Anda di halaman 1dari 16

REFERAT BELL’S PALSY

Disusun oleh :
Hasian Ayusari Silalahi
NIM :
1765050101

Pembimbing :
Dr. Viola Maharani, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI


PERIODE 15 JUNI – 27 JUNI 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Bell’s palsy adalah suatu kelumpuhan saraf fasialis perifer yang bersifat unilateral,
penyebabnya tidak diketahui (idopatik), akut dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran,
kelainan neurologi lainnya atau kelainan lokal.Diagnosis biasanya ditegakkan bila semua
penyebab yang mungkin telah disingkirkan.(1)
Sir Charles Bell (1774-1842) dikutip dari Singhi2 dan Cawthorne4 adalah orang
pertama yang meneliti tentang sindroma kelumpuhan saraf fasialis dan sekaligus
meneliti tentang distribusi dan fungsi saraf fasialis. Oleh karena itu nama Bell diambil
untuk diagnosis setiap kelumpuhan saraf fasialis perifer yang tidak diketahui
penyebabnya.(1)
Saraf fasialis (N.VII) mengandung sekitar 10.000 serabut saraf yang terdiri dari
7.000 serabut saraf motorik untuk otot-otot wajah dan 3.000 serabut saraf lainnya
membentuk saraf intermedius (Nerve of Wrisberg) yang berisikan serabut sensorik
untuk pengecapan 2/3 anterior lidah dan serabut parasimpatik untuk kelenjer parotis,
submandibula, sublingual dan lakrimal. Insiden Bell’s palsy dilaporkan sekitar 40-70%
dari semua kelumpuhan saraf fasialis perifer akut.(1)
Prevalensi rata-rata berkisar antara 10–30 pasien per 100.000 populasi per tahun
dan meningkat sesuai pertambahan umur. Insiden meningkat pada penderita diabetes
dan wanita hamil. Sekitar 8-10% kasus berhubungan dengan riwayat keluarga pernah
menderita penyakit ini. (2)
Tujuan dari penulisan tinjauan pustaka ini adalah untuk mengetahui pengertian
dari Bell’s palsy, bagaimana proses patofisiologi,manifestasi klinis. Dan hal yang menjadi
focus perhatian disini adalah cara mendiagnosis Bell’s palsy dan pengobatan, baik
menggunakan terapi medikamentosa atau non-medikamentosa.







BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

BeIl’s palsy adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral karena gangguan nervus
fasialis perifer yang bersifat akut dengan penyebab yang tidak teridentifikasi dan dengan
perbaikan fungsi yang terjadi dalam 6 bulan.(2,3,4)
Bell’s palsy adalah suatu kelumpuhan saraf fasialis perifer yang bersifat unilateral,
penyebabnya tidak diketahui (idopatik), akut dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran,
kelainan neurologi lainnya atau kelainan lokal.2,3 Diagnosis biasanya ditegakkan bila semua
penyebab yang mungkin telah disingkirkan.(3,4,5)

B. EPIDEMIOLOGI
Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling sering ditemukan, yaitu
sekitar 75% dan seluruh paralisis fasialis. Insiden bervariasi di berbagai Negara di seluruh
dunia. Perbedaan insidensi ini tergantung pada kondisi geografis masing- masing negara.
Insiden tahunan yang telah dilaporkan berkisar 11-40 kasus per 100.000 populasi.(6,7)
Puncak insiden terjadi antara dekade kedua dan keempat (15-45 tahun). Tidak dijumpai
perbedaan prevalensi dalam jenis kelamin. Insiden meningkat tiga kali lebih besar pada wanita
hamil (45 kasus per 100.000). Sebanyak 5-10% kasus Bell’s palsy adalah penderita diabetes
mellitus. Bell’s palsy jarang ditemukan pada anak- anak < 2 tahun. Tidak ada perbedaan pada
sisi kanan dan kiri wajah. Kadang- kadang paralisis saraf fasialis bilateral dapat terjadi dengan
prevalensi 0,3- 2%.(7,8)
Resiko terjadinya rekurensi dilaporkan sekitar 8-12% kasus, dengan 36% pada sisi yang
sama dan 64% pada sisi yang berlawanan. Adanya riwayat keluarga positif diperkirakan pada
4-14% kasus Bell’s palsy (Kubik dkk, 2012) Suatu studi epidemiologi yang dilakukan oleh
Monini dkk (2010) terhadap 500.000 penduduk di satu wilayah di Roma ltalia selama 2 tahun,
telah rnenemukan jumlah pasien Bell’s palsy sebanyak 381 orang, dengan insiden kumulatif
sebesar 53,3 kasus pertahun.(7,8)

C. ANATOMI SARAF FASIALIS


Saraf fasialis merupakan saraf campuran yang terdiri dari 2 akar saraf, yaitu akar
motorik (lebih besar dan lebih medial) dan intermedius (lebih kecil dan lebih lateral). Akar
motorik berasal dari nukleus fasialis dan berfungsi membawa serabut- serabut motorik ke otot-
otot ekspresi wajah. Saraf intermedius yang berasal dari nukleus salivatorius anterior,
membawa serabut-serabut parasimpatis ke kelenjar lakrimal, submandibular, dan sublingual.
Saraf intermedius juga membawa serabut- serabut aferen untuk pengecapan pada dua pertiga
depan lidah dan aferen somatik dari kanalis auditori eksterna dan pinna.(9)
Selanjutnya saraf memasuki kanalis fasialis. Kanalis fasialis (fallopi) memiliki panjang
sekitar 33 milimeter (mm), dan terdiri dari 3 segmen yang berurutan: labirin, timpani dan
mastoid. Segmen labirin terletak antara vestibula dan cochlea dan mengandung ganglion
genikulatum. Karena kanal paling sempit berada di segmen labirin ini (rata- rata diameter 0,68
mm), maka setiap terjadi pembengkakan saraf, paling sering menyebabkan kompresi di daerah
ini. Pada ganglion genikulatum, muncul cabang yang terbesar dengan jumlahnya yang sedikit
yaitu saraf petrosal. Saraf petrosal meninggalkan ganglion genikulatum, memasuki fossa
cranial media secara ekstradural, dan masuk kedalam foramen lacerum dan berjalan menuju
ganglion pterigopalatina. Saraf ini mendukung kelenjar lakrimal dan palatine.(6)
Serabut saraf lainnya berjalan turun secara posterior di sepanjang dinding medial dari
kavum timpani (telinga tengah), dan memberikan percabangannya ke musculus stapedius
(melekat pada stapes). Lebih ke arah distal, terdapat percabangan lainnya yaitu saraf korda
timpani, yang terletak ± 6 mm diatas foramen stylomastoideus. Saraf korda timpani merupakan
cabang yang paling besar dari saraf fasialis, berjalan melewati membran timpani, terpisah dari
kavum telinga tengah hanya oleh suatu membran mukosa. Saraf tersebut kemudian berjalan ke
anterior untuk bergabung dengan saraf lingualis dan didistribusikan ke dua pertiga anterior
lidah.(9)
Korda timpani mengandung serabut- serabut sekretomotorik ke kelenjar sublingual dan
submandibularis, dan serabut aferen viseral untuk pengecapan, Badan sel dari neuron gustatori
unipolar terletak didalam ganglion genikulatum, dan berjalan malalui saraf intermedius ke
traktus solitarius.(9)
Setelah keluar dari foramen stylomastoideus, saraf fasialis membentuk cabang kecil ke
auricular posterior (mempersarafi m.occipitalis dan m. stylohoideus dan sensasi kutaneus pada
kulit dari meatus auditori eksterna) dan ke anterolateral menuju ke kelenjar parotid. Di kelenjar
parotid, saraf fasialis kemudian bercabang menjadi 5 kelompok (pes anserinus) yaitu temporal,
zygomaticus, buccal, marginal mandibular dan cervical. Kelima kelompok saraf ini terdapat
pada bagian superior dari kelenjar parotid, dan mempersarafi dot- otot ekspresi wajah,
diantaranya m. orbicularis oculi, orbicularis oris, m. buccinator dan m. Platysma.(9)
Gambaran Perjalanan Anatomi N.VII
(Moore, K.L., A.M.R. 2002. Essential Clinical Anatomy, 2nd Edition.
Lippincott Williams & Wilkins. Batimore)
D. ETIOLOGI
Bell’s palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada ganglion genikulatum,
yang menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi. Ganglion ini terletak didalam kanalis
fasialis pada persambungan labirin dan segmen timpani, dimana lengkungan saraf secara tajam
memasuki foramen stylomastoideus.(7)
Secara klinis, Bell’s palsy telah didefinisikan idiopatik, dan penyebab proses inflamasi
masih tidak jelas. Beberapa teori telah diduga sebagai penyebab dari Bell’s palsy, antara lain
iskemik vaskular, imunologi, infeksi dan herediter telah diduga menjadi penyebab.(6)

Beberapa mekanisme termasuk iskemia primer atau inflamasi saraf fasialis,


menyebabkan edema dan penjepitan saraf fasialis selama perjalanannya didalam kanal tulang
temporal dan menghasilkan kompresi dan kerusakan langsung atau iskemia sekunder terhadap
saraf. Teori ini merupakan latar belakang untuk dekompresi bedah pada pengobatan Bell’s
palsy.8 Suatu hipotesa imunologis telah diperkenalkan oleh Mc. Govern dkk, berdasarkan
penelitian eksperimental pada hewan. Begitu juga Hughes dkk, menemukan transformasi
limfosit pada pasien Bell’s palsy dan menduga bahwa beberapa penyebab Bell’s palsy
merupakan hasil dari cell mediated immunity melawan antigen saraf perifer. Hasil ini
mendukung penelitian selanjutnya dengan steroid dan imunoterapi lainnya.(6)

Mekanisme lainnya adalah infeksi virus, yang secara langsung merusak fungsi saraf
melalui mekanisme inflamasi, yang kemungkinan terjadi pada seluruh perjalanan saraf dan
bukan oleh kompresi pada kanal tulang.8 Suatu penelitian systematic review berdasarkan
Cochrane database, yang dilakukan terhadap beberapa penelitian randomized yang berkualitas
tinggi telah menyimpulkan bahwa antivirus tidak lebih efektif daripada plasebo dalam
menghasilkan penyembuhan lengkap pada pasien Bell’s palsy. Karena tidak efektifnya
antivirus dalam mengobati pasien Bell’s palsy sehingga perlu dipertimbangkan adanya
penyebab Bell’s palsy yang lain.(11)
Adanya peran genetik juga telah dikemukakan sebagai penyebab Bell’s palsy, terutama
kasus Bell’s palsy yang rekuren ipsilateral atau kontralateral. Kebanyakan kasus yang dijumpai
adalah autosomal dominant inheritance . Sejumlah penelitian telah berusaha rnemberikan
temuan objektif tentang dasar genetik dari BeII’s palsy, dan kebanyakan terpusat pada sistem
Human leucocyte antigen (HLA), yang memiliki hubungan objektif yang kuat dengan berbagai
penyakit autoimun.(11)
E. PATOFISIOLOGI

Saraf fasialis membawa sekitar 10.000 serabut saraf, dan 7.000 serabut tersebut
merupakan akson motorik yang bermielin yang mencapai otot- otot wajah. Masing- masing
dari serabut saraf tersebut dapat dikenai secara terpisah terhadap derajat trauma yang
berbeda.(9,10)
Sunderland telah mendeskripsikan lima derajat trauma yang dapat mengenai satu
serabut saraf perifer. Klasifikasi ini menggambarkan kejadian patofisiologi yang dihubungkan
dengan setiap jenis gangguan yang mengenai saraf fasialis secara lebih mudah. Tiga derajat
pertama dapat terjadi pada Bell’s palsy dan herpes zoster cephalicus. Derajat keempat dan
kelima dari trauma tersebut dapat terjadi bila terdapat gangguan dari saraf, seperti pada
transeksi saraf yang mungkin terjadi selama operasi, sebagai hasil dari fraktur tulang temporal
yang berat atau dari suatu pertumbuhan tumor jinak atau ganas yang tumbuh dengan
cepat.(9,10,11)
Pada Bell’s palsy, herpes zoster cephalicus, otitis media dan trauma, kompresi dapat
terjadi tiba- tiba atau lambat progresif dalam 5- 10 hari. Pada otitis media dan trauma, proses
yang terjadi lebih kepada tekanan yang mendesak saraf daripada gangguan intraneural, namun
hasil kompresi saraf tetap sama seperti pada Bell’s palsy dan herpes zoster cephalicus. Diawali
dengan penggembungan aksoplasma, kompresi pada aliran vena dan selanjutnya terjadi
kompresi saraf dan kehilangan akson- akson, dan dengan cepat terjadi kehilangan endoneural
tube yang kemudian menyebabkan derajat ketiga dari trauma. Pada derajat empat dan lima,
karena kebanyakan atau semua endoneural tube telah dirusak, sama seperti perineurium pada
derajat keempat trauma, dan prineurium dan epineurium pada pada trauma derajat kelima,
penyembuhan tidak akan pernah sebaik pada derajat pertama.(10,11)
Selama proses regenerasi saraf fasialis, terjadi tiga perubahan mayor pada akson, yaitu:
(1) perubahan pada jarak antara nodus renvier
(2) akson- akson yang baru terbentuk dilapisi oleh myelin yang lebih tipis daripada akson
normal
(3) terdapat pemecahan dan penyilangan dari akson- akson yang menginervasi kembali
kelompok- kelompok otot yang denervasi tanpa perlu menyesuaikan dengan susunan badan
sel- motor unit yang dijumpai sebelum terjadi degenerasi.
Akibat dari faktor- faktor ini, dapat terjadi suatu tic atau kedutan involunter. Selain itu,
terdapat juga gerakan yang tidak wajar, seperti gerakan mulut dengan berkedip, atau menutup
mata dengan tersenyum. Penyebab lain dari gerakan abnormal selama regenerasi mungkin
karena terjadi perubahan pada myoneural junction. Selain faktor- faktor ini, kemungkinan
terjadi perubahan didalam dan disekitar nukleus saraf fasialis di batang otak, sama seperti
perubahan pada hubungan sentral menuju badan sel. Kombinasi dari faktor- faktor ini, dapat
menyebabkan spasme yang terjadi pada sisi wajah yang paralisis, menyebabkan mata menutup
dan sudut mulut menarik. spasme ini dapat dirasakan cukup nyeri.(9,10)

F. MANIFESTASI KLINIS
Bell’s palsy adalah suatu gangguan saraf fasialis perifer akut, yang biasanya mengenai
hanya satu sisi wajah. Gambaran klinis bervariasi, tergantung lokasi lesi dari saraf fasialis
sepanjang perjalanannya menuju otot. Gejala dan tanda yang dihasilkan tidak hanya pada
serabut motorik termasuk ke otot stapedius, tetapi juga pada inervasi otonom kelenjar lakrimal,
submandibular, sensasi sebagian telinga, dan pengecapan pada du pertiga lidah melalui korda
timpani.(7,8,9)
Pasien Bell’s palsy biasanya datang dengan paralisis wajah unilateral yang terjadi
secara tiba-tiba. Temuan klinis yang sering termasuk alis mata turun, dahi tidak berkerut, tidak
mampu menutup mata, dan bila diusahakan tampak bola mata berputar ke atas (Bell's
phenomen), sudut nasolabial tidak tampak, dan mulut tertarik ke sisi yang sehat. Gejala lainnya
adalah berkurangnya air mata, hiperakusis, dan atau berkurangnya sensasi pengecapan pada
dua pertiga depan lidah.(7)
Beberapa literatur juga menyebutkan tentang nyeri sebagai gejala tambahan yang sering
dijumpai pada pasien BeIl’s palsy. Nyeri postauricular dapat ditemukan pada hampir 50%
pasien Bell’s palsy. Nyeri ini dapat terjadi bersamaan dengan paralisis wajah (beberapa hari
atau minggu) atau terjadi sebelum onset paralisis.(7)

G. DIAGNOSIS

• Anamnesis
Anamnesis yang lengkap mengenai onset, durasi, dan perjalanan penyakit, ada tidaknya
nyeri, dan gejala lain yang menyertai penting ditanyakan untuk membedakannya dengan
penyakit lain yang menyerupai. Pada Bell’s palsy kelumpuhan yang terjadi sering unilateral
pada satu sisi wajah dengan onset mendadak (akut) dalam 1-2 hari dan dengan perjalanan
penyakit yang progresif, dan mencapai paralisis maksimal dalam 3 minggu atau kurang.(10)
• Pemeriksaan Fisik

Dari hasil pemeriksaan neurologi, didapatkan gangguan fungsi saraf fasialis perifer
yang difus tanpa ada neuropati lainnya. Lesi SSP (supranuklear) juga dapat menyebabkan
paralisis saraf fasialis, hanya perbedaannya dari lesi perifer tidak dijumpainya paralisis dahi
pada sisi yang terlibat dan dapat menutup mata dengan baik (lagophtalmus tidak dijumpai) dan
disertai dengan defisit neurologis lainnya, sekurang-kurangnya kelumpuhan ekstremitas pada
sisi yang kontralateral.(7)
Tes topognostik (fungsi kelenjar lakrimal, aliran saliva, dan pengecapan) selain refleks
stapedial, telah diteliti tidak memiliki manfaat sebagai tes diagnostik dan prognostik pada
pasien dengan paralisis fasialis, sehingga jarang digunakan dalam praktek klinis. Hal ini
dikarenakan:
• Anatomi saraf fasialis dan percabangannya yang cukup bervariasi, mengizinkan untuk
terbentuknya suatu jalur alternatif bagi akson- akson untuk mencapai terminalnya.
• Lesi yang bertanggung jawab terhadap paralisis, mungkin tidak secara tajam terletak pada
level tertentu, karena suatu lesi dapat mempengaruhi komponen yang berbeda dari saraf
pada tingkat yang beragam dan dengan derajat keparahan yang berbeda- beda.
• Penyembuhan dan kornponen- komponen yang bervariasi dapat terjadi pada waktu yang
berbeda- beda.
• Teknik yang digunakan untuk mengukur fungsi saraf fasialis tidak sepenuhnya dapat
dipercaya.(8)
Pemeriksaan telinga perlu dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang mungkin
bisa menyebabkan paralisis fasialis. Bila ditemukan adanya otitis rnedia yang aktif dan massa
di kelenjar parotid, kemungkinan paralisis fasialis dihubungkan dengan kelainan- kelainan
tersebut, dan bukan suatu Bell’s palsy.(10)
Umumnya pasien Bell’s palsy tidak membutuhkan pemeriksaan penunjang. Namun, bila
dijumpai indikasi tertentu, pemeriksaan lanjutan berikut dapat dianjurkan, seperti:
1. Imaging: Computed tomography (CT) atau Magnetic Resonance lmaging (MRI)
diindikasikan jika tanda fisiknya tidak khas, tidak ada perbaikan paralisis fasial setelah 1
bulan, adanya kehilangan perdengaran, defisit saraf kranial multipel dan tanda-tanda
paralisis anggota gerak atau gangguan sensorik. Adanya riwayat suatu kedutan pada wajah
atau spasme yang mendahului kelumpuhan wajah diduga karena iritasi tumor harus
dilakukan juga imaging.
2. Tes pendengaran: jika diduga adanya kehilangan pendengaran, tes audiologi dapat
dilakukan untuk menyingkirkan neuroma akustikus.
3. Tes laboratorium perlu jika pasien memiliki tanda-tanda keterlibatan sistemik tanpa
perbaikan lebih dari empat minggu.(11)

Gambaran pasien dengan (A) lesi dengan saraf fasialis perifer dan (B) lesi supranuclear
(Tiemstra, D.J., Khatkhate, N. 2007. Bell’s Palsy ; Diagnosis and Management.
American Academy of Family Physicians. 76:997 – 1002)
• Kriteria Diagnosis

Menurut Taverner (1954 ) :


A. Paralisis dari semua kelompok otot ekspresi wajah pada satu sisi wajah
B. Onset yang tiba- tiba
C. Tidak adanya tanda- tanda penyakit susunan saraf pusat (SSP)
D. Tidak adanya tanda penyakit telinga dan penyakit cerebellopontine angle.(10)
Menurut Ronthal dkk (2012) :
A. Terdapat suatu keterlibatan saraf fasialis yang difus yang digambarkan dengan paralisis
dari otot- otot wajah, dengan atau tanpa kehilangan pengecapan pada dua pertiga
anterior lidah atau sekresi yang berubah dari kelenjar saliva dan lakrimal.
B. Onset akut, terjadi dalam 1 atau 2 hari, perjalanan penyakit progresif, mencapai
kelumpuhan klinis/ paralisis maksimal dalam 3 minggu atau kurang dari hari pertama
kelemahan terlihat; dan penyembuhan yang dijumpai dalam 6 bulan. (10)

H. DIAGNOSIS BANDING
a. Infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt Syndrome)
Ramsay hunt Syndrome (RHS) adalah infeksi saraf wajah yang disertai dengan ruam
yang menyakitkan dan kelemahan pada otot wajah.(10)
Tanda dan gejala RHS meliputi :
ü Ruam merah yang menyakitkan dengan lepuh berisi cairan pada gendang
telinga, saluran telinga eskternal, bagian luar telinga, atap dari mulut (langit-
langit) atau lidah.
ü Kelemahan (kelumpuhan) pada sisi yang sama seperti telinga yang terinfeksi
ü Kesulitan menutup satu mata
ü Sakit telinga
ü Pendengaran berkurang
ü Sensasi berdenging pada telinga (tinnitus)
ü Sensasi berputar atau bergerak (vertigo)
ü Perubahan dalam persepsi rasa.
b. Miller Fisher Syndrome
Miller Fisher Syndrome adalah varan dari Guillain Barre Syndrome yang jarang
sekali ditemukan. MFS atau Acute Disseminated Encephalomyeloradiculopaty ditandai
dengan trias gejala neurologis berupa opthalmoplegi, ataksia, dan arefleksia yang kuat.
Pada Miller Fisher Syndrome didapatkan double vision akibat kerusakan nervus cranial
yang menyebabkan kelemahan otot-otot mata. Selain itu kelemahan nervus facialis
menyebabkan kelamahan otot wajah tipe perifer. Kelumpuhan nervus facialis tipe
perifer pada Miller Fisher Syndrome menyerang otot wajah secara bilateral. Gejala lain
bisa didapatkan rasa kebas, pusing, dan mual.(10)

I. TATALAKSANA

o MEDIKAMENTOSA

Modalitas pengobatan medikamentosa yang digunakan pada pasien Bell’s palsy adalah
kortikosteroid dan/ atau antivirus. Jenis kortikosteroid yang paling banyak digunakan pada
banyak penelitian Bell’s palsy adalah golongan prednisolon.

Anti Virus

Herpes simpleks tipe 1 dan Varicella zoster virus (VZV) merupakan dua virus yang
dipercaya bertanggung jawab pada kasus Bell’s palsy. Reaktivasi dari virus- virus ini dapat
menyebabkan inflamasi pada saraf fasialis. Pengobatan anti virus dengan asiklovir dan
valasiklovir telah digunakan pada beberapa studi, sering dengan kombinasi dengan prednisolon
dan hasilnya beragam. Asiklovir diberikan lima kali sehari. Valasiklovir, merupakan prodrug
asiklovir, hanya diberikan tiga kali sehari karena biovaibilitasnya lebih tinggi dari asiklovir.
Dijumpai keuntungan menggunakan valasiklovir dibandingkan asiklovir karena obat ini
digunakan dengan dosis yang kurang sering, dan menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi
di serum dan CSF.

Metil Prednisolon

Metilprednisolon merupakan glukokortikoid sintetik turunan dari prednisolon, yang


mempunyai efek kerja dan penggunaan yang sama seperti senyawa induknya. Glukokortikoid
sintetik dikembangkan terutama untuk aktivitas anti inflamasi dan imunosupresannya

Steroid sintetik terutama dikembangkan sebagai anti inflamasi dan imunosupresif.


Steroid mengurangi manifestasi inflamasi melalui pengaruhnya yang besar terhadap
konsentrasi, distribusi dan fungsi dari leukosit perifer dan pengaruhnya supresifnya terhadap
sitokin dan chemokin inflamasi dan terhadap lipid lainnya dan mediator glukolipid dari
inflamasi. Inflamasi ditandai oleh ekstravasasi, dan infiltrasi lekosit pada jaringan yang terlibat.
Kejadian ini diperantarai oleh rangkaian kompleks interaksi antara molekul adhesi lekosit
dengan molekul- molekul pada sel endotel dan dihambat oleh glukokortikoid.

Steroid juga menghambat fungsi makrofag jaringan dan antigen presenting cells
(APCs) lainnya. Kemampuan dari sel- sel ini untuk merespon antigen dan mitogen dikurangi.
Efek pada makrofag terutama bermakna dan membatasi kemampuannya dalam fagositosis dan
membunuh mikroorganisme dan untuk menghasilkan tumor nekrosis factor α (TNF-α),
interleukin-12, metalloproteinase, dan plasminogen activator. Makrofag dan limfosit
manghasilkan interleukin-12 dan interferon yang sedikit, induksi penting dari aktivitas sel T
helper 1 dan lmunitas selluler.

Selain efeknya terhadap fungsi leukosit, steroid mempengaruhi respon inflamasi


dengan mengurangi prostaglandin, leukotriene, dan sintesa dari platelet activating factor yarg
merupakan hasil dari pengaktifan phospolipase A2. Akhirnya, steroid mengurangi ekspresi
cyclooxygenase II, pada sel inflamasi, yang kemudian mengurangi jumlah enzim yang tersedia
untuk menghasilkan prostaglandin.

Prednisolon pada Bell’s palsy.

Pengobatan dengan kortikosteroid (kortison, prednison atau prednisolon) pada Bell’s


palsy diperkenalkan pertama sekali pada tahun 1950 dan telah secara luas digunakan hingga
saat ini. Kortikosteroid berperan dalam mengurangi inflamasi, degenerasi, dan regenerasi yang
salah dari saraf fasialis.(8)
o REHABILITASI FISIK
Rehabilitasi fisik atau nama lainnya proprioceptive neuromuscular facilitation (PNF)
adalah suatu pendekatan latihan terapi yang mengkombinasikan secara fungsional pola gerakan
diagonal dengan teknik fasilitasi neuromuskular untuk membangkitkan respon motorik dan
memperbaiki kontrol dan fungsi neuromuskular.

Gambaran Teknik Rehabilitasi


(Al-mohana,A., Al-Ramezi, K, Abdulkareem L, Al-Jwer,N., Al-Ajmi, M., Mohammed,S. 2007.
Physical Therapy Management for Facial Nerve Paralysis. Committee of Physical Therapy
Protocols. Office of Physical Therapy Affairs. Ministry of Health – Kuwai)
J. PROGNOSIS

Perbaikan klinis pasien Bell’s palsy dapat dinilai dengan mudah dengan menggunakan
facial grading system. Facial grading system merupakan suatu sistem skor yang digunakan
untuk menilai fungsi saraf fasialis. Sistem ini diperlukan dalam menentukan keparahan dari
gangguan fungsi wajah, mengikuti progresivitas paralisis fasialis, dan membandingkan hasil
pengobatan. Beberapa sistem grading telah diperkenalkan, yaitu House Brackmann (HB)
grading system, Sunnybrook scale, dan Yanagihara grading system. Dari ketiga sistem ini yang
sering dan telah secara luas digunakan dalam penelitian, terutama di Amerika Serikat dan
Eropa adalah HB grading system. House Brackmann grading system telah dipakai sebagai
standar oleh American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery dan telah
digunakan.(8)

House Brackman Facial Grading System


(Kanerva, M.2008. Peripheral Facial Palsy : Grading, Etiology, and Melkerson- Rosenthal
Syndrome. Otolaryngology-Head and Neck Surgery, In Press.)
DAFTAR PUSTAKA

1. Marsk E,Hammarstedt L,Berg et al. Early Deterioration in Bell’s Palsy : Prognosis and
Effect of Prednisolone. Otology & Neurotology. 2010; 31: 1503-07
2. Singhi P, Jain V. Bell’s Palsy in Children. Seminar in Pediatric Neurotology.2003;
10(4): 289-97
3. Vrabec JT, Coker NJ. Acute Paralysis of Facial Nerve in: Bailey BJ, Johnson JT,
Newland SD, editors. Head & NeckSurgery-Otolaryngology.4th Ed. Lippincott
Williams & Wilkins; Texas; 2006. P. 2139-54
4. Rath B, Linder T, Cornblath D. All That Palsies is not Bell’s – The Need to Define
Bell’s Palsy as an Adverse event following immunization. Elsevier. 2007; 26: 1-14
5. Tiemstra JD, Khatkhate N. Bell’s Palsy: Diagnosis and Management. American Family
Physician. 2007;76(7): 997-1002
6. Berg, T. 2009. Medical Treatment and Grading of Bell’s palsy. Acta Universitatis
Upsalensis. Digital Comprehensive Summaries of Uppsala Dissertations from the
Faculty of Medicine 460. 47 pp. Uppsala.
7. “Tinjauan Bell’s Palsy” ,
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/sainmed/article/viewFile/4073/4451 , diakses
tanggal 17 Juni 2020
8. “Clinical Practice Guidelines Summary : Bell’s Palsy” ,
https://www.entnet.org/sites/default/files/Bulletin_BellsExecSummary_Final_102313.
pdf , diakses tanggal 17 Juni 2020
9. “The Diagnosis and Treatment of Idiopathic Facial Paresis (Bell’s Palsy) ,
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6865187/ , diakses tanggal 17 Juni
2020
10. “ Bell’s Palsy : Etiology, Clinical Features and Multidisciplinary care” ,
https://jnnp.bmj.com/content/86/12/1356.altmetrics , diakses tanggal 17 Juni 2020

Anda mungkin juga menyukai