Anda di halaman 1dari 52

PEDOMAN LAYANAN

TES HIV

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia


2018
1 KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

KATA PENGANTAR
PEDOMAN LAYANAN TES HIV 2

DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
Daftar singkatan dan istilah iii
Kontributor iv

Bab I : Pendahuluan 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 3
C. Sasaran
Bab II : Layanan Tes HIV 5
A. Konsep Tes HIV 5
B. Layanan Tes HIV
Bab III : Diagnosis HIV dan Tindak Lanjut 10
Informasi Umum 10
A. Pemilihan Metode Pemeriksaan 10
B. Algoritma Tes HIV dengan Pemeriksaan Serologis 13
C. Tindak Lanjut Pasca Tes 14
D. Diagnosis HIV pada Anak 16
Bab IV : Penemuan Kasus 18
A. Penemuan kasus Ibu Hamil 19
B. Penemuan Kasus Anak 19
C. Penemuan Kasus Remaja 20
D. Penemuan Kasus Pasien IMS 20
E. Penemuan Kasus Pasien TB 21
F. Penemuan Kasus Populasi Kunci 21
G. Penemuan Kasus Warga Binaan Rutan/Lapas
H. Penemuan Kasus pada Pasangan ODHA
Bab V : Pencatatan dan Pelaporan 24
Lampiran 25
Daftar Kepustakaan
29
3 KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH


AIDS : Acquired Immunodeficiency Syndrome
ANC : Antenatal care
ARV : Antiretro viral
DNA : Deoxy-ribonucleic acid
IMS : Infeksi menular seksual
INH : Isoniazid
KIA : Kesehatan ibu dan anak
LASS : Layanan alat suntik steril
LKB : Layanan komprehensif berkesinambungan
LSL : Laki-laki suka sex dengan laki-laki
MTBM : Managemen terpadu bayi muda
MTBS : Managemen terpadu balita sakit
NAPZA : Narkotika psikotropika zat adiktif
NAT : Nucleic acid test
PE : Peer educator
PMI : Pemantauan mutu internal
PME : Pemantauan mutu eksternal
PPIA : Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak
PPS : Pria pekerja seks
RNA : Ribonucleic acid
RO : Pemeriksaan awal HIV untuk skrining dan harus diulang jika positif
untuk mendapatkan kepastian diagnosis.
SOGIB : Seksualitas Orientasi Gender Identity Bodily
SDGs : Sustainable development goals
SITT : Sistem informasi TB terpadu
SUFA : Strategic use for ARV
TIPK : Tes atas inisiasi petugas kesehatan
TOP : Temukan Obati Pertahankan
UTD : Unit tranfusi darah
WPS : Wanita pekerja seks
PEDOMAN LAYANAN TES HIV 4
1 KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

BAB
BAB I.
1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
HIV merupakan infeksi menular yang mengganggu sistem pertahanan tubuh. Infeksi ini tidak
mempunyai tanda fisik atau ciri yang spesifik untuk dapat mengetahui status infeksi HIV seseorang
kecuali melalui pemeriksaan darah (tes HIV). Tes HIV diperlukan untuk bisa memberikan akses
kepada pencegahan, perawatan dan pengobatan ARV yang pada akhirnya bertujuan untuk
mengendalikan infeksi agar tidak menjadi AIDS.

Program HIV AIDS telah berkembang pesat. Penggunaan tes serologi generasi ke-4 yang
mendekteksi antibodi dan antigen p24 mampu mendeteksi infeksi pada 2-3 minggu setelah
terjadinya penularan infeksi HIV. Pada saat ini yang banyak digunakan yaitu RDT generasi ke-3, di
kemudian hari akan banyak tersedia RDT generasi ke-4.

Hal ini menunjukkan kemajuan teknologi laboratorium baik pemeriksaan antibodi/serologi maupun
antigen memungkinkan deteksi infeksi HIV pada fase awal.

Perkembangan teknologi tes HIV saat ini memungkinkan untuk memberikan hasil diagnosis pada hari
yang sama dengan harapan pasien bisa mendapatkan pengobatan pada hari yang sama juga.
Perkembangan teknologi laboratorium juga diiringi dengan perkembangan pengobatan. Pemerintah
menyediakan obat dalam formula kombinasi dosis tetap yang terdiri dari 3 zat aktif, bagi pasien yang
baru pertama mendapat ART.

Pengendalian HIV untuk kepentingan kesehatan masyarakat (public health) menunjukkan kemajuan
sejak dilakukannya uji klinis HTPNHPTN 052, yaitu terjadi pergeseran paradigma yang menempatkan
pengobatan sebagai bagian dari pencegahan. WHO merekomendasikan penemuan dan pengobatan
kasus dini sebagai upaya kesehatan masyarakat dalam mengendalikan transmisi HIV dengan
penerapan pendekatan tes atas inisitif petugas kesehatan (TIPK) yang diperluasLayanan Tes HIV di
fasilitas pelayanan kesehatan.
PEDOMAN LAYANAN TES HIV 2

Indonesia, dalam penanggulangan penyakit HIV telah berevolusi mengikuti perkembangan riset
kesehatan masyarakat, riset tehnologi laboratorim, riset pengobatan HIV dengan ARV, sebagai
berikut:

 Tahun 2003-2009 adalah fase dimana pengetahuan tentang HIV masih sedikit dipahami orang,
teknologi laboratorium tes cepat di tempat mulai banyak dikembangkan dan pengobatan sudah
tersedia, namun jumlahnya terbatas, biaya pemeriksaan laboratorium dan obat masih sangat
mahal dan selektif pada pasien yang sangat membutuhkan (stadium klinis 3, 4 atau CD4<200).
Pada masa ini pelayanan dititikberatkan pada perlunya konseling dalam rangkaian yang panjang
untuk bisa melakukan tes HIV. Keberadaan konselor menjadi suatu keharusan sehingga pelatihan
koseling tes HIV sangat gencar dilakukan.
Tahun 2008 - 2009, Indonesia mulai memperluas program dan pelayanan hingga ke 33 provinsi
dari sebelumnya hanya 12 provinsi.

 Tahun 2010-2017, Indonesia mengikuti rekomendasi WHO untuk pelaksanan TIPK dengan bukti
bahwa penemuan kasus perlu digencarkan dan pengobatan sebagai pencegahan (treatment as
prevention) secara signifikan diikuti perkembangan adekuat untuk teknologi laboratorium, obat
dan harga yang makin terjangkau. Namun, data menunjukkan cakupan tes dan pengobatan ARV
masih sangat rendah.
 Tahun 2017 adalah fase dimana pengetahuan tentang HIV dan pengobatannya sudah lebih luas
diketahui. Perkembangan pendekatan kesehatan masyarakat termasuk perluasan PPIA di semua
pelayanan KIA (regardless epidemic status), SDG’s, dan pencanangan eliminasi HIV pada 2030,
telah membuka mata bahwa HIV bisa ditangani di semua fasilitas pelayanan kesehatan. Oleh
karena itu, program pengendalian HIV di Indonesia terus berupaya memperluas akses terhadap
tes HIV dan pengobatan sehingga bisa dilakukan oleh semua petugas fasyankes.

Setiap tenaga kesehatan yang menjalankan program kesehatan dan menangani pasien di tingkat
fasyankes harus mengubah cara pandang penanggulangan HIV dengan mengikuti evolusi tersebut di
atas serta memahami perbedaan antara aspek pengendalian penyakit untuk kepentingan kesehatan
masyarakat dan penanganan klinis pasien di fasyankes.

Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk ikut berpartisipasi dalam Sustainable Development Goals
(SDG’s), dimana salah satu indikator yang digunakan adalah Indikator kesehatan, diantaranya adalah
HIV. Indikator HIV yang digunakan adalah jumlah infeksi baru yang ditemukan. Pemerintah
Indonesia juga ingin menurunkan laju penularan HIV dan berkontribusi di dalam komitmen global
untuk eliminasi HIV.

Kementerian Kesehatan melaporkan kasus HIV AIDS kumulatif hingga triwulan pertama tahun 2017
sebesar 248,250 orang. Penemuan kasus tersebut masih jauh dari target estimasi yang sudah
disepakati untuk dicapai. Kementerian dalam forum jalur cepat (fast track) Temukan - Obati -
Pertahankan (TOP) melaporkan bahwa penemuan kasus HIV AIDS secara kumulatif baru mencapai
38% dari estimasi ODHA. Pemberian ARV pada ODHA hanya mencapai 12% dari estimasi sampai
dengan tahun 2016.
3 KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Program penanggulangan HIV AIDS mempunyai visi untuk menghentikan AIDS pada tahun 2030
dengan tujuan 1) Meniadakan kasus infeksi baru (Zero new infection); 2) Meniadakan kematian
karena AIDS (Zero AIDS Related Death) 3). Meniadakan diskriminasi (zero discrimination) . Target
yang ditentukan adalah: pada tahun 2027, 90% ODHA sudah mengetahui status HIV nya, 90% ODHA
yang tahu status HIVnya mendapatkan pengobatan ARV, 90 % yang mendapat ARV virusnya
tersupresi.

Salah satu tahapan yang ditempuh oleh Kementerian Kesehatan untuk mencapai tujuan di atas
adalah dengan memasukkan HIV sebagai standar pelayanan minimal dalam Permenkes no 43 tahun
2016, tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan, pasal 2, ayat 1 yang berbunyi :
“Setiap orang berisiko terinfeksi HIV (ibu hamil, pasien TB, pasien IMS, waria/transgender, pengguna
napza, dan warga binaan lembaga pemasyarakatan) mendapatkan pemeriksaan HIV sesuai standar.”

Pemerintah akan memperluas akses tes dan pengobatan secara bertahap dengan mengedepankan
puskesmas untuk mampu layanan tes HIV, dengan keharusan menerapkan TIPK di seluruh fasilitas
pelayanan kesehatan, dan mampu memberikan ARV, dengan menyederhanakan indikasi pengobatan
ARV yaitu semua orang dengan HIV reaktif, akan mendapatkan ARV tanpa memandang stadium
klinis, tanpa menunggu hasil CD4 dan hasil laboratorium lainnya.

Pedoman ini disusun untuk dapat dipergunakan oleh semua tingkatan fasilitas layanan kesehatan di
seluruh Indonesia.

B. Tujuan dan Sasaran


1. Tujuan

Buku Pedoman ini bertujuan untuk:


a. Memberikan panduan tentang layanan Ttes HIV
b. Memberikan panduan tentang diagnosis tes HIV
c. Memberikan panduan tentang cara-cara penemuan kasus pada berbagai populasi sasaran
d. Memberikan panduan dalam melakukan pencatatan dan pelaporan tTes HIV

2. Sasaran pengguna buku

a. Sasaran utama pengguna buku Pedoman adalah petugas kesehatan di layanan (bidan, dokter,
petugas TB, petugas laboratorium di layanan)
PEDOMAN LAYANAN TES HIV 4

b. Sasaran lain: buku Pedoman dapat digunakan oleh pengelola dan penanggungjawab
program di Pusat dan daerah, sebagai bahan untuk memberikan dukungan, pemantauan,
penilaian dan pengawasan dalam pelaksanaannya
5 KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

BAB II LAYANAN TES


HIV
Bab

A. Konsep tes HIV


Dalam membangun Konsep tes IV, terlebih dahulu harus dipahami tentang karakteristik penyakit
HIV, yaitu HIV adalah suatu penyakit infeksi yangdengan ciri-ciri:: (untuk dibuat narasi/pengantar
narasi sebelum butir2 di bawah ini)

 menyebabkan kerusakan sel CD 4 sehingga rentan terhadap penyakit infeksi oportunistik


 membutuhkan pengobatan seumur hidup
 kerap dikaitkan dengan perilaku negatif
 dapat menimbulkan ketakutan, stigma dan diskriminasi

Karakteristik penyakit HIV diatas tersebut perlu dijadikan bahan pertimbangan dalam
membangun bentuk layanan tes HIV yang meliputi beberapa aspek yaitu:

 Bagaimana cara menemukan kasus


 Bagaimana kasus yang ditemukan dapat diobati dan ditindaklanjuti dengan membangun
jejaring kerja internal maupun eksternal
 Bagaimana membangun layanan yang dapat diakses oleh populasi kunci dan tidak
memberikan ketakutan dan stigma.
 Sistem promosi atau marketing agar masyarakat tahu jika tersedia layanan diagnosis dan
pengobatan HIV serta dapat diakses.

Dalam konteks pendekatan kesehatan masyarakat, Kementerian Kesehatan menggunakan


strategi LKB yang bertujuan memperluas akses layanan tes HIV dan pengobatan ARV untuk
semua ODHA. Strategi Treat All Strategic Use of ARV (SUFA) bertujuan meningkatkan cakupan
pemberian ARV, dengan 1) memperluas indikasi ARV menjadi untuk semua ODHA ; 2)
desentralisasi logistik ARV hingga tingkat propinsi/kabupaten; 3) desentralisasi tes dan
pengobatan ARV di tingkat puskesmas/klinik swasta.

Dalam tingkat layanan baik di fasyankes primer maupun lanjutan, kegiatan pengendalian berupa:
penemuan kasus; pemberian ARV maupun penanganan infeksi oportunistik. Layanan tes HIV di
fasyankes dibangun terintegrasi sesuai dengan tatanan layanan kesehatan.
PEDOMAN LAYANAN TES HIV 6

Layanan tes HIV dibangun secara terintegrasi, dalam pengertian:

1. Terintegrasi dengan sistem pelayanan kesehatan yang ada tanpa menciptakan sistem yang
baru, sebagai contoh pasien HIV tetap mengantri dan mendaftar, catatan medis pasien HIV
diletakkan di unit rekam medis, tidak perlu laboratorium dan unit farmasi yang khusus untuk
program HIV.
2. Terintegrasi untuk tujuan penemuan kasus, dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan di
semua poli rawat jalan, seperti poli DOTSTB, klinik hepatitis, klinik kebidanan dan
kandungan, klinik TB Paru dan rawat inap.
3. Terintegrasi dalam pengobatan dan pencatatan, dilakukan dalam poliklinik terpadu dengan
penyakit lainnya seperti poli TBC-HIV-IMS. Integrasi dalam pengobatan diperlukan karena
memerlukan tindak lanjut untuk mencegah pasien hilang dan adanya pencatatan, pelaporan

4. Layanan tes HIV wajib dilakukan bersama dengan layanan IMS, dimana semua pasien HIV, ibu
hamil, populasi kunci apapun status HIVnya wajib dilakukan pemeriksaan IMS.

B. Layanan Tes HIV


1. Tes HIV

Pendekatan dan penemuan kasus HIV yang harus dijalankan oleh tenaga kesehatan di fasilitas
layanan kesehatan, selama ini dikenal dengan TIPK (Tes atas Inisiasi Petugas Kesehatan). TIPK
menjadi prioritas layanan tes HIV, namun tidak menghilangkan peran tetap memungkinkan
dilaksanakannya KTS untuk melengkapisesuai dengan kebutuhan pasien/klien. Selanjutnya, agar
tidak terjadi kerancuan akan digunakan satu istilah yaitu layanan tes HIV, untuk memperbaharui
istilah “konseling dan tes HIV”. . Setiap tenaga kesehatan wajib meminta pasien melakukan tes
HIV sebagai prosedur rutin pada populasi: pPasien TBC, Ibu Hamil, pPopulasi Kunci, pPasien IMS,
dll.

Dalam pelaksanaanya, tes HIV harus mengikuti prinsip yang telah disepakati secara global yaitu 5
komponen dasar yang disebut 5C, sebagai berikutyaitu:: 1) consent; 2) confidentiality; 3)
counseling; 4) correct test results;5) connection to care, treatment and prevention services.
a. Consent

Consent disini mempunyai makna bahwa sebelum dilakukan tes HIV, pasien perlu mengerti
alasan dilakukan tes HIV. Petugas kesehatan wajib memberikan informasi guna menjelaskan
alasan mengapa pasien akan di lakukan tes. Kebijakan pemerintah dapat dijadikan landasan
untuk melakukan tes HIV.
7 KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Sama seperti penyakit lainnya, tahap ini berlangsung singkat, tanpa dilakukan konseling yang
panjang oleh konselor dan dapat dilakukan oleh semua petugas kesehatan. Pada tahap ini tidak
diperlukan penggalian evaluasi risiko dan konseling individu (4,5).

Persetujuan cukup diberikan secara lisan, dalam hal pasien menolak, diperlukan tanda tangan
dari pasien. (Permenkes No. 21 tahun 2013, tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, pasal 24).

Tatanan hukum di Indonesia menegaskan batasan usia anak adalah 18 tahun, pemberian
informasi dan persetujuan untuk pasien < 18 tahun perlu melibatkan anggota keluarga atau wali
dari pasien. Wali adalah ayah kandung/ibu kandung/saudara kandung yang telah dewasa.
Untuk anak <18 tahun perlu ada wali yang utamanya keluarga, namun, jika tidak, baiknya ada
skrining awal dimana klinisi/tenaga kesehatan bisa mengkaji apakah anak ini sudah mampu
memutuskan sendiri. Diperlukan tanda tangan dan saksi (2 orang saksi, dari fasyankes dan atau
pendamping/LSM/ petugas Panti/Lapas.)

b. Confidentiality

Sama seperti penyakit lainnya, petugas kesehatan tidak diijinkan untuk membuka informasi
tentang pasien kepada orang yang tidak berkepentingan. Infeksi HIV bukan merupakan penyakit
yang berdiri sendiri dan dampak dari terinfeksi HIV adalah timbulnya infeksi oportunistik yang
akan menyerang organ tubuh lain sehingga memerlukan kerja sama dari bidang keahlian lain di
sarana kesehatan. Pasien perlu diberitahu sejak awal bahwa semua informasi terkait penyakit
akan di ketahui oleh petugas kesehatan yang berkepentingan untuk kepentingan perawatan dan
pengobatan.

Pembukaan status HIV kepada pasangan diatur dalam Permenkes No 21 tahun 2013, tentang
Penanggulangan HIV dan AIDS pasal 21 yang mengatakan bahwa secara berpegang pada prinsip
informasi kesehatan bersifat rahasia, dan dapat dibuka kepada:

1. Yang bersangkutan
2. Tenaga kesehatan yang menangani
3. Keluarga terdekat dalam hal yang bersangkutan tidak cakap
4. Pasangan seksual
5. Pihak lain sesuai ketentuan perundang- undangan

Petugas kesehatan, pada waktu merencanakan untuk membuka status HIV pada pasangan perlu
melakukan evaluasi untuk kemungkinan terjadinya tindak kekerasan dan membahas
penyelesaian ini dengan tim (6,7).
Pembukaan status HIV pasien pada pasangan seksual yang tetap, harus dilakukan oleh:
 Pasien, setelah dilakukan edukasi oleh petugas.
 Pasien yang dibantu oleh petugas
 Tenaga kesehatan setelah memperoleh persetujuan tertulis dari pasien
PEDOMAN LAYANAN TES HIV 8

Pembukaan status kepada pasangan, merupakan komunikasi dokter dengan pasien, dan dapat
memerlukan waktu lama. Tenaga kesehatan harus selalu menganjurkan pasien dengan HIV
untuk membawa pasangan.

c. Counselling

Pelaksanaan konseling atau edukasi kepada pasien pada tes HIV tidak menekankan dan tidak
memerlukan dilakukannya individual risk assessment dan konseling (4,5), tapi lebih ditekankan
pada pemberian informasi alasan dilakukan tes. Pemberian informasi, selain dilakukan oleh
petugas kesehatan, juga dapat menggunakan media yang lain seperti media sosial, brosur,
pamflet, film dan lain lain.

Konseling pasca test disesuaikan dengan kebutuhan dan karakter pasien. Pada pasien dengan tes
HIV positif, lebih ditekankan pada

1. Penjelasan tentang makna hasil tes positif


2. Konseling kepatuhan dan keteraturan pengobatan
3. Perubahan perilaku berisiko

d. Correct Test Result


Hasil tes harus akurat. Layanan tes HIV harus mengikuti standar pemeriksaan HIV nasional yang
berlaku. Kualitas tes harus terjaga. Hasil tes harus dikomunikasikan sesegera mungkin kepada
pasien/klien secara pribadi, oleh petugas yang meminta tes HIV.
Laboratorium fasyankes minimal melakukan pemantapan mutu internal (PMI) secara rutin setiap
kali melakukan kegiatan tes yang meliputi pra analitik, analitik dan pasca analitik dengan
membaca petunjuk penyimpanan, pelaksanaan tes . dan mengikuti program Pemantapan mutu
eksternal (PME) yang dilaksanakan setidaknya satu tahun sekalisesuai dengan pedoman PME.
Hasil PME harus dikomunikasikan kepada fasyankes pengirim.

e. Connect to HIV prevention, care and treatment


Orang dengan HIV positif harus dipastikan mendapatkan pengobatan ARV sesegera mungkin.
Layanan tes HIV dan akses terhadap perawatan dan pengobatan ARV merupakan satu bagian
yang tidak boleh dipisahkan
Pelaksanaan tes HIV tanpa diikuti dengan tautan terhadap akses untuk pencegahan, perawatan
dan pengobatan ARV tidak ada manfaatnya serta tidak sesuai dengan etika profesional
kesehatan.
9 KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

2. Alur layanan tes HIV

Alur layanan tes HIV di fasyankes, digambarkan dalam bagan sebagai berikut:

Bagan 1. Alur layanan tes HIV

Pasien di sarana rawat jalan dan rawat inap

1) pasien yang di tes HIV*


Kelompok
2)
 LSL,
3)Waria, WPS/PPS dan Pelanggan, Penasun,
WBP
4)
 Ibu hamil
5) TBC
 Pasien
6) IMS atau dengan keluhan IMS
 Pasien
 Pasien
7) hepatitis B dan C
 Pasien dengan gejala penurunan kekebalan
8) (gejala IO)
tubuh
 Pasangan ODHA
 Anak dari ibu HIV positif
 Orangtua dari anak HIV positif Menerima verbal consent
 Di daerah epidemi meluas , semua orang yang
datang ke fasyankes

Menerima tes Menolak tes


tesTes

Ke laboratorium Tanda tangan surat penolakan , beri informasi manfaat tes

Semua hHasil lab baik positif atau neg dikembalikan ke nakes


pengirim

Ppositif Inkonklusif Negatif

Jelaskan makna hasil tes, jelaskan secara garis besar, apa langkah yang
akan dilakukan di layanan ARV beserta semua paket perawatan

Catatan:
*Tes anti HIV tetap dapat dilakukan pada individu lain yang membutuhkan
Inkonklusif sebelumnya disebut indeterminate

Pasien yang berada di rawat jalan atau rawat inap dengan kriteria sebagai berikut, beri informasi
tentang tes HIV dan lakukan tes HIV:
PEDOMAN LAYANAN TES HIV 10

 LSL, Waria, WPS/PPS dan Pelanggan, Penasun, WBP


 Ibu hamil
 Pasien TBC
 Pasien IMS atau dengan keluhan IMS
 Pasien hepatitis B dan C
 Pasien dengan gejala penurunan kekebalan tubuh (IO)
 Pasangan ODHA
 Anak dari ibu HIV positif
 Orangtua dari anak HIV positif

 DDi daerah epidemi meluas s, semua orang yang datang ke fasyankes
Di Tanah Papua, semua orang yang datang ke fasyankes

Bagi pasien yang memberikan persetujuan secara lisan, berikan rujukan ke laboratorium untuk
pemeriksaan darah atau lakukan langsung pemeriksaan skrining dengan 1 reagen dengan sensitivitas
tertinggi (≥ 99%), sesuai dengan situasi. Petugas yang meminta tes atau melakukan tes, memberikan
penjelasan makna hasil tes baik pada hasil positif maupun negatif..

Bagi pasien yang menolak tes HIV, mintakan tanda tangan yang menyatakan mereka menolak
pemeriksaan.

Contoh komunikasi meminta tes HIV pada pasien TBC

Sudah menjadi program pemerintah bahwa semua pasien TBC dilakukan tes HIV.
Orang dengan TBC yang juga HIV harus segera mendapatkan obat HIV (ARV), jika
tidak, dapat membahayakan Anda. Saya akan melakukan tes HIV, kecuali Anda
menolak. Apakah ada pertanyaan?

Triase (Skrining/Penapisan oleh petugas kesehatan terdepan)


Triase adalah tes HIV untuk skrining dengan satu rapid tes dapat dilakukan oleh seluruh petugas
kesehatan pada pPuskesmas dan jJaringannya, dan fFasilitas pelayanan kesehatan lainnya
(termasuk layanan sunat dewasa) tingkat pustu, polindes, petugas TB, bidan praktik swasta,
dokter kebidanan praktik swasta, rumah bersalin, dokter umum, layanan sunat untuk dewasa.
Pemeriksaan dengan rapid tes (RR0/AO1) ini dapat mengambil sediaan darah vena maupun
dengan tusuk jari (finger prick). Khusus di Papua, mempertimbangkan geografi yang sulit,
kader posyandu juga dapat melakukan triase. Jika hasil pemeriksaan dari satu reagen ini positif,
kemudian dilakukan rujukan ke layanan diagnosis HIV.
Rujukan diagnosis dapat dilakukan dengan beberapa cara:1) mengirim sampel darah pasien; 2)
petugas kesehatan dari layanan rujukan datang untuk melakukan tes; 3) pasien yang dikirim ke
layanan rujukan .

Alur Tes HIV untuk Triase


11 KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Skrining dengan 1 rapid tes di


fasyankes/komunitas
(mohon dibeirkan catatan bagi wilayah dengan kategori C dan M)

A0 Non Rekatif ; Nyatakan


A0 Reaktif sebagai negatif

Rujuk Ke Fasyankes untuk kepastian


diagnosis
Konseling HIV

Sebagian besar pasien tidak menolak jika diminta untuk dilakukan tes apapun termasuk tes HIV
jika petugas kesehatan yang meminta. Meskipun tidak banyak, adakalanya petugas kesehatan di
layanan kesehatan menemukan kasus sulit, misalnya pasien yang selalu menolak dilakukan tes
HIV, pasien HIV positif yang menolak membawa pasangan untuk dites HIV, atau pasien yang tidak
mau dirujuk ke layanan ARV, dan lain lain. Pada kasus-kasus seperti ini, rujukan ke konselor HIV
mungkin dapat membantu pasien dan petugas kesehatan.

Skrining Berbasis Komunitas (Community-Based-Screening)


Skrining berbasis komunitas di Indonesia merupakan skrining HIV yang ditawarkan oleh petugas
lapangan/petugas penjangkau dengan menggunakan satu reagen untuk tes dengan sediaan
ludah/liur baik dengan supervisi mereka maupun tanpa supervisi. Kegiatan ini diterapkan di
beberapa lokasi di Indonesia untuk meningkatkan cakupan tes pada populasi kunci. Pada
prinsipnya, skrining ini dilakukan pada saat penjangkauan dan ditawarkan pada kelompok
dampingan yang menolak dirujuk untuk tes HIV di layanan kesehatan. DDampingan dengan hasil
tes positif dirujuk untuk memastikan diagnosis HIV di layanan kesehatan, dampingan dengan
hasil non-reaktif disarankan untuk tes ulang sesuai pedoman, baik di layanan kesehatan maupun
dengan petugas penjangkau kembali. Saat ini, reagen tidak disediakan oleh program
pemerintah, namun oleh organisasi yang melaksanakannya.

Panduan Pelaksanaan
1. Layanan tes HIV dilakukan terintegrasi dengan layanan yang ada
2. Layanan tes HIV bisa dilakukan di fasilitas layanan kesehatan primer. Penting
keikutsertaan UKM dalam layanan tes HIV.
3. Skrining/triase menggunakan satu reagen (R1), dapat dilakukan oleh Puskesmas dan
PEDOMAN LAYANAN TES HIV 12

BabIII
BAB DIAGNOSIS HIV
3 DAN TINDAK LANJUT
13 KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

A. Informasi umum tentang tes HIV


Klasifikasi Tes untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV ada dua tujuan yaitu 1) Tes untuk tujuan
skrining, yaitu mendeteksi orang yang diduga terinfeksi sebanyak mungkin dan 2) Tes untuk
memberikan konfirmasi bahwa orang yang diduga memang mempunyai antibodi spesifik terhadap
bagian virus HIV. Hasil yang pertama disebut mempunyai sensitifitas yang tinggi untuk mencegah
negatif palsu dan yang kedua mempunyai spesifisitas yang tinggi untuk mencegah positif palsu.
Penggunaan semua klasifikasi diatas untuk kepentingan diagnosis dengan menggunakan 3 rapid tes
untuk antibodi HIV dapat menghasilkan hasil laboratorium yang kuat dan terpercaya. Perlu adanya
metode kendali mutu eksternal untuk menjaga kualitas laboratorium.

Periode Jendela
Periode jendela merupakan suatu keadaan dimana seseorang telah tertular namun hasil
pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil negatif . Periode jendela dijumpai pada pemeriksaan
laboratorium yang mendeteksi antibodi terhadap HIV maupun antigen HIV (10).

Antibodi spesifik terhadap HIV mulai terbentuk beberapa hari setelah terjadinya penularan (10), akan
tetapi waktu pasti terbentuknya antibodi tergantung dari karakteristik virus, genetik dan karakteristik
pejamu (host) dan teknologi yang digunakan. Pada teknologi awal rapid tes diagnostik, antibodi
terdeteksi pada sekitar 6 – 12 minggu. Rapid test generasi ke empat mampu mendeteksi IgG, IgM
dan antigen P24, sehingga periode jendela menjadi dua minggu. Pada tes HIV generasi ke-3, tes
ulang untuk periode jendela dilakukan pada 4-6 minggu . Tes ulang untuk inkonklusif dilakukan 2
minggu kemudian.(referensi: HIV testing, WHO, 2015)
Rapid test dengan menggunakan cairan oral mempunyai periode jendela terpanjang pada generasi
berapapun.

Kementerian kesehatan saat ini menggunakan teknologi rapid tes generasi ketiga.

B. Pemilihan metode pemeriksaan


Diagnosis HIV dapat ditegakkan dengan menggunakan 2 metode pemeriksaan, yaitu pemeriksaan
serologi dan virologi.antibodi dan pemeriksaan antigen.

Metode pemeriksaan serologis

Antibodi dan antigen dapat dideteksi melalui pemeriksaan serologis. Adapun Metode pemeriksaan
antibodi metode pemeriksaan serologis yang sering digunakan tersedia adalah :
 Rapid test
 ELISA EIA (Enzyme immuno assay)-linked immunosorbent assay)
 Western blot

Secara umum metode pemeriksaan rapid tes dan ELISA EIA adalah sama yaitu mendeteksi antibodi
saja (generasi pertama) atau antigen dan antibodi (generasi ketiga dan keempat), perbedaan rapid
PEDOMAN LAYANAN TES HIV 14

tes dan ELISA terletak pada kapasitas tes, dimana ELISA mempunyai kapasitas melakukan tes dalam
jumlah lebih besar (untuk 96 pasien sekaligus). Western blot sudah tidak digunakan lagi di
Indonesia.

Metode pemeriksaan virologis antigen yang tersedia adalah:

Pemeriksaan antigen virologis kualitatif dengandilakukan dengan pemeriksaan HIV DNADNA HIV dan
RNA HIV dan pemeriksaan antigen kuantitatif HIV RNA. Saat ini pemeriksaan HIV DNADNA HIV
secara kualitatif di Indonesia lebih banyak digunakan untuk diagnosis HIV pada bayi. Pada daerah
yang tidak memiliki sarana pemeriksaan HIV DNADNA HIV, untuk menegakkan diagnosis, dapat
menggunakan pemeriksaan HIV RNARNA HIV yang bersifat kuantitatif atau merujuk ke tempat
yang mempunyai sarana pemeriksaan HIV DNADNA HIV dengan menggunakan kertas saringtetes
darah kering (dried blood spot[DBS]).

Pemeriksaan antigen virologis secara langsung biasanya digunakan untuk mendiagnosis HIV pada :

1. Bayi (dibawah 18 bulan)


2. Infeksi HIV primer
3. Pasien pada kasus terminal, dimana pada beberapa kasus didapatkan hasil pemeriksaan
antibodi yang negatif (false negative) walaupun gejala klinis sangat mendukung
4. Konfirmasi hasil inkonklusif atau konfirmasi untuk dua hasil laboratorium yang berbeda

Hasil pemeriksaan HIV dikatakan positif apabila:

1. Tiga hasil rapid tes diagnostik dengan antigen berbeda menunjukan hasil positif
2. Tiga tes ELISA atau rapid tes dengan antigen yang berbeda dengan hasil positif
3. HIV DNA atau viral load (jumlah virus) terdeteksi

Hasil pemeriksaan HIV dikatakan positif apabila:

4. Tiga hasil pemeriksaan serologis dengan tiga metode atau reagen berbeda menunjukan hasil
reaktif
5. Pemeriksaan virologis kuantitatif atau kualitatif terdeteksi

Negatif palsu pada kasus terminal pada fase AIDS terminal (end stage), bukan merupakan periode
jendela akan tetapi kondisi negatif palsu (false negative) karena jumlah antibodi terlalu sedikit untuk
dapat ditangkap oleh rapid test atau ElisaEIA. Pada keadaan ini konfirmasi diagnosis dilakukan
dengan pemeriksaan antigen virologis atau pasien diobati sesuai dengan infeksi oportunistik yg
ditemui. dan diulang pemeriksaan antibodi 1 – 2 minggu kemudian.tidak jd coret

Pemilihan jenis pemeriksaan laboratorium tergantung pada kondisi pasien, tipe rumah sakit dan
kapasitas dan fasilitas yang tersedia serta menggunakan laboratorium yang telah divalidasi baik oleh
pemerintah.
15 KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Spesimen yang dapat digunakan untuk pemeriksaan HIV tes adalah Serum, plasma, darah segar baik
dari kapiler maupun dari vena. Tidak ada perbedaan hasil antara penggunaan serum, plasma
maupun darah segar (Nitika Pant Pai et all). Asalkan sesuai dengan prosedur.

Grafik 1. Grafik Periode Jendela dan Teknologi Pemeriksaan (1)

Grafik 2. Grafik Periode Jendela dan Teknologi Pemeriksaan (2).


PEDOMAN LAYANAN TES HIV 16

Strategi tes

Indonesia merupakan negara dengan prevalensi HIV rendah (<1%). Hal ini mempunyai≥
konsekuensi bahwa untuk kepentingan diagnosis dengan pemeriksaan antibodi rapid tes, harus
menggunakan 3 rapid tes yang berbeda, menggunakan antigen yang berbeda,tidak mempunyai
positif palsu yang sama dan tidak mempunyai positif palsu silang.

C. Algoritma tes HIV dengan pemeriksaan serologi pada usia ≥18 bulan

Bagan 2. Alur diagnosis HIV dengan pemeriksaan serologis pada usia ≥18 bulan Bagan 2. Algoritma tes HIV
dengan pemeriksaan serologi

Pemeriksaan tes A1
17 KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

A1 (R) A1 (NR)
Laporkan Negatif
L

Tes A2

A1(R) A2(NR) atau A1(NR) A2 (R)


A1 (R ) A2 (R ) A1 (R ) A2 (NR )
Laporkan Inkonklusif
(Tes Ulang 14 hari kemudian)
Ulang Tes A1 dan A2

A1 (NR) A2 (NR)
A1 (R ) A2 (R ) Laporkan Negatif

Tes A3

A1(R) A2(R) A3(R) A1(R) A2(R) A3 (NR)


Laporkan Positif Laporkan Inkonklusif
(Tes Ulang 14 hari
kemudian

Pemeriksaan tes A1
PEDOMAN LAYANAN TES HIV 18

A1 + A1 –
laporkan sebagai negatif

Tes A2

A1+ A2 – atau A1- A2+


Laporkan sebagai negatif Jika A1
merupakan RDT generasi ke 3.
A1 + A2 + A1 +A2 -
Laporkan sebagai inkonklusif jika A1
merupakan RDT generasi ke 4
Ulang Tes A1 dan A2

A1- A2- Laporkan


A1+ A2+ sebagai negatif

Tes A3

A1+ A2+ A3+ A1+ A2 + A3 –


Laporkan sebagai Laporkan sebagai
positif inkonklusif

Sumber: Consolidated guidelines on HIV Testing Services, 5 Cs, WHO, 2015

Informasi hasil tes kepada pasien dilakukan oleh tenaga kesehatan yang meminta pemeriksaan
laboratorium baik ia petugas TB, bidan, maupun perawat. Pada keadaan tertentu, misalnya yang
meminta tes berhalangan, pemberian informasi hasil tes dapat digantikan oleh tenaga kesehatan
lain. Petugas laboratorium hanya membaca hasil pemeriksaan laboratorium dan menuliskan hasil
seperti yang terlihat pada 3 rapid tes.

Inkonklusif artinya status HIV tidak dapat ditentukan, petugas kesehatan perlu mengulang tes ini 14
hari (2 minggu) kemudian untuk memastikan status HIV atau memeriksakan HIV DNA atau RNA
untukkonfirmasi pemeriksaan virologis untuk kepastian diagnostik.

D. Tindak Lanjut pasca tes


Bagan 3. Tindak Lanjut Pasca Tes
19 KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Tes HIV

Paket untuk pasien


positif:
Paket untuk pasien  Penetapan stadium
negatif klinis
Negatif Inkonklusif Positif
 Jelaskan arti hasil  Skrining dan
negatif pengobatan IO
 Informasi  Edukasi kepatuhan
penggunaan dan  Tes pasangan
Tes ulang 2 mgg kemudian  Skrining TB
pemberian kondom
 Penawaran  Skrining IMS
sirkumsisi bagi  Kotrimoksasol sesuai
yang belum indikasi
sirkumsisi  INH profilaksis sesuai
 Tes ulang hanya Inkonklusif indikasi
Negatif Positif
untuk kelompok  Informasi dan
Kedua
risiko tinggi perbaikan gizi sesuai
indikasi
Rujuk ke layanan ARV,  Pemberian ARV
Beri paket pasien hasil
Nyatakan negatif jelaskan paket yang  Paket ANC terpadu
negatif
akan didapatkan di
klinik ARV

Seperti dijelaskan pada BAB II bahwa tes HIV menggunakan konsep 5 C, dimana C terakhir adalah
menghubungkan dengan layanan lanjutan untuk perawatan dan pengobatan ARV. Semua kegiatan
tes baik untuk skrining (misal pada mobile clinic, pada pustu) maupun untuk diagnosis wajib
memberikan akses perawatan dan dukungan. Pemerintah menempatkan posisi HIV sama seperti
penyakit lain yang wajib mendapatkan tindak lanjut pengoban dan perawatan.Pemerintah
menempatkan posisi HIV sama seperti penyakit lain yang wajib mendapatkan tindak lanjut pengoban
dan perawatan sehingga . Semua kegiatan tes baik untuk skrining (misal pada mobile clinic, pada
pustu) maupun untuk diagnosis wajib memberikan akses perawatan dan dukungan. Hal ini
merupakan penjelasan untuk konsep 5 C, dimana C terakhir adalah menghu bungkan pasien ke
layanan perawatan, dukungan dan pengobatan.

Pada layanan perawatan, dukungan dan pengobatan, petugas melakukan serial kegiatan yang
merupakan satu kesatuan paket layanan yaitu:

1.Penetapan stadium klinis dan skrining IO beserta pengobatannya

Penetapan stadium klinis bertujuan untuk beberapa hal yiaitu: 1) Menempatkan pasien dalam
kriteria infeksi awal, infeksi lanjut dan fase AIDS beserta perencanaan pengobata; 2) Sebagai patokan
dalam memberikan profilaksis kotrimoksasol yaitu diberikan pada stadium 3 dan 4; 3)Melakukan
pemeriksan klinis secara menyeluruh untuk mencari infeksi oportunistik dan mengobati jika ada; 4)
melakukan rujukan ke rumah sakit pada fase AIDS
PEDOMAN LAYANAN TES HIV 20

Salah satu kegiatan yang dilakukan pada waktu penetapan stadium klinis adalah pengukuran berat
badan karena berat badan merupakan salah satu indikator stadium klinis. Perencanaan dan informasi
tentang gizi merupakan tindak lanjut dari pengukuran berat badan. Pasien perlu dijaga untuk tidak
terjadi penurunan berat badan dan perlu dilakukan upaya peningkatan berat badan menuju berat
badan ideal jika terjadi penurunan berat badan. Hal ini bertujuan untuk mencegah proses
katablolisme atau membalik proses katabolik menjadi anabolik dengan penambahan berat badan
disamping pengobatan infeksi oportunistik.

2.Skrining TBC dan IMS

HIV merupakan salah satu penyakit yang ditularkan melalui hubungan sex ( infeksi menular sexual),
sehingga petugas perlu melakukan penapisan IMS pada semua pasien HIV. Hal ini bertujuan untuk
memutuskan rantai penularan IMS, mengurangi reaksi inflamasi karena IMS yang mengakibatkan
peningkatan resiko penularan IMS. Pengobatan IMS sesuai standar pengobatan IMS diberikan jika
terbukti menderita IMS,

Penapisan TB dilakukan segera setelah seseorang terdiagnosis HIV dan tiap kunjungan dengan alasan
sebagai berikut

1. Indonesia adalah negara dengan beban TB terbesar kedua di dunia


2. TB merupakan salah satu infeksi oportunistik tersering pada penderita HIV, status HIV
menyebabkan penemuan kasus TB cukup sulit
3. Memberikan akses terhadap INH profilaksis bagi pasien HIV yang terbukti tidak menderita
TB

3.Pemberian Kotrimoksasol

Kotrimoksasol merupakan obat yang diberikan untuk tujuan pencegahan beberapa penyakit infeksi
oportunistik yaitu : Pnemonitis Jeroversi (PCP), Toxoplasmosis, Salmonelosis, isospora beli dan
malaria bagi pasien yang tinggal di daerah endemis malaria.

Kotrimoksasol diberikan pada semua pasien HIV dengan stadium klinis 3 dan 4 dan atau jika nilai CD4
< 200 sel/ml

4.Notifikasi pasangan

Hal ini dilakukan untuk meningkatkan cakupan testing, memberikan akses pengobatan jika pasangan
sudah tertular serta untuk

5.Konseling kepatuhan minum obat dan pemberian ARV

Pengobatan merupakan bagian dari pencegahan. Hal ini menempatkan pemberian ARV penting
untuk dilakukan sesegera mungkin yaitu pada hari yang sama jika memungkinkan atau selambat-
lambatnya tujuh hari setelah diagnosis ditegakkan. Mempertimbangkan bahwan ARV diberikan
seumur hidup maka konseling kepatuhan minum obat yang berisi rencana pemberian ARV, evaluasi
21 KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

hal yang dapat menyebabkan pasien tidak minum obat beserta perencanaan penanganan jika ada,
tata cara minum obat serta kemungkinan efek samping yang timbul beserta informasi apa yang harus
dilakukan jika timbul efek samping.

6.Tes kehamilan serta perencanaan kehamilan

HIV bukan merupakan kontraindikasi untuk hamil. Tes kehamilan bertujuan untuk memberikan
rencana kehamilan, persalinan, menyusui, pemberian ARV profilaksis bagi bayi, pemberian
kotrimoksasol profilaksis dan rencan untuk memastikan bahwa bayi tidak tertular dengan
pemeriksaan virologi DNA dan memberikan ARV jika terbukti atau diduga tertular.

Tes Ulang

Pengulangan tes HIV dengan pemeriksaan antibodi perlu mempertimbangkan beberapa aspek
seperti status epidemi, kelompok pasien yang di tes HIV,cakupan tes,pengobatan ARV dan teknologi
tes yang digunakan. Pemerintah Indonesia untuk pemeriksaan dengan rapid tes sudah menggunakan
teknologi dari generasi ke 3 baik untuk tes pertama, kedua maupun ketiga sehingga kesalahan dan
periode jendela bisa dikurangi.

Tes ulang dilakukan pada:

1. Pasien dengan hasil inkonklusif


2. Pasangan dari ODHA, yang hasil tes HIVnya negatif (sero diskordan)
3. Pasien dengan risiko tinggi terpajan HIV seperti populasi kunci, pasien dengan IMS, ibu hamil di
Tanah Papua.

Pengulangan tes HIV pada pasien dengan hasil tes inkonklusif dilakukan 14 hari (2 minggu) setelah
tes pertama, Jika hasil tes tetap inkonklusif pada tes kedua maka hasil tes dianggap negatif, kecuali
pada pasien yang menunjukkan gejala dan tanda-tanda AIDS perlu dikonfirmasi ulang dengan
pemeriksaan lanjutan, yaitu: pemeriksaan HIV DNA, RNA atau NAT (1).

Pengulangan tes HIV pada pasien dengan hasil tes negatif tidak perlu dilakukan (18,19,20) kecuali
pada populasi kunci, pasien dengan IMS atau keluhan IMS, ibu hamil di Tanah Papua. Anjuran tes HIV
untuk populasi kunci diberikan setidaknya sekali dalam setahun. Tantangan untuk hal ini adalah
menempatkan apakah pasien dalam risiko tinggi untuk terpajan HIV. Pada pasien diluar kelompok
diatas, mengingat prevalensi HIV di Indonesia adalah rendah, pengulangan tes tidak
direkomendasikan untuk dilakukan.

Pengulangan tes pada periode jendela untuk pasien diluar populasi kunci tidak diperlukan (1)
PEDOMAN LAYANAN TES HIV 22

Penapisan darah donor


Salah satu tujuan penapisan HIV pada donor darah adalah untuk memastikan bahwa darah yang
diambil oleh Unit Transfusi Darah (UTD) tidak tercemar oleh blood borne diseases (penyakit yang
ditularkan melalui darah) seperti HIV, hepatitis B, hepatitis C, sifilis. UTD, untuk kepentingan
penapisan infeksi HIV, melakukan pemeriksaan HIV pada semua calon donor darah dengan
menggunakan strategi tes 1 yaitu 1 rapid tes saja untuk pemeriksaan antibodi terhadap HIV atau NAT
untuk pemeriksaan antigen HIV DNA.

UTD akan merujuk hasil positif, baik dengan pemeriksaan antibodi maupun antigen ke layanan yang
mempunyai akses konfirmasi diagnosis HIV dan pengobatan ARV. Konfirmasi diagnosis hanya
dilakukan pada skrining dengan menggunakan rapid tes pemeriksaan antibodi. Pemeriksaan dengan
NAT di UTD, karena mendeteksi keberadaan antigen HIV DNA atau RNA secara langsung tidak perlu
dikonfirmasi lagi dengan tes antibodi (21,22).

Skrining di UTD dengan NAT, untuk keperluan diagnosis di konfirmasi di fasyankes dengan 3 tes RDT.
23 KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Panduan pelaksanaan
 Kebijakan pemerintah menggunakan tes cepat dengan 3 rapid tes yang dilakukan secara serial
untuk diagnosis HIV pada pasien dengan usia diatas 18 bulan
 Diagnosis HIV pada bayi dilakukan pada usia minggu ke-6 dengan menggunakan pemeriksaan
HIV DNA (early infant diagnosis/EID)
 Kementerian Kesehatan menggunakan rapid tes dari generasi ke 3 yang memperpendek masa
periode jendela, sehingga pengulangan tes dilakukan 4 – 6 minggu dari tes pertama
 Darah kapiler, serum dan plasma dapat digunakan sebagai bahan spesimen untuk pemeriksaan
serologi dengan hasil yang sama sensitif dan spesifik, asalkan sesuai dengan prosedur

 Hasil tes kedua yang tetap menunjukkan hasil inkonklusif dianggap negatif kecuali ditemukan
bukti kuat adanya gejala dan tanda AIDS, pembuktian dilakukan dengan pemeriksaan HIV DNA
atau RNA
 Hasil tes negatif tidak perlu diulang, kecuali pada pasien dengan IMS, populasi kunci, bumil
trimester 3 di Tanah Papua
 Populasi kunci dilakukan pengulangan tes setidaknya sekali dalam setahun.
 Perhatikan cara penyimpanan dan prosedur pemeriksaan sesuai dengan anjuran sebagai bagian
dari kendali mutu internal
 Interpretasi hasil tes dilakukan oleh dokter yang meminta diagnosis tes HIV

 Semua hasil positif wajib diberikan tindak lanjut perawatan dan pengobatan atau dirujuk
kesarana yang mempunyai sarana pengobatan ARV
 Informasi pasca tes menekankan pada: makna hasil tes, dan konseling kepatuhan dan
keteraturan pengobatan serta perubahan perilaku berisiko
 UTD menggunakan skrining HIV dengan tes cepat menggunakan 1 rapid tes generasi 4 atau
pemeriksaan antigen dengan metoda NAT
 UTD akan merujuk hasil skrining untuk ditindak lanjuti di fasyankes yang mempunyai akses
pengobatan ARV, hasil skrining dengan NAT tidak perlu di konfirmasi dengan pemeriskaan rapid
tes serologi

 Di fasyankes, apabila tidak tersedia petugas laboratorium maka tes HIV dapat dilakukan oleh
petugas kesehatan lain seperti petugas medis atau paramedis yang
terlatih.
PEDOMAN LAYANAN TES HIV 24

E. Diagnosis HIV pada Anak


Indikasi pemeriksaan tes HIV pada anak adalah sebagai berikut:
1. Anak diketahui lahir dari ibu dengan status HIV positif
2. Anak lahir dari ibu yang tidak diketahui status HIVnya, tetapi mempunyai gejala
immunocompromised seperti TBC, malnutrisi yang tidak merespon intervensi gizi, candidiasis
oral, gangguan tumbuh kembang dan lain-lain sesuai dengan Pedoman terapi ARV pada anak .

Diagnosis pada anak <18 bulan, dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan antigen HIV DNA atau
atau HIV RNA, jika tidak memiliki reagen pemeriksaan HIV DNA. Penggunaan rapid tes antibodi HIV
tidak direkomendasikan, kecuali untuk tujuan pengobatan presumptif ARV. Hal ini disebabkan pada
anak<18 bulan, masih memiliki antibodi dari ibunya dan bisa menyebabkan hasil positif palsu.
Pengulangan tes HIV dengan antibodi untuk pengobatan presumptif dilakukan pada anak usia 18
bulan. Pengobatan ARV dihentikan apabila hasil tes antibodi non reaktif.

Alur diagnosis pada bayi <18 bulan sebagai berikut (akan digunakan algoritma anak yang terbaru
oleh Uli/Tim Lab) bila Uji Virologis Tersedia dan bila Uji Virologis tidak tersedia, digambarkan sebagai
berikut

Bagan 4. Alur diagnosis pada bayi dan Anak <18 Bulan, Uji Virologis tersedia
Bagan 5. Alur diagnosis HIV pada bayi dan Anak <18 bulan, Uji Virologis tidak tersedia
Bagan 4. Alur Diagnosis Pada Bayi <18 bulan
- 14 -

Bagan 1. Alur diagnosis HIV pada bayi dan anak umur kurang dari 18
bulan
2. Diagnosis presumtif infeksi HIV pada bayi dan anak umur kurang dari 18

4
bulan
NNegatif egatifBAB
Bila ada bayi dan anak berumur kurang dari 18 bulan dan dipikirkan
terinfeksi HIV, tetapi perangkat laboratorium untuk HIV DNA kualitatif
tidak tersedia, tenaga kesehatan diharapkan mampu menegakkan
diagnosis dengan cara diagnosis presumtif.
PENEMUAN KASUS

Penemuan kasus yang harus ditingkatkan dalam upaya penurunan penularan adalah penemuan
kasus stadium 1 dan 2

Kementerian Kesehatan, dalam pemaparan road map jalur cepat (fast tract) 90-90-90, menjelaskan
bahwa sampai dengan tahun 2016, kemampuan untuk menemuan kasus HIV ( stadium 1,2 dan 3)
baru mencapai 38% dan kemampuan untuk menemukan kasus HIV dan AIDS ( seluruh kasus) baru
mencapai 14% dari estimasi ODHA yang belum ditemukan. Kemampuan untuk menemukan kasus
yang belum optimal diikuti dengan cakupan ARV yang baru mencapai 13% dari estimasi (66% dari
kasus yang ditemukan), maka penularan HIV di Indonesia akan meningkat terus tanpa upaya
memadai dari penemuan kasus baru. Kementerian menargetkan penemuan kasus pada stadium awal
(stadium 1 dan 2) dan pengobatan awal untuk menurunkan penularan HIV.

Dalam upaya mencapai indikator tersebut, penemuan kasus dilakukan tidak hanya secara pasif, akan
tetapi harus secara aktif dan terstruktur di seluruh tingkatan fasyankes. Secara pasif, penemuan kasus
dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan dari semua lini baik poli rawat jalan maupun rawat inap ,
dengan menawarkan tes HIV.

Berdasarkan cara penularan HIV dan dampak HIV terhadap kesehatan pasien, maka penemuan kasus
wajib dilakukan terhadap:

1. Semua penyakit atau kondisi yang didapat melalui hubungan seksual, yaitu IMS, hepatitis,
kehamilan
2. Semua penyakit atau kondisi yang didapat dari darah, yaitu tranfusi darah, pengguna narkotik
suntik
3. Infeksi oportunistik yang timbul sesuai dengan stadium HIV seperti TBC paru
Berdasarkan hal tersebut maka kelompok yang perlu dicari adalah kelompok ibu hamil, pasien TB C,
pasien hepatitis, pasien IMS, populasi kunci dan pasangan orang dengan HIV (mohon dilihat bagan
alur layanan test kotak kelompok pasien). Fasilitas layanan yang perlu melakukan penemuan kasus
adalah poli Kebidanan, poli TBC, poli umum/penyakit dalam (penemuan penyakit Infeksi
oportunistik), poli IMS, poli anak, poli tumbuh kembang, poli saraf beserta bangsal dari masing
masing bagian serta lembaga pemasyarakatan.

Secara aktif, penemuan kasus membutuhkan dua aspek yaitu supply dan demand. Suplai kasus
dilakukan dengan upaya marketing dan promosi kesehatan untuk secara berkala menampilkan
tempat layanan tes dan manfaat penemuan kasus dini dan obat ARV. Kerja sama dengan pihak lain
seperti LSM, kader posyandu juga merupakan upaya promosi kesehatan dan strategi marketing untuk
menjaring kasus baru. Penemuan kasus mengikuti konsep LKB, yaitu konsep wilayah
kabupaten/kota, jadi yang harus ditemukan adalah kelompok-kelompok sasaran yang ada di wilayah
kabupaten/kota, bukan hanya yang datang ke fasyankes pemerintah.

Tantangan dalam kerja sama dengan pihak lain adalah pembiayaan yang perlu dihitung dan
dianggarkan. Upaya menanggulangi hal ini adalah fasyankes menggunakan unit yang memang sudah
dimiliki seperti pustu, polindes dan posyandu dengan sistem triase, dimana unit tersebut dibekali
dengan 1 rapid tes A1 untuk skrining dan merujuk ke puskesmas kecamatan atau RS untuk konfirmasi
diagnosis HIV bagi hasil yang positif. Dinkes perlu membuat kebijakan yang mendorong dan
menyediakan anggaran memadai untuk pencarian dan rujukan kasus.

Penemuan Kasus HIV pada berbagai kelompok sasaran

A. Penemuan Kasus HIV pada Ibu hamil


Ibu hamil, selain datang di fasyankes pemerintah, banyak juga yang datang ke bidan swasta, Klinik,
rumah bersalin, dokter spesialis kebidanan, rumah sakit swasta. Dinas kesehatan kabupaten/kota dan
fasyankes pemerintah seharusnya memiliki data tentang fasyankes swasta yang ada di wilayahnya,
dan melakukan jejaring.

Hal yang dilakukan dalam penemuan kasus HIV pada ibu hamil:
 Semua ibu hamil yang datang di poli KIA untuk ANC, dilakukan tes HIV. Tes HIV bersamaan
dengan tes Sifilis dan Hepatitis B (Triple Elimination).
 Mewajibkan fasilitas layanan kesehatan swasta melakukan tes HIV setidaknya untuk triase,
termasuk memberikan laporan ke Puskesmas wilayah setempat kecuali yang sudah memiliki SIHA
(Sistim Informasi HIV AIDS) dan Dinas Kesehatan akan bertanggung jawab untuk mengatur sistim
pelaporan
 Kerjasama dengan dokter maupun bidan praktik swasta di wilayah fasyankes, dengan cara
sebagai berikut:
 Swasta melakukan tes R1, kemudian dirujuk ke fasyankes
 Swasta melakukan rujukan spesimen untuk tes HIV ke fasyankes
 Swasta melakukan rujukan pasien untuk tes HIV ke fasyankes
 Tes HIV pada semua pasangan ibu hamil HIV reaktif
 Skrining HIV dan IMS di klinik keluarga berencana dan membuat laporan

Kegiatan yang mendukung penemuan kasus Ibu hamil:


 Suplai reagen rapid tes ke fasilitas layanan kesehatan swasta dan
membuat laporan .
 Menambah RS swasta menjadi RS rujukan untuk diagnosis HIV.

B. Penemuan kasus HIV pada Anak


Seperti halnya ibu hamil, banyak ibu-ibu membawa anaknya yang sakit ke fasyankes swasta. Dinas
kesehatan kabupaten/kota harus meningkatkan jejaring dengan fasyankes swasta di wilayahnya. Hal
yang dilakukan dalam penemuan kasus HIV pada anak:
 Semua anak dari orang tua HIV positif harus di tes HIV.
 Semua balita sakit umur 2 bulan sampai 5 tahun dan bayi muda 0-2 bulan dilakukan Pendekatan
MTBS/MTBM terkait HIV (Kepmenkes 52 tahun 2015 tentang Rencana Strategis Kementerian
Kesehatan serta Standar Pelayanan Minimal Kabupaten/Kota yang diperbaharui dalam kerjasama
dengan Kementerian Dalam Negeri).
 Anak umur 18 bulan atau lebih, yang diduga terinfeksi atau terpajan HIV, harus mendapatkan tes
serologis.
C. Penemuan Kasus HIV pada Remaja
Seharusnya setiap fasyankes melaksanakan Pelayanan Kesehatan peduli Remaja (PKPR), dimana
penemuan kasus remaja dapat dilakukan. Akses remaja terutama remaja berisiko dan remaja
populasi kunci ke layanan kesehatan karena kurangnya pengetahuan yang benar tentang HIV
serta takut akan stigma dan diskriminasi. Kemungkinan remaja bermasalah datang ke layanan
praktik swasta.

Hal yang dilakukan dalam penemuan kasus HIV pada remaja:


 Remaja dengan TBC dilakukan tes HIV
 Melakukan tes HIV kepada semua remaja yang berisiko, seperti: remaja yang sudah aktif
seksual, remaja pekerja seks, remaja pengguna napza suntik, remaja dengan kekerasan
seksual.
Kegiatan yang mendukung penemuan kasus remaja:
 Meningkatkan promosi kesehatan penanggulangan HIV AIDS bagi remaja,
agar remaja mendapatkan pengetahuan komprehensif tentang HIV AIDS
secara benar , tidak berperilaku berisiko dan mau akses ke layanan
kesehatan.
 Meningkatkan jejaring dengan layanan kesehatan swasta agar melakukan
tes HIV pada remaja dengan risiko (seperti remaja yang sudah aktif seksual,
remaja pekerja seks, remaja pengguna napza suntik, remaja dengan
kekerasan seksual) dan membuat laporan.
D. Penemuan kasus HIV pada pasien IMS
Pada poli IMS seharusnya dapat dilakukan penemuan kasus, karena pada penatalaksanaan IMS
diawali dengan anamnesis termasuk penggalian faktor risiko. Tapi kasus IMS yang ditemukan
petugas kesehatan sangat kecil karena berbagai aspek seperti stigma dan diskriminasi,
keengganan pasien untuk diperiksa dalam, pemahaman petugas yang masih kurang tentang
SOGIEB.

Hal yang dilakukan dalam penemuan kasus HIV pada pasien IMS
 Setiap pasien dengan keluhan dan gejala IMS di tes HIV
 Semua pasien yang diperiksa IVA diperiksa IMS
 Setiap yang datang untuk KB IUD di tes IMS.
 Bekerjasama dengan dokter praktik swasta,
 Pasien dengan kelainan kulit seperti: PPE, dermatitis seboroik, dll, di tes IMS
Setiap ditemukan pasien IMS, di tes HIV

E. Penemuan kasus HIV pada Pasien TBC

Di fasyankes, semua pasien suspek TBC dilakukan tes HIV, sekalian dengan pemeriksaan TBC.
Tetapi penambahan kasus baru TBC berdasarkan laporan SITT masih sangat kecil. Pasien TBC
juga datang ke rumah sakit swasta, RS paru, dokter praktik swasta, Balai pengobatan swasta.

Hal yang dilakukan dalam penemuan kasus HIV pada pasien TBC:
1. Skrining HIV dan TBC bersamaan untuk semua kasus yang dicurigai HIV
2. Skrining HIV diantara anak yang menderita TBC, malnutrisi dan gangguan tumbuh kembang

Kegiatan yang mendukung penemuan kasus pasien TBC:


1. Mewajibkan sektor swasta yang menangani TBC melakukan tes HIV setidaknya
untuk triase, termasuk memberikan laporan
2. Suplai reagen rapid tes ke pihak swasta yang menangani TBC.
3. Membuat jejaring dengan Dokter Praktik Swasta (DPS) yang melaksanakan program
TBC.
F. Penemuan kasus HIV pada Populasi kunci

Populasi kunci yang datang ke fasyankes, jumlahnya sangat sedikit. Banyak populasi kunci yang
datang ke dokter praktik swasta yang dipercaya, tidak kuatir akan mendapat stigma dan
diksriminasi, serta waktu layanan sesuai dengan kebutuhannya.

Hal yang dilakukan dalam penemuan kasus HIV pada populasi kunci:

 Tes HIV pada populasi kunci sebagai hasil penjangkauan petugas lapangan. Dalam hal ini
fasyankes bekerjasama dengan petugas lapangan LSM yang ada di wilayahnya, termasuk PE
(Peer Educator).

 Tes HIV pada setiap populasi kunci yang datang di klinik/poli PTRM, LASS, IMS, TBC, Hepati
tis.

 Di beberapa tempat, dilakukan community-based skrining dengan atau tanpa diawasi oleh
petugas penjangkau.

Kegiatan yang mendukung penemuan kasus populasi kunci:


 Dinas Kesehatan kabupaten/kota melakukan pemetaan populasi kunci di
wilayahnya, hasilnya diinformasikan ke fasyankes.
 Bekerjasama dengan dokter/layanan kesehatan swasta, agar dapat diberikan
akses untuk dapat melakukan tes HIV dan pengobatan ARV yang dihubungkan ke
layanan pemerintah
 Di lingkungan internal fasyankes, upaya intervensi penghapusan stigma dan
diskriminasi perlu dilakukan secara periodik dan sistematis.
G. Penemuan Kasus HIV pada Warga binaan
rutan/Lapasas
Seharusnya di poli rutan/lapas, dapat melakukan tes HIV kepada semua Warga Binaan
Pemasyarakatan (WBP) yang mempunyai latar belakang penasun, dan WBP yang mempunyai
perilaku berisiko. Tetapi saat ini belum ada kebijakan tersebut.

Hal yang dilakukan dalam penemuan kasus HIV pada warga binaan rutan/lapas

 Berkoordinasi dan bekerjasama dengan pimpinan rutan/lapas di wilayahnya, agar fasyankes


dapat melakukan tes HIV kepada warga binaan. Perlu disepakati mengenai mekanisme
layanan tes, seperti waktu, tempat layanan dan lain-lain.

H. PASANGAN ODHA

I. LAINNYA
Kegiatan yang mendukung penemuan kasus warga binaan rutan/lapas:
 Adanya kebijakan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan secara komprehensif di
poli rutan/lapas, meliputi perawatan narkoba, pelayanan HIV AIDS, dan pelayanan
kesehatan lainnya serta ketersediaan fasilitasnya.
 Berkoordinasi dan bekerja sama dengan rutan/lapas untuk memfasilitasi
peningkatan kapasitas petugas lapas melakukan tes HIV dan pengobatan ARV,
pencatatan dan pelaporannya, misalnya melalui pelatihan dan kegiatan lainnya.

H. Penemuan Kasus HIV pada Pasangan ODHA (Notifikasi Pasangan)


Selain penemuan kasus HIV sebagaimana disebutkan di atas, cara atau pendekatan lain yang
memegang peranan penting adalah penemuan kasus pada pasangan ODHA, dengan kegiatan partner
notifikasi (notifikasi pasangan).

Notifikasi Pasangan (Partner Notifikasi)


Penelusuran kontak (contact tracing) merupakan suatu metoda yang mempunyai peran penting
dalam penemuan kasus dan pengendalian penyakit infeksi. Tuberkulosis dan Infeksi menular seksual
merupakan salah satu contoh penyakit dan program kesehatan yang menerapkan penelusuran
kontak untuk penemuan kasus dan upaya pemberian obat sedini mungkin dalam upaya memutuskan
rantai penularan. Partner notifikasi merupakan istilah yang digunakan dalam program HIV yang
mempunyai tujuan yang sama yaitu mendorong pasien untuk memberitahu status HIV mereka dan
bisa mengajak pasangan untuk dilakukan testing dan mendapatkan pengobatan jika hasil tes HIV
menunjukkan hasil positif.

Kemajuan dalam pengobatan HIV, riset terhadap pencegahan dengan menggunakan ARV menjadikan
notifikasi pasangan menjadi suatu kegiatan yang penting untuk dilakukan oleh tenaga kesehatan.
Notifikasi pasangan sendiri merupakan suatu proses yang dilakukan secara sukarela oleh pasien.

Pendekatan Notifikasi pasangan diberikan dengan pendekatan pasif atau dibantu oleh tenaga
kesehatan. Layanan notifikasi pasangan yang dibantu tenaga kesehatan meningkatkan cakupan tes
HIV pada pasangan pasangan HIV positif dan sebagan besar pasangan ini didiagnosis HIV positif.
Pendekatan pasif, adalah pada pendekatan ini pasien HIV positif didorong oleh tenaga kesehatan
untuk membuka status pada pasangan seks atau teman-teman menyuntik dan mendorong
pasangan/teman-teman tersebut melakukan tes HIV, mengingat risiko terinfeksi HIV.
Pendekatan dengan bantuan tenaga kesehatan, adalah ketika pasien menyetujui untuk dibantu oleh
tenaga kesehatan membuka status atau secara anonymous memberitahu pasangan seks atau teman
mereka berbagi suntikan. Kemudian tenaga kesehatan akan menawarkan tes HIV kepada pasangan
atau teman berbagi suntikan. Pendekatan ini dilakukan menggunakan:

1. Rujukan dengan kontrak. Pasien dengan HIV positif menandatangani kontrak dengan tenaga
kesehatan dan setuju untuk membuka status kepada pasangan oleh mereka sendiri dan merujuk
pasangan untuk tes HIV dalam waktu 1 bulan. Jika pasangan dari pasien tidak mengakses layanan
HIV atau tidak menghubungi tenaga kesehatan dalam jangka waktu tersebut maka tenaga
kesehatan akan menghubungi pasangan dan menawarkan tes HIV
2. Rujukan tenaga kesehatan. Dengan persetujuan pasien HIV positif tenaga kesehatan terlatih secara
konfidensial menghubungi pasangan secara langsung dan menawarkan tes HIV
3. Rujukan ganda (Dual referral). Tenaga kesehatan terlatih menemani dan memberikan dukungan
pada pasien HIV positif ketika mereka membuka statusnya. Tenaga kesehatan juga menawarkan
tes HIV kepada pasangan.

Panduan pelaksanaan
 Penemuan kasus dilakukan oleh semua tenaga kesehatan baik di unit rawat jalan maupun rawat
inap
 Penemuan kasus pada daerah epidemi terkonsentrasi dilakukan pada semua pasien TB, IMS, ibu
hamil, hepatitis, orang dengan tanda gejala HIV AIDS sesuai stadium klinis, populasi kunci
 Penemuan kasus di Tanah Papua dilakukan pada semua orang yang datang ke fasyankes
 Perlu dicari cara untuk meningkatkan penemuan kasus TB, IMS, bumil dan IMS agar bisa
meningkatkan cakupan tes HIV
 Perlu diingat, kasus TB, bumil dan hepatitis juga ditemukan oleh sektor swasta, membangun
jejaring dengan pihak swasta atau memberikan mereka akses tes untuk skrining dapat dilakukan
oleh dinas kesehatan
 Dinas kesehatan dan kepala puskesmas perlu melakukan perbaikan persepsi petugas kesehatan
terhadap penyakit IMS, isu gender dan seksualitas utuk meningkatkan cakupan penemuan kasus
IMS
 Dinas kesehatan perlu melihat bentuk lain pelayanan untuk populasi kunci atau bekerja sama
dengan pihak swasta yang lebih diterima oleh populasi kunci
 Semua penemuan kasus harus di catat, perlu di ingat bahwa penemuan kasus juga terjadi di rawat
inap dan rawat jalan diluar klinik PDP sehingga penanggung jawab program wajib melakukan
pengecekan berkala dengan data laboratorium dan semua instansi rawat inap dan rawat jalan.
 Semua penemuan kasus wajib diberikan akses pengobatan ARV
 Pemberian ARV dilakukan dalam waktu 14 hari setelah diagnosis ditegakkan

Panduan pelaksanaan untuk perencanaan penemuan kasus


bagi Dinas kesehatan
 Melakukan pemetaan populasi kunci, tentang jumlah dan sebarannya, yang dalam hal ini meliputi:
o Pekerja seks, baik yang langsung maupun tak langsung
o Pengguna Napza Suntik (Penasun)
o Lelaki Seks Lelaki (LSL)
o Waria
 Data cakupan layanan puskesmas terutama tentang
o Perkirakan jumlah ibu hamil baru setiap tahun di wilayah kerja puskesmas
o Data Pasien TB baru setiap tahun
o Data pasien HIV di wilayahnya dengan berjejaring dengan RS di sekitar
o Data pasien IMS
 Data jumlah populasi di wilayah menurut umur dan jenis kelamin
Selain penemuan kasus HIV sebagaimana disebutkan di atas, cara atau pendekatan lain yang
memegang peranan penting adalah partner notifikasi (notifikasi pasangan).

Notifikasi Pasangan(Partner Notifikasi)


Penelusuran kontak (contact tracing) merupakan suatu metoda yang mempunyai peran penting
dalam penemuan kasus dan pengendalian penyakit infeksi. Tuberkulosis dan Infeksi menular seksual
merupakan salah satu contoh penyakit dan program kesehatan yang menerapkan penelusuran
kontak untuk penemuan kasus dan upaya pemberian obat sedini mungkin dalam upaya memutuskan
rantai penularan. Partner notifikasi merupakan istilah yang digunakan dalam program HIV yang
mempunyai tujuan yang sama yaitu mendorong pasien untuk memberitahu status HIV mereka dan
bisa mengajak pasangan untuk dilakukan testing dan mendapatkan pengobatan jika hasil tes HIV
menunjukkan hasil positif.

Kemajuan dalam pengobatan HIV, riset terhadap pencegahan dengan menggunakan ARV menjadikan
notifikasi pasangan menjadi suatu kegiatan yang penting untuk dilakukan oleh tenaga kesehatan.
Notifikasi pasangan sendiri merupakan suatu proses yang dilakukan secara sukarela oleh pasien.

Pendekatan Notifikasi pasangan diberikan dengan pendekatan pasif atau dibantu oleh tenaga
kesehatan. Layanan notifikasi pasangan yang dibantu tenaga kesehatan meningkatkan cakupan tes
HIV pada pasangan pasangan HIV positif dan sebagan besar pasangan ini didiagnosis HIV positif .
Pendekatan pasif, adalah pada pendekatan ini pasien HIV positif didorong oleh tenaga kesehatan
untuk membuka status pada pasangan seks atau teman-teman menyuntik dan mendorong
pasangan/teman-teman tersebut melakukan tes HIV, mengingat risiko terinfeksi HIV.
Pendekatan dengan bantuan tenaga kesehatan, adalah ketika pasien menyetujui untuk dibantu oleh
tenaga kesehatan membuka status atau secara anonymous memberitahu pasangan seks atau teman
mereka berbagi suntikan. Kemudian tenaga kesehatan akan menawarkan tes HIV kepada pasangan
atau teman berbagi suntikan. Pendekatan ini dilakukan menggunakan:

1. Rujukan dengan kontrak. Pasien dengan HIV positif menandatangani kontrak dengan tenaga
kesehatan dan setuju untuk membuka status kepada pasangan oleh mereka sendiri dan merujuk
pasangan untuk tes HIV dalam waktu 1 bulan. Jika pasangan dari pasien tidak mengakses layanan
HIV atau tidak menghubungi tenaga kesehatan dalam jangka waktu tersebut maka tenaga
kesehatan akan menghubungi pasangan dan menawarkan tes HIV
2. Rujukan tenaga kesehatan. Dengan persetujuan pasien HIV positif tenaga kesehatan terlatih secara
konfidensial menghubungi pasangan secara langsung dan menawarkan tes HIV
3. Rujukan ganda (Dual referral) . Tenaga kesehatan terlatih menemani dan memberikan dukungan
pada pasien HIV positif ketika mereka membuka statusnya . Tenaga kesehatan juga menawarkan
tes HIV kepada pasangan.
BAB

5 PENCATATAN,
PELAPORAN dan
SURVEILANS

Semua kegiatan tes wajib dicatat pada form yang sudah ditentukan. Penanggung jawab program
wajib mengumpulkan hasil tes HIV dari semua poli karena pelaksanaan tes HIV dilakukan oleh
seluruh unit rawat jalan dan rawat inap dan mencocokkan data yang ada dengan data laboratorium
Dinas kesehatan kabupaten, propinsi dan Kementerian Kesehatan wajib memberikan respon, analisis
dan masukan secara tertulis terhadap semua laporan yang ada secara berjenjang. Dinas kabupaten
sebagai penanggung jawab fasyankes wajib datang ke fasyankes untuk membantu fasyankes dalam
perbaikan pengumpulan laporan, pencatatan dan pelaporan.
Rumah sakit atau puskesmas pengampu wajib pula memberikan respon, analisisa dan masukan
secara tertulis beserta koreksi jika melihat kesalahan laporan dari puskesmas satelitnya.
Anggaran untuk kegiatan ini perlu di buat oleh masing masing tingkat pemegang kebijakan.

Definisi Kasus HIV Standar


Dalam sistem pelaporan kasus HIV, seseorang dapat didata dan dilaporkan sebagai kasus HIV setelah
didiagnosa terinfeksi HIV dengan menggunakan kriteria akurat dan handal. Untuk itu perlu
digunakan definisi kasus surveilans yang spesifik dan standar. Standardisasi definisi kasus akan
memungkinkan dilakukannya perbandingan informasi yang komparabel. Pada tahun 2006 WHO
memperbaharui stadium klinis HIV dan merekomendasikan definisi kasus surveilans pada orang
dewasa (usia 15 tahun ke atas) dan anak-anak (usia dibawah 15 tahun) sebagaimana dapat dilihat
pada Box.4.1. Disamping itu WHO juga merekomendasikan definisi kasus HIV lanjut yaitu seseorang
yang terinfeksi HIV dalam stadium 3 atau 4 (Box.4.2.).
Pelaporan ke dua kasus tersebut di atas (infeksi HIV dan infeksi HIV lanjut) lebih penting dari
pelaporan kasus AIDS karena kasus AIDS hanya mewakili kasus infeksi HIV yang sudah tahap akhir
(stadium 4, end-stage) yang tidak menggambarkan kondisi penyebaran infeksi terkini, melainkan
kondisi 10 tahun sebelumnya.
Boks 4.1.Definisi kasus infeksi HIV menurut WHO

Dewasa dan anak usia 18 bulan ke atas:


1). Infeksi HIV didiagnosis berdasarkan:
Tes antibody HIV positif (rapid atau enzyme immunoassay berbasis lab). Hal ini kemudian
diulang dan dikonfirmasi dengan:
a).tes antibody HIV (rapid atau enzyme immunoassay berbasis lab) yang kedua berdasarkan
pada antigen yang bebeda atau karakteristik operatif yang berbeda dengan syarat tingkat
prevalensi di wilayah tersebut cukup tinggi (di atas 5%)
a).tes antibody HIV (rapid atau enzyme immunoassay berbasis lab) yang kedua dan yang ketiga
berdasarkan pada antigen yang bebeda atau karakteristik operatif yang berbeda, dengan syarat
tingkat prevalensi di wilayah tersebut masih rendah (sama atau di bawah 5%)

Dan/atau
2). Tes virologis positif untuk HIV atau komponennya (HIV-RNA atau HIV-DNA atau antigen HIV p24
yang ultrasensitive) yang dikonfirmasi dengan Tes virologist ke dua yang diperoleh dari sampel
yang terpisah

Anak usia di bawah 18 bulan


Infeksi HIV didiagnosis berdasarkan:
Tes virologis positif untuk HIV atau komponennya (HIV-RNA atau HIV-DNA atau antigen HIV p24
yang ultrasensitive) yang dikonfirmasi dengan Tes virologist ke dua yang diperoleh dari sampel
yang terpisah yang diambil lebih dari 4 minggu seterlah kelahiran.

Tes antibody HIV positif tidak direkomendasikan untuk diagnosis definitif atau konfirmatif dari
infeksi HIV pada anak-anak di bawah 18 bulan
Boks 4.2 Kriteria diagnosis HIV lanjut menurut WHO (termasuk AIDS) untuk pelaporan
Kriteria klinis diagnosis HIV lanjut pada dewasa dan anak-anak dengan infeksi HIV konfirmatif
Diagnosis dugaan (presumptif) atau definitif dari kondis stadium 3 atau 4
Dan/atau
Kriteria imunologis untuk mendiagnosis HIV lanjut pada dewasa dan anak-anak usia 5 tahun ke
atas dengan infeksi HIV konfirmatif
CD4 lebih rendah dari 350 per mm3 darah pada dewasa atau anak-anak yang terinfeksi HIV
Dan/atau
Kriteria imunologis untuk mendiagnosis HIV lanjut pada dewasa dan anak-anak usia di bawah 5
tahun ke atas dengan infeksi HIV konfirmatif
%CD4+ <30 pada bayi berusia di bawah 12 bulan;
%CD4+ <25 pada anak berusia 12–35 bulan;
%CD4+ <20 pada anak berusia 36–59 bulan

WHO juga menjelaskan stadium klinis yang setara dengan tingkat/ derajat keparahan gejala klinis
sebagaimana dapat dilihat di Tabel 1. Derajat keparahan gejala klinis juga dapat disetarakan dengan
derajat defisiensi imunitas sesuai dengan kategori umur tertentu sebagaimana dapat dilihat di Tabel
3.
Tabel 1. Stadium Klinis Menurut WHO yang Sesuai Gejala HIV
Gejala HIV Stadium Klinis menurut WHO
Tanpa gejala (Asymptomatic) 1
Gejala ringan (Mild symptoms) 2
Gejala lanjut (Advanced symptoms) 3
Gejala parah (Severe symptoms)/ AIDS 4

Tabel 2. Batasan operasional kasus

Kasus infeksi HIV Kasus baru yang baru diagnosa terinfeksi HIV (HIVpositif).
Diasumsikan kasus ini sesuai dengan infeksi HIV dengan
stadium klinis 1 dan 2 menurut WHO
Kasus HIV lanjut* 1). kasus HIV positif yang sesuai dengan stadium klinis 3 dan
4 menurut WHO, dan/atau
2). kasus HIV positif dengan nilai CD4 < 350
Kasus AIDS* 1). kasus HIV positif yang sesuai dengan stadium klinis 4
menurut WHO, dan/atau
2). kasus HIV positif dengan nilai CD4 < 200
Kasus kematian akibat AIDS atau Kematian kasus HIV positif akibat AIDS atau terkait AIDS
terkait AIDS

Catatan: Untuk anak-anak batasan operasional memakai %CD4 yang sesuai dengan kategori umurnya
sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Klasifikasi Imunologis penderita HIV positif Menurut WHO

Derajat defisiensi Nilai CD4+ yang sesuai dengan kategori umur


imunitas HIV <11 bulan 12-35 bulan 36-59 (bulan) >=5 tahun
(% CD4+) (% CD4+) (% CD4+) (jumlah/mm3 atau %CD4+)
Tidak/ tidak bermakna >35 >30 >25 > 500
(setara stadium klinis-1)
ringan (Mild) 30–35 25–30 20–25 350−499
(setara stadium klinis-2)
lanjut (Advanced) 25–29 20–24 15−19 200−349
(setara stadium klinis-3)
parah (Severe) <25 <20 <15 <200 or <15%
(setara stadium klinis-4)

Lampiran 1.
Lampiran 1. Contoh komunikasi tes HIV kepada pasien, informasi pra tes dan pos tes

Contoh komunikasi tes HIV kepada pasien

“Program pemerintah dan juga kebijakan puskesmas ini adalah semua ibu hamil diminta untuk tes HIV,
sifilis dan hepatitis. Ibu yang HIV, sifilis dan hepatitis bisa menularkan pada bayinya. Akibat HIV, sifilis
dan hepatitis pada bayi akan membuat bayi sakit.
- Kami akan melakukan tes HIV, sifilis, hepatitis, dan pemeriksaan lainnya, kecuali jika ibu menolak.
- Apakah ada pertanyaan?”

Informasi pra tes


Informasi minimal yang perlu disampaikan oleh petugas kesehatan kepada pasien sebelum tes-HIV
adalah sebagai berikut:
 Alasan perlunya tes-HIV. Status HIV seseorang hanya dapat diketahui dengan tes.
 Keterkaitan HIV dengan penyakit/keadaan pasien.
 Keuntungan mengetahui status HIV sedini mungkin
 Layanan yang tersedia bagi pasien setelah tes, baik hasil tes HIV negatif ataupun reaktif.
 Informasi bahwa hasil tes tidak akan diungkapkan kepada orang lain selain petugas kese hatan
yang terkait langsung pada perawatan pasien.
 Informasikan bahwa pasien mempunyai hak untuk menolak menjalani tes HIV. Tes akan
dilakukan kecuali pasien menggunakan hak menolaknya tersebut.
 Informasikan bahwa penolakan untuk tes HIV tidak akan mempengaruhi layanan lainnya yang
diperlukan pasien.

Informasi pos tes


Hasil tes negatif
 Sampaikan hasil tes, dan artinya hasil negatif.
 Informasikan tentang kemungkinan periode jendela.
 Informasikan apabila pasien harus di tes ulang. Mengapa dan kapan?
 Jelaskan tentang upaya pencegahan dan penularan

Hasil tes positif


 Sampaikan hasil tes dengan jelas dan hati-hati, serta arti hasil tes positif.
 Jelaskan bahwa pasien harus segera mendapat pengobatan ARV
 Informasikan tentang pengobatan ARV, mulai kapan, berapa lama dan dimana mengambil
obat.
 Informasikan agar pasien datang ke fasyankes apabila ada efek samping obat, jangan
mengobati sendiri
 Jelasan tentang cara-cara mencegah penularan kepada pasangan.
 Pentingnya dukungan dari orang dekat.
 Anjurkan untuk tes pasangan
 Informasi tentang sumber dukungan yang tersedia di masyarakat, seperti KDS, LSM dan
dukungan sosial.
LAMPIRAN 2. Daftar tabel

Tabel 1. Kelompok yang harus di lakukan pengulangan tes pada hasil tes negatif

Populasi kunci
Pasien yang diketahui mempunyai pasangan dengan HIV positif
Pasien dengan gejala dan dalam pengobatan IMS
Pasien yang menunjukkan gejala dan tanda kerusakan sistem imun
Pasien yang terpapar HIV dalam
Hamil dan menyusui di Tanah Papua (?) – pada tempat dengan prevalensi tinggi
Pasien yang mendapatkan PEP

Tabel 2.Teknologi rapid tes dan cara penggunaan

Tehnologi pemeriksaan serologi HIV Sumber antigen

Generasi pertama Crude viral lysate sebagai antigen


Cukup sensitif, tatap tidak cukup spesifik. Hanya mendeteksi
IgG saja

Generasi kedua Recombinant proteins dan sintetik peptidase sebagai


antigen
Hanya mendeteksi Ig G saja, lebih sensitif dan spesifik
dibanding generasi pertama

Generasi ketiga Antigen campuran (sandwich) yg terdiri dari Recombinant


proteins sekaligus antigen conjugated thd enzim sebagai
antigen
Mendeteksi IgG dan IgM

Generasi ke 4 Rekombinan protein dan antibodi monoklonal sebagai


sumber penularan
Mendeteksi IgG, IgM dan p21 sehingga sangat sensitif dan
dapat digunakan untuk deteksi dini saat serokonversi
Sumber : Pedoman HTS WHO 2015

Tabel 3. Jenis spesimen dan pengolahannya

Jenis Spesimen Waktu pemrosesan/penyimpanan/tes


Darah segar vena Segera di periksa setelah spesimen di ambil
Darah segar kapiler Segera diperiksa setelah diambil dengan alat
yang sudah disiapkan oleh tiap reagen.
Penetesan darah langsung ke RDT tidak
direkomendasikan
Serum Setelah spesimen diambil, segera kocok merata
4-5 kali lalu biarkan sampai terbentuk bekuan
darah.
Pemeriksaan dilakukan 30 menit setelah
pengambilan spesimen.
Spesimen dapat disimpan selama 5 hari dalam
refrigerator suhu 2-80 C
Plasma Setelah spesimen diambil, segera kocok merata
selama 8 – 10 x, lalu sentrifuse selama 10 menit
Pemeriksaan dilakukan 6 jam setelah sentrifuse
Spesimen dapat disimpan selama 5 hari dalam
refrigerator suhu 2-80 C
Cairan mulut (oral fluid) Segera periksa setelah spesimen diambil dengan
alat yang disediakan oleh pembuat
Dried Blood spot (DBS) Dapat disimpan selama 3 bulan pada suhu 3 0 C
dan disimpan lebih lama jika disimpan pada suhu
-200 C
Sumber : Pedoman HTS WHO 2015

Tabel 4. Jenis pemeriksaan HIV

Tabel 5. Dasar Pemilihan tes HIV

Kinerja Syarat minimal


Sensitivitas
Pemeriksaan lini pertama ≥ 99% untuk RDT atau 100% untuk EIA
Pemeriksaan lini kedua/ketiga ≥99% unutk RDT atau 100% untuk EIA
Spesifisitas
Pemeriksaan lini pertama ≥ 98% untuk RDT atau 100% untuk EIA
Pemeriksaan lini kedua/ketiga ≥99% unutk RDT atau 100% untuk EIA
Periode Jendela
Pemeriksaan lini pertama Cari periode jendela terpendek
Penilaian Tingkat kesalahan (Invalid rate)
≤5%
Variable antar pembaca (inter reader variability)
Variabel ketika hasil tes dibaca oleh lebih dari ≤5%
satu petugas lab
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Consolidated guidelines on HIV diagnosis, prevention and treatment
among key populations. Geneva:World Health Organization; 2014
(http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/128048/1/
9789241507431_eng.pdf?ua=1&ua=1, accessed 14 March 2015)
2. Kerr T, Hayashi K, Ti L, Kaplan K, Suwannawong P, Wood E. The impact
of compulsory drug retentionexposure on the avoidance of healthcare
among injection drug users in Thailand. Int J Drug Policy. 2014;
25(1):171-4.
3. Access to HIV prevention and treatment for men who have sex with
men:findings from the 2012 Global Men’s Health and Rights Study
(GMHR). Oakland (CA): Global Forum on MSM & HIV; 2012
(http://www.msmgf.org/files/msmgf/documents/GMHR_2012.pdf,
accessed 3 March 2015).
4. Marum E, Baggaley R. Less and more: condensed HIV counselling and
enhanced connection to care.Lancet Glob Health. 2013; 1(3):e117-8.
5. Wanyenze RK, Kamywa MR, Fatch R, Mayanja-Kizza H, Baveewo S,
Szekeres G et al. Abbreviated HIVcounselling and tes and enhanced
referral to care in Uganda: a factorial randomised controlled
trial.Lancet Glob Health. 2013;1(3):e137-45
6. Shamu S, Zarowsky C, Shefer T, Temmerman M, Abrahams N. Intimate
partner violence after disclosure ofHIV test results among pregnant
women in Harare, Zimbabwe. PLoS One. 2014;9(10):e109447.
7. Wagman JA, Gray RH, Campbell JC, Thoma M, Ndyanabo A, Ssekasanvu
J et al. Effectiveness of an integrated intimate partner violence and HIV
prevention intervention in Rakai, Uganda: analysis of anintervention in
an existing cluster randomised cohort. Lancet Global Health. 2015;
3(1):23-33.
8. Johnson C,Sands A, Fonner V, Tsui S, Wong V, Obermeyer C et al. Are
we delivering the wrong results?:examining misclassification of HIV
status and false positive test results. Paper presented at: African
Society for Laboratory Medicine; 2014 Nov 30–Dec 5; Cape Town,
South Africa.
9. Shanks L,Klarkowski D, O'Brien DP. False positive HIV diagnoses in
resource limited settings: operationallessons learned for HIV
programmes. PLoS One. 2013; 8(3):e59906.
10. http://hivinsite.ucsf.edu/InSite?page=kb-02-02-02-02
11. McFarland W, Busch MP, Kellogg TA, Rawal BD, Satten GA, Katz MH,
Dilley J, Janssen RS. Detection of early HIV infection and estimation of
incidence using a sensitive/less-sensitive enzyme immunoassay tes
strategy at anonymous counseling and tes sites in San Francisco. J
Acquir Immune Defic Syndr 1999; 22:484-9.
12. Janssen RS, Satten GA, Stramer SL, Rawal BD, O'Brien TR, Weiblen BJ,
Hecht FM, Jack N, Cleghorn FR, Kahn JO, Chesney MA, Busch MP. New
tes strategy to detect early HIV-1 infection for use in incidence
estimates and for clinical and prevention purposes. Jama 1998;
280:42-8.
13. Facente SN, Pilcher CD, Hartogensis WE, et al. Performance of risk-
based criteria for targeting acute HIV screening in San Francisco. PLoS
One. 2011;6:e21813
14. Rosenberg E, Altfeld M, Poon S. et al. Immune control of HIV-1 after
early treatment of acute infection. Nature.2000;407:523-526.
15. Update: HIV counseling and tes using rapid tests--United States, 1995.
MMWR Morb Mortal Wkly Rep 1998; 47:211-5.
16. 90–90–90. Ambitious treatment targets: writing the final chapter of
the AIDS epidemic – a discussionpaper. Geneva: Joint United Nations
Programme on HIV/AIDS; 2014
http://www.unaids.org/en/resources/documents/2014/90–90–90,
accessed 3 March 2015).
17. Kennedy CE, Fonner VA, Sweat MD, Okero FA, Baggaley R, O'Reilly KR.
Provider-initiated HIV tes andcounseling in low- and middle-income
countries: a systematic review. AIDS Behav. 2013;17(5):1571-90.
18. Busch M P, Statten G A. Time course of viremia and antibody
seroconversion following human immunodeficiency virus exposure.
Am J Med 1997102117–124. [PubMed]
19. Horsburgh C R, Jr, Jason J, Longini I. et al Duration of human
immunodeficiency virus infection before detection of antibody. Lancet
19892637–640. [PubMed]
20. Reimer L, Mottice S, Schable C. et al Absence of detectable antibody in
a patient infected with human immunodeficiency virus. Clin Infect Dis
19972598–100. [PubMed]
21. Yaseen SG, Ahmed SA, Johan MF, Kiron R, Daher AM. Evaluation of
serological transfusion-transmitted viral diseases and mutliplex nucleic
acid tes in Malaysian blood donors. Transfus Apher Sci. 2013;49:647–
51. [PubMed]
22. Hans R, Marwaha N. Nucleic acid tes-benefits and constraints. Asian
Journal of Transfusion Science. 2014;8(1):2-3. doi:10.4103/0973-
6247.126679.
23. Kementerian Kesehatan RI, 2016, Permenkes no 43 tahun 2016,
tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan
24. Kepmenkes 52 tahun 2015 tentang Rencana Strategis Kementerian
Kesehatan serta Standar Pelayanan Minimal Kabupaten/Kota yang
diperbaharui dalam kerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri
25. Kementerian Kesehatan RI, 2013, Permenkes no 21 tahun 2013,
tentang Penanggulangan HIV dan AIDS.

Anda mungkin juga menyukai