Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN DISLOKASI

DISUSUN OLEH:

NURHALIMAH SALEH

20 04 040

YAYASAN PERAWAT SULAWESI SELATAN

STIKES PANAKKUKANG MAKASSAR

PROFESI NERS

2021
LAPORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP MEDIS
1. Anatomi Fisiologi
Sistem muskuloskeletal merupakan penunjang bentuk tubuh dan
mengurus pergerakan. Komponen utama sistem meskuloskeletal adalah
jaringan ikat. Sitem ini terdiri atas tulang, sendi, otot rangka, tendon,
ligamen, dan jaringan khusus yang menghubungkan struktur-struktur ini.
Secara garis besar, tulang dibagi menjadi enam:
a. Tulang panjang: misalnya femur, tibia, fibula, ulna, dan humerus.
Didaerah ini sangat sering ditemukan adanya kelainan atau penyakit
karena daerah ini merupakan daerah metabolik yang aktif dan banyak
mengandung pembuluh darah.
b. Tulang pendek: misalnya tulang-tulang karpal.
c. Tulang pipih: misalnya tulang parietal, iga, skapula dan pelvis.
d. Tulang tak beraturan: misalnya tulang vertebra.
e. Tulang sesamoid: misalnya tulang patella
f. Tulang sutura: ada di atap tengkorak.
Histologi tulang:
a. Tulang imatur: terbentuknya pada perkembangan embrional dan tidak
terlihat lagi pada usia 1 tahun. Tulang imatur mengandung jaringan
kolagen.
b. Tulang matur: ada dua jenis, yaitu tulang kortikal (compact bone) dan
tulang trabekular (spongiosa).
Secara histologi, perbedaan tulang matur dan imatur terutama
dalam jumlah sel, dan jaringan kolagen.

Tulang adalah suatu jaringan dinamis yang tersusun dari tiga jenis
sel: osteoblas, osteosit, osteoklas.
a. Osteoblas, membangun tulang dengan membentuk kolagen tipe I dan
proteoglikan sebagai matriks tulang atau jaringan osteoid melalui
suatu proses yang disebut osifikasi.
b. Osteosit, sel tulang dewasa yang bertindak sebagai suatu lintasan
untuk pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat.
c. Osteoklas, sel besar berinti banyak yang memungkinkan mineral dan
matriks tulang dapat diabsorpsi. Tidak seperti osteoblas dan osteosit,
osteoklas mengikis tulang. Sel ini menghasilkan enzim proteolitik
yang memecahkan matriks dan beberapa asam yang melarutkan
mineral tulang sehingga kalsium dan fosfat terlepas kedalam aliran
darah.

Dalam keadaan normal, tulang mengalami pembentukan dan


absorpsi pada suatu tingkat yang konstan, kecuali pada masa
pertumbuhan kanak-kanak yang lebih banyak terjadi pembentukan dari
pada absorpsi tulang. Proses ini penting untuk fungsi normal tulang.
Keadaan ini membuat tulang dapat berespons terhadap tekanan yang
meningkat dan mencegah terjadi patah tulang.
Bentuk tulang dapat disesuaikan untuk menanggung kekuatan
mekanis yang semakin meningkat. Perubahan membantu
mempertahankan kekuatan tulang pada proses penuaan. Matriks organi
yang sudah tua berdegenerasi sehingga membuat tulang relatif menjadi
lemah dan rapuh. Pembentukan tulang yang baru memerlukan matriks
organik baru sehingga memberi tambahan kekuatan pada tulang.
Metabolisme tulang diatur oleh beberapa hormon. Peningkatan
kadar hormon paratiroid mempunyai efek langsung dan segera pada
mineral tulang yang menyebabkan kalsium dan fosfat diabsorpsi dan
bergerak memasuki serum. Peningkatan kadar hormon paratiroid secara
perlahan meneyebabkan peningkatan jumlah dan aktivitas osteklas
sehingga terjadi demineralisasi. Metabaolisme kalsium dan fosfat sangat
berkaitan erat. Tulang mengandung 99% dari seluruh kalsium tubuh dan
90% dari seluruh fosfat tubuh.
Vitamin D memengaruhi deposisi dan absorpsi tulang. Vitamin
D dalam jumlah besar dapat menyebabkan absropsi tulang seperti yang
terlihat pada kadar hormon paratiroid yang tinggi. Bila tidak ada vitamin
D, hormon paratiroid tidak akan menyebabkan absorpsi tulang. Vitamin
D dalam jumlah yang sedikit membantu klasifikasi tulang, antara lain
dengan meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat oleh usus halus.

Anatomi Sendi
Sendi adalah tempat pertemuan dua tulang atau lebih. Tulang-
tulang ini dipadukan dengan berbagai cara, misalnya dengan kapsul
sendi, pita fibrosa, ligamen, tendon, fasia, atau otot. Ada 3 tipe sendi
sebagai berikut:
a. Sendi fibrosa (sinartrodial), merupakan sendi yang tidak dapat
bergerak. Sendi fibrosa tidak memiliki lapisan tulang rawan. Tulang
yang satu dengan tulang lainnya dihubungkan oleh jaringan
penyambung fibrosa.
b. Sendi kartilaginosa (amfiartrodia), merupakan sendi yang dapat
sedikit bergerak. Sendi kartilaginosa adalah sendi yang ujung-ujung
tulangnya dibungkus oleh tulang rawan hialin, disokong oleh
ligamen, dan hanya dapat sedikit bergerak.
c. Sendi sinovial (diartrodial), merupakan sendi yang dapat digerakkan
dengan bebas. Sendi ini memiliki rongga sendi dan permukaan sendi
dilapisi tulang rawan hialin.

Kapsul sendi terdiri dari selaput penutup fibrosa padat, suatu


lapisan dalam yang terbentuk dari jaringan penyambung berpembuluh
darah banyak, serta sinovium yang membentuk suatu kantung yang
melapisi seluruh sendi dan membungkus tendon-tendon yang melintasi
sendi. Sinovium menghasilkan cairan yang sangat kental yang
membasahi permukaan sendi. Cairan sinovial normalnya bening, tidak
membeku, dan tidak berwarna, jumlah yang ditimbulkan dalam tiap-tiap
sendi relatif kecil (1-3ml).
Tulang rawan sendi pada orang dewasa tidak mendapat aliran
darah, limfe, atau persarafan. Oksigen dan bahan-bahan metabolisme lain
dibawa oleh cairan sendi yang membasahi tulang rawan tersebut.
Perubahan susunan kolagen dan pembentukan proteoglikan dapat terjadi
setelah cedera atau ketika usia bertambah. Beberapa kolagen baru pada
tahap ini mulai membentuk kolagen tipe satu yang lebih fibrosa.
Proteoglikan dapat kehilangan sebagian kemampuan hidrofiliknya.
Perubahan ini berarti tulang rawan akan kehilangan kemampuannya
untuk menahan kerusakan bila diberi beban berat.
Aliran darah kesendi banyak yang menuju sinovium. Pembuluh
darah mulai masuk melalui tulang subkondral pada tingkat tepi kapsul.
Jaringan kapiler sangat tebal dibagian sinovium yang menempel
langsung pada ruang sendi. Hal ini memungkinkan bahan-bahan didalam
plasma berdifusi dengan mudah kedalam ruang sendi. Proses peradangan
dapat sangat menonjol disinovium karena didaerah tersebut banyak
mendapat aliran darah dan juga terdapat banyak sel mast dan sel lain
serta zat kimia yang secara dinamis berinteraksi untuk merangsang dan
memperkuat respon peradangan.
Jaringan yang ditemukan pada sendi dan daerah yang berdekatan
terutama adalah jaringan penyambung yang tersusun dari sel-sel dan
substansi dasar. Dua macam sel yang ditemukan pada jaringan
penyambung adalah sel-sel yang tidak dibuat dan tetap berada pada
jaringan penyambung (seperti sel mast, sel palsma, limfosit, monosit, dan
leukosit polimorfonuklear).
Serat-serat yang terdapat pada substansi dasar adalah kolagen
dan elastin. Kolagen dapat dipecahkan oleh kerja kolagenase. Serat-serat
elastin memiliki sifat elastis, serat ini terdapat dalam ligamen, dinding
pembuluh darah besar, dan kulit. Elastin dipecahkan oleh enzim yang
disebut elastase.

2. Definisi
Dislokasi merupakan keadaan ruptura total atau parsial pada
ligamen penyangga yang mengelilingi sebuah sendi. Biasanya kondisi ini
terjadi sesudah gerakan memuntuir yang tajam (Kowalak, 2011). 
Dislokasi adalah keluarnya (bercerainya) kepala sendi dari
mangkuknya, dislokasi merupakan suatu kedaruratan yang membutuhkan
pertolongan segera. (Arif Mansyur, 2000).
Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari
kesatuan sendi. Dislokasi ini terdapat hanya kepada komponen tulangnya
saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat
yang seharusnya (dari mangkuk sendi).

3. Etiologi
Dislokasi disebabkan oleh:
a. Cedera olahraga
Olahraga yang biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak bola dan
hoki, serta olahraga yang beresiko jatuh misalnya: terperosok akibat
bermain ski, senam, volley. Pemain basket dan keeper pemain sepak
bola paling sering mengalami dislokasi pada tangan dan jari-jari
karena secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain lain.
b. Trauma yang tidak berhubungan dengan olahraga. Benturan keras
pada sendi saat kecelakaan motor biasanya menyebabkan dislokasi.
c. Terjatuh. Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai
yang licin.
d. Patologis. Terjadinya ‘tear’ ligament dan kapsul articuler yang
merupakan komponen vital penghubung tulang.
4. Patofisiologi
Penyebab terjadinya dislokasi sendi ada tiga hal yaitu karena
kelainan congenital yang mengakibatkan kekenduran pada ligamen
sehingga terjadi penurunan stabilitas sendi. Dari adanya traumatic akibat
dari gerakan yang berlebih pada sendi dan dari patologik karena adanya
penyakit yang akhirnya terjadi perubahan struktur sendi. Dari 3 hal
tersebut, menyebabkan dislokasi sendi. Dislokasi mengakibatkan
timbulnya trauma jaringan dan tulang, penyempitan pembuluh darah,
perubahan panjang ekstremitas sehingga terjadi perubahan struktur. Dan
yang terakhir terjadi kekakuan pada sendi. Dari dislokasi sendi, perlu
dilakukan adanya reposisi.
Adanya tekanan eksternal yang berlebih menyebabkan suatu
masalah yang disebut dengan dislokasi yang terutama terjadi pada
ligamen. Ligamen akan mengalami kerusakan serabut dari rusaknya
serabut yang ringan maupun total ligamen akan mengalami robek dan
ligamen yang robek akan kehilangan kemampuan stabilitasnya. Hal
tersebut akan membuat pembuluh darah akan terputus dan terjadilah
edema. Sendi mengalami nyeri dan gerakan sendi terasa sangat nyeri.
Derajat disabilitas dan nyeri terus meningkat selama 2 sampai 3 jam
setelah cedera akibat membengkak dan pendarahan yang terjadi maka
menimbulkan masalah yang disebut dengan dislokasi.

5. Manifestasi Klinis
Sendi adalah area di mana dua atau lebih tulang bertemu. Sendi
terbentuk dari jaringan ikat dan tulang rawan, serta berfungsi sebagai
penghubung di antara tulang-tulang saat bergerak. Kondisi ini dapat
menimbulkan gejala dan keluhan berupa:
a. Sakit dan nyeri pada sendi yang cedera
b. Sendi bengkak dan memar
c. Bagian sendi yang cedera menjadi kemerahan atau menghitam
d. Bentuk sendi menjadi tidak normal
e. Sakit ketika bergerak
f. Mati rasa di bagian sendi yang cedera

6. Klasifikasi
Dislokasi sendi dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Dislokasi kongenital
Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan
b. Dislokasi patologik
Terjadi akibat penyakit sendi dan jaringan sekitar sendi.
Misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis tulang. Hal ini disebabkan
oleh kekuatan tulang yang berkurang.
c. Dislokasi traumatic
Kedaruratan orteoprodi (pasokan darah, susunan saraf rusuk dan
mengalami stres berat, kematian jaringan akibat anoksia) akibat
edema (karena mengalami pengerasan) terjadi karena trauma yang
kuat sehingga dapat mengeluarkan tulang dari jaringan disekelilingnya
dan merusak struktur sendi, ligamen, syaraf, dan sistem vaskular.
Kebanyakan terjadi pada orang dewasa.

Berdasarkan tipe kliniknya dibagi sebagai berikut:


a. Dislokasi akut
Umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip serta disertai
nyeri akut dan pembengkakan disekitar sendi
b. Dislokasi berulang
Jika suatu trauma dislokasi pada sendi diikuti oleh frekuensi
dislokasi yang berlanjut dengan trauma yang minimal, maka disebut
dislokasi berulang. Umumnya terjadi pada shoulder joint. Dislokasi
biasanya sering dikaitkan dengan patah tulang yang disebabkan
berpindahnya ujung tulang yang patah oleh karena kuatnya trauma,
tonus/kontraksi otot dan tarikan.
Berdasarkan tempat terjadinya;
a. Dislokasi sendi rahang
Dislokasi sendi rahang dapat terjadi karena menguap/terlalu
lebar serta terkena pukulan keras ketika rahang sedang terbuka,
akibatnya penderita tidak dapat menutup mulutnya kembali.
b. Dislokasi sendi bahu
Pergeseran kaput humerus dari sendi glenohumeral berada
dianteriordan medial glenoid (dislokasi anterior), di posteroir
(dislokasi posterior), dan bawah glenoid (dislokasi inferior).
c. Dislokasi sendi siku
Mekanisme cideranya biasanya jatuh pada tangan yang dapat
menimbulkan dislokasi sendi siku ke arah posterior dengan siku jelas
berubah bentuk dengan kerusakan sambungan tonjolan-tonjolan tulang
siku.
d. Dislokasi sendi jari
Sendi jari mudah mengalami dislokasi dan bila tidak ditolong
dengan segera sendi tersebut akan menjadi kaku kelak. Sendi jari
dapat mengalami dislokasi kearah telapak tangan/punggung tangan.
e. Dislokasi sendi metacarpophalangeal dan interphalangeal
Merupakan dislokasi yang disebabkan oleh hiperektensi-ekstensi
persendian
f. Dislokasi panggul
Bergesernya caput femur dari sendi panggul, berada diposterior
dan atas acetabulum (dislokasi posterior), dianterior acetabulum
(dislokasi anterior), dan caput femur menembus acetabulum (dislokasi
sentra).
g. Dislokasi patella
Dislokasi patella paling sering terjadi kearah lateral. Reduksi
dicapai dengan memberikan tekanan kearah medial pada sisi lateral
patella sambil mengekstensikan lutut perlahan-lahan. Apabila
dislokasi dilakukan berulang-ulang diperlukan stabilisasi secara
bedah. Dislokasi biasanya sering dikaitkan dengan patah
tulang/fraktur yang disebabkan oleh berpindahnya ujung tulang yang
patah oleh karena kuatnya trauma, tonus/kontraksi otot dan tarikan.

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Sinar-X (Rontgen)
Pemeriksaan rontgen merupakan pemeriksaan diagnostik
noninvasif untuk membantu menegakkan diagnosa medis. Pada pasien
dislokasi sendi ditemukan adanya pergeseran sendi dari mangkuk
sendi dimana tulang dan sendi berwarna putih.
b. CT-Scan
CT-Scan yaitu pemeriksaan sinar-X yang lebih canggih dengan
bantuan komputer, sehingga memperoleh gambar yang lebih detail
dan dapat dibuat gambaran secara 3 dimensi. Pada pasien dislokasi
ditemukan gambar 3 dimensi dimana sendi tidak berada pada
tempatnya.
c. MRI
MRI merupakan pemeriksaan yang menggunakan gelombang
magnet dan frekuensi radio tanpa menggunakan sinar-X atau bahan
radio aktif, sehingga dapat diperoleh gambaran tubuh(terutama
jaringan lunak) dengan lebih detail. Seperti halnya CT-Scan, pada
pemeriksaan MRI ditemukan adanya pergeseran sendi dari mangkuk
sendi.

8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Keperawatan
a. Penatalaksanaan keperawatan dapat dilakukan dengan RICE.
1) R: Rest= Diistirahatkan adalah  pertolongan pertama yang penting
untuk mencegah kerusakan jaringan lebih lanjut.
2) I: Ice= Terapi dingin, gunanya mengurangi pendarahan dan
meredakan rasa nyeri.
3) C: Compression= Membalut gunanya membantu mengurangi
pembengkakan jaringan dan pendarahan lebih lanjut.
4) E: Elevasi= Peninggian daerah cedera gunanya mengurangi
oedema (pembengkakan) dan rasa nyeri.
b. Terapi dingin
Cara pemberian terapi dingin sebagai berikut:
1) Kompres dingin
Teknik: potongan es dimasukkan dalam kantong yang tidak
tembus air lalu kompreskan pada bagian yang cedera.
Lamanya: dua puluh–tiga puluh menit dengan interval kira-kira
sepuluh menit.
2) Massage es
Tekniknya dengan menggosok-gosokkan es yang telah dibungkus
dengan lama lima-tujuh menit, dapat diulang dengan tenggang
waktu sepuluh menit.
3) Pencelupan atau perendaman
Tekniknya yaitu memasukkan tubuh atau bagian tubuh kedalam
bak air dingin yang dicampur dengan es. Lamanya sepuluh – dua
puluh menit.
4) Semprot dingin
Tekniknya dengan menyemprotkan kloretil atau fluorimethane ke
bagian tubuh yang cedera.
c. Latihan ROM
Tidak dilakukan latihan pada saat terjadi nyeri hebat dan
perdarahan, latihan pelan-pelan dimulai setelah 7-10 hari tergantung
jaringan yang sakit.
Penatalaksanaan Medis: Farmakologi
a. Analgetik
Analgetik biasanya digunakan untuk klien yang mengalami
nyeri. Berikut contoh obat analgetik:
1) Aspirin
Kandungan: Asetosal 500 mg
Indikasi: nyeri otot
Dosis: dewasa 1 tablet atau 3 tablet perhari, anak >5 tahun
setengah sampai 1 tablet, maksimum 1 ½ sampai 3 tablet perhari.
2) Bimastan
Kandungan: Asam Mefenamat 250 mg perkapsul, 500 mg
perkaplet
Indikasi: nyeri persendian, nyeri otot
Kontra indikasi: hipersensitif, tungkak lambung, asma, dan ginjal
Efek samping: mual muntah, agranulositosis, aeukopenia
Dosis: dewasa awal 500 mg  lalu 250 mg tiap 6 jam.
3) Pemberian kodein atau obat analgetik lain (jika cedera berat).

9. Komplikasi
Komplikasi dislokasi meliputi:
a. Komplikasi dini
1) Cedera saraf: saraf aksila dapat cedera. Pasien tidak dapat
mengerutkan oto deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang
mati rasa pada otot tersebut.
2) Cedera pembuluh darah : arteri aksilla dapat rusak
3) Fraktur dislokasi
4) Kerusakan arteri: pecahnya arteri karena trauma dapat ditandai
dengan tidak adanya nadi, CRT (capillary refill time) menurun,
sianosis pada bagian distal,hematoma melebar, dan dingin pada
ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan darurat spilinting,
perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi dan
pembedahan.
b. Sindrome kompartemen
Sindrom kompartemen merupakan komplikasi serius yang
terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah
dalam jaringan parut. Hal ini disebabkan oleh edema atau perdarahan
yang menentukan otot, saraf dan pembuluh darah, atau karena tekanan
dari luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu kuat.
c. Komplikasi lanjut
1) Kekakuan sendi bahu: immobilisasi yang lama dapat
mengakibatkan kekakuan sendi bahu. Terjadinya kehilangan rotasi
lateral, yang secara otomatis membatasi abduksi.
2) Kelemahan otot.
3) Dislokasi yang berulang: terjadi kalau labrum glenoid robek atau
kapsul terlepas dari bagian depan leher glenoid.

B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Anamnesis
1) Identitas klien meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama,
bahasa yang digunakan, status perkawinan, pendidikan,
pekerjaan, asuransi golongan darah, nomor registrasi, tanggal dan
jam masuk rumah sakit, (MRS), dan diagnosis medis. Dengan
fokus, meliputi:
a) Umur
Pada pasien lansia terjadi pengerasan tendon tulang
sehingga menyebabkan fungsi tubuh bekerja secara kurang
normal dan dislokasi cenderung terjadi pada orang dewasa
dari pada anak-anak, biasanya klien jatuh dengan keras dalam
keadaan strecth out.
b) Pekerjaan
Pada pasien dislokasi biasanya di akibatkan oleh
kecelakaan yang mengakibatkan trauma atau ruda paksa,
biasaya terjadi pada klien yang mempunyai pekrjaan buruh
bangunan. Seperti terjatuh, atupun kecelakaan di tempat kerja,
kecelakaan industri  dan atlit olahraga, seperti pemain basket,
sepak bola dll.
c) Jenis kelamin
Dislokasi lebih sering di temukan pada anak laki-laki
dari pada permpuan karna cenderung dari segi aktivitas yang
berbeda.
2) Keluhan utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta
pertolongan kesehatan adalah nyeri, kelemahan dan kelumpuhan,
ekstermitas, nyeri tekan otot, dan deformitas pada daerah trauma,
untuk mendapatkan pengkajian yang lengkap mengenai nyeri
klien dapat menggunakan metode PQRST.
3) Riwayat penyakit sekarang
Kaji adanya riwayat trauma akibat kecelakaan pada lalu
lintas, kecelekaan industri, dan kecelakaan lain, seperti jatuh dari
pohon atau bangunan, pengkajian yang di dapat meliputi nyeri,
paralisis extermitras bawah, syok.
4) Riwayat penyakit dahulu
Penyakit yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
penyakit, seperti osteoporosis, dan osteoaritis yang
memungkinkan terjadinya kelainan, penyakit alinnya seperti
hypertensi, riwayat cedera, diabetes milittus, penyakit jantung,
anemia, obat-obat tertentu yang sering di guanakan klien, perlu
ditanyakan pada keluarga klien.
5) Pengkajian Psikososial dan Spiritual
Kaji bagaimana  pola interaksi klien terhadap orang-orang
disekitarnya seperti hubungannya dengan keluarga, teman dekat,
dokter, maupun dengan perawat.
b. Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan
klien pemekrisaan fisik sangat berguna untuk mendukung pengkajian
anamnesis sebaiknya dilakukan persistem B1-B6 dengan fokus
pemeriksaan B3 (brain) dan B6 (bone)
1) Keadaan umum
Klien yang yang mengalami cedera pada umumnya tidak
mengalami penurunan kesadaran, periksa adanya perubahan
tanda-tanda vital yang meliputi brikardia, hipotensi dan tanda-
tanda neurogenik syok.
2) B3 (brain)
a) Tingkat kesedaran pada pasien yang mengalami dislokasi
adalah komposmentis
b) Pemeriksaan fungsi selebral
c) Status mental: observasi penampilan, tingkah laku gaya
bicara, ekspresi wajah aktivitas motorik klien.
d) Pemeriksaan saraf kranial
e) Pemeriksaan reflex, pada pemeriksaan refleks dalam, refleks
achiles menghilang dan refleks patela biasanya meleamh
karna otot hamstring melemah
3) B6 (Bone)
a) Paralisis motorik ekstermitas terjadi apabila trauma juga
mengompresi sekrum gejala gangguan motorik juga sesuai
dengan distribusi segmental dan saraf yang terkena
b) Look, pada insfeksi parienum biasanya di dapatkan adanya
pendarahan ,pembengkakakn dan deformitas
c) Fell, kaji adanya derajat ketidakstabilan daerah trauma dengan
palpasi pada ramus dan simfisi fubis
d) Move, disfungsi motorik yang paling umum adalah
kelemahan dan kelumpuhan pada daerah ekstermitas.
c. Klasifikasi Data
1) Data subjektif
a) Klien mengatakan nyeri apabila beraktivitas
b) Klien mengatakan nyeri seperti ditekan benda berat
c) Klien mengatakan  terjadi kekauan pada sendi
d) Klien mengatakan adanya nyeri pada sendi
e) Klien mengatakan sangat lemas
f) Klien bertanya-tanya tentang keadaannya
g) Klien mengatakan susah bergerak
2) Data objektif
a) Klien nampak lemas
b) Wajah nampak meringis
c) Keterbatasan mobilitas
d) Skala nyeri 6 (0-10)
e) Klien nampak cemas

2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan diskontinuitas
jaringan.
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas dan nyeri
saat mobilisasi.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kegagalan untuk mencerna atau ketidakmampuan mencerna makanan
atau absorpsi nutrient yang diperlukan untuk pembentukan sel darah
merah.
d. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pegetahuan tentang
penyakit.
e. Gangguan body image berhubungan dengan deformitas dan perubahan
bentuk tubuh.

3. Intervensi

Diagnosa
No Tujuan Intervensi
Keperawatan
1 Gangguan Rasa nyeri teratasi 1. Kaji skala nyeri
rasa nyaman dengan 2. Berikan posisi relaks
nyeri Kriteria Hasil: pada pasien
berhubungan 1. Klien tampak 3. Ajarkan teknik distraksi
dengan tidak meringis dan relaksasi
diskontinuitas lagi. 4. Berikan lingkungan
jaringan. 2. Klien tampak yang nyaman, dan
rileks aktifitas hiburan
5. Kolaborasi pemberian
analgesic
2 Gangguan Memberikan 1. Kaji tingkat mobilisasi
mobilitas kenyamanan dan pasien Berikan latihan
fisik melindungi sendi ROM
berhubungan selama masa 2. Anjurkan penggunaan
dengan penyembuhan. alat bantu jika
deformitas Kriteria hasil diperlukan
dan nyeri saat 1. melaporkan 3. Monitor tonus otot
mobilisasi peningkatan 4. Membantu pasien
toleransi untuk imobilisasi baik
aktivitas dari perawat maupun
(termasuk keluarga
aktivitas sehari-
hari)
2. menunjukkan
penurunan tanda
intolerasi
fisiologis,
misalnya nadi,
pernapasan, dan
tekanan darah
masih dalam
rentang normal
3 Perubahan Kebutuhan nutrisi 1. Kaji riwayat nutrisi,
nutrisi kurang terpenuhi termasuk makan yang
dari Kriteria hasil: disukai
kebutuhan 1. Menunujukkan 2. Observasi dan catat
tubuh peningkatan atau masukkan makanan
berhubungan mempertahankan pasien
dengan berat badan 3. Timbang berat badan
kegagalan dengan nilai setiap hari.
untuk laboratorium 4. Berikan makan sedikit
mencerna normal. dengan frekuensi sering
atau ketidak 2. Tidak mengalami dan atau makan
mampuan tanda mal nutrisi. diantara waktu makan
mencerna 3. Menununjukkan 5. Observasi dan catat
makanan perilaku, kejadian mual atau
/absorpsi perubahan pola muntah, flatus dan dan
nutrient yang hidup untuk gejala lain yang
diperlukan meningkatkan berhubungan
untuk dan atau 6. Berikan dan Bantu
pembentukan mempertahankan hygiene mulut yang
sel darah berat badan yang baik: sebelum dan
merah sesuai sesudah makan,
gunakan sikat gigi halus
untuk penyikatan yang
lembut. Berikan
pencuci mulut yang di
encerkan bila mukosa
oral luka.
7. Kolaborasi: pantau hasil
pemeriksaan
laboraturium.
8. Kolaborasi: berikan
obat sesuai indikasi
4 Ansietas Kecemasan pasien 1. Kaji tingkat ansietas
berhubungan teratasi dengan klien
dengan kriteria hasil: 2. Bantu pasien
kurangnya 1. Klien tampak mengungkapkan rasa
pengetahuan rileks cemas atau takutnya
tentang 2. Klien tidak 3. Kaji pengetahuan
penyakit tampak bertanya- Pasien tentang
tanya prosedur yang akan
dijalaninya.
4. Berikan informasi
yang benar tentang
prosedur yang akan
dijalani pasien
5 Gangguan Pasien bisa mengatasi 1. Kaji konsep diri pasien
bodi image body image pasien 2. Kembangkan BHSP
berhubungan dengan pasien
dengan 3. Bantu pasien
deformitas mengungkapkan
dan masalahnya
perubahan 4. Bantu pasien
bentuk tubuh mengatasi masalahnya.

4. Implementasi

Diagnosa Keperawatan Implementasi


Gangguan rasa nyaman nyeri 1. Telah dilakukan pengkajian
berhubungan dengan diskontinuitas skala nyeri.
jaringan. 2. Telah diberikan posisi
relaksasi pada pasien.
3. Telah diajarkan teknik
distraksi dan relaksasi.
4. Telah diberikan lingkungan
yang nyaman, dan
pemberian aktifitas hiburan.
5. Telah dilakukan tindakan
kolaborasi dalam pemberian
analgesic.
Gangguan mobilitas fisik 1. Telah dilakukan pengkajian
berhubungan dengan deformitas tingkat mobilisasi pasien.
dan nyeri saat mobilisasi. 2. Telah diberikan latihan
ROM
3. Telah dianjurkan
penggunaan alat bantu.
4. Telah dilakukan monitoring
tonus otot.
5. Telah dilakukan tindakan
membantu pasien untuk
imobilisasi baik dari
perawat maupun keluarga.
Perubahan nutrisi kurang dari 1. Telah dilakukan pengkajian
kebutuhan tubuh berhubungan riwayat nutrisi , termasuk
dengan kegagalan untuk mencerna makan yang disukai.
atau ketidak mampuan mencerna 2. Telah dilakukan observasi
makanan /absorpsi nutrient yang dan pencatatan masukkan
diperlukan untuk pembentukan sel makanan pasien.
darah merah 3. Telah dilakukan timbang
berat badan setiap hari.
4. Telah diberikan makan
sedikit dengan frekuensi
sering dan atau makan
diantara waktu makan.
5. Telah dilakukan observasi
dan pencatatan kejadian
mual atau muntah, flatus
dan gejala lain yang
berhubungan.
6. Telah diberikan dan dibantu
hygiene mulut yang baik,
sebelum dan sesudah makan
dengan menggunakan sikat
gigi halus untuk penyikatan
yang lembut. Telah
diberikan pencuci mulut
yang di encerkan bila
mukosa oral luka.
7. Telah dilakukan kolaborasi
dengan memantau hasil
pemeriksaan laboratorium
8. Telah dilakukan kolaborasi
dengan memberikan obat
sesuai indikasi.
Ansietas berhubungan dengan 1. Telah dilakukan pengkajian
kurangnya pengetahuan tentang tingkat ansietas klien.
penyakit. 2. Telah dilakukan membantu
pasien mengungkapkan rasa
cemas atau takutnya.
3. Telah dilakukan pengkajian
pengetahuan pasien tentang
prosedur yang akan
dijalaninya.
4. Telah diberikan informasi
yang benar tentang prosedur
yang akan di jalani pasien.
Gangguan bodi image berhubungan 1. Telah dilakukan pengkajian
dengan deformitas dan perubahan konsep diri pasien.
bentuk tubuh. 2. Telah diajarkan pola BHSP
dengan pasien.
3. Telah dilakukan tindakan
membantu pasien
mngungkapkan masalahnya.
4. Telah dilakukan tindakan
membantu pasien mengatasi
masalahnya.

5. Evaluasi

Diagnosa Evaluasi
Gangguan rasa nyaman nyeri S: Pasien mengatakan “Sus, saat ini
berhubungan dengan diskontinuitas saya merasa lebih rileks dan bisa
jaringan. tidur dengan nyenyak”.
O: Pasien tidak terlihat meringis
nyeri.
A: Masalah dapat teratasi.
P: Intervensi dihentikan
Gangguan mobilitas fisik S: Pasien berkata bahwa ia sudah
berhubungan dengan deformitas bisa jalan-jalan dengan kruk.
dan nyeri saat mobilisasi. O: Tekanan darah 120/80 mmHg.
A: Masalah teratasi sebagian.
P: Intervensi dilanjutkan.
Perubahan nutrisi kurang dari S: Pasien mengatakan “makanan
kebutuhan tubuh berhubungan saya pagi ini sudah saya habiskan,
dengan kegagalan untuk mencerna Sus”.
atau ketidak mampuan mencerna O: Adanya peningkatan berat
makanan /absorpsi nutrient yang badan.
diperlukan untuk pembentukan sel A: Masalah teratasi sebagian
darah merah P: Intervensi dilanjutkan
Ansietas berhubungan dengan S: Pasien mengatakan “Saya sudah
kurangnya pengetahuan tentang tidak merasa cemas dengan
penyakit. penyakit ini“.
O: Pasien terlihat tenang.
A: Masalah teratasi sebagian.
P: Intervensi dilanjutkan.
Gangguan bodi image berhubungan S: Pasien mengatakan “saya sudah
dengan deformitas dan perubahan dapat menerima kondisi saya saat
bentuk tubuh. ini”.
O: Pasien mulai nampak percaya
diri dengan kondisi saat ini.
A: Masalah teratasi sebagian.
P: Intervensi dilanjutkan.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. Keperawatan Medikal Bedah,edisi 8, Jakarta : EGC, 2002

Mansyur arif, dkk (2000). Kapita Selekta Kedokteran Edisi III Jilid II. Penerbit
Buku Aesculapius Fakultas Kedokteran IV, Jakarta

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi


6.Volume 2. Jakarta: EGC

NANDA NIC NOC International. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC, 2013


Arif Muttaqin. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskululoskeletal.
Jakarta: EGC, 2008

Brunner & Suddarth. Keperawatan Medikal Bedah,edisi 8, Jakarta : EGC, 2002

Arif Muttaqin. Buku Saku Gangguan Muskuloskeletal, Jakarta : EGC, 2011

Anda mungkin juga menyukai