Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN FRAKTUR GALEAZZI DI


INSTALASI BEDAH CENTRAL dr. SOEBANDI KABUPATEN JEMBER
disusun guna memenuhi tugas pada Program Pendidikan Profesi Ners (P3N)
Stase Keperawatan Medikal Bedah

Oleh
Sufyan Stauri, S. Kep
NIM 142311101152

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016

A.

PENGERTIAN

Fraktur antebrachii adalah terputusnya kontinuitas tulang


radius ulna. Yang dimaksud dengan antebrachii adalah batang
(shaft) tulang radius dan ulna (andi, 2012).
Fraktur antebrachii merupakan suatu perpatahan pada
lengan bawah yaitu pada tulang radius dan ulna dimana kedua
tulang tersebut mengalami perpatahan. Dibagi atas tiga bagian
perpatahan yaitu bagian proksimal, medial , serta distal dari
kedua corpus tulang tersebut. (Putri, 2008)
Ada empat macam faraktur yang khas :
1. Fraktur Colles
Deformitas pada fraktur ini berbentuk seperti sendok
makan (dinner fork deformity). Pasien terjatuh dalam
keadaan tangan terbuka dan pronasi. Tubuh beserta lengan
berputar kedalam (endorotasi). Tangan terbuka yang
terfiksasi ditanah berputar keluar (eksorotasi/supinasi)

2. Fraktur Smith
Fraktur smith merupakan fraktur dislokasi keraha anterior
(volar), karna itu sering disebut reverse colles frakture.
Fraktur ini biasa terjadi pada orang muda. Pasien jatuh
dengan tangan menahan badan sedang posisi tangan
dalam keadaan volar fleksi pada pergelangan tangan dan
pronasi. Garis patahan biasanya tranvesal, kadang kadang
intra artikular.

3. Fraktur Galeazzi
Fraktur galeazzi merupakan fraktur radius distal disertai
dislokasi sendi radius ulna distal. Saatpasien jatuh dangan
tangan terbuka yang menahan badan, terjadi pula rotasi
lengan tangan bawah dalam posisi pronasi waktu menahan
berat badan yang memberi gaya supinasi.

4. Fraktur Montegia
Fraktur montegia merupakan fraktur sepertiga proksimal
ulna disertai dislokasi sendi radius ulna proksimal. Terjadi
karena trauma langsung.

B. ETIOLOGI
1. Trauma langsung/ direct trauma
Yaitu apabila fraktur terjadi di tempat dimana bagian
tersebut mendapat ruda paksa (misalnya benturan, pukulan yang
mengakibatkan patah tulang).
2. Trauma yang tak langsung/ indirect trauma
Misalnya penderita jatuh dengan lengan dalam keadaan
ekstensi dapat terjadi fraktur pada pegelangan tangan.
3. Trauma ringan
Trauma ringan dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila
tulang itu sendiri rapuh/ ada resiko terjadinya penyakit yang
mendasari dan hal ini disebut dengan fraktur patologis.
4. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang
terjadi.Kekuatan
dapat
berupa
pemuntiran,
penekukan,
penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan
penarikan.
C. ANATOMI FISIOLOGI FRAKTUR
a. Anatomi Tulang
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada ba intra-seluler.
Tulang berasal dari embrionic hyaline cartilage yang mana
melalui proses Osteogenesis menjadi tulang. Proses ini
dilakukan oleh sel-sel yang disebut Osteoblast. Proses
mengerasnya tulang akibat penimbunan garam kalsium.
Ada 206 tulang dalam tubuh manusia, Tulang dapat
diklasifikasikan
dalam
lima
kelompok
berdasarkan
bentuknya :
1. Tulang panjang (Femur, Humerus)

Tulang panjang terdiri dari batang tebal panjang yang


disebut diafisis dan dua ujung yang disebut epifisis. Di sebelah
proksimal dari epifisis terdapat metafisis. Di antara epifisis
dan metafisis terdapat daerah tulang rawan yang tumbuh,
yang disebut lempeng epifisis atau lempeng pertumbuhan.
Tulang panjang tumbuh karena akumulasi tulang rawan di
lempeng epifisis. Tulang rawan digantikan oleh sel-sel tulang
yang dihasilkan oleh osteoblas, dan tulang memanjang.
Batang dibentuk oleh jaringan tulang yang padat. Epifisis
dibentuk dari spongi bone (cancellous atau trabecular). Pada
akhir tahun-tahun remaja tulang rawan habis, lempeng epifisis
berfusi, dan tulang berhenti tumbuh. Hormon pertumbuhan,
estrogen, dan testosteron merangsang pertumbuhan tulang
panjang. Estrogen, bersama dengan testosteron, merangsang
fusi lempeng epifisis. Batang suatu tulang panjang memiliki
rongga yang disebut kanalis medularis. Kanalis medularis
berisi sumsum tulang.
2. Tulang pendek (carpals)
Tulang pendek bentuknya tidak teratur dan inti dari
cancellous (spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang
yang padat.
3. Tulang pendek datar (tengkorak)
Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan
tulang padat dengan lapisan luar adalah tulang concellous.
4. Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti dengan
tulang pendek.
5. Tulang sesamoid
Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di
sekitar tulang yang berdekatan dengan persediaan dan
didukung oleh tendon dan jaringan fasial, misalnya patella
(kap lutut).
Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit
mineral. Sel-selnya terdiri atas tiga jenis dasar-osteoblas, osteosit
dan
osteoklas.
Osteoblas
berfungsi
dalam pembentukan
tulang dengan mensekresikan matriks tulang. Matriks tersusun
atas 98% kolagen dan 2% subtansi dasar (glukosaminoglikan,
asam polisakarida) dan proteoglikan). Matriks merupakan
kerangka
dimana
garam-garam
mineral
anorganik
ditimbun. Osteosit adalah
sel
dewasa
yang
terlibat

dalam pemeliharaan
fungsi
tulang
dan
terletak
dalam
osteon (unit matriks tulang ). Osteoklas adalah sel multinuclear
( berinti banyak) yang berperan dalam penghancuran, resorpsi
dan remosdeling tulang.
Osteon merupakan unik fungsional mikroskopis tulang
dewasa. Ditengah osteon terdapat kapiler. Dikelilingi kapiler
tersebut merupakan matriks tulang yang dinamakan lamella.
Didalam lamella terdapat osteosit, yang memperoleh nutrisi
melalui prosesus yang berlanjut kedalam kanalikuli yang halus
(kanal yang menghubungkan dengan pembuluh darah yang
terletak sejauh kurang dari 0,1 mm).
Tulang diselimuti dibagian oleh membran fibrous padat
dinamakan periosteum. Periosteum memberi nutrisi ke tulang
dan memungkinkannya tumbuh, selain sebagai tempat
perlekatan tendon dan ligamen. Periosteum mengandung saraf,
pembuluh darah, dan limfatik. Lapisan yang paling dekat dengan
tulang mengandung osteoblast, yang merupakan sel pembentuk
tulang.
Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi
rongga sumsum tulang panjang dan rongga-rongga dalam tulang
kanselus. Osteoklast , yang melarutkan tulang untuk memelihara
rongga sumsum, terletak dekat endosteum dan dalam lacuna
Howship (cekungan pada permukaan tulang).

Struktur tulang dewasa terdiri dari 30 % bahan organik


(hidup)
dan 70
% endapan garam. Bahan organik
disebut matriks, dan terdiri dari lebih dari 90 % serat kolagen
dan
kurang
dari
10
%
proteoglikan
(protein
plus
sakarida). Deposit garam terutama adalah kalsium dan fosfat,
dengan sedikit natrium, kalium karbonat, dan ion magnesium.
Garam-garam menutupi matriks dan berikatan dengan serat
kolagen
melalui
proteoglikan.
Adanya
bahan
organik
menyebabkan tulang memiliki kekuatan tensif (resistensi
terhadap tarikan yang meregangkan). Sedangkan garam-garam
menyebabkan tulang memiliki kekuatan kompresi (kemampuan
menahan tekanan).
Pembentukan tulang berlangsung secara terus menerus
dan dapat berupa pemanjangan dan penebalan tulang.
Kecepatan
pembentukan
tulang
berubah
selama
hidup. Pembentukan tulang ditentukan oleh rangsangn hormon,
faktor makanan, dan jumlah stres yang dibebankan pada suatu
tulang, dan terjadi akibat aktivitas sel-sel pembentuk tulang
yaitu osteoblas.
Osteoblas dijumpai dipermukaan luar dan dalam tulang.
Osteoblas berespon terhadap berbagai sinyal kimiawi untuk
menghasilkan
matriks
tulang.
Sewaktu
pertama
kali
dibentuk, matriks tulang disebut osteoid. Dalam beberapa hari
garam-garam kalsium mulai mengendap pada osteoid dan
mengeras selama beberapa minggu atau bulan berikutnya.
Sebagian osteoblast tetap menjadi bagian dari osteoid, dan
disebut osteosit atau sel tulang sejati. Seiring dengan
terbentuknya tulang, osteosit dimatriks membentuk tonjolantonjolan yang menghubungkan osteosit satu dengan osteosit
lainnya membentuk suatu sistem saluran mikroskopik di tulang.
Kalsium adalah salah satu komponen yang berperan
terhadap tulang, sebagian ion kalsium di tulang tidak mengalarni
kristalisasi. Garam nonkristal ini dianggap sebagai kalsium yang
dapat dipertukarkan, yaitu dapat dipindahkan dengan cepat
antara tulang, cairan interstisium, dan darah.

Sedangkan penguraian tulang disebut absorpsi, terjadi


secara bersamaan dengan pembentukan tulang. Penyerapan
tulang
terjadi
karena
aktivitas
sel-sel
yang
disebut osteoklas. Osteoklas adalah sel fagositik multinukleus
besar yang berasal dari sel-sel mirip-monosit yang terdapat di
tulang. Osteoklas tampaknya mengeluarkan berbagai asam dan
enzim yang mencerna tulang dan memudahkan fagositosis.
Osteoklas biasanya terdapat pada hanya sebagian kecil dari
potongan tulang, dan memfagosit tulang sedikit demi sedikit.
Setelah selesai di suatu daerah, osteoklas menghilang dan
muncul osteoblas. 0steoblas mulai mengisi daerah yang kosong
tersebut dengan tulang baru. Proses ini memungkinkan tulang
tua yang telah melemah diganti dengan tulang baru yang lebih
kuat.
Keseimbangan antara aktivitas osteoblas dan osteoklas
menyebabkan
tulang
terus
menerus
diperbarui
atau
mengalami remodeling.
Pada anak
dan
remaja,
aktivitas
osteoblas melebihi aktivitas osteoklas, sehingga kerangka
menjadi lebih panjang dan menebal. Aktivitas osteoblas juga
melebihi aktivitas osteoklas pada tulang yang pulih dari fraktur.
Pada orang dewasa muda, aktivitas osteoblas dan osteoklas
biasanya setara, sehingga jumlah total massa tulang
konstan. Pada usia pertengahan, aktivitas osteoklas melebihi
aktivitas osteoblas dan kepadatan tulang mulai berkurang.
Aktivitas osteoklas juga meningkat pada tulang-tulang yang
mengalami imobilisasi. Pada usia dekade ketujuh atau kedelapan,
dominansi aktivitas osteoklas dapat menyebabkan tulang
menjadi rapuh sehingga mudah patah. Aktivitas osteoblas dan
osteoklas dikontrol oleh beberapa faktor fisik dan hormon.
Faktor-faktor
yang
mengontrol
Aktivitas
osteoblas
dirangsang oleh olah raga dan stres beban akibat arus listrik
yang terbentuk sewaktu stres mengenai tulang. Fraktur tulang
secara drastis merangsang aktivitas osteoblas, tetapi mekanisme
pastinya belum jelas. Estrogen, testosteron, dan hormon
perturnbuhan adalah promotor kuat bagi aktivitas osteoblas dan
pertumbuhan tulang. Pertumbuhan tulang dipercepat semasa
pubertas
akibat
melonjaknya
kadar
hormon-hormon
tersebut. Estrogen dan testosteron akhirnya menyebabkan

tulang-tulang panjang berhenti tumbuh dengan merangsang


penutupan lempeng epifisis (ujung pertumbuhan tulang).
Sewaktu kadar estrogen turun pada masa menopaus, aktivitas
osteoblas berkurang. Defisiensi hormon pertumbuhan juga
mengganggu pertumbuhan tulang.
Vitamin D dalam jumlah kecil merangsang kalsifikasi tulang
secara langsung dengan bekerja pada osteoblas dan secara tidak
langsung dengan merangsang penyerapan kalsium di usus. Hal
ini meningkatkan konsentrasi kalsium darah, yang mendorong
kalsifikasi tulang. Namun, vitamin D dalam jumlah besar
meningkatkan kadar kalsium serum dengan meningkatkan
penguraian tulang. Dengan demikian, vitamin D dalam jumlah
besar tanpa diimbangi kalsium yang adekuat dalam makanan
akan menyebabkan absorpsi tulang.
Adapun faktor-faktor yang mengontrol aktivitas osteoklas
terutama dikontrol oleh hormon paratiroid. Hormon paratiroid
dilepaskan oleh kelenjar paratiroid yang terletak tepat di
belakang kelenjar tiroid. Pelepasan hormon paratiroid meningkat
sebagai respons terhadap penurunan kadar kalsium serum.
Hormon paratiroid meningkatkan aktivitas osteoklas dan
merangsang pemecahan tulang untuk membebaskan kalsium ke
dalam darah. Peningkatan kalsium serum bekerja secara umpan
balik negatif untuk menurunkan pengeluaran hormon paratiroid
lebih lanjut. Estrogen tampaknya mengurangi efek hormon
paratiroid pada osteoklas.
Efek lain Hormon paratiroid adalah meningkatkan kalsium
serum dengan menurunkan sekresi kalsium oleh ginjal. Hormon
paratiroid meningkatkan ekskresi ion fosfat oleh ginjal sehingga
menurunkan kadar fosfat darah. Pengaktifan vitamin D di ginjal
bergantung pada hormon paratiroid. Sedangkan kalsitonin adalah
suatu hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar tiroid sebagai
respons terhadap peningkatan kadar kalsium serum. Kalsitonin
memiliki sedikit efek menghambat aktivitas dan pernbentukan
osteoklas. Efek-efek ini meningkatkan kalsifikasi tulang sehingga
menurunkan kadar kalsium serum.

D. FISIOLOGI TULANG
Fungsi tulang adalah sebagai berikut :
a. Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh.
b. Melindungi organ tubuh (misalnya jantung, otak, dan paru-paru) dan
jaringan lunak.
c. Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan kontraksi
dan pergerakan).
d. Membentuk
sel-sel
darah
merah
didalam
sum-sum
tulang belakang (hema topoiesis).
e. Menyimpan garam mineral, misalnya kalsium, fosfor.

E. PATOFISIOLOGI
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan
dan gaya pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal
yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka
terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya
atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur,
periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks,
marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak.
Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah
hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera
berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi
yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit,
dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan
dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya

F. MANIFESTASI KLINIS
1. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini
dikarenakan adanya spasme otot, tekanan dari patahan
tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
2. Perubahan bentuk atau deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil kecelakaan atau
trauma dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang
ke posisi abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan
bentuk normalnya.
3. Bengkak
Oedema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang
terlokalisir pada daerah fraktur dan ekstravasasi daerah di
jaringan sekitarnya.
4. Spasme otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi di sekitar
fraktur.
5. Memar atau ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai
ekstravasasi daerah di jaringan sekitarnya.

akibat

dari

6. Kerusakan mobilitas
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang
pada kondisi normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi
pada fraktur tulang panjang.

7. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagian
yang tulang digerakkan. Hal ini terjadi pada fraktur tulang
panjang
8. Kehilangan fungsi
Penurunan sensasi terjadi karena kerusakan syaraf,
terkenanya syaraf karena edema. Gangguan fungsi terjadi
karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme
otot.
9. Pendrahan

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. X.Ray dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau keadaan
tulang yang cedera.
b. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
c. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
d. CCT kalau banyak kerusakan otot.
e. Pemeriksaan Darah Lengkap
: Lekosit turun/meningkat,
Eritrosit dan Albumin turun, Hb, hematokrit sering rendah
akibat perdarahan, Laju Endap Darah (LED) meningkat bila
kerusakan jaringan lunak sangat luas, Pada masa
penyembuhan Ca meningkat di dalam darah, traumaa otot
meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal. Profil koagulasi:
perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi
multiple.

H.

KOMPLIKASI

1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak
adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma

yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh


tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit,
tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan
dalam ruang tertutup di otot, yang sering berhubungan dengan
akumulasi cairan sehingga menyebabkan hambatan aliran darah
yang berat dan berikutnya menyebabkan kerusakan pada otot.
Gejala

gejalanya
mencakup
rasa
sakit
karena
ketidakseimbangan pada luka, rasa sakit yang berhubungan
dengan tekanan yang berlebihan pada kompartemen, rasa sakit
dengan perenggangan pasif pada otot yang terlibat, dan
paresthesia. Komplikasi ini terjadi lebih sering pada fraktur tulang
kering (tibia) dan tulang hasta (radius atau ulna).
c. Fat Embolism Syndrom
Merupakan
keadaan
pulmonari
akut
dan
dapat
menyebabkan kondisi fatal. Hal ini terjadi ketika gelembung
gelembung lemak terlepas dari sumsum tulang dan mengelilingi
jaringan yang rusak. Gelombang lemak ini akan melewati
sirkulasi dan dapat menyebabkan oklusi pada pembuluh
pembuluh darah pulmonary yang menyebabkan sukar bernafas.
Gejala dari sindrom emboli lemak mencakup dyspnea, perubahan
dalam status mental (gaduh, gelisah, marah, bingung, stupor),
tachycardia, demam, ruam kulit ptechie.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada
jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit
(superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus
fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain
dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke
tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis
tulang dan diawali dengan adanya Volkmans Ischemia. Nekrosis
avaskular dapat terjadi saat suplai darah ke tulang kurang baik.

Hal ini paling sering mengenai fraktur intrascapular femur (yaitu


kepala dan leher), saat kepala femur berputar atau keluar dari
sendi dan menghalangi suplai darah. Karena nekrosis avaskular
mencakup proses yang terjadi dalam periode waktu yang lama,
pasien mungkin tidak akan merasakan gejalanya sampai dia
keluar dari rumah sakit. Oleh karena itu, edukasi pada pasien
merupakan hal yang penting. Perawat harus menyuruh pasien
supaya melaporkan nyeri yang bersifat intermiten atau nyeri
yang menetap pada saat menahan beban.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan
meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan
menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
g. Osteomyelitis
Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum
dan korteks tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari
luar tubuh) atau hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam
tubuh). Patogen dapat masuk melalui luka fraktur terbuka, luka
tembus, atau selama operasi. Luka tembak, fraktur tulang
panjang, fraktur terbuka yang terlihat tulangnya, luka amputasi
karena trauma dan fraktur fraktur dengan sindrom
kompartemen atau luka vaskular memiliki risiko osteomyelitis
yang lebih besar.

2. Komplikasi Dalam Waktu Lama


a. Delayed Union (Penyatuan tertunda)
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi
sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk
menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke
tulang.
b. Non union (tak menyatu)

Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan


fibrosa. Kadang
kadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor
faktor yang dapat menyebabkan non union adalah tidak adanya
imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan lebar dari
fragmen contohnya patella dan fraktur yang bersifat patologis.
c. Malunion
Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk
menimbulkan deformitas, angulasi atau pergeseran.
K. FASE PENYEMBUHAN LUKA
Tahapan :
1. Inflamasi
Respon yang sama bila terjadi cedera, perdarahan,
hematoma, tempat cedera akan diinvasi makrofag (sel
darah putih besar) u/ membersihkan daerah tersebut
proses inflamasi berlangsung dalam beberapa hari.
2. Proliferasi sel
a. Sekitar 5 hari, benang fibrin dalam jendalan darah,
revaskularisasi, invasi fibroblast dan osteoblast
b. Terbentuk jar. Ikat fibrus dan tul. Rawan osteoid .
Pertumbuhan periosteum
3. Pembentukan kalus
a. Lingkaran tul rawan tumbuh melingkar
b. Fragmen patahan digabungkan jar. Fibrus, tul. Rawan
dan serat tul immature
c. perlu waktu 3-4 minggu agar fragmen tergabung dalam
jar fibrus

4. Penulangan kalus
a. Mulai penulangan 2-3 minggu
b. Pada dewasa 3-4 minggu
c. Mineral terus menerus ditimbun sampai tul. Benar-benar
bersatu dg keras

5. Remodedling
a. Perlu waktu berbulan s./d bertahun-tahun
b. Kanselus lebih cepat

K.

PENGKAJIAN

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam


proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan
ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat
memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan

proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap


ini terbagi atas:
1. Pengumpulan Data
a. Anamnesa
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama,
bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,
asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa
medis.
2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah
rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan
lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap
tentang rasa nyeri klien digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
c) Region: radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit
terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan,
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.

apakah

3) Riwayat Penyakit Sekarang


Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan
sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat
rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi

terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan


kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena.
Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan
bisa diketahui luka kecelakaan yang lain
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab
fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang
dan penyakit pagets yang menyebabkan fraktur patologis yang
sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut
maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit
tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada
beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik.
6) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat
serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya
baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain
itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti
penggunaan
obat
steroid
yang
dapat
mengganggu
metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa
mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan
olahraga atau tidak.

b) Pola Nutrisi dan Metabolisme


Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit.
C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan
penyebab
masalah
muskuloskeletal
dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat
terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari
yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas
juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
c) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada
pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi
alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini
juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat.
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur
klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya
tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur
serta penggunaan obat tidur.
d) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua
bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien
perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji
adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena
ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya
fraktur dibanding pekerjaan yang lain.
e) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap.
f) Pola Persepsi dan Konsep Diri

Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul


ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas,
rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan body image).
g) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada
bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak
timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak
mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat
fraktur.
h) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa
melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat
inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami
klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak, lama perkawinannya
i) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan
dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan
fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa
tidak efektif.
j) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi.
Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak
klien
b. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status
generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan
pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat
melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana

spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit


tetapi lebih mendalam.
1 Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
a Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tandatanda, seperti:
(1) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.

gelisah,

(2) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang,


berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(3) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik
fungsi maupun bentuk.
b. Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(1) Sistem Integumen: Terdapat erytema, suhu sekitar daerah
trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(2) Kepal: tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris,
tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(3) Leher: tidak ada gangguan yaitu
penonjolan, reflek menelan ada.

simetris,

tidak

ada

(4) Muka: wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada


perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak
oedema.
(5) Mata: terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika
terjadi perdarahan)
(6) Telinga: tes bisik atau weber masih
normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.

dalam

keadaan

(7) Hidung: tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping


hidung.
(8) Mulut dan Faring: tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak
terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.

(9) Thoraks: tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada


simetris.
(10) Paru
(a)

Inspeksi: Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya


tergantung pada riwayat penyakit klien yang
berhubungan dengan paru.

(b) Palpasi: pergerakan sama atau simetris, fermitus raba


sama.
(c) Perkusi: suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara
tambahan lainnya.
(d) Auskultasi: suara nafas normal, tak ada wheezing, atau
suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(11) Jantung
(a)

Inspeksi: tidak tampak iktus jantung.

(b) Palpasi: nadi meningkat, iktus tidak teraba.


(c)

Auskultasi: suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.

(12) Abdomen
(a)

Inspeksi: bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.

(b) Palpasi: tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar


tidak teraba.
(c)
cairan.

Perkusi: suara thympani, ada pantulan gelombang

(d) Auskultasi: peristaltik usus normal 20 kali/menit.


(13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada
kesulitan BAB.
2. Keadaan Lokal

Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian


distal terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status
neurovaskuler 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse,
Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
a. Look (inspeksi)
(1) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan
seperti bekas operasi).
(2) Cape au lait spot (birth mark).
(3) Fistulae.
(4) Warna
kemerahan
hyperpigmentasi.

atau

kebiruan

(livide)

atau

(5) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal


yang tidak biasa (abnormal).
(6) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(7) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
b. Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada
dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan
informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(1) Perubahan
suhu
disekitar
trauma
(hangat)
dan
kelembaban kulit. Capillary refill time Normal > 3 detik
(2) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi
atau oedema terutama disekitar persendian.
(3) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan
(1/3 proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat

benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,


pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau
tidak, dan ukurannya.
c. Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan
dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini
perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan
sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari
tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam
ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada
gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat
adalah gerakan aktif dan pasif.
2. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan Radiologi
a. X: ray
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah
pencitraan menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk
mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan
tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA
dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi
tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi
yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa
permintaan x-ray harus atas dasar indikasi
kegunaan
pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan
permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
1) Bayangan jaringan lunak.
2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik
khususnya seperti:

b. Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi


struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus
ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak
pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
c. Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami
kerusakan akibat trauma.
d. Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak
karena ruda paksa.
e. Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan
secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu
struktur tulang yang rusak.
2) Pemeriksaan Laboratorium
1. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
2.

Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan


menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.

3. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase


(LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang
meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
3) Pemeriksaan lain-lain
1.Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
2. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama
dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi
infeksi.
3. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
4. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek
karena trauma yang berlebihan.

5. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya


infeksi pada tulang.
6. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

L.

DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL


1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang,
edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi,
stress/ansietas, luka operasi.
2. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah,
emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial,
edema paru, kongesti)
3. Gangguan
mobilitas
fisik
b/d
kerusakan
rangka
neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)
4. Kerusakan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan
traksi (pen, kawat, sekrup)
5. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer
(kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur
invasif/traksi tulang)

M. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan/ Masalah
Kolaborasi

Rencana keperawatan

Tujuan dan Kriteria Hasil


Nyeri akut berhubungan dengan:
Agen injuri (biologi, kimia, fisik, psikologis),
kerusakan jaringan

NOC :

NIC :
Level,
control,

DS:
- Laporan secara verbal
DO:
- Posisi untuk menahan nyeri
- Tingkah laku berhati-hati
- Gangguan tidur (mata sayu, tampak
capek, sulit atau gerakan kacau, menyeringai)
- Terfokus pada diri sendiri
- Fokus menyempit (penurunan persepsi
waktu, kerusakan proses berpikir, penurunan
interaksi dengan orang dan lingkungan)
- Tingkah laku distraksi, contoh : jalanjalan, menemui orang lain dan/atau aktivitas,
aktivitas berulang-ulang)
- Respon autonom (seperti diaphoresis,
perubahan tekanan darah, perubahan nafas,
nadi dan dilatasi pupil)
- Perubahan autonomic dalam tonus
otot (mungkin dalam rentang dari lemah ke
kaku)
- Tingkah laku ekspresif (contoh :
gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel,
nafas panjang/berkeluh kesah)
- Perubahan dalam nafsu makan dan
minum

Intervensi

Pain
pain

comfort
level
Setelah dilakukan tinfakan keperawatan
selama . Pasien tidak mengalami nyeri,
dengan kriteria hasil:

Mampu
mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri,
mampu
menggunakan
tehnik
nonfarmakologi untuk mengurangi
nyeri, mencari bantuan)

Melapor
kan bahwa nyeri berkurang dengan
menggunakan manajemen nyeri

Mampu
mengenali nyeri (skala, intensitas,
frekuensi dan tanda nyeri)

Menyata
kan rasa nyaman setelah nyeri
berkurang

Tanda
vital dalam rentang normal

Tidak
mengalami gangguan tidur

Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi,


frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
Kurangi faktor presipitasi nyeri
Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala, relaksasi, distraksi, kompres
hangat/ dingin
Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri: ...
Tingkatkan istirahat
Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan
berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur
Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali

Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi

Rencana keperawatan

Tujuan dan Kriteria Hasil

Intervensi

Gangguan Pertukaran gas


Berhubungan dengan :
ketidakseimbangan perfusi ventilasi
perubahan membran kapiler-alveolar
DS:
sakit kepala ketika bangun
Dyspnoe
Gangguan penglihatan
DO:
Penurunan CO2
Takikardi
Hiperkapnia
Keletihan
Iritabilitas
Hypoxia
kebingungan
sianosis
warna kulit abnormal (pucat, kehitaman)
Hipoksemia
hiperkarbia
AGD abnormal
pH arteri abnormal
frekuensi dan kedalaman nafas abnormal

NOC:

Respir
atory Status : Gas exchange

Kesei
mbangan asam Basa, Elektrolit

Respir
atory Status : ventilation

Vital
Sign Status
Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan selama . Gangguan
pertukaran pasien teratasi dengan
kriteria hasi:

Mend
emonstrasikan
peningkatan
ventilasi dan oksigenasi yang
adekuat

Memel
ihara kebersihan paru paru dan
bebas dari tanda tanda distress
pernafasan
Mendemonstrasikan batuk efektif
dan suara nafas yang bersih, tidak
ada sianosis dan dyspneu (mampu
mengeluarkan sputum, mampu
bernafas dengan mudah, tidak ada
pursed lips)
Tanda tanda vital dalam rentang
normal
AGD dalam batas normal
Status neurologis dalam batas
normal

NIC :
Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
Pasang mayo bila perlu
Lakukan fisioterapi dada jika perlu
Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
Berikan bronkodilator ;
-.
-.
Barikan pelembab udara
Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
Monitor respirasi dan status O2
Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan otot tambahan, retraksi otot
supraclavicular dan intercostal
Monitor suara nafas, seperti dengkur
Monitor pola nafas : bradipena, takipenia, kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes, biot
Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak adanya ventilasi dan suara
tambahan
Monitor TTV, AGD, elektrolit dan ststus mental
Observasi sianosis khususnya membran mukosa
Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang persiapan tindakan dan tujuan penggunaan
alat tambahan (O2, Suction, Inhalasi)
Auskultasi bunyi jantung, jumlah, irama dan denyut jantung

Diagnosa Keperawatan/ Masalah


Kolaborasi

Rencana keperawatan

Tujuan dan Kriteria Hasil


Gangguan mobilitas fisik
Berhubungan dengan :
- Gangguan metabolisme sel
- Keterlembatan perkembangan
- Pengobatan
- Kurang support lingkungan
- Keterbatasan ketahan kardiovaskuler
- Kehilangan integritas struktur tulang
- Terapi pembatasan gerak
- Kurang pengetahuan tentang kegunaan pergerakan
fisik
- Indeks massa tubuh diatas 75 tahun percentil
sesuai dengan usia
- Kerusakan persepsi sensori
- Tidak nyaman, nyeri
- Kerusakan muskuloskeletal dan neuromuskuler
- Intoleransi aktivitas/penurunan kekuatan dan
stamina
- Depresi mood atau cemas
- Kerusakan kognitif
- Penurunan kekuatan otot, kontrol dan atau masa
- Keengganan untuk memulai gerak
- Gaya hidup yang menetap, tidak digunakan,
deconditioning
- Malnutrisi selektif atau umum
DO:
- Penurunan waktu reaksi
- Kesulitan merubah posisi
- Perubahan gerakan (penurunan untuk berjalan,

NOC :
Movement : Active
y Level
care : ADLs

Joint

Mobilit

Self

Transf
er performance
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama.gangguan
mobilitas fisik teratasi dengan kriteria
hasil:

Klien
meningkat dalam aktivitas fisik

Meng
erti tujuan dari peningkatan
mobilitas

Memv
erbalisasikan perasaan dalam
meningkatkan kekuatan dan
kemampuan berpindah

Memp
eragakan penggunaan alat Bantu
untuk mobilisasi (walker)

Intervensi
NIC :
Exercise therapy : ambulation

Monitoring vital sign sebelm/sesudah latihan dan lihat respon


pasien saat latihan

Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi


sesuai dengan kebutuhan

Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan


cegah terhadap cedera

Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik


ambulasi

Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi

Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara


mandiri sesuai kemampuan

Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi


kebutuhan ADLs ps.

Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.

Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan


bantuan jika diperlukan

kecepatan, kesulitan memulai langkah pendek)


- Keterbatasan motorik kasar dan halus
- Keterbatasan ROM
- Gerakan disertai nafas pendek atau tremor
- Ketidak stabilan posisi selama melakukan ADL
- Gerakan sangat lambat dan tidak terkoordinasi

Diagnosa Keperawatan/ Masalah


Kolaborasi

Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan :


Eksternal :
-Hipertermia atau hipotermia
-Substansi kimia
-Kelembaban
-Faktor mekanik (misalnya : alat yang
dapat menimbulkan luka, tekanan, restraint)
-Immobilitas fisik
-Radiasi
-Usia yang ekstrim
-Kelembaban kulit
-Obat-obatan
Internal :

Rencana keperawatan

Tujuan dan Kriteria Hasil

Intervensi

NOC :
Tissue Integrity : Skin and Mucous
Membranes
Wound Healing : primer dan sekunder
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama.. kerusakan integritas kulit pasien
teratasi dengan kriteria hasil:

Integritas
kulit yang baik bisa dipertahankan
(sensasi, elastisitas, temperatur,
hidrasi, pigmentasi)

Tidak ada
luka/lesi pada kulit

NIC : Pressure Management


Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
Hindari kerutan pada tempat tidur
Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali
Monitor kulit akan adanya kemerahan
Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang tertekan
Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
Monitor status nutrisi pasien
Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat
Kaji lingkungan dan peralatan yang menyebabkan tekanan
Observasi luka : lokasi, dimensi, kedalaman luka, karakteristik,warna cairan,
granulasi, jaringan nekrotik, tanda-tanda infeksi lokal, formasi traktus

-Perubahan status metabolik


-Tonjolan tulang
-Defisit imunologi
-Berhubungan dengan dengan
perkembangan
-Perubahan sensasi
-Perubahan status nutrisi (obesitas,
kekurusan)
-Perubahan status cairan
-Perubahan pigmentasi
-Perubahan sirkulasi
-Perubahan turgor (elastisitas kulit)

jaringan baik

Perfusi

Menunjukk
an pemahaman dalam proses
perbaikan kulit dan mencegah
terjadinya sedera berulang

Mampu
melindungi
kulit
dan
mempertahankan kelembaban kulit
dan perawatan alami

Menunjukk
an terjadinya proses penyembuhan
luka

Ajarkan pada keluarga tentang luka dan perawatan luka


Kolaburasi ahli gizi pemberian diae TKTP, vitamin
Cegah kontaminasi feses dan urin
Lakukan tehnik perawatan luka dengan steril
Berikan posisi yang mengurangi tekanan pada luka

DO:
-Gangguan pada bagian tubuh
-Kerusakan lapisa kulit (dermis)
-Gangguan permukaan kulit (epidermis)

Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi

Rencana keperawatan

Tujuan dan Kriteria Hasil

Intervensi

Risiko infeksi
Faktor-faktor risiko :
- Prosedur Infasif
- Kerusakan jaringan dan
peningkatan paparan lingkungan
- Malnutrisi
- Peningkatan paparan
lingkungan patogen
- Imonusupresi
- Tidak adekuat pertahanan
sekunder (penurunan Hb, Leukopenia,
penekanan respon inflamasi)
- Penyakit kronik
- Imunosupresi
- Malnutrisi
- Pertahan primer tidak adekuat
(kerusakan kulit, trauma jaringan,
gangguan peristaltik)

NOC :
mmune Status
nowledge : Infection control

NIC :
I
K

R
isk control
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama pasien tidak mengalami infeksi
dengan kriteria hasil:

Klien bebas
dari tanda dan gejala infeksi

Menunjukka
n kemampuan untuk mencegah
timbulnya infeksi

Jumlah
leukosit dalam batas normal

Menunjukka
n perilaku hidup sehat

Status imun,
gastrointestinal, genitourinaria dalam
batas normal

Pertahankan teknik aseptif


Batasi pengunjung bila perlu
Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai dengan petunjuk umum
Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing
Tingkatkan intake nutrisi
Berikan terapi antibiotik:.................................
Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
Pertahankan teknik isolasi k/p
Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase
Monitor adanya luka
Dorong masukan cairan
Dorong istirahat
Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
Kaji suhu badan pada pasien neutropenia setiap 4 jam

DAFTAR PUSTAKA

Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah,


edisi 8 vol.3. EGC. Jakarta
Carpenito, LJ. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi
6 . Jakarta: EGC
Doengoes, M.E., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.
Ircham Machfoedz, 2007. Pertolongan Pertama di Rumah, di Tempat
Kerja, atau di Perjalanan.Yogyakarta: Fitramaya
Johnson,
M., et
all. 2000. Nursing
Outcomes
Classification
(NOC) Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3.
Jakarta: Media Aesculapius
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification
(NIC) Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 20052006. Jakarta: Prima Medika
Smeltzer, S.C., 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC,
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai