FRAKTUR
Fajar Prakarsa W
2006539512
Tiga jenis jaringan tulang rawan adalah hialin, elastis, dan berserat. Tulang rawan hialin,
yang paling umum, mengandung serat kolagen dalam jumlah sedang. Ini ditemukan di
trakea, bronkus, hidung, lempeng epifisis, dan permukaan artikular tulang. Tulang rawan
elastis, yang mengandung kolagen dan serat elastis, lebih fleksibel daripada tulang rawan
hialin. Ini ditemukan di telinga, epiglottis, dan laring. Tulang rawan berserat
(fibrocartilage) sebagian besar terdiri dari serat kolagen dan merupakan jaringan keras yang
sering berfungsi sebagai peredam kejut. Ini ditemukan di antara cakram tulang belakang
dan juga membentuk bantal pelindung antara tulang-tulang panggul, lutut, dan bahu.
Tulang rawan pada sendi sinovial berfungsi sebagai pendukung untuk jaringan lunak dan
menyediakan permukaan artikular untuk pergerakan sendi. Ini melindungi jaringan di
bawahnya. Tulang rawan di lempeng epifisis juga terlibat dalam pertumbuhan tulang
panjang sebelum kematangan fisik tercapai. Karena tulang rawan artikular dianggap
avaskular, ia harus menerima makanan dengan difusi bahan dari cairan sinovial.
Kurangnya pasokan darah langsung berkontribusi pada metabolisme sel kartilago yang
lambat dan menjelaskan mengapa penyembuhan dan perbaikan jaringan tulang rawan
terjadi secara perlahan.
Tiga jenis jaringan otot adalah otot jantung (lurik, tak disengaja), halus (tidak diluruskan,
tak disengaja), dan otot rangka (lurik, sukarela). Otot jantung ditemukan di jantung.
Kontraksi spontan mendorong darah melalui sistem peredaran darah. Otot polos terjadi di
dinding struktur berongga seperti saluran udara, arteri, saluran pencernaan (GI), kandung
kemih, dan rahim. Kontraksi otot polos dimodulasi oleh pengaruh neuronal dan hormonal.
Otot rangka, yang membutuhkan stimulasi neuron untuk kontraksi, menyumbang sekitar
setengah dari berat tubuh manusia.
Ligamen dan tendon keduanya tersusun dari jaringan ikat padat dan berserat yang
mengandung bundel serat kolagen yang dikemas rapat dalam bidang yang sama untuk
kekuatan tambahan. Tendon menempel otot ke tulang sebagai perpanjangan dari selubung
otot yang melekat pada periosteum. Ligamen menghubungkan tulang ke tulang (mis., Tibia
ke tulang paha di sendi lutut). Mereka memiliki konten elastis yang lebih tinggi daripada
tendon. Ligamen memberikan stabilitas sambil memungkinkan gerakan terkendali di sendi.
Ligamen dan tendon memiliki suplai darah yang relatif buruk, biasanya membuat
perbaikan jaringan menjadi lambat setelah cedera. Sebagai contoh, peregangan atau
robeknya ligamen yang terjadi dengan keseleo mungkin memerlukan waktu lama untuk
diperbaiki.
Fascia mengacu pada lapisan jaringan ikat dengan serat intermeshed yang dapat menahan
peregangan terbatas. Fasia superfisial terletak tepat di bawah kulit. Deep fascia adalah
jaringan padat dan berserat yang mengelilingi bundel otot, saraf, dan pembuluh darah. Ini
juga melingkupi otot-otot individu, memungkinkan mereka untuk bertindak secara
independen dan meluncur satu sama lain selama kontraksi. Selain itu, fasia memberikan
kekuatan pada jaringan otot.
Bursae adalah kantung kecil jaringan ikat yang dilapisi dengan membran sinovial dan
mengandung cairan sinovial kental. Mereka biasanya terletak di tonjolan tulang atau sendi
untuk meringankan tekanan dan mengurangi gesekan antara bagian yang bergerak.
Misalnya, bursae ditemukan antara patela dan kulit (prepatellar bursae), antara proses
olecranon dari siku dan kulit (olecranon bursae ), antara kepala humerus dan proses
acromion scapula (bursa subacromial), dan antara trokanter yang lebih besar dari tulang
paha proksimal dan kulit (trochanteric bursae). Bursitis adalah peradangan kantung bursa.
Peradangan mungkin akut atau kronis.
● Luas Fraktur
Komplit, patah dari seluruh garis tengah tulang, biasanya mengalami pergeseran
(bergeser dari posisi normal) dan tulang menjadi dua bagian yang terpisah.
Fraktur terbuka (compound fraktur) → fraktur dengan luka pada kulit atau
Fraktur tertutup (simple fraktur) → fraktur tidak melukai jaringan kulit dan
a. Fraktur kominutif → lebih dari satu garis fraktur, fragmen tulang pecah,
b. Fraktur segmental → bila garis patah lebih dari satu tetapi tidak satu ujung
yang tidak memiliki pembuluh darah menjadi sulit untuk sembuh dan
c. Fraktur multipel → garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang
2. Faktor Risiko
Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan fraktur antara lain dapat berasal dari
kondisi biologis maupun akibat aktivitas (Black & Hawks, 2014). Kondisi biologis dapat
berupa osteopenia (misalnya karena penggunaan steroid) atau osteogenesis imperfecta
(penyakit kongenital tulang yang dicirikan oleh gangguan produksi kolagen oleh
osteoblas). Hal ini dapat menyebabkan tulang menjadi rapuh dan patah. Faktor lainnya
yang dapat berpengaruh adalah kehilangan estrogen pascamenopause, penurunan massa
tulang akan meningkatkan risiko fraktur. Bagi sebagian orang yang sehat dan tidak
mengalami faktor yang berisiko pada fraktur, aktivitas fisik yang berisiko tinggi atau
aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan menjadi salah satu faktor predisposisi.
3. Etiologi
Fraktur terjadi karena kelebihan beban mekanisme pada suatu tulang, saat tekanan yang
diberikan pada tulang terlalu banyak dibandingkan yang mampu ditanggungnya (Black
& Hawks, 2014). Terdapat beberapa penyebab fraktur, diantaranya:
1) Trauma langsung/ direct trauma, yaitu apabila fraktur terjadi di tempat dimana
bagian tersebut mendapat ruda paksa (misalnya benturan, pukulan yang mengakibatkan
patah tulang).
2) Trauma yang tak langsung/ indirect trauma, misalnya penderita jatuh dengan lengan
dalam keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada pergelangan tangan.
3) Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal bila tulang tersebut lunak (misalnya
oleh tumor) atau tulang-tulang sangat rapuh / ada “underlying disease”.
1. Edema dan pembengkakan: Gangguan dan penetrasi tulang melalui kulit atau
jaringan lunak, atau perdarahan ke jaringan sekitarnya.
2. Nyeri dan tenderness (nyeri tekan): Spasme otot sebagai akibat dari tindakan
refleks otot yang tidak disengaja, trauma jaringan langsung, peningkatan tekanan
pada saraf, pergerakan bagian yang patah.
3. Otot tegang: Iritasi jaringan dan respon protektif terhadap cedera dan fraktur.
4. Kelainan bentuk: Posisi abnormal dari ekstremitas atau bagian sebagai akibat dari
kekuatan awal cedera dan aksi otot menarik fragmen ke posisi abnormal. Terlihat
sebagai hilangnya kontur tulang normal.
5. Ekimosis, Kontusio: Perubahan warna kulit akibat ekstravasasi darah di jaringan
subkutan.
6. Kehilangan fungsi: Gangguan tulang atau sendi, mencegah penggunaan fungsional
anggota badan atau bagian.
7. Krepitasi: Krepitasi dari fragmen tulang, menghasilkan sensasi bergerak.
IV. Patofisiologi
V. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi akibat dari fraktur, yaitu : (White, Duncan, & Baumle, 2013):
- Syok hipovolemik Perdarahan hebat dapat menyebabkan penurunan cairan tubuh.
- Infeksi Infeksi terjadi akibat fraktur terbuka yang meningkatkan risiko terjadinya kontaminasi
dari area luar dan dapat terjadi setelah proses operasi fraktur.
- Fat Embolism Hal ini berkaitan dengan fraktur tulang yang panjang, lebih dari satu (multiple)
atau cedera akibat hantaman/ pukulan. Pada cedera fraktur tersebut, gelembung lemak kecil /
small fat globules dilepaskan dari sumsum tulang dan memasuki venula / aliran darah pada
area cedera dan emboli lemak ini mengalir melalui sistem peredaran darah vena dan dapat
mengakibatkan penyumbatan pembuluh di paru sehingga meningkatkan distress pernapasan.
- Kompartemen sindrom Merupakan kondisi dimana adanya peningkatan tekanan akibat
perdarahan dan adanya edema yang dapat menekan area kompartemen yang menyebabkan
tekanan kompartemen meningkat. Peningkatan tekanan tersebut menyebabkan penurunan
aliran darah yang parah ke area cedera dan menyebabkan terjadinya iskemik. Tekanan di
dalam kompartemen yang meningkat bisa berakibat pada penurunan mikrosirkulasi,
menyebabkan hipoksia-anoksia dan nekrosis saraf dan otot. Kehilangan fungsi yang permanen
dapat terjadi bila anoksia berlangsung hingga lebih dari 4 jam. Tanda sindrom kompartemen
ini dikenal dengan 6P yaitu: pain (early sign), paresthesia, pallor, poikilothermia, paralisis,
& pulselessness (late sign).
VI. Pengkajian
a. Keluhan utama
- Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi
nyeri.
- Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah
seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
- Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau
menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
- Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan
skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan
fungsinya.
- Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari
atau siang hari.
b. Riwayat
Mencakup bagaimana kronologi cedera sehingga perawat dapat menentukan kekuatan
yang terjadi dan bagian tubuh yang terdampak cedera.
c. Pemeriksaan fisik
- Sirkulasi : hipertensi (karena nyeri), takikardi, denyut nadi melemah, CRT > 3 detik,
kemerahan pada bagian fraktur, bengkak, hematoma pada lokasi injury
- Look (inspeksi ) :
● Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hiperpigmentasi.
● Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
● Posisi dan bentuk dari ekstremitas (deformitas)
● Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
- Feel (palpasi)
● Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. CRT <2 detik
● Apabila ada pembengkakan, cek edema terutama di sekitar persendian.
● Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau
distal).
● Otot : tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan yang terdapat di permukaan
atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler, mencakup
spasme otot, hilangnya sensasi atau gangguan pergerakan, paresthesia (kebas). Apabila
ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
- Move (pergerakan/lingkup gerak)
● Catat keluhan nyeri pada pergerakan, gerakan sendi (derajat dan arah), serta pergerakan
aktif dan pasif.
● Pemeriksaan ini untuk mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudah, serta menentukan
gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.
d. Pemeriksaan diagnostik
- Radiologi: Bayangan jaringan lunak, tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi
periosteum atau biomekanik atau juga rotasi
- Tomografi, MRI, bone scan, CT-Scan: visualisasi fraktur, perdarahan, kerusakan
jaringan lunak
- Arteriogram: melihat kerusakan pembuluh darah
- Laboratorium: serum kalsium dan fosfor, darah lengkap (hematokrit mungkin
meningkat berhubungan dengan perdarahan, Leukosit meningkat respon terhadap
trauma), faktor koagulasi (perubahan mungkin terjadi karena perdarahan).
Prioritas diagnosis:
e. Penatalaksanaan bedah
Reduksi terbuka merupakan penatalaksanaan pada kasus fraktur yang membutuhkan
intervensi bedah. Reduksi terbuka ini akan memasang internal fiksasi ada tulang
seperti pin, baut, paku, piringan, kabel dan batang stainless. Kekurangan dari
penatalaksanaan ini adalah meningkatkan risiko infeksi pada tulang seperti gangguan
sirkulasi, cedera pada jaringan saraf, pembuluh darah dan tulang.
f. Farmakologi
Pasien dengan fraktur akan diberikan obat pereda nyeri. Spasme otot biasanya terjadi
pada pasien dengan fraktur. Pasien akan diresepkan obat yang mengurangi spasme otot
seperti cyclobenzaprine hydrochloride (Flexeril). Obat yang dapat diresepkan pada
pasien fraktur adalah pelunak feses agar pasien tidak mengalami konstipasi akibat
imobilisasi fisik
Daftar Pustaka
Black, J.M. & Hawks, J.H. (2014). Medical Surgical Nursing; Clinical management for positive outcomes. (2009).
Singapura: Elsevier Pte Ltd
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., & Dochterman, J. M. (2013). Nursing international classification (NIC) (6th ed).
St. Louis: Mosby, Elsevier Inc.
Cooper, L., Ford, K. E., & Sammut, D. (2012). A modification of the collar-and-cuff sling to elevate the
hand. Techniques in hand & upper extremity surgery, 105–106. Retrieved from
https://doi.org/10.1097/BTH.0b013e31824e9f43
Cydulka, R., Fitch, M., Joing, S., Wang, V., Cline, D., & Ma, J. (2018). Tintinalli’s Emergency Medicine
Manual, 8th ed. New York: McGraw-Hill.
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Mur, A. C. (2010). Nursing care plans: guidelines for individualizing
client care across the life span (8th ed). Philadelphia: F. A. Davis Company.
Herdman, T.H., Kamitsuru, S. & Lopes, C. T. (2021). NANDA international nursing diagnoses: Definitions
& classification, 2021-2023, 12th ed. New York: Thieme Medical Publishers, Inc.
Jeong, Y. G., Jeong, Y. J., & Koo, J. W. (2017). The effect of an arm sling used for shoulder support on gait
efficiency in hemiplegic patients with stroke using walking aids. European journal of physical and
rehabilitation medicine, 410–415. Retrieved from https://doi.org/10.23736/S1973-9087.17.04425-2
Lenza, M., Taniguchi, L., & Ferretti, M. (2016). Figure-of-eight bandage versus arm sling for treating middle-
third clavicle fractures in adults: Study protocol for a randomised controlled trial. Trials. doi:10.1186/s13063-
016-1355-8
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (Eds.). (2013). Nursing outcome clasification (5 ed.).
USA: Elsevier.
Tortora, G. J., & Derrickson, B. (2014). Principles of Anatomy & Physiology 14th Edition. Hoboken: Wiley.
Suriya, M. & Zuriati. (2019). Buku ajar: Asuhan keperawatan medikal bedah gangguan pada sistem
muskuloskeletal aplikasi NANDA NIC & NOC. Padang: Pustaka Galeri Mandiri.
Wahyuni, T. D. (2021). Asuhan keperawatan gangguan sistem muskuloskeletal. Pekalongan: Nasya Expanding
Management.
White, L., Duncan, G., & Baumle, W. (2013). Medical-surgical nursing (3rd ed.). New York: Delmar,
Cengage Learning.