Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

TBC PARU

Disusun Oleh:
Nama : dr. Hj. Isnayati
NIP : 19840716 201101 2 002

UPTD PUSKESMAS PULOMERAK


2019-2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini,
sebagai salah satu persyaratan kenaikan golongan.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memaparkan landasan
pemikiran mengenai Tuberculosis .
Penulis menyadari makalah ini tidaklah sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
makalah ini.
Semoga dapat bermanfaat. Akhir kata penulis mengucapkan Terima Kasih

Cilegon, Desember 2021

Dr. Hj. Isnayati


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium


tuberkulosis dan bersifat menular. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa
sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Setiap detik ada satu orang yang
terinfeksi tuberkulosis. Di Indonesia pemberantasan penyakit tuberkulosis telah dimulai sejak
tahun 1950 dan sesuai rekomendasi WHO sejak tahun 1986 regimen pengobatan yang semula 12
bulan diganti dengan pengobatan selama 6-9 bulan. Insidensi kasus baru TBC dengan BTA
positif sebesar 189 per 100.000 penduduk atau sekitar 450.000 kasus. Kematian akibat TB di
luar HIV sebesar 27 per 100.000 penduduk atau 182 orang per hari. Menurut laporan WHO
tahun 2013, Indonesia menempati urutan ke tiga jumlah kasus tuberkulosis setelah India dan
Cina dengan jumlah sebesar 700 ribu kasus. Angka kematian masih sama dengan tahun 2011
sebesar 27 per 100.000 penduduk, tetapi angka insidennya turun menjadi 185 per 100.000
penduduk di tahun 2012.(1)
Angka kematian TBC yang masih tinggi di Indonesia membuat penulis menulis
makalah tentang TBC

1.1 Tujuan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan tentang TBC.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TUBERKULOSIS
2.1.1 Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang ditandai dengan pembentukan granuloma pada jaringan yang
terinfeksi, terutama paru-paru. Penyakit tuberkulosis ini, selain menyerang paru-paru juga
dapat menyebar ke hampir seluruh bagian tubuh termasuk meningens, ginjal, tulang, nodus
limfe.(4)
Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman aerob yang dapat hidup terutama di
paru/berbagai organ tubuh lainnya yang bertekanan parsial tinggi. Kuman Tuberkulosis
berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh
karena itu disebut pula sebagai basil tahan asam (BTA), kuman TB cepat mati dengan sinar
matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab.
(4)

2.1.2 Epidemiologi
Tuberculosis sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan di dunia walaupun
upaya pengendalian dengan strategi DOTS telah diterapkan di banyak negara sejak tahun 1995.
(5,6)
Menurut WHO Global Tuberculosis Control (2010), saat ini peringkat Indonesia sudah
menurun menjadi peringkat 5 dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria, dari
sebelumnya peringkat ke-3 dalam beban penderita tuberkulosis. Diperkirakan angka kematian
akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun. (4) Tahun 1995 Indonesia
menerapkan strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) sebagai strategi
penanggulangan TB yang direkomenasikan WHO. Strategi ini diterapkan sebagai Program TB
Nasional di berbagai negara termasuk Indonesia.(4)
Laporan WHO tahun 2006 menyimpulkan ada 22 negara dengan kategori beban
tertinggi terhadap TB paru. Sekitar 80% penderita TB paru di dunia berada pada 22 negara
berkembang. Setiap hari ada 25.205 orang jatuh sakit TB. Kejadian TB di Indonesia, setiap hari
ada 1.464 orang akan jatuh sakit TB.(6) Dengan berbagai kemajuan yang dicapai sejak tahun
2003, diperkirakan masih terdapat sekitar 9,5 juta kasus baru TB, dan sekitar 0,5 juta orang
meninggal akibat TB di seluruh dunia.(7)
Pengendalian Tuberkulosis (TB) di Indonesia telah mendekati target Millenium
Development Goals (MDGs). Pada tahun 2008 prevalensi TB di Indonesia mencapai 253 per
100.000 penduduk. Sasaran strategi nasional pengendalian tuberkulosis hingga 2014 mengacu
pada rencana strategis Kementrian Kesehatan 2009-2014 yaitu menurunkan angka prevalensi
tuberculosis dari 235 per 100.000 penduduk menjadi 224 per 100.000 penduduk. Saat ini
diperkirkan ada 1 setiap 3 kasus tuberculosis yang masih belum terdeteksi oleh program.
Sedangkan target MDGs pada tahun 2015 adalah 222 per 100.000 penduduk.(4,8)
Walaupun telah banyak kemajuan yang dicapai dalam Penanggulangan TB di
Indonesia, tapi tantangan masalah TB ke depan masih besar. Terutama dengan adanya
tantangan baru berupa perkembangan HIV dan MDR (Multi Drugs Resistance) TB. Menkes
menyadari TB tidak bisa diberantas oleh Pemerintah atau jajaran kesehatan saja, tetapi harus
melibatkan dan bermitra dengan banyak sektor.(6)
Ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menilai tingkat keberhasilan
program pengendalian TB, yang terutama adalah indikator penemuan kasus, indikator
pengobatan dan angka keberhasilan pengobatan TB yang dipublikasi dalam bentuk Infodatin
Tuberkulosis.(9)

2.1.3 Penularan TB
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak yang
dikeluarkannya. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar
3000 percikan dahak. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil pemeriksaan BTA
negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi oleh karena
jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji ≤ dari 5.000 kuman/cc dahak sehingga sulit
dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis langsung. Pasien TB dengan BTA negatif juga
masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA
positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan
pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto toraks positif adalah 17%. Infeksi akan terjadi
apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percik renik dahak yang infeksius
tersebut.(5)
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan di mana percikan dahak berada dalam
waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari
langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam
keadaan yang gelap dan lembab.(10) Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan
Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko
terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000
penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB
dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.
Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Dengan ARTI 1%,
diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10%
diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah
pasien TB BTA positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi
buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit.
Orang dengan BTA (+) dapat menginfeksi hingga 10-15 orang lain melalui kontak dekat
selama setahun. Tanpa pengobatan yang tepat, dua pertiga orang dengan sakit TB akan
meninggal dunia.(10)

2.1.4 Strategi nasional program pengendalian TB


Strategi penanggulangan TB dalam pencapaian eliminasi nasional TB meliputi(11):
a. Penguatan kepemimpinan program TB di kabupaten/kota
1) Promosi: Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial
2) Regulasi dan peningkatan pembiayaan
3) Koordinasi dan sinergi program
b. Peningkatan akses layanan TB yang bermutu
1) Peningkatan jejaring layanan TB melalui PPM (public-private mix)
2) Penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat
3) Peningkatan kolaborasi layanan melalui TB-HIV, TB-DM, MTBS, PAL, dan lain
sebagainya
4) Inovasi diagnosis TB sesuai dengan alat/saran diagnostik yang baru
5) Kepatuhan dan kelangsungan pengobatan pasien atau Case holding
6) Bekerja sama dengan asuransi kesehatan dalam rangka Cakupan Layanan
Semesta (health universal coverage).
c. Pengendalian faktor risiko
1) Promosi lingkungan dan hidup sehat.
2) Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TB
3) Pengobatan pencegahan dan imunisasi TB
4) Memaksimalkan penemuan TB secara dini, mempertahankan cakupan dan
keberhasilan pengobatan yang tinggi.
d. Peningkatan kemitraan TB melalui Forum Koordinasi TB
1) Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di pusat
2) Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di daerah
e. Peningkatan kemandirian masyarakat dalam penanggulangan TB
1) Peningkatan partisipasi pasien, mantan pasien, keluarga dan masyarakat
2) Pelibatan peran masyarakat dalam promosi, penemuan kasus, dan dukungan
pengobatan TB
3) Pemberdayan masyarakat melalui integrasi TB di upaya kesehatan berbasis
keluarga dan masyarakat
f. Penguatan manajemen program (health system strenghtening)
1) Sumber daya manusia
2) Logistik
3) Regulasi dan pembiayaan
4) Sistem Informasi, termasuk mandatory notification
5) Penelitian dan pengembangan inovasi program
2.1.5 Penemuan Kasus TB
Penemuan pasien bertujuan untuk mendapatkan pasien TB melalui serangkaian
kegiatan mulai dari penjaringan terhadap terduga pasien TB, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang yang diperlukan, menentukan diagnosis, menentukan klasifikasi
penyakit serta tipe pasien TB. Setelah diagnosis ditetapkan dilanjutkan dengan pengobatan
yang adekuat sampai sembuh sehingga tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain.(11)
a.Strategi penemuan
Strategi penemuan pasien TB dapat dilakukan secara pasif, intensif, aktif dan masif.
Upaya penemuan pasien TB harus didukung dengan kegiatan promosi yang aktif,
sehingga semua terduga TB dapat ditemukan secara dini. Penemuan pasien TB dilakukan
secara pasif intensif di fasilitas kesehatan dengan jejaring layanan TB melalui Public-
Private Mix (PPM), dan kolaborasi berupa kegiatan TB-HIV, TB-DM (Diabetes
Mellitus), TB-Gizi, Pendekatan Praktis Kesehatan paru (PAL = Practical Approach to
Lung health), ManajemenTerpadu Balita Sakit (MTBS), Manajemen Terpadu Dewasa
Sakit (MTDS).
Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan
tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan; didukung dengan penyuluhan
secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan
cakupan penemuan tersangka pasien TB. Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB,
terutama mereka yang BTA positif dan pada keluarga anak yang menderita TB yang
menunjukkan gejala sama, harus diperiksa dahaknya.
Penemuan pasien TBsecara aktif dan/atau masif berbasis keluarga dan masyarakat,
dapat dibantu oleh kader dari posyandu, pos TB desa, tokoh masyarakat, dan tokoh
agama. Kegiatan ini dapat berupa:
 Investigasi kontak pada paling sedikit 10 - 15 orang kontak erat dengan pasien TB.
 Penemuan di tempat khusus: Lapas/Rutan, tempat kerja, asrama, pondok pesantren,
sekolah, panti jompo.
 Penemuan di populasi berisiko: tempat penampungan pengungsi, daerah kumuh.(11)
b. Diagnosis
Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis, pemeriksaan
klinis, pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala utama
pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti
dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan
lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari
tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut
diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis,
bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di
Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke sarana pelayanan
kesehatan dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek)
pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.(11)

2.1.6 Patogenesis
Kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar
kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas 1 – 2 jam, tergantung pada ada
tidaknya sinar ultaviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan
gelap, kuman apat tahan berhari – hari sampai berbulan – bulan. Bila partikel infeksi ini terisap
oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk
ke alveolar bila ukuran partikel < 5 mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh
neutrofil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakkan partikel ini akan mati atau dibersihkan
oleh makrofag keluar dari percabangan trankeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya.
(10)

Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma makrofag.
Disini dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru
akan berbentuk sarang atau afek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat
terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi
pleura. Kuman dapat masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit,
terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh
organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran
ke seluruh bagian paru menjadi TB milier.(10)
Tuberkulosis Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet
yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosillier
bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai di alveolus dan menetap disana. Kuman akan
menghadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru makrofag. Kebanyakan partikel ini akan
mati atau di bersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan
silia dengan sekretnya.(10)
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Di
sini ia akan terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru
berbentuk sarang tuberkulosa pneumonia kecil dan di sebut sarang prime atau afek prime atau
sarang (fokus) Ghon. (10)
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal) dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis
regional). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat
menjadi: (10)
· Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat, ini banyak terjadi
· Sembuh dengan sedikit meninggalkan bekas berupa garis-garis fibrosis, kalsifikasi di hilus
· Berkomplikasi dan menyebar secara per kontinuitatum (menyebar ke skitarnya), secara
bronkogen pada paru yang bersangkutan, secara limfogen dan secara hematogen.
Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah
infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi
yang buruk. Tuberkulosis pasca primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio
atas paru (apikal-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya ke daerah parenkim dan tidak
ke nodus hiler paru. (10)
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu
sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit dan sel
Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai
jaringan ikat.(10)

2.1.7 Gejala Klinik


· Demam: biasanya subfebril menyerupai demam influenza, tetapi kadang-kadang panas
badan dapat mencapai 40-410C, demam hilang timbul
· Batuk, sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul
peradangan menjadi produktif (sputum). Keadaan lanjut dapat terjadi batuk darah
· Sesak napas, sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltratnya
sudah meliputi setengah bagian paru-paru
· Nyeri dada. Nyeri dada timbul bila infiltrate radang sudah sampai ke pleura sehingga
menimbulkan pleuritis
· Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise),
berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan
Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan konjungtiva anemis, demam, badan kurus, berat badan menurun.
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apex paru, bila dicurga
adanya infiltrate yang luas, maka pada perkusi akan didapatkan suara redup, auskultasi bronchial
dan suara tambahan ronki basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrate diliputi penebalan
pleura maka suara nafas akan menjadi vesicular melemah. Bila terdapat kavitas yang luas akan
ditemukan perkusi hipersonor atau timpani.(4)

Pemeriksaan Radiologis
Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia, gambaran
radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas tidak tegas. Bila lesi sudah
diliputi jaringan ikat maka banyangn terlihat berupa bulatan dengan batas tegas, lesi dikenal
sebagai tuberkuloma.(4)
Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdiniding tipis. Lama-lama
dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis terlihat bayangan bergaris-garis.
Pada kalsifikasi bayangannya terlihat sebagai bercak-bercak dengan densitas tinggi. Gambaran
radiologis lain yang sering menyertai TB paru adalah penebalan pleura, efusi pleura, empiema.(4)
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan
diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua
hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).(11)
· S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama
kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan
dahak pagi pada hari kedua.
· P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di sarana pelayanan
kesehatan.
· S (sewaktu): dahak dikumpulkan di sarana pelayanan kesehatan pada hari kedua,
saat menyerahkan dahak pagi.
Peran biakan dan identifikasi Mycobacterium tuberculosis (Mt) pada penanggulangan
TB khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT
yang digunakan.(6) Pemeriksaan tes cepat molekular (TCM) TB dengan metode Xpert MTB/RIF
merupakan sarana untuk penegakkan diagnosis, namun tidak dapat dimanfaatkan sebagai
evaluasi hasil pengobatan.

2.1.8 Alur diagnosis TB paru pada orang dewasa


Gambar 1. Alur Diagnosis TB Paru pada Orang Dewasa(11)
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan
bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis, tes
cepat molekuler TB dan biakan. Pemeriksaan TCM digunakan untuk penegakan diagnosis TB,
sedangkan pemantauan kemajuan pengobatan tetap dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks
tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB paru, sehingga dapat menyebabkan
terjadi overdiagnosis ataupun underdiagnosis. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan
pemeriksaan serologis.
Faskes yang mempunyai akses pemeriksaan TCM, penegakan diagnosis TB pada terduga
TB dilakukan dengan pemeriksaan TCM. Pada kondisi dimana pemeriksaan TCM tidak
memungkinkan (misalnya alat TCM melampui kapasitas pemeriksaan, alat TCM mengalami
kerusakan, dll), penegakan diagnosis TB dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis. Pasien
dengan hasil TCM M.tb negatif, lakukan pemeriksaan foto toraks. Jika gambaran foto toraks
mendukung TB dan atas pertimbangan dokter, pasien dapat didiagnosis sebagai pasien TB
terkonfirmasi klinis. Jika gambaran foto toraks tidak mendukung TB kemungkinan bukan TB,
dicari kemungkinan penyebab lain.
Faskes yang tidak mempunyai alat TCM dan kesulitan mengakses TCM, penegakan
diagnosis TB tetap menggunakan mikroskop. Jumlah contoh uji dahak untuk pemeriksaan
mikroskop sebanyak 2 (dua) dengan kualitas yang bagus. Contoh uji dapat berasal dari dahak
Sewaktu-Sewaktu atau Sewaktu-Pagi. BTA (+) adalah jika salah satu atau kedua contoh uji
dahak menunjukkan hasil pemeriksaan BTA positif. Pasien yang menunjukkan hasil BTA (+)
pada pemeriksaan dahak pertama, pasien dapat segera ditegakkan sebagai pasien dengan BTA
(+). BTA (-) adalah jika kedua contoh uji dahak menunjukkan hasil BTA negatif. Apabila
pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif, maka penegakan diagnosis TB dapat
dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya
pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter.
Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif dan tidak memilki akses
rujukan (radiologi/TCM/biakan) maka dilakukan pemberian terapi antibiotika spektrum luas
(Non OAT dan Non kuinolon) terlebih dahulu selama 1-2 minggu. Jika tidak ada perbaikan
klinis setelah pemberian antibiotik, pasien perlu dikaji faktor risiko TB. Pasien dengan faktor
risiko TB tinggi maka pasien dapat didiagnosis sebagai TB Klinis. Faktor risiko TB yang
dimaksud antara lain terbukti ada kontak dengan pasien TB, ada penyakit komorbid (HIV, DM),
tinggal di wilayah berisiko TB (lapas/Rutan, tempat penampungan pengungsi, daerah kumuh).(11)

2.1.9 Pengobatan Tuberkulosis


Pengobatan TB terutama berupa pemberian obat anti mikroba yang diberikan dalam
jangka waktu lama. Obat-obatan ini juga dapat digunakan untuk mencegah timbulnya penyakit
klinis pada seseorang yang sudah terjangkit infeksi. Penggunaan Obat Anti TB yang dipakai
dalam pengobatan TB adalah antibotik dan anti infeksi sintetis untuk membunuh mycobacterium
tuberculosis.
Aktifitas obat TB didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri,
aktifitas sterilisasi, dan mencegah resistensi. Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid,
Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid, dan Streptomisin. Kelompok obat ini disebut sebagai obat
primer, isoniazid adalah obat TB yang paling bekerja untuk membunuh bakteri. Sedangkan
rifampisin dan pirazinamid bekerja dalam mekanisme sterilisasi.
Penderita tidak boleh lupa minum obat, karena bila terjadi hal tersebut bisa terjadi gagal
pengobatan. Apabila penderita lupa minum obat, yang harus dilakukan adalah jika jarak waktu
antara ingat harus minum lebih dekat dengan jadwal seharusnya maka segera minum obat,
namun jika jarak waktu ingat minum obat lebih dekat dengan jawal berikutnya maka minum
obat seseuai jadwal berikutnya. Misalnya jika minum obat pada jam 8 pagi tetapi ingat pada jam
18 sore, sedangkan jam minum berikutnya adalah jam 8 pagi berikutnya maka segera sesudah
jam 18 minum obat yang seharusnya diminum hari tersebut. Sebaliknya, jika ingat minum obat
baru pada jam 22 malam, maka minum obat berikutnya adalah jam 8 besok pagi. Pengobatan
tuberkulosis dilakukan dengan prinsip sebagai berikut :12

1. Obat harus diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.
2. Untuk menjamin kepatuhan pasien dalam menelan obat, perlu dilakukan pengawasan
langsung (DOT) oleh seorang pengawas menelan obat (PMO).
3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal intensif dan
tahap lanjutkan.

2.1.10 Panduan OAT yang Digunakan di Indonesia


Paduan pengobatan yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan TB oleh
Pemerintah Indonesia 12 :
 Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3.
Obat ini diberikan kepada penderita baru TB Paru BTA positif, penderita baru TB
Paru BTA negatif tetapi rontgen menunjukan diganosa TB atau pasien dengan
gejala klinis berat.
 Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3.
Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA positif yang sebelumnya pernah
diobati (penderita kambuh, penderita gagal, penderita dengan pengobatan setelah
lalai atau putus).
 Kategori 3 : 2 HRZ/4H3R3.
Obat ini diberikan untuk penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit
ringan, penderita TB ekstra paru.
2.1.11 Tahapan Pengobatan
Tahap pengobatan menurut WHO (1991) dibagi pada 2 tahap yaitu:
 Tahap intensif
Melalui kegiatan bakterisid memusnahkan kuman terutama pada populasi kuman
yang membelah dengan cepat, dengan menggunakan sedikitnya 2 obat bakterisid.
Ripamfisin, Isonazid, Pirazimamid dan Etambutol diberikan setiap hari selama 2
bulan, optimal pada 2 bulan dimana konversi sputum terjadi pada akhir bulan
kedua.
 Tahap lanjutan
Melalui kegiatan sterilisasi kuman pada pengobatan jangka pendek, atau kegiatan
bakteriostatik pada pengobatan konvensional selama sisa masa pengobatan,
dengan menggunakan 2 obat berkala 2-3 kali seminggu selama 4 bulan.13
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Dari hasil pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Tuberculosis sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan di dunia
walaupun upaya pengendalian dengan strategi DOTS telah diterapkan di banyak
negara sejak tahun 1995.(5,6) Menurut WHO Global Tuberculosis Control
(2010), saat ini peringkat Indonesia sudah menurun menjadi peringkat 5 dunia
setelah India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria, dari sebelumnya peringkat ke-3
dalam beban penderita tuberkulosis. Diperkirakan angka kematian akibat TB
adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun.(4)
2. Tahun 1995 Indonesia menerapkan strategi Directly Observed Treatment
Shortcourse (DOTS) sebagai strategi penanggulangan TB yang direkomendasikan
WHO. Strategi ini diterapkan sebagai Program TB Nasional di berbagai negara
termasuk Indonesia.(4)

3.2 Saran

3.2.1 Bagi Masyarakat

Masyarakat diharapkan dapat mencari kebih banyak pengetahuan tentang penyakit


TBC Paru. sehingga mencegah penularan dan menurunkan angka kesakitan dan angka
kematian akibat Penyakit TBC Paru.

3.2.2 Bagi Tenaga Kesehatan


Melaksanakan penyuluhan-penyuluhan mengenai penyakit TBC ke masyarakat luas.
DAFTAR PUSTAKA

1. Suharyo.2013. Determinan Penyakit Tuberkulosis di Daerah Pedesaan. Jurnal Kesehatan


Masyarakat,9(1):85-91
2. Sri Rahayu. (2007). Gambaran Pengetahuan Pasien tentang Penyakit Tuberkulosis di
Wilayah Kerja Puskesmas Andong Boyolali.. STkes Kusuma Husada Surakarta.
3. Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta :
Rineka Cipta

4. Rye A, Saleh YD, Hadiwijoyo Y. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penemuan


Penderita TB Paru di Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah. Berita Kedokteran
Masyarakat. 2009; 25(4): 189-94.
5. Direktoran Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia; 2014. p. 1-3
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis Dan
Penatalaksanaan Di Indonesia. PDPI. 2006. Available at:
http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html. Accessed on September 2017
7. Direktoran Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Terobosan
Menuju Akses Universal Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia Tahun 2010 –
2014. Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2011. p. 1-80
8. Murti ES, Prabandari YS, Riyanto BS. Efektivitas Promosi Kesehatan Dengan Peer
Education Pada Kelompok Dasawisma Dalam Upaya Penemuan Tersangka Penderita TB
Paru. Berita Kedokteran Masyarakat. 2006; 22(3): 128-34.
9. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI Direktur Jendral Bina Kesehatan Masyarakat. 2007; p3-4.
10. Division of Tuberculosis Elimination.Tuberculosis. Last update April 28, 2015.
Available at: http://www.cdc.gov/tb/. Accessed on 4th October 2015
11. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan No. 67 Tahun
2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia; 2016.
12. Depkes RI. (2002). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Jakarta.
13. WHO.(2008). Country Profile Indonesia. Diambil tanggal 15 November 2010
dari http://tbcindonesia.or.id/pdf/TBProfile/Indonesia-Profile-2008.pdf.

Anda mungkin juga menyukai