Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

KLIEN DENGAN OSTEOARTHRITIS HIP


DI RUANG SERUNI RSD dr. SOEBANDI JEMBER

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan Tugas di


Departemen Keperawatan Medikal Bedah

Oleh:

Zehrotul Jannah, S. Kep.


NIM. 2001031052

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
Tahun Akademik 2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Anatomi Fisiologi Sendi


Sendi adalah tempat pertemuan dua atau lebih tulang yang bersatu dalam
suatu koordinasi antara kapsul sendi, ligamen, tendon, otot dan kartilago.
Terdapat tiga tipe sendi, yaitu sendi fibrosa atau sinartrodial, sendi
kartilagonisa atau amfiartrodial, dan sendi sinovial atau diartrodial (Price,
2006 dalam Fadhilah, 2016).
Sendi fibrosa merupakan sendi yang tidak dapat bergerak, tidak memiliki
lapisan tulang rawan, dan tulang satu dengan lainnya dihubungkan oleh
jaringan ikat fibrosa. Sendi kartilaginosa merupakan sendi yang dapat sedikit
bergerak. Sendi ini terbungkus rawan hialin pada bagian ujungnya, disangga
oleh ligamen dan hanya dapat sedikit bergerak. Sedangkan sendi sinovial
merupakan sendi yang dapat digerakkan dengan bebas. Sendi ini memiliki
rongga sendi dan permukaan sendi dilapisi rawan hialin (Price, 2006 dalam
Fadhilah, 2016)

.
Gambar Struktur tulang rawan normal
Pada sendi sinovial atau diarthrodial, dua ujung tulang tidak tersambung
secara langsung, namun menyatu dalam kapsul sendi fibrosa yang
mengelilingi dan menopang sendi. Terdapat dua lapisan kapsul, yaitu lapisan
luar dan lapisan dalam yang disebut membran sinovial. Membran sinovial
menutupi tendon yang menghubungkan tulang dengan otot dan ligamen yang
menghubungkan tulang satu dengan lainnya, serta menyekresi cairan licin
yang melumasi sendi. Cairan ini disebut cairan sinovial yang juga bertindak
sebagai sumber nutrisi bagi tulang rawan sendi. Asam hialuronat adalah
senyawa yang bertanggung jawab atas viskositas cairan sinovial dan
disintesis oleh membran sinovial (Chang et al., 2010). Selain itu beberapa
sendi (seperti bahu dan lutut) mempunyai kantong bursa (bursae), yaitu
kantung kecil berisi cairan yang berfungsi sebagai bantalan sendi dan
mengurangi gesekan (Fadhilah, 2016).
Kartilago sendi tidak memiliki jaringan vaskular dan persarafan
sehingga mudah dikompresi, hingga kehilangan 40% dari kandungan semula.
Dalam sendi sinovial, kartilago sendi ditemukan diantara rongga sinovial, dan
penyempitan jaringan kalsifikasi diatas tulang subkhondral (Pearle et al.,
2005). Tulang kartilago terdiri dari bahan yang kompleks, hidrofilik, dan
matriks ekstraselular dengan tebal 2–3 mm dan mengandung sekitar 75%-
85% air, 2%-5% kondrosit, protein kolagen, proteoglikan, dan asam
hialuronat (Buys dan Elliott, 2008). Tulang rawan kartilago memiliki struktur
berlapis dan terorganisir yang dapat bekerja secara fungsional dan struktural.
Tulang rawan ini dibagi menjadi empat zona, yaitu: zona dangkal atau
tangensial, zona tengah atau transisi, zona dalam atau radial, dan zona
kartilago yang mengandung kalsium (Fadhilah, 2016).

Gambar 2.2 Pembagian zona kartilago


1. Zona dangkal atau tangensial (superficial zone) Permukaan rawan sendi
bebas bergerak, terdiri dari 10%-20% tulang rawan artikular,
kandungan kolagen tinggi, fibril kolagen padat, memiliki modulus
tekan terendah dan akan rusak sekitar 25 kali lebih banyak dari zona
tengah.
2. Zona tengah atau transisi (middle or transitional zone) Terdiri dari
40%-60% dari volume tulang rawan artikular. Terdiri dari sel kondrosit
berbentuk bulat yang dikelilingi serabut kolagen tebal, memiliki
modulus tekan yang lebih tinggi dari zona dangkal,
3. Zona dalam atau radial (deep zone) Terdapat berkas kolagen paling
besar dengan kenaikan 30% dari volume tulang rawan dan diameter
permukaan artikular. Lapisan ini mengandung proteoglikan tertinggi,
memiliki modulus tekan tertinggi, dan konsentrasi air terendah.
Kepadatan kondrosit mulai menurun dari permukaan ke zona dalam.
4. Zona kartilago kalsifikasi (calcified cartilage zone) Zona ini merupakan
buffer mekanik yang berada diantara tidemark dan tulang subkondral.
Mengandung sel-sel kecil dalam matriks kondroid dengan garam
apatitic
Kartilago hialin menutupi bagian tulang yang menanggung beban tubuh
pada sendi sinovial. Tulang rawan ini berperan dalam membagi beban tubuh.
Terdiri dari kolagen tipe II dan proteoglikan (Chang et al., 2010). Bentuk
utama proteoglikan adalah dalam bentuk aggrekan. Molekul besar diagregasi
bersama dengan inti protein hingga 100 khondroitin sulfat dan
glikosaminoglikan sulfat keratin (GAG). Ratusan molekul aggrekan terkait
rantai hialuronat bercabang panjang (Hyaluronan) ini membentuk molekul
yang lebih besar dengan berat molekul lebih dari 100 juta dalton. Muatan
makromolekul negatif ini bertanggung jawab untuk kekakuan dan kelenturan
dari tulang rawan artikular (Solomon et al., 2010). Proteoglikan mampu
menggabungkan beberapa molekul hialuronat membentuk kompleks lebih
besar yang terletak dalam jaringan ikat kolagen. Jaringan kolagen secara
bersamaan membantu dan menahan matriks ekstraseluler di tempat
pembentukan kompleks proteoglikan- hialuronat dan kondrosit. Ikatan silang
antara kolagen tipe II dengan matriks protein lainnya mampu membentuk
daya regang, mempertahankan volume dan bentuk tulang rawan. Hal ini dapat
disebabkan oleh sifat hidrofilik dan anionik dari kompleks proteoglikan-
hialuronat dalam jaringan kolagen yang memiliki sifat viskoelastik yang
diperlukan untuk ketahanan dan bantalan beban sendi (Fadhilah, 2016).
Kolagen Tipe II terdiri sekitar 10%-20% dari berat tulang rawan, dan
berperan terhadap gaya geser dan tarik-menarik jaringan. Kolagen tipe II
mengandung struktur triple helix. Fibril kolagen berfungsi untuk
menstabilkan matriks. Proteoglikan menahan kompresi dan menghasilkan
tekanan karena afinitas terhadap air. Dalam tulang rawan, struktur
proteoglikan yang utama adalah aggregat. Molekul aggregat mengikat melalui
bagian link protein untuk mengikat asam hialuronat. Asam hialuronat
membentuk seperti tulang punggung dengan palisading molekul aggregat.
Kompleks makromolekul ini dikenal sebagai agregat proteoglikan (Fadhilah,
2016).
Aliran darah ke sendi banyak menuju ke sinovium. Pembuluh darah
mulai masuk melalui tulang subkondral pada tepi kapsul. Proses peradangan
sangat menonjol pada sinovium, karena didaerah tersebut banyak mendapat
aliran darah dan terdapat sel mast, sel lain, dan zat kimia yang secara dinamis
berinteraksi untuk merangsang dan memperkuat inflamasi. Saraf-saraf
otonom dan sensorik tersebar luas pada ligamen, kapsul sendi, dan sinovium.
Saraf ini berfungsi untuk memberikan sensitivitas pada struktur tulang
terhadap posisi dan pergerakan tulang (Fadhilah, 2016).

B. Konsep Medis
1. Definisi
Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang
berjalan secara progesif lambat ditandai dengan kerusakan tulang rawan
sendi dan struktur sendi diarthrodial. Penggunaan tulang rawan yang
berlebihan akan mempengaruhi sendi dan meremas tulang rawan termasuk
lutut, pinggul, jari, dan daerah tulang belakang bawah sehingga
menyebabkan nyeri sendi dan gangguan mobilitas. Gangguan tersebut
semakin parah dan dapat menimbulkan kecacatan. Osteoarthritis ditandai
dengan perubahan degeneratif pada tulang, tulang rawan, menisci,
ligamen, dan jaringan sinovial. Bagian yang paling sering terkena OA
adalah vertebra, panggul, lutut, dan pergelangan kaki (Fadhilah, 2016).
Osteoartritis (OA) merupakan kegagalan pembaikan kerusakan di
sendi yang disebabkan oleh stress mekanik yang berlebihan. Penyakit ini
bersifat degeneratif kronik non inflamasi serta progresif lambat, ditandai
dengan adanya degenerasi tulang rawan sendi, hipertrofi tulang pada
tepinya, sklerosis tulang subkondral, perubahan pada membran sinovial,
disertai nyeri, biasanya setelah aktivitas berkepanjangan, dan kekakuan,
khususnya pada pagi hari atau setelah inaktivitas. Penyakit ini disebut juga
degenerative arthritis, hypertrophic arthritis, dan degenerative joint
disease. Osteoartritis adalah bentuk artritis yang paling umum terjadi yang
mengenai mereka di usia lanjut atau usia dewasa dan salah satu penyebab
terbanyak kecacatan di negara berkembang (Zin, 2017).
Osteoarthritis pada sendi panggul (osteoarthritis hip) juga merupakan
kasus tersering setelah osteoarthritis pada lutut. Gejala yang dirasakan juga
hampir sama dengan osteoarthritis pada lutut, namun bedanya pada kasus
ini gejala akan terasa pada bagian panggul.
2. Klasifikasi
Menurut Zin (2017) pada umumnya diagnosis osteoarthritis
didasarkan pada gabungan gejala klinik dan perubahan radiografi. Gejala
klinik perlu diperhatikan, oleh karena tidak semua pasien dengan
perubahan radiografi osteoarthritis mempunyai keluhan pada sendi.
Terdapat 4 kelainan radiografi utama pada osteoarthritis, yaitu:
penyempitan rongga sendi, pengerasan tulang bawah rawan sendi,
pembentukan kista di bawah rawan sendi dan pembentukan osteofit,
sendi yang dapat terkena osteoarthritis antara lain:
a. Osteoarthritis sendi lutut.
b. Osteoarthritis sendi panggul (Hip)
c. Osteoarthritis sendi-sendi kaki
d. Osteoarthritis sendi bahu.
e. Osteoarthritis sendi-sendi tangan.
f. Osteoarthritis tulang belakang
Namun ada pula yang membagi klasifikasi osteoarthritis
berdasarkan primer dan sekunder seperti yang dilakukan Atman et al.
dalam Zin (2017)
Berdasarkan etiologi, OA dibagi menjadi 2 yaitu OA primer dan
OA sekunder.
a. Osteoartritis Primer
Osteoartritis primer atau OA idiopatik belum diketahui
penyebabnya dan tidak berhubungan dengan penyakit sistemik
maupun proses perubahan lokal pada sendi. Meski demikian,
osteoartritis primer banyak dihubungkan pada penuaan (Zin, 2017).
Pada orang tua, volume air dari tulang muda meningkat dan
susunan protein tulang mengalami degenerasi. Akhirnya, kartilago
mulai degenerasi dengan mengelupas atau membentuk tulang muda
yang kecil. Pada kasus-kasus lanjut, ada kehilangan total dari bantal
kartilago antara tulang-tulang dan sendi- sendi. Penggunaan berulang
dari sendi-sendi yang terpakai dari tahun ke tahun dapat membuat
bantalan tulang mengalami iritasi dan meradang, menyebabkan nyeri
dan pembengkakan sendi. Kehilangan bantalan tulang ini
menyebabkan gesekan antar tulang, menjurus pada nyeri dan
keterbatasan mobilitas sendi. Peradangan dari kartilago dapat juga
menstimulasi pertumbuhan-pertumbuhan tulang baru yang terbentuk
di sekitar sendi-sendi (Zin, 2017).
Osteoartritis primer ini dapat meliputi sendi-sendi perifer (baik satu
maupun banyak sendi), sendi interphalang, sendi besar (panggul,
lutut), sendi- sendi kecil (carpometacarpal, metacarpophalangeal),
sendi apophyseal dan atau intervertebral pada tulang belakang,
maupun variasi lainnya seperti OA inflamatorik erosif, OA
generalisata, chondromalacia patella, atau Diffuse Idiopathic Skeletal
Hyperostosis (DISH) (Zin, 2017).
Menurut Fadhilah (2016) osteoartritis primer dibagi atas:
1) Osteoarthritis Lokal (menyerang satu atau dua sendi)
a) Tangan: Nodus Heberden dan Bouchard (nodal), arthritis
erosi antar jari tangan (non nodal), karpal-metakarpal
pertama.
b) Kaki: Halluks valgus, halluks rigidus, jempol terkontraksi
talonavikularis.
c) Lutut: kompartemen medial, kompartemen lateral,
kompartemen patelofemoralis.
d) Panggul: Eksentrik (superior), konsentrik (aksial, medial),
difus (koksa senilis)
e) Tulang belakang: Sendi apofisialis, antarvertebra (diskus),
spondilosis (osteofit), ligamentosa (hyperostosis, penyakit
Forestier, difus hiperostosis rangka idiopatik)
f) Tempat tunggal lainnya: glenohumeralis,
akromioklavikularis, tibiotalar, sakroiliaka,
temporomandibularis.
2) Osteoarthritis Generalisata (menyerang tiga sendi atau lebih)
a) Kecil (peripheral) dan tulang belakang
b) Besar (sentral) dan tulang belakang
3) Campuran (peripheral dan sentral) dan tulang belakang
b. Osteoartritis Sekunder
Osteoartritis sekunder adalah OA yang disebabkan oleh penyakit
atau kondisi lainnya, seperti pada post-traumatik, kelainan
kongenital dan pertumbuhan (baik lokal maupun generalisata),
kelainan tulang dan sendi, penyakit akibat deposit kalsium, kelainan
endokrin, metabolik, inflamasi, imobilitas yang terlalu lama, serta
faktor risiko lainnya seperti obesitas, operasi yang berulangkali pada
struktur-struktur sendi, dan sebagainya
3. Etiologi
OA primer (idiopatik) terjadi karena kelainan genetik, yaitu adanya
degenerasi artikular yang belum jelas penyebabnya (Maharani, 2007).
Sedangkan OA sekunder sering disebabkan oleh trauma dan imobilitas
yang terlalu lama, kelainan endokrin, penyakit metabolik, faktor bawaan,
inflamasi, infeksi dan sebab lainnya. Pada OA sekunder, tulang rawan
artikular dapat rusak oleh trauma atau gangguan inflamasi sebelumnya,
sehingga dapat meremas sintesis proteoglikan dengan cara perilisan
enzim oleh sel sinovial dan leukosit yang dapat menyebabkan
pengurangan proteoglikan dari matriks, dan pengurangan cairan sinovial
yang diturunkan interleukin-1 (IL-1) (Solomon et al., 2010 dalam
Fadhilah, 2016).
Menurut Fadhilah (2016) penyebab dari osteoartritis sekunder
adalah sebagai berikut:
a. Trauma (akut, kronik)
b. Konginental atau perkembangan:
1) Penyakit lokal: Legg-Calve-Perthes, dislokasi panggul
konginental, epifisis selip
2) Faktor mekanik: panjang ekstremitas bawah yang tidak sama,
deformitas
3) Valgus/varus, sindroma hipermobilitas
c. Displasia tulang: displasia epifis, displasia spondiloapofisis,
osteonikondistrofi
d. Metabolik (Okronosis, hemakromatosis, penyakit Wilson, penyakit
Gaucher)
e. Endokrin (akromegali, hiperparatiroidisme, diabetes mellitus,
kegemukan, hipotiroidisme)
f. Penyakit endapan kalsium:
a) Lokal: fraktur, nekrosis avaskuler, infeksi, gout
b) Difus: arthritis rheumatoid, penyakit Paget, osteopetrosis,
osteokondriti (Neuropatik (sendi Charcot)
g. Endemik (Kashin-Beck, mseleni)
h. Lain-lain (Frosibite, penyakit Casson, hemoglobinopati)
4. Faktor Risiko
Secara garis besar, terdapat dua pembagian faktor risiko OA yaitu
faktor predisposisi dan faktor biomekanis. Faktor predisposisi merupakan
faktor yang memudahkan seseorang untuk terserang OA. Sedangkan
faktor biomekanik lebih cenderung kepada faktor mekanis/ gerak tubuh
yang memberikan beban atau tekanan pada sendi lutut sebagai alat gerak
tubuh, sehingga meningkatkan risiko terjadinya OA (Adhiputra, 2017).
a. Faktor Predisposisi
1) Usia
Proses penuaan dianggap sebagai penyebab peningkatan
kelemahan di sekitar sendi, penurunan kelenturan sendi kalsifikasi
tulang rawan dan menurunkan fungsi kondrosit yang semuanya
mendukung terjadinya OA.
2) Jenis Kelamin
Prevalensi OA pada laki-laki sebelum usia 50 tahun lebih
tinggi dibandingkan perempuan. Tetapi setelah usia lebih dari 50
tahun prevalensi perempuan lebih tinggi menderita OA
dibandingkan laki-laki. Perbedaan tersebut menjadi semakin
berkurang setelah menginjak usia 50- 80 tahun. Hal trsebut
diperkirakan karena pada masa usia 50-80 tahun wanita
mengalami pengurangan hormone estrogen yang signifikan.
3) Ras/Etnis
Prevalensi OA lutut pada pasien di Negara Eropa dan
Amerika tidak berbeda, sedangkan suatu penelitian membuktikan
bahwa ras Afrika- Amerika memiliki risiko menderita OA lutut 2
kali lebih besar dibandingkan ras Kaukasia.
4) Faktor genetik
Faktor genetik diduga juga berperan pada kejadian OA
lutut, hal tersebut berhubungan dengan abnormalitas kode genetik
untuk sintesis kolagen yang bersifat diturunkan.
5) Faktor Gaya hidup
Kebiasaan merokok Banyaknya penelitian telah
membuktikan bahwa ada hubungan positif antara merokok
meningkatkan kandungan racun dalam darah dan mematikan
jaringan akibat kekurangan oksigen, yang memungkinkan
terjadinya kerusakan tulang rawan. Rokok juga dapat merusak sel
tulang rawan sendi. Hubungan anatara merokok dengan hilangnya
tulang rawan pada OA dapat dijelaskan sebgai berikut:
a) Merokok dapat merusak sel dan menghambat proliferasi sel
tulang rawan sendi.
b) Merokok dapat meningkatkan tekanan oksidan yang
mempengaruhi hilangnya tulang rawan.
c) Merokok dapat meningkatkan kandungan karbon monoksida
dalam darah, menyebabkan jaringan kekurangan oksigen dan
dapat menghambat pembentukan tulang rawan.
6) Penyakit lain
OA lutut terbukti berhubungan dengan diabetes mellitus,
hipertensi dan hiperurikemia, dengan catatan pasien tidak
mengalami obesitas
7) Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko terkuat yang dapat di
modifikasi. Selama berjalan, setengah berat badan bertumpu pada
sendi. Peningkatan berat badan akan melipat gandakan beban
sendi saat berjalan terutama sendi lutut.
8) Osteoporosis
Osteoporosi merupakan salah satu faktor risiko yang dapat
menyebabkan osteoartritis. Salah satu faktor resiko osteopororsis
adalah minum-minum alkohol. Sehingga semakin banyak orang
mengkonsumsi alkohol sehingga akan mudah menjadi
osteoporosis dan osteoporosis akan menyebabkan osteoartritis.
b. Faktor Biomekanis
1) Riwayat trauma lutut
Trauma lutut yang akut termasuk robekan pada ligament
krusiatum dan meniscus merupakan faktor risiko timbulnya OA
lutut. Studi Framingham menemukan bahwa orang dengan
riwayat trauma lutut memiliki risiko 5-6 kali lipat lebih tinggi
untuk menderita OA lutut. Hal tersebut biasanya terjadi pada
kelompok usia yang lebih muda serta dapat menyebabkan
kecacatan yang lama dan pengangguran.
2) Kelainan Anatomis
Faktor risiko timbulnya OA lutu anatara lain kelainan local
pada sendi lutut seperti genu varum, genu valgus, legg-calve
Perthes disease dan dysplasia asetubulum. Kelemahan otot
quadrisep dan laksiti ligamentum pada sendi lutut termasuk
kelainan local yang juga menjadi faktor risiko OA lutut.
3) Pekerjaan
Osteoartritis banyak ditemukan pada pekerja fisik berat
terutama yang banyak menggunakan kekuatan bertumpu pada
lutut dan pinggang. Prevalensi lebih tinggi menderita OA lutut
ditemukan pada kuli pelabuhan, petani dan penambang
dibandingkan pekerja yang tidak menggunakan kekuatan lutut
seperti pekerja administrasi. Terdapat hubungan signifikan
anatara pekerjaan yang menggunakan kekuatan lutut dan kejadian
OA lutut.
4) Aktivitas fisik
Aktivitas fisik berat seperti berdiri lama (2 jam atau lebih
setiap hari), berjalan jauh (2 jam atau lebih setiap hari),
mengangkat barang berat (10kg-20 kg) selama 10 kali atau lebih
setiap minggu), naik turun tangga setiap hari merupakan faktor
risiko OA lutut.
5) Atlit
Olah raga benturan keras dan membebani lutut seperti
sepak bola, lari marathon dan kung fu memiliki risiko
meningkatkan untuk menderita OA lutut. Kelemahan otot
quadrisep primer merupakan faktor risiko bagi terjadinya OA
dengan proses menurunkan stabilitas sendi dan mengurangi shock
yang menyerap materi otot. Tetapi, disisi lain seseorang yang
memliki aktivitas minim sehari-hari juga berisiko mengalami OA.
Ketika seseorang tidak mengalami gerakan, aliran cairan sendi
akan berkurang dan berakibat aliran makanan yang masuk ke
sendi juga berkurang. Hal tersebut akan menyebabkan proses
degeneratif berlebihan
5. Manifestasi Klinis
Menurut Adhiputra (2017) manifestasi klienis yang dapat
ditimbulkan karena osteoartritis adalah sebagai berikut:
a. Persendiaan terasa kaku dan nyeri apabila digerakkan. Pada mulanya
hanya terjadi pagi hari, tetapi apabila dibiarkan akan bertambah buruk
dan menimbulkan rasa sakit setiap melakukan gerakan tertentu,
terutama pada waktu menopang berat badan, namun bisa membaik
bila diistirahatkan. Pada beberapa pasien, nyeri sendi dapat timbul
setelah istirahat lama, misalnya duduk dikursi atau di jok mobil dalam
perjalanan jauh. Kaku sendi pada OA tidak lebih dari 15-30 menit dan
timbul istirahat beberapa saat misalnya setelah bangun tidur.
b. Adanya pembengkakan/peradangan pada persendiaan. Pembengkakan
bisa pada salah satu tulang sendi atau lebih. Hal ini disebabkan karena
reaksi radang yang menyebabkan pengumpulan cairan dalam ruang
sendi, biasanya teraba panas tanpa ada kemerahan.
c. Nyeri sendi terus-menerus atau hilang timbul, terutama apabila
bergerak atau menanggung beban.
d. Persendian yang sakit berwarna kemerah-merahan.
e. Kelelahan yang menyertai rasa sakit pada persendiaan
f. Kesulitan menggunakan persendiaan
g. Bunyi pada setiap persendiaan (krepitus). Gejala ini tidak
menimbulkan rasa nyeri, hanya rasa tidak nyaman pada setiap
persendiaan (umumnya tulang lutut)
h. Perubahan bentuk tulang.
6. Pathopysiological Pathway
Osteoarthritis ditandai dengan faktor kerusakan sendi dan struktur
sendi diarthrodial yang ditandai oleh kerusakan progresif tulang rawan
sendi, hilangnya artikular hialin tulang rawan, penebalan tulang
subkondral dan kapsul sendi, renovasi tulang, pembentukan osteofit,
sinovitis ringan, dan perubahan lainnya. Osteoarthritis terbentuk pada
dua keadaan, yaitu (1) sifat kartilago sendi dan tulang subkhondral
normal, tetapi terjadi beban berlebihan terhadap sendi sehingga jaringan
rusak; (2) beban yang ada secara fisiologis normal, tetapi sifat kartilago
sendi atau tulang kurang baik. Penggunaan terus-menerus dari sendi
mengakibatkan hilangnya tulang rawan karena kontak dari tulang ke
tulang yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya OA (Fadhilah, 2016).
Secara makroskopik, perubahan tulang rawan OA dapat dilihat
sebagai pelunakan atau kondromalasia, fibrilasi, erosi, kerusakan tulang
rawan dan kegagalan perbaikan tulang rawan, hilangnya lapisan tulang
rawan, nekrosis seluler, kondrosit kloning, dan duplikasi tidemark. Pada
stadium awal, tulang rawan lebih tebal daripada bentuk normal, tetapi
tulang rawan melunak, integritas tulang terputus, dan terbentuk celah
vertikal (fibrilisasi) yang dapat mengakibatkan remodeling dan hipertrofi
tulang. Pelunakan tulang rawan tersebut dikarenakan adanya peningkatan
kadar enzim protease, seperti matriks metalloproteinase (MMPs). Enzim
protease katabolik ini memiliki peran penting dalam inisiasi dan
perkembangan OA. Selanjutnya, ditandai dengan meningkatnya kadar air
dan pelunakan tulang rawan berat dan sendi. Hal tersebut dapat
membentuk ulkus kartilago dalam yang meluas ke tulang, sehingga
terjadi kemampuan menahan stres mekanik dengan cara perbaikan
kartilaginosa. Pertumbuhan kartilago dan tulang di tepi sendi
menyebabkan terbentuknya osteofit, yang mengubah kontur sendi dan
membatasi gerakan (Fadhilah, 2016).

Gambar Karakteristik Tulang Diarthorial pada Osteoarthritis


Pengaturan fungsi kondrosit dan metabolisme kartilago bersifat
kompleks, terdiri dari insulin-like growth factor, epidermal growth factor,
fibroblast growth factor, dan agen lainnya yang mampu meningkatkan
proliferasi kondrosit dan sintesis proteoglikan. Sebaliknya, interleukin-1
dan tumor necrosis factor-α menghasilkan enzim yang mendegradasi
matriks protein dan meremas sintesis proteoglikan dan kolagen dalam
matriks ekstraselular (Fadhilah, 2016).
Dalam tulang rawan orang dewasa sehat, pasien atau dengan gejala
OA, terjadi perubahan anabolik dan katabolik dalam keseimbangan
homeostatis, sehingga tingkat metabolisme rendah dan pembentukan
kartilago sangat lambat. Pada tulang rawan kartilago dewasa bersifat
avaskular, dengan kondrosit yang dialiri oleh cairan sinovial. Dengan
gerakan dan pembebanan pada sendi, nutrisi mengalir ke tulang rawan,
sedangkan imobilisasi gerakan mengurangi aliran nutrisi. Sehingga
aktivitas fisik normal bermanfaat bagi kesehatan sendi (Fadhilah, 2016).
Semua kartilago secara metabolit aktif, dan kondroisit melakukan
replikasi, membentuk matriks baru dan terbentuk hiposelular. Proses
perbaikan ini dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan suatu polipeptida
yang mengontrol proliferasi sel dan membantu komunikasi antar sel.
Faktor ini menginduksi kondroisit untuk mensintesis asam
deosiribonukleat (DNA) dan protein seperti kolagen serta proteoglikan.
Peningkatan degradasi kolagen akan mengubah keseimbangan
metabolisme rawan sendi, dan bila terakumulasi di sendi akan
menghambat fungsi rawan sendi dan mengalami respon imun yang
menyebabkan inflamasi (Fadhilah, 2016).
Faktor pertumbuhan yang berperan adalah insulin-like growth
factor (IGF-1), growth hormone, transforming growth factor b (TGF-b)
dan coloni stimulating factors (CSFs). IGF-1 berperan penting dalam
proses perbaikan tulang rawan sendi. Pada saat inflamasi, sel menjadi
kurang sensitif terhadap efek IGF-1. Sedangkan TGF-b mempunyai efek
merangsang sintesis kolagen dan proteoglikan serta meremas stromelisin,
yaitu enzim yang mendegradasi proteoglikan, meningkatkan produksi
prostaglandin E2 (PGE2), dan melawan efek sintesis PGE2 oleh
interleukin-1 (IL-1). Apabila makrofag dirangsang oleh CSFs (material
asing hasil nekrosis jaringan) akan memproduksi sitokin aktivator
plasminogen (PA) yang disebut katabolin. Sitokin tersebut adalah IL-1,
IL-6, TNF-a, TNF-b, dan interferon (IFN) a dan t. sitokin ini akan
merangsang kondrosit untuk memproduksi CSFs yang akan
mempengaruhi monosit dan PA untuk degradasi rawan sendi secara
langsung. Sehingga, pasien OA memiliki kadar PA yang tinggi pada
cairan sendinya. Interleukin-1 mempunyai efek meningkatkan sintesis
enzim yang mendegradasi rawan sendi yaitu stromelisin dan kolagenosa,
dan menghambat proses sintesis dan perbaikan normal kondroisit.
Kondroisit pasien OA mempunyai reseptor IL-1 dua kali lipat lebih
banyak dibanding orang normal. Tulang subkondral mengalami
perubahan metabolik, termasuk turnover (pertukaran) tulang meningkat,
yang merupakan prekursor untuk perusakan jaringan. Faktor pemicu
utamanya adalah interleukin-1 (IL-1), sitokin yang dihasilkan oleh sel
mononukleus dan disintesis oleh kondroisit. IL-1 meremas sintesis PG
oleh kondroisit dan menghambat pembentukan matriks (Fadhilah, 2016).
Pada tulang rawan sendi pasien OA terjadi peningkatan aktivitas
fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Hal ini menyebabkan
penumpukan thrombus dan lipid pada pembuluh darah subkondral yang
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan subkhondral yang
selanjutnya akan mengakibatkan pelepasan prostaglandin dan interleukin
yang menimbulkan bone angina lewat subkhondral yang diketahui
mengandung ujung saraf sensibel yang dapat menghantarkan rasa sakit
(Fadhilah, 2016).
Osteortritis Primer Osteortritis Sekunder Faktor Predisposisi Faktor Biomekanis
Ideopatik Trauma, konginetal, displasia tulang, gangguan Usia, jenis kelamin, etnis, genetik, gaya Trauma lutut, kelainan anatomis,
metabolik, gangguan endokrin, penyakit hidup, penyakit, obesitas, osteoporosis pekerjaan, aktivitas fisik
endapan kalsium, endemik, lain- lain

Penurunan kelenturan sendi, penurunan hormon estrogen, Kelemahan otot, beban sendi
abnormalitas sintesis kolagen, perusakan sel tulang rawan, berlebih
beban berlebih sendi

Kerusakan sendi dan struktur sendi diatrial

Kerusakan progresif tulang rawan sendi, hilangnya artikular sendi, penebalan tulang subkondrial dan kapsul sendi

Hilangnya tulang rawan panggul karena kontak antar tulang


Gangguan pola tidur
Osteoarthritis Hip
Kualitas dan kuantitas tidur
terganggu Inflamasi
Risiko cedera Ketakutan Prosedur invasif
berlebih (pembedahan)
Pelepasan mediator kimia Penipisan bantalan sendi Ketidakmampuan
(gamma, prostaglandin, dll) melindungi diri Ansietas Kontak luka
Rentang gerak menurun dengan
Nyeri Kecacatan lingkungan
Sumber
Kekuatan otot Pemenuhan ADL informasi
Akut Kronis (> 3 bulan) menurun terganggu Malu kurang Risiko infeksi
7.
Gangguan mobilitas Bersihan diri, mandi,
Nyeri akut Nyeri kronis Gangguan citra Defisit
fisik berhias, berpakaian
tubuh pengetahuan
terganggu

Defisit perawatan diri


8. Penatalaksanaan
Pengelolaan pasien dengan OA bertujuan untuk untuk menghilangkan
keluhan, mengoptimalkan fungsi sendi, mengurangi ketergantungan dan
meningkatkan kualitas hidup, menghambat progresivitas penyakit dan mencegah
komplikasi. Pilar terapi: non farmakologis (edukasi, terapi fisik, diet/penurunan
berat badan), farmakologis (analgetik, kortikosteroid lokal, sistemik,
kondroprotektif dan biologik), dan pembedahan (Fadhilah, 2016).
a. Edukasi
Sangat penting bagi semua pasien OA diberikan edukasi yang tepat. Dua
hal yang menjadi tujuan edukasi adalah bagaimana mengatasi nyeri dan
disabilitas. Pemberian edukasi (KIE) pada pasien ini sangat penting karena
dengan edukasi diharapkan pengetahuan pasien mengenai penyakit OA
menjadi meningkat dan pengobatan menjadi lebih mudah serta dapat diajak
bersama-sama untuk mencegah kerusakan organ sendi lebih lanjut. Edukasi
yang diberikan pada pasien ini yaitu memberikan pengertian bahwa OA
adalah penyakit yang kronik, sehingga perlu dipahami bahwa mungkin
dalam derajat tertentu akan tetap ada rasa nyeri, kaku dan keterbatasan gerak
serta fungsi. Selain itu juga diberikan pemahaman bahwa hal tersebut perlu
dipahami dan disadari sebagai bagian dari realitas kehidupannya. Agar rasa
nyeri dapat berkurang, maka pasien sedianya mengurangi
aktivitas/pekerjaannya sehingga tidak terlalu banyak menggunakan sendi
lutut dan lebih banyak beristirahat. Pasien juga disarankan untuk kontrol
kembali sehingga dapat diketahui apakah penyakitnya sudah membaik atau
ternyata ada efek samping akibat obat yang diberikan.
b. Terapi fisik
Terapi fisik bertujuan untuk melatih pasien agar persendiannya tetap dapat
dipakai dan melatih pasien untuk melindungi sendi yang sakit. Pada pasien
OA dianjurkan untuk berolah raga tapi olah raga yang memperberat sendi
sebaiknya dihindari seperti lari atau joging. Hal ini dikarenakan dapat
menambah inflamasi, meningkatkan tekanan intraartikular bila ada efusi
sendi dan bahkan bisa dapat menyebabkan robekan kapsul sendi. Untuk
mencegah risiko terjadinya kecacatan pada sendi, sebaiknya dilakukan olah
raga peregangan otot seperti m. Quadrisep femoris, dengan peregangan
dapat membantu dalam peningkatan fungsi sendi secara keseluruhan dan
mengurangi nyeri. Pada pasien OA disarankan untuk senam aerobic low
impact/intensitas rendah tanpa membebani tubuh selama 30 menit sehari
tiga kali seminggu. Hal ini bisa dilakukan dengan olahraga naik sepeda atau
dengan melakukan senam lantai. Senam lantai bisa dilakukan dimana pasien
mengambil posisi terlentang sambil meregangkan lututnya, dengan cara
mengangkat kaki dan secara perlahan menekuk dan meluruskan lututnya.
c. Diet
Diet bertujuan untuk menurunkan berat badan pada pasien OA yang
gemuk. Hal ini sebaiknya menjadi program utama pengobatan OA.
Penurunan berat badan seringkali dapat mengurangi keluhan dan
peradangan. Selain itu obesitas juga dapat meningkatkan risiko progresifitas
dari OA. Pada pasien OA disarankan untuk mengurangi berat badan dengan
mengatur diet rendah kalori sampai mungkin mendekati berat badan ideal.
Dimana prinsipnya adalah mengurangi kalori yang masuk dibawah energi
yang dibutuhkan. Penurunan energi intake yang aman dianjurkan pemberian
defisit energi antara 500-1000 kalori perhari, sehingga diharapkan akan
terjadi pembakaran lemak tubuh dan penurunan berat badan 0,5 – 1 kg per
minggu. Biasanya intake energi diberikan 1200-1300 kal per hari, dan
paling rendah 800 kal per hari. Formula yang dapat digunakan untuk
kebutuhan energi berdasarkan berat badan adalah 22 kal/kgBB aktual/hari,
dengan cara ini didapatkan defisit energi 1000 kal/hari. Pada pasien di
anjurkan untuk diet 1200 kal perhari agar mencapai BB idealnya yakni
setidaknya mencapai 55 kg. Contoh komposisi makanan yang kami anjurkan
adalah dalam sehari pasien bisa memasak 1 gelas beras (550 kal), 4 potong
tempe sedang (150 kal), 1 buah telur (100 kal), 2 potong ayam sedang (300
kal) dan 1 ikat sayuran kangkung (75 kal).
d. Terapi Farmakologis
Pada pasien OA biasanya bersifat simptomatis. Untuk membantu
mengurangi keluhan nyeri pada pasien OA, biasanya digunakan analgetika
atau Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS). Untuk nyeri yang ringan
maka asetaminophen tidak lebih dari 4 gram per hari merupakan pilihan
pertama. Untuk nyeri sedang sampai berat, atau ada inflamasi, maka OAINS
yang selektif COX-2 merupakan pilihan pertama, kecuali jika pasien
mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya hipertensi dan penyakit ginjal.
OAINS yang COX-2 non-selektif juga bisa diberikan asalkan ada perhatian
khusus untuk terjadinya komplikasi gastrointestinal dan jika ada risiko ini
maka harus dikombinasi dengan inhibitor pompa proton atau misoprostol.
Injeksi kortikosteroid intraartikuler bisa diberikan terutama pada pasien
yang tidak ada perbaikan setelah pemberian asetaminophen dan OAINS.
Tramadol bisa diberikan tersendiri atau dengan kombinasi dengan analgetik
e. Operasi
Operasi perlu dipertimbangkan pada pasien osteoartritis dengan kerusakan
sendi yang nyata dengan nyari yang menetap dan kelemahan fungsi.
Tindakan yang dilakukan adalah osteotomy untuk mengoreksi
ketidaklurusan atau ketidaksesuaian, debridement sendi untuk
menghilangkan fragmen tulang rawan sendi, pebersihan osteofit (Purwanto,
2018).
1) Penggantian engsel (artroplasti).
Engsel yang rusak akan diangkat dan diganti dengan alat yang terbuat
dari plastik atau metal yang disebut prostesis.

2) Pembersihan sambungan (debridemen).


Dokter bedah tulang akan mengangkat serpihan tulang rawan yang
rusak dan mengganggu pergerakan yang menyebabkan nyeri saat tulang
bergerak.
3) Penataan tulang.
Opsi ini diambil untuk osteoatritis pada anak dan remaja. Penataan
dilakukan agar sambungan/engsel tidak menerima beban saat bergerak
9. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis OA biasanya didasarkan pada gambaran klinis dan radiografis.
Pemeriksaan diagnostik secara visualisasi dapat digunakan alat seperti roentgen,
Magnetic Resonance Imaging (MRI), Optical Coherence Tomography (OCT),
dan Ultrasound (US). Radiografi berguna untuk penilaian dari struktur tulang,
sementara OCT digunakan untuk mengevaluasi tulang rawan artikular dan US
digunakan untuk evaluasi ligamen dan sinovium. MRI memungkinkan
visualisasi dari semua struktur intra artikular, meskipun US atau OCT mungkin
preferensial dalam beberapa keadaan. Untuk menegakan diagnosis sebagai OA,
kombinasi semua teknik visualisasi mungkin diperlukan untuk mendapatkan
gambaran paling komprehensif dari penyakit (Fadhilah, 2016). Gambaran
radiografi sendi yang mendukung diagnosis OA adalah:
a. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian
yang menanggung beban)
b. Peningkatan densitas (sklerosis) tulang subkhondrial
c. Kista tulang
d. Osteofit pada pinggir sendi
e. Perubahan struktur anatomi sendi
Berdasarkan perubahan radiografi tersebut, secara radiografi dapat
digolongkan menjadi OA ringan sampai berat
Pada tahap awal OA, radiografi mungkin normal, tetapi seiring dengan
berkurangnya kartilago sendi tampak penyempitan ruang sendi. Selain itu dapat
ditemui sklerosis tulang subkondral, kista subkondral, dan osteofit marginalis,
serta terdapat perubahan kontur tulang sendi akibat remodeling tulang, dan
subluksasi. Pada pasien OA dini tidak dapat memperlihatkan bukti radiografik
perubahan tulang dan penyempitan ruang sendi (Fadhilah, 2016). Diagnosis
klinis Osteoarthritis dapat dilakukan dengan berfokus pada enam gejala klinis
dan tanda-tanda berikut:
Nyeri persisten lutut
a. Kekakuan lutut terbatas (<30 menit)
b. Penurunan fungsi, gerakan terbatas
c. Krepitus
d. Enlargement tulang
Untuk pemeriksaan laboratorium, tidak ada pemeriksaan yang diagnostik
untuk OA, tetapi pemeriksaan laboratorium spesifik dapat membantu
mengetahui penyakit yang mendasari OA sekunder. Sebaliknya, karena OA
primer bukan penyakit sistemik, maka LED, penentuan kimia serum, hitung
darah, dan urinalis memberikan hasil yang normal. Pada OA yang disertai
dengan peradangan, mungkin terdapat penurunan viskositas, pleositosis ringan
sampai sedang, peningkatan sel peradangan (<8000/m) dan peningkatan protein
(Fadhilah, 2016).
C. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Sumber data pengkajian yang dilakukan pada pasien dengan osteoartritis
meliputi:
a. Riwayat keperawatan.
Dalam pengkajian riwayat keperawatan, perawat perlu mengidentifikasi
adanya :
1) Rasa nyeri/sakit tulang punggung (bagian bawah), leher dan pinggang
2) Berat badan menurun
3) Biasanya di atas 45 tahun
4) Jenis kelamin sering pada wanita
5) Pola latihan dan aktivitas
6) Keadaan nutrisi (mis, kurang vitamin D dan C, serta kalsium)
7) Merokok, mengonsumsi alkohol dan kafein
8) Adanya penyakit endokrin: diabetes mellitus, hipertiroid,
hiperparatiroid, Sindrom Cushing, akromegali, Hipogonadisme.
b. Pengkajian Pola
1) Pola Kesehatan
Menggambarkan pola pemahaman klien tentang kesehatan, kesejahteraan,
dan bagaimana kesehatan mereka diatur.
2) Pola metabolik – nutrisi
Menggambarkan konsumsi relatif terhadap kebutuhan metabolik dan
suplai gizi : meliputi pola konsumsi makanan dan cairan, keadaan kulit,
rambut, kuku dan membran mukosa, suhu tubuh, tinggi dan berat badan.
3) Pola eliminasi
Menggambarkan pola fungsi ekskresi (usus besar, kandung kemih, dan
kulit), termasuk pola individu seharihari, perubahan atau gangguan, dan
metode yang digunsksn untuk mengendalikan ekskresi.
4) Pola aktivitas – Olahraga
Menggambarkan pola olahraga, aktivitas, pengisian waktu senggang, dan
rekreasi ; termasuk aktivitas kehidupan sehari-hari, tipe dan kualitas
olahraga, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pola aktivitas (seperti
otot-saraf, respirasi, dan sirkulasi)
5) Pola tidur - istirahat
Menggambarkan pola tidur, istirahat, relaksasi dan setiap bantuan untuk
merubah pola tersebut
6) Pola persepsi – kognitif
Menggambaekan pola persepsi-sensori dan pola kognitif ; meliputi
keadekuatan bentuk sensori (penglihatan, pendengarsn, perabaan,
pengecapan, dan penghidu), pelaporan mengenai persepsi nyeri, dan
kemampuan fungsi kognitif.
7) Pola persepsi diri-konsep diri
Menggambarkan bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri;
kemampuan mereka, gambaran diri, dan perasaan.
8) Pola Hubungan peran
Menggambarkan pola keterikatan peran dengan hubungan ; meliputi
persepsi terhadap peran utama dan tanggung jawab dalam situasi
kehidupan saat ini.
9) Pola Reproduksi – seksualitas
Menggambarkan kepuasan atau ketidakpuasan dalam seksualitas ;
termasuk status reproduksi wanita, pada anak-anak bagaimana dia mampu
membedakan jenis kelamin dan mengetahui alat kelaminnya.
10) Pola koping - toleransi stress
Menggambarkan pola koping umum, dan keefektifan ketrampilan koping
dalam mentoleransi stress.
11) Pola nilai dan keyakinan
Menggambarkan pola nilai, tujuan atau kepercayaan (termasuk
kepercayaan spiritual) yang mengarahkan pilihan dan keputusan gaya
hidup.
c. Pemeriksaan fisik :
1) Lakukan penekanan pada tulang punggung terdapat nyeri tekan atau nyeri
pergerakan
2) Periksa mobilitas pasien
Amati posisi pasien yang nampak membungkuk
3) Riwayat Psikososial.
Penyakit ini sering terjadi pada wanita. Biasanya sering timbul kecemasan,
takut melakukan aktivitas, dan perubahan konsep diri. Perawat perlu
mengkaji masalah-masalah psikologis yang timbul akibat proses
ketuaan dan efek penyakit yang menyertainya.
4) Pemeriksaan fisik head to toe
a) Kepala leher
(1) Pemeriksaan kepala
Melakukan inspeksi dan palpasi bentuk dan ukuran, apakah
terdapat benjolan, lekukan, dan nyeri tekan.
(2) Pemeriksaan rambut
Melakukan inspeksi warna, penyebaran rambut dan apakah mudah
dicabut.
(3) Pemeriksaan mata
Inspeksi nodul, pembengkakan, warna sklera dan konjungtiva
palpebra serta pola vaskularisasi di sklera.
(4) Pemeriksaan wajah
Memperhatikan ekspresi, bentuk dan kesimetrisan wajah, gerakan
involunter, bengkak dan benjolan
(5) Pemeriksaan kulit wajah
Memperhatikan warna dan kelainan kulit.
(6) Pemeriksaan telinga
Memperhatikan bentuk daun telinga, memeriksa liang telinga
(menggunakan penlight), membran timpani serta tulang mastoid.
Melakukan penekanan pada tragus.
(7) Pemeriksaan sinus paralisis dan hidung
Melakukan penekanan di daerah sinus maksilaris, frontalis dan
etmoidalis adakah nyeri atau tidak
(8) Pemeriksaan bibir
Memperhatikan warna, benjolan atau ulkus.
(9) Pemeriksaan mulut
Melakukan pemeriksaan warna mukosa, ulkus, papil dan gerakan
lidah.
(10) Pemeriksaan gigi
Memperhatikan jumlah gigi, kelainan gigi, dan warna gusi dengan
menggunakan penlight.
(11) Pemeriksaan leher
Adakah distensi vena jugularis, pembesaran kelenjar tiroid, dan
adanya pembesaran kelenjar getah bening, serta palpasi arteri
karotis
b) Dada
(1) Jantung
Inspeksi habitus, bentuk dada, dan kelainan yang ditemukan.
Inspeksi letak iktus kordis dan menyebutkan dengan benar letak
iktus kordis (apabila terlihat). palpasi iktus kordis, identifikasi pula
apakah ada thrill, heaving, lifting, atau tapping. Perkusi batas
jantung. Auskultasi bunyi jantung.
(2) Paru
Inspeksi lesi pada dinding toraks, kelainan bentuk toraks, sifat, dan
pola napas. Menilai sianosis perifer (warna kulit, bibir, kuku
kebiruan), warna kulit pucat atau tidak. Ada tidaknya penggunaan
otot bantu napas m. sternokleidomastoideus, dan suprasternal.
Melakukan palpasi di seluruh toraks untuk menilai sela iga, ada
tidaknya emfisema subkutis, benjolan/tumor atau nyeri tekan.
Melakukan perkusi seluruh toraks anterior dari apeks
paru (daerah supraklavikula) sampai bawah untuk menilai secara
umum ada tidaknya kelainan. Melakukan pemeriksaan fokal
fremitus. Auskultasi bunyi napas
c) Abdomen
Melihat bentuk abdomen (apakah simetri, membuncit atau tidak),
dinding perut (kulit, vena, umbilicus, inguinal), pergerakan peristaltik
abdomen dan pulsasi. Auskultasi di sekitar umbilikus pada satu tempat
di dinding abdomen untuk menghitung frekuensi bising usus (2 menit)
dan mendengarkan bunyi usus atau bunyi lain (bruit arterial, venous
hump.) Melakukan perkusi pada seluruh kuadran abdomen. Palpasi
adakah nyeri tekan ataupun nyeri lepas, palpasi apakah hepar teraba
atau tidak. Palpasi adanya undulasi (ascites)
d) Genitalia dan anus
Inspeksi kebersihan di area genitalia dan anus, adakah kemerahan, pada
wanita mungkin terdapat adanya pembesaran kelenjar baloteli dan
adanya flour albus. Pemeriksaan colok dubur juga dilakukan untuk
mengetahui adakah gangguan saraf pengontrol defekasi
e) Tulang belakang
Inspeksi adakah lordosis, kifosis, dan skoliosis dan palpasi apakah
terdapat nyeri atau benjolan di sekitar tulang belakang
f) Ekstremitas
Melakukan inspeksipersendian tangan dan kaki meliputi lenggang
tangan ketika berjalan, warna dan kelainan kulit, tanda-tanda
peradangan, kontur otot dan kelainan bentuk tulang. Inspeksi dan
palpasi adanya edema.
5) Pemeriksaan fisik B1-B6

a) B1: Breathing (nafas): sistem respirasi

Pasien belum sadar dilakukan evaluasi seperti pola nafas, tanda-tanda


obstruksi, pernafasan cuping hidung, frekuensi nafas, pengerakan
rongga dada: apakah simetris atau tidak, suara nafas tambahan: apakah
tidak ada obstruksi total, udara nafas yang keluar dari hidung, sianosis
pada ekstremitas, auskultasi: adanya wheezing atau ronkhi.

b) B2: Blood (darah): sistem kardiovaskuler

Pada sistem kardiovaskuler dinilai tekanan darah, nadi, perfusi perifer,


status hidrasi (hipotermi  syok) dan kadar Hb.

c) B3: Brain (otak): sistem SSP

Pada sistem saraf pusat dinilai kesadaran pasien dengan GCS (Glasgow
Coma Scale) dan perhatikan gejala kenaikan TIK 4

d) B4: Bladder (kandung kemih): sistem urogenitalis

Pada sistem urogenitalis diperiksa kualitas, kuantitas, warna, kepekatan


urine, untuk menilai: apakah pasien masih dehidrasi, apakah ada
kerusakan ginjal saat operasi, gagal ginjal akut (GGA).

e) B5: Bowel (usus): sistem gastrointestinalis

Pada sistem gastrointestinalis diperiksa: adanya dilatasi lambung,


tanda-tanda cairan bebas, distensi abdomen, perdarahan lambung post
operasi, obstruksi atau hipoperistaltik, gangguan organ lain, misalnya:
hepar, lien, pancreas, dilatasi usus halus. Pada pasien post operasi
mayor sering mengalami kembung yang mengganggu pernafasan,
karena pasien bernafas dengan diafragma.

f) B6: Bone (tulang): sistem musculoskeletal

Pada sistem musculoskeletal dinilai adanya tanda-tanda sianosis, warna


kuku, perdarahan post operasi, gangguan neurologis: gerakan
ekstremitas.
2. Diagnosis
a. Gangguan mobilitas fisik b.d gangguan muskuloskletal d.d kekuatan
otot menurun
b. Nyeri kronis b.d kondisi muskuloskeletal kronis d.d ekspresi wajah
meringis
c. Gangguan citra tubuh b.d perubahan fungsi tubuh d.d struktur tubuh
berubah
d. Risiko cedera b.d perubahan orientasi afektif
e. Defisit pengetahuan b.d kurang terpapar informasi d.d menunjukkan
perilaku tidak sesuai anjuran
3. Intervensi Keperawatan
a. Gangguan mobilitas fisik b.d gangguan muskuloskletal d.d kekuatan
otot menurun
Tujuan dan Intervensi Keperawatan
Luaran yang
Diharapkan
Tujuan: 1. Observasi
Setelah dilakukan a. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
tindakan lainnya
keperawatan b. Identifikasi toleransi fisik melakukan
diharapkan tingkat pergerakan
mobilitas fisik c. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah
meningkat sebelum memulai mobilisasi
Luaran yang d. Monitor kondisi umum selama melakukan
diharapkan: mobilisasi
1. Pergerakan 2. Terapiutik
ekstremitas a. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat
meningkat bantu
2. Kekuatan otot b. Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
meningkat c. Libatkan keluarga untuk membantu
3. Nyeri menurun 3. Edukasi
4. Kaku sendi a. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
menurun b. Anjurkan melakukan mobilisasi dini
5. Gerakan terbatas c. Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus
menurun dilakukan
6. Kelemahan fisik
menurun
b. Nyeri kronis b.d kondisi muskuloskeletal kronis d.d ekspresi wajah
meringis
Tujuan dan luaran yang Intervensi
diharapkan
Tujuan: 1. Observasi
Setelah dilakukan tindakan a. Identifikasi lokasi, karakteristik,
keperawatan diharapkan tingkat durasi, frekuensi, kualitas, dan
nyeri menurun dengan kriteria intensitas nyeri
hasil: b. Identifikasi skala nyeri
1. Frekuensi nadi membaik c. Identifikasi respon nyeri non verbal
2. Pola napas membaik d. Identifikasi faktor pemberat dan
3. Keluhan nyeri menurun memperingan nyeri
4. Meringis menurun e. Identifikasi pengetahuan dan
keyakinan tentang nyeri
f. Identifikasi pengaruh nyeri pada
kualitas hidup
g. Monitor efek samping penggunaan
analgetik
2. Terapiutik
a. Berikan teknik
nonfarmakologiuntuk mengurangi
rasa nyeri
b. Kontrol lingkungan yang
memperberat nyeri
c. Fasilitasi istirahat dan tidur

c. Gangguan citra tubuh b.d perubahan fungsi tubuh d.d struktur tubuh
berubah
Tujuan dan Intervensi Keperawatan
Luaran yang
Diharapkan
Tujuan: 1. Observasi
Setelah dilakukan a. Identifikasi harapan citra tubuh berdasarkan
tindakan tahap perkembangan
keperawatan b. Identifikasi perubahan citra tubuh yang
diharapkan citra menyebabkan isolasi sosial
tubuh meningkat c. Monitor frekuensi pernyataan kritik terhadap
Luaran yang diri sendiri
diharapkan: 2. Edukasi
1. Verbalisasi a. Diskusikan perubahan tubuh dan fungsinya
perasaan negatif b. Diskusikan perbedaan penampilan fisik
tentang terhadap harga diri
perubahan tubuh c. Diskusikan cara mengembangkan harapan
menurun citra tubuh secara realistis
2. Verbalisasi 3. Terapiutik
kekhawatiran a. Jelaskan pada keluarga tentang perawatan
pada reaksi orang perubahan citra tubuh
lain menurun b. Anjurkan menggunakan alat bantu
3. Melihat bagian c. Anjurkan mengikuti kelompok pendukung
tubuh neburun d. Latih fungsi tubuh yang dimiliki
4. Menyentuh
bagian tubuh
menurun

d. Risiko cedera b.d perubahan orientasi afektif


Tujuan dan Intervensi Keperawatan
Luaran yang
Diharapkan
Tujuan: 1. Observasi
Setelah dilakukan a. Identifikasi kebutuhan keselamatan
tindakan b. Monitor perubahan keselamatan lingkungan
keperawatan 2. Terapiutik
keparahan dan a. Hilangkan bahaya keselamatan jika
cedera yang memungkinkan
diamati atau b. Modifikasi lingkungan untuk meminimaliskan
dilaporkan risiko
menurun dengan c. Sediakan alat bantu keamanan
kriteria hasil: d. Gunakan perangkat pelindung
1. Kejadian cedera 3. Edukasi
menurun a. Anjurkan individu, keluarga, dan kelompok
2. Luka/ lecet risiko tinggi bahaya lingkungan
menurun
3. Perdarahan
menurun
4. Fraktur
menurun

e. Defisit pengetahuan b.d kurang terpapar informasi d.d menunjukkan


perilaku tidak sesuai anjuran
Tujuan dan Intervensi Keperawatan
Luaran yang
Diharapkan
Tujuan: 1. Observasi
Setelah dilakukan a. Identifikasi kesiapan dan kemampuan
tindakan merima informasi
keperawatan b. Identifikasi faktor- faktor yang dapat
diharapkan tingkat meningkatkan atau menurunkan motivasi
pengetahuan perilaku- perilaku hidup bersih dan sehat
membaik 2. Terapiutik
Luaran yang a. Sediakan materi dan media penddikan
diharapkan: kesehatan
1. Perilaku sesuai b. Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai
anjuran kesepakatan
meningkat c. Berikan kesempatan untuk bertanya
2. Kemampuan 3. Edukasi
menjelaskan a. Jelaskan faktor risiko yang dapat
pengetahuan mempengaruhi kesehatan
sesuai topik b. Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat
meningkat c. Ajarkan strategi yang dapat digunakan untuk
3. Pernyataan meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat
terhadap masalah
yang dihadapi
menurun
4. Persepsi yang
salah terhadap
masalah
menurun
5. Menjalani
pemeriksaan
yang tidak tepat
menurun
DAFTAR PUSTAKA

Adhiputra, I. K. A. I. Responsi Kasus Osteoartritis, Fakultas Kedokteran


Universitas Udayana 12–19 (2017).
Fadhilah, R. N. (2016). Studi Penggunaan Obat pada Pasien Osteoarthritis.
Universitas Airlangga. Universitas Aerlangga.
Purwanto, Herry. 2018. Asuhan Keperawatan pada Ny. E dengan Osteoartritis di
Ruang Kirana RS Tk.III Dr.Soetarto Yogyakarta. Piloteknik Kesehatan
Kementrain Kesehatan Yogyakarta. Karya Tulis Ilmiah. Pdf.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia. Jakarta.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2017). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia. Jakarta
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2017). Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia. Jakarta
Zin, N. A. N. B. M. (2017). Studi Osteoatritis Genu Menurut Grading Kellgren
Lawrence dan American College of Rheumatology Criteria (ACRC) pada
Pasien Lansia di RSUP DR Wahidin Sudirohusodo. Universitas Hasanuddin
Makassar. Universitas Hasanuddin Makassar. https://doi.org/10.1037/0022-
3514.51.6.1173

Anda mungkin juga menyukai