Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN KASUS ARTRITIS REUMATOID

Disusun Oleh :
Nama : Andra Esmeralda Rumlauna
Nim : A1C122039

CI LAHAN CI INSTITUSI
( ) ( )

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
UNIVERSITAS MEGAREZKY
2022/2023
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN ARTRITIS REUMATOID

A. Konsep Dasar
1. Definisi Artritis Reumatoid
Artritis reumatoid merupakan penyakit inflamasi sistemik kronik atau penyakit
autoimun dimana rheumatoid arthritis ini memiliki karakteristik terjadinya
kerusakan pada tulang sendi, ankilosis dan deformitas. Penyakit ini adalah salah satu
dari sekelompok penyakit jaringan penyambung difus yang diperantarai oleh
imunitas (Syamsuhidajat, 2016). Artritis reumatoid merupakan penyakit inflamasi
nonbakterial yang bersifat sistemik, progresif, cenderung kronik dan mengenai sendi
serta jaringan ikat sendi secara simetris. Persendian yang paling sering terkena
adalah sendi tangan, pergelangan kaki, sendi bahu serta sendi panggul dan biasanya
bersifat simetris atau bilateral, tetapi kadang juga bisa terjadi pada satu sendi saja
yang disebut dengan Arthritis Rheumatoid mono-artikular (Huda & Kusuma, 2017).
Artritis rheumatoid adalah penyakit peradangan kronis pada sendi yang tidak
diketahui penyebabnya dengan manifestasi seperti kelelahan, malaise, dan kekakuan
pada pagi hari. Artritis reumatoid dapat menyebabkan kerusakan pada sendi dan
sering menyebabkan morbiditas bahkan dapat menyebabkan kematian yang cukup
besar (Zairin, 2016).

2. Anatomi Fisiologi Artritis Reumatoid


Sendi merupakan pertemuan dua tulang, tetapi tidak semua pertemuan tersebut
memungkinkan terjadinya pergerakan. Ada tiga jenis sendi pada manusia dan
gerakan yang dimungkinkannya yaitu (Zairin, 2016):
a. Sendi fibrosa atau sendi mati terjadi bila batas dua buah tulang bertemu
membentuk cekungan yang akurat dan hanya dipusahkan oleh lapisan tipis
jaringan fibrosa. Sendi seperti ini terdapat di antara tulang-tulang kranium.
b. Sendi kartilaginosa atau sendi yang bergerak sedikit (sendi tulang rawan). Sendi
tulang rawan terjadi bila dua permukaan tulang dilapisis tulang rawan hialin dan
dan dihubungkan oleh sebuah bantalan fibrokartilago dan igamen yang tidak
membentuk sebuah kapsul sempurna disekeliling sendi tersebut. Sendi tersebut
terletak diantara badan-badan vertebra dan diantara manubrium dan badan
sternum.
c. Sendi sinovial atau sendi yang bergerak bebas terdiri dari dua atau lebih tulang
yang ujung-ujungnya dilapisi tulang rawan hialin sendi. Terdapat rogga sendi
yang mengandung cairan sinovial, yang memberi nutrisi pada tulang rawan
sendi yang tidak mengandung pembuluh darah keseluruhan sendi tersebut
dikelilingi kapsul fibrosa yang dilapisi membran sinovial. Membran sinovial ini
melapisi seluruh interior sendi, kecuali ujung-ujung tulang, meniskus, dan
diskus. Tulang-tulang sendi sinovial juga dihubungkan oleh sejumlah ligamen
dan sejumlah gerakan selalu bisa dihasilkan pada sendi sinovial meskipun
terbatas, misalnya gerak luncur (gliding) antara sendi-sendi metacarpal.
Adapun jenis-jenis sendi Sinovial:
1) Sendi pelana (hinge) memungkinkan gerakan hanya pada satu arah,
misalnya sendi siku.
2) Sendi pivot memungkinkan putaran (rotasi), misalnya antara radius dan
ulna pada daerah siku dan antara vertebrata servikal I dan II yang
memungkinkan gerakan memutar pada pergelakan tangan dan kepala.
3) Sendi kondilar merupakan dua pasangan permukaan sendi yang
memungkinkan gerakan hanya pada satu arah, tetapi permukaan sendi bisa
berada dalam satu kapsul atau dalam kapsul yang berbeda, misalnya sendi
lutut.
4) Sendi bola dan mangkuk (ball and socket) sendi ini dibentuk oleh sebuah
kepala hemisfer yang masuk ke dalam cekungan berbentuk mangkuk
misalnya sendi pinggul dan bahu.
d. Pergerakan sendi dibagi menjadi tiga macam yaitu (Zairin, 2016):
1) Gerakan meluncur, seperti yang diimplikasikan namanya, tanpa gerakan
menyudut atau memutar.
2) Gerakan menyudut memnyebabkan peningkatan atau penurunan sudut
diantara tulang. Gerakan ini mencangkup fleksi (membengkok), ekstensi
(lurus), abduksi (menjauhi garis tengah) dan aduksi (mendekati garis
tengah).
3) Gerakan memutar memungkinkan rotasi internal (memutar suatu bagian
pada porosnya mendekati garis tengah) dan rotasi eksterna (menjauhi garis
tengah). Sirkumduksi adalah gerakan ekstremitas yang membentuk suatu
lingkaran. Istilah supinasi dan pronasi merujuk pada gerakan memutar
telapak tangan keatas dan kebawah.
3. Etiologi Artritis Reumatoid
Penyebab dari artritis reumatoid hingga saat ini masih belum terungkap,
namun beberapa faktor resiko untuk timbulnya artritis reumatoid antara lain adalah
(Huda & Kusuma, 2017):
a. Umur
Dari semua faktor resiko untuk timbulnya rheumatoid arthritis, faktor ketuaan
adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya orteoartritis semakin meningkat
dengan bertambahnya umur. Rheumatoid arthritis hampir tak pernah pada anak-
anak, jarang pada umur dibawah 40 tahun dan sering pada umur diatas 60 tahun.
b. Jenis Kelamin
Wanita lebih sering terkena rheumatoid arthritis lutut dan sendi , dan lelaki lebih
sering terkena rheumatoid arthritis paha, pergelangan tangan dan leher. Secara
keeluruhan dibawah 45 tahun frekuensi rheumatoid arthritis kurang lebih sama
pada laki dan wanita tetapi diatas 50 tahun frekuensi rheumatoid arthritis lebih
banyak pada wanita dari pada pria hal ini menunjukkan adanya peran hormonal
pada patogenesis rheumatoid arthritis.
c. Genetic
Faktor herediter juga berperan pada timbulnya rheumatoid arthritis missal, pada
ibu dari seorang wanita dengan rheumatoid arthritis pada sendi-sendi inter
falang distal terdapat dua kali lebih sering rheumatoid arthritis pada sendi-sendi
tersebut, dan anakanaknya perempuan cenderung mempunyai tiga kali lebih
sering dari pada ibu dananak perempuan dari wanita tanpa rheumatoid arthritis.
d. Suku
Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada rheumatoid arthritis nampaknya
terdapat perbedaan diantara masing-masing suku bangsa, misalnya rheumatoid
arthritis paha lebih jarang diantara orang-orang kulit hitam dan usia dari pada
kaukasia.
e. Kegemukan
Berat badan yang berlebihan nyata berkaitan dengan meningkatnya resiko untuk
timbulnya rheumatoid arthritis baik pada wanita maupun pada pria. Kegemukan
ternyata tak hanya berkaitan dengan rheumatoid arthritis pada sendi yang
menanggung beban, tapi juga dengan rheumatoid arthritis sendi lain (tangan
atau sternoklavikula).
4. Patofisiologi Artritis Reumatoid
Sistem imun merupakan bagian pertahanan tubuh yang dapat membedakan
komponen self dan non-self. Pada kasus rheumatoid arthritis system imun tidak
mampu lagi membedakan keduanya dan menyerang jaringan synovial serta jaringan
penyokong lain. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim tersebut akan
memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membrane synovial dan
akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan
menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang
akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turut terkena karena serabut otot akan
mengalami perubahan degeneratif dengan menghilangnya elastisitas otot dan
kekuatan kontraksi otot (Aspiani, 2017).
Imflamasi mula-mula mengenai sendi-sendi synovial seperti edema, kongesti
vascular, eksudat fibrin, dan infiltrasi selular. Peradangan yang berkelanjutan,
synovial menjadi menebal, terutama pada sendi articular kartilago dari sendi. Pada
persendian ini granulasi membentuk pannus, atau penutup yang menutupi kartilago.
Pannus masuk ke tulang sub chondria. Jaringan granulasi menguat karena radang
menimbulkan gangguan pada nutrisi kartilago artikuler, sehingga kartilago menjadi
nekrosis. Tingkat erosi dari kartilago menentukan ketidakmampuan sendi.Bila
kerusakan kartilago sangat luas maka terjadi adhesi diantara permukaan sendi,
karena jaringan fibrosa atau tulang bersatu (ankilosis). Kerusakan kartilago dan
tulang menyebabkan tendon dan ligament menjadi lemah dan bisa menimbulkan
subluksasi atau dislokasi dari persendian. Keadaan seperti ini akan mengakibatkan
terjadinya nekrosis (rusaknya jaringan sendi), nyeri hebat dan deformitas (Aspiani,
2017).

5. Klasifikasi Artritis Reumatoid


Klasifikasi Artritis Reumatoid terdiri dari (Hembing, 2017):
a. Reumatoid arthritis klasik, pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan
gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu
6 minggu.
b. Reumatoid arthritis defisit, pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dangejala
sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalamwaktu 6
minggu.
c. Probable Reumatoid arthritis, pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda
dangejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit
dalamwaktu 6 minggu.
d. Possible Reumatoid arthritis, pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda
dangejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit
dalamwaktu 3 bulan.

6. Manifestasi Klinik Artritis Reumatoid


Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penyakit
rheumatoid arthritis. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang
bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi
(Aspiani, 2017).
a. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun
dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.
b. Polyarthritis simetris terutama pada sendi perifer, termaksud sendi-sendi di
tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs distal.
Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.
c. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam dapat bersifat generarisasi
terutama menyerang sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi pada
osteoarthritis, yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan
selalu kurang dari 1 jam.
d. Arthritis erosive merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologi.
Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang dan ini dapat
dilihat pada radiogram.
e. Deformitas kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan perjalanan
penyakit. Pergeseran subluksasi sendi metakarpofalangeal, deformitas
boutonniere dan leher angsa adalag beberapa deformitas tangan yang sering
dijumpai pada penderita. Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metatarsal
yang timbul sekunder dari subluksasi metatarsal. Sendi-sendi besar juga dapat
terserang dan mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam
melakukan gerak ekstensi.
f. Nodula-nodula rheumatoid arthritis adalah masa subkutan yang ditemukan pada
sekitar sepertiga orang dewasa penderita arthritis rheumatoid. Lokasi yang
paling sering dari deformitas ini adalah bursa olecranon (sendi siku) atau di
sepanjang permukaan ekstensor dari lengan, walaupun demikian nodula-nodula
ini dapat juga timbul pada tempat-tempat lainnya. Adanya nodula-nodula ini
biasanya merupakan suatu penyakit yang aktif dan lebih erat.
g. Manifestasi ekstra-artukular: arthritis rheumatoid juga dapat menyerang organ-
organ lain di luar sendi. Jantung (pericarditis), paru-paru (pleuritis), mata dan
pembuluh darah dapat rusak

7. Komplikasi Artritis Reumatoid


Komplikasi Rheumatoid Arthritis menurut Simanjuntak (2016), adalah :
a. Deformitas (pembesaran) pada bagian sendi.
b. Sendi yang terserang penyakit Rheumatoid Arthritis bisa menjadi cacat dan
akan menghambat kegiatan sehari-hari.
c. Neuropati perifer mempengaruhi saraf yang paling sering terjadi pada tangan
dan kaki mengakibatkan kesemutan, mati rasa, bahkan seperti rasa terbakar.
d. Osteoporosis.
e. Sendi menjadi kaku.
f. Dapat menimbulkan perubahan pada jaringan lain seperti adanya
prosesgranulasi di bawah kulit yang disebut subcutan nodule.
g. Pada otot dapat terjadi myosis, yaitu proses granulasi jaringan otot.
h. Pada pembuluh darah terjadi tromboemboli.
i. Tromboemboli adalah adanya sumbatan pada pembuluh darah yang disebabkan
oleh adanya darah yang membeku.
j. Terjadi splenomegali.
k. Slenomegali merupakan pembesaran limfa, jika limfa membesar
kemampuannya untuk menyebabkan berkurangnya jumlah sel darah putih dan
trombosit dalam sirkulasi menangkap dan menyimpan sel-sel darah akan
meningkat.

8. Pemeriksaan Diagnostik Artritis Reumatoid


a. Laboratorium
1) Penanda inflamasi: Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP)
meningkat
2) Rheumatoid Factor (RF): 80% pasien memiliki RF positif namun RF
negatif tidak menyingkirkan diagnosis
3) Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP): Biasanya digunakan dalam
diagnosis dini dan penanganan RA dengan spesifisitas 95-98% dan
sensitivitas 70% namun hubungan antara anti CCP terhadap beratnya
penyakit tidak konsisten
b. Radiologis
Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak, penyempitan ruang sendi,
demineralisasi “juxta articular”, osteoporosis, erosi tulang, atau subluksasi
sendi.
(Febriana, 2017).

9. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan Artritis Reumatoid


a. Penatalaksanaan Medis
1) Penggunaan OAINS
Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS) umunya diberikan pada
penderita AR sejak dini penyakit yang dimaksudkan untuk mengatasi nyeri
sendi akibat inflamasi yang sering kali dijumpai, walaupun belum terjadi
proliferasi sinovial yang bermakna. Selain dapat mengatasi inflamasi,
OAINS juga memberikan efek analgetik yang sangat baik. OAINS terutama
bekerja menghambat enzim siklooxygenase sehingga menekan sintesi
progtaglandin masih belum jelas apakah hambatan enzim siklooxygenase
juga berperan dalam hal ini akan tetapi jelas bahwa OAINS bekerja dengan
cara:
a) Memungkinkan stabilitas membran lisosomal.
b) Menghambat pembesaran dan aktivitas mediator imflamasi (histamin,
serotoin, enzim lisosomal dan enzim lainnya).
c) Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan
d) Menghambat proliferasi seluler
e) Menetralisirkan radikal oksigen
f) Menekan rasa nyeri.
2) Pengunaan DMARD
Terdapat dua cara pendekatan pemberian DMARD pada pengobatan
penderita AR. Cara pertama adalah pemberian DMARD tunggal yang
dimulai dari saat yang sangat dini, pendekatan ini didasarkan pada
pemikiran bahwa destruksi sendi pada AR terjadi pada masa dini penyakit.
Cara pendekatan lain adalah dengan menggunakan dua atau lebih DMARD
secara stimultan atau secara siklik seperti penggunaan obat-obatan
imunosuprensif pada pengobatan penyakit keganasan, digunakan untuk
melindungi rawan sendi dan tulang dari proses estruksi akibat artiris
rheumatoid. Beberapa jenis DMARD yang lazim digunakan untuk
pengobatan AR adalah:
a) Klorokuin
Dosis anjurkan klorokuin fosfat 250mg/hari hidrosiklorokuin
400mg/hari. Efek samping bergantung pada dosis harian, berupa
penurunan ketajaman penglihatan, dermatitis, makulopapular, nausea,
diare, dan anemia hemolitik.
b) Sulfazalazine:
Untuk pengobatan AR sulfazalazine dalam bentuk euteric coated
tabelet digunakan mulai dari dosis 1x500 mg/hari, untuk kemudian
ditingkatkan 500mg setiap minggu sampai mencapai dosis 4x500mg.
Setelah remisi tercapai dengan dosis 2g/hari, dosis diturunkan kembali
sehingga mencapai 1g/hari untuk digunakan dalam jangka panjang
sampai remisi sempurna terjadi.
c) Dpeicillamine
Dalam pengobatan AR. DP (Cuprimin 250mg Trolovol 300mg)
digunakan dalam dosis 1x250mg sampai 300mg/hari kemudian dosis
ditingkatkan setiap dua sampai 4 minggu sebesar 250 sampai 300
mg/hari untuk mencapai dosis total 4x250 sampai 300mg/hari.
3) Operasi
Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta
terdapat alasan yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan pembedahan.
Jenis pengobatan ini pada pasien AR umumnya bersifat ortopedik, misalnya
sinovektoni, artrodesis, total hip replacement, memperbaiki deviasi ulnar,
dan sebagainya.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Pendidikan yang diberikan meliputi pengertian, patofisiologi, (perjalanan
penyakit), penyebab dan perkiraan perjalanan (prognosis) penyakit ini,
semua komponen program penatalkansanaan termasuk regimen obat yang
kompleks, sumber bantuan untuk mengatasi penyakit ini dan metode efektif
tentang penatalksanaan yang diberikan oleh tim kesehatan. Proses
pendidikan ini harus di lakukan secara terus-menerus.
2) Istirahat, merupakan hal penting karena rematik biasanya disertai rasa lelah
yang hebat. Walaupun rasa lelah tersebut dapat saja timbul setiap hari,
tetapi ada masa dimana penderita merasa lebih baik atau lebih berat.
Penderita harus membagi waktu seharinya menjadi beberapa kali waktu
beraktivitas yang diikuti oleh masa istirahat.
3) Latihan Fisik dan Fisioterapi, latihan spesifik dapat bermanfaat dalam
memperthankan fungsi sendi. Latihan ini mencakup gerakan aktif dan pasif
pada semua sendi yang sakit, sedikitnya dua kali sehat. Obat untuk
menghilangkan nyeri diperlukan sebelum memulai latihan. Kompres panas
pada sendi yang sakit dan bengkak mungkin dapat mengurangi nyeri.
Latihan yang berlebihan dapat merusak struktur penunjang sendi yang
memang sudah lemah oleh adanya penyakit.
(Simanjuntak, 2016).

10. WOC (Web of Causation) Artritis Reumatoid


B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas klien
Identitas klien meliputi, nama, tempat/ tanggal lahir, umur, jenis kelamin,
perkerjaan, alamat, suku, bangsa, agama, tanggal masuk rumah sakit, diagnosa
medis, keluarga yang dapat dihubungi.
b. Keluhan utama
Nyeri sendi.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Mengapa pasien masuk rumah sakit dan apa keluhan utama pasien, sehingga
dapat ditegakkan prioritas masalah keperawatan yang dapat muncul.
d. Riwayat kesehatan dahulu
pernahkan pasien menderita penyakit yang sama atau yang lain sebelumnya.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah keluarga ada yang menderita penyakit yang di alami pasien atau tidak
f. Genogram
Petunjuk anggota keluarga klien.
g. Aktivitas/Istirahat
Gejala:
1) Sendi karena gerakan,
2) Nyeri tekan, memburuk dengan stress pada sendi: Kekakuan pada pagi hari.
3) Keletihan
Tanda:
1) Malaise
2) Keterbatasan rentang gerak; atrofi otot, kulit: kontraktur atau kelainan pada
sendi dan otot
h. Kardiovaskuler
Gejala:
1) Jantung cepat
2) Tekanan darah menurun
i. Integritas Ego
Gejala:
1) Faktor-faktor stress akut atau kronis, misalnya finansial, pekerjaan,
ketidakmampuan, faktor-faktor hubungan
2) Keputusasaan dan ketidak berdayaan
3) Ancaman pada konsep diri, citra tubuh, identitas pribadi misalnya
ketergantungan pada orang lain
j. Makanan Atau Cairan
Gejala:
1) Ketidakmampuan untuk menghasilkan/ mengkonsumsi makanan/ cairan
adekuat
2) mual.
k. Anoreksia
Gejala:
1) Kesulitan untuk mengunyah
Tanda:
1) Penurunan berat badan
2) Kekeringan pada membran mukosa
l. Hygiene
Gejala:
1) Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas pribadi
2) ketergantungan pada orang lain.
m. Neurosensori
Gejala:
1) Kebas/kesemutan pada tangan dan kaki
2) Hilangnya sensasi pada jari tangan
Tanda:
1) Pembengkakan sendi
n. Nyeri / Kenyamanan
Gejala:
1) Fase akut dari nyeri
2) Terasa nyeri kronis dan kekakuan
o. Keamanan
Gejala:
1) Kesulitan dalam menangani tugas/pemeliharaan rumah tangga
2) Kekeringan pada mata dan membran mukosa
p. Interaksi Sosial
Gejala:
1) Kerusakan interaksi dan keluarga / orang lain
2) Perubahan peran: isolasi

2. Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium
1) Penanda inflamasi: Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP)
meningkat
2) Rheumatoid Factor (RF): 80% pasien memiliki RF positif namun RF
negatif tidak menyingkirkan diagnosis
3) Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP): Biasanya digunakan dalam
diagnosis dini dan penanganan RA dengan spesifisitas 95-98% dan
sensitivitas 70% namun hubungan antara anti CCP terhadap beratnya
penyakit tidak konsisten
b. Radiologis
Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak, penyempitan ruang sendi,
demineralisasi “juxta articular”, osteoporosis, erosi tulang, atau subluksasi
sendi.

3. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah proses menganalisa data subjektif dan objektif yang
telah diperoleh pada tahap pengkajian untuk menegakkan diagnosa keperawatan.
Diagnosa keperawatan melibatkan proses berpikir kompleks tentang data yang
dikumpulkan dari klien, keluarga, rekam medis, dan pemberi pelayanan kesehatan
yang lain. Diagnosa keperawatan yang muncul yaitu:
a. Nyeri akut berhubungkan dengan agen pencedera, distensi jaringan oleh
akumulasi cairan/ proses inflamasi, destruksi sendi.
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas skeletal
c. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan bentuk tubuh pada tulang
dan sendi
d. Risiko cedera berhubungan dengan kelemahan fisik
e. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik

4. Rencana Keperawatan
Diagnosa Tujuan Intervensi
Nyeri akut berhubungkan 1. Keluhan nyeri 1. Identivikasi lokasi,
dengan agen pencedera, menurun. karakteristik, durasi,
distensi jaringan oleh 2. Meringis menurun frekuensi, kualitas,
akumulasi cairan/ proses 3. Sikap protektif dan intensitas nyeri.
inflamasi, destruksi sendi. menurun. 2. Identivikasi respon
4. Gelisah menurun nyeri non-verbal
3. Kontrol lingkungan
yang memperberat
rasa nyeri.
4. Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
5. Fasilitasi istirahat dan
tidur.
6. Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri.
7. Ajarkan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa
nyeri.
8. Kolaborasi pemberian
analgetik
Gangguan mobilitas fisik 1. Klien meningkat 1. Monitoring vital sign
berhubungan dengan dalam aktivitas fisik sebelm/sesudah
deformitas skeletal 2. Meningkatkan latihan dan lihat
kekuatan dan respon klien saat
kemampuan berpindah latihan
3. Memperagakan 2. Konsultasikan
penggunaan alat Bantu dengan terapi fisik
untuk mobilisasi tentang rencana
ambulasi sesuai
dengan kebutuhan
3. Bantu klien untuk
menggunakan
tongkat saat berjalan
dan cegah terhadap
cedera
4. Ajarkan klien atau
tenaga kesehatan lain
tentang teknik
ambulasi
5. Kaji kemampuan
klien dalam mobilisas
6. Latih klien dalam
pemenuhan
kebutuhan ADLs
secara mandiri sesuai
kemampuan
7. Dampingi dan Bantu
klien saat mobilisasi
dan bantu penuhi
kebutuhan ADLs ps.
8. Berikan alat Bantu
jika klien
memerlukan.
9. Ajarkan klien
merubah posisi dan
berikan bantuan jika
diperlukan
Gangguan citra tubuh 1. Body image positif 1. Kaji secara verbal
berhubungan dengan 2. Mendiskripsikan dan non-verbal
perubahan bentuk tubuh secara faktual respon klien terhadap
pada tulang dan sendi perubahan fungsi tubuhnya
tubuh 2. Monitor frekuensi
3. Mempertahankan mengkritik dirinya
interaksi sosial 3. Jelaskan tentang
pengobatan,
perawatan, kemajuan
dan prognosis
penyakit
4. Dorong klien
mengungkapkan
perasaannya
5. Identifikasi arti
pengurangan melalui
pemakaian alat bantu
6. Fasilitasi kontak
dengan individu lain
dalam kelompok
kecil
Risiko cedera 1. Klien terbebas dari 1. Sediakan lingkungan
berhubungan dengan cedera yang aman untuk klien
kelemahan fisik 2. Mampu memodifikasi 2. Identifikasi kebutuhan
gaya hidup untuk keamanan klien, sesuai
mencegah injury dengan kondisi fisik
3. Mampu mengenali dan fungsi kognitif
perubahan status klien dan riwayat
kesehatan penyakit terdahulu
klien
3. Hindarkan lingkungan
yang berbahaya
(misalnya
memindahkan
perabotan)
4. Pasang side rail tempat
tidur
5. Sediakan tempat tidur
yang nyaman dan
bersih
6. Tempatkan saklar
lampu ditempat yang
mudah dijangkau
klien.
7. Batasi pengunjung
8. Berikan penerangan
yang cukup
9. Menganjurkan
keluarga untuk
menemani klien.
10. Kontrol lingkungan
dari kebisingan
11. Pindahkan barang-
barang yang dapat
membahayakan
12. Berikan penjelasan
pada klien dan
keluarga atau
pengunjung adanya
perubahan status
kesehatan dan
penyebab penyakit.
Defisit perawatan diri 1. Klien terbebas dari bau 1. Monitor
berhubungan dengan badan kemempuan klien
kelemahan fisik 2. Menyatakan untuk perawatan diri
kenyamanan terhadap yang mandiri.
kemampuan untuk 2. Monitor kebutuhan
melakukan ADLs klien untuk alat-alat
3. Dapat melakukan bantu untuk
ADLS dengan bantuan kebersihan diri,
berpakaian, berhias,
toileting dan makan.
3. Sediakan bantuan
sampai klien mampu
secara utuh untuk
melakukan self-care.
4. Dorong klien untuk
melakukan aktivitas
sehari-hari yang
normal sesuai
kemampuan yang
dimiliki.
5. Dorong untuk
melakukan secara
mandiri, tapi beri
bantuan ketika klien
tidak mampu
melakukannya.
6. Ajarkan klien/
keluarga untuk
mendorong
kemandirian, untuk
memberikan
bantuan hanya jika
klien tidak mampu
untuk
melakukannya.
7. Berikan aktivitas
rutin sehari- hari
sesuai kemampuan -
Pertimbangkan usia
klien jika
mendorong
pelaksanaan
aktivitas sehari-hari.

5. Implementasi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Implementasi
Nyeri akut berhubungkan dengan agen 1. Mengidentivikasi lokasi,
pencedera, distensi jaringan oleh karakteristik, durasi, frekuensi,
akumulasi cairan/ proses inflamasi, kualitas, dan intensitas nyeri.
destruksi sendi. 2. Mengidentivikasi respon nyeri non-
verbal
3. Mengontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri.
4. Menjelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
5. Memfasilitasi istirahat dan tidur.
6. Menganjurkan memonitor nyeri
secara mandiri.
7. Mengajarkan teknik non
farmakologis untuk mengurangi rasa
nyeri.
8. MelakukankKolaborasi pemberian
analgetik
Gangguan mobilitas fisik berhubungan 1. Memonitoring vital sign
dengan deformitas skeletal sebelm/sesudah latihan dan lihat
respon klien saat latihan
2. Mengkonsultasikan dengan terapi
fisik tentang rencana ambulasi
sesuai dengan kebutuhan
3. Membantu klien untuk
menggunakan tongkat saat berjalan
dan cegah terhadap cedera
4. Mengajarkan klien atau tenaga
kesehatan lain tentang teknik
ambulasi
5. Mengkaji kemampuan klien dalam
mobilisas
6. Melatih klien dalam pemenuhan
kebutuhan ADLs secara mandiri
sesuai kemampuan
7. Mendampingi dan Bantu klien saat
mobilisasi dan bantu penuhi
kebutuhan ADLs ps.
8. Memberikan alat Bantu jika klien
memerlukan.
9. Mengajarkan klien merubah posisi
dan berikan bantuan jika diperlukan
Gangguan citra tubuh berhubungan 1. Mengkaji secara verbal dan non-
dengan perubahan bentuk tubuh pada verbal respon klien terhadap
tulang dan sendi tubuhnya
2. Memonitor frekuensi mengkritik
dirinya
3. Menjelaskan tentang pengobatan,
perawatan, kemajuan dan prognosis
penyakit
4. Mendorong klien mengungkapkan
perasaannya
5. Menidentifikasi arti pengurangan
melalui pemakaian alat bantu
6. Memfasilitasi kontak dengan
individu lain dalam kelompok kecil
Risiko cedera berhubungan dengan 1. Menyediakan lingkungan yang
kelemahan fisik aman untuk klien
2. Mengidentifikasi kebutuhan
keamanan klien, sesuai dengan
kondisi fisik dan fungsi kognitif
klien dan riwayat penyakit terdahulu
klien
3. Menghindarkan lingkungan yang
berbahaya (misalnya memindahkan
perabotan)
4. Memasang side rail tempat tidur
5. Menyediakan tempat tidur yang
nyaman dan bersih
6. Menempatkan saklar lampu
ditempat yang mudah dijangkau
klien.
7. Membatasi pengunjung
8. Memberikan penerangan yang
cukup
9. Menganjurkan keluarga untuk
menemani klien.
10. Mengontrol lingkungan dari
kebisingan
11. Memindahkan barang-barang yang
dapat membahayakan
12. Memberikan penjelasan pada klien
dan keluarga atau pengunjung
adanya perubahan status kesehatan
dan penyebab penyakit.
Defisit perawatan diri berhubungan 1. Memonitor kemempuan klien untuk
dengan kelemahan fisik perawatan diri yang mandiri.
2. Memonitor kebutuhan klien untuk
alat-alat bantu untuk kebersihan
diri, berpakaian, berhias, toileting
dan makan.
3. Menyediakan bantuan sampai klien
mampu secara utuh untuk
melakukan self-care.
4. Mendorong klien untuk melakukan
aktivitas sehari-hari yang normal
sesuai kemampuan yang dimiliki.
5. Mendorong untuk melakukan secara
mandiri, tapi beri bantuan ketika
klien tidak mampu melakukannya.
6. Mengajarkan klien/ keluarga untuk
mendorong kemandirian, untuk
memberikan bantuan hanya jika
klien tidak mampu untuk
melakukannya.
7. Memberikan aktivitas rutin sehari-
hari sesuai kemampuan -
Pertimbangkan usia klien jika
mendorong pelaksanaan aktivitas
sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA
Aspiani. 2017. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik. Jakarta: Trans Info Media.

Febriana. 2017. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid Arthritis Ankle


Billateral Di RSUD Saras Husada Purworejo.

Hembing. 2017. Atasi Rematik dan Asam Urat Ala Heming. Jakarta: Puspa Swara.

Huda & Kusuma. 2017. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis &
NANDA (North American Nursing Diagnosis Association) Nic-Noc. Mediaction
Publishing.

Simanjuntak. 2016. Pengaruh Rutinitas Senam Rematik Terhadap Penurunan Tingkat Nyeri
Pada Lansia Yang Menderita Rematik di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur
Jambi Tahun. Scienta Journal, 5(01), 20-24.

Syamsuhidajat. 2016. Buku Ajar ilmu Bedah Syamsuhidajat-de Jong Edisi 3.EGC. Jakarta.

Zairin. 2016. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal Edisi Ke-2. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai