Anda di halaman 1dari 11

Keluhan Mata Kiri Tidak dapat Menutup

dan Mulut Mencong ke Kanan

Hendrikus Hendra Suseno


102011381
A8
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat
hendrikushendrasuseno@yahoo.co.id
Pendahuluan
Bells palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis akibat paralisis nervus fasial perifer
yang

terjadi

secara

akut

dan

penyebabnya

tidak

diketahui

(idiopatik).

Paralisis fasial idiopatik atau ells palsy ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter dari Skotlandia.
Bells palsy sering terjadi setelah infeksi virus ( misalnya herpes simplex) atau setelah imunisasi,
lebih sering terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes serta penderita hipertensi lokasi
cedera nervus fasialis pada Bells palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera
tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Salah satu gejala Bells palsy adalah kelopak
mata sulit menutup dan saat penderita berusaha menutup kelopak matanya, matanya terputar ke
atas dan matanya tetap kelihatan. Gejala ini disebut juga fenomena Bell. Pada observasi dapat
dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika dibandingkan dengan
gerakan bola mata yang sehat (lagoftalmos). Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik,
laboratorium dan patologi anatomi menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi
berhubungan erat dengan banyak faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini
lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya
didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin.1

EPIDEMIOLOGI (3, 4)
Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di
dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah
ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bells palsy setiap tahun sekitar 23
kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bells palsy rata-rata 15-30
kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding
non-diabetes. Bells palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan
tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada
kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi
pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan
kemungkinan timbulnya Bells palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa
mencapai 10 kali lipat
Sedangkan di Indonesia, insiden Bells palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang
dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells palsy sebesar
19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 30 tahun. Lebih sering terjadi
pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin,
tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin
berlebihan .
ANATOMI (5)
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
1.

Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator palpebrae (n.III),
otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah).

2.

Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut
saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan
glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.

3.

Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian
depan lidah.

4.

Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) dari sebagian
daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.

Nervus fasialis (N.VII) terutama merupakan saraf motorik yang menginervasi otot- otot
ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini membawa serabut parasimpatis ke kelenjar ludah dan air
mata dank ke selaput mukosa rongga mulut dan hidung, dan juga menghantarkan sensasi
eksteroseptif dari daerah gendang telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, dan
sensasi visceral umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif
dari otot yang disarafinya.
Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar sensasi dan
serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf intermedius atau pars intermedius
Wisberg. Sel sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan saraf fasialis di kanal
fasialis. Sensasi pengecapan daru 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual korda
timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi ekteroseptif
mempunyai badan selnya di ganglion genikulatum dan berakhir pada akar desenden dan inti akar
decenden dari saraf trigeminus (N.V). hubungan sentralnya identik dengan saraf trigeminus.
Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI, dan keluar di
bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral pons, di antara nervus V dan
nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius dan nervus VIII memasuki meatus
akustikus internus. Di sini nervus fasialis bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu
berkas saraf yang berjalan dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia
keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang untuk mersarafi otototot wajah.
PATOFISIOLOGI (6)
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bells palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus
fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bells palsy hampir selalu
terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi
paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh. Patofisiologinya belum jelas, tetapi
salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan
peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat
melalui tulang temporal.
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang
mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental.
Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat

menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis
bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa
terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan
asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer. Karena
adanya suatu proses yang dikenal awam sebagai masuk angin atau dalam bahasa inggris
cold. Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela
yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bells palsy. Karena itu nervus
fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan
fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau
kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di
pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis.
Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis
atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul
bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3
bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bells palsy adalah
reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis.
Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang
herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan pada Bells palsy akan terjadi bagian atas dan bawah
dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat
ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut
mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucukan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena
lagophtalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu.
ETIOLOGI (1)
Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat dikelompokkan sebagai
berikut:

A.

Idiopatik
Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang disebut bells palsy. Faktorfaktor yang diduga berperan menyebabkan Bells Palsy antara lain : sesudah bepergian jauh

dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi,
diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor genetic.
B.

Kongenital

a.

anomali kongenital (sindroma Moebius)

b.

trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)

C.

Didapat

1. Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)


2. Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll)
3. Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)
4. Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll)
5. Sindroma paralisis n. fasialis familial
GEJALA KLINIK (1, 2)
Manifestasi klinik BP khas dengan memperhatikan riwayat penyakit dan gejala
kelumpuhan yang timbul. Pada anak 73% didahului infeksi saluran napas bagian atas yang erat
hubungannya dengan cuaca dingin. Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada telinga
atau sekitarnya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot
wajah berupa :

Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh (lagophthalmos).

Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata berputar zXke atas bila
memejamkan mata, fenomena ini disebutBell's sign

Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang lumpuh dan
mencong ke sisi yang sehat.
Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi :

a.

Lesi di luar foramen stilomastoideus Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat,makanan
berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang.
lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi
maka air mata akan keluar terus menerus.

b.

Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani) Gejala dan tanda klinik seperti pada (a),
ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi
yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus

intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani
bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
c.

Lesi

di

kanalis

fasialis

lebih

tinggi

lagi

(melibatkan

muskulus

stapedius)

Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b), ditambah dengan adanya hiperakusis.
d.

Lesi

di

tempat

yang

lebih

tinggi

lagi

(melibatkan

ganglion

genikulatum)

Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c) disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang
telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka. Ramsay
Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion
genikulatum.Lesi herpetik terlibat di membran timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.
e.

Lesi di daerah meatus akustikus interna, Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c), (d),
ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.
DIAGNOSA (4)

A.

Anamnesa
- Rasa nyeri
- Gangguan atau kehilangan pengecapan.
- Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan terbuka
atau di luar ruangan.
- Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran pernafasan, otitis,
herpes, dan lain-lain.

B.

Pemeriksaan Fisik
Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal :

1.

Mengerutkan dahi

2.

Memejamkan mata

3.

Mengembangkan cuping hidung

4.

Tersenyum

5.

Bersiul

6.

Mengencangkan kedua bibir

C.

Pemeriksaan Laboratorium.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis Bells palsy.

D.

Pemeriksaan Radiologi.

Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bells palsy. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan jika
dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang, stroke, sklerosis multipel dan
AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien Bells palsy akan menunjukkan adanya
penyangatan (Enhancement) pada nervus fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum.
DIAGNOSA BANDING (2)
1.

Infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom)


Ramsay Hunt Syndrome (RHS) adalah infeksi saraf wajah yang disertai dengan ruam
yang menyakitkan dan kelemahan otot wajah.
Tanda dan gejala RHS meliputi:

Ruam merah yang menyakitkan dengan lepuh berisi cairan di gendang telinga, saluran
telinga eksternal, bagian luar telinga, atap dari mulut (langit-langit) atau lidah

Kelemahan (kelumpuhan) pada sisi yang sama seperti telinga yang terkinfeksi

Kesulitan menutup satu mata

Sakit telinga

Pendengaran berkurang

Dering di telinga (tinnitus)

Sebuah sensasi berputar atau bergerak (vertigo)

Perubahan dalam persepsi rasa

2.

Miller Fisher Syndrom


Miller Fisher syndrom adalah varian dari Guillain Barre syndrom yang jarang
dijumpai.Miiler Fisher syndrom atau Acute Disseminated Encephalomyeloradiculopaty ditandai
dengan trias gejala neurologis berupa opthalmoplegi, ataksia, dan arefleksia yang kuat. Pada
Miller Fisher syndrom didapatakan double vision akibat kerusakan nervus cranial yang
menyebabkan kelemahan otot otot mata . Selain itu kelemahan nervus facialis menyebabkan
kelemahan otot wajah tipe perifer. Kelumpuhan nervus facialis tipe perifer pada Miller Fisher
syndrom menyerang otot wajah bilateral. Gejala lain bisa didapatkan rasa kebas, pusing dan
mual.
TATA LAKSANA (1, 8)

1.

Istirahat terutama pada keadaan akut

2.

Medikamentosa
a.

Pemberian kortikosteroid (perdnison dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral atau 1

mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian), dimana


pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan
peluang kesembuhan pasien.
Dasar dari pengobatan ini adalah untuk menurunkan kemungkinan terjadinya kelumpuhan yang
sifatnya permanen yang disebabkan oleh pembengkakan nervus fasialis di dalam kanal fasialis
yang sempit.
b.

Penggunaan obat- obat antivirus . Acyclovir (400 mg selama 10 hari) dapat

digunakan dalam penatalaksanaan Bells palsy yang dikombinasikan dengan prednison atau
dapat juga diberikan sebagai dosis tunggal untuk penderita yang tidak dapat mengkonsumsi
prednison.Penggunaan Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset
penyakit untuk mencegah replikasi virus.
c.

Perawatan mata:

Air mata buatan: digunakan selama masa sadar untuk menggantikan lakrimasi yang hilang.

Pelumas digunakan saat tidur: Dapat digunakan selama masa sadar jika air mata buatan
tidak mampu menyedikan perlindungan yang adekuat. Satu kerugiannya adalah pandangan
kabur.

Kacamata atau tameng pelindung mata dari trauma dan menurunkan pengeringan dengan
menurunkan paparan udara langsung terhadap kornea

3.

Fisioterapi
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada stadium akut.
Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Cara yang sering digunakan
yaitu : mengurut/massage otot wajah selama 5 menit pagi-sore atau dengan faradisasi.

4.

Operasi
Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat menimbulkan
komplikasi lokal maupun intracranial.
Tindakan operatif dilakukan apabila :

tidak terdapat penyembuhan spontan

tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednison

KOMPLIKASI (2, 9,10)


1.

Crocodile tear phenomenon.


Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul beberapa bulan setelah
terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari serabut otonom yang
seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion
genikulatum.

2.

Synkinesis
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri. selalu timbul gerakan
bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan timbul gerakan (involunter)
elevasi sudut mulut,kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi. Penyebabnya adalah innervasi
yang salah, serabut saraf yang mengalami regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot
yang salah.

3.

Tic Facialis sampai Hemifacial Spasme


Timbul kedutan pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak terkendali) dan juga
spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal hanya mengenai satu sisi wajah saja,
tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat
memperberat spasme ini. Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul
dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian.
PROGNOSIS (3, 6,7)
Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bells palsy cenderung memiliki prognosis yang
baik. Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bells palsy, 85% memperlihatkan tandatanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 3-6
bulan kemudian.
Sepertiga dari penderita Bells palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala sisa. 1/3
lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan baik. Penderita
seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata. 1/3 sisanya cacat seumur hidup.
Penderita Bells palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor resiko yang
memperburuk prognosis Bells palsy adalah:

1.

Usia di atas 60 tahun

2.

Paralisis komplit

3.

Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,

4.

Nyeri pada bagian belakang telinga dan

5.

Berkurangnya air mata.


Pada penderita kelumpuhan nervus fasialis perifer tidak boleh dilupakan untuk mengadakan
pemeriksaan

neurologis

dengan

teliti

untuk

mencari

gejala

neurologis

lain.

Pada umumnya prognosis Bells palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam waktu 6
minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih,
mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita
yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya punya perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh
total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita
cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme
hemifasial.
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita nondiabetik
dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23 % kasus Bells palsy
yang mengenai kedua sisi wajah. Bells palsy kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 %
penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.
KESIMPULAN (1)
Bells palsy adalah kelumpuhan akut dari nervus fasialis VII yang dapat menyebabkan
gangguan pada indera pengecapan , yaitu pada dua per tiga anterior lidah.Penyakit ini lebih
sering ditemukan pada usia dewasa dan jarang pada anak.
Diagnosis dapat ditegakkan secara klinik setelah kausa yang jelas untuk lesi n. fasialis perifer
disingkirkan. Terapi yang dianjurkan saat ini ialah pemberian prednison, fisioterapi dan kalau
perlu operasi

DAFTAR PUSTAKA
1.

Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi;
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300

2.

Dr P Nara, Dr Sukardi, Bells Palsy, http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/sPalsy.pdf/


sPalsy.html (diakses tanggal 11 desember 2011)

3.

Danette C Taylor, DO, MS. 2011, Bell Palsy,http://emedicine.medscape.com/article/1146903overview#a0156 (diakses tanggal 22 Desember 2011).

4.

Annsilva, 2010, Bells Palsy, http://annsilva.wordpress.com/2010/04/04/bells-palsy-casereport/ (diakses tanggal 11 desember 2011)

5.

Lumbantobing. 2007.Neurologi Klinik.Jakarta: Universitas Indonesia.

6.

Irga, 2009, Bells Palsy, http://www.irwanashari.com/260/bells-palsy.html, (diakses tanggal


12 Desember 2011)

7.

Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174

8.

Nurdin, Moslem Hendra, 2010, Bell Palsy,http://coolhendra.blogspot.com/2010/08/bellpalsy.html (diakses tanggal 12 desember 2011)

9.

Sabirin J. Bells Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I. Semarang :
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81 2

10. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta : Dian Rakyat, 1985 :
311-17

Anda mungkin juga menyukai