ARTRITIS REUMATOID
Disusun oleh:
DESIANA SINAGA
1490120070
BANDUNG
2020
A. LATAR BELAKANG
Mobilitas dan aktivitas adalah hal yang vital bagi kesehatan tital lansia sehingga perawat
harus banyak memiliki pengetahuan dalam pengkajian dan intervensi muskuloskelektal.
Perawat memainkan dua peran penting. Pertama, mempraktikan promosi Kesehatan jauh
sebelum berusia 65 tahun dapat menunda dan memperkecil efek degenerative dari
penuaan. Penyakit muskuloskelektal bukan merupakan konsekuensi penuaan yang tidak
dapat dihindari dan karenanya harus dianggap sebagai suatu proses penyakit spesifik, tidak
hanya sebagai akibat dari penuaan.
Artritis Reumatoid (AR) adalah suatu penyakit otoimun sistemik yang menyebabkan
peradangan pada sendi. Penyakit ini ditandai oleh peradangan synovium yang menetap.
Suatu synovitis proliferatifa kronik non spesifik. Dengan berjalannya waktu, dapat terjadi
erosi tulang, destruksi (kehancuran) rawan sendi dan kerusakan total sendi.
Setiap kondisi yang disertai nyeri dan kaku pada system muskuloskelektal disebut
rheumatic, termasuk penyakit jaringan ikat (penyakit kolagen). Sedangkan istilah artritis,
umumnya dipakai bila sendi merupakan tempat utama penyakit rheumatik. Peradangan
pada jaringan ikat, terutama yang berdekatan dengan sendi atau otot dan tendon disebut
fibrositis, sedangkan iritasi jaringan ikat fibrosa ditempat meletaknya pada tulang.
Antibodi dari aliran darah bergerak ke selaput sendi synovial, menyebabkan sendi-sendi
bengkak. Bengkak memengaruhi kemampuan tendon, tulang, dan ikatan sendi (ligament)
yang menggerakan sendi, menimbulkan sakit Ketika bergerak. Etiologi tak dikenal,
walaupun genetika memegang peranan. Serangan umumnya terjadi pada usia sampai 40
tahun, dan itu memengaruhi sekitar 2 persen populasi. Umumnya terjadi radang dan
nodule (bongkol kecil) disekitar sendi, biasanya meliputi pergelangan tangan, tangan, lutut,
dan kaki.
B. PENGERTIAN
Rheumatoid arthritis (RA) merupakan penyakit inflamasi non-bakterial yang bersifat
sistemik, progresif, cenderung kronik dan mengenai sendi serta jaringan ikat sendi secara
simetris. (chairuddin, 2003).
Sedi yang terlibat pada rheumatoid arthritis:
Metacarpophalangeal (MCP) 85
Pergelangan tangan 80
Lutut 75
Matatarssophalangeal (MTP) 75
Bahu 60
Midfoot (tarsus) 60
Pinggul (HIP) 50
Siku 50
Acromioclavikular 50
Vertebra servikal 40
Temporomandibular 30
Seternoclavikular 30
Artritis rheumatoid merupakan penyakit inflamasi sistemik kronik yang tidak diketahui
penyebabnya, diakrekteristikkan oleh kerusakan dan proliferasi membrane synovial yang
menyebabkan kerusakan pada tulang sendi, ankilosis, dan deformitas. (Kusharyadi, 2010)
Artritis rheumatoid adalah penyakit inflamasi sistemik yang kronis dan terutama penyerang
persendian, otot-otot, tendon, ligament, dan pembuluhan darah yang ada disekitarnya.
(Kowalak, 2011)
E. PATOFISIOLOGI
Diketahui bahwa pathogenesis artritis rheumatoid terjadi akibat rantai peristiwa imunologis
sebagai berikut: suatu antigen penyebab artritis rheumatoid yang berada pada membrane
synovial, akan diproses oleh antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari sebagai jenis
sel seperti sel sinoviosit A, sel dendritic atau makrofag yang semuanya mengekspresi
determinan HLA-DR pada membrane selnya. Antigen yang telah diproses oleh antigen
presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis seperti sel sinoviosit A, sel dendric
atau makrofag yang semuanya mengekspresi determinan HLA-DR pada membrane selnya.
Autigen yang telah diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD4+ bersama dengan
determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan membrane APC tersebut membentuk
suatu kompleks trimolecular. Kompleks trimolecular ini dengan bantuan interleukin -1 (IL-
1) yang dibebaskan oleh monosit atau magrofag selanjutnya akan menyebabkan terjadinya
aktivitas sel CD4+.
Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolecular tersebut akan mengekspresi reseptor
interleukin -2(IL-2) pada permukaan CD4+. IL-2 yang di ekskresi oleh sel CD4+ akan
mengikatkan diri pada reseptor spesifik pada permukaanya sendiri dan akan menyebabkan
terjadinya mitosis dan proliferasi sel tersebut. Poliferasi sel CD4+ ini akan berlangsung
terus selama antigen tetap berada dalam lingkungan tersebut. Selain seperti gamma-
interferon, tumor necrosis factor b (TNF-b), interleukin -3(IL-3), interleukin -4 (IL-4),
granulocyte- macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa mediator
lain yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan
merangsang proliferasi dan aktivitas sel B untuk memproduksi antibody. Produksi antibody
oleh sel B ini dibantu oleh IL-I, IL-2, dan IL-4
Setelah berikatan dengan anigen yag sesuai, antibdi yang dihasilkan akan membentuk
kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas kedalam ruang sendi, pengendapan
kompleks imun akan mengaktivasi sistem komponen Csa-komponen-komplemen Csa
merupakan faktor keomtaktik yang selain meninggalkan premeabilitas vaskuler juga dapat
menarik lebih banyak sel polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke arah lokasi tersebut.
Pemeriksaan histopatologis membrane synovial menunjukan bahwa lesi yang paling dini
dijumpai pada atritis rheumatoid adalah peningkatan permeabilitas mkrovaskuler
membrane synovial.
Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh pembentukan dan
pembesaran radikal oksigen bebas, leukotrien, prostlagadin dan protease neutral
(collagenase dan stromelysin) yang akan menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang.
Radikal oksigen bebas dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga
mengakibatkan terjadinya penurunan viskostas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen
bebas juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi.
Prostaglandin E2 (PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat merangsang
terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan TNF-b. Rantai persitiwa
imunologis ini sebenarnya akan berhenti bila antigen penyebab dapat dihilangkn dari
lingkungan tersebut. Akan tetapi pada artritis rheumatoid, antigen atau komponen antigen
umumnya akan menetap pada struktur persendian, sehingga proses desruksi sendi akan
berlangsung terus. Tidak terhentinya destruksi persendian pada atritis rheumatoid
kemungkinan juga disebabkan oleh terdapatnya faktor rheumatoid. Faktor rheumatoid
adalah suatu autoantibodi terhadap epitop fraksi Fc 19G yang dijumpai pada 70-90%
pasien artritis rheumatoid. Faktor reumatoid akan diberikan dengan komplemen atau
mengalami agregrasi sendiri, sehingga proses peradangan akan berlanjut terus.
Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan terjadinya degrakklsi mast cell yang
menyebabkan terjadinya pembesaran histamine dan berbagai enzim proteolitik serta
aktivasi jalur asam arakidonat.
Masuknya sel radang ke dalam membrane sinovial akibat pengendapan kompleks imun
membrane sinovial akibat pengendapan kompleks imun menyebabkan terbentuknya
pannus yang merupakan elemen yang paling destrutif dalam pathogenesis artistis
reumatoid. Pannus merupakan jaringn granulasi yang terdiri dari sel fibroblast yang
berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang-secara hstopatologis pada
daerah perbatasan rawan sendi dan pannus terdapatnya sel mononukleus, umumnya banyak
dijumpai kerusakan jaringan kolagen dan protoglikan.
F. PATHWAY
Deformitas sendi
Hambatan nutrisi pada
Kartilago neurosit
kartilago artikulasi
Gangguan bodi
image Kerusakan kartilago
dan tulang Erosit kartilago
Hilangnya kekuatan
Resiko cidera otot
Aukilosis fibrosa
Kekuatan sendi
Keterbatasan gerak sendi
Aukilosis tulang
G.Deficit
MENIFESTASI
perawatan diri KLINIK Hambatan mobilitas
fisik
Jika pasien artritis reumatoid pada lansia tidak diistirahatkan, maka penyakit ini akan
berkembang menjadi empat tahapan.
1. Terdapat radang sendi dengan pembengkakakn membrane sinovial dan kelebihan
produksi cairan sinovial. Tidak ada perubahan yang bersifat merusak melihat pada
radiografi. Bukti osteoporosis mungkin ada.
2. Secara radiologis, kerusakan tulang pipih atau tulang rawan dapat dilihat, pasien mungkin
mengalami keterbatasan gerak tetapi tidak ada deformitas sendi.
3. Jaringan ikat fibrosa yang keras menggantikan pannus, sehingga mengurangi ruang gerak
dan sendi. Ankilosis fibrosa mengakibatkan penurunan gerakan sendi, perubahan
kesejajaran tubuh, dan deformitas. Secara radiologis terihat adanya kerusakan karilago
dan tulang.
4. Ketika jaringa fibrosa mengalami klasifikasi, ankilosis tulang dapat mengakibatkan
terjadinya imobilisasi sendi secara total. Atrofi otot yang meluas dan luka pada jaringan
lunak seperti medulla-nodula mugkin terjadi.
Pada lansia artistis reumatoid dapat digolongka ke dalam tiga kelomok, yaitu:
1. Kelompok 1
Artistis reumatoid klasik. Sendi-sendi kecil pada kaki dan tangan sebagian besar terlibat.
Terdapat faktor reumatoid dan nodula-nodula reumatoid yang sering terjadinya, penyakit
dalam kelompok ini dapat mendorong kearah kerusakan sendi yang progresif.
2. Kelompok 2
Termasuk kedalam klan yang memenuhi syarat dari American Rheumatologis
Association untuk artristis reumatoid karena mereka mempunyai radang sinovitis yang
terus-menerus dan simetris, sering melibatkan pergelangan tangan dan sendi-sendi
3. Kelompok 3
Sinovitis terutama memengaruhi bagian proksimal sendi, bahu dan panggul. Awitannya
mendadak, sering di tandai dengan kelewatan di pagi hari , penyerangan tangan pasien
sering mengalami hal ini, dengan adanya bengkak, nyeri tekan, penurunan kekekuatan
genggaman dan syndrome karpal tunel. Kelompok ini mewakili suatu penyakit yang
dapat sembuh sendiri yang dapat dikendalikan secara baik dengan menggunakan
prednisone dasis rendah atau agens antinflamasi dan memiliki prognosis yang baik.
H. PENATALAKSANAAN
Setelah diagnosis AR dapat ditegakan, pendekatan pertama yang harus dilakukan adalah
segera berusaha untuk membina hubungan yang baik antara pasien dengan keluarganya
dengan dokter atau tim pengobatan yang merwatnya
1. Pendidikan pada paasien mengenai penyakit dan penatalaksanaannya yang akan
dilakukan sehingga terjalin hubungan baik dan terjamin ketaatan pasien
2. OAINS diberikan sejak dini untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamsi yang sering
dijumpai. OAINS yang dapat diberikan:
a. Aspirin ;pasien dibawah 50 tahun dapat dimulai dengan dosis 3-4x19/hari,
kemudian dinaikin 0,3-0,6g/minggu sampai terjadinya perbaikan atau gejala toksik.
Dosis terapi 20-30 mg/dl.
3. DMARD (disease-modifying antihermatic drugs) digunakan untuk melindungi rawan
sendi dan tulang dari proses destruksi akibat artritis reumatoid. Mulai khasiatnya baru
terlihat setelah 3-12 bulan kemudian. Setelah 2-5 tahun, maka efktivitas dalam
menekan proses reumatoid akan berkurang. Jenis-jenis yang digunakan adalah:
a. Klorokuin : paling banyak digunakan Karena harganya terjangkau, namun
efektivitasnya lebih rendah dibandingkan dengan yang lain. Dosis anjuran
klorokuin fosfat 250 mg/hari. Hidrosikorokuin 400 mg/hari.
b. Susfasalazin dalam bentuk tablet baersalut enteric digunakan dalam dosis 1x500
mg/hari. Ditingkatkan 500 mg/minggu, sampai mencapai dosis 4x500 mg. setelah
remisi tecapai. Dosis daptat diturunkan hingga 19/hari untuk dipakai dalam jangkau
panjan sampai tercapai remisi sempurna. Jika dalam waktu 3 bulan tidak terlihat
khasiatnya, obat ini dihentikan dan diganti dengan yang lain, atau dikombinasi.
c. D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat. Digunakan dalam
dosis 250-300 mg/hari, kemudian dosisi ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar
250-300 mg/hari untuk mencapai dosis total 4x250-300 mg/hari.
d. Garam emas adalah gold standard bagi DMARD-khasiatnya tidak diraguka lagi
meski sering timbul efek samping. Auro sodium tiomalat (AST) diberikan
intramuscular, dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, seminggu
kemudian dosis kedua 20 mg. seminggu kemudian diberikan dosis penuh
50mg/minggu selama 20 minggu dapat dlanjutkan dengan dosis tambahan sebesar
50 mg tiap minggu sampai 3 bulan. Jika diperlukan dapat diberkan dosis 50 mg
setiap 3 minggu sampai keadaan emisi tercapai.
e. Obat imunosupresif atau imunoregulator ;metotreksat sangat mudah digunakan dan
waktu mula kerjanya relative pendek. Dosis mulai 5-7,5 mg setiap minggu bila
dalam 4 bulan tidak menujukkan perbaikan, dosis harus ditingkatkan. Dosis jarang
melebihi 20 mg/minggu. Penggunaan siklosporin untuk artistis reumatoid masih
dalam penelitian.
f. Kortikosteroid hanya dipakai untuk pengobatan reumatoid dengan komplikansi
berat dan mengharkan jiwa, seperti vaskulitis, karena obat ini memiliki efek
sampng yang sangat berat. Dalam dosis rendah (seperti predmison 5-7,5 mg satu
kali sehari) sangat bermanfaat sebagai bridging theraphy dalam mengatasi sinovitis
sebelum DMARD mulai bekerja, yang kemudian dihentikan secara bertahap. Dapat
diberikan suntikan kortikosteroid intraatikules jika terdapat peradangan yang berat.
Sebelumnya, infeksi harus disngkirkan terlebih dahulu.
4. Riwayat penyakit alamiah
Pada umumnya 25% pasien akan mengalami manifestasi penyakit yang bersifat
monosiklik (hanya mengalami satu episode AR dan selanjutnya akan mengalami remisi
sempurna) pada pihak lain sebagian besar pasien akan menderita penyakit ini sepanjang
hidupnya dengan hanya selingi oleh beberapa masa remisi yang singkat (jenis
polisiklik), sebagian kecil lainnya akan menderita AR yang progresif yag disertai
dengan penurunan kapasitas fungsional yang menetap pada setiap eksaserbasi. Sampai
saat ini belum berhasil dijumpai obat yang bersifat sebaga disese controlling
antiheumatic therapy (DC-ART).
5. Rehabilitas
Rehabilitas merupakan tindakan untuk mengembalikan tingkat kemampuan pasien AR
dengan tujuan :
a. Mengurangi rasa nyeri
b. Mencega terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerakan sendi
c. Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot
d. Mencegah terjadinya deformitas
e. Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri
f. Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung kepada orang lain
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Faktor reumatoid, fiksasi lateks, reaksi-reaksi aglutinati
2. Laju endap darah : umumnya meningkatkan pesat (80-100 mm/h) mungkin kembali
normal sewaktu gejala-gejala meningkat
3. Protein C-reaktif : positif selama masa eksasebasi
4. Sel darah putih : meningkatkan pada waktu timbul proses inflamasi.
5. Haemoglobin : umumnya menujukkan anemia sedang
6. Ig (Ig M dan Ig G); peningkatan besar menunjukkan proses automun sebagai
penyebar AR
7. Sinar x dari sendi yang sakit : menujukkan pembengkakan pada jaringan lunak, erosis
sendi dan ostreoprosis dari tulang yang berdekatan (perubahan awal) perkembangan
menjadi formasi kista tulang, memperkecil jarak sendi dan sublukasio. Prubahan
osteoartristis yang terjadi secara bersamaan
8. Scan radinulida : identifikasi peradangan sinovium
9. Astroskopi langsung, aspirasi cairan sinovial
10. Biopsi membran sinovial: menujukkan perubahan inflamasi dan perkembangan
panas.
A. Pengkajian
1. Identitas
a) Identitas pasien
Nama,umur,jenis kelamin agama, suku bangsa, pendidikan, diagnose medis, no-
RM.
b) Identitas penanggung jawab.
Nama, umur, alamat, hubungan dengan pasien.
2. Riwayat kesehatan
a) Keluhan pertama
b) Riwayat keluhan sekarang
c) Riwayat kesehatan dahulu
d) Riwayat kesehatan keluarga
3. Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum
b) Tingkat kesadaran
c) TTV (tanda-tanda vital)
d) Data fisik pasien
1) Sistem repirasi
2) Sistem kardiovaskuler
3) Sistem urogenik
4) Sistem integument
5) Sistem persyarafan
6) Sistem pencernaan
7) Sistem endokrin
8) Sistem reproduksi
4. Data psik-sosial dan spiritual
Nodul
Defermitas sendi
Resiko cidera
Pannus
Resiko cidera
12. INTERVENSI KEPERAWATAN
5 Resiko cidera berhubungan Noc= perilaku mencegah resiko 1. Lakukan pengkajian 1. Mengetahui
dengan kontraktur sendi cidera resiko cidera di setiap kemungkinan resiko
Tupan RS cidera
Setelah dilakukan Tindakan 2. Identifikasi karakteristik 2. Mengurangi angka
keperawatan 3x24 jam lingkungan yang dapat resiko cidera dan
diharapkan kondisi pasien tidak meningkatkan potensi memberi rasa aman
menderita cidera cidera pada pasien
Tupen 3. Pastikan bahwa pasien 3. Memberikan rasa aman
Setelah dilakukan Tindakan dalam pengawasan, dan nyaman
keperatwatan selama 1x24 jam hindari lantai klien 4. Dengan bantuan dari
diharapkan resiko cidera tidak 4. Bantu pasien untuk perawatan dan orang-
terjadi memenuhi ADL orang terdekat maka
Dengan kriteria hasil: kebutuhan pasien dapat
1. Tidak cidera memenuhi dan tidak
2. Menunjukan energi yang terjadi resiko cidera
meningkat dibagian sendi.