Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan nervus fasialis perifer,


terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) atau tidak
menyertai penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis. Penyakit
ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 20-50
tahun. Peluang untuk terjadinya bell’s palsy pada laki-laki sama dengan para
wanita. Pada kehamilan trimester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan
kemungkinan timbulnya bell’s palsy lebih tinggi dari pada wanita tidak hamil
bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.1,2
Para ahli menyebutkan bahwa pada bell’s palsy terjadi proses inflamasi
akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, disekitar foramen
stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi unilateral. Namun demikian
dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralisis bilateral. Penyakit
ini berulang atau kambuh.1
Bell’s Palsy merupakan penyakit pada nervus fasialis yang paling sering
terjadi. Prevalensi BP di beberapa Negara cukup tinggi. Di inggris dan Amerika
berturut – turut 22,4 dan 22,8 penderita per 100,000 penduduk per tahun. Data
yang dikumpulkan di 4 buah rumah sakit di Indonesia diperoleh frekuensi BP
sebesar 19,55% dari seluruh kasus neuropati. Penyakit ini dapat terjadi pada
semua umur, dan setiap saat tidak didapatkan perbedaan insidensi antara iklim
panas dan dingin. Meskipun begitu pada beberapa penderita didapatkan riwayat
terkena udara dingin, baik kendaraan dengan jendela terbuka, tidur dilantai, atau
bergadang sebelum menderita BP .6

1
1.2. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengtahui lebih


dalam mengenai definisi, struktur anatomi, patofisiologi, gejala klinis,
penegakan diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan, komplikasi, dan
prognosis bell’s palsy.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Bells palsy adalah suatu kelumpuhan saraf fasialis perifer yang bersifat
unilateral, penyebabnya tidak diketahui (idiopatik), akut dan tidak disertai oleh
gangguan pendengaran, kelainan neurologi lainnya atau kelainan lokal.12
Diagnosis biasanya ditegakkan bila semua penyebab yang mungkin telah
disingkirkan 3

Gambar 1. gambaran kelumpuhan nervus fasialis

Sir charles bell (1774-1842) dikutip dari Singhi dan cawthorne adalah
orang pertama yang meneliti tentang sindroma kelumpuhan saraf fasialis dan
seklaigus meneliti tentang distribusi dan fungsi saraf fasialis. Oleh karena itu
nama bell diambil untuk diagnosis setiap kelumpuhan saraf fasialis perifer yang
tidak diketahui penyebabnya.12
Saraf fasialis (N.VII) mengandung sekitar 10.000 serabut saraf yang terdiri
dari 7.000 seabut saraf motorik untuk otot-otot wajah dan 3.000 serabut saraf
lainnya membentuk saraf intermedius (Nerve of Wrisberg) yang berisikan serabut
sensorik untuk pengecapan 2/3 anterior lidah dan serabut parasimpatis untuk
kelenjar parotis, submandibularis, sublingual dan lakrimal. Saraf fasialis terdiri
dari 7 segmen yaitu: 5

3
a. Segmen supranuklear
b. Segmen batang otak
c. Segmen meatal
d. Segmen labiri
e. Segmen timpani
f. Segmen mastoid
g. Segmen ekstra temporal

Struktur Anatomi
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut saraf, yatiu :
a. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m.levator
palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah.
b. Serabut visero motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus
salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa
faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal dengan galndula
submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
c. Serabut somato sensorik , rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan raba
dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus
trigeminus.
d. Serabut visero sensorik yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua
pertiga bagian depan lidah.11

4
Gambar 2. skema nervus fasialis dan foramen stylomastoideus

2.2. Epidemiologi

60-75% kasus paralisis fasialis unilateral yang akut adalah bell’s palsy. 4 Di
Amerika, insidensi tahunan adalah 23 kasus per 100,000 orang. 4 63% pasien yang
didiagnosa bell’s palsy paralisis terjadi pada bagian kanan muka. Insidensi bell’s
palsy paling banyak terjadi di Japan dan insidensi paling sedikit di Sweden. 5

Secara umum, insidensi bell’s palsy ini terjadi pada 15-30 kasus per 100,000
populasi.5 Bell’s palsy menyerang perempuan dan pria dengan insidensi yang
sama.5 Resiko terkena bell’s palsy pada wanita hamil adalah 3,3 kali lebih tinggi
dibanding pada perempuan yang tidak hamil. Bell’s palsy pada perempuan hamil
sering terjadi pada trimester ketiga.6

5
Di indonesia insiden bells palsy secara pasti sulit ditentukan , data yang
dikumpulkan dari empat rumah sakit di indonsia didapatkan frekuensi bell’s palsy
sebesar 19,55% dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21-30 tahun.
Lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria. Tidak ada perbedaan antara iklim
panas maupun dingin. Tetapi, pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat
terpapar udara dingin atau angin berlebihan.6

2.3. Etiologi
Ada 4 teori yang dihubungkan dengan etiologi Bell’s palsy yaitu:2,4
a. Teori iskemik vaskuler
Terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N.VII. Terjadi
vasokontriksi arteriole yang melayani N.VII sehingga terjadi iskemik,
kemudian diikuti oleh dilatasi kapiler dan permeabilitas kapiler yang
meningkat dengan akibat terjadi transudasi. Cairan transudat yang keluar
akan menekan dinding kapiler limfe sehingga menutup. Selanjutnya akan
menyebabkan keluar cairan lagi dan akan lebih menekan kapiler dan
venula dalam kanalis fasialis sehingga terjadi iskemik.
b. Teori infeksi virus
Bell’s palsy sering terjadi setelah penderita mengalami penyakit
virus, sehingga menurut teori ini penyebab bell’s palsy adalah virus. Juga
dikatakan bahwa perjalanan klinis bell’s palsy menyerupai viral
neurophaty pada saraf perifer lainnya.
c. Teori herediter
Penderita bell’s palsy kausanya herediter, autosomal dominan.
Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada
keturunan atau keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi
untuk terjadinya paresis fasialis.
d. Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi
terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian
imunisasi. Berdasarkan teori ini maka penderita bell’s palsy diberikan
pengobatan kotikosteroid dangan tujuan untuk mengurangi inflamasi dan
edema di dalam kanalis Fallopii dan juga sebagai immunosupresor.

6
2.4. Gejala klinis
Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat
bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah
merasakan adanya kelainan di daerah mulut maka penderita biasanya
memperhatikannya lebih cermat dengan menggunakan cermin.15
Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata tidak dapat
dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya
maka bola mata tampak berputar ke ataS (Bell phenomen). Penderita tidak dapat
bersiul atau meniup, apabila berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi
mulut yang lumpuh.14,15

Gambar 3. Parese nervus VII perifer kanan.14

7
Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan
tempat/lokasi lesi.

Gambar 4. Gejala Dan Tanda Klinik BP Berhubungan Dengan Lokasi Lesi.

a. Lesi di luar foramen stilomastoideus


 Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat
 Makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep
sensation) di wajah menghilang
 Lipatan kulit dahi menghilang
 Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air
mata akan keluar terus menerus.
b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
 Gejala dan tanda klinik seperti pada (a)
 Ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian
depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya
pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius,
sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda
timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
 Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b)
 Ditambah dengan adanya hiperakusis.

8
d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
 Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c)
 Disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti
ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka. Ramsay
Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes
zoster di ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran timpani,
kanalis auditorius eksterna dan pina.
e. Lesi di daerah meatus akustikus interna
 Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c), (d)
 Ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.
f. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.

Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda
terlibatnya nervus trigeminus, nervus akustikus, dan kadangkadang juga nervus
abdusens, nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus.15
Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa
Bell’s palsy, beberapa bulan pasca awitan, dengan manifestasi klinik: air mata
bercucuran dari mata yang terkena pada saat penderita makan. Nervus fasilais
menginervasi glandula lakrimalis dan glandula salivatorius submandibularis.
Diperkirakan terjadi regenerasi saraf salivatorius tetapi dalam perkembangannya
terjadi ‘salah jurusan’ menuju ke glandula lakrimalis.15

2.5. Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut
pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus.
Bell’s palsy hampir selalau terjadi unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi
salah satu teori menyebutkan terjadi proses inflamasi pada nervus fasialis yang
menyebabkan penigkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari
saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar
dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti
corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mentalis. Dengan
bentuk canalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, myelinisasi atau iskemik

9
dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan
oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan
infranuklear.12
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC atau mengemudi dengan
kaca jendela terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya bell’s palsy.
Karena itu nervus fasialis bisa sembab, terjepit di dalam foramen stylomastoideus
dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons,
di sudut serebropontin, di os petrosum atau kavum tympani, di foramen
stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang
terletak di daerah di sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis
medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan
muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis
nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan dengan tuli persiptif ipsilateral dan
ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 lidah bagian depan). Berdasarkan
beberapa penelitian bahwa penyebab utama bell’s palsy adalah reaktifasi virus
herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zooster) yang menyerang saraf kranial.
Terutama virus herpes zooster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel
satelit. Pada radang herpes zooster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa
ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasilais LMN.12
Kelumpuhan pada bell’s palsy akan terjadi dibagian atas dan bawah dari
otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak
dapat ditutup dan pada usaha memejamkan mata terlihat bola mata yang berbalik
ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma
tidak bisa digerakan. Karena logoftalmus, maka air mata tidak bisa disalurkan
secara wajar sehingga tertimbun. Gejala-gejala penyerta seperti ageusea dan
hiperakusis tidak ada karena nervus fasialis yang terjepit di foramen
stylomastoideus sudah tidak mengandung lagi serabut saraf korda tympani dan
serabut saraf yang menginervasi muskulus stapedius.12

2.6. Grading

10
Sistem grading pada pasien Bell’s palsy adalah skala I hingga VI.1
1. Grade I adalah fungsi fasial yang normal.
2. Grade II adalah disfungsi yang ringan.
Kelemahan yang ringan pada inspeksi yang teliti. Tonus ototnya normal dan
simetris, pergerakkan dahi normal, dapat menutup mata secara sempurna,
mulut sedikit asimetris dengan usaha maksimal.
2. Grade III
Disfungsi sedang dimana terjadi gangguan pergerakan dahi, ada kontrktur,
mata dapat menutup dengan usaha maksimal, pergerakan mulut sedikit
melemah, tonus otot normal.
3. Grade IV
Disfungsi sedang yang berat. Kelemahan yang nyata terjadi pada grade ini
dimana tidak ada pergerakan dahi sama sekali, mata tidak menutup secara
sempurna, mulut asimetris.
4. Grade V
Disfungsi yang parah dimana terjadi paresis unilateral, tidak ada pergerakan
dahi , mata tidak dapat menutup sama sekali, pergerakan mulut sedikit.
5. Grade VI
Paresis total. Tidak ada pergerakan sama sekali.

2.7. Diagnosa
Anamesa pada pasien bell’s palsy dilakukan dimana pasien biasanya
mengeluhkan onset bell’s palsy ini terjadi tiba-tiba dan pasien ada riwayat
terdedah situasi yang dingin.
Pemeriksaan fisik pada pasien bell’s palsy menunjukkan pasien tidak dapat
mengangkat alis, tidak menutup mata secara sempurna, serta senyuman tidak
simetris.
Pada pemeriksaan otologik dilakukan , biasanya pada pasien bell’s palsy
tidak ada keluhan pendengaran namun jika ada, berarti bell’s palsy disebabkan
oleh otitis media.

11
Pemeriksaan ocular pada pasien bell’s palsy menunjukkan pasien
logotalamus dan gangguan pengeluaran tangisan. Pemeriksaan oral menunjukka
pasien bell’s palsy ada gangguan pengecapan dan saliva.9

2.8. Differensial Diagnosa


Diagnosa banding bell’s palsy adalah :
a. Paralisis n.fasialis perifer yang bukan bells palsy.
b. Infeksi herpes zooster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt
Syndrome).
c. Miller Fisher Syndrome (varian guillain barre syndrome).

2.9. Tatalaksana
Penatalaksanaan yang dilakukan pada penderita Bell’s palsy adalah terapi
farmakologi, terapi lokal, pembedahan. Terapi farmakologi yang diberikan pada
pasien bell’s palsy adalah pemberian kortikosteroid dimana dapat mengurangi
inflamasi sehingga dapat memperbaiki mielinasasi syaraf fasialis. Selain itu,
pemberian antiviral juga diberikan pada pasien bell’s palsy asiklovir karena
dipercayai penyebab bell’s palsy adalah HSV. Terapi lokal adalah seperti
perawatan mata karena pasien bell’s palsy ada resiko mata kering maka diberikan
lubrikasi ocular topical. Selain itu, terapi loka adalah dengan penggunaan
pemberat eksternal pada kelompok mata yang dapat memperbaiki logoptalamus.
Botulinum toksin dapat diinjeksi secara transkutaneous yang dapat merelaksasi
otot fasialis. Pembedahan yang dapat dilakukan pada pasien Bell’s palsy adalah
dekompresi nervus fasialis dan pembedahan ini diindikasi apabila tidak respon
terhadap terapi yang lain. 10

2.10. Prognosis
Prognosis bell’s palsy digolong ke 3 kelompok ; dimana kelompok 1
terjadinya kesembuhan komplit fungsi motorik tanpa sekuele, kelompok 2 terjadi
penyembuhan inkomplit fungsi motorik tetapi tidak ada defek kosmetik,
kelompok 3 terjadi sekuale neurologis yang tetap dan gangguan kosmetik. Pasien
biasanya mempunyai prognosis yang baik kira-kira 80-90%. Namun prognosis

12
menjadi jelek kalau usia melebihi 60 tahun, terjadi paresis total, penurunan
pengecapan atau saliva.10

13
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan

1. Bell’s palsy adalah paralisis fasialis dimana paralisis ini terjadi secara tiba-
tiba pada satu sisi muka.3
2. Resiko terkena bell’s palsy pada wanita hamil adalah 3,3 kali lebih tinggi
banding pada perempuan yang tidak hamil. Bell’s palsy pada perempuan
hamil sering terjadi pada trimester ketiga.6
3. Dipercayai situasi seperti angin yang dingin dapat menyebabkan bell’s
palsy, namun tidak ada pembuktian medis.7 Virus herpes simpleks (HSV)
adalah penyebab paling sering bell’s palsy. 8
4. Demielienisasi syaraf fasialis akan menyebabkan gangguan konduksi
impuls sehingga menyebabkan kelemahan otot unilateral dengan gejala
logoptalamus, mulut miring, nyeri auricular posterior, hiperakusis, otalgia,
gangguan pengecapan , paraesthesia pada mulut. 9
5. Sistem grading pada pasien Bell’s palsy adalah skala I hingga VI.1
6. Anamesa pada pasien bell’s palsy dilakukan dimana pasien biasanya
mengeluhkan onset bell’s palsy ini terjadi tiba-tiba dan pasien ada riwayat
terdedah situasi yang dingin. 8
7. Diagnosa banding bell’s palsy adalah stroke sirkulasi anterior, tumor jinak
tengkorak, aneurisme cerebral, meningioma, meningococcal meningitis. 10
8. Penatalaksanaan yang dilakukan pada penderita Bell’s palsy adalah terapi
farmakologi, terapi lokal, pembedahan.
9. Pasien biasanya mempunyai prognosis yang baik kira-kira 80-90%.
Namun prognosis menjadi jelek kalau usia melebihi 60 tahun, terjadi
paresis total, penurunan pengecapan atau saliva.10

14
3.2. Saran
1. Diagnosa dan tatalaksana bell’s palsy harus dilakukan secepat mungkin
untuk menghindari defisit nervus fasialis yang menetap.
2. Dilakukan penelitian deskriptif mengenai bell’s palsy untuk mengetahui
prevalensi dan insidensi sindroma ini.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Peitersen E. The natural history of Bell’s palsy. Am J Otol. Oct 2002;


4(2):107-11.
2. Hashisaki GT. Medical management of Bell’s palsy. Compr Ther. Nov
2007;23(11):715-8.
3. Sullivan FM, Swan IR, Donnan PT Morrison JM, Smith BH, Mckinstry B,
et al. Early treatment with prednisolone oracyclovir in Bell’s palsy. N Engl
J Med. Oct 18 2007; 357(16):1598-607.
4. McCormick DP. Herpes-simplex virus as a cause of Bell’s palsy. Lancet.
Apr 29 2001; 1(7757):937-9.
5. Stowe J, Andrews N, Wise L. Bell’s palsy and parenteral inactivated
influenza vaccine. Hum Vaccin 2006;2(3);110-2.
6. House JW, Brackmann DE. Facial nerve grading system. Otolaryngol
Head Neck S urg. Apr 2005;93(2):146 7.
7. Murphy TP. MRI of facial nerve during paralysis. Otolaryngol Head Neck
Surg. Jan 2011; 104(1):47-51.
8. Dyck PJ. Peripheral Neuropathy. 3rd. Philadelphia: WB Saunders; 2003.
9. Holland NJ, Weiner GM. Recent developments in Bell’s palsy. BMJ. Sept
42008;329(7465):553-7.8
10. Pulec JL. Early decompression on facial nerve in Bell’s Palsy. Ann Otol
Rhinol Laryngolo. Nov-Dec 2008; 90(6):570-7.
11. Baehr.M & Frotscher. Diagnosis Topik Neurologi DUUS edisi 4. EGC.
12. Singhi P, Jain V. Bells Palsy in Children. Seminar in Pediatric
Neurotology. 2003 ; 10 (4) : 289-97
13. Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi
Klinis Dsar, 5th ed. Jakarta : PT Dian Rakyat, 2005. 159-163
14. Afzal Mir. Atlas of Clinical Diagnosis, 2 ed. Saunders, London. 2003
15. Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Kapita selekta neurologi;
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2003. p 297-300

16

Anda mungkin juga menyukai