NIM : P07520217007
A. KONSEP DASAR
1. DEFENISI
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kantinuitas tulang dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya ( Brunner & Suddarth, 2005 dalam Wijaya dan putri,
2013). Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang itu sendiri dan
jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu
lengkap atau tidak lengkap (Price dan Wilson, 2006).
Menurut Rasjad (2015), fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang
rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun yang persial.
Fraktur adalah keadaan dimana tulang mengalami retak atau patah (Triono puji &
murinto,2015). Fraktur merupakan suatu kondisi terputusnya kontinuitas jaringan
tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh rudapaksa, dapat berupa trauma
langsung dan trauma tidak langsung (Primarta Mesuri Rosalina dkk, 2014).
2. ANATOMI FISIOLOGI
Tulang adalah jaringan yang kuat dan tangguh yang memberi bentuk pada
tubuh. Skelet atau kerangka adalah rangkaian tulang yang mendukung dan
melindungi organ lunak, terutama dalam tengkorak dan panggul. Tulang
membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat untuk
melekatnya otot-otot yang menggerakan kerangka tubuh. Tulang juga merupakan
tempat primer untuk menyimpan dan mengatur kalsiumdan fosfat (Price dan
Wilson, 2006). Berikut adalah gambar anatomi tulang manusia :
Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat
untuk melekatnya otot-otot yang menggerakan kerangka tubuh. Tulang juga
merupakan tempat primer untuk menyimpan dan mengatur kalsium dan fhosfat.
Tulang rangka orang dewasa terdiri atas 206 tulang. Tulang adalah jaringan hidup
yang akan suplai syaraf dan darah. Tulang banyak mengandung bahan kristalin
anorganik (terutama garam- garam kalsium ) yang membuat tulang keras dan
kaku., tetapi sepertiga dari bahan tersebut adalah fibrosa yang membuatnya kuat
dan elastis (Price dan Wilson, 2006).
Tulang ekstrimitas bawah atau anggota gerak bawah dikaitkan pada batang
tubuh dengan perantara gelang panggul terdiri dari 31 pasang antra lain: tulang
koksa, tulang femur, tibia, fibula, patella, tarsalia, meta tarsalia, dan falang (Price
dan Wilson, 2006).
a. Tulang Koksa (tulang pangkal paha) OS koksa turut membentuk gelang
panggul, letaknya disetiap sisi dan di depan bersatu dengan simfisis pubis dan
membentuk sebagian besar tulang pelvis.
b. Tulang Femur ( tulang paha) Merupakan tulang pipa dan terbesar di dalam
tulang kerangka pada bagian pangkal yang berhubungan dengan asetabulum
membentuk kepala sendi yang disebut kaput femoris, disebelah atas dan
bawah dari kolumna femoris terdapat taju yang disebut trokanter mayor dan
trokanter minor. Dibagian ujung membentuk persendian lutut, terdapat dua
buah tonjolan yang disebut kondilus lateralis dan medialis. Diantara dua
kondilus ini terdapat lakukan tempat letaknya tulang tempurung lutut (patella)
yang di sebut dengan fosa kondilus.
c. Osteum tibialis dan fibularis (tulang kering dan tulang betis)
Merupakan tulang pipa yang terbesar sesudah tulang paha yang membentuk
persendian lutut dengan OS femur, pada bagian ujungnya terdapat tonjolan
yang disebut OS maleolus lateralis atau mata kaki luar. OS tibia bentuknya
lebih kecil dari pada bagian pangkal melekat pada OS fibula pada bagian
ujung membentuk persendian dengan tulang pangkal kaki dan terdapat taju
yang disebut OS maleolus medialis.
3. PATOFISIOLOGI
Fraktur gangguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma gangguan
adanya gaya dalam tubuh yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolik,
patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang terbuka ataupun
tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan pendarahan, maka
volume darah menurun. COP menurun maka terjadi perubahan perfusi jaringan.
Hematoma akan mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi edem lokal maka
penumpukan di dalam tubuh. Fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut
saraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat
mengenai tulang dan dapat terjadi neurovaskuler yang menimbulkan nyeri gerak
sehingga mobilitas fisik terganggu. Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai
jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan
udara luar dan kerusakan jaringan lunak akan mengakibatkan kerusakan integritas
kulit. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma gangguan
metabolic, patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Pada umumnya pada
pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan dilakukan imobilitas yang bertujuan
untuk mempertahanakan fragmen yang telah dihubungkan, tetap pada tempatnya
sampai sembuh. (Sylvia, 2006 :1183).
Jejas yang ditimbulkan karena adanya fraktur menyebabkan rupturnya
pembuluh darah sekitar yang dapat menyebabkan terjadinya pendarahan. Respon
dini terhadap kehilangan darah adalah kompensasi tubuh, sebagai contoh
vasokontriksi progresif dari kulit, otot dan sirkulasi visceral. Karena ada cedera,
respon terhadap berkurangnya volume darah yang akut adalah peningkatan detah
jantung sebagai usaha untuk menjaga output jantung, pelepasan katekolamin-
katekolamin endogen meningkatkan tahanan pembuluh perifer. Hal ini akan
meningkatkan tekanan darah diastolik dan mengurangi tekanan nadi (pulse
pressure), tetapi hanya sedikit membantu peningkatan perfusi organ. Hormon-
hormon lain yang bersifat vasoaktif juga dilepaskan ke dalam sirkulasi sewaktu
terjadinya syok, termasuk histamin, bradikinin beta-endorpin dan sejumlah besar
prostanoid dan sitokin-sitokin lain. Substansi ini berdampak besar pada mikro-
sirkulasi dan permeabilitas pembuluh darah. Pada syok perdarahan yang masih
dini, mekanisme kompensasi sedikit mengatur pengembalian darah (venous
return) dengan cara kontraksi volume darah didalam system vena sistemik. Cara
yng paling efektif untuk memulihkan krdiak pada tingkat seluler, sel dengan
perfusi dan oksigenasi tidak adekuat tidak mendapat substrat esensial yang sangat
diperlukan untuk metabolisme aerobik normal dan produksi energi. Pada keadaan
awal terjadi kompensasi dengan berpindah ke metabolisme anaerobik,
mengakibatkan pembentukan asam laknat dan berkembangnya asidosis metabolik.
Bila syoknya berkepanjangan dan penyampaian substrat untuk pembentukan ATP
(adenosine triphosphat) tidak memadai, maka membrane sel tidak dapat lagi
mempertahankan integritasnya dan gradientnya elektrik normal hilang.
Pembengkakan reticulum endoplasmic merupakan tanda ultra struktural pertama
dari hipoksia seluler setelah itu tidak lama lagi akan cedera mitokondrial.
Lisosom pecah dan melepaskan enzim yang mencernakan struktur intra-seluler.
Bila proses ini berjalan terus, terjadilah pembengkakan sel . juga terjadi
penumpukan kalsium intra-seluler. Bila proses ini berjalan terus, terjadilah cedera
seluler yang progresif, penambahan edema jaringan dan kematian sel. Proses ini
memperberat dampak kehilangan darah dan hipoperfusi.
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patah dan
kedalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut. Jaringan lunak juga biasanya
mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur.
Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi sehingga menyebabkan
peningkatan aliran darah ketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa
sel mati dimulai. Ditempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan
berfungsi sebagai jala-jala untuk melakukan aktivitas astoeblast terangsang dan
terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan
sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati.
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan
dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah
ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah
total dapat berakibat anoreksia jaringan yang mengakibatkan rusaknya serabut
saraf meupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen
(Brunner & Suddarth, 2005).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak
seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot,
ligament dan pembuluh darah ( Smeltzer dan Bare, 2001). Pasien yang harus
imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi antara lain : nyeri,
iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri
dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan
kemampuan prawatan diri (Carpenito, 2007). Reduksi terbuka dan fiksasi interna
(ORIF) fragmen- fragmen tulang di pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku.
Namun pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan
itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya
tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan
selama tindakan operasi (Price dan Wilson, 2006).
4. PATHWAY
Fraktur
Ketidakefektifan perfusi
Putus vena / arteri Kerusakan integritas kulit jaringan perifer
a. Ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar yaitu:
- Patah tulang tertutup
- Patah tulang terbuka yang memungkinkan kuman dari luar dapat masuk
kedalam luka sampai ketulang yang patah. Patah tulang terbuka dibagi
menjadi tiga derajat yang ditentukan oleh berat ringannya patah tulang.
b. Patah tulang menurut garis fraktur
- Fisura tulang disebabkan oleh cedera tulang hebat atau oleh cedera terus
menerus yang cukup lama seperti juga ditemukan pada retak stres pada
struktur logam
- Patah tulang serong
- Patah tulang lintang
- Patah tulang kuminutif oleh cedera hebat
- Patah tulang segmental karena cedera hebat
- Patah tulang dahan hijau : periost tetap utuh
- Patah tulang kompresi akibat kekuatan besar pada tulang pendek atau
epifisis tulang pipa
- Patah tulang impaksi, kadang juga disebut inklavsi
- Patah tulang impresi
- Patah tulang patologis akibat tumor tulang atau proses destruktif lain.
6. ETIOLOGI
Menurut Brunner & Suddarth (2005) fraktur dapat disebabkan oleh pukulan
langsung, gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan bahakan kontraksi
otot ekstremitas, organ tubuh dapat mengalami cedera akibat gaya yang
disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang.
7. MANISFESTASI KLINIS
Manifestasi fraktur menurut Brunner & Suddarth (2005) adalah nyeri, hilangnya
fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan local dan
perubahan warna.
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fregmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian – bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid
seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai
menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bias
diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas
tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melengketnya otot.
c. Pada fraktur panjang, terjadinya pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas atau dibawah tempat fraktur. Fraktur
sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1-2 inci).
d. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya.
e. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Menurut Doenges dalam Jitowiyono (2010:21). Beberapa pemeriksaan yang dapat
dilakukan pada klien dengan fraktur, diantranya:
a. Pemeriksaan rontgen : menetukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
b. Scan tulang, scan CT/MRI: memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan
untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d. Hitung darah lengkap: HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur) perdarahan bermakna pada
sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel.
e. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi
multipel, atau cidera hati. Golongan darah, dilakukan sebagai persiapan
transfusi darah jika ada kehilangan darah yang bermakna akibat cedera atau
tindakan pembedahan.
9. PENATALAKSANAAN
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi dan pengembalian
fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi. Reduksi fraktur berarti
mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode
untuk mencapai reduksi fraktur adalah dengan reduksi tertutup, traksi, dan reduksi
terbuka. Metode yang dipilih untuk mereduksi fraktur bergantung pada sifat
frakturnya.
Pada kebanyakan kasus reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan
fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan
manipulasi dan traksi manual. Selanjutnya traksi dapat dilakukan untuk
mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan
spasme otot yang terjadi. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka,
dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam
bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya samapai penyembuhan tulang
solid terjadi. Tahapan selanjutnya setelah fraktur direduksi adalah
mengimobilisasi dan mempertahankan fragmen tulang dalam posisi dan
kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan
dengan fiksasi interna dan fiksasi eksterna. Metode fiksasi eksterna meliputi
pembalutan, gips, bidai, traksi kontin, pin dan teknik gips. Sedangkan implant
logam digunakan untuk fiksasi interna.
Mempertahankan dan mengembalikan fragmen tulang dapat dilakukan dengan
reduksi dan imobilisasi. Pantau status neurovaskuler, latihan isometrik, dan
memotivasi klien untuk berpartisipasi dalam memperbaiki kemnadirian dan harga
diri (Brunner & Suddarth, 2005).
Prinsip penanganan fraktur dikenal dengan empat R yaitu:
a. Rekognisi adalah menyangkut diagnosis fraktur pada tempat kejadian dan
kemudian dirumah sakit.
b. Reduksi adalah usaha dan tindakan memanipulasi fragmen-fragmen tulang
yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak asalnya.
c. Retensi adalah aturan umum dalam pemasangan gips, yang dipasang untuk
mempertahankan reduksi harus melewati sendi diatas fraktur dan dibawah
fraktur.
d. Rehabilitasi adalah pengobatan dan penyembuhan fraktur (Price, 2006).
10. KOMPLIKASI
2. Pengkajian Primer
Menurut Paul Krisanty (2016) Setelah pasien sampai di Instalasi
Gawat Darurat (IGD) yang pertama kali harus dilakukan adalah
mengamankandanmengaplikasikan prinsipAirway, Breathing, Circulation,
DisabilityLimitation, Exposure (ABCDE).
a. Airway : Penilaian kelancaran airway pada klien yang mengalami fraktur
meliputi, pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan
benda asing, fraktur wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau
trachea. Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebral
servikal karena kemungkinan patahnya tulang servikal harus selalu
diperhitungkan. Dalam hal ini dapat dilakukan chin lift, tetapi tidak boleh
melibatkan hiperektensi leher.
b. Breathing : Setelah melakukan airway kita harus menjamin ventilasi yang
baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada
dan diafragma. Dada klien harus dibuka uantuk melihat pernapasan yang baik.
c. Circulation : Kontrol perdarahan vena dengan menekan langsung sisi area
perdarahan bersamaan dengan tekanan jari pada arteri paling dekat dengan
perdarahan. Curiga hemoragi internal (pleural, parasardial, atau abdomen)
pada kejadian syok lanjut dan adanya cidera pada dada dan abdomen. Atasi
syok, dimana klien dengan fraktur biasanya mengalami kehilangan darah. Kaji
tanda- tanda syok yaitu penurunan tekanan darah, kulit dingin, lembab dan
nadi halus.
d. Disability :kaji kedaan neurologis secara cepat yang dinilai adalah tingkat
kesadaran (GCS), ukuran dan reaksi pupil. Penurunan kesadaran dapat
disebabkan penurunan oksigen dan penurunan perfusi ke otak, atau disebabkan
perlukaan pada otak. Perubahan kesadaran menuntut dilakukannya
pemeriksaan terhadap keadaan ventilasi, perfusi dan oksigenasi.
e. Exsposure : jika exsposure dilakukan di Rumah Sakit, tetapi jika perlu dapat
membuka pakaian, misalnya membuka baju untuk melakukan pemeriksaan
fisik thoraks. Di Rumah Sakit klien harus di buka seluruh pakaiannya, untuk
evaluasi klien. Setelah pakain dibuka, penting agar klien tidak kedinginan
klien harus diberikan slimut hangan, ruangan cukup hangat dan diberikan
cairan intravena.
3. Pengkajian Sekunder
Bagian dari pengkajian sekunder pada pasien cidera muskuloskeletal
adalah anamnesis danpemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder adalah
mencari cidera - cidera lain yang mungkin terjadi pada pasien sehingga tidak
satupun terlewatkan dan tidak terobati. Apabila pasien sadar dan dapat
berbicara maka kita harus mengambil riwayat AMPLE daripasien, yaitu
Allergies, Medication, Past Medical History, Last Ate dan Event (kejadian
atau mekanisme kecelakaan). Mekanisme kecelakaan penting untuk
ditanyakan untuk mengetahui dan memperkirakan cedera apa yang dimiliki
oleh pasien, terutama jika kita masih curiga ada cidera yang belum diketahui
saat primary survey, Selain riwayat AMPLE, penting juga untuk mencari
informasi mengenai penanganan sebelum pasien sampai di rumah sakit. Pada
pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang penting untuk dievaluasi adalah
(1) kulit yang melindungi pasien dari kehilangan cairan dan infeksi,
(2) fungsi neuromuskular
(3) status sirkulasi,
(4) integritas ligamentum dan tulang.
Cara pemeriksaannya dapat dilakukan dengan Look, Feel, Move. Pada
Look, kita menilai warna dan perfusi, luka,deformitas, pembengkakan, dan
memar. Penilaian inspeksi dalam tubuh perlu dilakukan untuk menemukan
pendarahan eksternal aktif, begitu pula dengan bagian punggung. Bagian distal
tubuh yang pucat dan tanpa pulsasi menandakan adanya gangguan
vaskularisasi. Ekstremitas yang bengkak pada daerah yang berotot
menunjukkan adanya crush injury dengan ancaman sindroma kompartemen.
Pada pemerikasaan Feel, kita menggunakan palpasi untuk memeriksa daerah
nyeri tekan, fungsi neurologi, dan krepitasi.Pada periksaan Move kita
memeriksa Range of Motion dan gerakan abnormal. Pemeriksaan sirkulasi
dilakukan dengan cara meraba pulsasi bagian distal dari fraktur danjuga
memeriksa capillary refill pada ujung jari kemudian membandingkan sisi yang
sakit dengan sisi yang sehat. Jika hipotensi mempersulit pemeriksaan pulsasi,
dapat digunakan alat Doppler yang dapat mendeteksi aliran darah di
ekstremitas. Pada pasien dengan hemodinamik yang normal, perbedaan
besarnya denyut nadi, dingin, pucat, parestesi danadanya gangguan motorik
menunjukkan trauma arteri. Selain itu hematoma yang membesar atau
pendarahan yang memancar dari luka terbuka menunjukkan adanya
traumaarteria. Pemeriksaan neurologi juga penting untuk dilakukan mengingat
cedera muskuloskeletal juga dapat menyebabkan cedera serabut syaraf dan
iskemia sel syaraf. Pemeriksaan fungsi syaraf memerlukan kerja sama pasien.
Setiap syaraf perifer yang besar fungsi motoris dan sensorisnya perlu diperiksa
secara sistematik.
4. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada pasien fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lama serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri di gunakan:
a. Provoking Incident : Apakah ada peristiwa yang menjadi faktor presitasi
nyeri.
b. Quality Of Pain : Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan. Apakah seperti
terbakar, berdenyut atau menusuk.
c. Region : Apakah rasaa sakit bias reda, apakah rasa sakit menjalar atau
menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d. Severity (scalr) Of Pain : Seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien,
bisa berdasarkan skala nyeri atau menerangkkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e. Time : Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari.
8. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : dikaji GCS klien
b. System Integumen : kaji ada tidaknya eritema, bengkak, oedema, nyeri
tekan.
c. Kepala : kaji bentuk kepala, apakah terdapat benjolan, apakah ada nyeri
kepala
d. Leher : kaji ada tidaknya penjolan kelenjar tiroid, dan reflek menelan.
e. Muka : kaji ekspresi wajah klien wajah, ada tidak perubahan fungsi
maupun bentuk. Ada atau tidak lesi, ada tidak oedema.
f. Mata : kaji konjungtiva anemis atau tidak (karena tidak terjadi
perdarahan).
g. Telinga : kaji ada tidaknya lesi, nyeri tekan, dan penggunaan alat bantu
pendengaran.
h. Hidung : kaji ada tidaknya deformitas, dan pernapasan cuping hidung.
i. Mulut dan Faring : kaji ada atau tidak pembesaran tonsil, perdarahan gusi,
kaji mukosa bibir pucat atau tidak.
j. Paru :
1) Inspeksi : kaji ada tidaknya pernapasan meningkat.
2) Palpasi : kaji pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
3) Perkusi : kaji ada tidaknya redup atau suara tambahan.
4) Auskultasi : kaji ada tidaknya suara nafas tambahan.
k. Jantung
1) Inspeksi : kaji ada tidaknya iktus jantung.
2) Palpasi : kaji ada tidaknya nadi meningkat, iktus teraba atau tidak.
3) Perkusi : kaji suara perkusi pada jantung
4) Auskultasi : kaji adanya suara tambahan
l. Abdomen
1) Inspeksi : kaji kesimetrisan, ada atau tidak hernia
2) Auskultasi : kaji suara Peristaltik usus klien
3) Perkusi : kaji adanya suara
4) Palpasi : ada atau tidak nyeri tekan
m. Ekstremitas
1) Atas : kaji kekuatan otot, rom kanandan kiri, capillary refile,
perubahan bentuk tulang
2) Bawah : kaji kekuatan otot, rom kanan dan kiri, capillary refile, dan
perubahan bentuk tulang
2. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostik pada klien fraktur dapat berupa:
a. Pemeriksaan Rontgen: menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma, dan jenis
fraktur.
b. Scan tulang, tomogram, CT Scan/MRI: memperlihatkan tingkat keparahan
fraktur, juga dapat untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram: dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vascular.
d. Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada multiple
trauma). Peningkatan jumlah SDP adalah proses stress normal setelah trauma.
e. Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
f. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi
multiple atau cedera hati (Ningsih,2009)
3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Menurut NANDA (2015) diagnose keperawatan yang di tegakkan pada klien
dengan fraktur meliputi :
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (00132).
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskuler,
nyeri, penurunan kekuatan otot (00085)
c. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan pada tonjolan
tulang (00047).
d. Resiko infeksi berhubungan dengan gangguan intregritas kulit (kerusakan
kulit, trauma jaringan lunak, prosedur invasif/ traksi tulang) (00004)
4. INTERVENSI
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (00132).
Tujuan : diharapkan nyeri berkurang
Kriteria hasil : Menyatakan nyeri berkurang, menunjukkan tindakan santai,
mampu berprtisipasi dalam beraktivitas.
Intervensi :
1) Kaji nyeri klien
2) Lakukan tindakan untuk meningkatkan kenyamanan (masase, perubahan
posisi)
3) Lakukan kompres air dingin selama fase akut 24-48 jam pertama) sesuai
keperluan.
4) Kolaborasi pemberian analgesik sesuai indikasi
√
o Rambut : t.a.k Kotor Berminya Kering Rontok
o Muka : √ t.a.k Asimetris Bells palsy Tic facialis
o Mata : √ t.a.k Ggn.Penglihatan Sklera anemis
Konjungtivitas
an isokor midriasis/miosis tidak ada reaksi cahaya
lain-lain :
√
o Hidung : t.a.k asimetris epistaksis lain-lain
o Mulut : √
√ t.a.k asimetris simetris √ bibir pucat
Kelainan congenital lain-lain
√
o Lidah : t.a.k kotor mukosa kering gerakan asimetris
o Tenggorokan : √ t.a.k faring merah sakit menelan tonsil
membesar
Lain-lain :
………………………………………………………………………
lain-lain :
Atas kanan
a. laboratorium
b.rontgen
5. Rumusan Masalah :
c. Klien mengatakan bagian pergelangan tangan klien terdapat luka terbuka dan merasa
sakit
C. DAFTAR PUSTAKA
Ariyanto. 2016. ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN FRAKTUR.Diakses dari :
file:///C:/Users/User/Downloads/ASUHAN_KEPERAWATAN_KLIEN_DENGAN_FRAKT
UR.pdf. Diakses tanggal 1 oktober 2020.
Eka. 2017. ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN.Y DAN TN.F YANG MENGALAMI
FRAKTUR DENGAN NYERI AKUT DI RUANG IGD RSUD Dr.MOEWARDI SURAKARTA.
Dari : http://digilib.ukh.ac.id/repo/disk1/31/01-gdl-haryatieka-1523-1-p14022-h-i.pdf.
Diakses tanggal 1 oktober 2020
Wijaya AS dan Putri YM. 2013. KMB 2 Keperawatan Medikal Bedah (Keperawatan
Dewasa). Yogyakarta: Nuha Medika.
ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PADA TN.F DENGAN
GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKLETAL : FRAKTUR
1. PENGKAJIAN
A. IDENTITAS KLIEN
- Nama : Tn. F
- Umur : 20 Tahun
- Agama : Islam
- Pendidikan : Mahasiswa
- Pekerjaan :-
- Status perkawinan : Belum menikah
- Alamat : jalan sentosa, kelurahan dendang
- Suku bangsa : Indonesia
- No registrasi : 01380087
- Diagnosa medis : Open Fraktur Radius Dekstra & Sinestra
B. RIWAYAT PENYAKIT
- Keluhan Utama
Pasien mengatakan tangan kanan dan kiri terasa sakit dan pergelangan tangan
dua-duanya sulit di gerakkan.
Airway
Jalan nafas paten, tidak ada lidah jatuh kebelakang, tidak adanya benda
asing pada jalan nafas, tidak ada edema pada mulut, tidak ada nyeri telan.
Breathing
Circulation
Disability
Exprosure
Kondisi klien aman, klien berada di IGD untuk dilakukan tindakan.
D. SEKUNDER PRIMARY
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Serologi Hepatitis
HBSAg Rapid Non Reactive Non Reactive
F. HASIL RONTGEN
Hasil:
KESIMPULAN :
- Fraktur 1/3 distal OS radius et ulna kanan
- Fraktur 1/3 distal OS radius kiri
- Soft tissue swelling region wirst joint kanan dan kiri
G. THERAPY
Cairan IV
Nacl 0,9% 20tpm Cairan elektrolit
Obat parenteral
Inj. Ranitidin 50mg Antasida
Inj. Cefazolin 1gr Antibiotik
Inj. Metamizol 1gr Anti inflamasi
ANALISA DATA
DO:
- Klien tampak lemas
- Klien tampak meringis kesakitan
TD: 140/90 mmHg
N: 100x/menit
S: 36,4
PELAKSANAAN / IMPLEMENTASI
S:
Klien bersedia
mengikuti saat
di ajari
1 O:
Mengobservasi Tanda-tanda vital Klien tampak
mengikuti apa
yang di ajarkan
oleh perawat
S:
Klien bersedia
O:
TD:140/90
mmHg
N:100x/menit
S:36,4
RR:22x/menit
S: Skala nyeri 8
T: Hilang timbul
P:Lanjut intervensi
- Observasi TTV
- Kaji skala nyeri
- Ajarkan teknik relaksa
P: Lanjut intervensi
P: Lanjutkan intervensi