Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Sendi merupakan suatu organ yang komplek dan tersusun atas berbagai
komponen yang spesifik antara lain air, serabut kolagen, proteoglikan, glikoprotein lain
serta lubrikan asam hialuronat. Struktur yang kompleks di atas memungkinkan suatu
pergerakan sendi yang luas, frictionless dan tidak mengakibatkan kerusakan besar dalam
jangka panjang(1).
Kerusakan sendi yang terjadi pada penyakit reumatik dalam bentuk peradangan
sendi (artritis) tentu saja akan mempengaruhi komponen- komponen spesifik tersebut.
Pada dasarnya proses kerusakan sendi pada penyakit reumatik melibatkan banyak
komponen dari sendi itu sendiri yaitu: sinovium, kapsul sendi, rawan sendi, tulang
subkhondral dan ligamentum sendi(2).
Sinovium merupakan bagian penting dari sendi diartrosis dan secara fisiologis
berfungsi dalam transpor nutrien ke dalam rongga sendi serta mengeluarkan sisa
metabolismenya, membantu stabilitas sendi dan bersifat low-friction lining. Sinovium
diharapkan mampu memelihara, mendukung dan mengganti substansi yang diperlukan
dalam kerja sendi sebagai suatu organ sepanjang hidup individu yang bersangkutan.
Salah satu sel yang memiliki peran utama pada sinovium adalah sinoviosit, disamping
sel-sel lain seperti fibroblast, makrofag, sel mast, sel vaskular dan sel limfatik(2,3).
Pada penyakit reumatik inflamatif, sinovium terlibat dalam proses inflamasi atau
rangkaian imunologik. Proses inflamasi akan menyebabkan sinovium menjadi
hiperplasia disertai dengan peningkatan jumlah dan komposisi sel termasuk sel yang
terkait dengan inflamasi terutama makrofag. Proses inflamasi pada sinovium ini tentu
saja akan menginduksi terbentuknya mediator-mediator proinflamasi yang dapat
menyebabkan kerusakan sendi(4).
Interleukin-1 (IL-1) dan Tumor necrosis factor-α (TNF-α) adalah sitokin utama
yang sering terlibat dalam kerusakan sendi dan merupakan stimulator yang kuat sel-sel
pada sinovium, kondrosit dan ostoklast. Sitokin ini menghambat produksi proteoglikan,
kolagen tipe II dan merangsang kondrosit dan sel-sel pada sinovium melepaskan

1
protease yang merusak seperti matriks metalloproteinase (MMPs), ADAMTSs,Cystein
proteinase dan lain-lain yang mempunyai kemampuan hidrolisis komponen- komponen
matrix ektraseluler terutama proteoglikan dan kolagen(5).
Selain itu juga IL-1 dan TNF-α pada pasien Osteoarthritis dapat menginduksi
pembentukan Inducible Nitric Oxide Synthase (iNOS ) sebagaimana yang dilaporkan
Manessh M dkk (2005) bahwa iNOS meningkat kadarnya pada pasien OA dan
memegang peran penting dalam degradasi kartilago sendi(6).
Mengingatnya luasnya keterlibatan sinovium dalam proses inflamasi ataupun reaksi
imunologi di jaringan sendi maka referat ini dibuat untuk lebih mengetahui peranan
sinovium dalam kerusakan sendi

2
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI SENDI

Sendi adalah tempat persambungan tulang, baik yang memungkinkan tulang-


tulang tersebut dapat bergerak ataupun tidak antara satu dengan dengan yang lainnya.
Apabila kita lihat dari jenis pergerakannya maka sendi dapat diklasifikasikan menjadi
tiga yaitu(1,3):
1. Sinartrosis: sendi yang tidak memungkinkan tulang-tulang yang
berhubungan dapat bergerak satu sama lain. Sendi ini dapat dibagi menjadi
tiga yaitu:
 Sindemosis : Diantara persambungan tulang dipisahkan loeh
jaringan ikat misalnya pada tulang tengkorak, antara gigi dan
rahang, antara radius dan ulna.
 Sinkonrosis : Diantara persambungan tulang dipisahkan oleh
jaringan tulang rawan misalnya pada os pubika pada orang dewasa
 Sinostosis : Diantara persambungan tulang dipisahkan oleh
jaringan tulang misalnya persambungan pada os ilium, os iskium,
dan os pubikum
2. Diartrosis : persambungan antara dua tulang atau lebih yang
memungkinkan tulang-tulang bergerak satu sama lain. Diantara tulang-
tulang yang bersendi tersebut terdapat rongga yang disebut kavum
artikulare. Diartrosis ini juga disebut sebagai sendi sinovial yang tersusun
atas bonggol sendi (kapsul retikuler), bursa sendi dan ikat sendi
(ligamentum)
3. Amfiartrosis : sendi yang memungkinkan tulang- tulang yang saling
berhubungan dapat bergerak secara terbatas. Misalnya sendi sacroiliakadan
sendi- sendi antara corpus vertebra.

Sendi sinovial umumnya dijumpai pada ekstremitas. Pada sendi ini ditemukan adanya
celah sendi, rawan sendi,membran sinovium serta kapsul sendi.

3
Gambar 1. Sendi synovial(kutip 7)

2.1 Sinovium ( Membran sinovial )


Sinovium merupakan bagian penting dari sendi diartrosis dan secara fisiologis
berfungsi dalam transpor nutrien ke dalam rongga sendi serta mengeluarkan sisa
metabolismenya, membantu stabilitas sendi dan bersifat low-friction lining. Sinovium
merupakan jaringan avaskular yang melapisi permukaan dalam kapsul sendi, tetapi tidak
melapisi permukaan rawan sendi. Membran ini licin dan lunak, berlipat-lipat sehingga
dapat menyesuaikan diri pada setiap gerakan sendi atau perubahan tekanan intra
artikular(3,7).
Sinovium tersusun atas 1-3 lapis sel-sel sinoviosit yang menutupi jaringan
subsinovial dibawahnya, sel ini merupakan salah satu sel yang memiliki peran utama
pada sinovium disamping sel-sel lain seperti fibroblast, makrofag, sel mast, sel vaskular
dan sel limfatik(2,3).
Walaupun banyak pembuluh darah dan limfe di dalam jaringan sinovial, tetapi
tidak satupun mencapai lapisan sinviosit. Jaringan pembuluh darah ini berperan dalam
transfer konstituen darah kedalam rongga sendi dan pembentukan cairan sendi.
Sinoviosit dibagi dua tipe berdasarkan morfologi dan petanda molekular permukaannya,
yaitu sinoviosit tipe A (synovial macrophage) yang memiliki sifat seperti makrofag dan
sinoviosit B (synovial fibroblast) yang memiliki karakteristik fibroblast. Sebagian besar
(70-80%) sinoviosit merupakan tipe B dan 20- 30% merupakan sinoviosit tipe A.
Sinoviosit A memiliki nukleus yang kaya akan khromatin, memiliki banyak vakuola
sitoplasmik, cukup banyak aparatus golgi dan sedikit retikulum endoplasmik. Sedangkan

4
sinoviosit B menyerupai bentuk fibroblast (bipolar shape) memiliki banyak retikulum
endoplasmik dan aparatus golgi well developed. Nukelusnya terlihat lebih pucat dengan
beberapanucleoli(2,3)
Fungsi utama sinoviosit yang membentuk membran sinovium adalah
menyediakan berbagai molekul lubrikan seperti glikosaminoglikan disamping oksigen
dan protein plasma nutrien bagi ruang sendi dan rawan sendi serta khondrosit. Sinoviosit
A selain memiliki aktifitas fagositik yang berguna untuk menyingkirkan berbagai debris
dari ruang sendi, berfungsi pula sebagai prosesor antigen.. Sinoviosit B berfungsi
mensintesis hialuronan disamping produksi berbagai komponen matriks seperti kolagen.
Sel ini mampu mengeluarkan berbagai enzim perusak. Kedua jenis sinoviosit ini saling
berinteraksi melalui sinyal yang diperantarai oleh sitokin, growth factors dan kemokin
lain(2,3).

Gambar 2. Sinovium(kutip 2)

2.2 Rawan sendi


Pada sendi sinovial, tulang-tulang yang saling berhubungan dilapisi rawan sendi.
Ketebalan rawan sendi kurang dari 5 mm tergantung jenis sendi dan lokasi di dalam
sendi. Rawan sendi merupakan jaringan avaskular dan juga tidak memiliki jaringan
syaraf, berfungsi sebagai bantalan terhadap beban yang jatuh ke dalam sendi(2,7).

5
Secara histopatologik rawan sendi terdiri dari struktur matriks yang selular dengan
distribusi tertentu dan terbagi atas 4 zona yaitu(5) :
1. Zona superficial ( zona tangensial )
2. Zona intermediate ( zona transisional )
3. Zona radial
4. Zona kalsifikasi.
Densitas sel yang paling tinggi pada permukaan sendi, makin ke dalam makin
berkurang. Sel berbentuk pipih pada zona superficial karena pada daerah inilah jaringan
terpajan maksimal pada gaya gesekan, gaya menekan dan regangan dari persendian. Di
zona tengah, sel berbentuk bulat dan dikeliligi oleh suatu matrik ektraselular yang padat.
Rawan sendi dibentuk oleh sel rawan sendi ( kondrosit ) dan matriks rawan sendi.
Kondrosit berfungsi mensintesis dan memelihara matriks rawan sehingga fungsi
bantalan rawan sendi tetap terjaga dengan baik. Matriks rawan sendi terutama terdiri dari
air, proteoglikan dan kolagen. Pada tabel dibawah ini dapat dilihat komposisi tulang
rawan normal(5).

Tabel 1. Komposisi tulang rawan sendi artikuler normal(kutip 5)

Proteoglikan merupakan molekul yang kompeks yang tersusun atas inti protein
dan molekul glikosaminoglikan. Glikosaminoglikan yang menyusun proteoglikan terdiri
dari keratin sulfat, kondroitin-6-sulfat dan kondroitin-4-sulfat. Bersama- sama dengan
asam hialuronat, proteoglikan membentuk agregat yang dapat menghisap air dari
sekitarnya sehingga dapat mengembang sedemikian rupa dan membentuk bantalan yang
baik sesuai dengan rawan sendi(5).

6
Kolagen merupakan molekul protein yang sangat kuat. Terdapat berbagai tipe
kolagen, tetapi kolagen yang terdapat di dalam rawan sendi terutama adalah kolagen tipe
II. Kolagen tipe II tersusun dari 3 rantai alfa yang membentuk gulungan triple-helik s.
kolagen berfungsi sebagai kerangka bagi rawan sendi yang akan membatasi
pengembangan berlebihan agregat proteoglikan(5).

Tabel 2. Komponen matriks ekstraseluler tulang rawan sendi artikuler(5)

7
Pada rawan sendi yang normal, proses degradasi dan sintesis matriks selalu
terjadi. Salah satu enzim proteolitik yang dihasilkan oleh kondrosit dan berperan pada
degradasi kolagen dan proteoglikan adalah kelompok enzim metalloproteinase, seperti
kolagenase dan stromelisin. Berbagai sitokin juga berperan pada proses degradasi
kolagen dan sintesis matriks. Interleukin I (IL-I) yang dihasilkan oleh makrofag
berperan pada degradasi kolagen dan proteoglikan dan menghambat sintesis
proteoglikan. Growth factors seperti transforming growth factor –beta (TGF-b) dan
insulin-like growth factor-1 (IGF-I) berperan merangsang sintesis proteoglikan dan
menghambat kerja IL-I(2,3).

2.3. Cairan sinovial


Cairan sendi merupakan ultrafiltrat atau dialisat plasma. Pada umumnya kadar
molekul dan ion kecil adalah sama dengan plasma, tetapi kadar proteinnya lebih rendah.
Molekul- molekul dari plasma, sebelum mencapai rongga sendi harus melewati sawar
endotel mikrovaskuler, kemudian melalui matriks subsinovial dan lapisan sinovium.
Sawar endotel sangat selektif, makin besar molekulnya makin sulit melalui sawar
tersebut, sehingga molekul protein yang besar akan tetap berada dalam jaringan
vascular. Sebaliknya, molekul dari cairan sendi dapat kembali ke plasma tanpa halangan
apapun melalui sistem limfatik walaupun ukurannya besar. Rasio protein cairan sendi
dan plasma dapat menggambarkan keseimbangan kedua proses diatas(3).

2.4. Kapsul dan ligamen


Struktur ligamen dan kapsul satu sendi berbeda dengan sendi yang lain baik
dalam hal ketebalannya maupun dalam hal posisinya. Pada sendi bahu, struktur
ligamennya tipis dan longgar, sedangkan pada sendi lutut tebal dan kuat. Pada beberapa
sendi, ligamen menyatu ke dalam kapsul sendi sedangkan pada sendi yang lain
dipisahkan oleh lapisan areolar. Kelonggaran kapsul sendi sangat berperan pada lingkup
gerak sendi yang bersangkutan(3).
Ligamen dan kapsul sendi, terutama tersusun oleh elastin, dan sedikit
proteoglikan. Komponen glikosaminoglikannya terutama adalah kondroitin sulfat dan
dermatan sulfat(3).

8
BAB III
PERANAN SINOVIUM DALAM KERUSAKAN SENDI

Sinovium merupakan bagian penting dari sendi diartrodial dan secara fisiologis
berfungsi dalam transpor nutrien ke dalam rongga sendi serta mengeluarkan sisa
metabolismenya, membantu stabilitas sendi dan bersifat low-friction lining. Secara
normal, sinovium diharapkan mampu memelihara, mendukung dan mengganti substansi
yang diperlukan dalam kerja sendi sebagai suatu organ sepanjang hidup individu yang
bersangkutan(2,3)
Perubahan- perubahan yang terjadi pada sinovium tentu saja akan sangat
berpengaruh terhadap sendi. Sebagian besar perubahan tersebut disebabkan oleh
peningkatan dari volume sinovium itu sendiri seperti perubahan dari jumlah dan
komposisi dari sel yang secara normal ditemukan pada sinovium yaitu sinoviosit,
fibroblast, makrofag, sel mast, sel vaskular dan sel limfatik ataupun adanya infiltrasi
sel- sel tertentu ke dalam sinovium(2).
Peranan sinovium dalam kerusakan sendi pada berbagai penyakit memiliki
mekanisme yang berbeda. Berikut ini akan dibahas mengenai penyakit yang sering
ditemukan dan melibatkan sinovium dalam kerusakan sendi.

3.1 Osteoartritis
Osteartritis(OA) merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan hilangnya
keseimbangan normal proses sintesis dan degradasi makromolekuler yang dibutuhkan
dalam menjaga fungsi dan kemampuan biomekanikal rawan sendi. Pada saat yang
bersamaan terjadi pula perubahan pada struktur dan metabolisme sinovium dan tulang
subkondral. Proses ini akan mengakibatkan destruksi dari tulang rawan sendi dan
selanjutnya akan terjadi kerusakan serta gangguan fungsi sendi(8).
Teori tentang patogesis OA terus berkembang sehingga patogesis OA saat ini
diyakini bukan hanya proses degeneratif saja namun juga melibatkan berbagai unsur
inflamatif terutama sinovitis. Oleh karenanya tidaklah mengherankan bila manifestasi
klinis OA tidak hanya deformitas dan nyeri sendi, namun juga kekakuan sendi,

9
pembengkakan, rasa hangat disendi saat dipalpasi, gangguan pergerakan serta tidak
jarang ditemukan adanya efusi(9).
Benito MJ dkk(2005) melaporkan bahwa pada kasus-kasus osteoarthritis
didapatkan adanya sinovitis. Pada penelitian tersebut sinovitis lebih terlihat jelas pada
stadium awal OA(10).
Rollin R dkk(2008) dalam suatu studi arthroskopi melaporkan bahwa sinovitis
didapatkan lebih dari 65 % pasien OA stadium lanjut(11).
Secara histologis pada sinovitis didapatkan gambaran hiperplasia sinovium disertai
dengan peningkatan jumlah dan komposisi sel termasuk sel yang terkait dengan
inflamasi terutama makrofag. Proses inflamasi pada sinovium ini tentu saja akan
menginduksi terbentuknya sitokin-sitokin pro inflamasi yang dapat menyebabkan
kerusakan sendi(4).
Proses perbaikan yang diperankan oleh faktor pertumbuhan (growth factors)
yang berlebihan mengakibatkan fibrosis jaringan sebagaimana dijumpai pada berberapa
penyakit hati, ginjal dan parut kulit. Inilah yang dikenal sebagai the dark side of tissue
repair. Proses kegagalan perbaikan tersebut diterapkan pula pada OA(4).

Gambar 3. Aktivasi makrofag dan sinoviosit pada OA(kutip 12)

10
3.1.1 Peranan sinovial mediator terhadap kerusakan sendi
Sitokin- sitokin yang dihasilkan pada proses patologi OA secara garis besar dapat dibagi
menjadi 3 kelompok yaitu(13)
A. Destructive/ Catabolic Cytokines (sitokin perusak )
B. Regulatory Cytokines ( sitokin pengatur )
C. Anabolic factors
Keseimbangan antara ketiga kelompok sitokin tersebut sangat ditentukan oleh kondisi
dari sinovium dan tulang rawan sendi.

Tabel 3. Kelompok sitokin pada proses patologi OA(13).

A. Sitokin perusak
IL-1 merupakan salah satu sitokin perusak yang paling dikenal. Bondenson dkk
(2006) melaporkan bahwa IL-I dihasilkan oleh makrofag disamping sel-sel lain pada
sinovium(14). Jumlahnya meningkat terutama pada stadium dini OA. Sitokin ini
menghambat produksi proteoglikan,kolagen tipe II dan merangsang kondrosit dan sel-sel
pada sinovium melepaskan protease yang merusak seperti keluarga metalloprotease
(MMP) antara lain matrix metalloproteinase (MMPs) disebut juga matrixin, mempunyai
kemampuan hidrolisis komponen- komponen matrix ektraseluler (efek katabolik )
terutama proteoglikan dan kolagen. Saat ini telah berhasil diklon lebih dari 20 MMPs
mamalia seperti kollagenase, stromelisin, gelatinase dan membrane-type MMPs (MM-
MMPs)(8).
Matriks metalloproteinase mempunyai kemampuan degradasi matriks
ekstraseluler secara lengkap, sehingga keberadaannya dikontrol secara ketat oleh

11
inhibitornya yaitu Tissue inhibitor of metalloproteinase( TIMPs). Keseimbangan antara
kedua protease tersebut dikendalikan oleh IL-1. Saat enzim MMPs melakukan aktivitas
degradasi matriks, maka ditemukan pula kadar dari TIMPs yang meningkat, namun
tidak cukup mengimbangi peningkatan dari hidrolisis enzim MMP tersebut, kegagalan
kontrol inilah yang menyebabkan kerusakan integritas rawan sendi(8).

Tabel 4 Protease dan inhibitor yang dalam patologi OA(13).

Selain itu juga IL-1 dapat menginduksi pembentukan Inducible Nitric Oxide
Synthase (iNOS ). Manessh M dkk (2005) melaporkan bahwa iNOS meningkat
kadarnya pada pasien OA dan memegang peran penting dalam degradasi kartilago
sendi(6).
Sitokin-sitokin lain seperti TNF-α, IL-17, IL-18 merupakan sitokin perusak yang
memiliki efek hampir sama dengan IL-1 tetapi dalam potensi yang lebih lemah(12).

B. Sitokin pengatur
Sitokin- sitokin pengatur seperti IL4, IL6, IL10 dan IL13 berperan dalam
menghambat makrofag, sinoviosit, dan kondrosit untuk memproduksi sitokin-sitokin
perusak antara lain IL-1 dan TNF-α. Sitokin pengatur ini juga meningkatkan regulasi
dari inhibitor sitokin perusak, sebagai contoh adalah meningkatkan IL-1 receptor

12
antagonist (IL-1ra) . Pada gambar dibawah ini dapat dilihat sitokin-sitokin yang terlibat
dalam patologi OA serta fungsi-fungsinya.

Tabel 5. Sitokin- sitokin pada OA dan fungsi-fungsinya(13)

C. Faktor anabolik / faktor pertumbuhan


Sebagaimana pada jaringan lainnya, banyak faktor pertumbuhan yang dijumpai
pada sinovium pasien dengan OA. Faktor ini berperan dalam proses perbaikan maupun
kerusakan. Macrophage colony stimulating factor (M-CSF) atau granulocyte-
macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) akan menstimulasi fungsi makrofag
dan granulosit pada jaringan sinovium. M-CSF memiliki peran besar dalam
mempertahankan influks, aktivasi dan survival dari fagosit makrofag dalam jangka
panjang. Sedangkan GM-CSF, bersama dengan IL-8 dan IL-6, merupakan faktor utama
dalam proses respon akut selular atau peradangan sinovium pada OA(15).
Faktor pertumbuhan lainnya seperti platelet-derived growth factor (PDGF),
epidermal growth factor (EGF), fibroblast growth factor (FGF), Insulin-like growth
factor-1 (IGF-1) dan transforming growth factor beta (TGF-) memiliki sifat mitogenik
pada fibroblast sinovium dan mengaktifasi produksi berbagai enzim perusak rawan
sendi. Namun disamping menginduksi kerusakan oleh enzim atau aktifasi sel
peradangan, ternyata faktor pertumbuhan di atas, memicu pula proses perbaikan, yaitu
dengan terlihatnya proliferasi khondrosit dan sintesis matriks rawan sendi. Sebagai

13
contoh, TGF- adalah faktor pertumbuhan yang poten dalam menarik sel pro inflamasi
ke sinovium. Sitokin tersebut juga memiliki efek stimulasi kuat untuk proliferasi
fibroblast. TGF- akan menekan pelepasan enzim perusak dan memicu sintesis enzim
inhibitor seperti TIMP. Faktor lain yaitu IGF-1 berperan dalam memicu sintesis
proteoglikan serta menghambat degradasi proteoglikan. Kadar IGF-1 pada OA dikatakan
lebih rendah dibandingkan mereka tanpa OA dan hal ini menambah kompleksitas proses
patologi OA(15).

Tabel 6. Faktor pertumbuhan pada OA (13)

3.2 Arthritis Rheumatoid(AR)


Arthritis rheumatoid adalah penyakit autoimun sistemik dengan proses radang
kronis pada sinovium sendi diartrodial. Pada penyakit ini ditemukan pada sinovium
adanya hyperplasia yang didominasi oleh sel sinoviosit A dan sinoviosit B pada bagian
luar. Selain hyperplasia sinovium ditemukan juga vaskularisasi yang meningkat dan
infiltrasi sel-sel inflamasi terutama sel limfosit T CD4, yang merupakan pemain utama
pada respon imun seluler. Daerah utama terjadinya kerusakan sendi terletak pada
pertemuan jaringan sinovium yang meradang (pannus) dengan rawan sendi dan tulang.
Pada stadium lanjut terdapat kerusakan periartikuler dan erosi tulang(16).

3.2.1 Peranan sinovial mediator pada AR


Synovial mediator ataupun sitokin yang dihasilkan akibat adanya aktivasi
berbagai sel imunokompeten mengaktivasi endotel vaskuler, dan sel-sel inflamasi

14
lainnya yang akhirnya sel-sel tersebut mensekresi sitokin. Pada AR tampaknya
gangguan keseimbangan sitokin proinflamasi dan anti inflamasi yang menyebabkan
otoimunitas berjalan. Berbagai sitokin terlibat pada kerusakan dan inflamasi sinovium.
Interleukin-1 dan TNF-α merupakan sitokin yang memiliki peran penting dalam
pathogenesis AR. Kedua sitokin ini merupakan stimulator yang kuat sel-sel fibroblast
sinovium, osteoklas dan kondrosit(16).

Tabel 7. Sitokin- sitokin yang terlibat dalam patologi RA(17)

15
A.Interleukin 1
Interleukin-1 adalah mediator utama pada inflamasi sinovium dan pembentukan
pannus. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terbentuk dari makrofag dan sel-sel
radang lainnya, factor pertumbuhan( Fibroblast Growth Factor, FGF ) yang
menyebabkan proliperasi fibroblast serta faktor angiogenesis ( Vascular Endothelial
Growth Factor, VEGF ) yang membentuk pembuluh darah baru ( neovaskularisasi )(16).
Interleukin-1 menginduksi proliperasi sel-sel sinovium dan meningkatakan
produksi MMP oleh konrosit dan sel sinovium sehingga mengakibatkan degradasi
rawan sendi. Sitokin ini juga menghambat repair rawan sendi melalui penghambatan
sintesis protein matriks(18). Goldring dkk ( 2003) mengemukakan bahwa terdapat dua
mekanisme utama yang menerangkan bagaimana peran jaringan sinovium terhadap
terjadinya kerusakan rawan sendi. Mekanisme pertama adalah secara tidak langsung
melalui pengaruh sitokin dan mediator lainnya yang dilepaskan sinovium menyebabkan
disregulasi kondrosit. IL-1 dan TNF-α adalah dua sitokin utama yang memegang
peranan penting dalam mekanisme tersebut. Mekanisme kedua adalah jaringan sinovium
AR mempengaruhi remodeling rawan sendi secara langsung dan dipengaruhi factor yang
dihasilkan oleh sinovium AR yang mampu menghancurkan matriks rawan sendi(19).
Interleukin-1 meningkatkan produksi RANKL, yang berfungsi pada regulasi
osteoklast, yang disebut juga sebagai osteoclast differentiation factor (ODF), TNF-
related activation induced cytocine (TRANCE) dan Osteoprotegerin ligand (OPGL).
RANKL diekspresikan pada osteoblast, sel stroma sumsum tulang, sel T teraktivasi,
fibroblast sinovium AR, dan sel endotel mikrovaskuler. RANKL tersebut berikatan
dengan precursor osteoklast dan meningkatkan fungsi osteoklast. Interleukin-1 juga
meregulasi produksi OPG , suatu natural inhibitor terhadap RANKL. OPG menghambat
differensiasi osteoklast dengan berikatan dengan RANKL, sehingga mencegah RANKL
untuk berikatan dengan RANK. Pada kondisi fisiologis, faktor yang menyebabkan
differensiasi dan aktivasi osteoklast seimbang dengan faktor anti-inflamsi dan
imunoregulator, sehingga resorbsi tulang berjalan seimbang dengan pembentukan
tulang. Pada AR, terjadi peningkatan sitokin proinflamasi terutama IL-1 dan TNF-α
merangsang differensiasi dan aktivasi osteoklast, menyebabkan aktifitas resorbsi tulang
meningkat melebihi pembentukan tulang(18).

16
Gambar 4. Mekanisme erosi sendi oleh osteoklast pada AR(kutip 20)

B. Tumor Necrosis Factor-α ( TNF-α )


TNF-α adalah sitokin sentral pada patogenesis AR. Sitokin ini merupakan
sitokin yang poten yang memiliki beragam efek melalui stimulasi beberapa jenis sel.
Peran TNF-α pada pathogenesis AR yang banyak diketahui adalah tentang
kemampuannya untuk memicu inflamasi. TNF-α memiliki kemampuan sebagai
autocrine stimulator dan stimulator yang poten pada sintesis sitokin proinflamasi
lainnya seperti IL-1, IL6, IL8, dan Granulocyte macrophage colony stimulating factor
(GMCSF). Selain itu TNF-α juga menginduksi sel endotel untuk mengekspresikan
molekul adhesi yang akan menarik sel leukosit ke dalam sendi. Semua ini akan
mengakibatkan terjadinya dan berlanjutnya inflamasi yang terus menerus pada AR(16).
TNF-α mengaktifkan fibroblast synovial, makrofag sinovia, dan kondrosit, mensekresi
enzim degradasi yaitu MMP yang dapat mendegradasi jaringan lunak dan pembentukan
pannus serta menekan sintesis proteglikan rawan sendi.
Selain itu TNF-α dapat berfungsi sebagai factor angiogenesis dengan membentuk
pembuluh darah baru ( neovaskularisasi ) di daerah perivaskular sinovia, serta dapat

17
berfungsi sebagai factor pertumbuhan fibroblast ( fibroblast growth factor, FGF) yang
mengakibatkan pembentukan pannus. Jika produksi TNF-α berlanjut, jaringan- jaringan
tersebut dapat merupakan jaringan limfoid baru tempat berkumpulnya sel limfosit B dan
limfosit T. Neovaskularisasi lebih merangsang influk sel inflamasi pada jaringan
perivaskuler di stroma synovial. Selain neovaskularisasi adanya Angiogenic growth
factor seperti vascular endothelial growth factor (VGEF) dan hypoxia inducibel faycot
(HIF) juga membantu dalam hyperplasia sinovia(16).

Gambar 5. Peran sentral IL-1 dan TNF- α dalam pathogenesis AR(kutip 20)

3.2.2 Proses pembentukan pannus pada AR


Pannus merupakan jaringan granulasi yang khas dalam patologi AR.
Terbentuknya jaringan ini disebabkan oleh beberapa proses antara lain(20)
1. proliperasi sel-sel sinoviosit terutama synovial fibroblas
2. proses angiogenesis
3. infiltrasi makrofag dan limfosit
4. migrasi sel-sel polimorfonuklear pada jaringan sinovium.

18
Interleukin-1 dan TNF-α menginduksi proliperasi sel-sel sinoviosit terutama
synovial fibroblas. Karakteristik dari synovial fibroblas adalah kemampuannya dalam
memproduksi mediator-mediator proinflamasi dalam jumlah yang besar. Mediator ini
tentu saja sangat mempengaruhi jumlah jenis sel serta proses-proses yang terjadi pada
sendi termasuk didalamnya angiogenesis, inflamasi, chemoattraction, dan erosi sendi
seperti yang terlihat pada tabel 8(21).

Tabel 8: Efek dari synovial fibroblast terhadap sel-sel lain pada RA(21).

Produksi faktor pertumbuhan seperti platelet derived growth factor, fibroblast


growth factor, vascular endothelial growth factor, epidermal growth factor, GM-CSF, G-
CSF, and TGF-β berkontribusi terhadap angiogenesis. Pembentukan formasi pembuluh
darah yang baru ini dapat mempertahankan inflamasi kronis dengan cara memobilisasi
sel- sel peradangan kedaerah sinovium serta mensuplai kebutuhan nutrisi dan oksigen
yang diperlukan. Selain itu juga faktor pertumbuhan berfungsi sebagai antiapoptosis sel-
sel sinoviosit(21,22).

3.3 Arthritis Gout


Arthritis Gout (AG) merupakan kelompok penyakit heterogen sebagai akibat
deposisi Kristal monosodium urat (MSU) pada jaringan atau akibat supersaturasi asam
urat didalam cairan ekstraseluler(23).
Penumpukan Kristal urat ataupun kristal MSU pada sendi menyebakan reaksi
peradangan berupa arthritis gout. Peradangan pada AG merupakan peradangan non

19
spesifik dengan melibatkan reaksi khemis, reaksi seluler dan reaksi vaskuler seperti
peradangan pada umumnya. peran seluler merupakan titik sentral dalam proses
peradangan sebagai akibat reaksi terhadap Kristal MSU. Berbagai sel dapat berperan
dalam peradangan pada AG antara lain sel leukosit mononuclear fagosit, neutrofil, sel
synovial, dan sel peradangan lainnya(24).
Makrofag pada sinovium merupakan sel utama dalam proses peradangan yang
dapat menghasilkan berbagai mediator kimiawi antara lain IL-12 kemudian berlanjut
pada pembentukan TNF-α dan IL-1. TNF-α menginduksi secara kuat pembentukan IL-1.
Sitokin IL-1 dan TNF-α ini akan merangsang pembentukan berbagai mediator khemis
antara lain IL-6, IL-8, low molecular mediator seperti prostaglandin E, produk oksigen
reaktif, nitric oxide, adhesion molecul dan beberapa enzim (kolagenase dan
proteoglikanase) keadaaan ini menyebabkan reaksi peradangan lokal, sistemik dan
kerusakan jaringan(24).

Gambar 6. Mediator- mediator yang terlibat pada proses arthritis gout(24).

20
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1.Sinovium berfungsi dalam transpor nutrien ke dalam rongga sendi serta
mengeluarkan sisa metabolismenya, membantu stabilitas sendi dan bersifat low-
friction lining
2. Pada kerusakan sendi, sinovium terlibat dalam proses inflamasi atau serangkaian
reaksi imunologik
3. Proses inflamasi pada sinovium akan menginduksi terbentuknya sitokin-sitokin pro
inflamasi yang dapat menyebabkan kerusakan sendi
4. Interleukin-1 dan Tumor necrosis factor-α adalah sitokin utama yang terlibat dalam
kerusakan sendi disamping sitokin- sitokin lainnya.
5.Berbagai protease yang dapat menghidrolisis komponen-komponen matriks
ekstraseluler dihasilkan pada proses inflamasi daerah sinovium

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Kasmir Y I. Struktur dan fungsi sendi. Sub Bagian Reumatologi, Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI / RSUPN Cipto Mangunkusumo. Diakses dari
http://www.irwanashari.com.
2. Simkin PA. Synovial physiology. In: Arthritis and allied conditions. Ed:
Koopman WJ, Morelan RW. Lippincott williams & wilkins. Alabama 2005:176-
87.
3. Sumariyono, Linda K, Wijaya. Struktur sendi, otot, saraf dan endotel vaskuler.
Dalam : Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editor Sudoyo AW dkk. Jilid II Edisi
IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.Jakarta 2006:1095-102.
4. Abramson SB, Attur M. Developments in the Scientific Understanding of
Osteoarthritis. Arthritis Research & Therapy 2009,11:3-18.
5. Isbagio H. Struktur dan biokimia tulang rawan sendi. Dalam : Buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Editor Sudoyo AW dkk. Jilid II Edisi IV. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.Jakarta 2006:1103-05.
6. Maneesh M, Jayalekshmi H, Suma T et all. Evidence for oxidative stress in
osteoarthritis. Indian journal of clinical biochemistry 2005, 20 (1):129-130.
7. Wikipedia. Synovial membrane. Diakses http://en.wikipedia.org.
8. Faridin HP. Cartilage degradation products as biomarker of osteoarthritis.
Dalam: Kumpulan makalah temu ilmiah reumatologi. Jakarta 2008:13-9.
9. Kertia N. Kontroversi penggunaan disease modifying osteoarthritis drugs:
efektivitas dan keamanan diacerin. Dalam: Kumpulan makalah temu ilmiah
reumatologi. Jakarta 2008:20-3.
10. Benito MJ, Veala DJ,Gerald F et all. Benito MJ, Veala DJ,Gerald F et all.
Synovial tissue inflammation in early and late osteoarthritis. Ann Rheum Dis
2005,64:1263–1267.
11. Rollin R, Marco F, Jover JA et all. Early lymphocyte activation in the synovial
microenvironmentin patients with osteoarthritis: comparison with rheumatoid

22
arthritis patients and healthy controls. Rheumatol Int 2008,28:757–764
12. Arjen BB, Wim BB. The synovium and its role in osteoarthritis. In: Bone and
osteoarthritis,vol 4. Ed: Bronner F et all. Spinger-verlag. London 2007:65-80
13. Wim B, Peter M, Henk M. Synovium.In: Osteoarthritis, second edition. Ed:
Brandt KD et all. Oxford university press. Sweden 2003:147-55.
14. Bondeson j, Wainwright SD, Lauder S. The role of synovial macrophages and
macrophage-produced cytokines in driving aggrecanases, matrix
metalloproteinases, and other destructive and inflammatory responses in
osteoarthritis. Arthritis Research & Therapy 2006,8(6):1-12
15. Kasmir Y I. Biologi molekuler osteoarthritis: Peran sinovium dalam proses
kerusakan rawan sendi. Sub Bagian Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FKUI / RSUPN Cipto Mangunkusumo. Diakses dari
http://www.irwanashari.com.
16. Yuliasih. Imunopatogenesis arthritis rheumatoid. Dalam: Kumpulan makalah
temu ilmiah reumatologi. Jakarta 2009:32-44.
17. Mcinnes IB, Schett georg. Cytocines in the phatogenesis of rheumatoid arthritis.
Natures review immunology 2007:429-42.
18. Suryana BPP. Keseimbangan sitokin pro inflamasi dan anti inflamasi pada
destruksi sendi rheumatoid. Kumpulan makalah temu ilmiah reumatologi. Jakarta
2008:1-4.
19. Goldring SR. Patogenesis of bone and cartilage destruction in rheumatoid
arthritis. Rheumatology 2003;42(suppl.2):ii11-ii16.
20. Dayer JM. The pivotal role of Interleukin-1 in the clinical manifestation of RA.
Rheumatology 2003;42(suppl.2):ii11-ii16.
21. Abeles AM, Pilinger MH. The role of the synovial fibroblast in rheumatoid
arthritis. Bulletin of the NYU Hospital for Joint Diseases • Volume 64, Numbers
1 & 2, 2006:20-4.
22. Yoo SA,Kwok SK, Kim WU. Proinflammatory Role of Vascular Endothelial
Growth Factor in the Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis:Prospects for
Therapeutic Intervention. Hindawi Publishing Corporation Mediators of
Inflammation Volume 2008:1-6

23
23. Tehupetory ES. Artritis pirai. Dalam : Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editor
Sudoyo AW dkk. Jilid II Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta 2006:1218-20.
24. Putra TR. Patofisiologi hiperurisemia dan arthritis gout. Kumpulan makalah
temu ilmiah reumatologi. Jakarta 2010:154-63.

24

Anda mungkin juga menyukai