penderita didapatkan riwayat terkena udara dingin, baik

1
kendaraan dengan jendela terbuka, tidur di lantai, atau bergadang sebelum
menderita Bells Palsy (Suprayanti, 2008).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Bell’s Palsy pertama sekali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang
anatomis dan dokter bedah bernama Sir Charles Bell (Lowis & Gaharu 2012).
Bell’s palsy adalah kelemahan atau kelumpuhan saraf perifer wajah secara akut
(acute onset) pada sisi sebelah wajah (de Almeida et al., 2014).

2.2 Epidemiologi
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis
fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986
dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat,
insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63%
mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per
100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi,
dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan
perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun
lebih rentan terkena dari pada laki-laki pada kelompok umur yang sama.
Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada
umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca
persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita
tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.

2.3 Etiologi
Penyebab dari kelainan Bell’s palsy ini masih belum diketahui secara
jelas, namun beberapa penulis menyebutkan bahwa virus merupakan salah satu
penyebabnya, dan virus herpes disebutkan sebagai agen infektif yang dapat
menyebabkan peradangan atau inflamasi pada saraf [3]. Mekanisme pasti yang

3
terjadi akibat infeksi ini yang menyebabkan penyakit belum diketahui. Inflamasi
dan edema diduga muncul akibat infeksi. Nervus fasialis yang berjalan melewati
terowongan sempit menjadi terjepit karena edema ini dan menyebabkan
kerusakan saraf tersebut baik secara sementara maupun permanen (Baugh et al.
2013). Virus yang menyebabkan infeksi ini diduga adalah herpes simpleks (de
Almeida et al. 2014).

2.4 Patofisiologi
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan
terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan
diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat
melalui tulang temporal (Mardjono,2003, Davis,2005).
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis
fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu
keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut,
adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari
konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bias mendapat
gangguan di lintasan supranuklear, nuclear dan infranuklear. Lesi supranuklear
bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar
ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik
wajah di korteks motorik primer (Mardjono,2003).
Nervus fasialis terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan
menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di
sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen
stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang
terletak di daerah sekitar inti nervusabdusens dan fasikulus longitudinalis
medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan
muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis

4
nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral
dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah).
Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy
adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang
menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini
menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion
genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN (Mardjono,2003).
2.5 Gejala Klinis
Manifestasi klinis Bell’s palsy dapat berbeda tergantung lesi pada
perjalanan saraf fasialis. Bila lesi di foramen stylomastoideus, dapat terjadi
gangguan komplit yang menyebabkan paralisis semua ototekspresi wajah. Saat
menutup kelopak mata, kedua matamelakukan rotasi ke atas (Bell’s
phenomenon). Selain itu, mata dapat terasa berair karena aliran air mata ke
sakuslakrimalis yang dibantu muskulus orbikularis okuli terganggu. Manifestasi
komplit lainnya ditunjukkan dengan makanan yang tersimpan antara gigi dan
pipi akibat gangguan gerakan wajah dan air liur keluar dari sudut mulut (Lowis
& Gaharu, 2012).
Lesi di kanalis fasialis (di atas persimpangan dengan korda timpani
tetapi di bawah ganglion genikulatum) akan menunjukkan semua gejala seperti
lesi di foramen stylomastoid ditambah pengecapan menghilang pada dua per tiga
anterior lidah pada sisi yang sama (Lowis & Gaharu, 2012)
Lesi yang terjadi di saraf yang menuju ke muskulus stapedius dapat
mengakibatkan hiperakusis (sensitivitas nyeri terhadapsuara keras). Selain itu,
lesi pada ganglion genikulatum akan menimbulkan lakrimasi dan berkurangnya
salivasi sertadapat melibatkan saraf kedelapan (Lowis & Gaharu, 2012). Pasien
dengan Bell’s palsy juga dapat mengalami mata dan mulut yang kering,
kehilangan atau gangguan rasa (taste), hiperakusis dan penurunan (sagging)
kelopak mata atau sudut mulut (Baugh et al, 2013).

5
2.6 Diagnosis
Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis
dan pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan
adanya parese dari nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat
memejamkan mata dan adanya rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan augesia
juga dapat ditemukan.

a. Anamnesis.
Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa
bahwa mereka menderita stroke atau tumor intrakranial. Hampir semua
keluhan yang disampaikan adalah kelemahan pada salah satu sisi wajah.
- Nyeri postauricular: Hampir 50% pasien menderita nyeri di regio mastoid.
Nyeri sering muncul secara simultan disertai dengan paresis, tetapi paresis
muncul dalam 2-3 hari pada sekitar 25% pasien.
- Aliran air mata: Dua pertiga pasien mengeluh mengenai aliran air mata
mereka. Ini disebabkan akibat penurunan fungsi orbicularis oculi dalam
mengalirkan air mata. Hanya sedikit air mata yang dapat mengalir hingga
saccus lacrimalis dan terjadi kelebihan cairan. Produksi air mata tidak
dipercepat.
- Perubahan rasa: Hanya sepertiga pasien mengeluh tentang gangguan rasa,
empat per lima pasien menunjukkan penurunan rasa. Hal ini terjadi akibat
hanya setengah bagian lidah yang terlibat.
- Mata kering.
- Hyperacusis: kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada telinga
akibat peningkatan iritabilitas mekanisme neuron sensoris.
b. Pemeriksaan fisik.
Gambaran paralisis wajah mudah dikenali pada pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan yang lengkap dan tepat dapat menyingkirkan kemungkinan

6
penyebab lain paralisis wajah. Pikirkan etiologi lain jika semua cabang nervus
facialis tidak mengalami gangguan.
- Definisi klasik Bell palsy menjelaskan tentang keterlibatan motoneuron
dari nervus facialis, meskipun nervus cranialis lain juga dapat terlibat.
Nervus facialis merupakan satu-satunya nervus cranialis yang
menunjukkan gambaran gangguan pada pemeriksaan fisik karena
perjalanan anatomisnya dari otak ke wajah bagian lateral.
- Kelamahan dan/atau paralisis akibat gangguan pada nervus facialis tampak
sebagai kelemahan seluruh wajah (bagian atas dan bawah) pada sisi yang
diserang. Perhatikan gerakan volunter bagian atas wajah pada sisi yang
diserang.
- Pada lesi supranuklear seperti stroke kortikal (neuron motorik atas di atas
nucleus facialis di pons), dimana sepertiga atas wajah mengalami
kelemahan dan dua per tiga bagian bawahnya mengalami paralisis.
Musculus orbicularis, frontalis dan corrugator diinervasi secara bilateral,
sehingga dapat dimengerti mengenai pola paralisis wajah.
- Lakukan pemeriksaan nervus cranialis lain: hasil pemeriksaan biasanya
normal.
- Membran timpani tidak boleh mengalami inflamasi; infeksi yang tampak
meningkatkan kemungkinan adanya otitis media yang mengalami
komplikasi.
c. Pemeriksaan laboratorium.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan
diagnosis Bell’s palsy. Namun pemeriksaan kadar gula darah atau HbA1c
dapat dipertimbangkan untuk mengetahui apakah pasien tersebut menderita
diabetes atau tidak. Pemeriksaan kadar serum HSV juga bisa dilakukan
namun ini biasanya tidak dapat menentukan dari mana virus tersebut berasal.

7
d. Pemeriksaan radiologi.
Bila dari anamneses dan pemeriksaan fisik telah mengarahkan ke
diagnose Bell’s palsy maka pemeriksaan radiologi tidak diperlukan lagi,
karena pasien-pasien dengan Bell’s palsy umumnya akan mengalami
perbaikan dalam 8-10 minggu. Bila tidak ada perbaikan ataupun mengalami
perburukan, pencitraan mungkin akan membantu. MRI mungkin dapat
menunjukkan adanya tumor (misalnya Schwannoma, hemangioma,
meningioma). Bila pasien memiliki riwayat trauma maka pemeriksaan CT-
Scan harus dilakukan.

2.7 Penatalaksanaan
1. Istirahat terutama pada keadaan akut
2. Medikamentosa
a. Agen antiviral.
Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang
menunjukkan efektifitas obat-obat antivirus pada Bell’s palsy, hampir
semua ahli percaya pada etiologi virus. Penemuan genom virus disekitar
nervus fasialis memungkinkan digunakannya agen-agen antivirus pada
penatalaksanaan Bell’s palsy. Oleh karena itu, zat antiviral merupakan
pilihan yang logis sebagai penatalaksaan farmakologis dan sering
dianjurkan pemberiannya. Acyclovir 400 mg selama 10 hari dapat
digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy. Acyclovir akan berguna
jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah
replikasi virus (Sjahrir, 2003).

Nama obat Acyclovir (Zovirax) – menunjukkan aktivitas hambatan


langsung melawan HSV-1 dan HSV-2, dan sel yang
terinfeksi secara selektif.

8
Dosis dewasa 4000 mg/24 jam peroral selama 7-10 hari.

Dosis pediatric < 2 tahun : tidak dianjurkan.

> 2 tahun : 1000 mg peroral dibagi 4 dosis selama 10


hari.

Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas.

Interaksi obat Penggunaan bersama dengan probenecid atau


zidovudine dapat memperpanjang waktu paruh dan
meningkatkan toksisitas acyclovir terhadap SSP.

Kehamilan C – keamanan penggunaan selama kehamilan belum


pernah dilaporkan.

Perhatian Hati-hati pada gagal ginjal atau bila menggunakan obat


yang bersifat nefrotoksik.

b. Kortikosteroid.
Pengobatan Bell’s palsy dengan menggunakan steroid masih
merpakan suatu kontroversi. Berbagai artikel penelitian telah diterbitkan
mengenai keuntungan dan kerugian pemberian steroid pada Bell’s palsy.
Para peneliti lebih cenderung memilih menggunakan steroid untuk
memperoleh hasil yang lebih baik. Bila telah diputuskan untuk
menggunakan steroid, maka harus segera dilakukan konsensus. Prednison
dengan dosis 40-60 mg/ hari per oral atau 1 mg/ kgBB/ hari selama 3
hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian, dimana
pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya
untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien.

9
Nama obat Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred) – efek
farmakologis yang berguna adalah efek
antiinflamasinya, yang menurunkan kompresi nervus
facialis di canalis facialis.

Dosis dewasa 1 mg/kg/hari peroral selama 7 hari.

Dosis Pemberian sama dengan dosis dewasa.


pediatric

Kontraindika Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas; infeksi


si virus, jamur, jaringan konektif, dan infeksi kulit
tuberkuler; penyakit tukak lambung; disfungsi
hepatik; penyakit gastrointestinal.

Interaksi Pemberian bersamaan dengan estrogen dapat


obat menurunkan klirens prednisone; penggunaan dengan
digoksin dapat menyebabkan toksisitas digitalis
akibat hipokalemia; fenobarbital, fenitoin, dan
rifampin dapat meningkatkan metabolisme
glukokortikoid (tingkatkan dosis pemeliharaan);
monitor hipokalemia bila pemberian bersama dengan
obat diuretik.

Kehamilan B – biasanya aman tetapi keuntungan obat ini dapat


memperberat resiko.

Perhatian Penghentian pemberian glukokortikoid secara tiba-


tiba dapat menyebabkan krisis adrenal;
hiperglikemia, edema, osteonekrosis, miopati,
penyakit tukak lambung, hipokalemia, osteoporosis,

10
euforia, psikosis, myasthenia gravis, penurunan
pertumbuhan, dan infeksi dapat muncul dengan
penggunaan bersama glukokortikoid.

c. Perawatan mata.
Mata sering tidak terlindungi pada pasien-psien dengan Bell’s
palsy. Sehingga pada mata beresiko terjadinya kekeringan kornea dan
terpapar benda asing. Atasi dengan pemberian air mata pengganti,
lubrikan, dan pelindung mata.
- Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk
mengganti air mata yang kurang atau tidak ada.
- Lubrikan digunakan saat sedang tidur. Dapat juga digunakan saat
terbangun jika air mata pengganti tidak cukup melindungi mata. Salah
satu kerugiannya adalah pandangan kabur selama pasien terbangun.
- Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas dan
mengurangi kekeringan dengan menurunkan jumlah udara yang
mengalami kontak langsung dengan kornea.
d. Konsultasi.
Dokter yang menangani pasien ini harus melakukan pemeriksaan
lanjutan yang ketat. Dokumentasi yang dilakukan harus mencakup
kemajuan penyembuhan pasien. Berbagai pendapat muncul mengenai
perlunya rujukan ke dokter spesialis. Indikasi untuk merujuk adalah
sebagai berikut:
- Ahli neurologi: bila dijumpai tanda-tanda neurologik pada
pemeriksaan fisik dan tanda-tanda yang tidak khas dari Bell palsy,
maka segera dirujuk.

11
- Ahli penyakit mata: bila terjadi nyeri okuler yang tidak jelas atau
gambaran yang abnormal pada pemeriksaan fisik, pasien harus
dirujuk untuk pemeriksaan lanjutan.
- Ahli otolaryngologi: pada pasien-pasien dengan paralisis persisten,
kelemahan otot wajah yang lama, atau kelemahan yang rekuren,
sebaiknya dirujuk.
- Ahli bedah: pembedahan untuk membebaskan nervus facialis kadang
dianjurkan untuk pasien dengan Bell palsy. Pasien dengan prognosis
yang buruk setelah pemeriksaan nervus facialis atau paralisis
persisten cukup baik untuk dilakukan pembedahan.
e. Fisioterapi
- Infra Red dan Electrical Stimulation Meningkatkan Kekuatan Otot-
Otot Wajah
Infra Red adalah pancaran gelombang elektromagnetik
dengan panjang gelombang 7700 – 4 juta Aº. Infra Red diberikan
dengan tujuan mengurangi nyeri, dapat mengurangi pembengkakan
dan meningkatkan suplai darah. Adanya kenaikan temperatur akan
menimbulkan vasodilatasi, yang akan menyebabkan terjadinya
peningkatan darah kejaringan setempat dan menghilangkan sisasisa
hasil metabolisme yang penyinarannya menggunakan sinar Infra Red
yang mempunyai efek panas yang dapat memperlancar peredaran
darah sehingga pemberian kebutuhan jaringan akan O2 terpenuhi
dengan sangat baik dan memperlancar berkurangnya rasa nyeri atau
hilang tetapi pasien saya dengan kasus Bell’s Palsy Dextra tidak
mengalami nyeri dengan diberikan infrred untuk merileksasikan otot-
otot wajahnya (Sujatno, 2002).
Electrical Stimulation adalah arus bolak-balik yang tidak
simetris, digunakan untuk stimulasi otot. Electrical Stimulation yang
digunakan berupa arus Faradik. Arus faradik adalah arus listrik bolak-

12
balik yang tidak simetris yang mempunyai durasi 0,01-1 ms dengan
frekuensi 50-100 Hz, yang digunakan untuk stimulasi otot (Sujatno,
2002).
- Massage dan Mirror Exercise Meningkatkan Kemampuan Fungsional
Otot Wajah.
Massage adalah suatu pijatan dengan menggunakan tangan
untuk memijat wajah yg mengalami kelemahan otot-otot wajah yang
mengalami lesi sebelah kanan. Tujuan diberikannya massage di wajah
untuk penguluran pada otot-otot wajah yang letaknya superfisial
sehingga perlengketan jaringan dapat dicegah, selain itu memberikan
efek rileksasi dan mengurangi rasa kaku pada wajah dan gerakanya
secara gentle (Trisno, 2011).
Mirror Exercise adalah salah satu bentuk terapi latihan
yang menggunakan cermin dalam pelaksanaanya mirror exercise ini
sebaiknya dilakukan ditempat yang tenang dan tersendiri agar pasien
bisa lebih berkonsentrasi terhadap latihan-latihan gerakan pada
wajah. Pada pasien ini pemberian mirror exercise dilakukan setelah
pemberian electrical stimulation dan merupakan salah satu home
program. Gerakkan-gerakkan mirror exercise yang diberikan sesuai
dengan problematika pada pasien dan sesuai dengan fungsi otot-otot
ekspresi wajah (Raj, 2006).
f. Operasi
Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak- anak karena
dapat menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial. Tindakan operatif
dilakukan apabila :
- Tidak terdapat penyembuhan spontan
- Tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednisone
- Pada pemeriksaan elektrik terdapat denervasi total. Beberapa tindakan
operatif yang dapat dikerjakan pada BP antara lain dekompresi n. fasialis

13
yaitu membuka kanalis fasialis pars piramidalis mulai dari foramen
stilomastoideum nerve graft operasi plastik untuk kosmetik (muscle sling,
tarsoraphi) (Sukardi, 2004, Davis, 2005).
2.8 Komplikasi
1. Crocodile tear phenomenon.
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini
timbul beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari
regenerasi yang salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva
tetapi menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion
genikulatum.
2. Synkinesis
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau
tersendiri. selalu timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh
memejamkan mata, maka akan timbul gerakan (involunter) elevasi sudut
mulut,kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi. Penyebabnya adalah
innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami regenerasi bersambung
dengan serabut-serabut otot yang salah.
3. Tic Facialis sampai Hemifacial Spasme
Timbul kedutan pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan
tidak terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium
awal hanya mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai
pada sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme
ini. Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul
dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian.

2.9 Prognosis
Perjalanan alamiah Bell’s palsy bervariasi dari perbaikankomplit dini
sampai cedera saraf substansial dengan sekuelepermanen. Sekitar 80-90% pasien
dengan Bell’s palsy sembuhtotal dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus

14
membaik dalam 3 minggu.Sekitar 10% mengalami asimetri muskulusfasialis
persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren
(Lowis & Gaharu, 2012).
Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalahpalsi komplit
(risiko sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes,adanya nyeri hebat post-
aurikular, gangguan pengecapan,refleks stapedius, wanita hamil dengan Bell’s
palsy,bukti denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat),dan kasus
dengan penyengatan kontras yang jelas (Lowis & Gaharu, 2012).
Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis
parsial inkomplit pada fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid
dini, penyembuhan awal dan/atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu
pertama (Lowis & Gaharu, 2012).

15
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang
tidak diketahui sebabnya. Penyebab kelumpuhan n. fasialis perifer sampai
sekarang belum diketahui secara pasti. Umumnya dapat dibagi menjadi
Kongenital dan didapat. bells palsy sering menimbulkan gejala seperti mulut
tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata tidak dapat
dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya
maka bola mata tampak berputar. Penatalaksanaan untuk bells palsy yaitu
istirahat, medikamentosa, fisioterapi, operasi. Penderita Bell’s palsy dapat
sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.

16
DAFTAR PUSTAKA

Afzal Mir. 2003. Atlas of Clinical Diagnosis, 2 ed. Saunders, London.


De Almeida, JR. et al. 2014. Management Of Bell Palsy: Clinical Practice Guideline.
CMAJ : Canadian Med. Ass. J, Vol. 186(12), pp. 917– 922
Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon, RP. 1993. Mononeuropathy Simplex. A Lange
Medical Book Clinical Neurology. 3th ed. USA: Appleton & Lange; p 171
Baugh, RF. et al., (2013). Clinical Practice Guideline: Bell’s Palsy, Otolaryngology-
Head and Neck Surg. J., Vol.149,pp.S1–S27.
Davis Larry E, Molly K. King,Jessica L. Schultz, 2005, Bells palsy in Fundamentals
of Neurologic Disease , Demos Medical Publishing New York; 63-64.
Djamil Y, A Basjiruddin. 2009. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta
neurologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hal 297-300
Lowis, H., Gaharu, MN. (2012). Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di
Pelayanan Primer. J of Indonesia Med. Ass.,Vol.62(1), pp.32.

Mardjono, M. Sidharta, P. 2005. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis


Dasar, 5th ed. Jakarta : PT Dian Rakyat. 159-163.
Monnel, K., Zachariah, S., Khoromi, S. 2009. Bell’s Palsy. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/1146903.
Raj, G. 2006. Physicaltherapy in Neuro-conditions. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Published.

Ropper AH, Brown RH, 2003, Adams and Victor’s Principles of Neurology. 8th ed.
New York: MacGraw-Hill; 1180-1182.
Seta D D, Mancini P, Minni, A, Prosperini L, Seta E D, Attanasio G, Covelli E, Carlo
A D, Filipo R., et al. Bell’s Palsy: Symptoms Preceding and Accompanying
the Facial Paresis. The Scientific World Journal. 2014: 6

Sjahrir, Hasan. 2003. Nervus Fasialis. Medan ;Yandira Agung,

17
Sujatno, Ig. 2002. Sumber Fisis. Politeknik Kesehatan Surakarta Jurusan Fisioterapi.
Surakarta.

Sukardi, Nara P, 2004, Bell’s Palsy, cermin dunia kedokteran edisi IV: 72-76

Suprayanti Y, 2008, Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Bell’s Palsy Sinistra di Rsud


Dr. Moewardi Surakarta, Jurnal Ilmu Kesehatan Universitas Muhamadiyah
Surakarta

Trisno W. B. 2011. Remidial Massage Paduan Pijat Penyembuhan Bagi Fisioterapi,


dan Intruktur. Yogyakarta: Nuha Medika.

18

Anda mungkin juga menyukai