KEJANG
KEJANG
Bila kejang berlanjut diberikan fenitoin 20 mg/kgBB IV dalam larutan garam --fisiologis dengan kecepatan
1mg/kgBB/menit.
Beri bayi
Human tetanus immunoglobin 500 U IM, bila tersedia, atau tetanus antitoksin --5000 U IM.
Tetanus toksoid 0,1 mL IM pada tempat yang berbeda dengan tempat pemberian antitoksin Benzil penicillin G
100.000 U/kgBB IV dosis tunggal selama 10 hari
Bila terjadi kemerahan dan / atau pembengkakan pada kulit sekitar pangkal tali --pusat, atau keluar nanah dari
permukaaan tali pusat, atau bau busuk dari area tali pusat, berikan pengobatan untuk infeksi lokal tali pusat.
Berikan ibunya imunisasi tetanus toksoid 0.5 mL (untuk melindungi ibu dan bayi --yang dikandung berikutnya)
dan minta datang kembali satu bulan kemudian untuk pemberian dosis kedua.
- Pengobatan sesuai dengan penyebab kejang
Standard Prosedure Operational ( SPO )
PENYAKIT KAWASAKI
PENYAKIT KAWASAKI
Imunoglobulin (gamaglobulmn) intravena (IVIG) segera diberikan setelah diagnosis --ditegakkan dengan yakin.
Dosis IVIG adalah 2 g/kg BB selama 10-12 jam. Selama pembenian pantau laju jantung dan tekanan darah
setiap 30 menit, kemudian 1 jam, dan selanjutnya tiap 2 jam. Imunogiobulin memberikan hasil optimal bila
diberikan pada han ke-5-10 awitan. Pembenan imunoglobulin setelah han ke 10 tidak dipenlukan kecuali jika
masih ada tanda tanda aktivitas penyakit baik secara klinis maupun laboratoris misalnya demam, LED, CRP dan
hitung leukosit tinggi. Pada kondisi mi pemberian imunoglobulin perlu dipikirkan dengan mempertimbangkan
manfaat dan biaya.
Asetosal (asam asetil salisilat) per oral dosis 80-100 mg/kg/hari dalam 4 dosis hingga --hari ke-14 awitan atau 2-
3 hari setelah demam reda. Selanjutnya dosis diturunkan menjadi 3-5 mg 1kg sekali sehari sampai 6-8 minggu
sejak awitan dan kemudian dihentikan jika pada ekokardiografi tidak ditemukan kelainan koroner. Pemberian
jangka panjang dipenlukan pada kasus dengan aneunisma arteni koroner yang menetap
Imunisasi dengan kuman hidup seperti campak dan vanisela ditunda minimal 11 --bulan setelah pemberian
imunoglobulin. Imunisasi lain dapat diberikan setelah fase konvalesen.
Tindakan intervensi atau bedah pintas koroner dipertimbangkan pada kasus stenosis --koroner yang berat.
Standard Prosedure Operational ( SPO )
Riwayat morbiditas yang khas maupun yang sering ditemukan pada pendenita HIV. --Riwayat kelahiran, ASI,
pengobatan ibu, dan kondisi neonatal
Pemeriksaan fisis
Gejala klinis yang dapat dijadikan dasar untuk pemeriksaan laboratorium HIV:
Demam berulang/berkepanjangan-
Berat badan turun secara progresif-
Diare persisten-
Kandidosis oral-
Otitis media kronik-
Gagal tumbuh-
Limfadenopati generalisata
--
Pembengkakan parotis-
Infeksi oportunistik yang dapat dijadikan dasar untuk pemeriksaan laboratorium HIV:
Tuberkulosis
-Herpes zoster generalisata
-Pneumonia --R jiroveci
Pneumonia berat
Pemeriksaan penunjang
Diagnosis HIV-
Umur pasien <18 bulan:-
--Bila tersedia dan mampu, lakukan pemenksaan PCR RNA (DNA) sebagai pemeniksaan yang paling akurat untuk
anak usia kurang dari 18 bulan. Diagnosis infeksi HIV dapat ditegakkan bila dua hasil tes virologi terhadap
dua sampel darah berbeda menunjukkan hasil positif.
--Bila status ayah dan ibu tidak diketahui, dapat dilakukan pemeriksaan antibodi anti HlV, sebaiknya dengan
ELISA dan menggunakan 3 reagens yang berbeda, diikuti dengan pemeriksaan konfIrmasi (immunoblot
atau imunoflouresens). Jika hasil negatif, maka kemungkinan besar bayi tidak terinfeksi HIV, sedangkan
bila hasil positif maka belum tentu bayi terinfeksi karena antibodi maternal dapat terdeteksi hingga usia
18 bulan.
--Pada bayi yang masih mendapat ASI, interpretasi tes HIV menjadi tidak akurat. Periode jendela yang dipakai
untuk dapat mengintepretasi dengan tepat adalah 6 minggu setelah ASI dihentikan. Tes HIV tetap dapat
dilakukan tanpa harus menyetop pemberian ASI.
Bila anak >18 bulan, cukup dengan pemeriksaan antibodi HIV saja.
Pemeriksaan konfirmasi infeksi HIV : Westemblot atau PCR RNA/DNA-Tentukan status imunosupresi dengan
pemeriksaan hitung mutlak dan --persentase CD4+ (lihat Tabel 2 dan 3).
Standard Prosedure Operational ( SPO )
HIDROSEPALUS
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan transiluminasi positif
Foto rontgen kepala: tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial: --impresionis digitata, sutura yang melebar,
pembesaran daerah fosa posterior (Sindrom Dandy-Walker), fosa posterior yang mengecil (malformasi
Arnoid-Chiari), kalsifikasi penventrikular (infeksi CMF), kalsifikasi yang menyebar (infeksi toksoplasma).
USG (pada anak dengan UUB yang belum menutup), --
CT-Scan atau MRI kepala: digunakan sebagai diagnosis dan mencari etiologi.
Diagnosis: ditemukan pelebaran ventrikel dan tanda-tanda peningkatan tekanan intraventrikel seperti sulcus
yang tidak jelas terlihat, penumpulan sudut komu anterior atau edema penventrikular.
Etiologi: Gambaran obstruksi, kalsifikasi periventrikel (infeksi kongenital CMV) --atau kalsifikasi intraparenkim
(infeksi kongenital toksoplasma), sindrom Dandy-Walker atau malformasi Arnold-Chiari.
Standard Prosedure Operational ( SPO )
HIDROSEPALUS
Peran psikolog:
Skrining anak dengan gangguan perkembangan apakah anak tersebut menderita --kesulitan belajar atau
nantinya akan menderita kesulitan belajar.
Skrining dengan berbagai macam pemeriksaan diatas namun sebagian besar --barn dapat dilakukan pada usia 6
tahun sehingga untuk anak < 6 tahun atau usia pra sekoiah baru dapat diniiai secara kasar bahwa anak tersebut
nantinya akan mengalami kesulitan belajar. Walaupun penilaian pada anak pra sekolah masih kasar tetapi sudah
harus dilakukan intervensi dini.
Peran pendidik profesional:
melakukan intervensi terhadap kelemahan yang dimiliki penderita
Peran orangtua:
- ujung tombak untuk deteksi dm1 kesulitan belajar
- melakukan stimulasi
- evaluasi di rumah
- membangun mental anak agar tidak merasa kecil hati
Standard Prosedure Operational ( SPO )
DIARE PERSISTEN
DIARE PERSISTEN
PLUS
Bukti infeksi streptokokus grup A sebelumnya
Kultur usap tenggorokan atau rapid streptococcal antigen test positif
Titer antibody streptokokus di atas nilai normal atau meningkat
Dasar diagnosis
Highly probable (sangat mungkin)
- 2 mayor atau 1 mayor + 2 minor
- Disertai bukti infeksi Streptococcus beta hemolyticus group A
ASTO atau kultur positif Doubtful diagnosis (meragukan)
- 2 mayo
- 1 mayor + 2 minor
Etiologi
DRA dan PJR terjadi sebagian besar di negara yang sedang berkembang, lingkungan padat, sosial ekonomi
rendah, keadaan malnutrisi, dan fasilitas kesehatan terbatas. Insidens puncak terjadi pada usia 8 tahun (rentang
usia 6 15 tahun).
Prosedur
Tata laksana
Tirah baring
Lama dan tingkat tirah baring tergantung sifat dan keparahan serangan (Tabel 2. panduan aktivitas pada DRA).
Pemusnahan streptokok dan pencegahan
Rekomendasi untuk pencegahan streptokok dari tonsil dan faring sama dengan rekomendasi yang dianjurkan
untuk pengobatan faringitis streptokok, yaitu:
Benzantin penicillin G
Dosis 0,6-1,2 juta U i.m.
Juga berfungsi sebagai pencegahan dosis pertama
dapat ditemukan formasi tulang baru periosteal. Pada tingkat lebih lanjut (lebih dari 2 tahun) dapat terlihat erosi
tulang persendian dan penyempitan daerah tulang rawan. Ankilosis dapat ditemukan terutama di daerah sendi
karpal dan tarsal. Kelainan tulang juga dapat dideteksi dengan skintigrafi dan radio imaging.
Tata Laksana
Tujuan penatalaksanaan artritis kronik adalah: meredakan nyeri, mengembalikan fungsi, mencegah deformitas,
dan mengontrol inflamasi. Tujuan jangka panjang adalah meminimalisasi efek samping pengobatan,
meningkatkan proses tumbuh kembang, rehabilitasi dan edukasi.
Medikamentosa
Dasar pengobatan ARJ adalah suportif, bukan kuratif.
- Obat anti inflamasi non steroid (AINS):
o Asam asetil salisilat: dosis 75-90 mg/kgBB/hari dalam 3-4 kali pemberian; diberikan 1-2 tahun sampai
gejala klinis menghilang
o Naproksen: dosis 10-15mg/kgBB dibagi dua; diberikan untuk mengontrol nyeri, kekakuan dan inflamasi
pada anak yang tidak responsif terhadap asam asetilsalisilat atau sebagai pengobatan inisial.
o Analgetik lain: asetaminofen dapat bermanfaat mengontrol nyeri dan demam terutama pada penyakit
sistemik namun tidak boleh dibenkan jangka panjang karena menimbulkan kelainan ginjal.
- Obat antireumatik kerja lambat seperti hidroksildorokuin, preparat emas (oral atau suntikan), penisilamin
dan sulfasalazin. Obat ini hanya diberikan untuk poliartritis progresif yang tidak menunjukkan perbaikan
dengan AINS. Hidroksiklorokuin dapat bermanfaat sebagai obat tambahan pada anak besar, dosis awal 6-
7mg/kgBB/hari, setelah 8 minggu diturunkan menjadi 5 mg/kgBB/hari. Bila setelah 6 bulan pengobatan tidak
diperoleh perbaikan maka hidroksiklorokuin harus dihentikan.
- Kortikosteroid jika terdapat gejala penyakit sistemik, uveitis kronik, atau untuk suntikan intra-artikular. Untuk
sistemik berat yang tidak terkontrol diberikan prednison 0,25-1mg/kgBB/hari dosis tunggal (maksimum 40
mg) atau dosis terbagi pada keadaan yang lebih berat. Bila ada perbaikan klinis maka dosis diturunkan
perlahan kemudian dihentikan. Kortikosteroid intra-artikular dapat diberikan pada oligoartritis yang tidak
berespons dengan AINS atau sebagai terapi suportif untuk sendi yang sudah mengalami inflamasi dan
kontraktur. Kortikosteroid intra-artikular juga dapat diberikan pada poliartritis bila satu atau beberapa sendi
tidak berespons dengan AINS. Triamsinolon heksasetonid merupakan pilihan dengan dosis 20-40 mg untuk
sendi besar.
- Kombinasi AINS dengan steroid pulse therapy dapat digunakan untuk artritis onset sistemik. Metilprednisolon
dengan dosis 15-30 mg/kgBB/pulse. Protokol yang diberikan adalah single pulse dengan jarak 1 bulan
dengan pulse berikutnya, atau 3 pulse diberikan berurutan dalam 3 hari dalam 1 bulan, atau 3 pulse
diberikan secara berselang dalam 1 bulan. Selama pemberian terapi ini harus dilakukan monitoring
kardiovaskular dan keseimbangan cairan dan elektrolit.