Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

BELL’S PALSY

Disusun Oleh :
Yoshua Ariel Pattiselanno
1261050092

Pembimbing:

Dr. Tumpal A Siagian, Sps

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Saraf


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
Periode 1 OKTOBER 2018 – 3 NOVEMBER 2018
BAB I
PENDAHULUAN

Bell’s palsy adalah neuropati wajah akut dan merupakan penyebab paling
umum dari palsy neuron wajah motoric yang lebih rendah.1 Presentasi klinis dari
gangguan ini adalah onset cepat, unilateral, tipe neuron – lower motorik bawah yang
lemah dengan gejala yang menyertai nyeri postauricular, perubahan rasa kecap
(dysgeusia), perubahan subjektif dalam sensasi wajah dan pendengaran menjadi
hipersensitif (hyperracusis). Presentasi klinis ini dapat dijelaskan oleh konstruk anatomi
saraf wajah manusia, khususnya profil saraf campurannya yang mengandung serat
motoric, sensorik, dan parasimpatik.2kecenderungan untuk saraf wajah untuk
membentuk banyak koneksi dengan saraf kranial yang berdekatan juga dapat
menjelaskan fitur yang kadang diamati dari sensasi wajah yang berubah (saraf kranial
V), disfungsi vestibular (saraf kranial VIII), atau gejala faring (saraf kranial IX dan
X).3Cacat maksimal terjadi dalam waktu 48-72 jam pertama dan keparahan palsy
berkorelasi dengan durasi disfungsi wajah, tingkat pemulihan wajah dan penurunan
kualitas hidup.
Meskipun studi ekstensif tentang kondisi ini, pathogenesis yang tepat dari Bell’s
palsy masih kontroversial4. Infeksi (herpes simpleks tipe-1), kompresi saraf,
autoimunitas semuanya dapat memainkan peran, namun urutan dan besarnyapengaruh
ini tetap tidak jelas.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Bell’s palsy adalah neuropati wajah akut dan merupakan penyebab paling
umum dari palsy neuron wajah motoric yang lebih rendah.1 Presentasi klinis dari
gangguan ini adalah onset cepat, unilateral, tipe neuron – lower motorik bawah yang
lemah dengan gejala yang menyertai nyeri postauricular, perubahan rasa kecap
(dysgeusia), perubahan subjektif dalam sensasi wajah dan pendengaran menjadi
hipersensitif (hyperracusis).

2.2 EPIDEMIOLOGI
Insedensi Bell’s palsy di Amerika Serikat adalah sekitar 23 kasus per 100.000
orang, dimana setiap tahunnya terdapat 40.000 orang di Amerika Serikat yang menderita
penyakit ini. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Insiden
Bell’s palsy tampak cukup tinggi pada orang-orang keturunan jepang, dan tidak ada
perbedaan distribusi jenis kelamin pada pasien-pasien dengan Bell’s palsy. Di dunia,
insiden terendah ditemukan di Swedia pada tahun 1997. Penyakit ini dapat mengenai
semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 20-40 tahun.
Bell’s palsy lebih jarang pada orang-orang yang berusia dibawah 15 tahun dan
yang berusia 60 tahun. Peluang untuk terjadinya Bell’s palsy pada laki-laki sama dengan
wanita. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena
daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Pada kehamilan trismester ketiga dan
2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya terkena Bell’s palsy dapat mencapai
3,3 kali lipat. Pada wanita hamil dengan preeklampsia juga sering terkena Bell’s palsy.
Bell’s palsy diperkirakan menyebabkan sekitar 60-75% dari total kasus
kelumpuhan wajah unilateral akut, dengan 63% terkena disisi kanan. Bell’s palsyjuga
dapat mengalami kekambuhan, dengan kejadian rekurensi dilaporkan antara 4-14%
Bell’s palsy bilateral dapat terjadi meski sangat langka. Bell’s palsy menyumbang hanya
23% dari kelumpuhan bilateral dan memiliki tingkat kejadian yang kurang dari 1%
disbanding kelumpuhan saraf wajah unilateral. Sebagian besar pasien dengan bilateral

3
facial palsy menderita Guillain-Brarre syndrome,sarcoidosis, penyakit Lyme, meningitis
(neoplastic atau infeksi), atau neurofibroma bilateral (pada pasien dengan
neurofibromatosis tipe 2).
Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibandingkan non-
diabetes. Dengan demikian,mengukur kadar glukosa darah pada saat diagnosis Bell’s
palsy dapat mendeteksi diabetes yang belum terdiagnosis. Penderita diabetes 30% lebih
mungkin mengalami pemulihan parsial dibandingkan pasien non diabetes dengan tingkat
rekuensin pada penderita diabetes mellitus juga lebih tinggi. Bell’s palsy juga lebih sering
mengenai penderita immunocompromised.

2.3 ETIOLOGI
Hingga saat ini Bell’s palsy masih belum diketahui penyebabnya. Diperkirakan
penyebab Bell’s palsy adalah edema dan iskemia akibat penekanan (kompresi) nervus
fasialis. Penyebab edema dan iskemia ini samapai saat ini masih diperdebatkan.
Penyebab yang saat ini dipercaya sebagai sebagai penyebab antara lain:
1 Suhu : dahulu paparan suasana/suhu dingin (misalnya hawa dingin, AC, atau
menyetir mobil dengan jendela yang terbuka) dianggap sebagai satu satunya
pemicu Bell’s palsy. Akan tetapi, sekarang mulai diyakini bahwa terdapat
penyebab lain yang dapat menyebabkan Bell’s palsy
2 Infeksi : HSV dianggap sebagai virus utama penyebab Bell’s palsy, karena telah
diidentifikasi HSV pada ganglion genicula pada beberapa penelitian otopsi.
Murakami et all juga melakukan tes PCR (polymerase Chain Reaction) pada
cairan endoneural Nervus VII penderita Bell’s palsy berat yang menjalani
pembedahan dan menemukan HSV dalam cairan endoneural. Virus ini
diperkirakan dapat berpindah secara axonal dari saraf sensorik dan menempati
sel ganglion, pada saat adanya stress, akan terjadi reaktivasi virus yang akan
menyebabkan kerusakan local pada myelin. Infeksi lain seperti infeksi herpes
zoster,syphilis, Epstein-Barr, cytomegalovirus, human immunodefieciency
virus (HIV), dan mycoplasma juga dipercaya dapat menyebabkan Bell’s palsy.
3 Autoimun : dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi
terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian
imunisasi. Kelainan autoimun menyebabkan demyeinisasi dari nervus fasialis
dan menghasilkan paralisis nervus fasialis unilateral.

4
2.4 ANATOMI
Nervus fasialis merupakan salah satu nervus kranialis yang berfungsi untuk
motorik sensorik somatik, dan aferen eferen visceral. Nervus fasialis memiliki dua
subdivisi, yang pertama adalah yang mempersarafi otot ekspresi wajah, kemudian yang
kedua memiliki serat yang jauh lebih tipis yaitu intermediate yang membawa aferen
otonom, somatik, dan eferen otonom.
Nervus Facialis akan berjalan dengan N. Vestibulocochlearis akan melalui
meatus akustikus internus. Selanjutnya N. Fasialis akan berjalan dalam kanalis fasialis.
Dalam kanalis fasialis, N. Fasialis membentuk ganglion genikulatum dan chorda tympani
kemudian keluar melalui foramen stylomastoideus yang selanjutnya mempersarafi otot
– otot wajah.1
Nervus fasialis mengandung 4 macam serabut, yaitu:
1. Serabut somato-motorik, yang mensarafi otot – otot wajah (kecuali m. levator
palpebrae (N.III)), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagianposterior dan
stapedius di telinga tengah.
2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus
salivariussuperior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring,
palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilar serta
sublingual dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik yang menghantar impuls dari alat pengecap di 2/3
bagian depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba
dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang disarafi oleh N. Trigeminus. Daerah
overlapping (disarafi oleh lebih dari satu saraf (tumpang tindih) ini terdapat di
lidah, palatum, meatus akustikus eksterna dan bagian luar gendang telinga.

5
2.1.Nukleus pada Nervus Fasialis
1. Nukleus Fasialis
Nukleus fasialis merupakan nukleus somatomotorik khusus (branchiomotorik)
yang terletak di lateral tegmentum pontis yang kemudian berjalan mengelilingi
bagian kranial nukleus abdusens yang dikenal sebagai genu nervi facialis. Dari
genu tersebut berjalan kearah ventrolateral untuk keluar pada permukaan batang
otak pada tepi kaudal pons. Serat – serat branchiomotorik ini melayani otot – otot
muka (mm. faciales), platysma myoides, m. stylohyoideus dan venter posterior m.
digastricus dan secara khusus mengurus m. stapedius.1

Dari girus precentralis lobus frontalis cortex cerebri berjalan traktus


kortikonuklearis menuju nukleus fasialis. Bagian nukleus fasialis yang melayani
otot – otot muka bagian atas menerima fibrae kortikonuklearis dari kedua belah

6
hemisfer serebri. Sedangkan bagian nukleus fasialis yang melayani otot – otot
muka bagian bawah menerima fibrae kortikonuklearis dari hemisfer serebri sisi
kontralateral.1

2. Nervus Intermedius, mengandung nukleus – nukleus sebagai berikut:


a. Nukleus Salivatorius Cranialis
Merupakan sekelompok nukleus viseromotorik (sekretomotorik).
Berasal dari bagian dorsolateral formation retikularis berjalan menuju
foramen laserum dan bergabung dengan N. Petrosus profundus yang berasal
dari pleksus simpatikus karotis interna untuk membentuk N. Kanalis
pterygoideus Vidianus. Saraf ini akan berjalan didalam Kanalis Pterygoideus
Vidii dan mencapai ganglion pterygopalatinus, selanjutnya akan mengurus

7
glandula lakrimalis, glandula nasalis dan glandula palatina. Nukleus
Salivatorius Cranialis juga

mempercabangkan serat sekretomotorik yang berjalan dalam chorda tympani


menuju ganglion submandibulare. Selanjutnya akan mengurus glandula
submandibulare dan glandula sublingualis.1
b. Nukleus Solitarius
Merupakan nukleus viserosensorik yang berjalan dalam chorda tympani, yang
mengandung serat – serat gustatorik yang membawa impuls – impuls rasa
pengecap dari daerah 2/3 anterior dorsum linguae. Selanjutnya dari nukleus
solitaries impuls diteruskan menuju nukleus thalamus, kemudian dari nukleus
thalamus diteruskan menuju daerah gustatorik.

8
c. Nukleus Spinalis Nervi Trigemini
Merupakan nukleus somatosensorik. Serat – serat ini disebarkan kedaerah
kulit sekitar meatus akustikus eksternus.1

9
2.5 PATOFISIOLOGI
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut
pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s
palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu
minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau
kambuh (Mardjono,2003).
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya
proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus
fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal.
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang
mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen
mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi
atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang
dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear,
nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik
primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan
daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer (Mardjono,2003).
Nervus fasialis terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin,
di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang
tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan
fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai
kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu,
paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral
dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa
penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe
1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster
karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di
ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN (Mardjono,2003).

10
2.6 MANIFESTASI KLINIS

Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun
tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah merasakan adanya
kelainan di daerah mulut maka penderita biasanya memperhatikannya lebih cermat
dengan menggunakan cermin (Djamil, 2003).
Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata tidak dapat
dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya maka bola
mata tampak berputar ke atas (Bell phenomen). Penderita tidak dapat bersiul atau
meniup, apabila berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut yang lumpuh
(Djamil, 2003,Afzal Mir,2003).

11
a. Lesi di luar foramen stilomastoideus
 Mulut tertarik kea rah sisi mulut yang sehat
 Makanan berkumpulan di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep
sensation) di wajah menghilang.
 Lipatan kulit menghilang.
 Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air
mata akan keluar terus menerus.
b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
 Gejala dan tanda klinik seperti (a)
 Ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah 2/3 bagian depan
dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan
pada lidah menunjukan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus
menunjukan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani
bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
 Gejala dan tanda seperti (a) dan (b)
 Ditambah dengan adanya hiperakusis
d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
 Gejala dan klinik seperti (a),(b),(c)
 Disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti
ini dapat terjadi pasca herpes di membrane timpani dan konka.
e. Lesi di daerah meatus akustikus ionterna
 Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c), (d)
 Ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.
f. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.
 Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda
terlibatnya nervus trigeminus, nervus akustikus, dan kadang- kadang juga
nervus abdusens, nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus (Djamil, 2003).

12
2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakan dengan melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya parese dari
nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat memenjamkan mata dan
adanya rasa nyeri pada telingan. Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan. Harus
dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada Bell’s palsy lesinya besifat LMN.
a. Anamnesis
Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa bahwa mereka
menderita stroke atau tumor intrakranial. Biasanya timbul secara mendadak,
penderita menyadari adanya kelumpuhan pada salah satu sisi wajahnya pada waktu
bangun pagi, bercermin atau saat sikat gigi, berkumur atau diberitahukan oleh orang
lain bahwa salah satu sudut mulut penderita lebih rendah. Bell’s palsy hamper selalu
unilateral, namun pernah dilaporkan terjadi secara bilateral.
 Nyeri postauricular: hampir 50% pasien menderita nyeri di region mastoid.
Nyeri sering muncul secara simultan disertai dengan paresis, tetapi paresis
muncul dalam 2-3 hari pada sekitar 25% pasien.
 Aliran air mata: dua pertiga pasien mengeluh mengenai aliran air mata
mereka. Ini disebabkan akibat penurunan fungsi orbicularis oculi dalam
mengalirkan air mata. Hanya sedikit air mata yang dapat mengalir hingga
saccus lacrimalis dan terjadi kelebihan cairan. Praduksi air mata tidak di
percepat.
 Perubahan rasa: hanya sepertiga pasien mengeluh tentang gangguan rasa,
empat dari lima pasien menunjukan penurunan rasa. Hal ini terjadi akibat
hanya setengah bagian lidah yang terlibat.
 Hiperakusis: kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada telinga akibat
peningkatan iritabilitas mekanisme neuron sensoris.
b. Pemeriksaan fisik
Gambaran paralisis wajah mudah dikenali pada pemeriksaan fisik. Pemeriksaan
yang lengkap dan tepat dapat menyingkirkan kemungkinan penyebab lain paralisis
wajah. Pikiran etiologi lain jika semua cabang nervus fasialis tidak mengalami
gangguan.
 Kelemahan dan/atau paralisis akibat gangguan pada nervus facialis
tampak sebagai kelemahan seluruh wajah (bagian atas dan bawah) pada sisi

13
yang diserang. Perhatikan gerakan volunter bagian atas wajah pada sisi
yang diserang.
 Pada lesi supranuklear seperti stroke kortikal (neuron motorik atas; di
atas nucleus facialisdi pons), dimana sepertiga atas wajah mengalami
kelemahan dan dua per tiga bagian bawahnya mengalami paralisis. Musculus
orbicularis, frontalis dan corrugator diinervasi secara bilateral, sehingga
dapat dimengerti mengenai pola paralisis wajah.

2.8 KOMPLIKASI
Hampir semua pasien dengan Bell palsy dapat sembuh tanpa
mengalami deformitas kosmetik, tetapi sekitar 5% mengalami gejala sisa cukup berat
yang tidak dapat diterima oleh pasien.
a. Regenerasi motorik yang tidak sempurna.
 Bagian terbesar dari nervus facialis terdiri dari serabut saraf eferen
yang merangsang otot-otot ekspresi wajah. Bila bagian motorik
mengalami regenerasi yang tidak optimal, maka dapat terjadi paresis
semua atau beberapa otot wajah tersebut.
 Gangguan tampak sebagai (1) inkompetensi oral, (2) epifora (produksi
air mata berlebihan), dan (3) obstruksi nasal.
b. Regenerasi sensoris yang tidak sempurna.
 Dysgeusi (gangguan rasa).
 Ageusia (hilang rasa).
 Dysesthesia gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sesuai dengan
stimulus normal).
c. Reinervasi aberan dari nervus facialis
 Setelah gangguan konduksi neuron pada nervus facialis dimulai
dengan regenerasi dan proses perbaikan, beberapa serabut saraf akan
mengambil jalan lain dan dapat berhubungan dengan serabut saraf di
dekatnya. Rekoneksi aberan ini dapat menyebabkan jalur neurologik
yang tidak normal.
 Bila terjadi gerakan volunter, biasanya akan disertai dengan
gerakan involunter (seperti gerakan menutup mata yang satu diikuti

14
dengan gerakan menutup mata disebelahnya). Gerakan involunter
yang myertai gerakan volunteer ini disebut synkinesis.

2.9 PENATALAKSANAAN
 Menjaga agar muka tetap hangat dan menghindari agar tidak terbuka terutama
terhadap angin dan debu
 Lakukan pijatan perlahan - lahan kearah atas pada oto - otot yang terkena
selama 5 - 10 menit (2 - 3 kali sehari) untuk menjaga tonus otot.
 Pemanasan dengan memakai lampu infra merah dapat mempercepat
penyembuhan.
 Medikarmentosa

Bell’s Palsy diobati sebagai kasus neuritis.


Ketidaknyamanan diobati dengan aspirin atau dicampur dengan codein. Dalam tahap akut
kortikosteroid dapat digunakan salah satu contohnya adalah prednisone 1
mg/kgbb/hari.pemberian antivirus contohnya asiklofor 2 x 400 mg.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Prof. Dr mahar mardjono, Prof dr. Priguna Sidharta, Saraf Otak Dan Patologinya,
Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat Edisi ke VI Halaman 161 – 2
2. Gilroy, John, dan Neorologic Examination And Fungtional Neuroanatomy, Medical
Neorology, Macmillan Publishing Co, inc,3th ed. page 37,625
3. Burt, Alvin M, Sinopsis Of The Cranial Nerves, Text Book of Neuroanatomy, W.B.
Saunders, Co, 1th ed. 1992 page 419 – 20
4. Duus, Peter. Diagnosis Topik Neurologi. Edisi 2. Jakarta: EGC, 1996. Hlm: 112 – 119.
5. Juwono. Pemeriksaan Klinik neurologik Dalam Praktek. Jakarta: FK UI.1996; 34-36.
6. Waxman, Stephen G. Correlative Neuroanatomy. Edisi 24. Unite States of America:
McGraw Hill, 2000. Hlm: 114 – 115.

16

Anda mungkin juga menyukai