Anda di halaman 1dari 82

1

LAPORAN MINI PROJECT

GAMBARAN PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS


NIKI-NIKI PERIODE 2019 – 2021

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Pelayanan Kesehatan Masyarakat Primer

Program Internsip Dokter Indonesia

Disusun Oleh :

dr. Julio Ludji Pau


dr. Wayan Sadhira Gita K
dr. Lidiya
dr. Liberty Yuliana Mandaha

Pembimbing :

dr. Christin Englin W. Liu

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

UPT PUSKESMAS NIKI-NIKI - TIMOR TENGAH SELATAN

NUSA TENGGARA TIMUR

2022
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan penyertaan-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan mini project
yang berjudul “GAMBARAN PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI
PUSKESMAS NIKI-NIKI PERIODE 2019 - 2021”.

Bersama dengan selesainya penyusunan mini project ini, peneliti


menyampaikan terima kasih kepada dr. Christin Englin W. Liu, selaku dokter
pendamping, serta seluruh pihak yang telah memberikan bantuan bimbingan dan
nasihat selama ini.

Kami menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran sangatlah kami harapkan agar penelitian ini dapat lebih
manfaat baik bagi peneliti, tenaga kesehatan maupun masyarakat Niki-Niki.

Niki-Niki, 2 November 2022

Peneliti
3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tuberculosis (TB) merupakan penyakit paru maupun ekstra paru menular

yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penyakit TB disebabkan oleh

bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini bila tidak diobati dapat

menimbulkan komplikasi yang berbahaya hingga menyebabkan kematian. Gejala–

gejala yang muncul pada seseorang yang terinfeksi penyakit TB seperti batuk

lama 2 minggu atau lebih, dahak bercampur darah, sesak nafas, badan lemas,

nafsu makan menurun hingga menyebabkan penurunan berat badan yang drastis,

berkeringat pada malam hari tanpa kegiatan fisik, demam dan meriang lebih dari

satu bulan.1

Penyakit TB selain dapat menginfeksi organ paru, dapat juga menginfeksi

organ lain dan memiliki gejala sesuai pada organ yang terkena, misalnya kaku

kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada saat bernapas pada TB Pleura (Pleuritis),

pembesaran kelenjar getah bening pada limfadenitis TB serta deformitas atau

perubahan bentuk tulang belakang (Gibbus) pada spondilitisTB, dan lain-lainnya

(Kemenkes RI, 2016).

Dalam laporan WHO tahun 2013 diperkirakan terdapat 8.6 juta kasus TB

pada tahun 2012 di mana 1.1 juta orang (13%) di antaranya adalah pasien dengan

HIV positif. Sekitar 75% dari pasien tersebut berada di wilayah Afrika. Pada

tahun 2012 diperkirakan 450.000 orang yang menderita TB MDR(Multi-Drug


4

Resistance) dan 170.000 di antaranya meninggal dunia. Pada tahun 2012

diperkirakan proporsi kasus TB anak di antara seluruh kasus TB secara global

mencapai 6% atau 530.000 anak menderita TB tiap tahunnya, atau sekitar 8% dari

total kematian yang disebabkan penyakit TB. 2

Indonesia berpeluang mencapai penurunan angka kesakitan dan kematian

akibat TB menjadi setengahnya di tahun 2015 jika dibandingkan dengan data

tahun 1990. Angka prevalensi TB yang pada tahun 1990 sebesar 443 per 100.000

penduduk, pada tahun 2015 ditargetkan menjadi 280 per 100.000 penduduk.

Berdasarkan hasil survei prevalensi TB 2013, prevalensi TB paru per 100.000

penduduk pada usia 15 tahun ke atas sebesar 257. 3

Angka notifikasi kasus menggambarkan cakupan penemuan kasus TB.

Secara umum angka notifikasi kasus BTA positif baru dan semua kasus dari tahun

ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan. Angka notifikasi kasus (case

notification rate/CNR) pada tahun 2015 untuk semua kasus sebesar 117 per

100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2016).

Pada tahun 2018 jumlah kasus baru BTA positif di wilayah kerja

Puskesmas Niki-Niki yakni sebesar 30 kasus yang terdiri dari 19 orang laki-laki

dan 11 orang perempuan dari total penderita TB pada 4000 penduduk Kecamatan

Niki-Niki (Puskesmas Niki-Niki, 2018).

Banyaknya kasus baru BTA positif di wilayah kerja Puskesmas Niki-Niki

yang mencapai setengah dari total penderita TB, penulis merasa penting untuk

menggali lebih dalam mengenai pengendalian kasus TB di wilayah kerja


5

Puskesmas Niki-Niki serta membuat inovasi untuk berpartisipasi dalam

pengengalian kasus TB.

1.2 Rumusan Masalah

Uraian ringkas dalam latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran penderita tuberkulosis paru di
Puskesmas Niki-Niki periode 2019 – 2021?”

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kejadian kasus TB Paru

di wilayah kerja Puskesmas Niki-Niki pada tahun 2019-2021.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat untuk peneliti

Penelitian ini bermanfaat untuk melatih keterampilan peneliti dalam

mengolah data yang tersedia dan menganalisis hasil olahan data tersebut.

Penelitian ini juga akan menambah wawasan dan ilmu pengetahuan

peneliti mengenai pengendalian penyakit TB.

1.4.2 Manfaat untuk pasien

Penelitian ini bermanfaat untuk menyediakan informasi mengenai

mencegah penularan serta membantu pasien dalam menyelesaikan

pengobatan penyakit TB.

1.4.3 Manfaat untuk institusi

Penelitian ini bermanfaat untuk menyediakan informasi dalam

perancangan inovasi pencegahan dan pengendalian kasus TB di wilayah

kerja Puskesmas Niki - Niki.


6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 EPIDEMIOLOGI

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang


penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberkulosis sebagai “ Global Emergency” . Laporan WHO tahun
2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun
2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO
jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus
TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per
100.000 penduduk2. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu
350 per 100.000 pendduduk.4

Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3


juta setiap tahun. Laporan WHO menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian
akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti
sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di
Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi
mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul. 2

Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB


setelah India dan China. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar
140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor
satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga
setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan
usia.1
7

Berikut ini adalah gambaran penyebaran penyakit Tuberkulosis di seluruh


dunia

Gambar 1. Penyebaran Penyakit Tuberkulosis di Seluruh Dunia 4

II.2 DEFINISI

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi


Mycobacterium tuberculosis.4

II.3 MIKROBIOLOGI

A. Morfologi dan Struktur Bakteri

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit


melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 –
0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri
dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M.
tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa
dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan
dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 –
8

C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan
peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding
sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan.
Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis
bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya
penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam–alkohol.3

Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu


komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis
dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah
dikenal purified antigens dengan berat molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38
kDa, 65 kDa yang memberikan sensitifitas dan spesifisitas yang berfariasi dalam
mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen M.tuberculosis dalam
kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen
yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000
a, protein MTP 40 dan lain lain.4

B. Biomolekuler

Genom M. tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega base) dengan


kandungan guanin (G) dan sitosin (C) terbanyak. Dari hasil pemetaan gen, telah
diketahui lebih dari 165 gen dan penanda genetik yang dibagi dalam 3 kelompok.
Kelompok 1 gen yang merupakan sikuen DNA mikobakteria yang selalu ada
(conserved) sebagai DNA target, kelompok II merupakan sikuen DNA yang
menyandi antigen protein, sedangkan kelompok III adalah sikuen DNA ulangan
seperti elemen sisipan.4

Gen pab dan gen groEL masing-masing menyandi protein berikatan posfat
misalnya protein 38 kDa dan protein kejut panas (heat shock protein) seperti
protein 65 kDa, gen katG menyandi katalase-peroksidase dan gen 16SrRNA (rrs)
menyandi protein ribosomal S12 sedangkan gen rpoB menyandi RNA polimerase.

Sikuen sisipan DNA (IS) adalah elemen genetik yang mobile. Lebih dari
16 IS ada dalam mikobakteria antara lain IS6110, IS1081 dan elemen seperti IS
9

(IS-like element). Deteksi gen tersebut dapat dilakukan dengan teknik PCR dan
RFLP.5

Gambar 2. Gambaran mikroskopik M. Tuberculosis dengan Pewarnaan


Ziehl Neelsen4

II.4 PATOGENESIS

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi
oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit
kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB.
Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan
kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam
makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di
tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus
Primer GOHN.5

Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju


kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus
primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
10

adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks
paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan
gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis). 4

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya


kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu
yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang
waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga
mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas seluler.6

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan


logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi
terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat
terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi.
Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama
masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk,
imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu
dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang,
proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap
hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru
yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan. 6

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya


mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini. 7
11

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang


terjadi dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus
primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis
fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair
dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru
(kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal
saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus
dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat
menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis
perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat
menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan
pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-
konsolidasi.3
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan
pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. 3

Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk


penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis.4 Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ
di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai
vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks
paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi
dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan
membatasi pertumbuhannya.6
12

Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi


pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman.
Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi
untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai
Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu
menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di
organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.6

Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik


generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB
secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu
2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan
virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran.
Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu
(host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita. 4

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic


spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui
cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal
dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet
seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm,
yang secara histologi merupakan granuloma.5

Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted


hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan
menyebar ke saluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan
masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe
ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini
dapat terjadi secara berulang.3

Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama),


biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB
13

paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru


kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier
atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer.
Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran
kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan).
Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya
infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam
lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada
anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda. 4

Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang


terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan
paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB
ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.5

Gambar 3. Skema Perkembangan Sarang Tuberkulosis Post Primer dan


Perjalanan Penyembuhannya5
14

Gambar 4. Patogenesis Tuberkulosis3

II.5 KLASIFIKASI

A. Tuberkulosis Paru3,4

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru,


tidak termasuk pleura.
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)

TB paru dibagi atas:

a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:


Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan
satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif.

b. Tuberkulosis paru BTA (-)


15

1) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran


klinik dan kelainan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif.
2) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.
tuberculosis positif.

2. Berdasarkan tipe pasien


Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe pasien yaitu :
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan
positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi
aktif / perburukan dan terdapat gejalaklinis maka harus dipikirkan beberapa
kemungkinan :
1) Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan
dahulu antibiotik selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.
2) Infeksi jamur
3) TB paru kambuh
Bila meragukan harap konsul ke ahlinya.
c. Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelum masa pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal
1) Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan).
2) Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif
menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
16

e. Kasus kronik / persisten


Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.

Catatan:
a. Kasus pindahan (transfer in):
Adalah pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan
kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Pasien pindahan tersebut harus
membawa surat rujukan / pindah.
b. Kasus Bekas TB:
1) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan
gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto
serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT
adekuat akan lebih mendukung.
2) Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan
gambaran radiologic.9

B. Tuberkulosis Ekstra Paru5


Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh
lain selain paru, misalnya pleura, kelenjar getah bening, selaput otak, perikard,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi.
Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka
diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstra paru aktif.

II.6 DIAGNOSIS

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,


pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan
pemeriksaan penunjang lainnya.
17

A. Gejala klinik

Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala


lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal
ialah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
1. Gejala respiratorik3
a. batuk-batuk lebih dari 2 minggu
b. batuk darah
c. sesak napas
d. nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada
saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka
pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.

2. Gejala sistemik4
a. Demam
b. Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun.

3. Gejala tuberkulosis ekstra paru


Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan
tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat
gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas
& kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

B. Pemeriksaan Fisik4,5

Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari


organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya
18

tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya
terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1
& S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki
basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.

Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari


banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang
terdapat cairan.

Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,


tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-
kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold
abscess”

Gambar 5. Paru : Apeks Lobus Superior dan Apeks Lobus Inferior3,4

C. Pemeriksaan Bakteriologik

1. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk
pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
19

(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi


jarum halus/BJH).6

2. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan


Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
a. Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
b. Pagi ( keesokan harinya )
c. Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan
dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau
lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada
fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi)
sebelum dikirim ke laboratorium.

Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas
objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl
0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium.
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke
dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah
tertulis identitas pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan
laboratorium.7

Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan


pasien, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos. Cara
pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:8
a. Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian
tengahnya.
b. Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah
dari kertas saring sebanyak + 1 ml.
c. Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu
ujung yang tidak mengandung bahan dahak.
20

d. Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang


aman, misal di dalam dus.
e. Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong
plastik kecil.
f. Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan
melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi.
g. Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan
dahak.
h. Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat
laboratorium.

3. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.


Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat
dilakukan dengan cara :8
a. Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk
screening) lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah
bila :
1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative : BTA positif
2) 1 kali positif, 2 kali negative : ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas
foto toraks, kemudian
o bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif
o bila 3 kali negatif : BTA negatif

Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD


(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease) :
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
21

1) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan.
2) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).
3) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
4) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).

Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst


Skala Bronkhorst (BR) :
1) BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan.
2) BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang.
3) BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang.
4) BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang.
5) BR V : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang.

b. Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan


metode konvensional ialah dengan cara :
1) Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh.
2) Agar base media : Middle brook.

Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan


dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other
than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan
beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji
nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta
melihat pigmen yang timbul.9

D. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi:
foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks,
tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif : 8
1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah.
22

2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif


1. Fibrotik
2. Kalsifikasi
3. Schwarte atau penebalan pleura

Luluh paru (destroyed Lung ) :


1. Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,
biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru
terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikavitas dan fibrosis parenkim paru. Sulit
untuk menilai aktivitas lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran
radiologik tersebut.
2. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses
penyakit.

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA negatif) :
1. Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan
luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas
chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari
vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai
kavitas
2. Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.

E. Pemeriksaan Khusus9,10

Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya


waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara
23

konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru
yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.

1. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode
radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian
menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini.
Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat
untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan.

2. Polymerase chain reaction (PCR)


Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA,
termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik
ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup
banyak dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya.

Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis


sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai
standar internasional. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data
lain tidak ada yang menunjang kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak
dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB.

Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen


pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun ekstra paru sesuai dengan organ
yang terlibat.

3. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda :


a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi
respon humoral berupa proses antigenantibodi yang terjadi. Beberapa masalah
dalam teknik ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam
waktu yang cukup lama.

b. ICT
24

Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji


serologik untuk mendeteksi antibodi M. tuberculosis dalam serum. Uji ICT
merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang
berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38
kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada
membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1
garis) disamping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml
diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati
garis antigen. Apabila serum mengandung antibody IgG terhadap
M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk
garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit
terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada
membran.

c. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji
ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada
suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan
ke dalam serum pasien, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi
spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai sesuai dengan aktiviti
penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir dan dapat dideteksi
dengan mudah.

d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)


Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi
yang terjadi dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang
diperoleh, para klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang
mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi.

e. Uji serologi yang baru / IgG TB


Saat ini pemeriksaan serologi belum dapat dipakai sebagai pegangan untuk
diagnosis.
25

F. Pemeriksaan Lain7,3

1. Analisis Cairan Pleura


Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu
dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis.
Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji
Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat
sel limfosit dominan dan glukosa rendah.

2. Pemeriksaan histopatologi jaringan


Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histologi. Bahan
jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu :
a. Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
b. Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen
Silverman)
c. Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi,
trans thoracal biopsy/TTB, biopsy paru terbuka).
d. Otopsi

Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan


dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi
untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.

3. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang
spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua
dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat
pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan
tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.

4. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di
Indonesia dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat
26

bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan
mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositifan dari uji
yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat
memberikan hasil negatif.

Gambar 6. Alur Diagnosis TB Paru6

II.7 PERJALANAN PENYAKIT

Cara penularan8,9

1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.


27

2. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percikan dahak.
3. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan
dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan
lembab.
4. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.
5. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

A. Risiko penularan11,12
1. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.
Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko
penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.
2. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko
Terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh)
orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.
3. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
4. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi
positif.

B. Risiko menjadi sakit TB12


1. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
2. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata
terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi
28

sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA


positif.
3. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk).
4. HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB
menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya
tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi
penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan
akan menjadi sakit parah bahkan bias mengakibatkan kematian. Bila
jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan
meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat
pula.

Pasien TB yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan:


1. 50% meninggal
2. 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi
3. 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular

Gambar 7. Faktor Risiko Kejadian TB8,13


29

II.8 PENATALAKSANAAN

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3


bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari
paduan obat utama dan tambahan.1,3,4,5,8

A. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


1. Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap
(OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (intensif)


a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam
2 bulan.

Tahap Lanjutan
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan
30

2. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
a. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan :
1) 2 RHZE / 4 RH atau
2) 2 RHZE / 4R3H3 atau
3) 2 RHZE/ 6HE.
Paduan ini dianjurkan untuk
1) TB paru BTA (+), kasus baru
2) TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh
paru)
Pada evaluasi hasil akhir pengobatan, bila dipertimbangkan untuk
memperpanjang fase lanjutan, dapat diberikan lebih lama dari waktu yang
ditentukan. (Bila perlu dapat dirujuk ke ahli paru). Bila ada fasilitas biakan dan
uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi

b. TB paru kasus kambuh


Pada TB paru kasus kambuh menggunakan 5 macam OAT pada fase
intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai
hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 5 bulan atau lebih,
sehingga paduan obat yang diberikan : 2 RHZES / 1 RHZE / 5 RHE. Bila
diperlukan pengobatan dapat diberikan lebih lama tergantung dari
perkembangan penyakit. Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka
alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (P2 TB).

c. TB Paru kasus gagal pengobatan


Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi dengan menggunakan
minimal 5 OAT (minimal 3 OAT yang masih sensitif), seandainya H resisten
tetap diberikan. Lama pengobatan minimal selama 1 - 2 tahun. Sambil
menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan obat 2 RHZES, untuk kemudian
dilanjutkan sesuai uji resistensi
31

1) Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan
paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (P2TB)
2) Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang
optimal
3) Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru

d. TB Paru kasus putus berobat


Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai
dengan kriteria sebagai berikut :
1) Pasien yang menghentikan pengobatannya < 2 bulan, pengobatan OAT
dilanjutkan sesuai jadwal.
2) Pasien menghentikan pengobatannya 2 bulan:
o Berobat 4 bulan, BTA saat ini negatif , klinik dan radiologik tidak aktif
/ perbaikan, pengobatan OAT STOP. Bila gambaran radiologik aktif,
lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan
mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti
TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih
kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika telah diobati
dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal.
o Berobat > 4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan dimulai dari awal
dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang
lebih lama. Jika telah diobati dengan kategori II maka pengobatan
kategori II diulang dari awal.
o Berobat < 4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif dengan klinik dan
radiologik positif: pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
yang sama
Jika memungkinkan sebaiknya diperiksa uji kepekaan (kultur resistensi)
terhadap OAT.

e. TB Paru kasus kronik


1) Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi,
berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil
32

uji resistensi (minimal terdapat 3 macam OAT yang masih sensitif dengan
H tetap diberikan walaupun resisten) ditambah dengan obat lini 2 seperti
kuinolon, betalaktam, makrolid.
2) Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.
3) Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan
penyembuhan.
4) Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru
Catatan : TB diluar paru lihat TB dalam keadaan khusus

Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini
disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami
efek samping OAT KDT.

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang


penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug
resistant tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi
TB merupakan prioriti utama WHO. International Union Against Tuberculosis
and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan
obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada
tahun 1998.5

Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:4,5


1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal.
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan
pengobatan yang tidak disengaja.
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar
dan standar.
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan
penggunaan monoterapi.
33

Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT3,4,5


Dosis (mg) / BB (kg)
Obat Dosis Dosis yang dianjurkan Dosis
(mg/kgBB/Hari) Harian Intermitten Maksimum
(mg/kgBB/Hari) (mg/kgBB/Hari) < 40 40-60 > 60
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000 Sesuai 750 1000
BB

Tabel 2. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 13,4,5,8


Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan
tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 3. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 14,5,8


Dosis per hari / kali Jumlah
Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Tablet hari/kali
Pengobatan Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan
@ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:4
a. Pasien baru TB paru BTA positif.
b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c. Pasien TB ekstra paru
34

Tabel 4. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 28


Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Berat Tiap hari 3 kali seminggu
Badan RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E (400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tablet Etambutol
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
+ 750 mg Streptomisin inj. + 3 tablet Etambutol
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tablet Etambutol
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 5 tablet Etambutol

Tabel 5. Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 23,5


Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Etambutol Streptomisin Jumlah/
Pengobatan Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Tablet Tablet Injeksi kali menelan
@ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg @ 400 mg obat
Tahap
Intenif 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56
(dosis 1 bulan 1 1 3 3 - - 28
harian
Tahap
Lanjutan 4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
(dosis 3x
seminggu)

Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:5
a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal
c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Catatan:
a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
35

Tabel 6. Dosis KDT untuk Sisipan3,4,5,8


Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

Tabel 7. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan8


Tahap Lamanya Tablet Kaplet Tablet Tablet Jumlah
Pengobatan Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol hari/kali
@ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg menelan obat
Tahap
Intensif 1 bulan 1 1 3 3 28
(dosis
harian)

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang


dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih
termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat
kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk
ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya.

B. Tatalaksana TB Anak3,5,11

Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik


overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan
gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB
anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor .

Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat Pedoman


Nasional Tuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring system),
yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman
tersebut secara resmi digunakan oleh program nasional penanggulangan
tuberkulosis untuk diagnosis TB anak. Lihat tabel 8. tentang sistem pembobotan
(scoring system) gejala dan pemeriksaan penunjang.
36

Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan
jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (>6), harus ditatalaksana sebagai
pasien TB dan mendapat OAT (obat anti tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6
tetapi secara klinis kecurigaan kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan
diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi,
pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan, dan
lain lainnya.11

Tabel 8. Sistem skoring (scoring system) gejala dan pemeriksaan


penunjang TB11
Parameter 0 1 2 3 Jumlah
Kontak TB Tidak Laporan BTA (+)
jelas keluarga, BTA
(-) atau tidak
tahu, BTA tidak
jelas
Uji Tuberkulin Negatif Positif (≥ 10
mm, atau ≥ 5
mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat badan/ Bawah garis merah Klinis gizi buruk
keadaan gizi (KMS) atau BB/U (BB/U < 60%)
< 80 %
Demam tanpa ≥ 2 minggu
sebab
Batuk ≥ 3 minggu
Pembesaran ≥ 1 cm, jumlah > 1,
kelenjar linfe tidak nyeri
koli, aksila,
inguinal
Pembengkakan Ada pembengkakan
tulang/sendi
panggul, lutut,
falang
Foto toraks Normal/ Kesan TB
tidak jelas
Jumlah

Catatan :
37

a. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.


b. Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik
lainnya seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain.
c. Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat
langsung didiagnosis tuberkulosis.
d. Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan tabel
badan badan.
e. Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
f. Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah
penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
g. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)
h. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih
lanjut.

Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini:
1. Tanda bahaya:
a. kejang, kaku kuduk
b. penurunan kesadaran
c. kegawatan lain, misalnya sesak napas
2. Foto toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura
3. Gibbus, koksitis
38

Gambar 8. Alur Tatalaksana Pasien TB Anak Pada Unit Pelayanan


Kesehatan Dasar11

Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup


adekuat. Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun
pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter
terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis
yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak menunjukkan perubahan yang
berarti, OAT tetap dihentikan.11
Kategori Anak (2RHZ/ 4RH)
Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan
dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap
intensif maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan
anak.3,11

Tabel 9. Dosis OAT Kombipak pada anak11


Jenis Obat BB < 10 kg BB 10 - 19 kg BB 2 - 32 kg
Isoniasid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg
Pirazinamid 150 mg 300 mg 600 mg
39

Tabel 10. Dosis OAT KDT pada anak11


Berat badan (kg) 2 bulan tiap hari 4 bulan tiap hari
RHZ (75/50/150) RH (75/50)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-19 2 tablet 2 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Keterangan:
a. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
b. Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.
c. Anak dengan BB ≥33 kg , dirujuk ke rumah sakit.
d. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
e. OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus sesaat
sebelum diminum.

Pengobatan Pencegahan (Profilaksis) untuk Anak


Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat
dengan penderita TB dengan BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan
menggunakan sistem skoring. Bila hasil evaluasi dengan skoring system didapat
skor < 5, kepada anak tersebut diberikan Isoniazid (INH) dengan dosis 5-10
mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum pernah mendapat
imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah pengobatan pencegahan selesai.

C. Efek Samping OAT11

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek


samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5), bila
efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian
OAT dapat dilanjutkan.

1. Isoniazid (INH)
40

Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi,
kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan
pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B
kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah
menyerupai defisiensi piridoksin
(syndrom pellagra).
Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul
pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik,
hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus

2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan
pengobatan simtomatik ialah :
a. Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
b. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-
kadang diare
c. Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
d. Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
e. Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop
dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
f. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu
dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan
lagi walaupun gejalanya telah menghilang
g. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas

Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air
mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan
tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar dimengerti dan
tidak perlu khawatir.

3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai
pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin)
41

dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini


kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat.
Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.

4. Etambutol

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa


berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun
demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang
sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang
diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam
beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan
pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi

5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan
dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan
meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien.
Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi
ginjal. Gejala efek samping yang
terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan.
Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi
0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin
parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).

Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba


disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan
ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang
mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu
maka dosis dapat dikurangi 0,25gr Streptomisin dapat menembus barrier plasenta
sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf
pendengaran janin.
42

Tabel 11. Efek Samping Minor OAT dan Penatalaksanaannya 4,5,11


Efek samping Kemungkinan Penyebab Tatalaksana
Minor OAT diteruskan
Tidak nafsumakan, mual, Rifampisin Obat diminum malam sebelum tidur
sakit perut
Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin/allopurinol
Kesemutan sampai dengan INH Beri vitamin B6 1x100 mg/hari
rasa terbakar di kaki
Warna kemerahan pada air Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi
seni apa-apa

Tabel 12. Efek Samping Mayor OAT dan Penatalaksanaannya 8,9


Efek samping Kemungkinan Penyebab Tatalaksana
Mayor Hentikan pengobatan
Gatal dan kemerahan Semua jenis OAT Beri antihistamin dan
pada kulit dievaluasi ketat
Tuli Streptomisin Streptomisisn dihentikan,
ganti etambutol
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisisn dihentikan,
(vertigo dan nistagmus) ganti etambutol
Ikterik/Hepatitis Imbas Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT
Obat (penyebab lain sampai ikterik
disingkirkan) menghilang dan boleh
diberikan hepatoprotektor
Muntah dan bingung Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT
(suspect drug-induced dan lakukan uji fungsi
pre-icteric hepatitis) hati
Gangguan penglihtatan Etambutol Hentikan Etambutol
Kelainan sistemik, Rifampisin Hentikan Rifampisin
termasuk syok dan
purpura

Catatan : Penatalaksanaan efek samping obat:


1. Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi secara
simptomatik
2. Pasien dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit, umumnya
disebabkan oleh INH dan rifampisin. Dalam hal ini dapat dilakukan pemberian
dosis rendah dan desensitsasi dengan pemberian dosis yang ditingkatkan
43

perlahan-lahan dengan pengawasan yang ketat. Desensitisasi ini tidak bias


dilakukan terhadap obat lainnya
3. Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia, syok
atau gagal ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol,
gangguan nervus VIll karena streptomisin dan dermatitis exfoliative dan
agranulositosis karena thiacetazon
4. Bila suatu obat harus diganti, maka paduan obat harus diubah hingga jangka
waktu pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik.

D. Pengobatan Suportif / Simptomatik5,6,11

Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila


keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat
jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik
untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.

1. Pasien rawat jalan


a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin
tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien
tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas
atau keluhan lain.

2. Pasien rawat inap


Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
a. Batuk darah (profus)
b. Keadaan umum buruk
c. Pneumotoraks
d. Empiema
e. Efusi pleura masif / bilateral
f. Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
44

TB di luar paru yang mengancam jiwa :


a. TB paru milier
b. Meningitis TB
Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan
indikasi rawat

E. Terapi Pembedahan6,7

lndikasi operasi
1. Indikasi mutlak
a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap
positif
b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif
2. lndikasi relatif
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kavitas yang menetap.

Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)


1. Bronkoskopi
2. Punksi pleura
3. Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)
Kriteria Sembuh
1. BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir
pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
2. Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan
3. Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif
45

F. Evaluasi Pengobatan3,4,5

Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan


efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.

Evaluasi klinik
1. Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan
2. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit
3. Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.

Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)


1. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
2. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
a. Sebelum pengobatan dimulai
b. Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
c. Pada akhir pengobatan
3. Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji
resistensiEvaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:


1. Sebelum pengobatan
2. Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan
kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
3. Pada akhir pengob

Evaluasi efek samping secara klinik


1. Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah
lengkap
2. Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula
darah , serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping
pengobatan
3. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
46

4. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada
keluhan)
5. Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan
audiometri (bila ada keluhan)
6. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal
tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek
samping obat. Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan
efek samping obat sesuai pedoman

Evalusi keteraturan berobat


1. Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum
/ tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau
pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau
pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan lingkungannya.
2. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.

Evaluasi pasien yang telah sembuh


Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2
tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui
kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto
toraks.
Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada
gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah
dinyatakan sembuh.

II.9 RESISTEN GANDA (MULTI DRUG RESISTANCE)8,12

A. Definisi

Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin


dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya. Secara umum resistensi terhadap obat
tuberkulosis dibagi menjadi :
47

1. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat


pengobatan TB.
2. Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya sudah
pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak.
3. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat pengobatan
sebelumnya.
Laporan pertama tentang reistensi ganda datang dari Amerika Serikat,
khususnya pada pasien TB dan AIDS yang menimbulkan angka kematian 70% –
90% dalam waktu hanya 4 sampai 16 minggu. Laporan WHO tentang TB tahun
2004 menyatakan bahwa sampai 50 juta orang telah terinfeksi oleh kuman
tuberkulosis yang resisten terhadap obat anti tuberkulosis. TB paru kronik sering
disebabkan oleh MDR
Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis,
yaitu :
1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis
2. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu karena jenis obatnya yang
kurang atau karena di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi
terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja
pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah cukup
tinggi
3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga
minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan
mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian
seterusnya
4. Fenomena “ addition syndrome” (Crofton, 1987), yaitu suatu obat
ditambahkan dalam suatu paduan
5. pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB
telah resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan” (addition) satu
macam obat hanya akan menambah panjang nya daftar obat yang resisten
6. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara
baik, sehingga
48

7. mengganggu bioavailabiliti obat


8. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah
kadang terhenti
9. pengirimannya sampai berbulan-bulan
10. Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga kadang menimbulkan
kebosanan
11. Pengetahuan pasien kurang tentang penyakit TB
12. Kasus MDR-TB rujuk ke ahli paru

B. Pengobatan Tuberkulosis Resisten Ganda (MDR) 8,9,

Klasifikasi OAT untuk MDR


Kriteria utama berdasarkan data biologikal dibagi menjadi 3 kelompok OAT:
1. Obat dengan aktivitas bakterisid: aminoglikosid, tionamid dan pirazinamid
yang bekerja pada pH asam
2. Obat dengan aktivitas bakterisid rendah: fluorokuinolon
3. Obat dengan akivitas bakteriostatik, etambutol, cycloserin dan PAS

Fluorokuinolon
Secara invitro fluorokuinolon dapat digunakan untuk kuman TB yang
resisten terhadap lini-1 yaitu moksifloksasin konsentrasi hambat minimal paling
rendah dibandingkan fluorokuinolon lainnya dengan urutan berikutnya
gatifloksasin, sparfloksasin, levofloksasin, ofloksasin dan siprofloksasin.
Siprofloksasin harus dihindari
pemakainnya karena efek samping pada kulit yang berat (foto sensitif).

Resistensi silang
Tionamid dan tiosetason
Etionamid pada kelompok tionamid komplit resistensi silang dengan
a. Aminoglikosid
b. Fluorokuinolon
c. Sikloserindan terizidon
49

Pengobatan MDR-TB hingga saat ini belum ada paduan pengobatan yang
distandarisasi untuk pasien menggunakan minimal 2-3 OAT yang masih sensitif
dan obat tambahan lain.
Obat tambahan yang dapat digunakan yaitu golongan fluorokuinolon
(ofloksasin dan siprofloksasin),aminoglikosida (amikasin, kanamisin dan
kapreomisin), etionamid, sikloserin, klofazimin, amoksilin, klavulanat.
Saat ini paduan yang dianjurkan ialah OAT yang masih sensitif minimal 2
–3 OAT lini 1 ditambah dengan obat lini 2, yaitu Ciprofloksasin dengan dosis
1000 – 1500 mg atau ofloksasin 600 – 800 mg (obat dapat diberikan single dose
atau 2 kali sehari).
Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan
memerlukan waktu yang lama yaitu minimal 12 bulan, bahkan bisa sampai 24
bulan.
Hasil pengobatan terhadap TB resisten ganda ini kurang menggembirakan.
Pada pasien non-HIV, konversi hanya didapat pada sekitar 50% kasus, sedangkan
response rate didapat pada 65% kasus dan kesembuhan pada 56% kasus.
Pemberian obat antituberkulosis yang benar dan pengawasan yang baik,
merupakan salah satu kunci penting mencegah resisten ganda. Konsep Directly
Observed Treatment Short Course (DOTS) merupakan salah satu upaya penting
dalam menjamin keteraturan berobat. Prioriti yang dianjurkan bukan pengobatan
MDR, tetetapi pencegahan MDR-TB.

II.10 PENGOBATAN PADA KEADAAN KHUSUS

A. TB Milier
1. Rawat inap
2. Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH
3. Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinik, radiologik
dan evaluasi pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang
4. Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan :
a. Tanda / gejala meningitis
50

b. Sesak napas
c. Tanda / gejala toksik
d. Demam tinggi
e. Kortikosteroid: prednison 30-40 mg/hari, dosis diturunkan 5-10 mg
setiap 5-7 hari, lama pemberian 4 – 6 minggu.

B. Pleuritis Eksudativa TB(Efusi Pleura TB)3,4

1. Paduan obat: 2RHZE/4RH.


2. Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien
dan berikan kortikosteroid
3. Dosis steroid : prednison 3 x 10 mg selama 3 minggu
4. Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM.
5. Evakuasi cairan dapat diulang bila diperlukan

C. TB Ekstra Paru (Selain TB Milier Dan Pleuritis TB)8,9

1. Paduan obat 2 RHZE/ 1 0 RH.


2. Prinsip pengobatan sama dengan TB paru menurut ATS, misalnya
pengobatan untuk TB tulang, TB sendi dan TB kelenjar.
3. Pada TB diluar paru lebih sering dilakukan tindakan bedah. Tindakan
bedah dilakukan untuk :
a. Mendapatkan bahan / spesimen untuk pemeriksaan (diagnosis)
b. Pengobatan :
1) perikarditis konstriktiva
2) kompresi medula spinalis pada penyakit Pott's
4. Pemberian kortikosteroid pada perikarditis TB untuk mencegah konstriksi
jantung, dan pada meningitis TB untuk menurunkan gejala sisa
neurologik. Dosis yang dianjurkan ialah 0,5 mg/kg /hari selama 3-6
minggu.
51

D. TB Paru Dengan Diabetes Melitus (DM)10

1. Paduan obat: 2 RHZ(E-S)/ 4 RH dengan gula darah terkontrol


2. Bila gula darah tidak terkontrol, atau pada evaluasi akhir pengobatan
dianggap belum cukup, maka pengobatan dapat dilanjutkan (bila perlu
konsult ke ahli paru)
3. Gula darah harus dikontrol
4. Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol
pada mata; sedangkan pasien DM sering mengalami komplikasi kelainan
pada mata
5. Perlu diperhatikan penggunaan rifampisi karena akan mengurangi
efektiviti obat oral anti diabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu
ditingkatkan
6. Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol
/ mendeteksi dini bila terjadi kekambuhan

E. TB Paru Dengan HIV / AIDS14

Beberapa pasien yang datang berobat, mungkin diduga terinfeksi HIV atau
menderita AIDS. Indikasi untuk melakukan tes HIV dapat dilihat pada tabel 5 di
bawah ini. Pemeriksaan tes HIV disertai dengan konseling sebelum dan sesudah
tes (Voluntary Counseling and Testing/VCT)

Tabel 13. Indikasi Tes Darah HIV


Kombinasi dari A dan B (1 kelompok A dan 1 dari B)
A. Berat badan turun drastic
TB paru
Sariawan / stomatitis berulang
Sarkoma Kaposi
B. Riwayat perilaku risiko tinggi
Pengguna NAZA suntikan
Homoseksual
Waria
Pekerja seks
Pramuria panti pijat
52

1. Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa


HIV/AIDS.
2. Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat
dalam jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat
3. Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena
akan menyebabkan efek toksik berat pada kulit
4. Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali
pakai yang steril.
5. Desensitisasi obat (INH,Rifampisin) tidak boleh dilakukan karena
mengakibatkan toksik yang serius pada hati
6. Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons terhadap
pengobatan, selain dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat juga harus
dipikirkan terdapatnya malabsorpsi obat. Pada pasien HIV/ AIDS terdapat
korelasi antara imunosupresi yang berat dengan derajat penyerapan,
karenanya dosis standar OAT yang diterima suboptimal sehingga
konsentrasi obat rendah dalam serum
7. Paduan obat yang diberikan berdasarkan rekomendasi ATS yaitu: 2
RHZE/RH diberikan sampai 6-9 bulan setelah konversi dahak
8. INH diberikan terus menerus seumur hidup.
9. Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi / sesuai pedoman
pengobatan MDR-TB

Waktu Memulai Terapi


1. Waktu pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan jumlah
limfosit CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang ada (seperti terlihat pada
tabel 6)
53

Tabel 14. Pedoman pemberian ARV pada koinfeksi TB-HIV1


Kondisi Rekomendasi Kondisi Rekomendasi
TB paru, CD4 < 50 sel/mm3, atau TB toleransi terhadap AOT telah tercapai
ekstrapulmonal Mulai terapi OAT,
segera mulai terapi ARV jika
TB paru, CD4 50-200 sel/mm3 atau total < 1200 sel/mm3
hitung limfosit
Mulai terapi OAT. Terapi ARV dimulai TB paru, CD4 > 200 sel/mm3 atau
setelah 2 bulan hitung limfosit
simptomatik, AIDS (+Kaposi/ Ca cervix / limfoma / wasting syndrome /
pneumonia P. Carinii/ toksoplasmosis otak / retinitis virus sitomegalo /
kandidiasis esofagus, trakea, bronkus, sel/mm3), asimptomatik + viral load >
55.000 kopi/ml) Interaksi obat TB dengan ARV (Anti Retrovirus)

2. Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan


kemungkinan terjadinya efek toksik OAT
3. Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida,
kecuali Didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena
bersifat sebagai buffer antasida
4. Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ARV golongan non-nukleotida
dan inhibitor protease.Rifampisin jangan diberikan bersama dengan nelfinavir
karena rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir sampai 82%. Rifampisin
dapat menurunkan kadar nevirapin sampai 37%, tetapi sampai saat ini belum
ada peningkatan dosis nevirapin yang direkomendasikan
F. TB Paru Pada Kehamilan dan Menyusui12
1. Tidak ada indikasi pengguguran pada pasien TB dengan kehamilan
2. Obat antituberkulosis tetap dapat diberikan kecuali streptomisin, karena
efek samping streptomisin pada gangguan pendengaran janin
3. Pada pasien TB dengan menyusui, OAT & ASI tetap dapat diberikan,
walaupun beberapa OAT dapat masuk ke dalam ASI, akan tetapi
konsentrasinya kecil dan tidak menyebabkan toksik pada bayi
54

4. Wanita menyusui yang mendapat pengobatan OAT dan bayinya juga


mendapat pengobatan OAT, dianjurkan tidak menyusui bayinya agar bayi
tidak mendapat dosis berlebihan
5. Pada wanita usia produktif yang mendapat pengobatan TB dengan
rifampisin, dianjurkan untuk tidak menggunakan kontrasepsi hormonal,
karena dapat terjadi interaksi obat yang menyebabkan efektiviti obat
kontrasepsi hormonal berkurang.

G. TB Paru dan Gagal Ginjal13


1. Jangan menggunakan streptomisin, kanamisin dan capreomycin
2. Sebaiknya hindari penggunaan etambutol, karena waktu paruhnya
memanjang dan terjadi akumulasi etambutol. Dalam keadaan sangat
diperlukan, etambutol dapat diberikan dengan pengawasan kreatinin
3. Sedapat mungkin dosis disesuaikan dengan faal ginjal (CCT, Ureum,
Kreatnin)
4. Rujuk ke ahli Paru

H. TB Paru dengan Kelainan Hati3,4,5,11


1. Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal
hati sebelum pengobatan
2. Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh diberikan
3. Paduan obat yang dianjurkan (rekomendasi WHO) ialah 2 SHRE/6 RH
atau 2 SHE/10 HE
4. Pada pasien hepatitis akut dan atau klinik ikterik , sebaiknya OAT ditunda
sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat
diperlukan dapat diberikan S dan E maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya
menyembuh dan dilanjutkan dengan 6 RH
5. Sebaiknya rujuk ke ahli Paru
I. Hepatitis Imbas Obat1,3,5,11
Dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik
(drug induced hepatitis)
55

Penatalaksanaan
1. Bila klinik (+) (Ikterik [+], gejala mual, muntah [+]) ® OAT Stop
2. Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali,: OAT stop
3. Bila gejal klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan: Bilirubin > 2 ® OAT
Stop
4. SGOT, SGPT > 5 kali : OAT stop
5. SGOT, SGPT > 3 kali : teruskan pengobatan, dengan pengawasan

Paduan OAT yang dianjurkan :


1. Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
2. Setelah itu, monitor klinik dan laboratorium. Bila klinik dan laboratorium
normal kembali (bilirubin, SGOT, SGPT), maka tambahkan H (INH)
desensitisasi sampai dengan dosis penuh (300 mg). Selama itu perhatikan
klinik dan periksa laboratorium saat INH dosis penuh , bila klinik dan
laboratorium normal , tambahkan rifampisin, desensitisasi sampai dengan
dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga paduan obat menjadi RHES
3. Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi

II.11 KOMPLIKASI5

Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum


pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah :
1. Batuk darah
2. Pneumotoraks
3. Luluh paru
4. Gagal napas
5. Gagal jantung
6. Efusi pleura
56

II.12 DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORT COURSE (DOTS)

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci


keberhasilan program penanggulangan tuberculosis adalah dengan menerapkan
strategi DOTS, yang juga telah dianut oleh negara kita. Oleh karena itu
pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting agar TB dapat
ditanggulangi dengan baik.1
DOTS mengandung lima komponen, yaitu :
1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional
2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopik
3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan
istilah DOT (Directly Observed Therapy)
4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan
5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang (baku/standar) baik Istilah
DOT diartikan sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka pendek
setiap hari oleh Pengawas Menelan Obat (PMO)

A. Tujuan8,13
1. Mencapai angka kesembuhan yang tinggi
2. Mencegah putus berobat
3. Mengatasi efek samping obat jika timbul
4. Mencegah resistensi

B. Pengawasan1,2
Pengawasan terhadap pasien TB dapat dilakukan oleh :
1. Pasien berobat jalan
Bila pasien mampu datang teratur, misal tiap minggu maka paramedis atau
petugas sosial dapat berfungsi sebagai PMO. Bila pasien diperkirakan tidak
mampu datang secara teratur, sebaiknya dilakukan koordinasi dengan puskesmas
setempat. Rumah PMO harus dekat dengan rumah pasien TB untuk pelaksanaan
DOT ini.
57

Beberapa kemungkinan yang dapat menjadi PMO


a. Petugas kesehatan
b. Orang lain (kader, tokoh masyarakat dll)
c. Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah

2. Pasien dirawat
Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah petugas
RS, selesai perawatan untuk pengobatan selanjutnya sesuai dengan berobat jalan.

C. Langkah Pelaksanaan DOT1

Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai,


pasien diberikan penjelasan bahwa harus ada seorang PMO dan PMO tersebut
harus ikut hadir di poliklinik untuk mendapat penjelasan tentang DOT

D. Persyaratan PMO1,2

1. PMO bersedia dengan sukarela membantu pasien TB sampai sembuh


selama pengobatan dengan OAT dan menjaga kerahasiaan penderita
HIV/AIDS.
2. PMO diutamakan petugas kesehatan, tetapi dapat juga kader kesehatan,
kader dasawisma, kader PPTI, PKK, atau anggota keluarga yang disegani
pasien

E. Tugas PMO1

1. Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik


2. Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat
3. Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang
telah ditentukan
4. Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga
selesai
58

5. Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien agar tetap
mau menelan obat
6. Merujuk pasien bila efek samping semakin berat
7. Melakukan kunjungan rumah
8. Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila ditemui
gejala TB

F. Penyuluhan1,2
Penyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat penting, penyuluhan
dapat dilakukan secara :
1. Peroranga/Individu
Penyuluhan terhadap perorangan (pasien maupun keluarga) dapat dilakukan di
unit rawat jalan, di apotik saat mengambil obat dll
2. Kelompok
Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok pasien, kelompok
keluarga pasien, masyarakat pengunjung RS dll
Cara memberikan penyuluhan :
a. Sesuaikan dengan program kesehatan yang sudah ada
b. Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk diketahui tingkat
penerimaannya sebagai bahan untuk penatalaksanaan selanjutnya
c. Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal yang belum
jelas
d. Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah dimengerti,
kalau perlu dengan alat peraga (brosur, leaflet dll)

G. DOTS Plus1,2
1. Merupakan strategi pengobatan dengan menggunakan 5 komponen DOTS
2. Plus adalah menggunakan obat antituberkulosis lini 2
3. DOTS Plus tidak mungkin dilakukan pada daerah yang tidak menggunakan
strategi DOTS
4. Strategi DOTS Plus merupakan inovasi pada pengobatan MDR-TB
59

II.13 PENCEGAHAN

Pencegahan dapat dilakukan dengan cara :


1. Terapi pencegahan
2. Diagnosis dan pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah penularan

Terapi pencegahan :
Kemoprofilaksis diberikan kepada pasien HIV atau AIDS. Obat yang
digunakan pada kemoprofilaksis adalah Isoniazid (INH) dengan dosis 5 mg / kg
BB (tidak lebih dari 300 mg ) sehari selama minimal 6 bulan. 1

II.14 PENCATATAN DAN PELAPORAN

Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat


penting dalam sistem informasi penanggulangan TB. Semua unit pelaksana
pengobatan TB harus melaksanakan suatu sistem pencatatan dan pelaporan yang
baku. Untuk itu pencatatan dibakukan berdasarkan klasifikasi & tipe penderita
serta menggunakan formulir yang sudah baku pula.1
Pencatatan yang dilaksanakan di unit pelayanan kesehatan meliputi
beberapa item/formulir yaitu :
1. Kartu pengobatan TB (01)
2. Kartu identitas penderita TB (TB02)
3. Register laboratorium TB (TB04)
4. Formulir permohonan pemeriksaan dahak (TB05)
5. Daftar tersangka penderita TB (TB06)
6. Formulir pindah penderita TB (TB09)
7. Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan (TB10)
Cara pengisisan formulir sesuai dengan buku pedoman penanggulangan
TB Nasional (P2TB). Untuk pembuatan laporan, data yang ada dari formulir
TB01 dimasukkan ke dalam formulir Register TB (TB03) dan direkap ke dalam
formulir rekapan yang ada di tingkat kabupaten/kota1
Catatan :
60

1. Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB di luar paru, maka untuk
kepentingan pencatatan pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
2. Bila seorang pasien ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai
ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat
3. Contoh formulir terlampir

II.15 INTERNATIONAL STANDART FOR TUBERCULOSIS CARE

International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan standar


yang melengkapi guideline program penanggulangan tuberkulosis nasional yang
konsisten dengan rekomendasi WHO. Standar tersebut bersifat internasional dan
baru di launching pada bulan februari 2015 serta akan segera dilaksanakan di
Indonesia.15
International Standard for Tuberculosis Care terdiri dari 17 standar yaitu
6 estándar untuk diagnosis , 9 stándar untuk pengobatan dan 2 standar yang
berhubungan dengan kesehatan masyarakat. 5 Adapun ke 17 standar tersebut
adalah :1,15
1. Setiap individu dengan batuk produktif selam 2-3 minggu atau lebih yang
tidak dapat dipastiklan penyebabnya harus dievaluasi untuk tuberculosis
2. Semua pasien yang diduga tenderita TB paru(dewasa, remaja dan anak anak
yang dapat mengeluarkan dahak) harus menjalani pemeriksaan sputum secara
mikroskopis sekurang-kurangnya 2 kali dan sebaiknya 3 kali. Bila
memungkinkan minimal 1 kali pemeriksaan berasal dari sputum pagi hari
3. Semua pasien yang diduga tenderita TB ekstra paru (dewasa, remaja dan
anak) harus menjalani pemeriksaan bahan yang didapat dari kelainan yang
dicurigai. Bila tersedia fasiliti dan sumber daya, juga harus dilakukan biakan
dan pemeriksaan histopatologi
4. Semua individu dengan foto toraks yang mencurigakan ke arah TB harus
menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi
5. Diagnosis TB paru, BTA negatif harus berdasarkan kriteria berikut : negatif
paling kurang pada 3 kali pemeriksaan (termasuk minimal 1 kali terhadap
dahak pagi hari), foto toraks menunjukkan kelainan TB, tidak ada respon
61

terhadap antibiotik spektrum luas (hindari pemakaian flurokuinolon karena


mempunyai efek melawan M.Tb sehingga memperlihatkan perbaikan sesaat).
Bila ada fasiliti, pada kasus tersebut harus dilakukan pemeriksaan biakan.
Pada pasien denagn atau diduga HIV, evaluasi diagnostik harus disegerakan.
6. Diagnosis TB intratoraks (paru, pleura,KGB hilus/mediastinal) pada anak
dengan BTA negatif berdasarkan foto toraks yang sesuai dengan TB dan
terdapat riwayat kontak atau uji tuberkulin/interferon gamma release assay
positif. Pada pasien demikian, bila ada fasiliti harus dilakukan pemeriksaan
biakan dari bahan yang berasal daribatuk, bilasan lambung atau induksi
sputum.
7. Setiap petugas yang mengobati pasien TB dianggap menjalankan fungsi
kesehatan masyarakat yang tidak saja memberikan paduan obat yang sesuai
tetapi juga dapat memantau kepatuhan berobat sekaligus menemukan kasus-
kasus yang tidak patuh terhadap rejimen pengobatan. Dengan melakukan hal
tersebut akan dapat menjamin kepatuhan hingga pengobatan selesai.
8. Semua pasien (termasuk pasien HIV) yang belum pernah diobati harus
diberikan paduan obat lini pertama yang disepakati secara internasional
menggunakan obat yang biovaibilitinya sudah diketahui. Fase awal terdiri
dari INH,Rifampisin, Pirazinamid dan etambutol diberikan selama 2 bulan.
Fase lanjutan yang dianjurkan adalah INH dan rifampisin yang selama 4
bulan. Pemberian INH dan etambutol selama 6 bulan merupakan paduan
alternative untuk fase lanjutan pada kasus yan keteraturannya tidak dapat
dinilai tetapi terdapat angka kegagalan dan kekambuhan yang tinggi
dihubungkan dengan pemberian alternatif tersebut diatas kususnya pada
pasien HIV. Dosis obat antituberkulosis ini harus mengikuti rekomendasi
internasional. Fixed dose combination yang terdiri dari 2 obat yaitu INH dan
Rifampisin, yang terdiri dari 3 obat yaitu INH, Rifampisin, Pirazinamid dan
yang terdiri dari 4 obat yaitu INH, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol
sangat dianjurkan khususnya bila tidak dilakukan pengawasan langsung saat
menelan obat.5,8,15
62

9. Untuk menjaga dan menilai kepatuhan terhadap pengobatan perlu


dikembangkan suatu pendekatan yang terpusat kepada pasien berdasarkan
kebutuhan pasien dan hubungan yang saling menghargai antara pasien dan
pemberi pelayanan. Supervisi dan dukungan harus memperhatikan
kesensitifan gender dan kelompok usia tertentu dan sesuai dengan intervensi
yang dianjurkan dan pelayanan dukungan yang tersedia termasuk edukasi dan
konseling pasien. Elemen utama pada strategi yang terpusat kepada pasien
adalah penggunaan pengukuran untuk menilai dan meningkatkan kepatuhan
berobat dan dapat menemukan bila terjadi ketidak patuhan terhadap
pengobatan. Pengukuran ini dibuat khusus untuk keadaan masing masing
individu dan dapat diterima baik oleh pasien maupun pemberi pelayanan.
Pengukuran tersebut salah satunya termasuk pengawasan langsung minum
obat oleh PMO yang dapat diterima oleh pasien dan sistem kesehatan serta
bertanggungjawab kepada pasien dan sistem kesehatan
10. Respons terapi semua pasien harus dimonitor. Pada pasien TB paru penilaian
terbaik adalah dengan pemeriksaan sputum ulang (2x) paling kurang pada
saat menyelesaikan fase awal (2 bulan), bulan ke lima dan pada akhir
pengobatan. Pasien dengan BTA+ pada bulan ke lima pengobatan dianggap
sebagai gagal terapi dan diberikan obat dengan modifikasi yang tepat (sesuai
standar 14 dan 15). Penilaian respons terapi pada pasien TB paru ekstra paru
dan anak-anak, paling baik dinilai secara klinis. Pemeriksaan foto toraks
untuk evaluasi tidak diperlukan dan dapat menyesatkan (misleading)
11. Pencatatan tertulis mengenai semua pengobatan yang diberikan, respons
bakteriologik dan efek samping harus ada untuk semua pasien
12. Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan
kemungkinan co infeksi TB-HIV, maka konseling dan testing HIV
diindikasikan untuk seluruh TB pasien sebagai bagian dari penatalaksanaan
rutin. Pada daerah dengan prevalens HIV yang rendah, konseling dan testing
HIV hanya diindikasi pada pasien TB dengan keluhan dan tanda tanda yang
diduga berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB dengan riwayat
berisiko tinggi terpajan HIV.14
63

13. Semua pasien TB-HIV harus dievaluasi untuk menentukan apakah


mempunyai indikasi untuk diberi terapi anti retroviral dalam masa pemberian
OAT.Perencanaan yang sesuai untuk memperoleh obat antiretroviral harus
dibuat bagi pasien yang memenuhi indikasi. Mengingat terdapat kompleksiti
pada pemberian secara bersamaan antara obat antituberkulosis dan obat
antiretroviral maka dianjurkan untuk berkonsultasi kepada pakar di bidang
tersebut sebelum pengobatan dimulai, tanpa perlu mempertimbangkan
penyakit apa yang muncul lebih dahulu. Meskipun demikian pemberian OAT
jangan sampai ditunda. Semua pasien TB-HIV harus mendapat kotrimoksasol
sebagai profilaksis untuk infeksi lainnya. 13,14
14. Penilaian terhadap kemungkinan resistensi obat harus dilakukan pada semua
pasien yang berisiko tinggi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya,
pajanan dengan sumber yang mungkin sudah resisten danprevalens resistensi
obat pada komuniti. Pada pasien dengan kemungkinan MDR harus dilakukan
pemeriksaan kultur dan uji sensitifity terhadap INH, Rifampisin dan
etambutol.15
15. Pasien TB dengan MDR harus diterapi dengan paduan khusus terdiri atas
obat-obat lini kedua. Paling kurang diberikan 4 macam obat yang diketahui
atau dianggap sensitif dan diberikan selama paling kurang 18 bulan. Untuk
memastikan kepatuhan diperlukan pengukuran yang berorientasi kepada
pasien. Konsultasi dengan pakar di bidang MDR harus dilakukan.15
16. Semua petugas yang melayani pasien TB harus memastikan bahwa individu
yang punya kontak dengan pasien TB harus dievaluasi (terutama anak usia
dibawah 5 tahun dan penyandang HIV), dan ditatalaksana sesuai dengan
rekomendasi internasional. Anak usia dibawah 5 tahun dan penyandang HIV
yang punya kontak dengan kasus infeksius harus dievaluasi baik untuk
pemeriksaan TB yang laten maupun yang aktif.15
17. Semua petugas harus melaporkan baik TB kasus baru maupun kasus
pengobatan ulang dan keberhasilan pengobatan kepada kantor dinas
kesehatan setempat sesuai dengan ketentuan hukum dan kebijakan yang
berlaku.15
64

Kerangka Teori

Faktor Host
•- Umur
•- Jenis kelamin
•- Pekerjaan Faktor Agent
Faktor Enviroment •-Mycobacterium
•- Kepadatan Hunian •- Penyakit HIV tuberculosis
rumah
•- Pencahayaan Alami
•- Status Gizi
•- Ventilasi •- Pendidikan
•- Suhu, Kelembapan
•- Merokok

Kejadian
TB Paru
TB
TB EXTRA
PARU PARU
HIV (+)

TB BTA
(+)

Kerangka Konsep

Karakteristik responden
- Umur
- Jenis Kelamin
Angka kejadian TB (+)
- TB Extra Paru
- TB HIV (+)
- TB Paru BTA (+)
65

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini adalah studi deskriptif yang
menggambarkan kejadian TB paru di puskesmas niki-niki periode
2019-2021. Pendekatan yang digunakan pada penelitian adalah design
cross sectional dimana dilakukan pengumpulan data berdasarkan
rekam medis.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian


3.2.1 Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2022.
3.2.2 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Niki-niki.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian


3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah seluruh data pasien TB yang
tercatat dalam laporan medik Puskesmas Niki-niki tahun 2019
sampai dengan 2021.
3.3.2 Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah data pasien TB yang
tercatat dalam laporan medik Puskesmas Niki-niki tahun 2019
sampai dengen 2021 yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik
purposive sampling.
66

3.4 Jadwal Pelaksanaan Mini Project


Tabel 3.1 Jadwal Pelaksanaan Mini Project

Kegiatan Waktu

Pengambilan Data September 2022

Pengolahan Data Oktober 2022

Pembuatan laporan Oktober 2022

3.5 Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi


3.5.1 Kriteria Inklusi
3.5.1.1 Data yang melakukan pemeriksaan Sputum BTA
3.5.1.2 Data seseorang dengan sputum BTA positif
3.5.2 Kriteria Eksklusi
3.5.2.1 Data seseorang dengan sputum BTA negative

3.6 Estimasi Besar Sampel


Keterangan:
n : Jumlah subjek
⍺ : Kesalahan generalisasi, ditetapkan sebesar 5%
Z⍺ : Nilai standar alpha 5%, yaitu 1,96
P : Proporsi dari kategori yang menjadi point of interest,
nilainya diperoleh dari kepustakaan, yaitu 65% = 0,65
Q : 1 - P = 1 - 0,65 = 0,35
d : Kesalahan peridksi yang masih dapat diterima, yaitu 10%
= 0,1
67

3.7 Definisi Operasional


Definisi Alat ukur Cara Hasil Skala
ukur ukur ukur

TB Paru Tuberkulosis (TB) Rekam Melihat TB Paru Nominal


adalah penyakit medik data
rekam
menular yang medik
disebabkan oleh
bakteri
Mycobacterium
tuberculosis dan
disebut sebagai
Bakteri Tahan Asam
(BTA). Sumber
penularan TB yaitu
penderita TB paru
BTA positif yang
ketika batuk, bersin
atau berbicara
mengeluarkan droplet
yang mengandung
bakteri M.
tuberculosis

Usia Lamanya hidup dalam Rekam Melihat 1. Numerik


tahun yang dihitung medik data Anak-
rekam anak 1-
sejak dilahirkan medik 12
tahun
2.Remaj
a 12-
21tahun
3.Dewa
sa 21-45
tahun
4.Lansia
>46
tahun
Jenis Perbedaan identitas Rekam Melihat 1. Laki- Nominal
Kelamin seksual yang dibagi medik data laki
rekam 2.
menjadi laki-laki dan medik Peremp
perempuan uan
68

Kategori TB 1. TB Ekstraparu Rekam Melihat 1. TB Nominal


Paru Medik data Ekstrap
2. TB Paru dahak (+) rekam
medik aru
3. TB Paru (RO+) 2. TB
4. TB PARU (RO+) + HIV Paru
dahak
(+)

3. TB
Paru
(RO+)

4. TB
PARU
(RO+) +
HIV

3.8 Cara Kerja


3.8.1 Peneliti mengambil data rekam medik yaitu data pasien yang didiagnosis TB
Paru di Puskesmas Niki-niki.
3.8.2 Peneliti mengambil sampel penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi.
3.8.3 Peneliti menganalisa data rekam medik dan memasukkan data ke dalam
tabel distribusi dan dilakukan pembahasan sesuai dengan kepustakaan yang
ada.

3.9 Metode Analisis Data


Data yang terkumpul dimasukkan ke dalam komputer dan kemudian
dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan program komputer. Data
disajikan dalam bentuk tabel dan diagram.
69

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Gambaran Sampel

Penelitian yang dilakukan pada bulan Oktober 2022 menggunakan data

sekunder dari rekam medik Puskesmas Niki-Niki, Kec. Amanuban Tengah, Kab.

Timor Tengah Selatan kurun waktu Januari 2019 sampai Desember 2021, dimana

terdapat 71 kasus yang memenuhi kriteria penelitian yang dijadikan sebagai

sampel penelitian, diuraikan pada tabel berikut:

Tabel 4.1 Gambaran TB Paru Tahun 2019 di Puskesmas Niki Niki


Berdasarkan Kelompok Usia

KELOMPOK UMUR JUMLAH ORANG PERSENTASE (%)


Anak (1-12 Tahun) 1 orang 3,2
Remaja (13-21 Tahun) 9 orang 29,0
Dewasa (22-45 Tahun) 11 orang 35,5

Lansia ≥ 46 Tahun 10 orang 32.2


Total 31 orang 100

Berdasarkan tabel 4.1 menunjukkan bahwa kejadian TB Paru tahun 2019


sebanyak 31 orang (100%), dan terbanyak pada kelompok usia dewasa 11 orang
(35,5%) dan terendah kelompok usia anak 1 orang (3,2%).
70

Tabel 4.2 Gambaran TB Paru Tahun 2019 di Puskesmas Niki Niki


Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah (orang) Persentase (%)


Laki-laki 18 58.1
Perempuan 13 41.9
Total 31 100.0

Berdasarkan tabel 4.2 menunjukkan bahwa kejadian TB Paru tahun 2019


sebanyak 31 orang (100%), dan terbanyak pada jenis kelamin laki-laki 18 orang
(58.1%)

Tabel 4.3 Gambaran TB Paru Tahun 2019 di Puskesmas Niki Niki


Berdasarkan Kategori

Jumlah (orang) Persentase (%)


TB EXTRA PARU 6 19.4
TB PARU (DAHAK +) 16 51.6
TB PARU (RO+) 8 25.8
TB PARU KLINIS + 1 3.2
EFUSI PLEURA
DEXTRA
Total 31 100.0

Berdasarkan tabel 4.3 menunjukkan bahwa kejadian TB Paru tahun 2019


sebanyak 31 orang (100%), dan terbanyak pada Kategori Sputum BTA positif
sebanyak 16 orang (51.6%)
71

Tabel 4.4 Gambaran TB Paru Tahun 2019 di Puskesmas Niki Niki Berdasarkan
Jenis Kelamin terhadap Kategori TB Paru

Kategori
TB
PARU
KLINIS
TB TB TB + EFUSI
EXTR PARU PAR PLEURA
A (DAHA U DEXTR
PARU K +) (RO+) A Total
Jenis_Kela Laki-Laki Jumlah 3 8 6 1 18
min (orang)
Persentase 9.7% 25.8% 19.4% 3.2% 58.1%
(%)
Perempuan Jumlah 3 8 2 0 13
Persentase 9.7% 25.8% 6.5% 0.0% 41.9%
(%)
Total Total 6 16 8 1 31
Jumlah
(orang)
Total 19.4% 51.6% 25.8% 3.2% 100.0
Persentase %
(%)

Berdasarkan tabel 4.4 menunjukkan bahwa kejadian TB Paru tahun 2019


sebanyak 31 orang (100%), dan terbanyak pada Kategori Sputum BTA positif
jenis kelamin laki-laki dan perempuan pada jumlah yang sama yaitu 8 orang
(25.8%)
72

Tabel 4.5 Gambaran TB Paru Tahun 2020 di Puskesmas Niki Niki


Berdasarkan Kelompok Usia

KELOMPOK UMUR JUMLAH ORANG PERSENTASE (%)


Anak (1-12 Tahun) 2 orang 12,5
Remaja (13-21 Tahun) 5 orang 31,2
Dewasa (22-45 Tahun) 7 orang 43,7

Lansia ≥ 46 Tahun 2 orang 12,5


Total 16 orang 100

Berdasarkan tabel 4.5 menunjukkan bahwa kejadian TB Paru tahun 2020


sebanyak 16 orang (100%), dan terbanyak pada kelompok pada usia dewasa
sebanyak 7 orang (43,7%) dan terendah pada kelompok anak dan lansia
sebanayak masing-masing 2 orang (12,5%).

Tabel 4.6 Gambaran TB Paru Tahun 2020 di Puskesmas Niki Niki Berdasarkan
Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah (orang) Persentase (%)


Laki-laki 7 43.8
Perempuan 9 56.3
Total 16 100.0

Berdasarkan tabel 4.6 menunjukkan bahwa kejadian TB Paru tahun 2020


sebanyak 16 orang (100%), dan terbanyak pada jenis kelamin perempuan 9 orang
(56.3%)
73

Tabel 4.7 Gambaran TB Paru Tahun 2020 di Puskesmas Niki Niki Berdasarkan
Kategori

Jumlah (Orang) Presentase (%)


Kategori TB EXTRA PARU 2 12.5
TB PARU (DAHAK +) 9 56.3
TB PARU (RO+) 4 25.0
TB PARU (RO+) + HIV 1 6.3
Total 16 100.0
Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa kejadian TB Paru tahun 2020
sebanyak 16 orang (100%), dan terbanyak pada Kategori Sputum BTA positif
sebanyak 9 orang (56.3%)

Table 4.8 Gambaran TB Paru Tahun 2020 di Puskesmas Niki Niki Berdasarkan
Jenis Kelamin terhadap Kategori TB Paru

Kategori
TB
TB PAR
TB TB PAR U
EXTR PARU U (RO+
A (DAHA (RO+ ) +
PARU K +) ) HIV Total
Jenis_Kel Laki- Jumlah 1 4 2 0 7
amin Laki (orang)
Persentase (%) 6.3% 25.0% 12.5 0.0% 43.8%
%
Perempu Jumlah 1 5 2 1 9
an (orang)
Persentase (%) 6.3% 31.3% 12.5 6.3% 56.3%
%
Total Total Jumlah 2 9 4 1 16
Total 12.5% 56.3% 25.0 6.3% 100.0
Persentase (%) % %
74

Berdasarkan tabel 4.8 menunjukkan bahwa kejadian TB Paru tahun 2020


sebanyak 16 orang (100%), dan terbanyak pada Kategori Sputum BTA positif
jenis kelamin perempuan 5 orang (31.3%)

Tabel 4.9 Gambaran TB Paru Tahun 2021 di Puskesmas Niki Niki Berdasarkan
Kelompok Usia terhadap Kategori TB Paru

KELOMPOK UMUR JUMLAH ORANG PERSENTASE (%)


Anak (1-12 Tahun) 0 orang 0
Remaja (13-21 Tahun) 6 orang 26,1
Dewasa (22-45 Tahun) 11 orang 47,8

Lansia ≥ 46 Tahun 6 orang 26,1


Total 23 orang 100

Berdasarkan tabel 4.9 menunjukkan bahwa kejadian TB Paru tahun 2021


sebanyak 23 orang (100%), dan terbanyak pada kelompok usia dewasa sebanyak
11 orang dan terendah kelompok usia anak dengan jumlah 0 orang, dan kelompok
usia remaja dan lansia masing masing dengan jumlah 6 orang.

4.10 Gambaran TB Paru Tahun 2021 di Puskesmas Niki Niki Berdasarkan Jenis
Kelamin

Jumlah (Orang) Presentase (%)


Laki-laki 12 52.2
Perempuan 11 47.8
Total 23 100.0

Berdasarkan tabel 4.10 menunjukkan bahwa kejadian TB Paru tahun 2021


sebanyak 23 orang (100%), dan terbanyak pada jenis kelamin laki-laki 12 orang
(52.2%)
75

Table 4.11 Gambaran TB Paru Tahun 2021 di Puskesmas Niki Niki Berdasarkan
Kategori

Jumlah (Orang) Presentase (%)


TB EXTRA PARU 1 4.3
TB PARU 19 82.6
(DAHAK +)
TB PARU (RO+) 2 8.7
TB PARU (RO+) + 1 4.3
HIV
Total 23 100.0

Berdasarkan tabel 4.11 menunjukkan bahwa kejadian TB Paru tahun 2021


sebanyak 23 orang (100%), dan terbanyak pada Kategori Sputum BTA positif
sebanyak 19 orang (82.6%)

Tabel 4.12 Gambaran TB Paru Tahun 2021 di Puskesmas Niki Niki Berdasarkan
Jenis Kelamin terhadap Kategori TB Paru

kategori
TB
TB TB PARU TB PARU
EXTRA (DAHAK PARU (RO+)
PARU +) (RO+) + HIV Total
jenis_kelamin laki-laki Jumlah 1 10 0 1 12
(Orang)
Presentase 4.3% 43.5% 0.0% 4.3% 52.2%
(%)
perempuan Jumlah ( 0 9 2 0 11
Orang)
Presentase 0.0% 39.1% 8.7% 0.0% 47.8%
(%)
Total Jumlah 1 19 2 1 23
(Orang)
76

Presentase 4.3% 82.6% 8.7% 4.3% 100.0%


(%)
Berdasarkan tabel 4.11 menunjukkan bahwa kejadian TB Paru tahun 2020
sebanyak 23 orang (100%), dan terbanyak pada Kategori Sputum BTA positif
jenis kelamin laki-laki 10 orang (43.5%)
77

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian mengenai gambaran penderita tuberkulosis paru di

Puskesmas Niki-Niki periode 2019 – 2021, dapat disimpulkan beberapa hal

sebagai berikut:

1. Pada penelitian ini, didapatkan kejadian TB paru paling sering terjadi


pada usia dewasa yaitu usia produktif (22-45 tahun), hal ini sesuai
dengan laporan WHO dimana dua per tiga kasus TB terjadi pada
kelompok usia produktif secara ekonomi, yaitu 15 – 59 tahun. Usia
produktif adalah usia yang banyak menderita TB paru. Ini terjadi
karena pada usia tersebut seseorang masih aktif dalam bekerja dan
melakukan interaksi sosial. Hal ini sejalan dengan penelitian
Andayani dkk, dalam penelitian tersebut rentang usia 15-59 tahun

merupakan kasus terbanyak yang ditemukan dari tahun 2011-2015.7


Selain itu penelitian yang dilakukan Dotulong dkk, memperlihatkan
penderita TB paru usia dewasa muda sebanyak 88 orang (74,58%)
lebih banyak daripada usia dewasa tua yaitu 28 orang (62,2%) dari
keseluruhan sampel. Hal ini juga sesuai dengan data riskesdas
provinsi NTT tahun 2018, dimana kejadian TB Paru lebih sering
terjadi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan.
2. Pada penelitian ini, didapatkan pada tahun 2019 dan 2021 kejadian TB
paru paling sering terjadi pada laki-laki, Menurut beberapa penelitian,
laki-laki memang lebih rentan terkena infeksi M. tuberculosis. Hal ini
dapat berkaitan dengan kebiasaan merokok yang lebih besar pada laki-
laki, yang menyebabkan gangguan pada sistem imunitas saluran
pernafasan sehingga menjadi lebih rentan untuk terinfeksi. Gangguan
pada sistem imunitas saluran pernafasan tersebut dapat berupa
78

kerusakan mukosiliar akibat racun asap rokok serta menurunkan


respon terhadap antigen, sehingga meningkatkan kerentanan terjadinya
tuberkulosis paru. Selain itu biasanya laki-laki kurang memperhatikan
kesehatannya dan kebiasaan hidupnya sehari-hari yang lebih banyak
berada diluar rumah karena bekerja menimbulkan faktor pemicu
terjadinya penyakit tuberkolosis paru. Hal ini akan berdampak pada
rendahnya sistem imunitas dan faktor terpajan yang lebih besar. Hal
ini sesuai dengan penelitian Samsugito dan Iwan pada 62 kasus
penderita TB paru laki-laki sedikit lebih tinggi 36 kasus (58,1%)
dibanding perempuan 26 kasus (41,9%). Vina D.V dkk, menyatakan
kasus sebanyak 17 orang adalah laki-laki dan perempuan 7 orang.
3. Pada penelitian ini, didapatkan pada tahun 2020 kejadian TB paru
paling sering terjadi pada perempuan, hal ini tidak sesuai dengan
penelitian di Puskesmas Naibonat tahun 2018 menyatakan menyatakan
bahwa laki-laki 2,7 kali lebih berisiko di banding perempuan. Hal ini
disebabkan karena laki-laki memiliki mobilitas yang lebih tinggi di
banding perempuan dan juga kebiasaan buruk lainnya seperti merokok
dan mengonsumsi alkohol yang dapat menyebabkan sistem imunitas
menurun sehingga dapat memudahkan laki-laki terinfeksi TB paru.
Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko
untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner,
bronchitis kronik dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok
meningkatkan resiko untuk terkena TB paru.
4. Pada penelitian ini, pada tahun 2019, 2020 dan 2021 didapatkan 44
kasus dengan pemeriksaan dahak positif. Hal ini bisa terjadi karena
penderita yang datang mengandung banyak sekali kuman pada
sputumnya sehingga dengan mudah dilihat dengan mikroskop. Faktor
sering terlambatnya penderita memeriksakan diri juga bisa
mengakibatkan kuman berkembang lebih banyak. Makin tinggi derajat
positf hasil pemeriksaan sputum maka makin tinggi potensi penularan
kepada orang lain. Hal ini akan berdampak secara sistemik dimana
79

nantinya penderita akan menularkan kepada orang terdekat terutama


keluarganya.

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka saran yang dapat

diberikan peneliti antara lain sebagai berikut:

1. Bagi pihak UPT Puskesmas Niki-Niki, khususnya bagian

pengendalian penyakit menular bekerjasama dengan aparat

masyarakat untuk melakukan pemeriksaan kepada masyarakat luar

kota yang akan menetap di wilayah Niki Niki agar dilakukan

screening TB Paru sebelum menetap di wilayah Niki Niki.

2. Bagi pihak UPT Puskesmas Niki-Niki, khususnya bagian

pengendalian penyakit menular, untuk melakukan evaluasi

mengapa di tahun 2020 kasus TB terbanyak pada jenis kelamin

perempuan. Sebaiknya diadakan kunjungan rumah dan dicari faktor

risikonya.

3. Bagi pihak UPT Puskesmas Niki-Niki, khususnya bagian

pengendalian penyakit menular, untuk melakukan pemeriksaan

untuk masyarakat yang memiliki kontak serumah/dekat dengan

penderita TB paru dan meningkatkan promosi tentang TB paru

pada masyarakat baik melalui penyuluhan, leaflet, poster dan

media lainnya terutama bagi yang beresiko untuk terkena TB Paru

mengenai faktor risiko, berkaitan dengan penularan yang

menyebabkan tingginya insiden tuberkulosis paru pada usia


80

produktif khusunya yang berjenis kelamin laki-laki. Juga edukasi

mengenai cara penularan, tanda dan gejala tuberkulosis paru

sehingga dapat meminimalisir komplikasi yang umumnya bisa

sampai pada kematian

4. Bagi kepala desa dan petinggi masyarakat, untuk lebih mendukung

program pemberantasan TB di bagian desanya dengan cara

mensosialisasikan pentingnya untuk memeriksakan diri di tempat

kesehatan bagi masyarakat yang memiliki gejala TB atau kontak

dekat dengan penderita TB, dan cara penularannya kepada

masyarakat sehingga terhindar dari penyakit TB Paru.

5. Bagi masyarakat, agar lebih menjaga kesehatan individu dan

lingkungan tempat tinggal, juga harus memahami cara penularan,

tanda dan gejala tuberkulosis paru sehingga dapat memeriksakan

diri ke tempat kesehatan dan dapat meminimalisir komplikasi yang

dapat menyebabkan kematian.

6. Bagi peneliti selanjutnya, untuk meneliti faktor risiko lainnya yang

berhubungan dengan penyakit TB Paru.


81

DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes Republik Indonesia. 2016. Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis. Jakarta : Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan.
2. World Health Organization. 2013. Global Tuberkulosis Control. Report 2013.
(online)(Http://apps.who.int/iris/bitstream/p
ublications/globalreport/10065/137094/1/97 89241564809_eng.pdf?ua=1).
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan
tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2015.
4. Center For Disease Control and Prevention (CDC). Reported tuberculosis in
United Stated, 2017. Atlanta, GA: U.S. Department of Health and Human
Services; 2017.
5. World Health Organization. Global Tuberculosis Report.; 2018.
6. Karo B, Hauer B, Hollo V, van der Werf MJ, Fiebig L, Haas W. Tuberculosis
Treatment Outcome in the European Union an European Economic Area: an
Analysis of Surveillance Data From 2002-2011. Euro Surveill. 2015; 20(49).
7. Collins BN. Assessing the Outcome of Tuberculosis Treatment in the Cameroon
Baptist Convention Health Board Tuberculosis Treatment Center (Thesis).
Sweden: Umeå University; 2011.
8. Djojodibroto RD. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC; 2009.
p.153-168.
9. Hopwell PC, Kato-Maeda M, Ernst JD. In: Broaddus VC, Mason RJ, Ernst JD,
King Jr TE, Lazarus SC, Murray JF, et al., editors. Murray & Nadel’s Textbook
of Respiratory medicine. Ed 6. Canada: Elsevier; 2016. p. 593-628.
10. Bigogo G, Cain K, Nyole D, et al. Tuberculosis Case Finding Using
Population- Based Disease Surveillance Platforms In Urban And Rural
Kenya. 2018:1-12.
11. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). (2008). Buku Ajar Respirologi anak,
edisi pertama. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
12. Young D, Stark J, Kirschner D. System Biology of Persisetent Infection:
Tuberculosis as a Case Study. Nat Rev Microbiol. 2008 Jul:6(7): 520-528.
13. Pyatnochka IT, editor. Tuberculosis. Ternopil: Ukrmedknyha; 2005. p. 174
14. Pitoyo CW. Tuberkulosis Pada Pasien HIV. J. Penyakit Dalam Indonesia. 2017
Maret; 4(1).
15. TB CARE I. International Standards for TB Care. Ed. 3. TB CARE I. The
Hague. 2014.
82

16. Susilayanti EY, dkk. Profil Penderita Penyakit Tuberkulosis Paru BTA Positif
yang Ditemukan di BP4 Lubuk Alung periode Januari 2012 –Desember 2012.
Padang:Jurnal Kesehatan Andalas; 2014.
17. Gere, G. INSIDENSI TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS NAIBONAT
TAHUN 2019. Karya Tulis Ilmiah, 30.2019

Anda mungkin juga menyukai