Anda di halaman 1dari 24

Refarat

BELL’S PALSI

Diajukan Sebagai Salah Satu


Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada bagian/SMF Saraf di RSU Meuraxa Kota
Banda Aceh Fakultas Kedokteran Universitas
Abulyatama

Oleh :
Elsy Oktamulyanisa 20174039

Pembimbing :
dr. Mizfaruddin M.Kes.Sp.S

BAGIAN/SMF SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS ABULYATAMA RUMAH SAKIT
UMUM MEURAXA BANDA ACEH 2021

i
ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................................................iI

BAB 1 PENDAHULUAN...............................................................................................................1

1.1 LATAR BELAKANG......................................................................................................1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................................2

2.1 DEFINISI..........................................................................................................................2

2.2 EPIDEMIOLOGI..............................................................................................................2

2.3 ETIOLOGI........................................................................................................................2

2.4 PATOGENESIS................................................................................................................3

2.5 PATOFISIOLOGI.............................................................................................................6

2.6 SIGN & SYMTOMPS......................................................................................................9

2.7 DIAGNOSA......................................................................................................................9

2.8 DIAGNOSA BANDING................................................................................................16

2.9 TERAPI...........................................................................................................................17

2.10 PROGNOSIS..................................................................................................................18

2.11 KOMPLIKASI................................................................................................................18

2.12 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................21

ii
i
BAB 1 palsy ini berkisar 23 kasus per 100.000 orang setiap
PENDAHULUAN
tahunnya. Berdasarkan manifestasi klinisnya, terkadang
masyarakat awam mengganggap sindrom bell’s palsy
1.1 LATAR
BELAKA sebagai serangan stroke atau yang berhubungan dengan
NG tumor sehingga perlu diketahui penerapan klinis sindrom
Bell’s bell’s palsy tanpa melupakan diagnosa banding yang
palsy merupakan kemungkinan diperoleh dari klinis yang sama.
kelemahan Masalah kecacatan yang ditimbulkan oleh Bell’s
ataupun palsy cukup kompleks, yaitu meliputi impairment (kelainan
kelumpuhan di tingkat organ) berupa ketidak-simetrisnya wajah, kaku dan
saraf fasialis bahkan bisa berakibatnya terjadi kontraktur; disability /
perifer, bersifat ketidakmampuan (di tingkat individu) berupa keterbatasan
akut, dan dalam aktivitas sehari-hari berupa gangguan makan dan
penyebabnya minum, gangguan menutup mata, serta gangguan berbicara
belum diketahui dan ekspresi wajah; handicap (di tingkat lingkungan) berupa
secara pasti keterkaitan dalam profesi terutama di bidang entertainment;
(idiopatik). dan masalah selanjutnya dari segi psikologis penderita.
Bell’s palsy ini
pertama kali
diperkenalkan
pada tahun 1812 BAB ll
oleh Sir Charles TINJAUAN PUSTAKA
Bell, seorang 2.1 DEFINISI
peneliti
scotlandia, yang
mempelajari
mengenai
persarafan otot-
otot wajah.
Insiden
sindrom bell’s

iv
Bell’s palsy adalah supuratif,non-neoplasmatik, non-degeneratif dan akibat edema di
kelumpuhan saraf bagian saraf fasialis foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal
fasialis perifer akibat dari foramen tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri
proses non- tanpa pengobatan (S

2.2 EPIDEMIOLOGI
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di
dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah
ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar
23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30
kasus per 100.000 populasi.

2.3 ETIOLOGI
Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat dikelompokkan sebagai
berikut.
A. Idiopatik
Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang disebut bell’s palsy.
Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s Palsy antara lain : sesudah
bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres,
hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor
genetik.
B. Kongenital
a. anomali kongenital (sindroma Moebius)
b. trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)
C. Didapat
a. Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
b. Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll)
c. Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)

v
d. Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll)
e. Sindroma paralisis n. fasialis familial

Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bell’s palsy, tetapi ada 4 teori yang dihubungkan
dengan etiologi Bell’s palsy yaitu :
1. Teori Iskemik vaskuler
Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan regulasi sirkulasi
darah di kanalis fasialis.
2. Teori infeksi virus
Virus yang dianggap paling banyak bertanggung jawab adalah Herpes Simplex Virus (HSV),
yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV (khususnya tipe 1).
3. Teori herediter
Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan atau keluarga
tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis.
4. Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang timbul
sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi

2.4 PATOGENESIS
Mekanisme bell’s palsy telah diperdebatkan selama beberapa dekade, dengan penyebab
neuropathy tetap sukar dipahami dengan beberapa teori yang ada. Salah satu teori menjelaskan
bahwa Bell’s palsy adalah penyakit demyelinasi akut, yang mungkin mempunyai mekanisme
patogenesis yang mirip Guillain-Barre syndrome. Diduga bahwa keduanya adalah inflamasi
neuritis demyelinasi dimana Bell’s palsy dapat dipertimbangkan sebagai varian mononeuritis
dari Guillain-Barre.

Patogenesis Bell’s palsy diduga berasal dari edema kompresi epineural retrograde dengan
ischemia pada N.facialis. Walaupun etiologinya masih belum jelas, teori yang menarik berasal
dari vasospasme, dari beberapa penyebab, sepanjang cabang N.facialis, mungkin juga
melibatkan chorda tympani, keterlibatan primer umum. Distensi vaskular retrograde dan edema,
di dalam epineurium dari canalis facialis tulang, menekan saraf dari luar selubung
perineurium. Gaya tekanan mungkin ringan

vi
atau berat, menyebabkan variasi derajat degenerasi ischemia reversible atau irreversible selubung
myelin dan axon, dengan derajat bervariasi dair reaksi seluler terhadap kerusakan myelin.

Edema mungkin diserap, yang meninggalkan kerusakan saraf reversible atau irreversible,
atau mungkin menstimulasi pembentukan kolagen di dalam epineurium, dengan neuropathy
kompresi fibrous yang menetap N.facialis. Konsep ini konsisten dengan hasil bervariasi Bell’s
palsy, dan bergantung pada derajat dan durasi edema, dan dimana fibrosis terjadi di dalam
epineurium canalis facialis. Fibrosis epineural juga menyebabkan gangguan pertukaran metabolik
melalui jaringan epineurial-perineurial-endoneurial, dan mungkin menyebabkan obliterasi
drainase vaskular.

Berdasarkan data terbaru, penyebab dugaan dapat karena reaktivasi infeksi herpes virus
laten dalam ganglion geniculatum, dan migrasi berikutnya ke N. VII. HSV-1 dan HZV mungkin
merupakan penyebab, dengan HZV yang dianggap lebih agresif karena ini menyebar sepanjang
saraf melalui sel satelit ). Data tersebut didukung dengan berhasilnya isolasi DNA HSV-1 dari
cairan endoneural N.facialis melalui PCR selama fase akut Bell’s palsy N.facialis membengkak
dan mengalami inflamasi sebagai reaksi terhadap infeksi, yang menyebabkan tekanan di dalam
Canalis Fallopian dan menyebabkan iskemia (restriksi darah dan oksigen menuju sel saraf).
Dalam beberapa kasus ringan (dimana penyembuhan berlangsung cepat), terdapat kerusakan
hanya pada selubung myelin saraf Sebagaimana disebutkan sebelumnya, literatur mendukung
inflamasi yang dimediasi HSV menyebabkan kompresi dan gambaran klinis facial paralysis.

vii
Gambar 2.1

Akhir-akhir ini, vaksin influenza intranasal inaktif juga berkaitan dengan bell’s palsy
Mutsch et al. Melakukan studi kasus kontrol dengan analisis serial kasus, pada 773 pasien bell’s
palsy yang mendapatkan vaksin flu. Setelah mengatur variabel lain, mereka melaporkan bahwa
terdapat hubungan spesifik dan sementara; resiko terjadinya bell’s palsy pada pasien yang
mendapat vaksin mencapai 19x kelompok kontrol tanpa vaksin flu. Penelitian Mutsch
menemukan insiden puncak Bell’s palsy pada 31-60 hari setelah vaksinasi. Dari data tersebut,
diduga bahwa aktivasi Bell’s pallsy bukan karena efek toksik langsung dari vaksin, melainkan
karena penyakit autoimmune atau reaktivasi HSV. Ini penting untuk mengingat bahwa vaksin
intranasal tidak lama dalam penggunaan klinis. Tidak ada hubungan antara palsy dengan vaksin
flu parenteral.

Penyebab infeksi lain bell’s palsy yang diketahui meliputi: adenovirus, coxsackie virus,
CMV, EBV, influenza, mumps, dan rubella, Rickettsia adalah penyebab infeksi yang jarang.
Dugaan penyebab non-infeksi meliputi proses autoimun seperti Ensefalopati
Hashimoto,ischemia dari atherosclerosis yang mengarah pada edema N.facialis dan familial,
dengan sekitar 4% sampai 8% pasien Bell’s palsy mempunyai riwayat keluarga serupa .

vii
i
Kondisi lain penyebab bell’s palsy antara lain lesi struktural dalam telinga atau kelenjar
parotis (contoh cholesteatoma, tumor saliva) dapat memproduksi kompresi dan paralisis
N.facialis. Penyebab lain palsy nervus perifer meliputi Guillain-Barre syndrome, Lyme disease,
otitis media, Ramsay Hunt sydnrome (outbreak herpes zooster dalam distribusi nervus facialis),
sarcoidosis. Penyebab-penyebab tersebut mempunyai gambaran lain yang dapat membedakannya
dari Bell’s palsy, Kerusakan langsung pada N.facialis karena trauma pada wajah atau fraktur
tengkorak juga dapat menyebabkan bell’s palsy

2.5 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi pasti Bell’s palsy masih diperdebatkan. Perjalanan N.facialis melalui bagian
os temporalis umumnya disebut sebagai facial canal. Sebuah teori populer menduga edema dan
ischemia berasal dari kompresi N.facialis di dalam kanal tulang ini. Penyebab edema dan
iskemia masih belum diketahui. Kompresi ini telah nampak dalam scan MRI dengan fokus
N.facialis.

Bagian pertama dari canalis facialis, segmen labyrinthine, adalah yang paling sempit;
foramen meatus dalam segmen ini hanya mempunyai diameter 0,66 mm. Ini adalah lokasi yang
diduga paling sering terjadi kompresi N.facialis pada Bell palsy. Karena sempitnya canalis
facialis, ini nampaknya logis bahwa inflamasi, demyelinasi, iskemia, atau proses kompresi
mungkin mengganggu konduksi neural pada tempat ini .

ix
Gambar 2.2

Kerusakan pada N.facialis dalam Bell Palsy bersifat perifer terhadap nucleus saraf.
Lokasi kerusakan diduga dekat atau pada ganglion geniculatum. Jika lesi proksimal dari
ganglion geniculatum, paralysis motorik diikuti dengan abnormalitas gustatory dan autonom.
Lesi antara ganglion geniculatum dan awal chorda tympani menyebabkan efek sama, namun
tanpa gangguan lakrimasi. Jika lesi berada pada foramen stylomastoideus, ini mungkin hanya
menyebabkan paralisis wajah .

x
Gambar 2.3

Gambar 2.4

xi
2.6 SIGN & SYMTOMPS

Onset Bell’s palsy adalah akut, sekitar satu - setengah dari kasus mencapai kelumpuhan
maksimum dalam 48 jam dan hampir semua berjalan dalam waktu 5 hari . Nyeri di belakang
telinga bisa mendahului kelumpuhan selama satu atau dua hari dan dalam beberapa pasien cukup
intens dan terus-menerus.

Terganggunya facial nerve yang complit pada foramen stylomastoid dapat


menyebabkan kelumpuhan pada keseluruhan otot ekspresi wajah. Sudut mulut jatuh, garis dan
lipatan kulit juga terpengaruh, garis dahi menghilang, lipatan palpebra melebar, dan lid margin
mata tidak tertutup. Kantong mata bawah dan punctum jatuh, disertai air mata yang menetes
melewati pipi. Makanan yang mengumpul diantara gigi dan pipi dan saliva yang menetes dari
sudut mulut. Pasien juga mengeluh rasa tebal atau mati rasa dan terkadang mengeluh nyeri pada
wajah.

Jika lesi berada pada canal nervus facialis di atas pertemuan dengan chorda tympani
tetapi di bawah ganglion genikulatum, semua gejala bisa timbul ditambah kehilangan rasa pada
lidah 2/3 anterior pada sisi yang sama dengan lesi. Jika lesi juga mempengaruhi saraf pada otot
stapedius maka dapat terjadi hyperakustikus dimana pasien sensitif dan merasa nyeri bila
mendengar suara-suara yang keras. Jika ganglion genikulatum terpengaruh, produksi air mata
dan air liur mungkin berkurang. Lesi pada daerah ini dapat berpengaruh juga pada nervus
delapan yang menyebabkan tuli, tinnitus dan pusing yang berputar (dizziness).

2.7 DIAGNOSA
 Anamnesa
o Perkembangan gejala (perjalanan penyakit dan gejala penyerta)
 Progresif paralisis>3 minggu harus dievaluasi untuk neoplasma
 Kehilangan pendengaran mendadak dan nyeri hebat disertai
paralisis wajah dapat disebabkanoleh Ramsay Hunt Syndrome.
o Riwayat penyakit : stroke, tumor, trauma (yang menyebabkanparalisis)
 Pemeriksaan
o Nervus fasialis

xii
 Inspeksi
a. Kerutan dahi
b. Pejaman mata
c. Plika nasolabialis
d. Sudut mulut

Gambar 2.5

 Motorik
a. Mengangkat alis dan mengererutkan dahi
b. Memejamkan mata
c. Menyeringai (menunjukkan gigi geligi)
d. Mencucurkan bibir
e. Menggembungkan pipi

xii
i
 Sensorik
a. Schirmer test
Digunakan untuk mengetahui fungsi produksi air mata. Menggunakan
kertas lakmus merah 5x50 mm dengan salah satu ujung dilipat dan
diselipkan di kantus medial kiri dan kanan selama 5 menit dengan mata
terpejam. Normal: menjadi biru dan terjadi perembesan 20- 30 mm.

Gambar 2.6

b. Pengecapan 2/3 anterior lidah


Menggunkan cairan Bornstein (4% glukosa, 1% asamsitrat, 2,5% sodium
klorida, 0,075% quinine HCl).Pasien diminta menjulurkan lidah
kemudian dikeringkan dahulu baru dilakukan tes dengan menggunakan
lidi kapas. Rasa manis pada ujung lidah, rasa asam dan asin pada
samping lidah dan rasa pahit pada belakang lidah. Setiap selesai
pemeriksaan, pasien berkumur dengan air hangat

xiv
kuku dan dikeringkan dahulu baru dilanjutkan pemeriksaan berikutnya.

Gambar 2.7

c. Refleks stapedius
Memasang stetoskop pada telinga pasien kemudian dilakukan
pengetukan lembut pada diafragma stetoskop atau dengan menggetarkan
garpu tala 256Hz di dekat stetoskop. Abnormal jika hiperakusis (suara
lebih keras atau nyeri).

Gambar 2.8

Sumber:

xv
o Penunjang
Tidak ada yang spesifik untuk bell’s palsy, namun tes- tes berikut dapat berguna
untuk mengidentifikasi atau menyingkirkan penyakit lain :
a. CBC
b. Glukosa darah, HbA1c
Untuk mengetahui adanya diabetes yang tidak terdiagnosa (orang yang
memiliki diabetes 29% lebih beresiko terkena bell’s palsy)
c. Salivary flow test
Pemeriksa menempatkan kateter kecil pada kelenjar submandibular yang
paralisis dan normal, kemudian pasien diminta menghisap lemon dan
aliran saliva dibandingkan antara kedua kelenjar. Sisi yang normal
menjadi kontrol.

Gambar 2.9

xvi
d. CT-Scan, MRI
CT-Scan digunakan apabila paresis menjadi progesif dan tidak berkurang.
MRI digunakan untuk menyingkirkan kelainan lainnya yang menyebabkan
paralisis atau untuk melihat cerebellopontine angle.
MRI pada pasien bell’s palsy menunjukkan pembengkakan dan
peningkatan yang merata dari N.VII (N. Fasialis) dan ganglion
genikulatum. MRI juga dapat menunjukkan adanya pembengkakan
N.VII yang terjebak di tulang temporal dan tumor yang menekan
N.VII (schwannoma (tersering), hemangioma, meningioma).

Gambar 2.10

xvi
i
 Grading
Menurut House danBrackmann, bell’s palsy dikategorikan menjadi :
Tabel 2.1

Grade Deskripsi Umum Istirahat Gerakan


1 Normal Normal Normal Normal
Sedikit kelemahan
Asimetris ringan
terlihat pada
Disfungsi mulut dan dahi;
pemeriksaan dekat,
2 menutup mata
Ringan dapat Normal
keseluruhan
memiliki sedikit
dengan usaha
sinkinesis
minimal
Jelas namun Dahi: pergerakan
tidak Nampak ringan atau
perbedaan antara sedang
kedua Mata: dapat
Disfungsi Tonus normal
3 sisi; Nampak menutup
Sedang dan
sinkinesis. keseluruhan
simetris
Kontraktur dan dengan usaha
atau spasme Mulut:sedikit
hemifasial namun kelemahan
tidak dengan usaha
berat maksimal
Dahi : -
Mata: tidak
Disfungsi Kelemahan dan Tonus normal menutup sempurna
4 Cukup atau asimetris dan Mulut: asimetris
Berat nyata simetris dengan usaha
maksimal

Dahi : -
Hanya gerak Mata: tidak
5 Disfungsi yang hampir Asimetris menutup sempurna
Berat tidak Nampak Mulut: sedikit
gerakan

Paralisis Tidak ada Tidak ada Tidak ada


6 Total gerakan gerakan gerakan

xvi
ii
2.8 DIAGNOSA BANDING
 Herpes zoster (Ramsay Hunt Syndrome)
Inflamasi n. facialis dan ganglion geniculate yang disebabkan oleh virus varicella zoster.
Biasanya diikuti dengan erupsi vesicular pada membrane mukosa faring, vesikel pada
chonca atau saluran pendengaran externa. Sering melibatkan nervus ke 8 (n.
vestibulocochlearis). Terdapat gejala prodromal sebelumnya seperti malaise, sakit kepala,
demam.
 Lyme disease
Sering bilateral, pada daerah endemic dan diketahui disebabkan oleh gigitan kuku
(erythema chronicum migrans).
 Facial diplegia
Sering disebabkan oleh karena Guillainbarre syndrome, juga dapat disebabkan oleh
sarcoidosis yang dikenal sebagai uveoparotid fever (Heefordt syndrome).
 Sarcoidosis
Granuloma dari sarcoid mempunyai kecenderungan untuk mempengaruhi n. facialis lebih
daripada n. kranialis lainnya. Gejala akut diikuti demam, pembesaran kelenjar parotis,
dan uveitis. Meskipun jarang terjadi tetapi merupakan karakteristik sarcoidosis.
 Tumor
Tumor yang menekan n.facialis dapat menyebabkan facial palsy (meningioma,
cholesteatoma, dermoid, carotid body tumor). Permulaannya tersembunyi dan semakin
lama semakin memburuk.
 Facial Palsy with Pontine Lesions
Dapat disebabkan oleh adanya infark, tumor. Biasanya diikuti dengan acular abduction.
 Melkersson-Rosenthal Syndrome
Merupakan gangguan yang langka dan penyebabnya tidak diketahui. Ditandai dengan
facial paralisis berulang yang akhirnya menetap, labial edema, lipatan lidah. Dapat terjadi
pada anak-anak dan dewasa.
 Hemifacial Spasm

xix
Idiopatik, melibatkan otot wajah disalah satu sisidan diikuti dengan kontraksi yang tidak
beraturan. Kebanyakan dialami oleh wanita dekadeke 5 & ke 6. Kekakuan biasanya
dimulai dari m. Orbicularis oculi kemudian menjalar ke otot lain disisi yang terkena.
 Facial Hemiatrophy ( Parry-Romberg Syndrome)
Terjadi terutama pada wanita, ditandai dengan hilangnya lemak dari kulit dan jaringan
subkutan pada satu atau kedua sisi wajah. Dapat dimulai pada masa remaja atau dewasa.
Perjalanan penyakit lambat.
 HIV infection
Beberapa individu dengan HIV mengalami unilateral atau bilateral Bell’s palsy.

2.9 TERAPI
 Non-Medikamentosa:
1. Penggunaan selotip untuk menutup kelopak mata saat tidur dan eye patch untuk
mencegah pengeringan pada kornea.
2. Fisikal terapi seperti facial massage dan latihan otot dapat mencegah terjadinya
kontraktur pada otot yang paralisa. Pemberian panas pada area yang terpengaruh dapat
mengurangi nyeri

Gambar 2.11

xx
 Medikamentosa
1. Kortikostreoid
Oral kortikosteroid sering diberikan untuk mencegah terjadinya inflamasi saraf pada
pasien dengan Bell’s palsy. Prednisone biasanya diberikan dengan dosis 60-80 mg per
hari selama 5 hari, dan di tappering off 5 hari selanjutnya. Hal ini dapat memperpendek
masa penyembuhan dan meningkatkan hasil akhirnya.

2. Antivirus
Dikarenakan adanya kemungkinan keterlibatan HSV-1 pada Bell’s palsy, maka telah
diteliti efek dari Valacyclovir (1000 mg per hari, diberikan 5-7 hari) dan Acyclovir (400
mg, 5 kali sehari, diberikan 10 hari). Dari hasil penelitian, penggunaan antivirus sendiri
tidak memberikan keuntungan untuk penyembuhan penyakit. Tetapi, penggunaan
Valacyclovir dan prednisone, memberikan hasil yang lebih baik, dibandingkan
penggunaan prednisone sendiri, terutama pada pasien dengan gejala klinis yang parah

3. Analgesic untuk meredakan nyeri, dan methylcellulose eye drops untuk mencegah
kekeringan pada kornea

2.10 PROGNOSIS
Prognosis ummnya sangat baik. Tingkat keparahan kerusakan saraf menentukan proses
penyembuhan. Perbaikannya bertahap dan durasi waktu yang dibutuhkan bervariasi. Dengan
atau tanpa terapi, sebagian besar individu membaik dalam waktu 2 minggu setelah onset gejala
dan membaik secara penuh, fungsinya kembali normal dalam waktu 3-6 bulan. Tetapi untuk
beberapa pasien bisa lebih lama. Pada kasus jarang, gangguan bisa muncul kembali di tempat
yang sama atau di sisi lain wajah.

2.11 KOMPLIKASI
Komplikasi jangka panjang cenderung muncul apabila:
 Pasien terserang palsy komplit, sehingga paralisis pada satu sisi wajah
 Usia lebih dari 60 tahun
 Mengalami nyeri parah saat pertama kali timbul gejala

xxi
 Hipertensi
 Diabetes
 Kehamilan
 N. facialis rusak berat
 Perbaikan tidak ada setelah dua bulan terlewati
 Tidak ada tanda perbaikan setelah empat bulan

Sekitar 14% pasien mungkin terserang Bell’s palsy di kemudian hari, pada sisi wajah lain. Hal
ini cenderung muncul apabila ada riwayat Bell’s palsy pada keluarga.

Komplikasi jangka panjang

Sekitar 2 dari 10 orang mengalami gangguan jangka panjang oleh sebab Bell’s palsy, yang
bisa menimbulkan hal-hal dibawah ini:

 Epifora dan ulkus kornea


Ulkus kornea bisa muncul ketika kelopak mata terlalu lemah untuk menutup secara penuh
dan protective tear film menjad terpengaruh. Sehingga mengarah pada infeksi dan
menyebabkan kebutaan
 Kelemahan wajah
Kelemahan wajah permanen bisa dilihat pada 20-30% pasien setelah terserang Bell’s
palsy.
 Gangguan bicara
Disebabkan kerusakan pada otot wajah
 Synkinesias mata-mulut
Disebabkan n. facialis tumbuh kembali dengan jalan yang beda. Menyebabkan mata
dapat berkedip saat makan, tertawa atau tersenyum, kadang bisa menjadi sangat parah
sehingga mata dapat tertutup penuh saat sedang makan.
 Kontraktur wajah
Otot wajah menjadi kaku, menyebabkan gangguan bentuk seperti mata menjadi kecil,
pipi menjadi tebal atau nasolabial menjadi dalam.
 Sensasi rasa di lidah berkurang

xxi
i
Disebabkan kerusakan syaraf yang tidak membaik penuh.
 Crocodile tears
Menangis saat sedang makan.

Ramsay Hunt syndrome


Bell’s palsy yang disebabkan oleh varicella-zoster virus dapat menyebabkan tmbulnya sindrom
ini. Sindrom ini ditandai dengan adanya vesikel pada lidah dan di dalam liang telinga. Terapinya
dengan steroid dan antiviral.

KESIMPULAN

Bell’s palsy adalah kelumpuhan saraf fasialis perifer akibat edema akut saraf fasialis di foramen
stilomastoideus. Patofisiologi pasti Bell’s palsy masih diperdebatkan. Sebuah teori menduga
edema dan ischemia berasal dari kompresi saraf facialis di dalam kanal tulang tersebut.
Terganggunya saraf facial pada foramen stylomastoid dapat menyebabkan kelumpuhan pada
keseluruhan otot ekspresi wajah. Sudut mulut jatuh, garis dan lipatan kulit juga terpengaruh,
garis dahi menghilang, lipatan palpebra melebar, dan lid margin mata tidak tertutup.
Kortikosteroid ditemukan untuk memperbaiki hasil, ketika digunakan lebih

awal, sementara obat anti-virus belum.

Tingkat keparahan kerusakan syaraf menentukan proses penyembuhan. Perbaikannya bertahap


dan durasi waktu yang dibutuhkan bervariasi.

xxi
ii
DAFTAR PUSTAKA

Adam, R. D., Victor, M. and Ropper, A.H. 2020. Principles of Neurology. 8th.ed. Mc Graw-Hill,
New York.
Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma 8(1) : 137-149, Maret 2019
MEDICINE AND PHARMACY REPORTS Vol. 94 / No. 1 / 2021: 118 - 120

Ann Otol Rhinol Laryngol. Pathogenesis of Bell's palsy. Retrograde epineurial edema and
postedematous fibrous compression neuropathy of the facial nerve. 2019 Jul-Aug;86(4 Pt
1):549-58.

Anonim, 2018, Bell’s Palsy, American Academy Of Otolaryngology- Head And Neck
Surgery,

Anonim, 2019, Facial Nerve Disorders : Bell’s Palsy and Facial Paralysis, University Of
Maryland Medical Center.

Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi;
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2019. hal 297-300.

Handoko lowis, Maulana N Gaharu, 2019, Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di
Pelayanan Primer, Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan,
Departemen Saraf Rumah Sakit Jakarta Medical Center

Mutsch M, Zhou W, Rhodes P, et al. Use of the inactivated intranasal influenza vaccine and the
risk of Bell’s palsy in Switzerland. N Engl J Med. 2017;350(9):896–369

Rahmawati, dkk, 2018, Diagnosis FisikNeurologi, PPDS IlmuPenyakitSaraf, Surabaya:


FakultasKedokteranUnair RSUD Dr.Soetomo, pp.14-16

Schaitkin BM, May M, Podvinec M, et al. Idiopathic (Bell’s) palsy, herpes zoster cephalicus,
and other facial nerve disorders of viral origin. In: May M, Schaitkin BM, editors. The
facial nerve: May’s. 2nd ed. New York: Thieme Medical; 2020 pp. 319–38

xxi
v

Anda mungkin juga menyukai