Anda di halaman 1dari 40

PROPOSAL

LITERATUR REVIEW

GAMBARAN KEJADIAN TUBERKULOSIS

REFLIN A. MANUPUTTY

12113201160061

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA MALUKU

AMBON

2020

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi kronis

menular yang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia.

Indonesia salah satu negara yang berkonstribusi besar dalam menyumbang

kasus TB di dunia. Saat ini tuberkulosis juga masih menjadi beban di

Indonesia. Survei Prevalensi TB (SPTB) di Indonesia tahun 2013-2014

menemukan prevalensi TB paru dengan konfirmasi bakteriologis sebesar 759

per 100.000 penduduk berusia 15 tahun ke atas. Prevalensi semua jenis TB

adalah 660/100.000 penduduk (Ministry of Health, 2015). Berdasarkan TB

global dari WHO tahun 2018, estimasi insiden sebesar 842.000 atau 319 per

100.000 penduduk. Saat ini Indonesia termasuk dalam tiga besar negara

dengan estimasi insiden TB tertinggi setelah India dan China. Kematian akibat

TB pada populasi dengan status HIV negatif adalah 44/100.000 penduduk

(World Health Organization, 2019).

Pada tahun 2015 diperkirakan terdapat 10,4 juta kasus baru

tuberkulosis atau 142 kasus per 100.000 penduduk, dengan 480.000 kasus

multidrug-resistant. Indonesia merupakan negara dengan jumlah kasus baru

terbanyak kedua di dunia setelah India (WHO, Global Tuberculosis Report,

2016). Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 kasus insiden tuberkulosis

(CI 8,8 juta-12 juta) yang setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk.

Lima negara dengan insiden kasus tertinggi yaitu India, Indonesia, China,
Philipina dan Pakistan (WHO, Global Tuberculosis Report, 2017). Secara

global pada tahun 2017 kasus baru tuberkulosis sebesar 6,3 juta, setara dengan

61% dari insiden tuberkulosis (10,4 juta). Tuberkulosis tetap menjadi 10

penyebab kematian tertinggi di dunia dan kematian tuberkulosis secara global

diperkirakan 1,3 juta pasien (WHO, Global Tuberculosis Report, 2018).

Tuberkulosis (TBC) adalah suatu penyakit infeksi menular yang

disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang sebagian besar

menyerang paru. Sumber penularan adalah pasien tuberkulosis BTA positif

pada saat batuk atau bersin. Penyebaran kuman ke udara dalam bentuk

percikan atau dahak (droplet nuclei), saat berbicara dapat mengeluarkan

kuman sebanyak 0-200, sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000

percikan dahak yang mengandung kuman sebanyak 0-3.500 dan saat bersin

dapat mengeluarkan kuman sebanyak 4.500-1.000.000. Kuman yang

menyebar ke udara kemudian terhirup ke dalam paru orang sehat sehingga

dapat terkena infeksi (Kemenkes RI,2016).

Pada tahun 2016, di Indonesia ditemukan jumlah kasus tuberkulosis

sebanyak 360.565 kasus. Pada tahun 2017 ditemukam jumlah kasus

tuberkulosis sebanyak 425.089 kasus. Kemudian pada tahun 2018 jumlah

kasus tuberkulosis ditemukan sebanyak 566.623 kasus (Kemenkes RI, 2018).

Prevalensi TBC di Maluku tahun 2016 sebanyak 3.983 orang, 2017 sebanyak

4.862 orang, tahun 2018 sebanyak 4.575 orang dan tahun 2019 sebanyak

6.379 orang. Kota Ambon mencapai 65% pasien TBC dari jumlah penderita
TBC di Maluku yaitu sebanyak 4.146 orang dan terbanyak dibandingkan

kabupaten yang lain di Maluku (Dinkes Maluku, 2020).

Perspektif epidemiologi melihat kejadian penyakit sebagai hasil

interaksi antar tiga komponen pejamu (host), penyebab (agent), dan

lingkungan (environment) dapat ditelaah faktor risiko dari simpul-simpul

tersebut. Pada sisi pejamu, kerentanan terhadap infeksi Mycobacterium

tuberculosis sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh seseorang pada saat itu

sehingga status gizi berpengaruh terhadap risiko terjadinya TB yang

menyebabkan penurunan daya tahan tubuh (Indah, 2018). Dalam ilmu

epidemiologi, faktor yang dapat menimbulkan masalah kesehatan adalah

faktor manusia, tempat dan waktu. Faktor manusia adalah karakteristik dari

individu yang mempengaruhi kepekaan terhadap penyakit. karakteristik

manusia bisa berupa kebiasaan seperti perilaku kebiasaan merokok (Irwan,

2017).

Infeksi kuman TB akan terjadi apabila orang lain menghirup udara

yang mengandung percik renik dahak orang yang terinfeksi TB. Beberapa

faktor yang mempengaruhi penularan TB secara umum antara lain kedekatan

kontak dengan sumber penularan, lamanya waktu kontak dengan sumber

penularan dan konsentrasi kuman di udara (Kementerian Kesehatan RI.,

2014).

Hasil penelitian Oktavia dkk (2015) yang menyatakan bahwa umur,

tingkat pendidikan, status gizi, kebiasaan merokok, serta kontak dengan

penderita TBC, memiliki hubungan dengan kejadian TBC. Meningkatnya


angka perokok di masyarakat akan meningkatkan kejadian tuberkulosis. Tidak

hanya tuberkulosis, rokok juga merupakan faktor risiko utama bagi beberapa

penyakit khususnya penyakit kronis (WHO, 2019). Status gizi sangat

berpengaruh terhadap sistem imun atau daya tahan tubuh. Status gizi yang

baik akan berpengaruh pada daya tahan tubuh sehingga tubuh akan tahan

terhadap infeksi bakteri TBC. Namun, apabila keadaan gizi kurang maka akan

mengurangi daya tahan tubuh terhadap infeksi bakteri TBC. Kontak dengan

penderita TBC merupakan faktor risiko utama dan makin erat kontak makin

besar risikonya.Oleh karenanya kontak di rumah dengan anggota keluarga

yang sakit TBC sangat berperan untuk terjadinya infeksi TBC di keluarga,

teman kerja, atau teman-teman terutama keluarga terdekat.

Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk menulis

tentang “literature review gambaran kejadian Tuberkulosis (TB)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah “bagaimana gambaran kejadian tuberkulosis?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah :

Mengetahui hubungan merokok, status gizi dan riwayat kontak dengan

kejadian tuberkulosis.
D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian, sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

pengembangan ilmu kesehatan masyarakat.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Keluarga

Dapat menjadi informasi bagi keluarga khususnya yang memiliki

anggota keluarga yang menderita tuberkulosis.

b. Bagi Tenaga Kesehatan

Dapat dijadikan sebagai sumber informasi dan referensi yang nantinya

digunakan sebagai masukan untuk selanjutnya dalam pengembangan

pelayanan kesehatan.

c. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi untuk

melakukan penelitian sejenis dan lebih lanjut dalam bidang yang sama.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Tuberkulosis

1. Definisi Tuberkulosis (TBC)

Tuberkulosis (TBC) adalah suatu penyakit menular yang

disebabkan oleh kuman dari kelompok Mycobacterium yaitu

Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies mycobacterium,

antara lain: M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M. leprae dsb, yang

juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri

mycobacterium selain mycobacterium tuberculosis yang bisa

menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT

(Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang bisa

mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TBC. Untuk itu

pemeriksaan bakteriologis yang mampu melakukan identifikasi terhadap

mycobacterium tuberculosis menjadi sarana diagnosis ideal untuk TBC.

(Kemenkes RI, Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis , 2014).

2. Etiologi Tuberkulosis (TBC)

Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit infeksi menular yang

disebabkan oleh kuman dari kelompok Mycobacterium yaitu

Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini berbentuk batang (basil) dengan

panjang 1-10 mikron, dan lebar 0,2-0,6 mikron (Kemenkes RI, 2014).
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang berwarna merah

dalam pemeriksaan di bawah mikroskop tahan terhadap suhu rendah

sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama pada suhu

antara 4̊ sampai minus 70̊C. Kuman tersebut sangat peka terhadap panas,

sinar matahari, dan sinar ultraviolet. Paparan langsung terhadap sinar

ultraviolet sebagian besar kuman akan mati dalam waktu beberapa menit.

Sedangkan dalam dahak pada suhu antara 30̊C-37̊C akan mati dalam

waktu kurang lebih 1 minggu (Kemenkes RI, 2014).

Bakteri penyebab TBC ini dapat bertahan selama 20-30 jam di

dalam dahak.Dalam suhu kamar, biakan basil dapat hidup selama 6-8

bulan. Mycobacterium tuberculosis tahan terhadap berbagai zat kimia dan

desinfektan, seperti phenol 5%, asam sulfat 15%, asam sitrat 3%, dan

NaOH 4%. Namun bakteri ini dapat dihancurkan oleh jodium tinetur

dalam waktu sekitar 5 menit, sedangkan dengan alkohol 80% akan hancur

dalam 2 hingga 10 menit kemudian (Naga, 2013).

3. Gejala Tuberkulosis (TBC)

Menurut Menkes RI 2014, TBC memberikan gejala berupa batuk

terus–menerus dan berdahak selama 2 minggu atau lebih. Gejala lain yang

sering dijumpai adalah : dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas

dan nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun,

rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa

kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan.


Gejala tersebut diatas dijumpai pada penyakit paru selain TBC.

Oleh sebab itu setiap orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan

dengan gejala tersebut harus dianggap sebagai seorang “suspek

tuberculosis”atau tersangka penderita TBC, dan perlu dilakukan

pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

4. Patogenesis Tuberkulosis (TBC)

Paru-paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi

TBC. Kuman TBC dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya

sangat kecil (<5µm), akan terhirup dan dapat mencapai alveolus. Kuman

TBC kebanyakan menginfeksi manusia melalui inhalasi droplet yang

mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang

terinfeksi. Basil yang mencapai kedalam alveolus, biasanya dibagian apeks

paru atau dibagian atas lobus bawah, kemudian merangsang reaksi

peradangan.Pada awalnya sel-sel polimorfonklear (PMN) datang

memfagosit bakteri namun tidak membunuh kuman tersebut. Beberapa

hari kemudian, kerja leukosit akan digantikan oleh makrofag. Alveolus

yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul pneumonia akut

yang bisa sembuh sendiri atau terus berlanjut bakteri berkembang biak di

dalam sel. Kumpulan makrofag yang didalamnya terdapat basil akan

membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Basil TBC

juga bisa menyebar ke kelenjar getah bening regional melalui limfogen.

Proses ini memerlukan waktu 10-20 hari (Kowalak, 2011).


Kuman TBC dapat menyebar melalui limfogen, hematogen atau

bisa keduanya.Penyebaran hematogen bisa menyebabkan TBC milier

dimana fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga kuman banyak

masuk kedalam pembuluh darah dan menyebar ke berbagai organ tubuh.

Nekrosis di bagian tengah tuberkel tampak gambaran relatif padat dan

seperti keju yang disebut nekrosis kaseosa. Lesi primer paru disebut fokus

ghon, sedangkan gabungan lesi primer dan getah bening regional yang

terserang disebut kompleks ghon (Utji, 2013).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TBC hingga

terbentuknya secara primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi.

Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain,

yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya

gejala penyakit. Masa inkubasi TBC bervariasi selama 2-12 minggu,

biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut,

kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah

yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular. Pada saat

terbentuknya kompleks primer, TBC primer dinyatakan telah

terjadi.Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap

TBC terbentuk yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas

terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif.Selama masa

inkubasi, uji tuberkulin masih negatif.Pada sebagian besar individu dengan

sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular

berkembang, proliferasi kuman TBC terhenti.Akan tetapi, sejumlah kecil


kuman TBC dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular

telah terbentuk, kuman TBC baru yang masuk ke dalam alveoli akan

segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated

immunity), CMI). Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di

jaringan paru biasanya akan mengalami resolusi secara sempurna

membentuk fibrosis atau klasifikasi setelah terjadi nekrosis perkijuan dan

enkapsulasi, tetapi penyembuhan biasanya tidak sesempurna fokus primer

di jaringan paru. Kuman TBC dapat tetap hidup dan menetap selama

bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit

TBC (Kemenkes, 2013).

Bentuk penyebaran hematogen lain adalah penyebaran

hematogenik generalisasi akut (acute generalized hematogenic spread).

Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TBC masuk dan beredar di dalam

darah menuju ke seluruh tubuh.Hal ini dapat menyebabkan timbulnya

manifestasi klinis penyakit TBC secara akut, yang disebut TBC

diseminata. TBC diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah

terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi

kuman TBC yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran.

Tuberculosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun

pejamu dalam mengatasi infeksi TBC, misalnya pada anak bawah lima

tahun (balita) terutama di bawah dua tahun. Bentuk penyebaran yang

jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran

ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler pecah dan
menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TBCakan

masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TBCakan

penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized

hematogenic spread (Kemenkes, 2014).

5. Diagnosis Tuberkulosis (TBC)

a. Diagnosis Tuberkulosis Paru

1) Diagnosis TB paru dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu

dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang

dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan dan

tes cepat.

2) Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka

penegakan diagnosis TB paru dapat dilakukan secara klinis

menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-

tidaknya pemeriksaan foto thoraks) yang sesuai dan ditetapkan oeh

dokter yang telah terlatih TB paru.

3) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB paru hanya berdasarkan foto

thoraks saja. Foto thoraks tidak selalu memberikan gambaran

spesifik pada TB paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi

overdiagnosis ataupun underdiagnosis (Kemenkes RI, 2014).

b. Diagnosis Tuberkulosis Ekstra Paru

1) Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, misalnya

kaku kuduk pada meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura

(pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada


limfadenitis TB serta demorfitas tulang belakang (gibbus) pada

spondilitis TB dan lain-lainnya.

2) Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan

pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau hispatologis dari contoh

uji yang diambil dari organ tubuh yang terkena.

3) Dilakukan pemeriksaan bakteriologis apabila juga ditemukan

gejala yang sesuai untuk menemukan kemungkinan adanya TBC

(Kemenkes RI, 2014).

c. Pemeriksaan Dahak Mikroskopis

Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan

dengan mengumpulkan 2 contoh uji dahak yang berupa dahak sewaktu

pagi (SP) dan sewaktu-sewaktu (SS).Hasil pemeriksaan dinyatakan

positif apabila sedikitnya 2 contoh uji dahak BTA hasilnya positif.Bila

hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut

yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SS dan SS

diulang.Jika hasil rontgen mendukung TBC, maka penderita di

diagnosis sebagai TBC BTA positif. Jika hasil rontgen tidak

mendukung TBC, maka pemeriksaan lain, misalnya biakan dan Tes

Cepat Molekuler (TCM) (Kemenkes RI, 2017).

Bila spesimen dahak negatif, diberikan spectrum antibiotik luas

(misalnya cotrimoxazole atau amoxicillin) selama 1 atau 2 minggu.

Bila tidak ada perubahan namun gejala klinis tetap mencurigakan

TBC, ulangi pemeriksaan dahak ewaktu pagi (SS) dan sewaktu-


sewaktu (SS). Jika hasil tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto

rontgen dada untuk mendukung diagnosis TBC (Kemenkes RI, 2017).

d. Tes Cepat Molekuler (TCM)

Tes cepat molekuler merupakan metode penemuan terbaru

untuk diagnosis TB beradasarkan pemeriksaan molekuler yang

menggunakan metode Real Time Polymerase Chain Reaction Assay

(RT-PCR) semi kuantitatif yang menargetkan wilayah hotspot gen

rpoB pada mycobacterium tuberculosis, yang terintegrsi dan secara

otomatis mengolah sediaan dengan ekstraksi deoxyribo nucleic acid

(DNA) dalam catridge sekali pakai. Penelitian invitro menunjukkan

batas deteksi bakteri TB dengan metode RT-PCR GeneXpert minimal

131 bakteri/ml sputum. Waktu hingga didapatkanya hasil kurang dari 2

jam dan hanya membutuhkan pelatihan yang simpel untuk dapat

menggunakan alat ini (Kurniawan et al, 2016).

Pemanfaatan penggunaan alat tes cepat GeneXpert MTB/RIF

saat ini ditunjukkan untuk diagnosis terduga TB resistan obat

(Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resisten Obat/MTPRO), TB

HIV, dan selanjutnya akan dikembangkan untuk diagnosis TB baru

pada anak, TB diabetes melitus, TB ekstra paru, serta diagnosis pada

terduga TB hasil BTA negatif (Kemenkes, 2016). Metode tes cepat

molekuler terus dikembangkan dan akan dilakukan untuk tuberculosis

di masa yang akan datang sehingga perlu dilakukan uji performa tes
cepat molekuler ini khususnya di Balai Besar Kesehatan Paru

Masyarakat Makassar.

e. Pemeriksaan Biakan

Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium

tuberculosis (M.tb) dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti

TB pada pasien tertentu, misal :

1) Pasien TB ekstra paru.

2) Pasien TB anak.

3) Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung

BTA negatif. (Kemenkes RI, 2014)

f. Pemeriksaan Kepekaan Obat

Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya

resistensi M.tb terhadap OAT. Untuk menjamin kualitas hasil

pemeriksaan, uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan oleh

laboratorium yang telah tersertifikasi atau lulus uji pemantapan

mutu/Quality Assurance (QA). Hal ini dimaksudkan untuk

memperkecil kesalahan dalam menetapkan jenis resistensi OAT dan

pengambilan keputusan paduan pengobatan pasiendengan resistan

obat. (Kemenkes RI, 2014)

6. Penularan Tuberkulosis (TBC)

Tuberkulosis ditularkan dari penderita yang TBC BTA positif

melalui percikan dahak (droplet).Pada saat batuk atau bersin sehingga


menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (Droplet

Nuklei/Percik Renik).

Droplet yang mengandung kuman TBC dapat bertahan di udara

yang mengandung droplet dan masuk ke dalam saluran pernapasan yang

selanjutnya akan menyebar dari paru-paru ke bagian tubuh lainnya. Sekali

batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak yang mengandung

kuman sebanyak 0-3500 M.Tuberculosis.Sedangkan saat bersin dapat

mengeluarkan sebanyak 4.500-1.000.000 M.Tuberculosis (Permenkes R1,

2016).

7. Klasifikasi Tuberkulosis (TBC)

Berdasarkan klasifikasi menurut Pedoman Nasional Pengendalian

Tuberkulosis tahun 2014, sebagai berikut :

a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit

1) Tuberkulosis paru, adalah TB yang terjadi di paru atau adanya lesi

di jaringan paru.

2) Tuberkulosis ekstra paru, adalah TB yang terjadi di luar organ

paru, seperti: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing,

kulit, sendi, selaput otak dan tulang. Diagnosis ini ditetapkan

berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis.

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya

1) Pasien baru, adalah pasien yang belum pernah mendapatkan

pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT

kurang dari 1 bulan (<28 dosis).


2) Pasien yang sudah pernah diobati, adalah pasien yang sebelumnya

sudah pernah mendapatkan pengobatan selama 1 bulan atau lebih

(>28 dosis). Selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil

pengobatan TB terakhir yaitu: pasien kambuh, pasien yang diobati

kembali setelah gagal, pasien yang diobati kembali setelah putus

berobat (lost to follow up) dan lain-lain.

3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui

c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

1) Mono resistan (TB MR), resistan berdasarkan salah satu jenis OAT

lini pertama saja.

2) Poli resistan (TB PR), resistan terhadap lebih dari 1 jenis OAT lini

pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.

3) Multi drug resistan (TB MDR), resistan terhadap Isoniazid (H) dan

Rifampisin (R) secara bersamaan.

4) Extensive drug resistan (TB XDR), adalah TB MDR yang

sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT golongan

fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis

suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin).

5) Resistan rifampizin (TB RR), resistan terhadap rifampizin dengan

atau tanpa resistensi pada OAT lain yang terdeteksi menggunakan

metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).

d. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV


1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB /HIV), adalah

pasien dengan hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang

mendapatkan ART atau hasil tes HIV positif pada saat diagnosis

TB.

2) Pasien TB dngan HIV negatif, adalah pasien dengan hasil tes HIV

negatif sebelumnya atau hasil tes negatif pada saat diagnosa TB.

8. Pencegahan Tuberkulosis (TBC)

Pada dasarnya terdapat beberapa tindakan yang dapat dilakukan

sebagai upaya pencegahan terhadap terjangkitnya penyakit TBC. Berikut

merupakan pencegahan-pencegahan yang dapat dilakukan oleh penderita,

masyarakat, maupun petugas kesehatan (Naga,2013):

a. Pencegahan penularan bagi penderita yang dapat dilakukan dengan

menutup mulut saat batuk dan membuang dahak tidak di sembarang

tempat.

b. Pencegahan penularan bagi masyarakat yang dapat dilakukan dengan

meningkatkan ketahanan terhadap bayi yaitu dengan memberikan

vaksinasi BCG.

c. Pencegahan penularan bagi petugas kesehatan yang dapat dilakukan

dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TBC yang meliputi

gejala, bahaya, dan akibat yang ditimbulkan terhadap kehidupan

masyarakat pada umumnya.


d. Petugas kesehatan juga harus segera melakukan pengisolasian dan

pemeriksaan terhadap orang-orang yang terinfeksi atau dengan

memberikan pengobatan khusus terhadap penderita TBC.

e. Pencegahan penularan juga dapat dicegah dengan menggunakan

disenfeksi seperti cuci tangan, kebersihan rumah yang ketat, perhatian

khusus terhadap muntahan atau ludah anggota keluarga yang terjangkit

penyakit TBC (piring, tempat tidur, pakaian) dan menyediakan

ventilasi rumah dengan sinar matahari yang cukup.

f. Melakukan imunisasi orang-orang yang melakukan kontak langsung

dengan penderita seperti keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan,

dan petugas lain yang terindikasi dengan vaksin BCG dan tindak lanjut

bagi yang positif tertular.

g. Melakukan penyelidikan terhadap orang-orang kontak. Perlu dilakukan

tes Tubercullin bagi seluruh anggota keluarga. apabila cara ini

menunjukkan hasil negatif, perlu diulang pemeriksaan tiap bulan

selama 3 bulan dan perlu penyelidikan intensif.

h. Dilakukan pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu

pengobatan yang tepat, yaitu obat-obat kombinasi yang telah

ditetapkan oleh dokter untuk diminum dengan tekun dan teratur selama

6-12 bulan. Perlu diwaspadai adanya kebal terhadap obat-obatan

dengan pemeriksaan penyelidikan oleh dokter.

Sedangkan pencegahan yang dapat dilakukan oleh pribadi kita

seendiri antara lain adalah (Rimbi, 2014):


a. Mengurangi kontak langsung dengan penderita TBC aktif.

b. Selalu menjaga standar hidup yang baik, caranya bisa dengan

mengkonsumsi makanan dengan niai gizi yang tinggi, menjaga

lingkungan agar selalu sehat, baik itu di rumah maupun di tempat

kerja, dan menjaga kebugaran tubuh dengan meluangkan waktu untuk

berolahraga.

c. Menjaga kesehatan badan sehingga imun tubuh tetap terjaga.

d. Pemberian vaksin BCG yang bertujuan untuk mencegah terjadinya

kasus infeksi TBC yang lebih berat. Vaksin ini secara rutin diberikan

kepada semua balita.

9. Pengobatan Tuberkulosis (TBC)

Menurut Kemenkes RI (2014), pengobatan Tuberkulosis (TBC)

adalah salah satu upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran lebih

lanjut dari Kuman Tuberkulosis. Tujuan dalam pengobatan TBC adalah

untuk menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas

hidup, mencegah terjadinya kematian akibat kuman TBC, mencegah

terjadinya kekambuhan TBC, menurunkan angka penularan TBC, dan

mencegah terjadinya penularan TB resisten obat.

Pengobatan TB meliputi 2 tahapan, yaitu :

a. Tahap awal

Pada tahapan awal, pengobatan diberikan kepada pasien selama

setiap hari dengan maksud untuk menurunkan jumlah kuman yang ada
dalam tubuh pasien secara efektif dan meminimalisir pengaruh dari

kuman yang mungkin sudah resisten pada semua pasien baru.

Pada tahap ini obat harus diberikan selama 2 bulan dengan

pengawasan langsung oleh PMO.Pada umumnya dengan pengobatan

secara teratur dan tanpa adanya penyakit, daya penularan sudah

menurun setelah pengobatan selama 2 minggu.

b. Tahap lanjutan

Pengobatan pada tahap lanjutan merupakan hal yang penting

untuk membunuh sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya

persister sehingga pasien dapat sembuh total dan mencegah terjadinya

kekambuhan.

Pengobatan pada penderita TBC dengan memadukan obat anti

tuberculosis yang direkomendasikan oleh WHO dan IUATLD

(International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) dalam

Penanggulangan Nasional Penanggulangan TB di Indonesia menurut

Kemenkes RI (2014) dibagi menjadi dua kategori, antara lain :

1) Kategori 1 : (2HRZE)/4(HR)3

Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R),

Pirazinamid (Z), dan Enthambutol (E). obat-obat tersebut diberikan

setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan

tahap lanjutan yang terdiri dari (Isoniasid (H) dan Rifampisin (R),

diberikan tiga kai dalam seminggu selama 4 bulan (4H3RE).

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :


a) Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.

b) Pasien TB paru terdiagnosis klinis.

c) Pasien TB ekstra paru.

2) Kategori 2 : (2HRZES)/(HRZE)/5(HRE)3

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2

bulan denganIsoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), dan

Enthambutol (E) dan suntikan sterptomisin setiap hari di UPK.

Dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R),

Pirazinamid (Z), dan Enthambutol (E) setiap hari. Setelah itu

diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan denganHRE yang

diberikan tiga kali dalam seminggu. Perludiperhatikan bahwa

suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan

obat.

Paduan OAT Kategori 1 dan Kategori 2 disediakan dalam

bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet

OAT-KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu

tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien dan paduan

ini dikemas dalam satu paket untuk 1 pasien.Sedangkan paket

kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid,

Rifampisin, Pirazinamid dan Enthambutol yang dikemas dalam

bentuk blister.

Paduan OAT ini disediakan program DOTS untuk

digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek


samping pada pengobatan dengan OAT-KTD sebelumnya

(pengobatan ulang), seperti :

a) Pasien kambuh.

b) Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1

sebelumnya.

c) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to

follow-up).

B. Tinjauan Umum Tentang Variabel Penelitian

1. Merokok

Rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus, termasuk cerutu

atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotinana Tobacum,

Nikotiana Rustica dan spesies lainnya atau sintesisnya yang mengandung

nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan. Merokok adalah

membakar tembakau yang kemudian dihisap isinya, baik menggunakan

rokok maupun menggunakan pipa. Bahan kimia yang terkandung dalam

rokok adalah nikotin, tar, CO (karbon monoksida), amonia, hidrogen

sianida (HCN), hidrogen sulfida, methanol, pyridine, kadmium,

formaldehida dan fenol (Siregar, 2015).

Asap rokok dapat menurunkan kemampuan makrofag dalam

membunuh bakteri, makrofag memiliki kemampuan untuk mencari dan

memakan bakteri, virus, jamur, dan parasit. Gas berbahaya dalam asap

rokok merangsang pembentukan lendir dan debu sehingga bakteri yang


tertumpuk tidak dapat dikeluarkan (Dharmawati dkk, 2016). Anak-anak

yang orangtuanya merokok lebih mudah terkena penyakit saluran

pernapasan seperti flu, asma, pneumonia dan penyakit saluran pernapasan

lainnya (Wardani dkk, 2015).

Kebiasaan merokok merupakan kebiasaan yang sangat umum dan

meluas di masyarakat Indonesia. Bahkan masyarakat yang mengadakan

suatu kenduri merasa tidak lengkap jika tidak ada sajian rokok. Sehingga

merokok menjadi satu kebiasaan yang dianggap sebagai bagian dari

kehidupan normal. Masyarakat Indonesia sebagian beranggapan bahwa

rokok merupakan kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi. Kebiasaan

merokok merupakan kebiasaan yang sangat sulit dihilangkan dan jarang

orang mau mengakui bahwa merokok adalah kebiasaan buruk (Khotijah

2015).

Penelitian Giacomo, et al (2011) membuktikan bahwa angka

kejadia TB di Australia, cenderung lebih tinggi pada penduduk pribumi

dibandingkan dengan penduduk pendatang. Hal ini berhubungan dengan

social ekonomi, standar pelayanan kesehatan dan kebiasaan merokok yang

tinggi. Merokok berhubungan dengan peningkatan kerentanan terhadap

influenza dan TB. Sebuah studi dengan hewan uji coba tikus, menjelaskan

bahwa pajanan asap rokok secara langsung menghambat respon sel T

terhadap Mycrobacterium Tuberculosis dan virus influenza (Fen, et al,

2011).
Merokok dapat mengganggu pertahanan paru dalam melawan

infeksi virus dan bakteri, salah satunya adalah TB. Merokok dapat

menyebabkan perpanjangan waktu konfersi sputum pada pasien TB yang

menjalani pengobatan. Merokok berhubungan erat dengan waktu konfersi

sputum yang lebih panjang pada individu yang merokok dibandingkan

dengan individu yang tidak merokok (Metanat, et al, 2010).

Merokok dan TB dapat merusak paru melalui efeknya terhadap

sistim imun sehingga mengurangi efektivitas pengobatan TB. Pada

individu yang merokok, pertahanan utama paru yaitu makrofag alveolar,

mengalami penurunan fungsi fagositosis dan penurunan tingkat sitokon

inflamasi yang dikeluarkan. Sitokin-sitokin ini penting dalam pertahanan

dari infeksi lokal, termasuk kuman TB. Mekanisme tersebut dapat

menyebabkan waktu konfersi sputum pada pasien TB yang merokok lebih

panjang dibandingkan dengan pasien TB yang tidak merokok selama

menjalani pengobatan. Perpanjangan waktu konfersi merupakan indicator

yang penting atas efektifitas pengobatan dan kemungkinan terjadinya

kekambuhan (Arcavi et al, 2014).

2. Status Gizi

a. Pengertian Status Gizi

Menurut Supariasa, dkk (2016), status gizi didefinisikan

sebagai suatu bentuk dari gambaran kondisi proporsional seseorang

atau individu dalam wujud variabel tertentu. Status gizi merupakan


suatu kondisi tubuh seseorang yang disebabkan oleh asupan makanan

dan zat-zat gizi. Asupan makanan dan zat-zat gizi yang tercukupi serta

digunakan secara efisien, maka secara tidak langsung dapat

mengoptimalkan berbagai hal, seperti : pertumbuhan fisik,

perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan. Dalam menilai

status gizi, dapat menggunakan penilaian status gizi secara langsung

dan penilaian status gizi secara tidak langsung (Istiany dan Rusilanti,

2013).

b. Penilaian Status Gizi Secara Langsung

Menurut Supariasa, dkk (2016), terdapat empat cara dalam

menilai status gizi secara langsung, yaitu :

1) Antropometri

a) Definisi : Beragam jenis pengukuran dalam hal dimensi dan

komposisi tubuh yang ditinjau dari segi usia dan tingkat gizi.

b) Jenis parameter : Terdapat enam macam parameter dalam

menilai status gizi menggunakan antropometri, yaitu : umur,

berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala

dan lingkar dada dan jaringan lunak.

c) Indeks antropometri : Terdapat tujuh macam indeks

antropometri yang digunakan dalam menilai status gizi yaitu :

i. Berat Badan Menurut Umur (BB/U), dimana berat badan

merupakan indikator massa tubuh yang labil, jika dalam


kondisi normal, berat badan yang berkembang akan

mengikuti umur yang bertambah atau sebaliknya,

ii. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U), dimana tinggi badan

merupakan indikator pertumbuhan skeletal, jika dalam

kondisi normal, pertumbuhan tinggi badan akan akan

mengikuti umur yang bertambah,

iii. Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB), dimana berat

badan merupakan indikator yang memiliki keterkaitan linier

dengan tinggi badan. Dalam kondisi normal, berat badan

akan berkembang sejalan dengan pertumbuhan berat badan,

iv. Lingkar Lengan Atas Menurut Umur (LiLA/U), dimana

lingkar lengan atas merupakan indikator yang

mencerminkan kondisi jaringan otot dan lapisan lemak

bawah kulit yang memiliki hubungan dengan BB/U dan

BB/TB,

v. tebal lemak bawah kulit menurut umur, dimana tebal lemak

tubuh dapat diukur pada ketebalan lemak bawah kulit

(skinfold) dengan faktor jenis kelamin dan usia yang dapat

mempengaruhi jumlah lemak tubuh, pada pria 3,1 kg, dan

wanita 5,1 kg,

vi. Rasio lingkar pinggang dengan panggul, dimana rasio

lingkar pinggang dengan panggul merupakan indikator


banyaknya lemak pada perut yang mencerminkan

perubahan metabolisme dan

vii. Indeks Masa Tubuh (IMT), dimana Body Mass Index atau

yang dikenal dengan Indeks Massa Tubuh (IMT)

merupakan indikator yang mencerminkan status gizi

seseorang (kekurangan dan kelebihan berat badan),

sehingga individu akan mempertahankan berat badan

normal.

IMT dirumuskan dan diklasifikasikan sebagai berikut :


IMT = Berat Badan (kg)/Tinggi Badan
2

IMT (Kg/m)2 Kategori

<18,5 Underweight

18,5-24,9 Normal

25-29,9 Overweight

30-34,9 Obese 1

35-39,9 Obese II

≥40 Obese III

Tabel 2.1 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT)

2) Klinis

a) Definisi : Pemeriksaan yang berpijak pada perubahan yang

terkait dengan ketidakcukupan gizi (malnutrisi), seperti pada

kulit, mata, rambut, dan membrane mukosa mulut atau pada


komponen tubuh lainnya yang dijadikan sebagai indikator

nampak atau tidaknya masalah gizi kurang.

b) Jenis pemeriksaan : Riwayat medis (medical history) yang

merupakan catatan tentang perkembangan suatu penyakit dan

pemeriksaan fisik berupa observasi tanda gangguan gizi, baik

berupa sign dan symptom.

3) Biokimia

a. Definisi :Pemeriksaan di laboratorium yang mencerminkan

status gizi pada darah, urine, organ lain, metabolisme tubuh

yang berubah karena defisit asupan zat gizi tertentu dalam

periode yang lama dan cadangan zat gizi pada tubuh sendiri.

b. Jenis pemeriksaan : Penilaian status zat bezi, protein, vitamin,

mineral zat gizi spesifik.

4) Biofisik

a) Definisi : Pemeriksaan yang mencerminkan kinerja atau fungsi

(khusus jaringan) dan dalam memantau adanya struktur

jaringan yang berubah.

b) Jenis pemeriksaan : Uji radiologi, fungsi fisik dan sitologi.

c. Penilaian status gizi secara tidak langsung

Menurut Supariasa, dkk (2016), terdapat tiga cara dalam

menilai status gizi secara tidak langsung, yaitu :

1) Survei konsumsi makanan : Teknik dalam mengamati asupan

makanan dalam segi jumlah dan zat gizi.


2) Statistik vital : Teknik dalam hal analisis data statistik kesehatan.

3) Faktor ekologi : Kondisi yang didasarkan pada ekologi yang

memiliki kaitan dengan ketersediaan jumlah makanan, seperti

iklim, tanah irigasi dan lain-lain.

3. Riwayat Kontak

Menurut UK’s contact tracing TB atau kontak serumah dengan

penderita TBC adalah seseorang yang menghabiskan banyak waktu atau

sering dengan penderita TBC.Kontak serumah adalah adanya keluarga

yang serumah dan sudah diketahui menderita TB dengan sputum BTA (+).

Kontak dengan penderita TBC merupakan faktor resiko utama dan makin

erat kontak makin besar resikonya.Oleh karenanya kontak di rumah

dengan anggota keluarga yang sakit TBC sangat berperan untuk terjadinya

infeksi TBC di keluarga, teman kerja, atau teman-teman terutama keluarga

terdekat.

Jika dalam satu rumah terdapat penderita TBC, maka anggota

rumah lainnya sebaiknya menghubungi pelayanan kesehatan untuk

melakukan check-upapakah anggota keluarga lain tertular TBC atau tidak.

Cara mencegah terjadinya contact tracing yaitu menjelaskan kepada

penderita TBC bahwa anggota keluarga serumahnya bisa terinfeksi TBC,

menjelaskan pentingnya pengobatan untuk contact tracing TBC jika

tertular, meminta penderita TBC membawa anggota keluarga serumahnya

ke layanan kesehatan untuk melakukan check contact tracing TBC dan


menjelaskan bahwa penderita TBC akan mudah menularkan penyakit TBC

di tempat yang kondisi lingkungannya kurang baik, seperti ruangan yang

berventilasi buruk, ruangan yang sempit dan lembab misalnya tempat kerja

tambang, penjara, dan lain-lain.

Berdasarkan Kemenkes RI, 2011 pengawasan terhadap penderita,

kontak dan lingkungan sebagai berikut :

a. Oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut dengan

menutup mulut sewaktu batuk dan membuang dahak tidak

disembarangan tempat.

b. Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan kekebalan

terhadap bayi diberikan vaksinasi.

c. Oleh petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang

penyakit TBC yang antara lain meliputi gejala, bahaya, dan akibat

yang ditimbulkannya.

d. Isolasi, pemeriksaan kepada orang-orang yang terinfeksi, pengobatan

khusus TBC. Pengobatan mondok di rumah sakit hanya bagi penderita

yang kategori berat yang memerlukan pengembangan program

pengobatannya yang karena alasan-alasan sosial ekonomi dan medis

untuk tidak dikehendaki pengobatan jalan.

e. Des-Infeksi, cuci tangan dan pengawasan kebersihan alat rumah tangga

yang ketat, selain itu perlu perhatian khusus terhadap muntahan dan

ludah (piring, tempat tidur, pakaian) serta ventilasi rumah dan sinar

matahari yang cukup.


f. Imunisasi orang-orang kontak. Tindakan pencegahan bagi orang-orang

sangat dekat (keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan lain) dan

lainnya yang terindikasi dengan vaksinasi dan tindak lanjut bagi yang

positif tertular.

g. Penyelidikan orang-orang kontak. Tuberculin-test bagi seluruh anggota

keluarga dengan foto rontgen yang bereaksi positif, apabila cara-cara

ini negatif, perlu diulang pemeriksaan tiap bulan selama 3 bulan, perlu

penyelidikan intensif.

h. Pengobatan Khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan

yang tepat obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter di

minum dengan tekun dan teratur dalam waktu yang lama (6 atau 12

bulan). Diwaspadai adanya kebal terhadap obat-obat, dengan

pemeriksaan penyelidikan oleh dokter.

C. Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan seperti gambar di

bawah ini:

Gambar 2.1 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Merokok

Status Gizi Kejadian Tuberkulosis

Riwayat Kontak
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan menggunakan

metode Systematic Review yakni sebuah sintesis dari studi literature yang

bersifat sitematik, jelas, menyeluruh, dengan mengidentifikasi, menganalisis,

mengevaluasi melalui pengumpulan data – data yang sudah ada dengan metode

pencarian yang eksplisit dan melibatkan proses telaah kritis dalam pemilihan

studi.

B. Tahapan Systematic Review

1. Identifikasi Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan judul penelitian diatas kita dapat menentukan PICO tersebut; P

= Pasien Tuberkulosis, I = Adanya faktor-faktor yang mempengaruhi

kejadian tuberkulosis, C = tidak ada pembanding atau intervensi lainnya dan

O = mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian kejadian

tuberkulosis. Pertanyaan penelitian berdasarkan “PICO” adalah

bagaimanakah gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian

tuberkulosis?

2. Menyusun Protokol

Menyusun protokol review kita menggunakan metode PRISMA (Preferred

Reporting Items For Systematic Reviews and Meta Analyses)


a. Pencarian Data

Pencarian data mengacu pada sumber data base Google Scholar yang

sifatnya resmi.

b. Skrining Data

Skrining adalah penyaringan atau pemilihan data (artikel penelitian)

yang bertujuan untuk memilih masalah penelitian

c. Penialaian Kualitas (Kelayakan) Data

Penilaian kualitas atau kelayakan didasarkan pada data (artikel

penelitian) denga teks lengkap (full text) dengan memenuhi criteria yang

ditentukan (kriteria inklusi dan eksklusi).

d. Hasil Pencarian Data

Semua data (artikel penelitian) berupa artikel penelitian kuantitatif atau

kualitatif yang memenuhi semua syarat dan kriteria untuk dilakukan

analisis lebih lajut.

3. Menyusun Strategi Pencarian

Strategi pencarian dilakukan mengacu pada protokol yang telah dibuat dan

menentukan lokasi atau sumber database untuk pencarian data serta dapat

melibatkan orang lain untuk membantu review.

4. Ekstrasi Data

Ekstraksi data dapat dilakukan setelah proses protokol telah dilakukan

dengan menggunakan metode PRISMA, ekstrasi data dapat dilakukan

secara manual dengan membuat formulir yang berisi tentang; tipe artikel,
nama jurnal atau konferensi, tahun, judul, kata kunci, metode penelitian dan

lain-lain yang dilihat pada bagan PRISMA:

Hasil Jurnal secara keseluruhan


(n=24.000 )

Jurnal full teks


Jurnal yang dapat diakses full text Proquest n=6
(n=41) EBSCO n=4
Google Scholar n=31

Kriteria inklusi:
Jurnal yang berkaitan dengan
pengetahuan, pola makan dan
perawatan payudara.
Jurnal kelancaran ASI pada ibu
menyusui.
Proquest n=3
EBSCO n=2
Google Scholar n=5

Jurnal akhir yang sesuai kriteria


inklusi
(n=10 )
C. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling

1. Populasi

Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah jurnal

nasional. Jurnal yang didapatkan dari tahun 2010-2020 sebanyak 97 jurnal

nasional yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian

tuberkulosis. Jurnal yang dapat diproses keseluruhan teks dan disaring jurnal

yang berkaitan dengan variabel independen.

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini berjumlah 10 jurnal yang dapat dianalisis dan

dipersempit oleh peneliti terkait variabel independen dan sesuai dengan

kriteria inklusi yaitu penelitian nasional yang berkaitan dengan faktor-faktor

yang mempengaruhi kejadian tuberkulosis.

3. Teknik Sampling

Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik purposive

sampling, yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sample

di antara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti (tujuan dan

masalah dalam penelitian), sehingga sampel dapat mewakili karakteristik

populasi yang telah diketahui sebelumnya. Berdasarkan karakteristik

populasi yang telah diketahui, maka dibuat kriteria inklusi dan eksklusi.

Kriteria Inklusi adalah semua aspek yang harus ada dalam sebuah penelitian

yang akan kita review dan kirteria eksklusi adalah faktor – faktor yang dapat

menyebabkan sebuah penelitian menjadi tidak layak untuk di review;

sebagai berikut:
a. Kriteria Inklusi

1) Artikel penelitian nasional dan internasional yang berkaitan dengan

faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian tuberkulosis.

2) Artikel penelitian diterbitkan dalam rentang waktu 5 tahun

3) Tipe artikel penelitian review articles, research articles

4) Artikel penelitian yang dapat diakses secara penuh

b. Kriteria Eksklusi

1) Artikel penelitian nasional dan internasional yang tidak berkaitan

dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian tuberkulosis.

2) Artikel penelitian diterbitkan telah lebih dari 5 tahun

D. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, obyek,

atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang di tetapkan oleh peneliti

untuk di pelajari kemudian di tarik kesimpulannya. Variabel dalam penelitian

ini meliputi :

1. Variabel Independen

Variabel independen atau bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau

yang menjadi sebab perubahan timbulnya variabel dependen (Sugiyono,

2013). Variabel independen dalam penelitian ini adalah merokok, status

gizi, riwayat kontak.

2. Variabel Dependen
Variabel dependen atau terikat adalah variabel yang di pengaruhi atau yang

menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiono, 2013). Variabel

dependen dalam penelitian ini adalah kejadian tuberkulosis.

E. Analisa Data

Setelah melewati tahap protokol sampai pada ekstraksi data, maka

analisis data dilakukan dengan menggabungkan semua data yang telah

memenuhi kriteria inklusi mengguakan teknik secara deskriptif untuk

memberikan gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian

tuberkulosis.
DAFTAR PUSTAKA

Indah, M. 2018. ‘Tuberkulosis’, InfoDATIN 2018. Kementerian Kesehatan


Republik Indonesia.

Irwan. 2017. Epidemiologi Penyakit Menular. Absolut Media.

Istiany & Rusilanti. 2013. Gizi Terapan. Jakarta: Remaja Rosdakarya.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Strategi Nasional


Pengendalian TB di Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Pedoman Nasional


Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Kemenkes RI.

Kementerian Kesehatan RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.


Jakarta: Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Konsensus Pengelolaan


Tuberkulosis dan Diabetes Melitus (TB-DM) di Indonesia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Modul Pelatihan Pencegahan


Pengendalian Penyakit TB. Jakarta: Kemenkes RI.

Kowalak. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC

Kurniawan, et al., 2016. Nilai diagnostic metode “Real Time” PCR geneXpert
pada TB Paru BTA negative. Jurnal Kesehatan Andalas, vol 5, 3.

Naga. 2013. Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam. Yogyakarta: Diva
Press.

Oktavia, S. 2015. Analisis Faktor Risiko Kejadian Tb Paru Di Wilayah Kerja


Puskesmas Kertapati Palembang Analysis Of Risk Factors For Pulmonary
Tb Incidence.

Permenkes RI No 23 Tahun 2016. Tentang Penanggulangan Tuberkulosis.

Rimbi, N. 2014. Cerdik Penyakit-Penyakit Menular. Jogjakarta: Serambi Semesta


Distribusi.

Supariasa, dkk. 2016. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.

Utji, R. 2013. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. (Edisi Revisi). Jakarta:


Binarupa Aksara.
World Health Organization (WHO). 2016. Global Tuberculosis Report.

World Health Organization (WHO). 2017. Global Tuberculosis Report.

World Health Organization (WHO). 2018. Global Tuberculosis Report.

World Health Organization (WHO). 2019. Global Tuberculosis Report.

Anda mungkin juga menyukai