Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN

BELL’S PALSY

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Pencapaian Stase Keperawatan Medikal Bedah
Program Profesi Ners STIK Immanuel Bandung

Oleh:

Yunita Marcelina Selanno

NIM. 1490120102

PPN XXVI

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN IMMANUEL

BANDUNG

2021
ii
A. Pendahuluan
Kelumpuhan (parese) nervus fasialis merupakan kelumpuhan yang meliputi otot-
otot wajah. Kelumpuhan nervus fasialis ini juga disebut Bell’s palsy. Bell’s palsy
menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di dunia,
insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah
ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap
tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden
Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi (Kartadinata dan Tjandra,
2011).
Insiden Bell’s palsy dari data yang dikumpulkan dari 4 buah rumah sakit di
Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus
neuropati dan terbanyak pada usia 21 – 30 tahun. Pada beberapa penderita didapatkan
adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin yang berlebihan.
Insiden Bell’s palsy di Indonesia, secara pasti sulit ditentukan. Data yang
dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsy
sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 – 30 tahun.
Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden
antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya
riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan (Lowis dan Gaharu, 2012).
Paralisis fasial idiopatik atau Bell’s palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter
dari Skotlandia. Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus (misalnya herpes
simplex) atau setelah imunisasi. Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy
adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion
genikulatum. Salah satu gejala Bell’s palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan
saat penderita berusaha menutup kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan
matanya tetap kelihatan.Gejala ini disebut juga fenomena Bell. Pada observasi dapat
dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika
dibandingkan dengan gerakan bola mata yang sehat (lagoftalmos) (Sidharta, 2010).

B. Pengertian
Bell’s palsy adalah suatu kondisi dimana otot-otot wajah di satu sisi menjadi
bengkak dan meradang yang mengakibatkan setengah wajah akan tampak terkulai
dan tidak bertenaga. Bell’s palsy adalah kelumpuhan nervus fasialis perifer (N.VII),
terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) atau tidak menyertai
penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis. Bell’s palsy merupakan
kelemahan atau kelumpuhan saraf fasialis perifer, bersifat akut, dan penyebabnya
belum diketahui secara pasti (idiopatik). Bell’s palsy ini pertama kali diperkenalkan
pada tahun 1812 oleh Sir Charles Bell, seorang peneliti Scotlandia, yang mempelajari
mengenai persarafan otot-otot wajah (Kartadinata dan Tjandra, 2011).
Berdasarkan manifestasi klinisnya, terkadang masyarakat awam mengganggap
sindrom Bell’s palsy sebagai serangan stroke atau yang berhubungan dengan tumor
sehingga perlu diketahui penerapan klinis sindrom Bell’s palsy tanpa melupakan
diagnosa banding kemungkinan diperoleh dari klinis yang sama (Lowis dan Gaharu,
2012).
Masalah kecacatan yang ditimbulkan oleh Bell’s palsy cukup kompleks, yaitu
meliputi impairment (kelainan di tingkat organ) berupa ketidaksimetrisnya wajah,
kaku dan bahkan bisa berakibat terjadi kontraktur; disability atau ketidakmampuan
(ditingkat individu) berupa keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari berupa gangguan
makan dan minum, menutup mata, serta gangguan berbicara dan ekspresi wajah;
handicap (di tingkat lingkungan) berupa keterkaitan dalam profesi terutama dibidang
entertainment; dan masalah selanjutnya dari segi kejiwaan penderita on-neoplasmatik,
non-degeneratif dan akibat edema di bagian saraf fasialis foramen stilomastoideus
atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh
sendiri tanpa pengobatan (Sidharta, 2010).

C. Anatomi Fisiologi (NINDS, 2014)


Anatomi dan Fisiologi Nervus Fasialis Saraf otak ke VII mengandung 4 macam
serabut, yaitu :
1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator
palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah).
2. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba)
dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.
3. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga
hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan
lakrimalis.
4. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua
pertiga bagian depan lidah.
Nervus fasialis (N.VII) terutama merupakan saraf motorik yang menginervasi
otot- otot ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini membawa serabut parasimpatis ke
kelenjar ludah dan air mata dan ke selaput mukosa rongga mulut dan hidung, serta
menghantarkan sensasi eksteroseptif dari daerah gendang telinga, sensasi pengecapan
dari 2/3 bagian depan lidah, dan sensasi visceral umum dari kelenjar ludah, mukosa
hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif dari otot yang disarafinya.
Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar
sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf intermedius
atau pars intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di ganglion genikulatum,
pada lekukan saraf fasialis di kanal fasialis. Sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan
lidah dihantar melalui saraf lingual korda timpani dan kemudian ke ganglion
genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi ekteroseptif mempunyai badan sel di
ganglion genikulatum dan berakhir pada Bell’s Palsy akar desenden dan inti akar
desenden dari saraf trigeminus (N.V). Hubungan sentralnya identik dengan saraf
trigeminus.
Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI, dan
keluar di bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral pons, di
antara nervus V dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius dan nervus
VIII memasuki meatus akustikus internus. Nervus fasialis bersatu dengan nervus
intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang berjalan dalam kanalis fasialis dan
kemudian masuk ke dalam os mastoid. Nervus fasialis keluar dari tulang tengkorak
melalui foramen stilomastoid, dan bercabang untuk mersarafi otot- otot wajah.

D. Etiologi 
Bell’s palsy dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a) Idiopatik Sampai sekarang yang disebut Bell’s palsy, belum diketahui secara
pasti penyebabnya. Faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s palsy
antara lain: sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur ditempat terbuka,
tidur di lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit
vaskuler, gangguan imunologik dan faktor genetik.
b) Kongenital
1. Anomali kongenital (sindroma moebius)
2. Pasca Lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial)
c) Didapat
1. Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
2. Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan)
3. Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus
4. Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster)
5. Sindroma paralisis n. fasialis familial
Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bell’s palsy, tetapi ada empat teori
yang dihubungkan dengan etiologi yaitu:
1. Teori iskemik vaskuler Saraf fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak
langsung karena gangguan regulasi sirkulasi darah di kanalis fasialis
2. Teori infeksi virus Virus yang dianggap paling banyak bertanggung jawab
adalah Herpes Simplex Virus (HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi
dari HSV (khususnya tipe 1)
3. Teori herediter Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang
sempit pada keturunan dikeluarga tersebut, sehingga menyebabkan
predisposisi untuk terjadi paresis fasialis
4. Teori imunologi Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi
terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian
imunisasi.

E. Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada
nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s
palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu
minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau
kambuh. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya
proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus
fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang
temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis
fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar
sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya
inflamasi, iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang
dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear dan
infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer
atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan
daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer. Karena adanya suatu proses
yang dikenal awam sebagai “masuk angin” atau dalam bahasa inggris “cold”. Paparan
udara dingin seperti angin kencang, AC, Bell’s Palsy atau mengemudi dengan kaca
jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy.
Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus
dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di
sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen
stilomastoideus dan pada cabangcabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang
terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis.
Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus
rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis
LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak
bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian
bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan
virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster
karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit.
Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut
terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan pada Bell’s
palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi
tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk
memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa
diangkat. Bibir tidak bisa dicucukan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena
lagophtalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun
disitu.

F. Pathway

Udara dingin (angin Virus Herpes (Hs1 dan Otitits Media oleh bakteri
kencang, AC, Mengemudi Virus zoster) streptokokus mukosus
dengan kaca terbuka)

Reaktivasi pada ganglion Tulang-tulang di kavum


Rusaknya lapisan genikulatum ke Nervus timpani rusak
endothelium pembuluh fasialis
darah
Sekresi tertimbun di
Penekanan pada dalam kavum timpani
Proses transudasi selubung Nervus fasialis

Inflamasi pada kavum


Foramen stilomastoideus Pembengkakan Nervus
timpani
bengkak Fasialis
Penekanan pada dinding
kanalis fasialis
Nervus fasialis sembab Tergganggunya aliran
dan terjepit darah ke nervus fasialis

Perintah otak untuk


Kematian sel pada Fungsi Pengahantaran mengerakan otot wajah
nervus fasialis rangsangan terganggu tidak dapat diteruskan

Kelumpuhan otot-otot di wajah (bell’s palsy

Kurang mengerti dan Gangguan pengecapan Otot mata Hiperakusis Perubahan bentuk
mengetahui penyakit kaku wajah
yang diderita Kelemahan otot untuk Gangguan
Lagoftalmos Gangguan citra
mengunyah rasa nyaman
Tubuh
Defisiensi
pengetahuan Sulit untuk Resiko
mengunyah mata kering
Anoreksia Nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh

G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Nervus fasialis
a) Inspeksi
 Kerutan dahi
 Pejaman mata
 Lipatan nasolabialis
 Sudut mulut
b) Motorik
 Mengangkat alis dan mengerutkan dahi
 Memejamkan mata
 Menyeringai (menunjukkan geligi)
 Mencucurkan bibir
 Menggembungkan pipi
c) Sensorik
 Schirmer test Digunakan untuk mengetahui fungsi produksi air mata.
Menggunakan kertas lakmus merah 5x50 mm dengan salah satu ujung
dilipat dan diselipkan di kantus medial kiri dan kanan selama lima menit
dengan mata terpejam. Normal: menjadi biru dan basah antara sepanjang
20-30 mm.
 Pengecapan 2/3 anterior lidah Menggunakan cairan Bornstein (4%
glukosa, 1% asam sitrat, 2,5% sodium klorida, 0,075% quinine HCl).
Penderita diminta menjulurkan lidah kemudian dikeringkan dahulu baru
dilakukan tes dengan menggunakan lidi kapas. Rasa manis di ujung lidah,
rasa asam dan asin di samping lidah dan rasa pahit di belakang lidah.
Setiap selesai pemeriksaan, penderita berkumur dengan air hangat kuku
dan dikeringkan dahulu baru dilanjutkan pemeriksaan berikutnya.

 Refleks stapedius Memasang stetoskop pada telinga penderita kemudian


dilakukan pengetukan lembut pada diafragma stetoskop atau dengan
menggetarkan garpu tala 256Hz di dekat stetoskop. Abnormal jika
hiperakusis (suara lebih keras atau nyeri).

2. CT-Scan, digunakan apabila paresis menjadi progesif dan tidak berkurang.


MRI digunakan untuk menyingkirkan kelainan lainnya yang menyebabkan
paralisis. MRI pada penderita Bell’s palsy menunjukkan pembengkakan
dan peningkatan yang merata dari saraf fasialis dan ganglion genikulatum.
MRI juga dapat menunjukkan adanya pembengkakan saraf facialis akibat
schwannoma, hemangioma, atau meningioma.
3. Glukosa darah, HbA1c. Untuk mengetahui adanya diabetes yang tidak
terdiagnosa (penderita diabetes 29% lebih berisiko terkena Bell’s palsy)
4. Salivary flow test Pemeriksa menempatkan kateter kecil di kelenjar
submandibular yang paralisis dan normal, kemudian penderita diminta
menghisap lemon dan aliran saliva dibandingkan antara kedua kelenjar.
Sisi yang normal menjadi kontrol.
5. Elektromiografi (EMG). Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat
aktivitas listrik saraf dan otot.
6. Tes darah. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui adanya penyakit
lain yang memicu terjadinya Bell’s palsy.

G. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan tonus otot wajah dan
untuk mencegah atau meminimalkan denervasi. Klien harus diyakinkan bahwa
keadaan yang terjadi bukan stroke, hal ini menjadi penting karena penderita dapat
mengalami stress yang berat ketika terjadi salah pengertian. Penatalaksanaan medis
yang dilakukan meliputi :
a) Terapi kortikosteroid (Prednison dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral atau 1
mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian)
dapat diberikan untuk menurunkan radang dan edema, yang pada gilirannya
mengurangi kompresi vaskuler dan memungkinkan perbaikan sirkulasi darah ke
saraf tersebut. Pemberian awal terapi kortikosteroid ditujukan untuk mengurangi
penyakit semakin berat, mengurangi nyeri, dan membantu mencegah atau
meminimalkan denervasi.
b) Pemberian obat- obat antivirus Acyclovir (400 mg selama 10 hari). Penggunaan
Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit
untuk mencegah replikasi virus.
c) Penanganan mata Bell’s Palsy
 Pemberian pelumas mata setiap jam sepanjang hari dan salep mata harus
digunakan setiap malam. Satu kerugiannya adalah pandangan kabur.
 Klien dianjurkan untuk menutup kelopak mata yang mengalami paralisis
secara manual sebelum tidur. Gunakan penutup mata dengan kacamata hitam
untuk menurunkan penguapan normal dari mata.
d) Jika saraf tidak terlalu sensitif, wajah dapat dimasase (teknik untuk memasase
dengan gerakan lembut ke atas) beberapa kali sehari untuk mempertahankan
tonus otot. Latihan wajah seperti mengerutkan dahi, menggembungkan pipi luar,
dan bersiul dapat dilakukan dengan menggunakan cermin dan dilakukan teratur
untuk mencegah atrofi otot.

H. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian. Pengkajian keperawatan klien dengan Belll’s palsy meliputi
anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik dan
pengkajian psikososial. Identitas. Identitas harus didapatkan sebelum melakukan
wawancara agar untuk memastikan bahwa klien yang diperiksa itu benar yang
dimaksud dan tidak ada kekeliruan. Identitas meliputi :
- Nama klien. Nama harus jelas dan lengkap disertai dengan nama panggilan
akrabnya
- Umur. Usia klien juga perlu menginterpretasikan data pemeriksaan klinis anak
serta untuk menentukan saat pemberian dosis obat pada anak
- Jenis kelamin dikaji untuk identitas dan penilaian data pemeriksaan klinis,
misalnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan reproduksi
- Klien adalah anggota keluarga keberapa. Agar mengetahui ada berapa anggota
dalam satu keluarga dan untuk mendaptkan data genogram
- Nama penanggung jawab Dikaji agar jelas dan tdak keliru dengan orang tua
pasien yang lain
- Agama Keyakinan klien dan merupakan pedoman hidup dan dapat dijadikan
pegangan dalam mengmbil keputusan untuk memberikan tindakan keperawatan
dalam spiritual
- Pendidikan Dikaji untuk memperoleh keakuratan data yang diperoleh serta
ditentukan pola penektan anamnesis
- Pekerjaan Dikaji untuk mengetahui kemampuan klien dalam menentukan
tindakan dan keperawatan yang dapat dilakukan sesuai dengan kemampuan klien
untuk membiayai perawatan
- Dikaji untuk mengetahui tempat tinggal klien dan kondisi pasien
- Riwayat kesehatan. Riwayat kesehatan adalah informasi mengenai keluhan
utama, kesehatan sekarang, Kesehatan masa lalu seseorang, kesehatan
keluarganya, dan masalah lainnya.
 Keluhan Utama. Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta
pertolongan kesehatan dalah berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah
terjadi pada satu sisi.
 Riwayat Penyakit Sekarang. Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui
karena untuk menunjang keluhan utama klien. Disini harus ditanya dengan
jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau
bertambah buruk. Pada pengkajian klien Bell;s palsy biasanya didapatkan
keluhan kelumpuhan otot wajah pada satu sisi. Kelumpuhan fasialis ini
melibatkan semua otot wajah sesisi. Bila dahi dikerutkan, lipatan kulit
dahinya hanya tampak pada sisi yang sehat saja. Bila klien disuruh
memejamkan kedua matanya, maka pada sisi yang tidak sehat, kelopak mata
tidak dapat menutupi bola mata dan berputarnya bola mata keatas dapat
disaksikan. Fenomena tersebut dikenal sebagai tanda bell.
 Riwayat Penyakit Dahulu. Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien
yang memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan
sekarang meliputi pernahkah klien mengalami penyakit iskemia vaskuler,
otitis media, tumor intrakranial, trauma kapitis, penyakit virus (herpes
simplek, herpes zoster), penyakit autoimun, atau kombinasi semua faktor ini.
Pengkajian pemakaian obat-obatan yang sering digunakan klien, pengkajian
kemana klien sudah meminta pertolongan dapat mendukung pengkajian dari
riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih
jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
 Riwayat Penyakit Keluarga yang berhubungan dengan penyakit vaskuler
perifer maupun penyakit lainnya
 Pengkajian psiko-sosio-spiritual. Pengkajian psikologis klien Bell’s palsy
meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan perawat untuk
memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi,kognitif dan perilaku
klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk
menilai respons emosi klien terhadap kelumpuhan otot wajah sesisi dan
perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau
pengaruhnyadalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga atau
masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul
ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang
secara sadar biasa digunakan klien selama masa stress meliputi kemampuan
klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui
dan perubahan perilaku akibat stress. Karena klien harus menjalani rawat inap
maka apakah keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi klien, karena
biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit.
Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan
dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu.
Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri dari dua masalah, yaitu
keterbatasan yangdiakibatkan oleh defisit neurologis dalam hubungannya
dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung
adaptasi pada gangguan neurologis didalam sistem dukungan individu.
 Pemeriksaan fisik. Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada
keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari
pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1-
B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B7 (brain) yang
terarah dan dihubungkan dengan keluhan dari klien. Pada klien Bell’s palsy
biasanya didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal. 
B1 (breathing). Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan
inspeksi didapatkan klien tidak batuk, tidak sesak napas, tidak ada
penggunaan otot bantu napas dan frekuensi pernapasan dalam batas normal.
Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dankiri. Perkusi didapatkan
resonan pada seluruh lapangan paru. 6uskultasi tidak didengar bunyi napas
tambahan. B2 (Blood). Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai
pemeriksaan nadi dengan frekuensi dan irama yang normal. T1 dalam batas
normal dan tidak terdengar bunyi jantung tambahan. 
B7 (Brain). Pengkajian B7 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih
lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
1. Tingkat kesadaran
Pada Bell’s palsy biasanya kesadaran klien compos mentis.
2. Fungsi serebri
Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara
klien,observasi ekspresi wajah dan aktivitas motorik yang pada klien Bell’s palsy
biasanya status mental klien mengalami perubahan.
 Pemeriksaan saraf kranial.
Saraf I: biasanya pada klien bells palsy tidak ada kelainan dan fungsi penciuman
Saraf II: tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal 
Saraf III,IV,VI:penurunan gerakan kelopak mata pada sisi yang sakit(lagoftalmos)
Saraf V: kelumpuhan seluruh otot wajah seisi, lipatan nasolabial pada sisi
kelumpuhan mendatar adanya gerakan sinkinetik
Saraf VII: berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin sekali edema nervus
fasialis ditingkat foramen stilomastoideus meluas sampai bagian nervus
fasialis,dimana khorda timpani menggabungkan diri padanya
VIII: tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan persepsi  tuli 
IX dan X: Paralisis ototfaring, kesukaran berbicara, mengunyah dan menelan.
Kemampuan menelan kurang baik, sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via
oral
XI: tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Kemampuan
mobilisasi leher baik
Saraf XII: Lidah simetris, tidak ada devisiasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan mengalami kelumpuhan dan pengecapan pada 2/3
lidah sisi kelumpuhan kurang tajam.
 Sistem motorik. Bila tidak melibatkan disfungsi neurologis lain, kekuatan otot
normal, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada Bell’s palsy tidak ada
kelainan.
 Pemeriksaan refleks. Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon,
ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respons normal.
 Gerakan involunter. Tidak ditemukan adanya tremor, kejang dan distonia. Pada
beberapa keadaan sering ditemukan Tic fasialis
 Sistem sensorik. Kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri dan suhu tidak ada
kelainan
B4 (Blader). Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan
berkurangnya volume luaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi
dan penurunan curah jantung keginjal.
B5. B5 (bowel): Mulai sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien bell’s palsy menurun karena
anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan
menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang.
B6. Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan
mobilitas kliensecara umum. 1alam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih
banyak dibantu oleh orang lain.

2. Analisis Data. Analisa data berupa semua hasil pengkajian yang abnormal, untuk
mendapatkan masalah keperawatan
NO DATA INTERPRETASI MASALAH
(SYMPTOM) (ETIOLOGI)
DS : Lapisan endothelium Nyeri Akut
- Pasien mengeluh nyeri pada wajah P.D rusak
sebelah kanan
- Pasien mengatakan otot wajahnya Proses transudasi
merasa tegang
DO : Foramen
- Pasien terlihat meringis kesakitan stilomastoideus
- Pasien tampak gelisah bengkak

- Pasien tampak lemas


- Pasien bersikap protektif pada daerah N.Fasialis sembab dan
terjepit
wajah sebelah kanan menghindari
nyeri
- TTV
Tekanan darah 160/90 mmhg
Pola napas berubah ditandai dengan
RR 29x/mnt
Nadi: 103x/menit
- PQRST :
P : nyeri karena penyakit
Q : nyeri seperti tertekan
R : nyeri pada wajah (dekstra)
S : 8 dari 10
T : nyeri terjadi ketika pasien makan
dan minum

2 DS Kelumpuhan otot-otot Defisit nutrisi


- Klien mengatakan sulit
wajah
mengunyah makanan
- Klien mengatakan cepat kenyang Gangguan pengecapan
- Klien mengatakan susah makan
karena otot-otot wajah terasa sakit Kelemahan otot-otot
saat makan mengunyah
DO
- Klien tampak kesulitan dalam
Sulit mengunyah
mencerna makanan
- Klien tampak cepat kenyang saat
makan
- Klien tampak membran mukosa
pucat
- Klien tampak otot pengunyah
lemah
- Klien tampak kurus
3 DS Tumor intracranial pada Gangguan pola
- Klien mengatakan mengeluh sulit saraf kranial tidur
tidur (N.Fasialis)
- Klien mengatakan mengeluh
sering terjaga
- Klien mengatakan tidak puas tidur Penekanan pada saraf
- Klien mengatakan pola tidur kranial (N Fasialis)
berubah
- Klien mengatakan mengeluh Pembengkakan (N
istirahat tidak cukup Fasialis)
DO
- Konjungtiva klien tampak anemis
- Klien tampak gelisah N Fasialis sembab dan

- Klien tampak linglung terjepit

- Klien tampak lemas


- Klien tampak Nyeri akut

4 DS Kelumpuhan otot-otot Gangguan citra


- Klien mengatakan perasaan negatif
wajah tubuh
tentang perubahan wajah yang
tidak simetris
Wajah terkulai pada
- Klien mengatakan khawatir pada bagian yang terkena
reaksi keluarga dan lingkungan
terhadap perubahan wajahnya Perubahan bentuk
yang tidak simetris wajah
DO
- Klien tampak khawatir dengan
perubahan pada wajahnya
- Klien tampak menghindari dan
melihat wajah dengan cara
menyentuh
- Klien tampak fokus pada
penampilan dan kekuatan masa
lalu
5 DS Kelumpuhan otot-otot Ansietas
- Klien mengatakan merasa bingung
dengan kondisinya wajah
- Klien mengatakan merasa
khawatir dengan kondisinya Mati rasa di wajah,
- Klien mengatakan sulit telinga dan lidah
berkonsentrasi

DO
- Klien tampak cemas
- Klien tampak gelisah
- Klien tampak tegang
- Klien tampak sulit tidur
6 DS Kelumpuhan otot-otot Defisit
- Klien menanyakan tentang
wajah Pengetahuan
masalah yang dihadapi
- Klien mengatakan tidak Kurang mengerti dan
mengetahui tentang kondisinya mengetahui penyakit
DO yang diderita
- Klien tampak menunjukan
kekeliruan terhadap penyakit
- Klien tampak bingung dengan
kondisinya
- Klien tampak berperilaku
berlebihan

3. Diagnosa keperawatan (Prioritas Masalah/SDKI) merupakan suatu pernyataan


yang jelas mengenai status kesehatan atau masalah aktual, atau risiko dalam
mengidentifikasi dan menentukan intervensi keperawatan untuk mengurangi,
menghilangkan, atau mencegah masalah kesehatan klien yang ada pada tanggung
jawabnya,(Tarwoto dan Wartonah, 2015).
1. Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (inflamasi)
2. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan kurang kontrol tidur
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi tubuh (proses
penyakit, kelumpuhan)
5. Ansietas yang berhubungan dengan kekhawatiran mengalami kegagalan
6. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi
4. Intervensi Keperawatan. Menurut (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018), rencana
keperawatan merupakan segala bentuk terapi yang dikerjakan oleh perawat yang
didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai peningkatan,
pencegahan dan pemulihan kesehatan klien individu, keluarga dan komunitas.
Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) dan Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia,(SIKI) (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)
No Diagnosa Rencana Keperawatan
Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional

1 Nyeri Akut TUPEN: Observasi


berhubungan - Identifikasi lokasi, karakteristik, - Untuk mengetahui
Setelah dilakukan tindakan
dengan agen durasi, frekuensi, kualitas, intensitas karakteristik, durasi,
keperawatan 1x24 jam diharapkan
pencedera nyeri kualitas, intensitas nyeri
nyeri klien menurun
fisiologis - Identifikasi skala nyeri - Untuk mengetahui skala
(inflamasi) TUPAN: - Monitor efek samping penggunaan - Untuk mengetahui e
analgetik penggunaan analgetik
Selama 3x24 jam jam diharapkan
Teraupetik
nyeri menurun dengan kriteria hasil:
- Berikan Teknik nonfarmakologis - Untuk mengurangi reasa
 Meringis menurun untuk mengurangi rasa nyeri (TENS,
 Sikap protektif menurun hipnosis, akupresur, terapi music,
 Geliah menurun biofeedback, terapi pijat,
 Pola napas membaik aromaterapi, Teknik imajinasi
 Tekanan darah membaik terbimbing, kompres hangat/dingin, - Agar klien mengetahui p
nyeri
terapi bermain)
- Agar klien dapat mengen
Edukasi nyeri
- Jelaskan penyebab,periode, dan - Agar klien mampu untuk
pemicu nyeri nyeri secara mandiri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Agar membantu klien m
- Anjurkan memonitor nyeri secara rasa nyeri lewat pemberi
mandiri
Penatalaksanaan Medis
- Kolaborasi pemberian analgestik,
jika perlu
2 Defisit nutrisi TUPEN: Observasi
berhubungan - Monitor tanda kelelahan saat makan, - Untuk mengetahui kelela
Setelah dilakukan tindakan
dengan minum dan menelan dialami klien saat makan
keperawatan 1x24 jam diharapkan
ketidakmampuan Teraupetik menelan
defisit nutrisi membaik
mencerna - Berikan permen lollipop untuk - Utnuk melatih otot waja
makanan TUPAN: meningkatkan kekuatan otot wajah
Edukasi
Selama 3x24 jam jam diharapkan
- Anjurkan klien membuka dan - Agar kilen terbiasa dan m
defisit nutrisi dengan kriteria hasil:
menutup mulut saat memberikan rahang
 Porsi makanan yang makanan
dihabiskan meningkat Penatalaksanaan Medis
 Kekuatan otot pengunyah - Kolaborasi dengan tenaga Kesehatan - Untuk membantu proses
meningkat lain dalam memberikan terapi penyembuhan klien
 Kekuatan otot menelan (misalnya. Terapis okupasi, ahli
meningkat patologi bicara, dan ahli gizi)
 Frekuensi makan membaik
 Nafsu makan membaik
 Membran mukosa membaik
3 Gangguan pola TUPEN: Obeservasi
tidur
Setelah dilakukan tindakan - Identifikasi pola aktivitas tidur - Untuk mengetahui pola
berhubungan
keperawatan 1x24 jam diharapkan - Identifikasi factor pengganggu tidur tidur klien
dengan restraint
kualitas tidur membaik (fisik dan/atau psikologis)
fisik - Untuk mengetahui
Teraupetik
TUPAN: yuang mempengaruhi tid
- Modifikasi lingkungan ( mis.
Selama 3x24 jam jam diharapkan - Untuk memberi rasa ny
Pencahayaan, kebisingan, suhu,
kualitas tidur membaik dengan kriteria klien
matras, dan tempat tidur)
hasil:
- Tetapkan jadwal tidur rutin - Untuk membantu m
 Keluhan sulit tidur meningkat - Lakukan prosedur untuk kualitas tidur klien
 Keluhan sering terjaga meningkatkan kenyamanan (mis.
- Untuk membantu me
meningkat Pijat, pengaturan, posisi, terapi,
nyaman kepada klien saa
 Keluhan tidak puas tidur akupresur)
meningkat
 Keluhan pola tidur berubah Edukasi
meningkat
- Jealskan pentingnya tidur cukup - Agar klien mengetah
 Keluhan istirahat tidak cukup
selama sakit pentingnya istirahat da
meningkat
- Anjurkan menepati kebiasaan waktu cukup selama sakit
tidur
- Agar klien terbiasa da
- Anjurkan relaksasi otot autogenic
tidur klien dapat berubah
atau nonfarmakologi lainnya
- Agar otot klien menjadi

4 Gangguan citra TUPEN: Observasi


tubuh - Identifikasi harapan citra tubuh - Agar klien lebih mengha
Setelah dilakukan tindakan
berhubungan berdasarkan tahapan perkembangan tubuh klien itu sendiri
keperawatan 1x24 jam diharapkan
dengan - Monitor frekuensi pernyataan kritik - Untuk mengetahui perny
citra tubuh meningkat
perubahan fungsi terhadap diri sendiri atau kritikan terhadap di
tubuh (proses TUPAN: Teraupetik
penyakit, - Diskusikan perubahan tubuh dan - Agar klien mampu dalam
Selama 3x24 jam jam diharapkan citra
kelumpuhan) fungsinya apa yang terjadi pada tub
tubuh meningkat dengan kriteria hasil:
 Verbalisasiperasaan negatif - Diskusikan perbedaan penampilan - Untuk membantu mening
tentang perubahan tubuh fisik terhadap harga diri tubuh dan harga diri klie

menurun - Diskusikan cara mengembangkan - Agar klien bisa lebih me


 Fokus pada bagian tubuh harapan citra tubuh secara realistis sendiri
menurun Edukasi
 Respon nonverbal pada - Anjurkan mengungkapkan gambaran - Agar klien mampu meng
perubahan tubuh membaik diri tehadap citra tubuh klien
- Ajarkan menggunakan alat bantu - Agar klien lebih percaya
(makeup) - Untuk membantu mening
percaya diri klien dar rel
- Anjurkan mengikuti kelompok
dengan orang lain
pendukung (kelompok sebaya)
5 Ansietas yang TUPEN Observasi
berhubungan Setelah dilakukan tindakan - Identifikasi saat ansietas berubah - Untuk mengetahui perub
dengan keperawatan selama 1x24 jam (misalnya kondisi,waktu, stressor) yang terjadi pada klien
kekhawatiran diharapkan ansietas klien menurun - Monitor tanda-tanda ansietas (verbal - Untuk mengetahui tanda
mengalami TUPAN non verbal) ansietas
kegagalan Setelah dilakukan Tindakan Teraupetik
keperawatan selama 3x24 jam - Ciptakan suasana teraupetik untuk

diharapkan ansietas klien menurun menumbuhkan kepercayaan


dengan kriteria hasil: - Motivasi mengidentifikasi situasi
 Perilaku gelisah menurun yang memicu kecemasan
 Perilaku tegang menurun Edukasi - Agar memberikan rasa n
 Keluhan pusing menurun - Latih kegiatan pengalihan kepada klien

 Frekuensi pernapasan menurun - Latih Teknik relaksasi - Untuk membantu klien d

 Frekuensi nadi menurun Penatalaksanaan Medis mengidentifikasi faktor-f

 Pucat menurun - Kolaborasi pemberian obat pemicu kecemasaqn


antiansietas jika perlu - untuk mengurangi ketega
- untuk membantu klien m
rileks dan nyaman
- untuk membantu proses
penyembuhan klien seca
farmakologi

6 Defisit TUPEN Observasi


pengetahuan Setelah dilakukan tindakan - Kaji tingkat pengetahuan pasien - Untuk mengetahui seber
berhubungan keperawatan selama 1x24 jam tentang penyakit klien menegal penyakit y
dengan kurang diharapkan tingkat pengetahuan klien Teraupetik dideritanya
bertambah
terpapar - Sediakan materi dan media tentang - Untuk membantu klien d
informasi TUPAN penyakit bells palsy memahami penyakit yan
Setelah dilakukan tindakan Edukasi
keperawatan selama 3x24 jam - Jelaskan faktor resiko yang dapat - Agar klien dapat menget
diharapkan tingkat pengetahuan klien mempengaruhi Kesehatan faktor resiko yang dapat
bertambah dengan kriteria hasil:
- Libatkan keluarga dalam pemberian mempengaruhi kesehatan
 Kemampuan menjelaskan pendidikan kesehatann - Agar keluarga klien juga
pengetahuan tentang suatu memahami penyakit yan
topik meningkat anggota keluarga mereka
 Pertanyaan tentang masalah
yang dihadapi menurun
 Perilaku sesuai anjuran
meningkat
5. Implementasi Keperawatan, merupakan bagian aktif dalam asuhan keperawatan yang dilakukan oleh perawat sesuai
dengan rencana tindakan. Tindakan keperawatan meliputi, tindakan keperawatan, observasi keperawatan pendidikan
kesehatan/keperawatan, tindakan medis yang dilakukan oleh perawat atau tugas limpah,(Suprajitno, 2014).
6. Evaluasi, adalah membandingkan status keadaan pasien dengan tujuan atau kriteria hasil yang ditetapkan. Evaluasi
merupakan tahap akhir dari suatu proses keperawatan untuk dapat menentukan suatu keberhasilan asuhan keperawatan.
Evaluasi didokumentasikan dalam bentuk SOAP (subjektif, objektif, assessment, planning).
DAFTAR PUSTAKA

Kartadinata dan Tjandra R, 2011. Rehabilitasi Medik Bell’s palsy, Siaran RRI.

Instalasi Rehabilitasi Medik RSUP Dr. Kariadi Semarang

Lowis H dan Gaharu MN, 2012. Bell’s palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di
Pelayanan Primer, Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian
Berkelanjutan. Departemen Saraf Rumah Sakit: Jakarta Medical Center

Nanda. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10


editor T Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru. Jakarta: EGC.

NINDS, 2014. Bell’s palsy Fact Sheet, http://www.ninds.nih.gov/disord


ers/bells/detail_bells.htm

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (1st
ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Retrieved from http://www.inna-ppni.or.id

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi Indikator Diagnostik. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai