Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

*Kepanitraan Klinik Senior/G1A106082 **Pembimbing

BELLS PALSY
Putri Ulya Rachman* dr. Attiya Rahma, Sp.S**

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR BAGIAN NEUROLOGI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER RSUD. RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
2012

BAB I PENDAHULUAN

Bells palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan nervus fasialis perifer, terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) atau tidak menyertai penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 20-50 tahun. Peluang untuk terjadinya bells palsy pada laki-laki sama dengan para wanita. Pada kehamilan trimester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya bells palsy lebih tinggi dari pada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.1,2 Para ahli menyebutkan bahwa pada bells palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, disekitar foramen stilomastoideus. Bells palsy hampir selalu terjadi unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralisis bilateral. Penyakit ini berulang atau kambuh.1 Paralisis fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu, misalnya diabetes melitus, hipertensi berat, anestesi lokal pada pencabutan gigi, infeksi telinga bagian tengah, sindrom Guillain Barre. Apabila faktor penyebab jelas maka disebut paralisis fasialis perifer dan bukannya bells palsy.1 Biasanya penderita mengetahui kelumpuhan fasialis dari teman atau keluarga atau pada saat bercermin atau sikat gigi/berkumur. Pada saat penderita menyadari bahwa ia mengalami kelumpuhan pada wajahnya, maka ia mulai merasa takut, malu, rendah diri, mengganggu kosmetik dan kadangkala jiwanya tertekan terutama pada wanita dan pada penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia untuk tampil di muka umum. Seringkali timbul pertanyaan di dalam hatinya, apakah wajahnya bisa kembali secara normal atau tidak.2,3

Pada saat penderita menyadari bahwa ia mengalami kelumpuhan pada wajahnya, maka ia merasa takut dan timbul pertanyaan di dalam hatinya apakah ia menderita stroke yang berarti separuh tubuhnya akan menjadi lumpuh juga. Bila terjadi pada penderita wanita akan menjadi malu dan jiwanya tertekan, takut kalau menetap untuk selamanya.2 Permasalahan yang ditimbulkan Bells palsy cukup kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetika dan psikologis sehingga dapat merugikan tugas profesi penderita. Sehingga diperlukan terapi secara cepat dan tepat untuk mencapai pemulihan terbaik fungsi saraf wajah dan penderita dapat kembali melakukan aktivitas kerja sehari-hari serta bersosialisasi dengan masyarakat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Bells palsy adalah kelumpuhan nervus fasialis perifer (N.VII), terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) atau tidak menyertai penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis atau kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang mulanya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.1,3

2.2 Epidemologi Insiden Bells palsy secara pasti sulit ditentukan karena penderita tidak hanya berobat ke dokter saraf saja, tetapi kemungkinan ada yang berobat kepada dokter umum, dokter THT maupun dokter mata. Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 2130 tahun. Lebih sering

terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin seperti naik kendaraan dengan kaca terbuka, tidur di lantai atau bergadang sebelum menderita bells palsy.2,4

2.3 Etiologi Ada 4 teori yang dihubungkan dengan etiologi Bells palsy yaitu:2,4
1. Teori iskemik vaskuler

Terjadi

gangguan

regulasi

sirkulasi

darah

ke N.VII.

Terjadi

vasokontriksi arteriole yang melayani N.VII sehingga terjadi iskemik, kemudian diikuti oleh dilatasi kapiler dan permeabilitas kapiler yang meningkat dengan akibat terjadi transudasi. Cairan transudat yang keluar akan menekan dinding kapiler limfe sehingga menutup. Selanjutnya akan menyebabkan keluar cairan lagi dan akan lebih menekan kapiler dan venula dalam kanalis fasialis sehingga terjadi iskemik. 2. Teori infeksi virus Bells palsy sering terjadi setelah penderita mengalami penyakit virus, sehingga menurut teori ini penyebab bells palsy adalah virus. Juga dikatakan bahwa perjalanan klinis bells palsy menyerupai viral neurophaty pada saraf perifer lainnya. 3. Teori herediter Penderita bells palsy kausanya herediter, autosomal dominan. Bells palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan atau keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis.

4. Teori imunologi Dikatakan bahwa Bells palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi. Berdasarkan teori ini maka penderita bells palsy diberikan pengobatan kotikosteroid dangan tujuan untuk mengurangi inflamasi dan edema di dalam kanalis Fallopii dan juga sebagai immunosupresor.

2.4 Patofisiologi Patofisiologi timbulnya Bells Palsy secara pasti masih dalam perdebatan. N.VII berjalan melalui bagian dari tulang temporal yang disebut dengan kanalis fasialis. Adanya edema dan ischemia menyebabkan kompresi dari N.VII dalam kanalis tulang ini, karena itu ia terjepit di dalam foramen stilomastoideum dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kompresi N.VII ini dapat dilihat dengan MRI. Bagian pertama dari kanalis fasialis yang disebut dengan segmen labyrinthine adalah bagian yang paling sempit, meatus foramien ini memiliki diameter 0,66 mm. Lokasi inilah yang diduga merupakan tempat paling sering terjadinya kompresi pada N.VII pada Bells Palsy, karena bagian ini merupakan tempat yang paling sempit maka terjadinya inflamasi, demielinisasi, ischemia, ataupun proses kompresi paling mungkin terjadi. Lokasi terserangnya Nervus Fasialis di Bells Palsy bersifat perifer dari nukleus saraf tersebut, dimana timbulnya lesi diduga terletak didekat ataupun di ganglion genikulatum. Jika lesinya timbul di bagian proksimal ganglion genikulatum maka akan timbul kelumpuhan motorik disertai dengan ketidak abnormalan fungsi gustatorium dan otonom. Apabila lesi terletak di foramen stilomastoideus dapat menyebabkan kelumpuhan fasial saja.4,5,6,7

2.5 Gambaran Klinis dan Keluhan Biasanya timbul secara mendadak, penderita menyadari adanya kelumpuhan pada salah satu sisi wajahnya pada waktu bangun pagi, bercermin atau saat sikat gigi/berkumur atau diberitahukan oleh orang lain/keluarga bahwa salah satu sudutnya lebih rendah. Bells palsy hampir selalu unilateral. Gambaran klinis dapat berupa hilangnya semua gerakan volunter pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena, ekspresi akan menghilang sehingga lipatan nasolabialis akan menghilang, sudut mulut menurun, bila minum atau berkumur air menetes dari sudut ini, kelopak mata tidak dapat dipejamkan sehingga fisura papebra melebar serta kerut dahi menghilang.1,2,3 Bila penderita disuruh untuk memejamkan matanya maka kelopak mata pada sisi yang lumpuh akan tetap terbuka dimana kelumpuhan N.VII yang mempersyarafi m.orbikularis okuli dapat menyebabkan lagoftalmus yaitu palpebra tidak dapat menutup dengan sempurna. Kelainan ini akan mengakibatkan trauma konjungtiva dan kornea karena mata tetap terbuka sehingga konjungtiva dan kornea menjadi kering dan terjadi infeksi. Infeksi ini dapat dalam bentuk konjungtivitis atau suatu keratitis. Serta bola mata pasien berputar ke atas. Keadaan ini dikenal dengan tanda dari Bell (lagoftalmus disertai dorsorotasi bola mata). Karena kedipan mata yang berkurang maka akan terjadi iritasi oleh debu dan angin, sehingga menimbulkan epifora. Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang

lumpuh tidak mengembung. Disamping itu makanan cenderung terkumpul diantara pipi dan gusi sisi yang lumpuh. Selain kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, tidak didapati gangguan lain yang mengiringnya, bila paresisnya benar-benar bersifat Bells palsy.2,3,7 Bila khorda timpani juga ikut terkena, maka terjadi gangguan pengecapan dari 2/3 depan lidah yang merupakan kawasan sensorik khusus N.intermedius. dan bila saraf yang menuju ke m.stapedius juga terlibat, maka akan terjadi hiperakusis. Keadaan ini dapat diperiksa dengan pemeriksaan audiometri. Pada kasus yang lebih berat akan terjadi gangguan produksi air mata berupa pengurangan atau hilangnya produksi air mata. Ini menunjukkan terkenanya ganglion genikulatum dan dapat diperiksa dengan pemeriksaan tes Schirmer.2,4,5
Komplikasi ke bagian mata antara lain :4,5,8

Lagoftalmus Ektropion paralitik dari kelopak mata bagian bawah Alis Jatuh Retraksi kelopak mata atas Erosi Kornea Crocodile-tears tearing

Komplikasi ke bagian telinga antara lain: 4,5,8

Hampir separuh pasien yang mengalami Bell Palsy mengeluhkan nyeri pada bagian belakang telinga. Nyeri biasanya terjadi bersamaan dengan timbulnya gejala Bell Palsy, namun pada 25% kasus nyeri telinga terjadi lebih dulu 2-3 hari sebelum timbulnya Bell Palsy. Beberapa pasien juga mengeluhkan terjadinya hyperacusis pada telinga ipsilateral dari Palsy yang terjadi, yang merupakan akibat sekunder dari kelemahan otot stapedius.
Gangguan Pengecapan: 4,5,8

Sepertiga pasien Bell Palsy melaporkan gangguan pengecapan, dimana 80% dari penderita Bell Palsy mengalami penurunan kemampuan merasa.
Spasme Fasial4,5,8

Spasme fasial adalah komplikasi yang jarang dari Bell Palsy, terjadi akibat kontraksi tonic pada salah satu sisi wajah. Spasme ini biasanya terjadi pada saat stress dan timbul akibat kompreksi dari akar Nervus VII akibat gangguan pembuluh darah, tumor, ataupun proses demielinisasi akar saraf. Spasme ini lebih sering menyerang pada usia 50 atau 60an. Selain itu juga dapat timbul Synkinesis yaitu suatu kontraksi abnormal dari otot wajah saat tersenyum atau menutup mata, contoh yang dapat terjadi adalah mulut pasien tertarik ketika tersenyum atau ketika mengedipkan mata.
Keluhan dan gejala bergantung kepada lokasi lesi sebagai berikut :1,4,5 a. Lesi pada nervus fasialis disekitar foramen stylomastoideus baik yang masih

berada disebelah dalam dan sebelah luar foramen tersebut. Mulut turun dan mencong ke sisi yang sehat sehingga sudut mulut yang lumpuh tampaknya lebih tinggi kedudukannya daripada posisi yang sehat, maka penderitanya tidak dapat bersiul, mengedip dan menutupkan matanya. Lakrimalis yang berlebihan akan terjadi jika mata tidak terlindungi / tidak bisa menutup mata sehingga pada mata akan lebih mudah mendapat iritasi berupa angin, debu dan sebagainya, selain itu pula lakrimalis yang berlebihan ini terjadi karena proses regenerasi dan mengalirnya axon dari kelenjar liur ke kelenjar air mata pada waktu makan
b. Lesi pada canalis fasialis mengenai nervus chorda tympani.

Seluruh gejala di atas terdapat, ditambah dengan hilangnya sensasi pengecapan dua pertiga depan lidah berkurangnya salivasi yang terkena.
c. Lesi yang lebih tinggi dalam canalis fasialis dan mengenal muskulus

stapedius

Gejala tanda klinik seperti pada (a) dan (b) ditambah adanya hiperakusis. d. Lesi yang mengenai ganglion geniculatum. Gejala tanda klinik seperti pada (a), (b), dan (c) ditambah onsetnya seringkali akut dengan rasa nyeri di belakang dan didalam telinga. Herpes Zoster pada tympanium dan concha dapat mendahului keadaan timbul parese nervus fasilais. Sindrome Ramsay Hunt merupakan Bells yang disertai herpes Zoster pada ganglion geniculatum, lesi lesi herpetik terlihat pada membrana tympani, canalis auditorium eksterna, dan pada pinna. e. Lesi di dalam Meatus Auditorius Internus Gejala - gejala Bells Palsy di atas ditambah ketulian akibat terkenanya nervus VIII. f. Lesi pada tempat keluarnya Nervus Fasialis dari Pons Lesi di pons yang terletak disekitar inti nervus abdduces bisa merusak akar nervus fasialis, inti nervus abducens dan fasikulus longituinalis medialis. Lesi pada daerah tersebut dapat menyebabkan kelumpuhan muskulus rectus lateralis atau gerakan melirik kearah lesi.
g.

Gangguan gerakan pada otot wajah yang sering dijumpai ialah gerakan involunter yang dinamakan tic fasialis atau spasmus klonik fasialis. Sebab dan mekanisme sebenarnya belum diketahui yang dianggap sebagai sebabnya adalah suatu rangsangan iritatif di ganglion feniculatum. Namun demikian gerakan - gerakan otot wajah involunter bisa bangkit juga sebagai suatu pencerminan kegelisahan atau depresi. Pada gerakan involunter tersebut, sudut muka terangkat dan kelompok mata memejam secara berlebihan.

10

2.6 Diagnosa Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa serta beberapa pemeriksaan fisik, dalam hal ini yaitu pemeriksaan neurologis. Untuk menegakkan diagnosis suatu bells palsy harus ditetapkan dulu adanya paresis fasialis tipe perifer, kemudian menyingkirkan semua kemungkinan penyebabnya paresis fasialis tersebut.2 Paresis fasialis perifer berbeda dari tipe sentral. Pada tipe sentral yang terganggu atau paresis hanya pada bagian bawah wajah saja.
Anamnesa : 4,5,8

Rasa nyeri. Gangguan atau kehilangan pengecapan. Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan terbuka atau di luar ruangan. Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.

11

Pemeriksaan : 4,5,8

1. Pemeriksaan neurologi Kelumpuhan nervus fasilalis melibatkan semua otot wajah sesisi dan dapat dibuktikan dengan pemeriksaan - pemeriksaan berikut, yaitu:
a. Pemeriksaan motorik nervus fasialis.4

Mengerutkan dahi : lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi

yang sehat saja. Mengangkat alis : alis pada sisi yang sakit tidak dapat

diangkat Memejamkan mata dengan kuat : pada sisi yang sakit

kelompak mata tidak dapat menutupi bola mata dan berputarnya bola mata ke atas dapat dilihat. Hal tersebut dikenal Fenomena Bell. Selain itu dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang sakit lebih lambat dibandingkan dengan gerakan kelopak mata yang sehat, hal ini dikenal sebagai Lagoftalmus. Mengembungkan pipi : pada sisi yang tidak sehat pipi tidak

dapat dikembungkan. Pasien disuruh utnuk memperlihatkan gigi geliginya atau

disuruh meringis menyeringai : sudut mulut sisi yang lumpuh tidak dapat diangkat sehingga mulut tampaknya mencong ke arah sehat. Dan juga sulcus nasolabialis pada sisi wajah yang sakit mendatar.

12

b. Pemeriksaan sensorik pada nervus fasialis. 4,5,8

Sensasi pengecapan diperiksa sebagai berikut : rasa manis diperiksa pada bagian ujung lidah dengan bahan berupa garam, dan rasa asam diperiksa pada bagian tengah lidah dengan bahan asam sitrat. Pengecapan 2/3 depan lidah : pengecapan pada sisi yang tidak sehat kurang tajam.
c. Pemeriksaan Refleks. 4,5,8

Pemeriksaan reflek yang dilakukan pada penderita Bells Palsy adalah pemeriksaan reflek kornea baik langsung maupun tidak langsung dimana pada paresis nervus VII didapatkan hasil berupa pada sisi yang sakit kedipan mata yang terjadi lebih lambat atau tidak ada sama sekali. Selain itu juga dapat diperiksa refleks nasopalpebra pada orang sehat pengetukan ujung jari pada daerah diantara kedua alis langsung dijawab dengan pemejaman kelopak mata pada sisi, sedangkan pada

13

paresis facialis jenis perifer terdapat kelemahan kontraksi m. orbikularis oculi (pemejaman mata pada sisi sakit). Beberapa pemeriksaan sederhana lain yang dapat dilakukan untuk membantu penegakkan diagnosa antara lain : Stethoscope Loudness Test Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai fungsi dari muskulus stapedius. Pasien diminta menggunakan stetoskop kemudian dibunyikan garpu tala pada membran stetoskop, maka suara yang keras akan terlateralisasi ke sisi muskulus stapedius yang lumpuh Schirmer Blotting Test.

Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai fungsi lakrimasi. Digunakan benzene yang menstimulasi refleks nasolacrimalis sehingga dapat dibandingkan keluar air mata dapat dibandingkan antara sisi yang lumpuh dan yang normal.
2. Pemeriksaan radiologis. 4,5,8

Pemeriksaan Radiologis yang dapat dilakukan untuk Bells Palsy antara lain adalah MRI (Magnetic Resonance Imaging) dimana pada pasien dengan Bell Palsy dapat timbul gambaran kelainan pada nervus fasialis. Selain itu pemeriksaan MRI juga berguna apabila penderita mengalami Kelumpuhan wajah yang berulang, agar dapat dipastikan apakah kelainan itu hanya merupakan gangguan pada nervus Fasialis ataupun terdapat tumor.

2.7 Diagnosa Banding2,3,4 1. Otitis Media Supurativa dan Mastoiditis Disamping kemungkinan adanya paresis fasialis, maka ditemukan adanya rasa nyeri di dalam atau di belakang telinga. Pada foto mastroid ditemukan

14

gambaran infeksi. Pada otitis media terjadi proses radang di dalam kavum timpani sehingga dinding tulang kanalis fasialis ikut mengalami kerusakan sehingga terjadi paresis fasialis. 2. Herpes Zoster Oticus Terjadi infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum. Di samping adanya paresis fasialis juga ditemukan adanya tuli persetif dan tampak vesikel-vesikel yang terasa amat nyeri di daun telinga. Karena adanya proses inflamasi maka akan menimbulkan pembengkakan, timbunan metabolit di dalam kanalis Fallopii dan selanjutnya menyebabkan iskemia dan paresis fasialis. Pada pemeriksaan darah didapatkan adanya kenaikan titer antibodi terhadap virus varisela-zoster. 3. Trauma kapitis Paresis fasialis terdapat pada trauma kapitis (misalnya fraktur os temporal, fraktur basis kranii atau trauma lahir/forceps) atau karena operasi. Pada cedera kepala sering terjadi fraktura os temporale parspetrosus yang selalu terlihat pada foto rontgen.
4. Sindroma Guillain Barre dan Miastenia Gravis

Pada kedua penyakit ini, perjalanan dan gambaran penyakitnya khas dan paresis hampir selalu bilateral. 5. Tumor Intrakranialis Semua neoplasma yang mengenai sepanjang perjalanan N.VII dapat menyebabkan paresis fasialis. Tumor intra kranial yang tersering yaitu tumor sudut serebelo pontis. Di sini selain terdapat paresis N.VII juga biasanya ditemukan adanya lesi N.V dan N.VIII. tumor yang lain misalnya Ca-nasofaring (biasanya disertai dengan kelainan saraf kraniales lain) dan tumor kelenjar parotis. 6. Leukimia

15

Paresis fasialis disebabkan karena infiltrat sel-sel lekemia. Paresis terjadi bilateral dan simultan. Diawali dengan rasa nyeri di dalam kepala atau telinga dan tuli.

2.8 Terapi
1. Terapi medikamentosa :2,9 -

Kortikosteroid dapat digunakan salah satu contohnya adalah prednison atau methylprednisolon 80 mg (medrol) dosis awal dan diturunkan secara bertahap (tappering off) selama 7 hari. 2,9

Penggunaan obat antiviral (acyclovir) dengan kortioksteroid. Penggunaan Aciclovir 400 mg sebanyak 5 kali per hari P.O selama 10 hari. Atau penggunaan Valacyclovir 500 mg sebanyak 2 kali per hari P.O selama lima hari, penggunaan Valacyclovir memiliki efek yang lebih baik. 2,9 Kortikosteroid oral mengurangi peradangan saraf wajah pada pasien dengan Bells palsy. Tiemstra JD and Khathare N melalui penelitian Metaanalisis dari tiga uji coba terkontrol secara acak membandingkan kortikosteroid dengan plasebo ditemukan pengurangan kecil dan secara statistik tidak signifikan dalam persentase.10 Ada Karena Peran Kemungkinan HSV-1 dalam penyebab Bell palsy, obat antivirus acyclovir (Zovirax) dan valacyclovir (Valtrex) telah mempelajari tulang manfaat dalam pengobatan. Asiklovir 400 mg lima kali per hari selama tujuh hari atau valacyclovir 1 g tiga kali per hari selama tujuh hari. Dua terakhir uji coba terkontrol plasebo menunjukkan pemulihan penuh dalam persentase yang lebih tinggi pasien diobati dengan obat antivirus dalam kombinasi dengan prednisolon dibandingkan dengan

16

prednisolon saja (100 persen dengan 91 persen dan 95 persen dengan 90 persen).10 Namun, tidak bermanfaat terlihat Ketika pengobatan tertunda lebih dari empat hari setelah timbulnya gejala (86 persen dengan 87 persen). Mengingat profil keamanan kortikosteroid oral asiklovir, valasiklovir, dan jangka pendek. Pasien yang hadir di dalam-tiga hari dari timbulnya gejala dan yang tidak harus menentukan kontraindikasi obat harus ditawarkan terapi kombinasi. Pasien yang datang dengan kelumpuhan saraf wajah lengkap memiliki tingkat lebih rendah pemulihan spontan dan mungkin lebih mungkin memperoleh manfaat dari pengobatan.10 Penelitian lain Numthavaj .P et al menyimpulkan dalam mengobati Bells palsy dengan antiviral ditambah kortikosteroid dapat menyebabkan sedikit lebih tinggi tingkat pemulihan dibandingkan dengan mengobati dengan prednison saja tapi ini tidak cukup bermakna secara statistik, prednisone merupakan pengobatan berbasis bukti terbaik.11 Berbeda dengan Frank M et al yang menyatakan pasien dengan Bells palsy, perawatan dini dengan prednisolon secara signifikan meningkatkan kemungkinan pemulihan lengkap pada 3 dan 9 bulan. Tidak ada bukti dari manfaat mengingat pengobatan tunggal atau manfaat tambahan dalam kombinasi dengan prednisolon atau asiklovir.12 Goudakos JK and Markou KD pada penelitian meta-analisis, berdasarkan bukti yang tersedia menunjukkan bahwa agen antivirus untuk kortikosteroid pengobatan Bells palsy tidak terkait meningkat dalam tingkat pemulihan lengkap dari fungsi motorik wajah.13.
-

Vitamin B1, B6 dan B12 dalam dosis tinggi dan vasodilatasi peros dengan ACTH im 40-60 satuan selama 2 minggu dapat dipercepat penyembuhan.2,9

Analgesic untuk menghilangkan rasa nyeri. 2,9

2. Terapi operatif

17

Indikasi terapi operatif yaitu:2


-

Produksi air mata berkurang menjadi < 25% Aliran saliva berkurang menjadi < 25% Respon terhadap tes listrik antara sisi sehat dan sakit berbeda 2,5 mA. Beberapa terapi bedah yang dapat dilakukan antara lain dekompresi

nervus Fasialis, Subocularis Oculi Fat Lift (SOOF), Implantasi alat ke dalam kelopak mata, tarsorrhapy, transposisi otot muskulus temporalis, facial nerve graftingdan direct brow lift.2 Tiemstra JD and Khathare N dalam American Academy of Neurology saat ini tidak merekomendasikan dekompresi bedah untuk Bells palsy. Komplikasi yang paling umum dari pembedahan adalah pasca operasi yaitu berkurangnya pendengaran yang mempengaruhi 3 sampai 15 persen pasien. Berdasarkan potensi yang signifikan untuk kerugian dan kurangnya manfaat data pendukung, American Academy of Neurology saat ini tidak merekomendasikan dekompresi bedah untuk Bells palsy.10 McAllister K pada penelitian juga menyimpulkan demikian bahwa ada bukti kualitas yang sangat rendah dan ini tidak cukup untuk memutuskan apakah operasi akan bermanfaat atau merugikan pada pengelolaan palsy Bell. Penelitian ini tidak secara statistik membandingkan kelompok tetapi nilai dan ukuran kelompok menyarankan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik. Studi kedua melaporkan tidak ada perbedaan statistik yang signifikan antara kelompok mereka dioperasikan dan kontrol. Satu pasien yang dioperasikan dalam studi pertama memiliki 20 dB kehilangan pendengaran sensorineural dan vertigo yang persisten. Penelitian lebih lanjut ke dalam peran operasi tidak mungkin dilakukan karena pemulihan spontan terjadi dalam banyak kasus. 14 3. Rehabilitasi Medik

18

Rehabilitasi medik menurut WHO adalah semua tindakan yang ditujukan guna mengurangi dampak cacat dan handicap serta meningkatkan kemampuan penyandang cacat mencapai integritas sosial.9

Tujuan rehabilitasi medik adalah :9 Meniadakan keadaan cacat bila mungkin Mengurangi keadaan cacat sebanyak mungkin Melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat hidup dan bekerja dengan apa yang tertinggal. Untuk mencapai keberhasilan dalam tujuan rehabilitasi yang efektif dan efisien maka diperlukan tim rehabilitasi medik yang terdiri dari dokter, fisioterapis, okupasi terapis, ortotis prostetis, ahli wicara, psikolog, petugas sosial medik dan perawat rehabilitasi medik.9 Sesuai dengan konsep rehabilitasi medik yaitu usaha gabungan terpadu dari segi medik, sosial dan kekaryaan, maka tujuan rehabilitasi medik pada Bells palsy adalah untuk mengurangi/mencegah paresis menjadi bertambah dan membantu mengatasi problem sosial serta psikologinya agar penderita tetap dapat melaksanakan aktivitas kegiatan sehari-hari. Program-program yang diberikan adalah program fisioterapi, okupasi terapi, sosial medik, psikologi dan ortotik prostetik, sedang program perawat rehabilitasi dan terapi wicara tidak banyak berperan. 9
1) Program Fisioterapi4,5,9

- Pemanasan a.
b.

Pemanasan superfisial dengan infra red. Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau

Microwave Diathermy.

19

- Stimulasi listrik Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan faradisasi yang tujuannya adalah untuk menstimulasi otot, reedukasi dari aksi otot, melatih fungsi otot baru, meningkatkan sirkulasi serta mencegah/meregangkan perlengketan. Diberikan 2 minggu setelah onset. - Latihan otot-otot wajah dan massage wajah Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase akut. Latihan berupa mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata dan mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul/meniup (dilakukan didepan kaca dengan konsentrasi penuh). Massage adalah manipulasi sitemik dan ilmiah dari jaringan tubuh dengan maksud untuk perbaikan/pemulihan. Pada fase akut, Bells palsy diberi gentle massage secara perlahan dan berirama. Gentle massage memberikan efek mengurangi edema, memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus otot. Setelah lewat fase akut diberi Deep Kneading Massage sebelum latihan gerak volunter otot wajah. Deep Kneading Massage memberikan efek mekanik terhadap pembuluh darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan sisa metabolik, asam laktat, mengurangi edema, meningkatkan nutrisi serabut-serabut otot dan meningkatkan gerakan intramuskuler sehingga melepaskan perlengketan. Massage daerah wajah dibagi 4 area yaitu dagu, mulut, hidung dan dahi. Semua gerakan diarahkan keatas, lamanya 5-10 menit.
2) Program Terapi Okupasi 4,5,9

Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada otot wajah. Latihan diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam

20

bentuk permainan. Perlu diingat bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi penderita, jangan sampai melelahkan penderita. Latihan dapat berupa latihan berkumur, latihan minum dengan menggunakan sedotan, latihan meniup lilin, latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di depan cermin.
3) Program Sosial Medik 4,5,9

Penderita Bells palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan sosial. Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya. Petugas sosial medik dapat membantu mengatasi dengan menghubungi tempat kerja, mungkin untuk sementara waktu dapat bekerja pada bagian yang tidak banyak berhubungan dengan umum. Untuk masalah biaya, dibantu dengan mencarikan fasilitas kesehatan di tempat kerja atau melalui keluarga. Selain itu memberikan penyuluhan bahwa kerja sama penderita dengan petugas yang merawat sangat penting untuk kesembuhan penderita.
4) Program Psikologik 4,5,9

Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol, rasa cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita muda, wanita atau penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di depan umum, maka bantuan seorang psikolog sangat diperlukan.
5) Program Ortotik Prostetik 4,5,9

Dapat dilakukan pemasangan Y plester dengan tujuan agar sudut mulut yang sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan reaksi intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan Y plester dilakukan jika dalam waktu 3 bulan belum ada perubahan pada penderita setelah menjalani fisioterapi. Hal ini dilakukan untuk mencegah

21

teregangnya otot Zygomaticus selama parese dan mencegah terjadinya kontraktur.


6) Home Program: 4,5,9

a. Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit b. Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan dari sisi wajah yang sehat c. Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit, minum dengan sedotan, mengunyah permen karet
4. Perawatan mata :2,4,15,16

Tindakan yang dilakukan antara lain:


a.

Memakai salep mata (golongan artifial tears) 3x sehari dan salep

mata. b. c.
d.

Mamakai kaca mata untuk mencegah iritasi debu dan cahaya. Kelopak mata diplaster agar tetap dalam keadaan tertutup. Bila keadaan terlalu berat maka dilakukan tarsorafi ataupun

blefarofati dengan menjahit dan mendekatkan kedua kelopak atas dengan bawah. Pada tempat jahit diberikan salep antibiotika.

2.9 Komplikasi2,4,9 a. Crocodile tear phenomenon Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.

22

b. Synkinesis Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri, selalu timbul gerakan bersama. Contohnya yaitu:

Bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut, kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi.

Pada saat meperlihatkan gigi (menyeringai), maka mata penderita pada sisi sakit manjadi tertutup.

Bila penderita menggerakkan suatu bagian wajahnya, maka semua otot wajah pada sisi lumpuh manjadi kontraksi. Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami

regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah/keliru.


c. Clonic fasial spasm (Hemifacial spasm)

Timbul kedutan (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak terkendali) pada wajah yang pada stadium awal hanya mengenai 1 sisi wajah saja tetapi kemudian kontraksi ini dapat mengenai pada sisi lainnya. Bila mengenai kedua sisi wajah, maka tidak terjadi bersamaan pada kedua sisi wajah. Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian. Kecuali sebagai komplikasi bells palsy, maka hemifacial spasm dapat disebabkan oleh kompresi N.VII oleh tumor atau aneurisme pada daerah sudut serebelo pontis atau lengkungan arteri serebeler antero inferior yang berlebihan atau arteri auditorius internus.

23

d. Kontraktur Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga lipatan nasolabialis lebih jelas terlihat pada sisi yang lumpuh dibanding pada sisi yang sehat. Terjadi bila kembalinya fungsi sangat lambat. Kontraktur tidak tampak pada waktu otot wajah istirahat, tetapi menjadi jelas saat otot wajah bergerak.

2.10 Prognosis1 Antara 80-85% penderita akan sembuh sempurna dalam waktu 3 bulan. Paralisis ringan atau sedang pada saat gejala awal terjadi merupakan tanda prognosis baik. Denervasi otot-otot wajah sesudah 2-3 minggu menunjukkan bahwa terjadi degenerasi aksonal dan hal demikian ini menunjukkan pemulihan yang lebih lama dan tidak sempurna. Pemulihan daya pengecapan lidah dalam waktu 14 hari pasca awitan biasanya berkaitan dengan pemulihan paralisis secara sempurna. Apabila lebih 14 hari, maka hal tersebut menunjukkan prognosis yang buruk.

24

BAB III KESIMPULAN

1. Bells palsy adalah kelumpuhan nervus fasialis perifer (N.VII), terjadi

secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) atau tidak menyertai penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis.
2. Ada 4 teori yang dihubungkan dengan etiologi Bells palsy yaitu teori

iskemik vaskuler, teori infeksi virus, teori herediter, teori imunologi.


3. Gambaran klinis bells palsy dapat berupa hilangnya semua gerakan

volunter pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena, ekspresi akan menghilang sehingga lipatan nasolabialis akan menghilang, sudut mulut menurun, bila minum atau berkumur air menetes dari sudut ini dan lagoftalmus.
5. Penatalaksanaannya dengan terapi medikamentosa yaitu kortikosteroid,

vitamin B1, B6 dan B12, analgesic, penggunaan obat antiviral (acyclovir). Juga dilakukan rehabilitasi medik, perawatan mata seperti memakai obat salap mata (golongan artifial tears), memakai kaca, kelopak mata diplaster dan jika keadaan terlalu berat pada lagoftalmus dilakukan tarsorafi ataupun blefarofati.
6. Antara 80-85% penderita akan sembuh sempurna dalam waktu 3 bulan.

Paralisis ringan atau sedang pada saat gejala awal terjadi merupakan tanda prognosis baik.

25

Anda mungkin juga menyukai